tingkat cerai gugat di jakarta studi pada pengadilan...
TRANSCRIPT
TINGKAT CERAI GUGAT DI JAKARTA
(Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta SelatanTahun 2006–2008)
Oleh:
Muhammad Muslim
NIM: 101044122109
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M
TINGKAT CERAI GUGAT DI JAKARTA
(Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta SelatanTahun 2006–2008)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Muhammad Muslim
NIM: 101044122109
Di Bawah Bimbingan
Afwan Faizin, M.A
NIP.150326890
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi adalah hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya/merupakan hasil jiplakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 01 Desember 2009
Muhammad Muslim
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu, yang telah memberikan rahmat, kasih dan sayang-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Sang Teladan Nabi Muhammad saw, serta keluarga, sahabat dan
para penerus perjuangan agama Islam.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah
berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, dapat diatasi dengan sebaik-
baiknya, sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak/Ibu:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum, beserta segenap jajarannya yang telah memberikan
kesempatan, baik secara edukatif maupun administratif, sehingga
memperlancarkan terselesaikannya skripsi ini.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Kamarusdiana, S.Ag., M.Hum., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.
3. Afwan Faizin, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran selama membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah memudahkan setiap langkahnya. Amin.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak memberikan
wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis, dan mudah-mudahan penulis
bisa mengamalkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
5. Drs. Pahlawan Harahap, SH., MA., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Beserta jajarannya, khususnya kepada pak Aji dan pak Taufik karena
dengan bantuan beliau-beliau lah penulis dapat melengkapi segala data yang
dibutuhkan.
6. Dra.Hj. Muhayah, SH., MH., dan H. M. Khailani, SH. MH, selaku Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan sekaligus yang menjadi sumber
wawancara. Terima kasih karena sudah memberi kesempatan pada penulis untuk
wawancara di sela-sela kesibuaknnya.
7. Pimpinan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
beserta segenap jajarannya, juga Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum dan segenap jajarannya. Terima kasih telah memberikan kesempatan,
bantuan serta fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
8. Teruntuk kedua orang tua penulis, untuk segala doa, kasih dan sayangnya,
keikhlasan dan ketabahan dalam mengasuh dan mendidik, yang selalu penulis
rasakan hingga saat ini.
9. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada segenap anak-anak Sanyo
Boy, teman-teman UKM RIAK, Lord Ahmed (beserta teman-temannya). Mudah-
mudahan jalinan persahabatan kita tidak akan luntur lekang oleh waktu dan
semoga persahabatan kita bisa terjalin sampai kapanpun dan dimanapun kita
berada. Terima kasih untuk semua keakraban, keceriaan, kenyamanan,
kebersamaan, serta kedamaian yang kalian berikan.
Semoga amal baik mereka dibalas Allah SWT dengan balasan yang berlipat
ganda. Jazakumullah Khairan Katsiran. Sungguh hanya Allah yang dapat membalas
kebaikan mereka dengan balasan yang berlipat ganda. Amin.
Akhirnya mohon maaf penulis sampaikan untuk semua pihak yang tidak
tersebutkan.
Jakarta, 01Desember 2009 M
14 Dzulhijjah 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .................................................... 8
E. Kerangka Teori ..................................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 13
BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DALAM
HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ............................... 15
B. Macam-macam Perceraian dan Akibat Hukumnya ................ 18
C. Faktor-faktor Penyebab Perceraian ........................................ 32
BAB III. KEADAAN UMUM PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN
A. Sejarah Singkat Tentang Berdirinya Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan Dasar Hukum Pembentukannya. ............. 38
B. Struktur Organisasi Pangadilan Agama Jakarta Selatan ......... 42
C. Sarana dan Prasarana Pengadilan Agama Jakarta Selatan ...... 44
D. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan............... 46
BAB IV PENINGKATAN ANGKA DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI CERAI GUGAT DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Gambaran Perkara Cerai Gugat dari Tahun 2006-2008 .......... 48
B. Jumlah Peningkatan Angka Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan ......................................................... 51
C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya
Peningkatan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan .................................................................................. 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 64
B. Saran-saran ........................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 69
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara ................................................................................... 69
2. Hasil Wawancara ......................................................................................... 71
3. Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan ....................................... 85
4. Data Perceraian Tahun 2006 ......................................................................... 86
5. Data Perceraian Tahun 2007 ......................................................................... 89
6. Data Perceraian Tahun 2008 ......................................................................... 92
7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian ............................................... 95
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal
dan berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lainnya saling
menyayangi dan mencintai. Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama
seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa
perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.1
������ ������ ��� ���� ������ ����� ����� ����� !�"��
#☯���&'�� (�)*,�� �.�/� 0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<� =�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D EF�� G� HI�*�4�/�
���JK�⌧��� MNOP Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir. (QS. 30:21)
Persoalan yang kerap timbul dalam perkawinan biasanya terdapat pada
tugas dan kewajiban sebagai pasangan yang terkadang tumpang tindih karena
1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004
beberapa sebab. Apabila salah satu pihak ada yang melalaikan hak dan
kewajibannya dalam perkawinan atau rumah tangga maka masing-masing pihak
suami istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Karena kedua belah
pihak mempunyai hak yang sama sebagai warga negara mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
perkawinan no. 1 Tahun 1974 pasal 34 ayat 3.2 Pada perkembangannya, manusia
selalu berusaha memotifasi diri untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan
bekerja keras. Banyak hal yang dilakukan baik yang bekerja sebagai karyawan
maupun yang berwiraswasta, namun pada kenyataanya ada beberapa hal pada
bidang pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki dan sebagian hanya
dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut yang pada akhirnya mendorong
perempuan untuk melangkah mensejajarkan diriya dengan laki-laki atau lebih
dikenal dengan persamaan gender.
Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan
kemuliaan yang sama. Contoh konkretnya adalah Islam tidak membedakan laki-
laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan
untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan
beramal sholih. Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Banyak
sekali ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat
wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat. Tak
2 Himpunan Undang-undang, No. 1 Tahun 1974, Departemen Agama Indonesia, 2004
ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, akan tetapi yang
membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.3
Islam jelas memberikan kebebasan kepada setiap perempuan dalam
bekerja, namun permasalahan yang kerap kali timbul adalah timbulnya ke-
engganan perempuan untuk mengurus rumah tangganya yang menjadi tugas
utamanya, sehingga perhatian terhadap anak akan sangat berkurang.
Islam menginginkan rumah tangga yang dibina dalam suatu pernikahan
yang kekal, yaitu dengan keharmonisan antara suami istri yang saling mengasihi
dan menyayangi. Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai
dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.4
Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun
bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus
sesuai yang diharapkan, kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami
kehidupan dan pertengkaran di antara pasangan suami isteri yang merasa tidak
nyaman dan tenteram lagi dengan perkawinan mereka. Karena pada kenyataannya
membina hubungan keluarga tidak mudah bahkan sering terjadi perkawinan
mereka kandas di tengah jalan5. Perselisihan yang timbul dalam pernikahan kini
banyak disebabkan permasalahan yang beragam bermula dari faktor ekonomi,
3 www.mahkamahsyariahaceh.go.id/data 28 Juni 2009.
4 Drs. Kamal Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta:Bulan Bintang,
1974) h. 14
5 Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafiz Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan
Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal.72
perbedaan dalam menentukan sikap, penyelesaian masalah yang mementingkan
ego, dan lain sebagainya. Sang istri sebagai wanita karir dan suami yang
menganggur menyebabkan ketiadaan nafkah dalam keluarga dari suami, sehingga
nafkah keluarga hanya bergantung dari sang istri atau penghasilan yang didapat
istri lebih tinggi.
Perselisihan dalam rumah tangga memang menjadi polemik yang panjang,
di mana kini kesempatan wanita dalam bekerja lebih terbuka lebar dibandingkan
dengan kesempatan yang terbuka bagi kaum pria. Kesibukan istri sebagai wanita
karir terkadang menyita banyak waktu sehingga berkurangnya porsi pendidikan
anak dalam keluarga. Dengan gender ini lah ternyata tidak melulu memberikan
efek yang baik.
