tinea kruris et korporis

23
TINEA CRURIS et CORPORIS A. SINONIM Tinea cruris disebut juga Eczema marginatum, Dhoble itch, Jockey itch, atau Ringworm of the groin. 1 Sedangkan Tinea corporis disebut juga tinea sirsinata, tinea glabrosa, Schrende Fletche, herpes sircine trichophytique, ringworm of the body, atau kurap. 2 B. DEFINISI Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. 1 Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh berambut halus pada daerah muka, lengan, badan, dan glutea. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada paha. 2 Jamur dermatofita ini mempunyai kemampuan untuk menggunakan keratin sebagai sumber nutrisinya, karena mempunyai enzim keratinase. 3 Tinea ini meliputi semua dermatofitosis superfisialis yang tidak termasuk bentuk tinea capitis, barbe, kruris, pedis et manum, dan unguinum. 1,2,4,5 Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan kadang bersama-sama dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. 6

Upload: alfiankusumawan

Post on 15-Jan-2016

32 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: Tinea Kruris Et Korporis

TINEA CRURIS et CORPORIS

A. SINONIM

Tinea cruris disebut juga Eczema marginatum, Dhoble itch, Jockey itch, atau

Ringworm of the groin.1 Sedangkan Tinea corporis disebut juga tinea sirsinata, tinea

glabrosa, Schrende Fletche, herpes sircine trichophytique, ringworm of the body,

atau kurap.2

B. DEFINISI

Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan

sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan

penyakit yang berlangsung seumur hidup.1

Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh berambut

halus pada daerah muka, lengan, badan, dan glutea. Kelainan ini dapat terjadi pada

tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada paha.2 Jamur dermatofita

ini mempunyai kemampuan untuk menggunakan keratin sebagai sumber nutrisinya,

karena mempunyai enzim keratinase.3 Tinea ini meliputi semua dermatofitosis

superfisialis yang tidak termasuk bentuk tinea capitis, barbe, kruris, pedis et manum,

dan unguinum.1,2,4,5

Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan kadang bersama-sama

dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau

sebaliknya tinea cruris et corporis. 6

.

C. EPIDEMIOLOGI

Tinea cruris dan corporis dapat ditemui di seluruh dunia dan paling banyak

berada di daerah tropis. Insidensi penyakit ini meningkat pada kelembaban udara

yang tinggi. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki

dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan Tinea

cruris.7

Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar pengaruhnya

terhadap perkembangan penyakit ini. Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang

Page 2: Tinea Kruris Et Korporis

yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak

berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih tinggi.6

Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung.

Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung

jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat

melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu

atau air.6

Tinea cruris et corporis dapat ditularkan secara langsung dari manusia atau

binatang yang terinfeksi melalui autoinokulasi dari reservoir-nya seperti kolonisasi T.

rubrum pada kaki. Anak kecil cenderung lebih sering terserang patogen jenis

zoofilik, terutama M. canis yang dibawa oleh kucing dan anjing.5

D. ETIOLOGI

Tinea cruris et corporis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang

menyerang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keratinolisis.

Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Epidermophyton, dan

Tricophyton.1

Semua jenis dermatofita dapat menyebabkan dermatofitosis. Jenis yang

predominan menyebabkan dermatofitosis adalah genus Tricophyton, diikuti

Epidermophyton dan Microsporum.8 Fungi yang biasanya menyebabkan tinea kruris

sering kali oleh E. Flocosum, namun dapat pula oleh T. Rubrum dan T.

Mentagrophytes yang ditularkan secara langsung atau tidak langsung.7

Meskipun semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, penyebab

yang paling sering adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, M. canis, dan T.

tonsurans.2,4 T. rubrum dan T. verrucosum adalah penyebab tersering pada kasus

dengan penambahan keterlibatan folikuler. Tinea imbricata disebabkan oleh T.

