tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang …
TRANSCRIPT
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
(Analisis Putusan Nomor: 143/Pid.B/2015/PN.Dmk)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
CHAIRUNISA
NIM: 11170480000008
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
(Analisis Putusan Nomor: 143/Pid.B/2015/PN.Dmk)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
CHAIRUNISA
NIM: 11170480000008
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
(Analisis Putusan Nomor: 143/Pid.B/2015/PN.Dmk)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
CHAIRUNISA
NIM: 11170480000008
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
NIP. 19720203 200701 1 034 NIP. 19850524 202012 1 006
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:
Nama : Chairunisa
NIM : 11170480000008
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Gang Damiri RT 009 RW 004 No. 7, Condet, Kelurahan
Batu Ampar, Kecamatan Kramat Jati, Provinsi Jakarta
Timur, 13520.
Nomor HP : 083870316044
Email : [email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 06 Februari 2021
Chairunisa
v
ABSTRAK
CHAIRUNISA. NIM 11170480000008. “TINDAK PIDANA
PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA
BERSAMA-SAMA (Analisis Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk)”.
Praktisi Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah ketidaktepatan
penjatuhan pidana oleh Hakim kepada pelaku dalam kasus pencurian dengan
pemberatan pada Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang melatarbelakangi
terjadinya pencurian dengan pemberatan dan pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian yang meletakkan hukum sebagai bangunan
sistem norma yang terdiri asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian, dan doktrin (ajaran) dari para hukum.
Peneliti menggunakan Putusan Pengadilan dengan mengkaji Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk oleh AD sebagai pelaku turut serta melakukan
pencurian dengan pemberatan yaitu disebabkan oleh faktor ekonomi karena ia
merupakan tulang punggung keluarga dan harus memenuhi kebutuhan hidup
baik untuk dirinya maupun keluarganya. Kemudian, oleh karena semua unsur
dalam dakwaan primair telah terpenuhi, Hakim menjatuhkan pidana kepada
pelaku dengan dakwaan kesatu yaitu pelaku melanggar Pasal 363 Ayat (1) Ke-
3, Ke-4, dan Ke-5 KUHP. Hakim sudah tepat mengambil keputusan yaitu
mengadili pelaku dengan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan
akan tetapi hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim sangatlah minim dan lebih
rendah dari apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum karena pelaku sebelum
melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan baru saja keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan kasus Penggelapan dalam Putusan
Nomor 133/Pid.B/2014/PN.Pti dan sudah pernah dihukum. Maka dari itu,
hukuman yang diberikan kepada pelaku tidaklah sebanding dengan apa yang
dilakukannya dan sebaiknya Hakim juga mempertimbangkan dampak dan
kerugian yang ditimbulkan bagi korban akibat perbuatan pelaku.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Pelaku, Pencurian dengan Pemberatan
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
2. Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1958 sampai Tahun 2019.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam selalu dipanjatkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TINDAK
PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN
SECARA BERSAMA-SAMA (Analisis Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk)”. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak
lepas dari masukan, arahan, dukungan, serta bimbingan yang diberikan oleh
banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan arahan dan saran untuk
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Pembimbing Skripsi I yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan
skripsi ini. Terima kasih atas kemudahan, didikan, ilmu serta saran/solusi
yang diberikan kepada peneliti.
4. Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi II yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kemudahan, didikan, ilmu serta
saran/solusi yang diberikan kepada peneliti.
vii
5. Prof. Dr. Djawahir Hejazziey S.H., M.A. Dosen Pembimbing Akademik
yang telah membimbing peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi.
6. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Pusat Perpustakaan Nasional yang telah memberikan
fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku
referensi yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Bachtiar, S.E dan Ibunda Hj. Nunik
Indiati yang selama ini telah memberikan dukungan baik moral maupun
materil serta doa yang tak pernah putus sehingga dapat diselesaikannya
skripsi ini. Serta kakak tercinta Fitrianisa S.Tr. yang selalu memberi arahan
kepada peneliti.
8. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini.
Jakarta, 06 Februari 2021
Peneliti
Chairunisa
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5
D. Metode Penelitian ...................................................................... 6
E. Sistematika Pembahasan ........................................................... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIDANAAN
A. Kerangka Konseptual .............................................................. 10
1. Tindak Pidana ................................................................... 10
2. Pidana dan Pemidanaan .................................................... 12
B. Kerangka Teori ........................................................................ 14
1. Teori Sosialis .................................................................... 14
2. Teori Relatif atau Tujuan ................................................. 15
3. Teori Interpretasi Hakim .................................................. 15
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................... 16
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURIAN DAN TINDAK
PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA
A. Tindak Pidana Pencurian ......................................................... 20
B. Penyertaan Tindak Pidana Dalam KUHP ............................... 28
ix
BAB IV TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN
YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DALAM
PUTUSAN NOMOR 143/PID.B/2015/PN.DMK.
A. Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Pencurian dengan
Pemberatan .............................................................................. 39
B. Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku
Dalam Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk ................... 40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 52
B. Rekomendasi ........................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara hukum. Maksudnya ialah
Indonesia adalah Negara yang tidak berdasar atas kekuasaan (maachstaat).
Segala aspek kehidupan dalam segi kemasyarakatan, kenegaraan dan juga
pemerintahan harus lah berdasarkan hukum.1 Untuk mewujudkan Negara
hukum diperlukan perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur di
segala bidang kehidupan rakyat demi menjaga keseimbangan dan keadilan.
Pancasila serta UUD 1945 sebagai dasar filosofis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, tidak hanya dalam masalah perundang-undangan,
melainkan dalam segala masalah kehidupan.2
J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto3 berpendapat bahwa
hukum merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa,
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan di masyarakat dan
dibuat oleh badan-badan resmi berwajib terkait pelanggaran mana terhadap
peraturan tersebut yang berakibat diambilnya suatu tindakan yaitu dengan
memberikan hukuman tertentu.
Hukum yang sifatnya memaksa, maka tiap masyarakat harus mematuhi
hukum karena kalau melanggar akan mendapatkan sanksi. Begitu banyak
hukum yang berlaku di Indonesia salah satunya ialah hukum pidana.
Menurut Sudarsono, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
kejahatan maupun pelanggaran terhadap kepentingan umum lalu perbuatan
1.Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2013), h. 1-2. 2 Achmad Irwan Hamzani, “Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang
Membahagiakan Rakyatnya”, Yustisia, Edisi 90, (September-Desember 2014), h. 141. 3 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), h. 33-34.
2
tersebut diancam dengan pidana yang berakibat suatu penderitaan baginya.4
Sedangkan Prof. Moeljatno menjelaskan mengenai hukum pidana adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara untuk:5
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan
dilarang, kemudian disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan tersebut dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan bagaimana caranya pengenaan pidana dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan selalu mengikuti
perubahan zaman tidak hanya menimbulkan dampak positif saja tetapi juga
dampak negatif yang sering terjadi di masyarakat. Ditambah lagi
masyarakat yang kesulitan beradaptasi menimbulkan banyak konflik dan
berbagai masalah. Sebagai dampaknya, orang berperilaku menyimpang
dengan melakukan berbagai kejahatan demi keuntungan dan kepuasan
sendiri tanpa mementingkan nasib orang lain.
Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan
tidak bisa dihapuskan.6 Alasan pelaku tindak pidana untuk membela dirinya
bahwa ia tidak bersalah tetap saja sulit diterima oleh masyarakat karena
stigma masyarakat yang beranggapan bahwa pelaku akan mengulang
perbuatannya lagi dan selalu mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Media-media cetak maupun elektronik menyuguhkan beberapa perbuatan
yang melanggar hukum serta menimbulkan kekhawatiran kepada
masyarakat, salah satunya adalah kejahatan pencurian.
4 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publishier,
2006), h. 216. 5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 1. 6 Andi Matalata “Santunan Bagi Korban”, dalam J.E. Sahetapy. Viktimologi Sebuah Bunga
Rampai, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 35.
3
Tiap tahun angka kejahatan pencurian di Indonesia semakin meningkat.
Dalam Buku Kedua Bab XXII tentang Pencurian mulai dari Pasal 362
sampai dengan Pasal 367 KUHP yakni Pencurian biasa diatur dalam Pasal
362 KUHP, Pencurian dengan Pemberatan diatur dalam Pasal 363 KUHP,
Pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP, Pencurian dengan
Kekerasan diatur dalam Pasal 365 KUHP, dan Pencurian dalam keluarga
diatur dalam Pasal 367 KUHP.7 Salah satu tindak pidana yang marak terjadi
adalah pencurian dengan pemberatan atau disebut juga sebagai pencurian
tertentu atau kualifikasi (gequalificeerd diefstal).
Maksud dari jenis pencurian tertentu atau kualifikasi ini adalah suatu
pencurian yang dilakukan dengan cara atau dalam keadaan tertentu,
sehingga sifatnya lebih berat dan diancam dengan pidana yang lebih berat
pula dari pencurian biasa.8 Istilah yang digunakan oleh R. Soesilo yaitu
“pencurian dengan pemberatan” dalam bukunya Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)9, sebab dari istilah tersebut dapat dikatakan bahwa
karena sifatnya maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya dan
menimbulkan kerugian materiil yang dirasakan oleh korban.
Permasalahan dalam putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk,
rendahnya hukuman dalam tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut
Umum serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku ini tidak memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan tidak sesuai
karena pelaku telah memenuhi unsur-unsur pencurian dengan pemberatan
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 363 KUHP dan pelaku merupakan
seorang residivis (recidivice).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang tindak pidana pencurian dengan pemberatan dengan judul
“Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan
7 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), h. 128-131. 8 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung, Eresco,
1986), h. 19. 9 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1988), h.
248.
4
Secara Bersama-Sama (Analisis Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan
identifikasi masalah sebagai bahan penelitian sebagai berikut:
a. Perkembangan zaman banyak menimbulkan dampak negatif di
masyarakat.
b. Perilaku menyimpang dan melakukan kejahatan sebagai dampak
dari kesulitan beradaptasi masyarakat.
c. Angka kejahatan pencurian selalu meningkat setiap tahunnya.
d. Kekhawatiran dan keresahan masyarakat terhadap pelaku
pelanggar hukum.
e. Maraknya kasus pencurian dengan pemberatan yang terjadi di
kalangan masyarakat.
f. Tidak sesuainya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku dalam
Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
peneliti paparkan, banyaknya permasalahan penting yang perlu
dijawab. Sehingga untuk mempertegas arah pembahasan, penelitian ini
akan berfokus menganalisis dan mengevaluasi tindak pidana pencurian
dengan pemberatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam
Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah di atas, perumusan masalah yang diangkat adalah
tidak sesuainya hukuman yang diberikan kepada pelaku dalam
5
kaitannya dengan putusan Pengadilan Nomor
143/Pid.B/2015.PN.Dmk. Untuk mempertegas perumusan masalah,
peneliti menguraikan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadinya pencurian
dengan pemberatan?
b. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku dalam Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari
penelitian ini, antara lain:
a. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang melatarbelakangi
terjadinya pencurian dengan pemberatan.
b. Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1) Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk referensi
bagi pengembangan ilmu, dengan cara menyajikan penelitian
berdasarkan data yang akurat.