Perceraian seyogyanya merupakan jalan terakhir dari beberapa
penyelesaian yang telah dilakukan baik dari pihak suami dan isteri atau dari pihak
keluarga kedua belah pihak, bila pertengkaran tidak dapat diselesaikan maka
barulah terdapat hak masing-masing pihak untuk mengadakan perceraian, itu pun
dengan alasan-alasan yang memadai6. Sesuai petunjuk yang dijelaskan di dalam
al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 35:
��34�� Q.&��S �T0�4�K 0�UWPX�:�� (�*7Y�7��00�Z
0[☺��� ����� ���3��\�� 0[☺����� ����� ]0�13��\�� �34 ]��^ _J
0☯�����`34 P��/Z�* a]0�
6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), cet. Ke-2, hal. 102
]0�☺bW�X&2�� � <�34 K]0� ��#⌧c 0d☺23�� �,eJ3C�S M_3P
Artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 4:35)
Walaupun demikian, Islam sebenarnya mempunyai tujuan untuk
memperkecil perceraian, atau menganjurkan untuk mencegah terjadinya
perceraian karena perceraian termasuk dari perbuatan halal yang dibenci oleh
Allah, Rasulullah SAW bersabda:
����� �� ��وف � ،���� �� ������������ آ�� � � ا����% � ��� ا� � ،د��ر � ���رب �, وا� �5�و4�� ا) إ�& ا�2�ل أ�0/: -�ل و+'�* �' ( ا) �'&
7 )داود وا� ��4( و���( ا���آ*ورا: ا�9 (ا�27ق
Artinya:
Dari Ibnu Umar, Nabi saw. Bersabda: “Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah
SWT adalah talak”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-
Hakim).
Namun jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan perceraian yang
terjadi di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Pengadilan Agama jika hal tersebut tidak dapat didamaikan
kembali.8 Pengadilan memberikan kesempatan yang sama kepada suami atau
isteri untuk mengajukan perceraian, dengan memakai istilah yakni Cerai Talak
7 Abû Dâwûd Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud, (Cairo: Mustafa al-Bâbi al-Halabi, 1952),
Juz 1, hal. 503
8 Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004
(permohonan cerai dari suami yang diajukan oleh suami ke Pengadilan Agama)
dan Cerai Gugat (permohonan cerai dari isteri yang diajukan oleh isteri ke
Pengadilan Agama).
Berdasarkan data Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada periode 2006-
2008 teradapat peningkatan perceraian dengan berbagai masalah yang terjadi.
Perceraian banyak terjadi dengan proses cerai gugat yang banyak dilakukan oleh
sang istri. Atas latar belakang yang disebutkan di muka, maka penulis mengambil
tema pembahasan skripsi: "Tingkat Cerai Gugat di Jakarta (Studi Pada
Pengadilan Agama Jakarta SelatanTahun 2006–2008)".
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan skripsi ini hanya sebatas pada cerai gugat yang terjadi
pada tahun 2006-2008 pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Di sini
penulis mencoba menyajikan data-data yang menyebabkan terjadinya
peningkatan terhadap perceraian, sehingga dapat dipersentasikan penyebab
perceraian yang berdasarkan cerai gugat.
2. Perumusan Masalah
Perceraian bukan hanya milik bagi kaum suami saja melainkan istri
pun mempunyai hak untuk bercerai,yaitu dengan cara cerai gugat atau dalam
kitab fikih biasa disebut dengan kata khulu’. Dalam undang-undang
perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 39 ayat 2 disebutnkan bahwa untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Dalam pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pun disebutkan, bahwa percerain dapat terjadi karena
alasan atau alasan-alasan sebagai berikut: (a). Salah satu pihak berbuat zina,
(b). Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya, (c). Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, (d). Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain, (e). Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri, (f). Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga, (g). Suami melanggar taklik-talak, dan (h). Peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dari pernyataan di atas, maka penulis pun tertarik untuk meneliti atau
menganalisa tentang faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat dan tentang
angka cerai gugat itu sendiri yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Berikut merupakan perumusan masalah pada pembahasan skripsi ini adalah:
a. Apakah angka cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan periode
2006-2008 terjadi peningkatan atau menurun?
b. Faktor-faktor penyebab terjadinya tingkat cerai gugat di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Adapun tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain:
a. Seberapa besar peningkatan angka cerai gugat?
b. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab meningkatnya angka cerai gugat
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi kontribusi
dalam proses pendewasaan hukum islam di Indonesia disamping sebagai
syarat kelulusan pendidikan S1.
b. Bagi jurusan Peradilan Agama, hasil pembahasan skripsi ini diharapkan
dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
c. Bagi umum, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi
ketika dihadapkan pada masalah yang diangkat penulis.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan studi
terdahulu terhadap beberapa skripsi yang terkait dengan pembahasan dalam
skripsi ini, diantaranya adalah:
NO JUDUL DAN PENULIS FOKUS PERSAMAAN PERBEDAAN
1. “Cerai gugat di wilayah
yurisdiksi Pengadilan
Agama Jakarta Timur
(Analisa Perkara Cerai
Gugat Tahun 2004)”, oleh
Maimunah. Di bawah
bimbingan Bapak Ahmad
Tholabi Kharlie. Tahun
2006
Hanya membahas
tentang tingginya
angka cerai gugat
yang terjadi
pada tahun 2004
Mengangkat
masalah tingkat
cerai gugat
Tidak
mengkaji
cerai gugat
bahkan cerai
talak yang
terjadi pada
tahun 2006-
2008
2. “Faktor Penyebab
Tingginya Perkara Cerai
Gugat Di Pengadilan
Agama Kota Palembang”,
oleh Rusmala Dewi Jayanti
pada tahun 2007. Di bawah
bimbingan Bapak Drs. H.
Hanya
memfokuskan
pada latar
belakang para
penggugatnya
saja dan
menganalisa
Menganalisa
faktor-faktor
yang menjadi
penyebab
tinginya perkara
cerai gugat
Tidak
menganalisa
tentang
peningkatan
secara
prosentase
dari pertama
A. Basiq Djalil, S.H., M.A datanya hanya
pada perkara
cerai gugat yang
terjadi dari tahun
2004-2006
ke tahun
selanjutnya
3. “Efektifitas Penyelesaian
Perkara Cerai Gugat Di
Pengadilan Agama
Kabupaten Cianjur Jawa
Barat”, oleh Husnul
Khotimah pada tahun 2006.
Di bawah bimbingan Ibu
Dra. Hj. Halimah Ismail
Hanya
memfokuskan
pada prosedur
pengajuan,proses
penyelesaian, dan
tinjauan terhadap
azas peradilan
Mengkaji
masalah cerai
gugat
Tidak
menganalisa
faktor-faktor
sebabnya dan
data-data
tentang cerai
gugat
E. Kerangka Teori
Dengan kondisi lingkungan sosial yang berkembang dari masa ke masa,
maka permasalahan yang dihadapi manusia sebagai pelaku dalam interaksi sosial
pun semakin kompleks. Jika dahulu perempuan tidak memiliki peran yang terlalu
banyak lantaran posisi laki-laki yang lebih kuat sebagai pelindung kaum
perempuan, maka saat ini dengan konsep kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, bahwa perempuan dapat mengambil peran yang sama banyak dengan
yang diambil laki-laki sesuai kemampuan yang dimilikinya, bahwa dalam rumah
tangga perempuan juga memiliki peran penting yang tidak bisa dipandang sebelah
mata, bahwa pertangungjawaban perempuan di akhirat adalah sama dengan laki-
laki dihadapan Allah, maka permasalahan pun semakin kompleks.