Concreticum.5

Jamur zoofilik terutama menghinggapi binatang dan kadang-kadang

menginfeksi manusia, misalnya M. canis pada anjing, kucing dan T.

verrucosum pada sapi.9

2

Page 3: Tinea Kruris Et Korporis

Jamur antropofilik terutama menghinggapi manusia, misalnya M.

audouini dan T. rubrum. Jamur geofilik adalah jamur yang hidup di tanah,

misalnya M. Gypseu. 9

Jamur golongan dermatofita membentuk koloni filament pada biakan agar

Sabouraud. Walaupun semua spesies membentuk koloni filamen, tetapi masing-

masing mempunyai sifat koloni, hifa, dan spora yang berbeda. Pada umumnya,

genus Tricophyton membentuk makrokonidia berbentuk panjang menyerupai

pensil dan semua dermatofita dapat membentuk hifa spiral.s9

Pada E. floccosum bentuk hifanya lebar. Makrokonidianya berbentuk

gada, berdinding tebal dan terdiri atas 2-4 sel. Beberapa makrokonidia ini

tersusun pada satu konidiofora dan mirokonidia biasanya tidak ditemukan.9

Hifa T. rubrum halus. Jamur ini membentuk banyak mikrokonidia.

Mikrokonidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikrokoniodia

ini terletak pada konidiofora yang pendek, dan tersusun secara satu-persatu

pada sisi hifa (en thyrse) atau berkelompok (en grappe). Makrokonidia dari T.

rubrum berbentuk sebagai pensil dan terdiri atas beberapa sel.9

Mikrokonidia T. mentagrophytes berbentuk bulat dan membentuk banyak

hifa spiral. Makrokonidianya juga berbentuk pensil.9

M. canis memiliki makrokonidia berbentuk kumparan yang berujung

runcing dan terdiri atas 6 sel atau lebih. Makrokonidia ini berdinding tebal .9

Mikrokonidia M. canis berbentuk lonjong dan tidak khas. Makrokonidia

M. gypseum juga berbentuk kumparan terdiri atas 4-6 sel dan dindingnya lebih

tipis. Mikrokonidianya juga berbentuk lonjong dan tidak khas.9

E. PATOGENESIS

Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,

jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya

artospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada

stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi

inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat mengeliminasi patogen

dari tempat infeksi sehingga patogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh.

3

Page 4: Tinea Kruris Et Korporis

Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa

central healing.8

Jamur dermatofita hanya dapat tumbuh dan bertahan hidup pada stratum

korneum manusia, di mana dapat menyediakan sumber nutrisi untuk dermatofita dan

untuk pertumbuhan mycelia jamur. Infeksi dermatofita mencakup tiga tahap penting:

perlekatan ke keratinosit kulit (adhesi), penetrasi ke dalam sel, dan pembentukan

respon host.5

Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia

sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin . Organisme ini

harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, suhu dan kelembaban,

kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Jamur

dermatofita memproduksi enzim seperti keratinase yang berpenetrasi pada jaringan

keratin. Hifa jamur tersebut menginvasi stratum korneum dan keratin dan menyebar

sentrifugal ke arah luar. Jamur menginvasi keratin batang rambut yang baru tumbuh,

dan pembentukannya secepat rambut itu tumbuh, kurang lebih sekitar 0,3 mm per

hari. Beberapa faktor seperti trauma, pH, tekanan karbon dioksida, dan siklus

pertumbuhan epidermal dapat memegang peranan pada invasi dermatofita.5,10

Setelah adhesi, spora harus berkembangbiak dan melakukan penetrasi pada

stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim

musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi

juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada

patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan

penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit

yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan

dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron. 5,10

Pertahanan host dalam invasi jamur ini meliputi peningkatan waktu siklus

pertumbuhan epidermal (epidermal turnover), faktor inhibitory serum, asam lemak

pada sebum, dan mekanisme imun, terutama sel limfosit T. Transferin berdifusi dari

serum ke epidermis agar dapat menghambat pertumbuhan jamur dengan cara

menurunkan ketersediaan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur. 5,10

4

Page 5: Tinea Kruris Et Korporis

Derajat dari inflamasi epidermal terjadi berdasarkan reaksi imunologi terhadap

antigen jamur pada stratum korneum. Derajat inflamasi bervariasi pada tiap individu,

dan cenderung lebih tampak jelas pada spesies zoofilik.3

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi

pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi host, jamur harus

mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta menembus jaringan

host. Selanjutnya jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan dan dapat

menyesuaikan diri dengan suhu serta keadaan biokimia host untuk dapat berkembang

biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau inflamasi. Dari berbagai kemampuan

tersebut, kemampuan jamur untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan host, dan

kemampuan mengatasi pertahanan seluler, merupakan dua mekanisme terpenting

dalam patogenesis penyakit jamur.5

Mekanisme imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan

infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan

hormonal, usia dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,

sekresi permukaan, dan respon radang.2

Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik termasuk

asam laktat dan asam lemak yang mempunyai pH yang rendah untuk menambah

potensi anti jamur.5

Pembentukan antibodi tidak terlihat memberi perlindungan pada infeksi

dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi

dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun

tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.