2) Memberikan tambahan ilmu dan wawasan bagi mahasiswa
dan mahasiswi hukum tentang tindak pidana pencurian dengan
pemberatan yang dilakukan secara bersama-sama.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi peneliti, untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana S1 Program Studi Ilmu Hukum, selain itu juga
diharapkan dapat memperdalam pengetahuan peneliti tentang
6
tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan
secara bersama-sama.
2) Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi serta
penjelasan kepada masyarakat dan sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.
3) Bagi akademisi, untuk memberikan sumbangsih pemikiran
terkait Putusan Pengadilan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk
dalam perkara pencurian dengan pemberatan.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan. Sedangkan penelitian hukum menurut Soerjono
Soekanto10 adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu dengan tujuan untuk mempelajari gejala-
gejala hukum tertentu yaitu dengan cara meneliti dan menganalisis.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif ialah suatu
penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan dalam
sistem norma. Sistem norma yang dibangun yakni mengenai norma,
asas, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, dan doktrin (ajaran) dari pakar hukum.11 Dalam penelitian
ini, peneliti mengkaji Putusan Pengadilan yaitu Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
2. Sumber Data
Data merupakan yang atribut atau perlengkapan yang melekat pada
suatu objek tertentu, kemudian berfungsi sebagai informasi yang dapat
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 42-43. 11 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2017), h. 33.
7
dipertanggungjawabkan dan diperoleh melalui suatu metode atau
instrumen dalam pengumpulan data.12 Berdasarkan sumber penelitian
hukum, dalam penelitian ini peneliti telah membaginya yaitu bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun penjabarannya
sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang bersifat otoritas,
yang mana terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan.13 Bahan hukum primer ini meliputi:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang dapat
memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer.14 Bahan
hukum sekunder ini meliputi:
1) Jurnal Hukum
2) Literatur
3) Buku
4) Artikel
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah studi
kepustakaan (Library Research), yakni melalui penelahan berbagai
literatur meliputi data sekunder seperti buku, literatur, jurnal-jurnal
12 Haris Herdiansyah, Wawancara, Observasi, dan Focus Groups Sebagai Instrument
Penggalian Data Kualitatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 8. 13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), h. 141. 14 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 119.
8
hukum, artikel yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
masalah yang sedang diteliti.
4. Teknik Analisa Data
Peneliti menggunakan analisa data dalam penelitian ini yaitu
metode analisa kualitatif. Dalam hal ini data yang diperoleh akan
dianalisa dengan metode deskriptif analisis, yaitu dengan
menggambarkan permasalahan yang ada, mencari data-data yang
relevan, menyeleksi dan mengambil kesimpulan dari data-data tersebut.
Kemudian data tersebut dianalisa secara sistematis dalam tindak pidana
pencurian dengan pemberatan yang dilakukan secara bersama-sama.
5. Teknik Penulisan
Pada penulisan ini, peneliti menggunakan metode penelitian skripsi
yang mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, maka peneliti
menyajikan ke dalam lima bab yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini memuat Latar Belakang,
Identifikasi, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIDANAAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai Tinjauan Pustaka
meliputi Kerangka Teori yang memuat teori-teori yang
mendukung penelitian, Kerangka Konseptual dan Tinjauan
(Review) Kajian Terdahulu.
9
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURIAN DAN
TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA
Dalam bab ini membahas mengenai Tinjauan Umum antara
lain Tindak Pidana Pencurian meliputi pengertian jenis-
jenis, dan Pencurian dengan Pemberatan. Selain itu,
menjelaskan Penyertaan Tindak Pidana dalam KUHP
meliputi pengertian, bentuk-bentuk, dan Pertanggung
Jawaban Penyertaan Dalam Tindak Pidana.
BAB IV TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN
PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA
BERSAMA-SAMA DALAM PUTUSAN NOMOR
143/PID.B/2015/PN.DMK.
Dalam bab ini merupakan pembahasan utama dalam
penelitian yang berisi tentang faktor yang melatarbelakangi
serta Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi hasil akhir dari penelitian berupa
kesimpulan dan rekomendasi sesuai dengan pokok
pembahasan yang dikaji oleh peneliti.
10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIDANAAN
A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, peneliti menguraikan konsep terkait beberapa
istilah yang digunakan, yaitu:
1. Tindak Pidana
Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
disebut juga dengan istilah straafbar feit atau delict. Tindak pidana adalah
suatu tindakan baik bebruat ataupun tidak berbuat yang bertentangan
dengan hukum dan menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan
ancaman hukuman.1 Tindak pidana menurut Moeljatno sebagai perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum dan suatu larangan yang disertai
ancaman sanksi (pidana) bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut.2
Amir Ilyas secara sederhana menyatakan Straafbar feit dalam peristilahan
di Indonesia telah diterjemahkan oleh para sarjana dan terdapat lima istilah
yang digunakan yaitu:3
a. “Tindak pidana”, istilah ini digunakan oleh Soesilo (1979: 26), S.R.
Sianturi (1986: 204), dan Wirjono Prodjodikoro (1986: 55).
b. “Peristiwa pidana”, istilah ini digunakan oleh Utrecht (Sianturi 1986:
206), Andi Zainal Abidin Farid (1962: 32), Rusli Efendi (1981: 46),
dan sebagainya.
c. “Perbuatan pidana”, istilah ini digunakan oleh Moeljatno (1983: 54).
d. “Perbuatan yang boleh dihukum”, istilah ini digunakan oleh H.J. Van
Schravendijk (Sianturi 1986: 206), dan sebagainya. Delik”, istilah ini
1 Abdul Djamali, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1990), h. 157. 2 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 59. 3Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai Teori-Teori Pengantar dan
Beberapa Komentar), (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKap-Indonesia, 2012),
h. 21.
11
digunakan oleh Satochid Kartanegara, Andi Zainal Abidin Farid
(1981: 146), dan sebagainya.
Istilah tindak pidana berhubungan erat dengan masalah kriminalisasi
(criminal act) yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang mulanya
bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana, proses ini
merupakan perumusan perbuatan yang berada diluar diri seseorang.4
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan telah dirumuskan
dalam Perundang-Undangan pidana. Apabila perbuatan ini dilakukan
dengan kesalahan maka orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat
dikenakan sanksi pidana.5
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Sebagaimana rumusan tindak pidana yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), unsur-unsur tindak pidana
meliputi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-
unsur yang berhubungan dengan diri pelaku. Sedangkan unsur objektif
adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan dan tindakan dari
pelaku yang harus dilakukan.6
Unsur subjektif tindak pidana, antara lain:7
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus);
b. Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau poging seperti dalam
Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud (oogmerk), contohnnya kejahatan pencurian,
pemerasan, penipuan, dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad), contohnya
kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
4 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2016), h. 57. 5 I Ketut Martha, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, (Universitas Udayana: Fakultas Hukum,
2016), h. 64. 6 Muhammad Iqbal, dkk, Hukum Pidana, (Tangerang: Unpam Press, 2019), h. 35. 7 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), h. 193-194.
12
e. Perasaan takut yang terdapat dalam rumusan tindak pidana, misalnya
pembuangan bayi menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif tindak pidana, antara lain:8
a. Sifat melawan hukum.
b. Kualitas diri pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu kejadian atau peristiwa
sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
2. Pidana dan Pemidanaan
a. Pidana
Pidana adalah reaksi atas delik yang berujung nestapa atau
kesengsaraan yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada
pembuat delik. Dirumuskan pula oleh R. Soesilo bahwa pidana atau
hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis, kepada orang-orang yang
melanggar Undang-Undang Hukum Pidana. Asas praduga tak
bersalah (presumption of ennocence) yang dianut dalam sistem
hukum di Indonesia, pidana sebagai reaksi atas delik yang
dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis Hakim melalui sidang
peradilan apabila terbukti perbuatan pidana yang dilakukan dan
kalau tidak terbukti bersalah maka tersangka harus dibebaskan.9
Menurut Utrecht, pihak yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan pidana adalah negara melalui alat-alatnya. Alat-alat
negara yang menjatuhkan pidana adalah Pemerintah karena mereka
mengendalikan hukum dan oleh karenanya pemerintah berhak
memidana. Hak memidana merupakan atribut atau perlengkapan
pemerintah dan hanya yang mempunyai hak memerintah yang
8 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta &
PuKap Indonesia, 2012), h. 46. 9 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 4, 2014), h. 9.
13
dapat memaksakan dan memberlakukan kehendaknya yaitu pihak
yang mempunyai hak untuk memidana seseorang yang bersalah.10
Hal ini berarti bahwa pidana merupakan sanksi atau hukuman yang
diberikan oleh Hakim kepada orang yang melanggar hukum dan
sanksi tersebut dapat menimbulkan penderitaan pada orang
tersebut.
Bab II Buku I Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) termaktub jenis-jenis pidana yang terdiri dari dua pidana
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun penjabarannya
sebagai berikut:
a. Pidana pokok meliputi:
1) Pidana mati
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda.
b. Pidana tambahan meliputi:
1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan Hakim.
b. Pemidanaan
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana sebagai upaya
yang dilandasi hukum untuk mengenakan sanksi kepada seseorang
melalui proses peradilan pidana yang terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Kalau pidana
hukumannya sedangkan pemidanaan proses penjatuhan
hukumannya.11 Dapat dikatakan pula bahwa pemidanaan sebagai
suatu cara atau proses untuk menjatuhkan hukuman kepada orang
melakukan kejahatan dan pelanggaran. Dalam proses penjatuhan
10 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas, 1958), h. 149. 11 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Depok: Sinar Grafika, 2004), h. 21.