Maka pemahaman terhadap cerai gugat pun harus benar dipahami bahwa
cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh
seorang istri agar perkawinan terhadap suaminya menjadi putus. Dalam
perkawinan agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar ta'lik
talak.9 Pemahaman seperti ini harusnya dapat dipergunakan dengan baik sebagai
hak bagi istri yang diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam berumah
tangga baik pun oleh para suami agar dapat menjaga apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing-masing dalam keluarga.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan metode yang berfungsi sebagai
prosedur penelusuran masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan
9 Abdul Manan, Aneka Masalah: Hukum Pedata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), hal: 19.
lain-lain). Berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya.10
Sedangkan dalam memaparkan data penulis menggunakan metode kuantitatif
yang merupakan suatu prosedur penelitian agar menghasilkan data
explanatory research, melalui pendekatan ini penulis diharapkan dapat
menjelaskan hubungan data cerai gugat di Pengadilan Jakarta Selatan yang
diperoleh dengan perumusan masalah sehingga penulis dapat menguraikan
data yang sesuai dengan judul skripsi tersebut diatas.
Adapun desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis yaitu suatu metode penelitian untuk mengadakan akumulasi
data dasar belaka. Selain itu ditunjang pula oleh data-data hasil penelitian
lapangan (field research).
3. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan data pokok yang didapat dari lapangan.
Penulis mewawancarai langsung dengan pihak yang terkait dengan data
yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini teknik pemilihan data secara
sistematis agar penulis mudah dalam mengolah data yang diperoleh.
10 Hadawi Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1998), cet. Ke-8, h. 63.
b. Data Sekunder
1) Dokumentasi atau arsip yang berhubungan dengan perkara cerai
gugat
2) Penelitian kepustakaan (library research) dari buku, artikel dan karya
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.
4. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta lapangan, kemudian
dibaca dengan membandingkan dan mengamati dengan pengamatan content
analysis. Sehingga ditemukan langkah strategis untuk menghindari berbagai
risiko yang mungkin timbul, dengan metode analisis Deskriptif, yaitu dengan
cara memaparkan data-data yang ada secara apa adanya. Setelah itu data
dipaparkan secara deskriptif kemudian dianalisis secara kualitatif.
5. Teknik Penulisan
Standar penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.11
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, pembatasan masalah
dan perumusannya, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
11Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (CeQDA: Jakarta, 2007), h. 34.
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian,12 dan sistematika
penulisan.
BAB II : Beberapa masalah tentang pengertian perceraian dan dasar
hukumnya. Kemudian macam-macam perceraian serta akibat
hukumnya, dan faktor-faktor penyebab perceraian.
BAB III : Merupakan sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
sebagai objek penelitian yang terdiri dari lima bagian, sejarah
singkat tentang berdirinya Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
dasar hukum pembentukannya. Sarana dan prasarana kantor
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, wilayah hukumnya, serta
struktur organisasinya.
BAB IV : Peningkatan angka cerai gugat dan faktor-faktor yang
mempengaruhi di Pangadilan Agama Jakarta Selatan yaitu:
Gambaran perkara cerai gugat dari tahun 2006-2008. Jumlah
Peningkatan Angka Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan., beberapa faktor penyebab terjadinya cerai gugat.
BAB V : Penutup, berisi kesimpulan dari penelitian dan saran-saran serta
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang
dianggap penting.
12 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1998), h.96
BAB II
KAJIAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Sakinah, mawaddah warohmah adalah asas dan tujuan disyariatkannya
pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Namun kenyataannya banyak terjadi
dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang
isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi
dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas
disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya
sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan
gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan
Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna
dan menyeluruh).
Kata perceraian berasal dari kata “Cerai” mendapat awalan “per” dan
akhiran “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan. Kata talak atau cerai
adalah terjemahan dari bahasa Arab ( yang artinya ( ا=2ق– ی7'> –='>
lepas dari ikatan, berpisah, menceraikan, pembebasan.13
13 Ahmad Warson Munawir, Almunawir Kamus Besar Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), Cet. Ke-14, h.681.
Pengertian perceraian adalah "penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.14
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Taqiyudin:
� و@=2ق أ�27ق ?%Aا� � ا�'C0 ه9 �
Artinya: "talak menurut bahasa adalah melepas ikatan/menceraikan".15
Sedangkan menurut terminologi adalah melepaskan ikatan perkawinan
(nikah).16
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang berbicara tentang masalah talak.
Diantara ayat-ayat yang menjadi dasar hukum bolehnya menjatuhkan talak
tersebut adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 229:
����Kg�0� P�0�ij�k ( ll0m &�3n�Z o0�p:�7;��� ����
C⌧ 3e�q� ���m �3n3� � 5r��
?6���s ��!9�� ��� (���t7�Zu�
]0q☺�� q�7\*☺.�:���� 0v&t⌧K
wr34 ��� ]0�Z0� �s xr�� 0�☺2y4
�2�^ v]0� ( ��3n�Z �z�{&��S xr��
0�Uty4 �2�^� v]0� 5⌧�Z
��0;|8 0�☺W�e��� 0�Ut�Z
���^�&Z0� ��3� � �CZ�� 2�^�
v]0� 5⌧�Z 0�\�^��7� @ �����
q^�7�� �2�^� v]0�
�C}~���u��u�Z �7\ ��*U3��K!�0�
MNN�P
14 Sebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), Cet. Ke-24, Hal.
42.
15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet.I, h.198.
16 Mohammad Rif’i, Kifayatul Akhyar, terjemah (Semarang: PT.Toha Putra, 1978), h.307.
Artinya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. 2/229)
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari siapa
sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada
empat kemungkinan, yaitu:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah
seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula
hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan
dinyatakannya kehendak itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini disebut
talak.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri, karena si istri melihat sesuatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu.
Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini dengan
membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan
ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara
ini disebut khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya suatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak
dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam
bentuk ini disebut Fasakh.17
B. Macam-macam Perceraian dan Akibat Hukumnya
Pada zaman jahiliyyah tidak ada peraturan yang mengatur tentang
perceraian. Laki-laki boleh saja menthalak isterinya seberapa saja dia kehendaki.
Setiap kali akan habis masa iddahnya, maka rujukinya kembali. Hal seperti itu
dilakukan berkali-kali. Denagan demikan berarti kaum laki-laki telah berbuat
sewenang-wenang oleh isterinya.18
Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-undang
Perkawinan (pasal 39–41) dan tata cara perceraian dalam Peraturan Pelaksanaan
(pasal 14–36) menjelaskan bahwa ada dua macam perceraian,yaitu: (1). Cerai
talak, dan (2). Cera gugat. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 129–
132 menyebutkan bahwa bentuk perceraian dibedakan menjadi: talak cerai atau
permohonanan, dan Cera gugat.19
17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet.I, h.197
18 Bakri A. Rahmad dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hal. 41
19 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akadika Pressindo,
2004), h.143-144
Cerai talak merupakan suatu pemutusan hubungan perkawinan yang
dinyatakan oleh seorang suami kepada isterinya (berupa talak) pada perkawinan
yang dilaksanakan menurut aturan agama Islam. Yang berisikan pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraiakan isterinya.
Talak ialah terurainya ikatan nikah dengan perkataan yang jelas dengan
perkataan yang jelas seperti suami berkata pada istrinya ”engkau aku ceraikan”
ataupun dengan bahasa sindiran. Sedangkan istri yang cerai dari suaminya maka
ia harus menebus dirinya dengan sejumalah uang yang ia serahkan kepada
suaminya yang demikian disebut khulu’.20
Cara talak seperti ini harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
(pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) dan didasarkan
pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh Undang-undang tersebut.21
Perkara Cerai Talak adalah perkara perceraian yang diajukan oleh seorang
suami yang pernikahannya dilakukan menurut perkawinan Islam. Dalam perkara
cerai talak, posisi suami sebagai Pemohon berlawanan dengan isteri sebagai
Termohon. Apabila dikabulkan, maka dalam salah satu amar (diktum)
putusannya, pengadilan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar
talak di hadapan sidang pengadilan agama. (pasal 70 yat (1) UU no. 7 tahun
20 Abu Bakar Al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim, terj. Fadli Bahir, Lc, (Jakarta: Darul Falah,
2005), Cet. Ke-9, Hal, 605.