Lengan dari imunitas seluler diperankan oleh interferon gamma yang diatur

oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita

sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan tes

trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak

sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya

keratinosit. Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari

dermatofita lalu diproses oleh sel Langerhans dan disajikan di nodus limfatikus

5

Page 6: Tinea Kruris Et Korporis

kepada sel limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke

tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi

inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan

perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi

menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang

positif dan penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih

cepat.5,10

Reaksi dermatofitid (terjadi pada 4-5% pasien) adalah reaksi alergi kulit

eksematus pada tempat yang jauh dari infeksi primer jamur. Berbeda dengan

lesi primer, hasil pemeriksaan KOH dan kultur menunjukka hasil negatif.

Reaksi ini dapat berbentuk sebagai papul folikular, nodus eritem, vesikel pada

tangan dan kaki, lesi yang mirip dengan erysipelas, eritem anuler sentrifugal,

atau urtikaria. Meskipun mekanismenya belum diketahui, reaksi ini dihubung-

hubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada tes trikopitin dan

dapat melibatkan respon hipersensitivitas tipe IV lokal sampai sistemik.5,10

F. GAMBARAN KLINIK

Banyak variasi dari tinea corporis, tetapi lesi klasik yang sering muncul adalah

adanya lesi anular, dengan tepi eritem agak meninggi, berbatas tegas karena terjadi

beberapa konfluensi beberapa lesi. Lesi nampak eritem dengan skuama, kadang

dengan papul dan vesikel di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang. Kadang

terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Bila menahun, tanda-tanda aktif

menghilang.1,2,5,6

Lesi kulit tinea cruris dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau

meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut bagian bawah atau bagian

tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas

tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada tengahnya. Efloresensi terdiri atas

macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini

menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam dan sedikit sisik. Erosi dan keluarnya

cairan biasanya akibat garukan.1

G. PEMERIKSAAN LABORATURIUM

6

Page 7: Tinea Kruris Et Korporis

Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas

pemeriksaan lansung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti

pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.1 Gambaran

histopatologi tinea korporis tidak khas. Gambaran histopatologi tidak lazim

digunakan untuk menegakkan diagnosis karena gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratorium lebih jelas, mudah, murah, dan khas daripada melakukan pemeriksaan

histopatologi.7

Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan

klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan

dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan

spiritus 70%, kemudian dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di

luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.1

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula

dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan

dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.1

Sediaan basah dengan meletakkan bahan di atas gelas objek. Kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH, untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit

dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH, ditunggu 15-20 menit, hal ini

diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk memepercepat proses pelarutan dapat

dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat keluar asap dari

sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbebtuk

Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen

jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat pewarna pada sediaaqn KOH,

misalnya tinta parker superchroom blue black.1

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,

terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artospora) pada kelainan

kulit lama dan/atau sudah diobati.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan

langsung dengan sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan

ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Pembiakan

7

Page 8: Tinea Kruris Et Korporis

dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap merupakan media yang

paling baik untuk pertumbuhan jamur. Media ini dibubuhi antibiotik kloramfenikol

atau ditambah pula klorheksimid untuk menghindarkan kontaminasi bakterial

maupun jamur kontaminan. Media ini lalu disimpan pada suhu kamar. Spesies jamur

ditentukan oleh sifat koloni, hifa, dan spora yang dibentuk.1

H. DIAGNOSIS

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh gatal pada bagian perut,

punggung, dada, daerah lipat paha, lipat perineum, bokong, dan dapat ke genitalia.

Ruam kulit dapat berbatas tegas, eritematosa, dan bersisik. Gatal dirasakan

bertambah bila pasien berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi

yaitu berupa makula eritematosa numular sampai geografis, berbatas tegas dengan

tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Pada perjalanan penyakit yang kronik

dapat makula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya. Pada kerokan kulit

dengan KOH dijumpai adanya hifa atau spora jamur 7. Sediaan dapat diambil dari

bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit, dengan

cara dikerok atau disikat menggunakan pisau tumpul steril, kemudian diletakkan

pada medium dermatofita. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata, dapat

ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchroom blue

black.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan

langsung sedian basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap

paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Kloramfenikol

ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dan cycloheximide untuk

menghambat pertumbuhan jamur saprofit.10

I. DIAGNOSIS BANDING

8

Page 9: Tinea Kruris Et Korporis

1. Kandidosis4

Pasien mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas seperti terbakar,

terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder

Lokasi biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat ketiak, lipat paha, lipat

bawah payudara, sekitar umbilicus, garis-garis kaki dan tangan. Kuku.

Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif, kadang dengan papul dan

skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi, hiperpigmentasi,

hyperkeratosis, dan kadang berfisura.

Pada tes KOH ditemukan pseudohifa

Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat,

permukaannya basah.

2. Eritrasma4

Eritrasma merupakan suatu infeksi dangkal kronik yang biasanya menyerang

daerah yang banyak berkeringat.

Penyebabnya adalah Corynebacterium minutissimum.

Dimulai dengan daerah eritema miliar, selanjutnya meluas ke seluruh region,

menjadi merah, terasa panas seperti habis terkena cabai.

Penyinaran dengan sinar Wood memperlihatkan fluoresensi warna merah

bata.

3. Psoriasis4

Dimulai dengan macula dan papula eritematosa dengan ukuran lentikular

sampai nummular, menyebar secara sentrifugal

Lokasi biasanya pada siku, lutut, kulit kepala, telapak kaki dan tangan,

punggung, tungkai atas dan bawah, serta kuku.

Efloresensi berupa macula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar

sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,

sirsinar, polisiklis, dan geografis. Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh

9

Page 10: Tinea Kruris Et Korporis

skuama yang kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan

benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan

maka akan timbul titik-titik perdarahan yang disebut sebagai Auspitz sign.

Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu

timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma atau garukan.

J. PENATALAKSANAAN

1. Non Medikamentosa1

Edukasi kepada pasien untuk meningkatkan kebersihan badan dengan

mandi secara teratur, menggunakan sabun ringan dan meningkatkan kebersihan

lingkungan. Kemudian dianjurkan untuk menghindari memakai pakaian yang

ketat dan tidak menyerap keringat.

2. Medikamentosa

a. Topikal

Obat topikal diberikan bila lesi terbatas. Kebanyakan antijamur topikal

ini dipakai dua kali sehari selama 2-4 minggu.

1) Konvensional11

Pengobatan dengan agen topikal lama kurang efektif dan memerlukan

waktu yang lama.

a) Salep 2-4: asam salisilat dan sulfur

Asam salisilat bersifat keratolitik. Untuk lesi yang sangat superficial

asam salisilat mungkin sudah cukup efektif, namun untuk lesi yang

kebih dalam maka asam salisilat akan mempermudah penetrasi

antijamur lain yang lebih poten

b) Salep Whitfield dan modifikasinya (AAV-I dan AAV-II): asam

salisilat dan asam benzoate

c) Asam undesilenat

Merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam

10

Page 11: Tinea Kruris Et Korporis

Dosis biasa berefek sebagai fungistatik, namun dalam dosis tinggi

dan pemakaian yang lama berefek fungisidal

Aktif terhadap Epidermophyton, Tricophyton, dan Microsporum

Tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5%

undesilenat dan 20% seng undesilenat

Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat dengan

20% seng undesilenat (seng berfungsi untuk menekan luasnya

peradangan)

Dapat menyebabkan iritasi mukosa

2) Baru11

a) Tolnaftat, tolsiklat

Suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar

dermatofitosis

Tidak efektif terhadap kandida

Reaksi alergi atau toksik belumpernah dilaporkan

Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerososl atau

larutan topikal dengan kadar 1%

Diberikan topikal 2-3 kali sehari

Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam

Pada lesi dengan hiperkeratosis sebaiknya diberikan bergantian

dengan salep asam salisilat 10%

Beberapa kasus membutuhkan waktu 4-6 minggu, jarang yang

melebihi 10 minggu

b) Haloprogin

Antijamur sintetik berbentuk kristal putih kekuningan

Larut dalam alkohol, tidak larut air

Efektif terhadap dermatofita, Malassezia furfur, dan Kandida

Dapat timbul iritasi, rasa terbakar, vesikulasi, meluasnya maserasi

dan sensitisasi

Tersedia dalam bentuk krim dengan kadar 1%

11

Page 12: Tinea Kruris Et Korporis

c) Derivat Imidazole (mikonazole, klotrimazole, tiokonazole, bifonazole,

ketokonazole)