14
pidana dan pemidanaan terhadap orang dewasa antara lain tunduk
sepenuhnya pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan peraturan pelaksanaannya sedangkan bagi anak ada
perlakuan-perlakuan khusus sebagaimana diatur oleh Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.12
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan antara
lain:13
1) Untuk menaku-nakuti seseorang jangan sampai melakukan
kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals
preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah
melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi (speciale preventive);
2) Untuk mendidik atau memperbaiki seseorang yang melakukan
kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik perilakunya
sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
B. Kerangka Teori
Peneliti menggunakan teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini,
antara lain:
1. Teori Sosialis
Teori sosialis berkembang pada tahun 1850 M dan tokoh aliran ini
banyak dipengaruhi oleh tulisan Marx dan Engels. Teori ini mengatakan
kejahatan timbul disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak
seimbang dalam masyarakat. Teori ini menggambarkan bahwa untuk
melawan kejahatan tersebut harus diadakan peningkatan di bidang
ekonomi. Dengan kata lain, kemakmuran, keseimbangan, dan keadilan
sosial akan mengurangi terjadinya kejahatan.14
12 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,… h. 34. 13 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: PT.
Eresco, 1980), h. 3. 14 Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), h. 18.
15
2. Teori Relatif atau Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan lahir sebagai reaksi terhadap teori
absolut. Tujuan pidana menurut teori relatif bukan sekedar pembalasan,
tetapi untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.15 Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan
meliputi:16
a. Untuk mempertahankan ketertiban di masyarakat;
b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat
dari terjadinya kejahatan;
c. Untuk memperbaiki si penjahat;
d. Untuk membinasakan atau membuat jera si penjahat;
e. Untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Teori relatif adalah mencari dasar pemidanaan yaitu menegakkan
ketertiban dan tujuan pidana untuk mencegah kejahatan. Salah satu tujuan
teori ini yaitu untuk menjerakan dengan penjatuhan hukuman sehingga
dengan hukuman tersebut diharapkan si pelaku menjadi jera dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya sehingga masyarakat mengetahui atau
bahkan takut apabila melakukan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku,
mereka akan mengalami hukuman yang sama atau lebih berat (generale
preventive).17
3. Teori Intepretasi Hakim
Hakim dalam melakukan penemuan hukum, berpedoman pada
metode-metode yang mana salah satunya adalah metode interpretasi
(interpretation method). Soeroso menjelaskan bahwa metode interpretasi
atau penafsiran adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil yang
15 Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2,
Nomor 1, (2011), h. 70. 16 Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, Cet. I, 1995) h. 12. 17 Eddy O.S. Haiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014), h. 37-44.
16
tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang dikehendaki dan
yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.18
Penafsiran hakim (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada
penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwanya. Dengan kata lain, dapat terjadi juga
hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturan
yang khusus. Hakim dalam hal ini menghadapi kekosongan atau
ketidaklengkapan Undang-Undang yang mana harus diisi atau dilengkapi,
sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu
perkara.19
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Peneliti melakukan analisis kajian terdahulu sebagai bahan pertimbangan
dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian terdahulu antara lain
sebagai berikut:
1. Angga Kurnia Anggoro20 dalam Skripsinya yang berjudul Dasar
Pertimbangan Dalam Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi
Pencurian Kendaraan Bermotor Pada Pengadilan Negeri Kabupaten
Semarang). Skripsi tersebut membahas mengenai dasar pertimbangan
pemberatan pidana pada tindak pidana pencurian dan keputusan hakim
dalam memberikan pidana pada pelaku dan dalam pembuktian lalu Hakim
dalam memberikan putusan pemberatan melalui pertimbangan antara lain
berdasarkan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) dan (2) KUHAP, unsur-unsur
pada pasal 363, 365, 486 KUHP dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian Chairunisa yaitu
sama-sama membahas mengenai tindak pidana pencurian dengan
18 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 97. 19 Afif Khalid, Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal
Al ‘Adl, Volume VI, Nomor 11, (Januari-Juni 2014), h. 10-11. 20 Angga Kurnia Anggoro, Dasar Pertimbangan Dalam Tindak Pidana Pencurian Dengan
Pemberatan (Studi Pencurian Kendaraan Bermotor Pada Pengadilan Negeri Kabupaten
Semarang), Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, tahun 2007.
17
pemberatan. Namun terdapat perbedaannya penelitian terdahulu lebih
menekankan kepada dasar pertimbangan Hakim dalam tindak pidana
pencurian dengan pemberatan dan melakukan studi kasus di Pengadilan
Negeri Kabupaten Semarang, sedangkan penelitian Chairunisa
menganalisis faktor yang melatarbelakangi terjadinya pencurian dengan
pemberatan.
2. Minarsih21 dalam skripsinya yang berjudul Penanggulangan Tindak
Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Oleh Kepolisian Daerah Istimewa
Yogyakarta. Skripsi tersebut membahas upaya-upaya yang dilakukan oleh
Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari Direktorat Reserse
Kriminal Umum (Ditreskrimum), Direktorat Pembinaan Masyarakat
(Ditbinmas) dan Direktorat Samapta Bhayangkara (Distabhara) dalam
upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
Selanjutnya, membahas upaya yang dilakukan untuk mengurangi kuantitas
tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian Chairunisa yaitu
sama-sama membahas mengenai tindak pidana pencurian dengan
pemberatan. Namun terdapat perbedaannya penelitian terdahulu lebih
menekankan kepada upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam menanggulangi tindak pidana pencurian
dengan pemberatan, sedangkan penelitian Chairunisa membahas tentang
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam
Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
3. Wahyuni22 dalam skripsinya yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap
Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Kasus PN
Watampone No. 112/Pid.B/2014/PN.Wtp. Skripsi tersebut membahas
mengenai tinjauan umum mengenai tindak pidana pencurian. Selanjutnya
21 Minarsih, Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Oleh
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun 2016. 22 Wahyuni, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
(Studi Kasus PN Watampone No. 112/Pid.B/2014/PN.Wtp), Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar, tahun 2018.
18
membahas tentang pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana
pencurian dengan pemberatan dan pertimbangan Hakim terhadap Tindak
Pidana Pencurian dengan pemberatan dalam studi kasus PN Watampone.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian Chairunisa yaitu
sama-sama membahas mengenai tindak pidana pencurian dengan
pemberatan. Namun terdapat perbedaannya penelitian terdahulu
membahas tentang pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan Hakim
lalu melakukan studi kasus langsung di Pengadilan Negeri Watampone
Nomor 112/Pid.B/2014/PN.Wtp, sedangkan penelitian Chairunisa
menganalisis Putusan Pengadilan yang didapat dari Direktori Putusan
Mahkamah Agung yaitu Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
4. Wahyu Nugroho23 dalam artikel jurnalnya yang berjudul Disparitas
Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian dengan Pemberatan Kajian
terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor
1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Jurnal tersebut menganalisis disparitas putusan
Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan putusan Nomor
1055/Pid.B/2007/PN.Smg karena putusan tersebut hakim kurang
memerhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat lalu tidak
bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana
sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya dan hanya berfungsi
sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan.
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian Chairunisa yaitu
sama-sama membahas mengenai tindak pidana pencurian dengan
pemberatan. Namun terdapat perbedaannya penelitian terdahulu
menganalisis disparitas putusan yaitu antara putusan Nomor
590/Pid.B/2007/PN.Smg dengan putusan Nomor
1055/Pid.B/2007/PN.Smg, sedangkan penelitian Chairunisa hanya
23 Wahyu Nugroho, Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian dengan
Pemberatan Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor
1055/Pid.B/2007/PN.Smg, Jurnal Yudisial, Volume 5, Nomor 3, (Desember 2012), h. 271-275.
19
menganalisis satu putusan saja yaitu Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
20
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURIAN DAN TINDAK
PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA
A. Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Pencurian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pencurian berasal
dari kata “curi” yang berarti proses, perbuatan cara mencuri dilaksanakan.1
Pencurian adalah suatu perbuatan yang mengambil barang milik orang lain
dan tidak dikehendaki oleh pemiliknya dengan itikad yang tidak baik.
Tindak pidana pencurian termasuk ke dalam kategori delik kekayaan
(Vermogens Delicten). Sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP, yang
dimaksud dengan pencurian yaitu:2
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau Sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Bagian inti tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP yang
menjadi definisi semua jenis pencurian adalah:3
a. Mengambil suatu barang (enig goed)
b. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
c. Dengan maksud untuk memilikinya secara
d. Melawan hukum
Pencurian diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHP.
Menurut Cleiren, delik pencurian adalah disebut juga sebagai delik formil
atau biasa. Bagaimana cara mengambil barang tidaklah merupakan syarat
1 Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, (Medan: USU
Press, 1994), h. 8. 2 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 140. 3 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 100.
21
berat (mutlak) dalam dakwaan. Waktu dan tempat dalam hal tertentu juga
merupakan pemberatan pidana, misalnya pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup. Selain itu juga, mengambil (wegnemen)
berarti sengaja dengan maksud ada untuk memiliki. Pencurian adalah tindak
pidana yang paling umum yang tercantum di dalam semua KUHP di dunia
karena terjadi dan diatur oleh semua negara.4
2. Jenis-Jenis Pencurian
Dalam Hukum Pidana, pencurian dikelompokkan ke dalam beberapa
jenis yaitu:
a. Pencurian biasa
Pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP dan unsur-unsur
pencurian dibagi ke dalam dua unsur yaitu unsur obyektif dan unsur
subyektif. Adapun penjabarannya sebagai berikut:
1) Unsur obyektif adalah unsur yang terkait dengan tindakan atau
perbuatan pelaku, antara lain:
a) Perbuatan mengambil atau wegnemen. Maksud dari perbuatan
mengambil disini yaitu setiap perbuatan yang mengakibatkan
barang dibawah atau diluar kekuasaan pemiliknya. Dalam
pencurian, mengambil maksudnya adalah untuk dikuasai dan
sengaja untuk memiliki.
b) Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.
2) Unsur subjektif adalah unsur yang terkait dengan diri pelaku,
antara lain:5
a) Dengan maksud yakni sudah ada niat di dalam hati (mensrea)
dengan tujuan untuk mengambil barang orang lain tanpa
sepengetahuan orang tersebut.
4 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP,… h. 101-102. 5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: PT. Raja Grafika Persada,
2002), h. 91.
