tinea cruris crs

22
BAB I PENDAHULUAN Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh dermatofit. Dermatofit merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku. 1 Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito- krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch. 1 Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofit berkembang pada suhu 25-28 o C dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Karena alasan ini, infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis, pada populasi dengan status sosio ekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan higiene yang rendah. 3 Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, 1

Upload: marmutkupluk1396920

Post on 14-Sep-2015

19 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Tinea Cruris Crs

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh dermatofit. Dermatofit merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku. 1Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch. 1Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofit berkembang pada suhu 25-28 oC dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Karena alasan ini, infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis, pada populasi dengan status sosio ekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan higiene yang rendah. 3Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum.2Dermatofit tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di Negara berkembang. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga menjadi bentuk infeksi yang tersering. Tinea cruris, tinea pedis dan tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terbanyak ditemukan. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris merupakan dermatofitosis terbanyak. Infeksi ini bila tidak diobati atau diobati secara tidak adekuat dapat mengakibatkan penyebaran penyakit yang luas.3 Angka kekambuhan tinea kruris cukup tinggi meskipun setelah pemberian terapi topikal dan sistemik, sehingga pencegahan kekambuhan tinea kruris sangat penting.2BAB II

LAPORAN KASUS

Autoanamnesis dengan pasien dilakukan pada hari Selasa, 21 Januari 2014.

Seorang perempuan (Ny. UA), berusia 43 tahun, pekerjaan IRT dan beralamat di RT 06 No.11 Bayung Lincir datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi dengan keluhan utama gatal yang disertai bercak kemerahan di daerah lipat paha kiri dan kanan serta bokong kiri dan kanan sejak 1 minggu yang lalu. 2 bulan yang lalu, pasien mengatakan keluhan kembali muncul dimana pasien merasa bercak kemerahan di lipat paha kiri dan kanan bagian dalam terasa sangat gatal serta makin melebar dan panas namun tidak nyeri. Bercak kemerahan juga semakin menyebar ke daerah bokong kiri dan kanan. Rasa gatal hilang timbul, terutama kambuh atau muncul saat pasien berkeringat saat berolahraga volli. Pasien juga mengaku kerap memakai celana ketat. Pasien mengaku dirinya sering menggaruk daerah yang gatal tersebut. Pasien juga mengaku berbagi handuk sesama anggota keluarga di rumah. Pasien lalu pergi berobat ke bidan karena pengobatan dengan salep cina tersebut sudah tidak mempan karena rasa gatal masih terasa. Lalu dengan bidan pasien diberi obat tablet serta salep namun pasien lupa nama obat tersebut. Setelah menggunakan obat tersebut pasien mengaku bercak kemerahan tersebut tampak kering dan bersisik.

1 minggu yang lalu pasien merasa rasa gatal timbul kembali dan tidak hilang bahkan terasa semakin gatal dan panas serta bercak kemerahan yang masih timbul sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Riwayat pernah mengalami sakit yang sama (+) 1 tahun yang lalu, Di keluarga pasien tidak ada keluhan yang sama seperti yang dialami pasien. Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, dari pemeriksaan tanda vital diperoleh; tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 79 x/menit, pernapasan 22 x/menit, dan suhu afebris. Pada pemeriksaan fisik, kepala didapatkan bentuk normocephal, tidak terdapat efloresensi. Pada mata; konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, sklera kanan dan kiri tidak ikterik, pupil isokor pada mata kanan dan kiri, dan tidak didapatkan efloresensi pada palpebra. Pada pemeriksaan THT didapatkan dalam batas normal, tidak didapatkan efloresensi di bibir dan mukosa. Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan leher.

Pada pemeriksaan thoraks: inspeksi simetris, tidak ada retraksi interkostal pada kedua lapang paru, pada palpasi: didapatkan stem fremitus simetris kanan dan kiri, pada perkusi: didapatkan sonor pada kedua lapang paru, dan pada auskultasi: didapatkan suara napas vesikuler normal tidak ditemukan ronki dan wheezing pada kedua lapang paru. Sedangkan pada pemeriksaan jantung; inspeksi: iktus cordis tidak terlihat dan thrill tidak teraba. Pada auskultasi: bunyi jantung I-II reguler, tidak ditemukan murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi: datar, pada auskultasi: bising usus (+) normal, pada palpasi: tidak ditemukan nyeri tekan dan hepar lien tidak teraba, dan pada perkusi: didapatkan timpani. Pada pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior; akral hangat, edema tidak ada, kekuatan motorik normal. Pemeriksaan genitalia tidak dilakukan secara langsung.Dari pemeriksaan status dermatologikus, didapatkan pada regio inguinalis dextra et sinistra dengan efloresensi tampak lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta terdapat central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 5x12 cm.