d) Siklopiroksolamin

Antijamur topical berspektrum luas

Untuk dermatofitosis, kandidiasis, dan tinea versikolor

Tersedia dalam bentuk krim 1%

Iritasi jarang terjadi

e) Derivat alilamin (naftitin HCl, terbinafin)

b. Sistemik

1) Derivate imidazole

Derivate imidazole ini bekerja dengan cara mengganggu biosintesis

sterol yang berperan dalam pembentukan membran sel dan dan

mitokondria12

a) Fluconazole 150 mg sekali seminggu selama 4-6 minggu

Diserap sempurna di saluran cerna tanpa dipengaruhi oleh

makanan

Kadar plasma setelah pemberian oral sama dengan pemberian

interavena

Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna, alergi,

eosinofilia, Steven Johnson’s syndrome, gangguan faal hati

sementara, dan trombositopeni

Tersedia dalam bentuk kapsul berisi 50 dan 150 mg

b) Itraconazole 100 mg sekali sehari selama 15 hari, untuk anak-anak: 5

mg/kg BB/hari selama 1 minggu

Diserap sempurna bila diberikan bersama makanan

Rifampin dapat mengurangi kadar itrakonazole dalam plasma

Infeksi yang berat mungkin membutuhkan dosis sampai dengan

400 mg sehari

Efek sampingnya berupa mual dan muntah, kemerahan, pruritus,

lesu, pusing, pedal edema, parestesia, dan kehilangan libido

12

Page 13: Tinea Kruris Et Korporis

Sediaanya berupa kapsul berisi 100 mg

2) Terbinafine 250 mg sekali sehari selama 2 minggu

Untuk anak-anak: 3-6 mg/kg BB/hari

3) Griseofulvin 500 mg sekali sehari selama 2-6 minggu

Untuk anak-anak: 10-20 mg/kg BB/hari maksimal sampai 6 minggu

Bekerja dengan cara menghambat mitosis jamur dengan mengikat

protein mikrotubuler dalam sel

Terikat kuat dengan keratin

Tidak larut dalam air, sehingga penyerapannya dalam saluran cerna

kurang baik, penyerapan lebih mudah bila diberikan bersama makanan

yang berlemak

Efek samping yang berat jarang terjadi, leukopenia, granulositopenia,

sakit kepala, arthralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur,

insomnia, mual, muntah, diare, flatulensi, rasa kering di mulut,

urtikaria, fotosensitivitas, erupsi morbiliform, urtikaria, eritema

multiforme (Bahry and Setiabudi, 2005).

Tidak ada perbedaan efektivitas terapi yang signifikan diantara obat-obat di

atas.5

K. PROGNOSIS

Prognosis tinea cruris et corporis pada umunya adalah baik bila faktor

predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan, sumber penularan dapat

dihindarkan, pengobatan teratur dan tuntas.13

13

Page 14: Tinea Kruris Et Korporis

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja, U. 2007. Mikosis. Dalam: Djuanda, A. Hamzah, M dan Aisah, S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 89 – 105

2. Mansjoer, A., et al. 2000. Mikosis Superfisialis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Hal: 93-9

3. Ellis, Davis. 2008. Mycologi Online: Dermatophytosis.http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Cutaneous/Dermatophytosis/

4. Siregar RS., 1996. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. hal:19-215. Verma, S., Heffernan, M.P. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,

Onycomycosis, Tinea Nigra, Piedra In Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh edition. Vol. II, Mc Graw Hill, New York. P: 1807-1821

6. Boel, Trimulya., 2003. Mikosis Superfisialis. http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf

7. Siregar, R S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal: 29 – 31

8. Laksmipathy, D T. Kannabiran, K. 2010. Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment. Journal of Natural Science. Vol 2. No.7, 726 – 31

9. Sjarifuddin, P K. Susilo, J. 2000. Dermatofitosis. Dalam: Gandahusada, S. Ilahude, H H D dan Pribadi, W (eds). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 289 – 95

10. Shy, Rosemary. 2007. Pediatrics in Review: Tinea Corporis and Tinea Capitis. http://pedsinreview.aappublications.org/misc/terms.dtl

11. Bahry, B. Setiabudy, R. 2005. Obat Jamur. Dalam: Ganiswara (ed). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 560 – 70

12. Pane, Y S. 2009. Antifungal Drugs. Pharmacology and Therapeutics Departement. School of Medicine Universitas Sumatera Utara

13. Bramono, K. 2010. Dermatofitosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM

14