22
b) Untuk memiliki yakni memiliki barang secara diam-diam dan
tidak dikehendaki oleh orang lain.
c) Secara melawan hukum yakni perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku dengan mengambil barang orang lain dan bertentangan
dengan hukum.
b. Pencurian dengan Pemberatan
Pencurian ini diatur dalam Pasal 363 KUHP dan jenis pencurian
yang berbeda dengan jenis-jenis pencurian lainnya. Dengan demikian,
arti dari pencurian dengan pemberatan adalah perbuatan pencurian yang
mempunyai unsur-unsur dari perbuatan pencurian di dalam bentuknya
yang pokok, yang karena ditambah dengan lain-lain unsur sehingga
ancaman hukumannya menjadi diperberat.6
c. Pencurian ringan
Pencurian ringan atau yang disebut juga “geprivilegeerde diefstal”
adalah suatu perbuatan pencurian yang memiliki unsur-unsur pencurian
di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-
unsur yang lain ancaman hukumannya menjadi diperingan.7 Pencurian
ini diatur dalam Pasal 364 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:8
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4,
begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima
puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda sebanyak sembilan ratus
rupiah”.
6 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito,
1979), h. 109. 7 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 155. 8 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi,… h. 141.
23
Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHP, unsur-unsur pencurian
ringan antara lain:9
1. Pencurian di dalam bentuknya yang pokok.
2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama.
3. Tindak pidana pencurian, yang untuk mengusahakan masuk ke
dalam tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak
diambilnya, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran,
pengrusakan, pemanjatan atau telah memakai kunci palsu, perintah
palsu, atau jabatan palsu.
Pencurian seperti itu disebut pencurian ringan, jika:10
1. Tidak dilakukannya dalam sebuah tempat kediaman.
2. Tidak dilakukan diatas sebuah pekarangan tertutup yang diatasnya
terdapat sebuah tempat kediaman.
3. Harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratu lima puluh
rupiah.
d. Pencurian dengan kekerasan
Pencurian dengan kekerasan adalah pencurian yang dilakukan
dengan melukai fisik baik sengaja maupun tidak disengaja yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau disebut juga
sebagai “perampokan”. Dalam Pasal 365 KUHP mengatur tentang
kejahatan ini yang berbunyi sebagai berikut:11
(1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
9 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 156. 10 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 157. 11 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi,… h. 141-142.
24
tertangkap basah, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau
peserta yang lain, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”
(2) Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun jika:
1. Perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum
atau dalam kereta api, atau trem yang sedang berjalan;
2. Perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
3. Masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu; 4. Perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan
pidana penjara lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah
satu yang diterangkan nomor 1 dan 3.
Bagian inti tindak pidana ini sama dengan pencurian biasa (Pasal
362 KUHP), yaitu:12
1. Mengambil suatu barang
2. Barang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
3. Maksud memiliki barang itu
4. Dengan melawan hukum, lalu ditambah
5. Dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (ayat (1)).
e. Pencurian dalam keluarga
Yang dimaksud dengan pencurian dalam keluarga menurut Pasal
367 KUHP berbunyi sebagai berikut:13
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam Bab
ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan dan
tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka
terhadap pembuat atau pembantu ini tidak mungkin diadakan
tuntutan pidana.
12 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP,… h. 78. 13 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),… h. 130-131.
25
(2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau
semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat
kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan
penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut Lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat
di atas berlaku juga bagi orang itu.
b. Pencurian dengan Pemberatan
Menurut M. Sudrajat Bassar, pencurian dengan pemberatan termasuk
ke dalam pencurian istimewa karena pencurian ini dilakukan dengan cara
atau keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat.14 Sebagaimana dalam
Pasal 363 KUHP berbunyi sebagai berikut:15
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Pencurian ternak;
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi
atau gempa laut, gunung Meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya
perang;
3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada
disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau
untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan
merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak
kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah
satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
Unsur-Unsur Pencurian dengan Pemberatan
Pencurian dengan pemberatan tidak terlepas dari unsur-unsur
memberatkan yang ada dalam pencurian ini. Adapun unsur-unsur yang
14 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta
Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 2, 2009), h. 56. 15 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),… h. 128-129.
26
terdapat dalam pencurian dengan pemberatan antara lain sebagai
berikut:
1. Unsur-unsur pencurian dalam bentuk pokok yang terdapat dalam
Pasal 362 KUHP;
2. Unsur-unsur yang memberatkan yaitu terdapat dalam Pasal 363
KUHP, antara lain:
a. Pencurian ternak
Pasal 101 memberi pengertian ternak yaitu semua
binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak dan babi.
Hewan yang berkuku satu misalnya adalah kuda dan yang
memamah biak misalnya adalah sapi dan kerbau.16 Ternak
merupakan unsur yang memberatkan karena di Indonesia
sendiri, ternak termasuk peliharaan bagi rakyat dan kekayaan
yang penting.
b. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan
atau bahaya perang
Dampak dari kericuhan dan kekacauan karena bencana
tersebut kemudian barang-barang tidak terjaga dan tidak
diperhatikan oleh sang pemiliknya juga sangat memudahkan
pelaku untuk melakukan pencurian. Hal ini menjadi alasan
pemberat pidana karena dilakukan pada saat bencana alam.
c. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki
oleh yang berhak
Dalam Pasal 98 KUHP, malam artinya antara matahari
terbenam dan terbit. Rumah adalah sebuah bangunan yang
dijadikan tempat tinggal oleh manusia. Kemudian tempat
kediaman atau woning adalah setiap bangunan yang
dipergunakan oleh manusia sebagai tempat kediaman.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan sebuah pekarangan
16 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 111.
27
tertutup adalah sebidang tanah yang mempunyai batas-batas
yang dapat dilihat dan batas-batas mana yang membatasi tanah
tersebut dari tanah-tanah di sekitarnya. Tidak diketahui atau
diluar pengetahuan itu adalah bahwa si pembuat telah masuk
ke dalam rumah atau pekarangan tidak dengan pengetahuan
orang yang berhak atas rumah atau pekarangan tersebut
sedangkan tidak dikehendaki atau diluar keinginan adalah
bahwa si pembuat telah berada di dalam rumah atau
pekarangan itu dengan tidak meminta izin terlebih dahulu dari
orang yang berhak atas rumah atau pekarangan tersebut.17
d. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
Pelaku pencurian yaitu orang yang melakukan secara
bersama-sama dengan mengambil barang milik orang lain
sesuai tujuan bersama dan mempunyai niat yang disengaja.
Dalam hal ini, pelaku tidak hanya satu orang saja atau disebut
juga dengan Turut Serta (deelneming).
e. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan
dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
palsu.
1) Memanjat
Pasal 99 KUHP memberi pengertian tentang
memanjat termasuk pula masuk melalui lubang yang
sudah ada terlebih dahulu namun bukan untuk masuk atau
melalui lubang di dalam tanah yang secara sengaja digali,
begitu juga menyebrangi selokan ataupun parit yang
digunakan sebagai batas penutup.18
2) Merusak
Menurut Prof. Mr. Satauchid Kartanegara, merusak
adalah perbuatan yang hanya menimbulkan kerusakan
yang kecil saja.19
17 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 113-114. 18 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP,… h. 104-105. 19 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 139.
28
3) Kunci Palsu
Pasal 100 KUHP memberi pengertian tentang anak
kunci palsu termasuk pula perkakas yang tidak dimaksud
untuk membuka kunci.20 Jadi, dalam pengertian kunci
palsu itu termasuk juga benda-benda seperti kawat, paku,
obeng dan sebagainya.21
4) Perintah Palsu
Perintah palsu ini hanyalah menyangkut tentang
perintah palsu untuk memasuki tempat kediaman dan
pekarangan orang lain.22
5) Seragam Palsu
Yang dimaksud dengan seragam palsu adalah
seragam yang dipakai oleh orang-orang yang tidak baik,
misalnya untuk masuk tempat kediaman atau rumah orang
lain untuk melakukan kejahatan memakai pakaian
seragam polisi atau jaksa.23
B. Penyertaan Tindak Pidana dalam KUHP
1. Pengertian Penyertaan
Penyertaan atau yang dikenal dengan istilah deelneming ialah
perbuatan yang mengacu kepada keikutsertaan seseorang dan pembantuan
dalam melakukan suatu tindak pidana. Menurut Kanter dan Sianturi,
penyertaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih yang melakukan suatu tindak pidana dengan mengambil bagian
untuk mewujudkan suatu tindak pidana.24 Dengan kata lain, penyertaan
(deelneming) adalah terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
lebih dari satu orang dimana antara orang satu dengan yang lain memiliki
20 Irfan Iqbal Munthahhari, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 44. 21 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 140. 22 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 141. 23 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,… h. 141-142. 24 S.R. Sianturi dan E.Y. Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Storia Grafika, 2002),
h. 338.
29
hubungan atau keterkaitan dengan perbuatan dalam suatu tindak pidana.25
Pada kenyataannya, terjadinya suatu tindak pidana seringkali dilakukan
oleh pelaku yang lebih dari satu orang dan bekerja sama dengan membagi
tugas untuk melakukan kejahatan tersebut dan hasilnya dibagi secara
bersama-sama.
Dapat dikatakan juga bahwa penyertaan merupakan pengertian yang
meliputi semua bentuk turut serta atau orang-orang terlibat baik secara
psikis maupun fisik melakukan perbuatan masing-masing sehingga
melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang bekerja sama terlibat
untuk mewujudkan suatu tindak pidana, perbuatan mereka berbeda satu
dengan yang lain atau mereka melakukan tugasnya masing-masing, namun
bisa tidak sama juga apa yang ada dalam batin mereka terhadap tindak
pidana ataupun terhadap peserta lainnya. Akan tetapi, dari perbedaan
tersebut dapat terjadilah suatu hubungan erat dimana perbuatan yang satu
menunjang perbuatan yang lainnya dan semuanya mengarah ke
terwujudnya suatu tindak pidana.26
Menurut Roeslan Saleh27, turut serta melakukan mengakibatkan pula
adanya kesimpulan mengenai pembuat bahwa ia tidak melakukan secara
sendirian. Harus ada orang lain yang turut melakukan perbuatan tersebut
dan bukan orang lain itu harus dituntut pula. Mungkin saja ada beberapa
pelaku, tetapi hanya seorang saja yang dituntut. Memang harus dibuktikan
terlebih dahulu bahwa yang dituntut turut serta melakukan itu terjadi
bersama satu orang atau lebih. Tidak pula harus diketahui siapa-siapakah
itu. Mereka yang turut serta melakukan karenanya tidak perlu menjadi
mereka yang turut serta sebagai tersangka.
Menurut Satochid Kartanegara, penyertaan pada suatu tindak pidana
apabila bersangkut paut dengan beberapa orang atau lebih yang memiliki
25 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 225. 26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),
h. 71. 27 Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014), h. 70.