Dari pemeriksaan status dermatologikus, didapatkan pada regio glutea dextra et sinistra dengan efloresensi tampak lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta terdapat erosi (+) , likenifikasi dan central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 7 x 13 cm.

Gambar 2.2 Regio Glutea dextra et sinistraPemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini. Diagnosis banding pada pasien ini adalah Tinea Kruris, Eritrasma, psoariasis dan Kandidosis intertriginosa. Diagnosis kerja pada kasus pasien ini adalah Tinea Cruris. Terapi diberikan pada pasien ini berupa terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa. Terapi nonmedikamentosa secara umum, meliputi: Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakit pasien dan prinsip penatalaksanaannya, menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan kelembaban kulit, menghindari faktor pencetus seperti stress, aktivitas yang berlebihan serta tidak memakai celana yang ketat, menghindari kontak dengan orang sekitar seperti tidak menggunakan pakaian dan handuk secara bersamaan dan tidak menggaruk lesi. Pasien di edukasi untuk minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur sampai tidak timbul keluhan. Terapi medikamentosa pada kasus ini, yaitu terapi topical : ketokonazole krim 2% oleskan 2x1 per hari selama 2 - 4 minggu dan terapi sistemik: griseofulvin tablet 2 x 250 mg per hari selama 2 minggu dan CTM diberikan 3 x 1 per hari. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanationam adalah bonam. Komplikasi biasanya jarang terjadi, namun mungkin dapat terjadi komplikasi jika pasien ini sering menggaruk.BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus Ny. UA (43 tahun) ditegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dermatologis. Ny. UA mengalami Tinea Cruris yang merupakan suatu penyakit dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus.1Dari anamnesis, pasien mengaku merasa sangat gatal pada saat aktivitas terutama saat berkeringat setelah berolahraga dan pasien juga mengaku sering memakai celana ketat saat berolahraga, hal ini sesuai dengan gejala khas dari tinea cruris dimana rasa gatal lebih terasa saat beraktivitas berlebih seperti saat berkeringat.2 Faktor predisposisi dari pasien ini dapat disimpulkan akibat keringat setelah berolahraga volli serta penggunaan celana yang ketat sehingga kelembaban kulit menjadi lebih rentan untuk terinfeksi jamur. Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung dapat berupa epitel rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu.1 Berdasarkan anamnesis, pasien yang sering berolahraga di lapangan cenderung lebih rentan mendapatkan infeksi jamur secara langsung yakni melalui tanah. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1 Berdasarkan anamnesis, pasien mengaku keluhan tersebut telah berulang kali dirasakan bahkan sudah selama satu tahun terakhir. Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pada regio inguinalis dextra et sinistra berupa lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta terdapat central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 5x12 cm. Pada region gluteus dextra et sinistra terdapat lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta terdapat erosi (+) , likenifikasi dan central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 7 x 13 cm. Hal ini sesuai dengan lokasi predileksi dari tinea cruris dimana Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. 1,2.Pada stadium awal, kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritema dengan batas tegas dan peradangan di tepi lebih nyata daripada di bagian tengah. Efloresensi kemudian berkembang menjadi macam-macam bentuk yang primer maupun sekunder (polimorfi).1,5 Hiperpigmentasi atau bercak kehitaman dapat muncul jika penyakit ini sudah kronis atau menahun yang disertai sisik serta erosi yang terjadi biasanya akibat garukan dan hal ini sesuai seperti yang terjadi pada pasien tersebut.Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:a. Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik. 6 dari anamnesis pasien cenderung mendapat virulensi dermatofita jamur geofilik.

b. Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur. c. Faktor suhu dan kelembapan Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.4 seperti pada pasien, keluhan gatal yang dirasa saat pasien berkeringat serta predileksi pasien yang terjadi pada lipat paha bagian dalam kiri dan kanan.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.

e. Faktor umur dan jenis kelamin. Tingkat insiden lebih sering pada orang dewasa terutama pria dibandingkan dengan wanita.1 namun untuk hal ini bertentangan dengan faktor tersebut karena pasien disini adalah seorang ibu rumah tangga.Pemeriksaan fisik status generalis pasien ini tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini dikarenakan pasien datang ke poli kulit dan kelamin sudah menjelang siang dan pemeriksaan penunjamg sudah tidak dapat dilakukan pada saat itu. Jarak dari rumah pasien ke rumah sakit yang lumayan jauh juga menjadi penyebab sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan keesokan harinya.Kebutuhan untuk dilakukannya pemeriksaan penunjang sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya seperti dapat dilakukan pemeriksaan anjuran berupa pemeriksaan mikologik dengan sediaan basah atau pemeriksaan kultur dengan sabouraud agar serta penggunaan lampu wood untuk menyingkirkan eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.1 Untuk dapat membedakan diagnosis banding maka akan dijelaskan ciri khas dari masing-masing penyakit tersebut.1. Kandidosis intertriginosa Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Dari anamnesis keluhan dapat berupa rasa gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.1,2 hal ini hampir serupa dengan tinea cruris, lalu berdasarkan pemeriksaan fisik kandidosis juga terdapat bercak eritem disertai skuama dan predileksi juga dapat terjadi di lipatan paha namun kandidosis memiliki gambaran khas konfigurasi hen and chicken serta biasanya basah dan berkrusta.1,2 Lesi juga dikelilingi satelit berupa vesikel dan pustul sehingga hal ini yang membedakan dengan tinea cruris. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih sedangkan pada tinea cruris yang kronik berwarna kehitaman.1,2 2. Erytrasma Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum. Dari anamnesis pada umumnya tidak terdapat keluhan subyektif pada pasien , hal ini berbeda dari tinea cruris karena pasien datang akibat keluhan subyektif berupa rasa gatal yang teramat sangat.1,2 Pada pemeriksaan fisik ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.1 hal ini hampir serupa dengan tinea cruris serta Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Hal ini berbeda dengan tinea cruris dimana lesi memiliki susunan berupa polisiklik. Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak sedangkan pada tinea cruris tidak terdapat hal tersebut.13. Psoariasis

Psoariasis merupakan penyakit autoimun yang bersifat residif dan kronik. Dari anamnesis pasien psoariasis berbeda dengan tinea cruris, karena rasa gatal pada psoariasis umumnya penderita mengeluh gatal ringan , tidak seperti tinea cruris yang berupa rasa gatal yang hebat.1,2Untuk pemeriksaan fisik, predileksi psoariasis juga dapat mengenai daerah lipat paha bagian dalam. Pada lesi juga hampir sama dengan tinea cruris yaitu berupa bercak eritema yang disertai skuama, namun yang membedakan dengan tinea cruris yaitu lesi pada psoariasis lebih merah dan skuama lebih banyak dan lamellar serta psoariasis memiliki gambaran khas berupa skuama yang kasar, transparan berlapis-lapis dan terdapat fenomena lilin dan Auspitz yang tidak ditemui pada tinea cruris.1

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik: 4

Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:

1. Golongan Azol

a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)

Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. 7b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)

Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. 4,5c. Econazole (Spectazole)

Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. 8 d. Ketokonazole (Nizoral)

Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. e. Oxiconazole (Oxistat)

Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. 5

f. Sulkonazole (Exeldetm)

Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. 2. Golongan alinamin a. Naftifine (Naftin)

Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel amur terhambat. 8,9b. Terbinafin (Lamisil)

Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak dan digunakan selama 1-4 minggu.3. Golongan Benzilamin a. Butenafine (mentax)

Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak 4kali sehari.104.Golongan lainnya a. Siklopiroks (Loprox)

Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA

b. Haloprogin (halotex)

Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali sehari. c. Tolnaftate

Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu.7Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris: 10a. Ketokonazole

Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.

b. Itrakonazole

Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan.5

c. Griseofulvin

Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari 5d. Terbinafine

Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan: 10 12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah : 1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering

2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.