21 R. Subekti, dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pratnya
Paramita, 2006), cet.ke-27, h.549
1989). Pelaksanaan sidang untuk pengucapan ikrar talak akan dilakukan setelah
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).
Sesaat setelah pemohon mengucapkan ikrar talaknya, maka Panitera
menerbitkan Akta Cerai untuk Pemohon dan Termohon. (pasal 72 jo. 84 UU no. 7
tahun 1989).
Perkara Cerai Gugat adalah perkara perceraian yang diajukan oleh pihak
isteri terhadap suaminya. Dalam perkara ini posisi isteri adalah sebagai Penggugat
berlawanan dengan suami sebagai Tergugat. Apabila gugatan cerai dikabulkan,
maka selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan tersebut berkekuatan hukum
tetap, Panitera akan menerbitkan Akta Cerai untuk Penggugat dan Tergugat.
(pasal 84 ayat (4) UU no. 7 tahun 1989).
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan
terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan perceraian itu terjadi
dengan suatu putusan pengadilan.
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh isteri atau kuasa hukumnya di
depan pengadilan agama dimana tergugat bertempat tinggal yang sesuai dengan
pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.22
Gugatan
tersebut dapat berupa surat gugatan maupun secara lisan, namun pada prinsipnya
harus secara tertulis.
22 Ibid, h.549
Yang dimaksud dengan surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak
untuk bercerai karena adanya suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak seorang isteri.23
Dan
cerai gugat ini pun harus disertai dengan alasan-alasan yang kuat dan dibenarkan
oleh undang-undang tersebut.
Pengertian cerai gugat dalam hukum Islam dikategorikan dengan istilah
yang disebut khulu’, arti khulu’ ialah perceraian berdasarkan persetujuan suami
istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari si suami kepada si istri dengan
adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai
dengan khulu’ itu.24
Ditinjau dari segi waktu dijatuhakn talak oleh suami, maka talak dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan dengan tuntunan sunnah. Disebut
talak sunni apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Isteri yang ditalak sudah pernah digauli.
b. Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam
keadaan suci dan haid.
23 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2003), cet. Ke-4, h. 39
24 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet.V, h.115
c. Talak dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,
dipertengahan maupun di akhir suci. Sekalipun beberapa saat setelah itu
datang haidh.
d. Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci ketika talak
dijatuhkan.25
2. Talak bid’î, talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah, artunya tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.
Termasuk talak bid'î ialah:
a. Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haidh, baik
dipermulaan haidh maupun dipertengahan. Talak yang seperti ini akan
memberi kemudharatan kepada isteri, karena iddahnya menjadi lama.
Talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi
pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci. Talak macam ini akan
menimbulkan penyesalan suami, karena akan muncul keraguan jangan-
jangan isteri sedang hamil, karena laki-laki sering sekali menalak isteri
belum memberinya seorang anak. Kalau sudah terlanjur menyesal, sulit
mempertemukannya kembali dan ini akan menyebabkan kesengsaraan
anak.
3. Talak La sunni Wala bid'î, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak
sunni dan tidak pula termasuk talak bid'î.
25 Sri Mulyati, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN
Syarif Hidayatullah, 2004), h.27
Menurut ulama Hanabilah, yang termasuk dalam talak ini adalah:
a. Isteri yang sudah tidak haidh lagi.
b. Isteri dibawah umur.
c. Isteri dalam keadaan hamil.
d. Dan isteri yang belum dicampuri.
Ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali lagi kepada mantan
isterinya, talak terbagi menjadi dua macam, yaitu: talak raj'î dan talak bâ’in.26
Talak raj'î yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Arti rujuk ialah kembali,
artinya kembali mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak melalui proses
perkawinan lagi, tetapi melalui proses yang lebih sederhana.27
Dengan kata lain, talak raj'î bisa juga diartikan dengan talak yang
dijatuhkan suami kepada isterinya yang sudah digauli dan juga sebagai talak satu
atau talak dua.
Konsekuensinya, bila isteri berstatus iddah talak raj'î, suami boleh rujuk
kepada isterinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa saksi dan mahar pula. Akan
tetapi kalau iddah telah habis, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepadanya,
kecuali dengan akad yang baru dan dengan membayar mahar pula. A. Fuad Said,
beliau berpendapat bahwa talak raj'î ialah talak sunni yang telah dicampuri, baik
dengan sharih maupun kinayah.28
26 Ibid, h. 31
27 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.10
28 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), h.55
Talak bâ’in adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang
belum pernah digauli atau talak tiga.29
Talak bâ’in ini terbagi menjadi dua macam,
yaitu:
a. Talak bâ’in Sughra
Yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan isterinya, tetapi ia
dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.30
b. Talak bâ’in kubra
Yaitu talak yang sama hukumnya dengan talak bâ’in sughra, yaitu
memutuskan tali perkawinan. Bedanya, talak bâ’in kubra tidak menghalalkan
mantan suami merujuk isterinya lagi, kecuali isterinya tersebut harus kawin
terlebih dahulu dengan laki-laki lain (muhallil).31
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan talak, maka talak dibagi menjadin dua macam, yaitu:
1. Talak Shârih
Yaitu talak yang dijatuhkan suami menggunakan ucapan langsung tanpa
menggunakan sindiran atau kiasan. Maksudnya kata-katanya yang keluar dari
mulut sang suami itu tidak ragu-ragu lagi, bahwa ucapannya itu untuk
memutuskan hubungan perkawinan. Misalnya, kata-kata suami “engkau (hai
29 Ibid, h.31
30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet. I, h. 221
31 Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah: Fikih Sunnah 8, Penerjemah Mohammad Thalib, (Bandung:
PT.Al-Ma’arif, 1981), cet. I, h.68
wanita) tertalak”, atau “saya ceraikan engkau”. Dengan niat atau pun tidak
keduanya harus bercerai, asalkan perkataannya itu bukan berupa hikayat atau
cerita.32
2. Talak kinayah
Yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.
Talak dengan kata-kata kinayah bergantung pada niat suami, artinya jika
suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah
talak yang dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah
tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak dinyatakan
jatuh.33
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang
diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana: suami tidak memberikan
nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut; suami meninggalkan
istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun
terdapat kontroversi tentang batas waktunya); suami tidak melunasi mahar (mas
kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun
seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suami istri); atau adanya perlakuan
buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain
yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri. Jika gugatan tersebut
32 Ahmad Shiddieq, Hukum Talak dalam Islam, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), h.16
33 Sri Mulyati, Relasi Suami Isteri dalam Islam, h.30
dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim
berhak memutuskan (tafrîq) hubungan perkawinan antara keduanya.
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan
istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami.
Penceraian semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah. Jamilah binti
Sahal, istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama yang melakukan
khulu’ dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas:
H� ���G ا��أة أن� ����س ا� �- GI'�& ا����%� أ�ا�'�( ) و+'�* �'
G��A? ا�'�( ر+9ل ی� G��� � H - �� JK�أ ) وL�M�% دی و@ �'> ?% �'
+9لر ?�Aل اP+2م ?% اNM�� أآ�: أI�دLی و+'�* �' ( ا�'�( �'�& ا�'�( ) '� )KA��ی G��- *� ا���یCA ا-�� و+'�* �' ( ا�'�( �'�& ا�'�( ر+9ل -�ل ن�RAL'=و CA '7I. 34
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui
Rasulullah SAW dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku
Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak maupun agamanya. Hanya saja aku
khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah (memeluk) Islam (karena
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah bersabda:” Apakah
kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu menjawab:
“Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu
dan ceraikan istrimu”. (HR.Bukhari).35
Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:
9�Kه� ���� V�WIوا أن M�* ی��U و��Iءا �Y Z أ��� ی]�?� أن إ��� �� A��ود ی
�� أ��� KN�* ?\ن ا�'�(A4��ح ?'� ا�'�( ��ود ی ��R '� �� K�تا? ? )�
34 Ibnu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim, Shahih Bukhori (Kohiro: Jumhuriyah
Mishro Al-Arobiyah, 1411-H), Juz-VIII, h. 219
35 Sayyid Sabiq, Terjemahan: Fikih Sunnah JIlid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Cet.
Ke-3, h. 190-191
Artinya:
” …Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…. “(Q.S.2:229)
Menurut para fuqaha, khulu’ pengertian luasnya yakni perceraian dengan
disertai agar melepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubaraah
atau pembebasan, dan talak. Jika ditelusuri pengertian khususnya, yaitu talak atas
dasar iwadh (pengganti) sebagai tebusan dari istri.36
Dengan pengertian khulu’ diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
khulu’ adalah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang dapat
terjadi atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar istri
membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya.37
Menurut golongan Zahiriyah dan pendapat Ibnu Mundzir, bahwa untuk
sahnya khulu’ haruslah karena istri nusyuz atau durhaka kepada suami.38
Tetapi
Imam Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meski
istri tidak dalam keadaan nusyuz, dan khulu’ itu sah dengan saling kerelaan
antara suami istri kendati keduanya dalam keadaan biasa dan baik-baik saja.39
Khulu’ adalah sah apabila telah ada syarat-syarat berikut:
36 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), edisi.I, h.221
37 A. Rahman. I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002), cet.I, h.251
38 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.220
39 Ibid, h.103
1. Kerelaan dan Persetujuan
Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan
kerelaan dan persetujuan dari suami istri, asal kerelaan dan persetujuan itu
tidak berakibat kerugian di pihak orang lain.40
Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ dari istrinya,
sedang pihak istri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang istri, maka
ia dapat mengajukan gugatan untuk bercerai kepada pengadilan.
2. Istri yang dapat di khulu’
Para ahli fiqh sepakat bahwa istri yang dapat dikhulu’ itu ialah yang
mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya.41
3. Iwadh
Bentuk iwadh sama dengan bentuk mahar. Benda apa saja yang dapat
dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwadh.
Mengenai jumlah iwadh, yang penting ialah persetujuan pihak-pihak
suami istri, apakah jumlah yang disetujui itu kurang atau sama atau lebih dari
jumlah mahar yang pernah diberikan oleh pihak suami kepada pihak istri
diwaktu terjadinya akad nikah.42
4. Waktu menjatuhkan khulu’
40 Kamal Mukhtar, Asa-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), cet.III, h.184
41 Ibid, h. 185
42 Ibid, h.186
Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa
haidh, pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampuri atau yang telah
dicampuri dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan pengertian umum ayat
229 surat Al-Baqarah dan Hadits Ibnu Abbas yang tidak menyebutkan waktu-
waktu menjatuhkan khulu’.43
Ketentuan hukum khulu menurut tinjauan fikih, dalam memandang
masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut:
1. Mubah (Diperbolehkan). Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal
bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak
suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah khulu' ini
dengan pernyataannya, bahwasanya khulu', ialah seorang suami menceraikan
isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang,
kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena
adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena
jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang,
kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang
43 Ibid, h. 187
menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau talak
Tiga).
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan khulu' (gugat cerai) bagi
wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat
dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami
mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak
memilih perceraian.
2. Diharamkan Khulu', Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a. Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan
komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya
dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan
gugatan cerai, maka khulu' itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada
wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika khulu' tidak
dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah SWT berfirman:
9�Kه�Iءا_� /�'9ه� VK�ه9�ا �� �I @و Ca��N� IWأن ی �bإ � C�L وZ���وه� ������وف ?\ن آ�ه9�Kه� ?�c& أن MI�ه9ا U�
�Y Z ا� �ا آ�� ) � ا) ?�dوی .
Artinya:
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (Q.S. 4:19)
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil
tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah
agar isteri tersebut membayar terbusan dengan khulu', maka diperbolehkan
berdasarkan ayat di atas.
b. Dari Sisi Isteri. Apabila seorang isteri meminta cerai padahal
hubunganrumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun
pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada
alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu'.
3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (khulu').
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang
isteri disunnahkan khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.
4. Wajib
Terkadang khulu' hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya
terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan.
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan
yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan
menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan
hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun
hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah,
maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari
suaminya tersebut khulu' walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang
muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan
perbuatan kufur.
Efek hukum yang ditimbulkan Fasakh dan khulu’ adalah talak bâ’in
sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya,
apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan
melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri
wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan
laki-laki yang lain.
C. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian ada
beberapa alasan yang melatarbelakangi kenapa perceraian dapat terjadi. Hal ini
dijelaskan dalam KHI pasal 116 dan PP No.9 Th.1975 pasal 19. Terdapat juga
dalam pasal 39 ayat 2 UUP No.1 Th.1974.
Alasan perceraian menurut hukum Islam adalah:
1. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga,
tidak ada lagi rasa kasih saying yang merupakan tujuan dan hikmah dari
perkawinan.
2. Karena salah satu pihak berpindah agama.
3. Salah satu pihak melakukan perbuatan keji.
4. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak istri.
5. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad pernikahan
(taklik talak).44
Hal-hal yang menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang
suami dengan seorang isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan
menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 38 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada tiga sebab, yaitu karena
kematian, karena perceraian dan atas keputusan pengadilan agama.45
Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak isteri, dan sebab
keputusan pengadilan.
1. Sebab yang merupakan hak suami
Islam memperbolehkan untuk memutus ikatan perkawinan atas dasar kemauan
pihak-pihak. Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum
yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan
talak.46
2. Sebab yang merupakan hak isteri
Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hokum yang menjadi sebab
putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah khul’un.47
Isteri
meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan perkawinan
44 Muhammad Hamidy, Perkawinan dan Permasalahannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980)
45 Ahmad Khuzari, M.A., Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), cet pertama, h. 117
46 Ibid, h. 117-118
47 Ibid, h. 121
dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menebus dirinya kepada
suami.
3. Sebab atas keputusan pengadilan
Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar
pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan
ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif. Keterlibatannya
terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami atau pihak isteri,
mengajukan gugat atau permohonan kepada pengadilan.48
Suami isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian karena
para pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Akan
tetapi perceraian itu harus dengan alasan-alasan yang sesuai dengan apa yang
telah diatur dalam undang-undang.
Adapun menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 39 ayat 2 (dua) dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian diperlukan
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 19 dan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 116 dan 51 menjelaskan tentang alasan perceraian yang dapat
terjadi.
48 Ibid, h. 123
Untuk itu penulis berusaha untuk menguraikannya satu persatu sebagai
berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Zina merupakan alasan
untuk bercerai. Pembuktian zina ini dapat dibuktikan dengan mendengar
kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahui perbuatan zina
tersebut. Namun dalam pembuktiannya ini sangat sulit untuk dibuktikan, maka
dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan. Awal dari perbuatan ini
menimbulkan pertengkaran serta memancing konflik dalam rumah tangga
secara terus menerus. Begitu pula dengan perbuatan judi, madat serta mabuk
yang berdampak sama dengan perbuatan zina.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
Perceraian dengan alasan di atas bertujuan untuk melindungi pihak yang
ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keadaan pihak yang
meninggalkan. Jadi pihak yang ditinggalkan dapat dilindungi dari haknya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukumannya
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Dalam Perarutan Pemerintah No.9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 23 disebutkan bahwa:
Gugatan perceraian karena salah seorang suami isteri mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 19 huruf (c) maka untuk mendapat putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup meyampaikan salinan putusan pengadilan
yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hal ini berarti pihak tergugat tidak dapat melumpuhkan alat bukti yang
diajukan penggugat, karena hakim pun terikat secara mutlak atas alat bukti
tersebut, dengan syarat:
a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara.
b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan, menjelaskan
bahwa putusan pidana tersebut telah benar-benar mempunyai hukum
tetap.
d. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara suami isteri.49
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Jika seorang suami melakukan penganiayaan berat terhadap isterinya, maka
isteri berhak mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di pengadilan.