30
hubungan dengan tindak pidana yang terjadi.28 Berdasarkan sifatnya,
penyertaan atau deeleneming dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai
berikut:29
a. Bentuk penyertaan berdiri sendiri
Pertanggungjawaban dari masing-masing pelaku dinilai atau
dihargai secara sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang
dilakukan olehnya. Yang termasuk dalam bentuk ini adalah mereka
yang melakukan dan yang turut serta juga melakukan tindak pidana.
b. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri
Pertanggungjawaban dari pelaku yang digantungkan pada
perbuatan pelaku yang lain. Yang termasuk dalam bentuk ini adalah
pembujuk, pembantu dan juga yang menyuruh melakukan suatu
tindak pidana.
Penyertaan yang tidak dapat dihindarkan (Noodzakelijke Deelneming
atau Necessary Complicity) tidak dapat terjadi apabila tindak pidana yang
dilakukan tanpa adanya penyertaan dengan orang yang lain. Jadi, tindak
pidana dapat terjadi kalau ada orang lain sebagai penyerta. Berikut ini
adalah delik-delik yang termasuk dalam kategori ini:30
a. Menyuap atau membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak
pilih (Pasal 149);
b. Membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing (Pasal
238);
c. Bigami yakni beristri atau bersuami dua (Pasal 279);
d. Perzinahan (Pasal 284);
e. Melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah 15
tahun (Pasal 287);
28 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, (Jakarta: Balai
Lektur Mahasiswa, 1998), h. 497. 29 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012),
h. 204. 30 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 212.
31
f. Menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345).
2. Bentuk-Bentuk Penyertaan
Bentuk-bentuk penyertaan diatur dalam KUHP pada Bab V Pasal 55
dan Pasal 56 KUHP. Dalam Pasal 55 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:31
(1) Dipidana sebagai pembuat delik
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sedangkan dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:32
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua
pembagian besar, yaitu:33
1. Pembuat atau Dader (Pasal 55) yang terdiri dari:
a. Pelaku (pleger);
b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
c. Yang turut serta (medepleger);
d. Penganjur (uitlokker).
2. Pembantu atau Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari:
a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
31 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi,… h. 26. 32 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi,… h. 27. 33 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 205.
32
Adapun penjabarannya sebagai berikut:
1. Pelaku (Pleger)
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggungjawab
atas kejahatan.34 Menurut Mahrus Ali, pelaku atau pleger adalah orang
yang secara materiil nyata melakukan perbuatan secara sempurna
memenuhi semua unsur dari rumusan delik yang terdapat dalam
hukum pidana yang dilanggar, oleh karena itu pada prinsipnya ia
merupakan orang yang secara sendiri maupun terkait dengan orang
lain dapat dijatuhi sanksi pidana.35
2. Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger)
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan
perantaraan orang lain, sedangkan perantara itu hanya digunakan
sebagai alat. Oleh karena itu, ada dua pihak yaitu pembuat langsung
(manus ministra atau auctor physicus) dan pembuat tidak langsung
(manus domina atau auctor intellectualis).36
Unsur-unsur pada doenpleger adalah:37
a. Alat yang dipakai adalah manusia;
b. Alat yang dipakai berbuat;
c. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat
dipertanggungjawabkan, antara lain sebagai berikut:38
a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya, yang diatur dalam
Pasal 44;
b. Bila ia berbuat karena daya paksa, yang diatur dalam Pasal 48;
34 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 206. 35 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 124. 36 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 207. 37 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 117. 38 Herman Sitompul, Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum dan
Keadilan, Volume 6, Nomor 2, (September 2019), h. 113.
33
c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah, yang diatur
dalam Pasal 51 ayat (2);
d. Bila ia keliru mengenai salah satu unsur delik;
e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk
kejahatan yang bersangkutan.
Menurut Memorie van Toelichting (MvT), unsur menyuruh
melakukan adalah seseorang yaitu manusia. Untuk dapat
dikategorikan sebagai doen pleger paling sedikit itu harus ada dua
orang dimana satu orang bertindak sebagai perantara karena doen
pleger yaitu seseorang yang melakukan tindak pidana namun ia tidak
melakukannya secara sendiri tetapi menyuruh orang lain dengan
syarat orang yang disuruh tidak menolak keinginan orang yang
menyuruh lakukan.39
3. Orang yang turut serta (Medepleger)
Definisi turut serta ialah melakukan suatu tindak pidana dengan
cara bersama-sama yaitu melakukan kerjasama yang masing-masing
pelaku berbeda peran dan tugasnya dan hal tersebut sudah
direncanakan terlebih dahulu. Menurut Memorie van Toelichting
(MvT), turut serta atau medepleger adalah orang yang dengan sengaja
turut berbuat atau turut mengerjakan pula terjadinya sesuatu. Turut
mengerjakan sesuatu, yaitu:40
a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b. Salah satu memenuhi semua rumusan delik;
c. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
39 El-Roomey, Pleger, Doen Pleger, Uitlokker, Medepleger dan Medeplichtige, diakses
dari http://elroomey.blogspot.com/2014/12/pleger-doen-pleger-uitlokker-
medepleger_30.html#:~:text=Menyuruh%20melakukan%20(doen%20plegen).,diancam%20pidana
%20sebagaimana%20seorang%20pelaku., pada tanggal 03 Januari 2021. 40 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 208.
34
Syarat adanya medepleger, antara lain:41
a. Ada kerja sama secara sadar dan dilakukan secara sengaja untuk
bekerja sama dan dilarang Undang-Undang;
b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan
selesainya delik yang bersangkutan;
Kerja sama atau pelaksanaan bersama secara fisik ialah kerja
sama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung
menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan. Dibandingi dengan
bentuk penyertaan lain, turut serta melakukan mempunyai ciri khas
yang berbeda karena mensyaratkan adanya perbuatan bersama
(meedoet) antara pelaku materiel (pleger) dan juga pelaku turut serta
melakukan (medepleger).42
4. Penganjur (Uitlokker)
Menurut Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, yang dimaksud dengan
penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana yang
ditentukan oleh Undang-Undang, yaitu memberi atau menjanjikan
sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan,
ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan.43
Pelaku dalam penganjuran paling sedikit ada dua orang atau lebih
dan kedudukannya yaitu masing-masing terdapat dua pihak sebagai
pihak yang menganjurkan dan pihak yang melakukan anjuran. Akan
tetapi yang melakukan anjuran, penganjur bukan sebagai alat yang
41 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:
Universitas Tarumanegara, 1995), h. 62. 42 Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana,… h. 59. 43 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 208-209.
35
tidak dapat diminta pertanggungjawaban tetapi orang yang melakukan
anjuran dapat dihukum dan dimintakan pertanggungjawabannya.44
Syarat penganjuran yang dapat dipidana, antara lain:45
a. Ada kesengajaan menggerakkan orang lain;
b. Menggerakkan dengan sarana atau upaya yang terdapat dalam
Undang-Undang;
c. Putusan kehendak pembuat materiil ditimbulkan karena upaya-
upaya tersebut;
d. Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan.
5. Pembantuan (Medeplichtige)
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 56 KUHP,
pembantuan terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Mirip dengan turut
serta (medeplegen), namun terdapat perbedaannya yaitu terletak
pada:46
1) Sifat pembantuan perbuatannya hanya menunjang,
sedangkan turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
2) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan
tanpa disyaratkan harus Kerjasama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta orang
yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan
cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60
KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap
dipidana;
4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang
bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta di-
44 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 2013), h. 74. 45 Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 54. 46 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 210.
36
pidana sama.
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan47. Yang dilakukan
dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan
(maksud). Mirip dengan penganjuran (uitlokking). Namun,
terdapat perbedaannya yang terletak pada niat atau kehendak,
pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiil sudah ada
sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan
dalam penganjuran kehendak melakukan kejahatan pada pembuat
materiil ditimbulkan oleh si penganjur.48
c. Pertanggungjawaban Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Menurut hukum, tanggung jawab adalah akibat dari suatu perbuatan
yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu tindakan.49
Sedangkan menurut Simon, pidana adalah suatu penderitaan yang
ditimpakan kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh Undang-Undang
pidana dihubungkan dengan terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma,
dengan suatu putusan hakim yang telah dijatuhkan kepada seseorang yang
bersalah atau dalam hal ini disebut pelaku.50 Selanjutnya,
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban oeh seseorang
terhadap tindak pidana yang dilakukan olehnya. Pertanggungjawaban
pidana dapat terjadi karena telah adanya tindak pidana yang dilakukan.51
Syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau seseorang dapat
47 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,… h. 211. 48 Agus Kasiyanto, Teori dan Praktik Sistem Peradilan Tipikor Terpadu di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2018), h. 24. 49 Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 45. 50 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), h. 13. 51 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2006), h. 70.
37
dikenakan pidana harus ada unsur kesalahan yaitu berupa kesengajaan atau
kealpaan.52
Kepentingan sosial yang terkandung dalam aturan pidana harus
diterapkan kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali dengan tujuan
untuk menjaga sistem sosial yaitu melalui penegakan norma hukum.
Berdasarkan aturan tersebut, tiap orang melakukan perbuatan yang
dilarang akan terkena aturan itu (hukuman).53 Bila dilihat dari perumusan
delik yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pada umumnya dirumuskan secara tunggal yakni hanya orang
peroranglah yang dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukannya.
Dengan ilustrasi bunyi “barangsiapa” yang menunjukkan bahwa hanya
seorang saja yang dapat mempertanggungjawabkan atas terlanggarnya
perumusan delik tersebut. Oleh karena itu, setiap orang bertanggungjawab
atas perbuatannya yang melanggar hukum.54
Hal yang sama dengan delik turut serta dimana kepentingan
masyarakat yang menekankan dilarangnya turut serta melakukan tindak
pidana untuk menjaga ketertiban dalam sistem sosial. Bagi pelaku turut
serta, bentuk kesalahan yang diharuskan adalah kesengajaan (dolus) dalam
bekerja sama dan juga melakukan tindak pidana. Syarat-syarat nyata bagi
pertanggungjawaban pelaku turut serta tidak bergantung kepada
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana. Dalam konteks
pertanggungjawaban pelaku turut serta, syarat nyata (conditioning facts)
hanya berhubungan dengan kewajiban pelaku turut serta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.55 Jadi,
52 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
(Jakarta: RajaGrafindo, 1996), h. 11. 53 Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana,… h. 113. 54 Aknes Susanty Sambulele, Tanggung Jawab Pelaku Penyertaan Dalam Tindak Pidana,
Jurnal Lex Crimen, Volume II, Nomor 7, (November 2013), h. 88. 55 Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana,… h. 118-119.