3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab

4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.

5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.8Pada pasien ini diberikan Terapi medikamentosa pada kasus ini, yaitu terapi topical : ketokonazole krim 2% oleskan 2x1 per hari selama 2 - 4 minggu karena obat tersebut merupakan obat anti jamur dengan spektrum luas dan merupakan fungistatik yang menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur tersebut dapat mati. Terapi sistemik: griseofulvin tablet 2 x 250 mg per hari selama 2 minggu, di berikan pada pasien ini karena obat ini bersifat fungistatik sama seperti penjelasan di atas namun obat ini diberikan secara sistemik karena lesi yang begitu luas dan CTM 3x1 per hari, obat ini merupakan antihistamin golongan pertama diberikan karena untuk mencegah efek histamine yang dihasilkan sel mast dan diberikan pada pasien ini karena pasien bukan seorang pekerja sehingga tidak masalah diberikan obat ini yang terdapat efek sedatifnya.1,2

Penyakit Ny. UA prognosis tergantung pada perawatan dan pengobatan. Secara umum, prognosis kasus Ny.UA ini adalah baik.

Pasien dapat dikatakan sembuh jika dari gejala klinis nya tidak muncul lagi rasa gatal serta pada pemeriksaan labor tidak ditemukannya lagi jamur pada pemeriksaan KOH 20%.BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Cruris pada seorang wanita usia 43 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dermatologis.

PERTANYAAN

1. Riwayat 1 tahun yang lalu seharusnya tidak dimasukkan ke dalam keluhan utama, tapi di riwayat penyakit dahulu ( sudah diperbaiki )

2. Apakah kortikosteroid bisa diberikan pada penderita jamur yang kronis? Tidak. Karena kortikosteroid dapat meningkatkan efek sistemik sehingga dapat menyuburkan pertumbuhan dari jamur itu sendiri. Sifat kortikosteroid hanya bersifat meredakan saja.

3. Psoariasis tipe apa yang cocok pada diagnosa banding tersebut? Psoariasis Vulgaris

4. Pada pasien kenapa diberi terapi topical dan sistemik? Karena pada jamur efek terapi dengan topical dan sistemik jauh lebih efektif pada penyembuhan disamping itu pasien juga mengalami lesi yang luas sehingga diberikan terapi topical dan sistemik. Terapi topical juga diberikan jika tidak ada perbaikan atau gagal terapi sebelumnya.5. Pada regio inguinalis terdapat proses yang meninggi itu apa? Papul yang berada di tepi lesi.

6. Pada pasien dikatakan terdapat makula dengan skuama ditengahnya, apakah itu makula atau plak? Makula, karena pada perabaan tidak ada proses peninggian seperti pada plak. Skuama juga sering ditemui pada proses yang kronis pada makula.

DAFTAR PUSTAKA1. Prof. Dr. dr. Djuanda, A, Hamzah, dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: FKUI. 2010.hal 189-1952. Siregar. Atlas Berwarna saripati penyakit kulit. Edisi Kedua. Jakarta: EGC; 2004. hal. 129-30.

3. Graham, Robin. Lecture Note Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta : EMS. 2007. Hal. 29-304. Prof. Dr. Marwali H. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.5. Tinea cruris. Diunduh dari : Yayasan Psoriasis Indonesia dalam http://www.tineacruris.or.id/ 20056. Goldenstein B. Tinea Cruris. Editors Melfiawaty. Dermatologi Praktis . Jakarta: Hipokrates.2001.

7. Tinea cruris. Diunduh dari : http://www.news-medical.net/health/what-is-tineacruris.aspx juli 2013 8. Djuanda, Adi. Dkk. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi. Edisi ketujuh. Jakarta. 2008.

9. Brown, R. Tinea cruris. 26 Februari 2014. Diunduh dari: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1132485-overview10. Nafrialdi, Setiawan A. Farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Jakarta:Departemen Farmakologi dan terapeutik FKUI; 2007.

Papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi

makula eritematosa, sirkumskripta serta terdapat central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 5x12 cm

Gambar 2.1 Regio inguinalis dextra et sinistra

erosi

Likhenifikasi

1