Sebagai langkah untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang lebih buruk lagi.
49 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1993), cet.Ke-2, h. 260
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
Cacat badan juga dapat dijadikan alasan untuk bercerai, ini disebabkan oleh
karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami
isteri. Perceraian pada alasan ini bisa tidak terjadi kalau masing-masing pihak
dapat menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pertengkaran yang terjadi antara suami isteri secara terus menerus ini
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Semua
usaha harus dilakukan untuk berdamai antara suami isteri tersebut tapi
kalaupun tidak bisa maka salah satu jalan adalah perceraian.
7. Suami melanggar taklik talak
Dalam perceraian karena suami melanggar taklik talak perlu diketahui apakah
suami mengucapkan taklik talak atau tidak, maka jika si suami mengucapkan
taklik talak, si isteri merasa dirugikan, oleh karena itu alasan ini dapat diterima
sebagai alasan untuk bercerai.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga. Murtad adalah keluar dari agama Islam. Maka haram
bagi diri isterinya yang masih beragama Islam.50
50 M. Thalib, Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1997), cet.Ke-1, h. 179
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Sejarah Singkat Tentang Berdirinya Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
Dasar Hukum Pembentukannya.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963.
Pada mulanya Pengadilan Agama Jakarta diwilayah DKI Jakarta hanya terdapat
tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;
3. Pengadilan Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk;
Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Agama
Nomor 17 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976.
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan
Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangannya selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi Menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Bersadarkan Surat Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor
61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah ke
Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana tanggal 30 Oktober 1987 dan
secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta
adalah menjadi Wilayah HukumPengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Pada perkembangannnya dengan terbentuknya Pengadilan Agama Jakarta
Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika
iti pada pada tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama istimewa
Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur.
Sebutan waktu itu adalah Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan
banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta
tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas. Untuk itu
keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati kantor
bekas Kecamatan Pasar Minggu disuatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal
dengan gang Pengdilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor
dipegang oleh H. Polana.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang
warisan masuk kedalam komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerja sama dengan
Pengadilan Negri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak Bismar Siregar. SH.
Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal
tersebut ditentang oleh pihak keamanan kerena bertentangan dengan
kewenanyannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan Mughni
ditahan karena penerapan fatwa waris sehingga sejak itu fatwa waris ditambah
dengan kata "jika ada harta peninggalan".
Pada tahun 1976 gedung kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menenpati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebuah kantor cabangpun di hilangkan
menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula
beberapa orang Hakim honorer yang diantaranya adalah H. Ichtijanto,SA, SH.
Penunjukan tempat tersebut adalah inisiatif Kepada Kandenpag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat oleh Drs. H. Muhdiyasin seiring dengan
perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas
kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari Sukandi, Saimin, Tuwon
Haryanto, Fatullah An, Hasan Mugni, dan Imron keadaan penempatan Kantor di
serambi Masjid tersebut bertahan hingga tahun 1979.
Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Jakarta Selatan pindah ke
gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru
dengan tanah yang masih manumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang
dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh
H. Alimi BA diangkat pula hakim-hakim honorer untuk mengangani perkara-
perkara yang masuk, mereka diantaranya: KH. Yakub, KH. Muhdats Yusuf,
Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepamimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, SH. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jl.
Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan
menempati gedung baru yang merupakan hibah dari PEMDA DKI, di gedung
baru ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah
setingkat Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan
jalan masuk dengan jalan kelas III C. Namun sudah kebih baik ketimbang di
Pondok Pinang, pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada
masa kepemimpinan Drs. H, Jayusmanm SH.
Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa
kepemimpinan Drs. Ahmad Kamil, SH pada masa ini pula Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walau hanya sebatas pengetikan dan ini
tersu ditingkatkan pada masa kepemimpinan Drs. Rif'at Yusuf.
Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Drs. H. Zainuddin Fajari, SH pembenahan-
pembanahan terus dilakukan baik fisik maupun non fisik sampai pada tahapan
komputerisasi on-line dalam administrasi, dan hal tersebut pada saat ini masih
terus dibenahi sampai sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Sayyed Usman dan sampai pada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan
sekarang yang dijabat Pahlawan Harahap, yang tujuannya untuk meningkatkan
mutu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan sehingga terciptanya
keadilan dalam masyrakat.51
51 Diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Yursidiksi Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta Selatan. 16 Maret 2009
Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan salah satu Pengadilan yang
sebagian besar wilayah cakupan hukumnya berada pada masyarakat kalangan
menengah keatas mulai dari public figure seperti selebritas, pengusaha hingga
politikus. Sudah selayaknya jika Pengadilan ini meningkatkan kinerja baik dari
sarana maupun prasarana agar dapat menunjang kebutuhan masyrakat.
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Dalam menjalankan roda pemerintahan dan mekanisme kerja Pengadilan
Agama Jakarta Selatan banyak melakukan perubahan dalam struktur organisasi,
agar dapat mempermudah mekanisme kerja dan birokrasi dalam pengadilan itu
sendiri.
STRUKTUR ORGANISASI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN52
JABATAN NAMA
KETUA Drs. H. Pahlawan Harahap, SH, MH
WAKIL KETUA Drs. H. Ahsin Abdul Hamid, SH, MH
HAKIM Dra. Hj. Noor Jannah A, Mh
Dra. Hj. Al Zaenab, Sh
Dra. Azizah Hadi
Muhaimin Am. Sh
Muh. Kailani, Sh. Mh
Drs. Harum Rendeng
Drs. H. Mamat R. SH. MH
Drs. H. Fuizaiman, SH
Dra. Hj. Farchanah M. M. Hum
Drs. A bdurrachim. MH
Drs. Chotman Jauhari, MH
Hj. Shafwah, SH. MH
Drs. Kamaluddin, MH
52 Ibid.
PANITERA /SEKRETARIS Dra. Aminah
WAKIL PANITERA H. Hafani Baihaqi, Lc. SH
WAKIL SEKRATARIS Dwiarti Yuliani, SH
PANMUD PERMOHONAN Dra. Ida Fitriani
S T A F Ratu Ayu R, SHI
A Zamrun Najib, SE
Nurdiansyah
Nur Holla
PANMUD GUGATAN Ghizar Fau’ah, SH
S T A F Siti Nurhayati
Fa’ilatun
Nuhayatul, SH. MH
Irna Kurnia, SH
PANMUD HUKUM Drs. Moh. Taufik
S T A F Maryam, S.Ag. MH
Aji Djuanda R
Sujiati
KASUBAG KEPEGAWAIAN Yunu Winarti
S T A F Sumiyati
M. Sahid
KASUBAG KEUANGAN A Mahfudin, S.Ag
S T A F Nuraini, SH
Nining Widiawati
KASUBAG U M U M M. Fahat, SH
S T A F Marhamah
Magdalena Hutagaol
Ahmad Furqoni, SE
Sumar yuno
Nurhasan
PENITERA PENGGANTI Drs. Hasbullah
Dra. Murniyati
Siti Saudah, SH
Nurhayati, SH
Rahmi, SH
Moh. Hambali, SH
Nurlaela, SH
Abdullah, SH. MH
Umar Ismail, SH
Mahrum, SH
Ikrimawatiningsih, S.Ag
RR. Siti Kholifah, Sh
Fathony, SH
Eva Zulhaefa, SH
Rita Suriyah, SH
Tirmizi, SH. MH
HS. Shalahuddin, Sh
M. Kamal S, S.Ag. MH
Tuti Sudiarti, SH
Luthfi M. S.Ag. MA
JURUSITA M. Yasin, SH
Endang Bachtiar, SH
JURUSITA PENGGANTI Hafas
Sudiono
M. Sidik
H. Waluyo, SH
Prio Riyanto
Wisno Wijaya, SE
C. Sarana dan Prasarana Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berikut dibawah ini adalah uraian dari beberapa sarana dan prasarana
yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
1. Gedung kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang lama,dengan
perkiraan luas 224 m2, yang berlokasi di Jl.Ciputat Raya,Pondok Pinang
Jakarta Selatan. Kini dijadikan sebagai rumah dinas ketua Pengadilan Agama
Jakarta sejak tahun 1990.