38
penyertaan dari aspek pertanggungjawaban pidana bukan mereka saja
yang melakukan perbuatan pidana sesuai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)
KUHP namun mereka juga yang melanggar Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP.
Pertanggungjawaban penyertaan (deelneming) dalam doktrin hukum
dapat dibagi dalam penyertaan yang berdiri sendiri atau disebut
zelfstandige vorm van deelneming dan penyertaan yang tidak berdiri
sendiri atau disebut onzelfstandige vorm van deelneming. Yang dimaksud
dengan penyertaan yang berdiri sendiri adalah pertanggungjawaban tiap
pelaku sendiri-sendiri sesuai dengan perbuatannya, sedangkan penyertaan
yang tidak berdiri sendiri adalah pertanggungjawaban pelaku yang satu
digantungkan pada perbuatan pelaku lainnya. Maksudnya ialah apabila
pelaku yang satu dihukum, pelaku lainnya juga dihukum.56
Pertanggungjawaban pidana pelaku turut serta yang termasuk berdiri
sendiri turut memengaruhi struktur dalam “menyuruh lakukan”. Ciri khas
dari suruh lakukan (doenpleger) yang menempatkan pelaku materiel
sebagai alat tanpa kehendak (manus ministra) yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan tidak dapat dipertahankan lagi karena hal itu
berlaku bagi seluruh bentuk penyertaan. Dengan kata lain, turut serta dan
penyertaan tidak serta merta menjadikan pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan dipidana sebagai pelaku turut serta dan
peserta.57
56 Amiruddin, Hukum Pidana Indonesia, (Jogjakarta: Genta Publishing, Cet. I, 2015), h.
171. 57 Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana,… h. 120.
39
BAB IV
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG
DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DALAM PUTUSAN NOMOR
143/PID.B/2015/PN.DMK.
A. Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Pencurian dengan
Pemberatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)1, yang dimaksud dengan
faktor adalah hal atau keadaan yang ikut menyebabkan terjadinya sesuatu.
Sedangkan pencurian dengan pemberatan sendiri merupakan pencurian yang
ancaman hukumannya diperberat karena jenis pencurian ini dilakukan dalam
keadaan yang memberatkan. Berdasarkan data statistik Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri)2, pada tahun 2020 angka kriminalitas di Indonesia
semakin meningkat salah satunya adalah pencurian dengan pemberatan
sebanyak 616 kasus.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tindak pidana pencurian dengan
pemberatan tidak bisa dianggap remeh dan pencurian ini disebabkan oleh
berbagai faktor yang mendorong pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut.
Seperti putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk oleh AD sebagai pelaku turut
serta yang melakukan pencurian dengan pemberatan disebabkan oleh faktor
ekonomi karena ia merupakan tulang punggung keluarga dan harus memenuhi
kebutuhan hidup baik untuk dirinya maupun keluarganya. Namun, pada
mulanya barang hasil curian tersebut akan dibagi dua hasilnya dengan
temannya yang bernama K akan tetapi perbuatan AD bersama temannya
tidaklah mulus dan sudah ketahuan duluan dengan korbannya.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Faktor, diakses dari https://kbbi.web.id/faktor,
pada tanggal 16 Januari 2021. 2 Farouk Arnaz, Angka Kriminal Naik Termasuk Pencurian, diakses dari
https://www.beritasatu.com/nasional/655089/angka-kriminal-naik-termasuk-pencurian, pada
tanggal 16 Januari 2021.
40
Peneliti berpendapat, faktor ekonomi merupakan faktor yang sangat
dominan atau berpengaruh dalam terjadinya suatu kejahatan. Faktor ini
membuat seseorang akan memiliki keinginan untuk mendapatkan uang dengan
cara yang cepat dan dalam waktu singkat tanpa memikirkan kerugian bagi
korban. Kejahatan di Indonesia, salah satunya didorong oleh krisis ekonomi
termasuk juga ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi.3 Berkaitan
dengan teori sosialis, dimana teori ini mengemukakan timbulnya kejahatan
disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam
masyarakat, maka dari itu dapat dilihat dari kesulitan ekonomi yang dialami
oleh AD dan ia mengambil jalan pintas dengan melakukan pencurian guna
bertahan hidup bersama keluarganya dan belanja untuk sehari-hari. Selain itu,
dampak dari persaingan ekonomi yang sangat ketat dan tidak dipungkiri lagi
sulitnya mendapat pekerjaan di zaman yang serba modern ini, membuat AD
tidak memikirkan jangka panjang akibat dari perbuatannya.
B. Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Dalam
Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
1. Duduk Perkara
Hari Jum’at tanggal 17 Juli 2015, AD baru saja keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan Pati. Sebelumnya, AD telah menelpon temannya yang
bernama K untuk janjian bertemu di daerah Ngembal Kudus. Setelah
sampai dirumah K pada saat itu ada seorang laki-laki yang mengendarai
sepeda motor Honda Vario yang AD tidak kenal yang telah menunggu di
depan rumah K. Kemudian, sekitar jam 21.00 WIB datang seorang laki-
laki dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna Silver
Hitam kerumah K yang tidak dikenal oleh AD. Selanjutnya, sekitar jam
21.30 WIB AD bersama dengan K dan satu orang laki-laki yang tidak AD
kenal pergi dengan berboncengan tiga dengan menggunakan sepeda motor
Yamaha Jupiter Z warna Silver, sedangkan seorang laki-laki lagi
3 Anang Priyanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 77.
41
mengendarai sepeda motor Honda Vario warna merah hitam mengikuti
dari belakang.
Setelah sampai di jalan raya arah Purwodadi, AD berbelok kearah
kanan melalui jembatan dan setelah sampai dipertigaan jalan desa yang
terletak diarea persawahan diturunkan didekat peternakan ayam yang ada
Pos Ronda atau Pos Keamanan. Pada saat itu K langsung mengeluarkan
alat-alat berupa tank bergagang warna merah dan obeng pipih yang
gagangnya terbuat dari plastik warna hijau dan merah yang pada saat itu
disimpan oleh K dengan cara diselipkan di celana bagian samping. Singkat
cerita, AD dan K berhenti di sebuah rumah milik Korban PP sekitar pukul
02.00 WIB lalu tugas AD adalah menunggu di depan rumah untuk
mengawasi lalu temannya masuk dengan mencongkel atau merusak pintu
rumah korban. Dikarenakan kondisi depan rumah korban yang aman, AD
masuk kerumah untuk membantu temannya yaitu K mencuri sepeda motor
lalu ketika hendak memutar posisi motor untuk dibawa keluar, korban
yang sedang tertidur mendengar suara berisik di dalam rumahnya lalu
terbangun memergoki dengan mengarahkan sinar lampu baterai kearah K
dan terdakwa AD. Kemudian, karena terkejut AD dan temannya yang
bernama K langsung lari keluar dari rumah korban, akan tetapi terdakwa
berhasil ditangkap oleh warga namun temannya yang bernama K berhasil
kabur. Disini AD dan K belum sempat memiliki sepeda motor tersebut
karena sudah ketahuan dengan korban.
2. Amar Putusan
a. Menyatakan Terdakwa AD terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dalamm keadaan
memberatkan”;
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 11 (sebelas) bulan;
c. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
42
d. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
e. Menetapkan barang bukti berupa:
1) (Satu) unit sepeda motor Honda Beat warna hitam No. Pol.: H-
6427-ADE, Nomor Rangka: MH1JFR113FK086177, Nomor
Mesin: JFR1E-1082455;
2) (Satu) buah kunci pintu rumah yang terbuat dari kayu jati.
Dikembalikan kepada saksi PP (Alm);
3) (Satu) buah tank gagang karet warna merah.
Dirampas untuk dimusnahkan.
3. Analisis Peneliti
Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk mengadili sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)4. Dalam
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP,
maksud mengadili (to adjudicate) ialah tindakan Hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas jujur, bebas dan
tidak memihak (berat sebelah) di sidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.5
Pertimbangan Hakim merupakan aspek yang sangat penting untuk
mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan
(ex aequo et bono) dan kepastian hukum, disamping itu terdapat manfaat
bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus
teliti, cermat, dan baik. Jika pertimbangan hakim itu tidak teliti, cermat,
dan baik maka putusan hakim tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung.6
4 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 229-230. 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. 6 Mukti Aro, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. V, 2004), h. 140.
43
Menurut Lilik Mulyadi, hakekat pertimbangan hakim sebagai
pembuktian dari unsur-unsur suatu delik apakah perbuatan terdakwa
memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum sehingga pertimbangan tersebut relevan atau sesuai terhadap amar
putusan atau diktum putusan hakim.7 Pada saat Hakim menyatakan
pemeriksaan dalam persidangan ditutup, selanjutnya hakim
mempertimbangkan dengan memeriksa dan mengadili suatu perkara yaitu
mengadakan musyawarah untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya
sesuai dengan tujuan hukum.8 Dalam Pasal 197 ayat (1) d KUHAP
mengatur tentang pertimbangan hakim yang berbunyi:9
“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa”.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan salah satu asas pidana
yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP10, yang dimaksud dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan
adalah tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
tersebut dilakukan. Dalam hal ini, terdakwa dapat dijatuhkan pidana oleh
Hakim apabila terdakwa terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan
terhadapnya. Tetapi, tidak bisa dikenakan pidana begitu saja namun harus
didukung dengan alat bukti yang sah sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Pasal 183 KUHAP:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
7 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktek
Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h. 193. 8 AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya
Yogyakarta, 2014), h. 148. 9 Irfan Iqbal Munthahhari, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 337. 10 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),… h. 3.
44
Pasal 184 ayat (1) KUHAP:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Sebagaimana yang kita ketahui, proses peradilan pidana di Indonesia
dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang Pengadilan. Dalam pemeriksaan di pengadilan, kasus pencurian
dengan pemberatan yang sedang diteliti oleh peneliti yaitu pada Putusan
Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk, hakim dalam mengambil putusan
berdasar pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yaitu keterangan saksi,
keterangan terdakwa, dan terdapat juga barang-barang bukti. Dalam hal
keterangan saksi, merupakan alat bukti yang paling pertama dan utama
dikarenakan saksi ini adalah orang yang melihat sendiri, mendengar
sendiri, dan mengalami sendiri.
Sebelum saksi memberikan kesaksiannya, ia wajib disumpah terlebih
dahulu sesuai dengan agama masing-masing dan pengucapan sumpah
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Selain itu,
pentingnya sumpah adalah ketika saksi memberikan keterangannya dalam
persidangan dapat memperkuat keterangannya sebagai alat bukti dan
meyakinkan Hakim untuk mendapatkan kebenaran bahwa tindak pidana
tersebut benar-benar terjadi. Apabila saksi tidak mau disumpah maka ia
dapat ditahan paling lama 14 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat
(1) KUHAP. Dalam putusan tersebut, terdapat 4 saksi yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Saksi-saksi tersebut antara lain:
1. PP (alm). Ia merupakan korban pencurian yang dilakukan oleh
terdakwa.
2. MH. Ia merupakan tetangga satu desa dari saksi PP (alm).
3. SS. Ia merupakan Kepala Desa Babat, Kecamatan Kebonagung,
Kabupaten Demak.
45
4. AD. Ia merupakan anggota POLRI yang bertugas di wilayah hukum
Demak Polres dan berdinas di Polsek Kebonagung.
Setelah saksi-saksi tersebut memberikan keterangannya, terdakwa
menyatakan benar setiap keterangan yang diberikan oleh saksi dan
terdakwa tidak mengajukan saksi yang meringankan atau disebut juga
sebagai saksi a de charge. Selain saksi-saksi, terdakwa sendiri pun
memberikan keterangannya kemudian antara keterangan saksi dengan
keterangan terdakwa sangatlah benar dan sesuai. Dengan demikian dari
alat dan barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum memiliki
keterkaitan satu sama lain.
Terdakwa dalam hal ini mengakui segala perbuatannya serta tidak
mengajukan pembelaan (pledoi) atas keterangan-keterangan yang
diberikan oleh saksi. Perbuatan terdakwa AD didakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan dakwaan alternatif yaitu melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-
3, ke-4 dan ke-5 KUHP dan melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3, ke-4, dan
ke-5 KUHP Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Namun, dalam tuntutan pidana
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terdakwa
AD telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak
Pidana Percobaan Pencurian dalam keadaan memberatkan sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3, ke-4, dan ke-5
KUHP Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kedua atau
subsidairnya dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (Satu) Tahun
dikurangi selama terdakwa ditahan.
Setelah Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan atau requisitoir,
terdakwa mengajukan permohonan yakni mohon agar diberi keringanan
hukuman karena mempunyai keluarga dan merupakan tulang punggung
keluarga. Akan tetapi, dalam putusan Nomor 133/Pid.B/2014/PN. Pti yang
mana terdakwa pernah dihukum juga karena melakukan tindak pidana
penggelapan, permohonannya juga sama dengan putusan Nomor
46
143/Pid.B/2015/PN.Dmk dan terdakwa ini tetap melakukan tindak pidana
lagi serta tidak menyesal akan perbuatannya.
Menurut peneliti, Hakim juga wajib memperhatikan faktor
memberatkan dan meringankan dari si terdakwa. Adapun faktor
memberatkan dan meringankan dalam Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk.
Faktor memberatkan antara lain:
a. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
b. Terdakwa pernah dihukum.
Faktor meringankan antara lain:
a. Terdakwa selama persidangan selalu bersikap sopan.
b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
c. Terdakwa belum menikmati hasilnya.
Berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan
bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana percobaan
pencurian dalam keadaan memberatkan dengan dakwaan subsidairnya.
Lain halnya dengan Hakim yang memeriksa terlebih dahulu dengan
mempertimbangkan dakwaan primair dalam putusan ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3, ke-4, dan ke-5, yang mana unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Unsur barang siapa
Di depan persidangan, setelah diperiksa pada awal persidangan
identitas terdakwa AD benar dan sesuai dengan apa yang telah
diuraikan Penuntut Umum dalam dakwaannya sehingga tidak terjadi
error in persona terhadap orang yang telah dihadapkan dimuka
persidangan oleh Penuntut Umum.
2. Mengambil barang sesuatu
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
berdasarkan keterangan para saksi, barang bukti serta keterangan
47
terdakwa sendiri terungkap fakta bahwa terdakwa bersama K (DPO)
telah mengambil dan berpindah tempat barang berupa satu unit sepeda
motor Honda Beat warna hitam No. Pol.: H-6427-ADE, Nomor
Rangka: MH1JFR113FK086177, Nomor Mesin: JFR1E-1082455
pada hari Sabtu tanggal 18 Juli 2015, sekitar jam 02.00 WIB, di dalam
sebuah rumah milik saksi PP (alm) yang terletak di Desa Babat,
Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak. Barang tersebut
termasuk ke dalam pengertian barang karena mempunyai nilai
ekonomis dan dapat diperjualbelikan sudah dipindahkan tempat dari
tempat semula ke tempat lain walaupun hanya bergeser di tempat yang
sama namun telah berpindah dari tempat semula secara paksa ke
dalam yang pengambil / Terdakwa beserta temannya bukan atas
kehendak dari pemiliknya atau izin dari saksi-saksi PP (Alm), oleh
karena itu perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian
mengambil suatu barang.
3. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
berdasarkan keterangan dari para saksi, barang bukti serta keterangan
terdakwa sendiri di persidangan terungkap bahwa barang berupa satu
unit sepeda motor Honda Beat warna hitam No. Pol.: H-6427-ADE,
Nomor Rangka: MH1JFR113FK086177, Nomor Mesin: JFR1E-
1082455 adalah milik saksi korban PP (Alm) dan bukanlah milik
terdakwa.
4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
berdasarkan keterangan dari para saksi, barang bukti, serta keterangan
terdakwa sendiri di persidangan terungkap bahwa barang berupa satu
unit sepeda motor Honda Beat warna hitam No. Pol.: H-6427-ADE,
Nomor Rangka: MH1JFR113FK086177, Nomor Mesin: JFR1E-
1082455 dan Terdakwa mengetahui bahwa barang tersebut adalah
milik orang lain dan terdakwa menghendaki untuk memiliki barang
48
tersebut karena ingin memanfaatkan barang tersebut dengan cara
mengambilnya secara paksa dari PP (Alm) namun keburu ketahuan
pemiliknya namun barang tersebut telah berpindah dari tempat semula
dan hal tersebut termasuk ke dalam pengertian dengan sengaja dan
Terdakwa mengambil barang tersebut tanpa seizin para pemiliknya
dengan maksud untuk dimiliki terdakwa.
5. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
berdasarkan keterangan dari para saksi, barang bukti, serta keterangan
terdakwa sendiri di persidangan terungkap bahwa barang berupa satu
unit sepeda motor Honda Beat warna hitam No. Pol.: H-6427-ADE,
Nomor Rangka: MH1JFR113FK086177, Nomor Mesin: JFR1E-
1082455 pada malam hari tepatnya pada hari Sabtu tanggal 18 Juli
2015, sekitar jam 02. 00 WIB, di dalam sebuah rumah milik saksi PP
(Alm) yang terletak di Desa Babat, Kecamatan Kebonagung,
Kabupaten Demak.
Semua unsur dalam dakwaan primair telah terpenuhi, Hakim
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan dakwaan kesatu yaitu
terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3, ke-4 dan ke-5 KUHP. Peneliti
berpendapat, Hakim sudah tepat mengambil keputusan yaitu mengadili
terdakwa dengan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan.
Akan tetapi, hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim kepada terdakwa ini
sangatlah minim dan lebih rendah dari apa yang dituntut oleh Jaksa
Penuntut Umum karena terdakwa sebelum melakukan tindak pidana ini
baru saja keluar dari Lembaga pemasyarakatan dengan kasus penggelapan
dalam Putusan Nomor 133/Pid.B/2014/PN.Pti dan sudah pernah dihukum
atau disebut juga sebagai residivis (recidivice). Maka dari itu hukuman
yang diberikan kepada terdakwa tidaklah sebanding dengan apa yang
49
dilakukannya dan sebaiknya Hakim juga mempertimbangkan dampak dan
kerugian yang ditimbulkan kepada korban akibat perbuatan terdakwa.
Disebabkan terdakwa sudah pernah dihukum seharusnya hukumannya
diperberat tidak hanya 11 bulan saja karena perbuatan terdakwa termasuk
kategori kejahatan kualifikasi atau tertentu dan ancaman hukumannya juga
diperberat dimana unsur-unsur pokok pencuriannya sama dengan unsur-
unsur pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur khusus yang
memberatkan pidana terdapat dalam banyak unsur, misalnya pada ayat (1)
dari Pasal 363 terdiri dari banyak alternatif, yaitu pemberat pada unsur
objeknya yakni ternak; terletak pada saat atau kejadian ketika melakukan
pencurian; pembuatnya lebih dari satu (dengan bersekutu) dan
seterusnya.11 Mengingat salah satu jenis putusan pengadilan yakni putusan
pemidanaan. Yang dimaksud dengan putusan pemidanaan dalam Pasal 193
ayat (1) KUHAP12 sebagai berikut:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana”.
Tentunya kalau Hakim menjatuhkan putusan pidana, terdakwa
dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan yang mana sesuai dengan
perbuatannya dan gunanya Lapas sendiri ialah untuk membina dan
membimbing terdakwa agar menjadi lebih baik lagi. Hal ini berkaitan
dengan tujuan pokok teori relatif yaitu tujuan pidana bukanlah sekedar
pembalasan, tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dengan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa yang
setimpal dengan tindak pidana yang ia lakukan, diharapkan terdakwa akan
jera dan tidak akan mengulang perbuatannya lagi serta masyarakat dapat
hidup dengan aman seperti sedia kala serta masyarakat takut untuk
melakukan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan mengetahui
11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas Edisi
Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 94. 12 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi,… h. 310.
50
hukuman apa yang akan mereka dapatkan kalau melakukan kejahatan yang
sama.
Dapat peneliti katakan bahwa antara ancaman hukuman Pasal 363
KUHP dengan putusan yang dijatuhkan Hakim pada putusan tersebut
sangatlah berlawanan dan tidak sesuai karena dalam Pasal 363 disebutkan
ancaman untuk pelaku pencurian dengan pemberatan yaitu minimal tujuh
tahun dan maksimal sembilan tahun penjara. Pasal 363 ayat (2)13
menyatakan bahwa apabila jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3
disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pencurian yang dilakukan terdakwa ini sudah memenuhi unsur-unsur
tersebut yakni dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah, dilakukan
oleh dua orang atau bersekutu, dan mengambil barang orang lain dengan
cara merusak pintu rumah korban. Oleh karena itu, karena ancaman
hukuman yang diberikan kepada terdakwa sangatlah ringan dan
berdasarkan dengan teori interpretasi hakim, Hakim mempunyai hak untuk
melakukan interpretasi atau penafsiran hukum apabila peraturannya ada
namun tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya sebab Hakim
tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.