2. Gedung kantor balai sidang Pengadilan Agama sekarang, dengan perkiraan
luas 1000 m2,yang berlokasi di Jl.Rambutan VII/48, Pejaten Barat, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan.
3. Mushala dan ruang hakim yang berfungsi sebagai kesekretariatan, dengan luas
masing-masing 84 m2.
4. Ruang arsip berkas perkara yang dibangun sejak tahun 1996 sebagai ruang
tambahan, dengan perkiraan luas 65 m2.
5. Ruang hakim dan ruang komputer sekaligus ruang arsip perkara, terdiri dari
dua lantai seluas 25,60x6m (151,20 m2),yang dibangun pada tahun 2002,
sebagai ruang tambahan.53
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan terdiri dari dua lantai dengan
keterangan sebagai berikut:
1. Lantai Bawah:
a. Ruang Kasir
b. Ruang Panitera Muda Hukum
c. Ruang Panitera Muda Permohonan
d. Ruang Panitera Gugatan
e. Ruang Pendaftaran Perkara
f. Ruang Ketua
g. Ruang Panitera / Sekretaris
h. Ruang Arsip Berkas Perkara
i. Ruang Wakil Panitera
j. Ruang Sidang
2. Lantai Atas:
a. Musholla
b. Ruang Wakil Sekretaris
53 Ibid.
c. Ruang Kasubag Keuangan
d. Ruang Kasubag Kepegawaian
e. Ruang Umum
f. Ruang Juru Sita / Juru Sita Pengganti
g. Ruang Perpustakaan
h. Ruang Hakim
i. Ruang Panitera Pengganti
j. Aula
k. Ruang Mediasi
l. Ruang Server Komputer
D. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan salah satu instansi yang melaksanakan
tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
7. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI
8. Instruksi Dirjen Bimas Islam/Bimbingan Islam
9. Keputusan Mentri Agama RI, Nomor 69 Tahun 1963, Tentang Pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
10. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata kerja dan wewenang
Pengadilan Agama
Berdasarkan landasan hukum di atas maka pembagian wilayah hukum
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mencakup 10 Kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Jagakarsa
2. Kecamatan Pasar Minggu
3. Kecamatan Cilandak
4. Kecamatan Pesanggrahan
5. Kecamatan Kebayoran Lama
6. Kecamatan Kebayoran Baru
7. Kecamatan Mampang Prapatan
8. Kecamatan Pancoran
9. Kecamatan Tebet
10. Kecamatan Setia Budi54
54 Diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Yursidiksi Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta Selatan. 15 Maret 2009.
BAB IV
PENINGKATAN ANGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN
A. Gambaran Perkara Cerai Gugat dari Tahun 2006-2008
Bertambahnya pemahaman perempuan akan hak-hak mereka yang
dilindungi dalam Undang-Undang perkawinan membuat perempuan kini tidak
lagi merasakan enggan untuk melaporkan kekerasan maupun ketidakadilan yang
terjadi dalam rumah tangganya. Pada perkembangannya cerai gugat kini menjadi
trend baru seseorang dalam melepaskan dari riuhnya permasalahan yang ada
didalam rumah tangga, sehingga penilaian akan penyelesaian masalah
dimudahkan dengan bercerai. Banyak hal yang menjadi pemicunya mulai dari
kuranya pengertian diantara kedua belah pihak, komunikasi, ekonomi dll
(selanjutnya akan dibahas pada poin C pada bab ini).
Di Jakarta dari 5. 193 kasus, sebanyak 3. 105 (60%) adalah kasus isteri
gugat cerai suami dan sebaliknya suami gugat cerai isteri 1. 462 kasus. Di
Surabaya dari 48. 374 kasus sebanyak 27. 805 (80%) adalah kasus isteri gugat
cerai suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17. 728 kasus.55
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Badan Peradilan Agama
Makamah Agung, pada tahun 2007 penceraian di DKI Jakarta mencapai 6.218
kasus, terdiri atas istri gugat cerai suami 3.482 kasus, dan suami gugat cerai istri
2.115 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 tercatat 5.193 kasus, terdiri atas istri
gugat cerai suami 3.105 kasus, dan suami gugat cerai istri 1.462 kasus.
Direktur Urusan Agama Islam Departeman Agama, Mochtar Ilyas,
mengakui masih tingginya angka perceraian di DKI Jakarta. Faktornya bervariasi,
mulai dari masalah ekonomi hingga politik. Dan kasus tertinggi perceraian atas
permintaan istri, yaitu mencapai 60 persen. “Walaupun ada penurunan
dibandingkan tahun 2007 lalu, tetapi angka itu masih terbilang cukup tinggi. Dan
jumlah itu telah menghasilkan ikhwat atau tebusan perempuan terhadap laki-laki
sekitar Rp 600 juta. Padahal seharusnya, lebih besar bila tebusannya dari laki-
laki,” ujar Mochtar Ilyas.56
Dari 157.771 kasus perceraian yang diputus pengadilan agama pada tahun
2007, 77.528 kasus dipicu oleh salah satu pihak meninggalkan kewajiban.
Meninggalkan kewajiban ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak
bertanggung jawab (48.623 kasus), faktor ekonomi di rumah tangga para pihak
55 http://www.eramuslim.com/berita/nasional/dalam-satu-dasawarsa-kasus-isteri-gugat-cerai-
suami-makin-meningkat.htm 26 Juni 2009 56 http://202.57.16.35/2008/id/berita_print.asp?nNewsId=33470 26 Juni 2009
(26.510 kasus), dan dikarenakan pula sejarah perkawinan para pihak yang dipaksa
oleh orang tua (2.395 kasus).
Pemicu kedua adalah perselisihan terus-menerus. Faktor ini terjadi
sebanyak 65.818 kasus. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada
peristiswa perceraian ini disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi (55.095
kasus), gangguan pihak ketiga (10.444 kasus) dan faktor politis (281 kasus).
Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis
keharmonisan rumah tangga. Faktor moral menampati urutan ketiga yang
menyebabkan pasangan suami isteri berujung di persidangan pengadilan agama.
Grafik diatas menyebutkan bahwa 10.090 kasus perceraian disebabkan oleh
persoalan moral. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami melakukan poligami
tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), 937 kasus, krisis akhlak (4.269 kasus)
dan cemburu yang berlebihan (4.884 kasus).
Pemicu ke empat rusaknya simpul perkawinan adalah kekerasan dalam
rumah tangga. Terdapat 1.845 kasus perkawinan putus karena faktor ini.
Sedangkan pemicu lainnya adalah karena salah satu pasangan mengalami
cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban (1.621
kasus), perkawinan di bawah umur (513 kasus), dan salah satu pihak dijatuhi
pidana oleh pengadilan (356 kasus).57
57http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2139&Itemid=429
28 Juni 2009
Secara detil grafik faktor penyebab perceraian adalah seperti gambar
berikut ini :
Gambar Grafik 1
B. Jumlah Peningkatan Angka Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan
Meningkatnya perceraian yang ada di Pengadilan Jakarata Selatan diakui
oleh hakim yang menangani perkara cerai gugat di pengadilan tersebut, perkara
perdata yang berkaitan dengan cerai gugat pada setiap tahunnya meningkat
dibandingkan dengan cerai talak seperti pada masa-masa sebelumnya.58
Pada
setiap cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan selalu
diupayakan dengan memberikan media seperti BP4 agat perceraian dapat
dihindarkan, namun perkara yang terjadi dalam rumah tangga terkadang tidak
dapat terselesaikan begitu saja bahkan setelah melalui BP4 langsung berlanjut
dengan sidang cerai.59
Paham penulis adalah, para perempuan (istri) memahami
cerai gugat sebagai jalan mudah dalam menceraikan suami yang sudah tidak
sesuai dengan tujuan pernikahan pada awalnya. Pada sisi negatifnya akan semakin
banyaknya perceraian yang terjadi di kehidupan rumah tangga, sedangkan
positifnya adalah terlindungnya perempuan (istri) dari tindakan sewenang-wenang
dari suami yang tidak bertanggung jawab baik secara lahir atau pun batin.