Menurut peneliti, metode interpretasi atau penafsiran yang tepat
digunakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara
pencurian dengan pemberatan dalam Putusan Nomor
143/Pid.B/2015/PN.Dmk adalah penafsiran sosiologis. Dalam penafsiran
sosiologis, Hakim disini selain mempertimbangkan hal yang memberatkan
dan meringankan terdakwa lalu juga mempertimbangkan keadaan di
masyarakat. Seorang Hakim dalam menafsirkan sesuai dengan tujuan
Undang-Undang tersebut dan disesuaikan dengan perkembangan
kehidupan masyarakat.
13 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),… h. 129.
51
Sejalan dengan pandangan Scholten14, ia berpendapat bahwa karena
hukum itu dinamis dan selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat maka untuk mengetahui maksud dan kehendak pembuat
Undang-Undang belum cukup bagi Hakim, sebab Hakim harus
menerapkan peraturan-peraturan itu sesuai dengan asas keadilan
masyarakat sekarang. Sebagai contoh, dalam Pasal 362 KUHP
menegaskan larangan untuk mencuri barang milik orang lain.15 Bunyi
Pasal 362 sebagai berikut:
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.16
Awalnya, pengertian barang ialah sesuatu yang bisa diraba, dilihat,
dan dirasakan secara nyata.17 Namun, R. Soesilo berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan barang ialah segala sesuatu yang berwujud, lalu
termasuk juga binatang, uang, kalung, baju, dan sebagainya.18
Dengan kata lain, peneliti simpulkan bahwasanya dalam putusan ini
perbuatan terdakwa yang sangat meresahkan masyarakat dan
menimbulkan banyak kerugian untuk korban kemudian apabila terdakwa
sudah mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan
masyarakat juga sudah merasa aman karena Penegak Hukum yaitu Hakim
sudah melaksanakan tugasnya yaitu mengadili terdakwa, tentunya
menciptakan rasa keadilan di masyarakat.
14 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,… h. 102. 15 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,… h. 106. 16 Irfan Iqbal Munthahhari, KUHP & KUHAP,…. h. 149. 17 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,… h. 107. 18 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor, Politeia, 1995), h. 250.
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis peneliti yang telah peneliti uraikan pada bab-
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Keterangan AD dalam Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk
mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan ia melakukan pencurian
dengan pemberatan adalah faktor ekonomi karena ia merupakan tulang
punggung keluarga dan hasil dari curian tersebut akan digunakan
untuknya bertahan hidup dan belanja kebutuhan keluarganya sehari-
hari. Sebagai dampak dari persaingan ekonomi yang sangat ketat dan
tidak dipungkiri lagi sulitnya mendapat pekerjaan di zaman yang serba
modern ini, membuat AD tidak memikirkan jangka panjang akibat dari
perbuatannya. Oleh karena itu, dari faktor tersebut, dapat dikatakan
bahwa terjadinya tindak pidana pencurian dengan pemberatan tidak
terlepas dari berbagai faktor sebagai penyebabnya dan pelaku
mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan kejahatan tersebut.
2. Pertimbangan Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dalam
Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk dinilai tidak tepat dan kurang
adil karena tidak sebanding dengan apa yang diperbuat oleh terdakwa.
Pencurian yang dilakukan oleh terdakwa termasuk kategori kejahatan
kualifikasi atau tertentu dan ancaman hukumannya juga diperberat dan
perbuatannya sudah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat (2)
KUHP. Kemudian, metode interpretasi atau penafsiran yang tepat
digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara pencurian dengan
pemberatan dalam Putusan Nomor 143/Pid.B/2015/PN.Dmk adalah
penafsiran sosiologis karena selain mempertimbangkan hal yang
memberatkan dan meringankan, hakim juga harus mempertimbangkan
keadaan sosial di masyarakat.
53
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis yang telah peneliti paparkan di atas, maka
peneliti memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Penegak hukum khususnya polisi dan para personilnya hendaknya rutin
melakukan pengawasan dan patroli ke sejumlah tempat-tempat yang
rawan dengan kejahatan pencurian dengan pemberatan serta
memberikan penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat untuk selalu
waspada dengan kejahatan yang sering terjadi. Selain penegak hukum,
masyarakat juga harus turut serta menjaga keamanan lingkungan
tempat tinggal masing-masing seperti mengadakan Sistem Keamanan
Lingkungan (Siskamling) dan kegiatan ronda agar kondisi lingkungan
terhindar dari pencurian. Dari diri sendiri pun harus selalu mawas diri
dan menjaga rumah seperti memasang CCTV, memberi peringatan di
depan rumah misalnya “awas anjing galak”, menaruh barang berharga
di tempat yang paling aman, dan sebagainya.
2. Supaya hakim dalam memberikan hukuman kepada pelaku pencurian
dengan pemberatan lebih tegas dan sesuai dengan perbuatan yang ia
lakukan sehingga antara pidana yang dijatuhkan dan penafsiran hakim
dapat selaras. Selain memperhatikan hal-hal yang meringankan,
diharapkan hakim juga memperhatikan hal-hal yang memberatkan
terlebih kepada pelaku yang pernah dihukum agar pelaku yang
melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan mendapatkan
efek jera dan takut untuk berbuat kejahatan lagi.
54
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ainul Syamsu, Muhammad. Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran
Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana
dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014.
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Amiruddin, Hukum Pidana Indonesia. Jogjakarta: Genta Publishing, Cet. I,
2015.
Amirudin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Ariman, Rasyid dan Raghib, Fahmi. Hukum Pidana. Malang: Setara Press,
2016.
Aro, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. V, 2004.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002.
______________. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: PT. Raja
Grafika Persada, 2002.
______________. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum
Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan,
Perbarengan & Ajaran Kausalitas Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2016.
Darma Weda, Made. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996.
Djamali, Abdul. Pengantar Hukum Pidana Indonesia.Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1990.
55
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2011.
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2017.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Hamzah, Andi. KUHP & KUHAP Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
______________. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP.
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
______________. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987.
Hasibuan, Ridwan. Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik.
Medan: USU Press, 1994.
Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo, 1996.
Herdiansyah, Haris. Wawancara, Observasi, dan Focus Groups Sebagai
Instrument Penggalian Data Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2013.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014.
Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana, Cet. 2,
2006.
Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & PuKap Indonesia, 2012.
__________. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai
56
Teori-Teori Pengantar dan Beberapa Komentar. Yogyakarta: Rangkang
Education Yogyakarta & PuKap-Indonesia, 2012.
Iqbal, Muhammad, dkk. Hukum Pidana. Tangerang: Unpam Press, 2019.
Iqbal Munthahhari, Irfan. KUHP & KUHAP. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
Kansil, C.S.T dan S.T. Kansil, Christine. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Kasiyanto, Agus. Teori dan Praktik Sistem Peradilan Tipikor Terpadu di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2018.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua. Jakarta:
Balai Lektur Mahasiswa, 1998.
Koeswadji. Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti, Cet.1, 1995.
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1997.
Lamintang, P.A.F. dan Djisman Samosir, C. Delik-Delik Khusus Kejahatan
Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul
Dari Hak Milik. Bandung: Tarsito, 1979.
Lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Theo. Delik-Delik Khusus Kejahatan
Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 2, 2009.
Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana.
Jakarta: Universitas Tarumanegara, 1995.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Martha Ketut, I, dkk. Buku Ajar Hukum Pidana. Universitas Udayana: Fakultas
Hukum, 2016.
57
Matalata, Andi. “Santunan Bagi Korban” dalam J.E. Sahetapy “Viktimologi
Sebuah Bunga Rampai”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
______________. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi
Aksara, 2006.
______________. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rineka
Cipta, 2008.
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945.
Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.
Muladi dan Nawawi Arief, Barda. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni, 2005. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012.
Mulyadi, Lilik. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan
Praktek Peradilan. Bandung: Mandar Maju, 2007.
Nawawi Arief, Barda. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007.
Notoatmojo, Soekidjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta,
2010.
Priyanto, Anang. Kriminologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
Bandung: Eresco, 1980.
_________. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung, Eresco,
1986.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1996.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
58
Soesilo, R Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia,
1988.
_________. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor, Politeia, 1995.
_________. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 2003.
Triwulan Tutik, Titik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publishier, 2006.
Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas, 1958.
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Depok: Sinar Grafika, 2004.
____________. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 4, 2014.
Wisnubroto, AL. Praktik Persidangan Pidana. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya Yogyakarta, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian.
59
Artikel Jurnal
Hamzani, Achmad Irwan. “Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum
Yang Membahagiakan Rakyatnya.” Jurnal Yustisia, Edisi 90 (2014):
141.
Khalid, Afif. “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di
Indonesia.”. Jurnal Al ‘Adl (VI), no. 11 (2014): 10-11.
Nugroho, Wahyu. “Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian
dengan Pemberatan Kajian terhadap Putusan Nomor
590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.” Jurnal
Yudisial (5), no. 3 (2012): 271-275.
Sitompul, Herman. “Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Hukum
dan Keadilan (6), no. 2 (2019): 113.
Susanty Sambulele, Aknes. “Tanggung Jawab Pelaku Penyertaan Dalam
Tindak Pidana.” Jurnal Lex Crimen (II), no. 7 (2013): 88.
Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana.” Jurnal Ilmu Hukum
(2), no. 1 (2011): 70.
Skripsi
Anggoro, Angga Kurnia. “Dasar Pertimbangan Dalam Tindak Pidana
Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Pencurian Kendaraan Bermotor
Pada Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang)”. Skripsi S-1 Fakultas
Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang, 2007.
Minarsih. “Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
Oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta”. Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum. Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Wahyuni. “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan
Pemberatan (Studi Kasus PN Watampone No.
60
112/Pid.B/2014/PN.Wtp)”. Skripsi S-1 Fakultas Hukum. Universitas
Hasanuddin Makassar, 2018.
Internet
Arnaz, Farouk. “Angka Kriminal Naik Termasuk Pencurian”.
https://www.beritasatu.com/nasional/655089/angka-kriminal-naik-
termasuk-pencurian (diakses Januari 2021, 16).
El-Roomey. “Pleger, Doen Pleger, Uitlokker, Medepleger dan
Medeplichtige”. http://elroomey.blogspot.com/2014/12/pleger-doen-
pleger-uitlokker-
medepleger_30.html#:~:text=Menyuruh%20melakukan%20(doen%20p
legen).,diancam%20pidana%20sebagaimana%20seorang%20pelaku.,
pada tanggal 03 Januari 2021.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Faktor”. https://kbbi.web.id/faktor
(diakses Januari 2021, 16).