Berikut merupakan data yang didapatkan penulis dalam penelitian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan:
58 Wawancara Esklusif penulis dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan: H. M.
Kailani SH, MH dan Dra. Muhaya SH. MH, pada tanggal 23 Juni 2009.
59 Wawancara Esklusif penulis dengan penggugat: Ibu Yuliarti di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, pada tanggal 23 Juni 2009
Tabel 1
Perbandingan Cerai Gugat dan Cerai Talak
Berdasarkan Perkara yang Diterima
Pada Tahun 2006-2008
Tahun Cerai Talak Persentase Cerai Gugat Persentase Jumlah
2006 544 34,28 1027 65,72 1571
2007 620 38,09 1008 61,91 1628
2008 638 32,51 1324 67,48 1962
Jumlah 1802 34,91 3359 65,09 5161
Sumber : Data Perceraian Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tabel 2
Peningkatan Persentase Angka
Cerai Gugat dan Cerai Talak
Berdasarkan Perkara yang Diterima
Pada Tahun 2006-2008
Tahun Cerai Talak Persentase Cerai Gugat Persentase Jumlah
2006-2007 544-620 14 1027-1008 -1,85 12,15
2007-2008 620-638 3 1008-1324 30,8 33,8
2006-2008 544-638 17,3 1027-1324 29 46,3
Sumber : Data Perceraian Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tabel 3
Perbandingan Cerai Gugat dan Cerai Talak
Berdasarkan Perkara yang Diputus
Pada Tahun 2006-2008
Tahun Cerai Talak Persentase Cerai Gugat Persentase Jumlah
2006 451 33,51 895 66,49 1346
2007 445 33,14 898 66,86 1343
2008 527 32,11 1114 67,89 1641
Jumlah 1423 32,87 2907 67,13 4330
Sumber : Data Perceraian Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tabel 4
Peningkatan Persentase Angka
Cerai Gugat dan Cerai Talak
Berdasarkan Perkara yang Diputus
Pada Tahun 2006-2008
Tahun Cerai Talak Persentase Cerai Gugat Persentase Jumlah
2006-2007 451-445 -1,33 895-898 -0,33 -1,66
2007-2008 445-527 18,42 898-1114 24,05 42,47
2006-2008 451-527 16,85 895-1114 24,46 41,31
Sumber : Data Perceraian Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam kurun waktu tiga tahun (2006,
2007, 2008) menerima 3359 permohonan perkara cerai gugat dan 1802
permohonan perkara cerai talak, pengajuan ini berdasarkan penghitungan data
yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengajuan kasus cerai secara
keseluruhan adalah 5161 permohonan. Sedangkan pada perkara yang dikabulkan
permohonannya adalah 1423 perkara cerai talak dan 2907 perkara cerai gugat,
sehingga didapatkan jumlah 4330 perkara cerai yang diputuskan dalam tiga tahun.
Sehingga kalau diambil rata-rata maka setiap harinya terjadi 4 (empat) perkara
cerai yang diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pada perkara yang diputus terlihat bahwa angka cerai gugat di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan pada setiap tahunnya (periode 2006-2008) terus
meningkat, walaupun angka kenaikannya tidak dalam bentuk yang signifikan
masih dibawah 1% dengan peningkatan rata-rata sekitar 0,7% setiap tahunnya.
Namun angka perceraian di atas masih dikatakan cukup tinggi berdasarkan data
pada tahun 2007 di Jakarta Selatan terdapat 3.302 pasangan menikah dan
pasangan yang bercerai ada 1343 pasangan, hal ini berarti hampir dari sepertiga
dari jumlah pasangan yang menikah pada tahun sebelumnya bercerai pada tahun-
tahun berikutnya.
C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Peningkatan Cerai
Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Perceraian yang terjadi tidaklah terjadi begitu saja tanpa sebab-sebab yang
jelas, banyak kemungkinan yang dapet diuraikan secara detail satu persatu dengan
pelbagai alasan yang mengemuka pula. Memang faktor yang memicu perceraian
tidaklah serumit kelihatannya, hakikatnya bahwa pendidikan akan pengetahuan
agama dan pendidikan dirumah lah yang dapat membangun seseorang dapat siap
menghadapi permasalahan yang terjadi didalam rumah tangganya. Fakta berbicara
bayak orang yang kaya pun bercerai atau lagi orang yang berpendidikan tinggi
pun juga bercerai dan sebagainya, hal ini membuktikan betapa pendidikan agama
sejak dini dan pengetahuan tentang rumah tangga menjadi teramat penting bagi
masa depan setiap orang yang akan dan telah menikah.60
Berdasarkan wawancara diatas memberikan pandangan bahwa menikah
bukanlah perkara mudah dan dapat dilakukan begitu saja tanpa persiapan yang
matang. Hal demikian berkaitan dengan kelangsungan rumah tangga yang akan
dan sedang dibangun agar terhindar dari perkara perceraian.
60 Wawancara Penulis dengan Dra. Muhayah SH. MH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, pada tanggal 23 Juni 2009
Dari data yang diperoleh penulis di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
penulis mencoba memaparkan data tersebut kedalam tabel agar mempermudah
dalam menyajikan data yang menjadi faktor penyebab perceraian di Jakarta
Selatan dari tahun 2006, 2007, 2008 sebagai berikut.
Tabel 5
Data Penyebab Perceraian
Di Pengadilan Agama Jakarta Sealatan61
No Penyebab Perceraian 2006 2007 2008 Jumlah Persentase
1 Tidak Ada Keharmonisan 464 433 557 1454 33,58
2 Tidak Ada Tanggung Jawab 343 430 501 1274 29,42
3 Ekonomi 261 274 338 873 20,17
4 Gangguan Pihak Ketiga 179 183 195 557 12,87
5 Cemburu 76 8 - 84 1,93
6 Krisis Akhlak 12 7 45 64 1,48
7 Poligami Tidak Sehat 6 6 1 13 0,3
8 Kekejaman Jasmani 2 - 2 4 0,09
10 Cacat Biologis 2 1 1 4 0,09
11 Kawin Paksa 1 1 - 2 0,046
12 Dihukum - - 1 1 0,023
13 Kekejaman Mental - - - - -
14 Kawin Di Bawah Umur - - - - -
15 Politis - - - - -
16 Lain-Lain - - - - -
Jumlah 1346 1343 1641 4330 100
Berdasarkan data tabel diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah tidak ada keharmonisan di
daalam berumah tangga, dilanjutkan dengan kurangnya tanggaung jawab baik itu
dari suami maupun istri, faktor ekonomi menjadi momok yang menakutkan
61 Lihat tabel lampiran, h. 86
karena merupakan faktor penyebab perceraian ketiga, dan gangguan pihak ketiga
tetap menjadi pengancam keutuhan rumah tangga.
Berikut merupakan uraian analisa penulis tentang faktor yang menjadi
penyebab perceraian:
1. Tidak ada keharmonisan dalam berumah tangga yang menjadi penyebab
perceraian tertinggi dengan angka 1454 (33,58%), jika kita pahami maka
didapatkan bahwa yang menyebabkan hal tersebut terjadi dapat berupa
perbedaan pandangan, tingkat penidikan / pengetahuan tentang membina
keluarga.
2. Tidak adaanya tanggung jawab dalam rumah tangga 1274 (29,42%) dapat
berupa kelalaian suami dalam memberikan nafkah lahir maupun banthin
terhadap keluarga, dan dapat pula kelalaian sang istri dalam mengurus rumah
tangga seperti mengurs anak dan sebagainya. Kurangnya tanggung jawab
merupakan permasalahan yang tidak mudah utuk diselesaikan karena
melibatkan beberapa hal lainnya.
3. Faktor Ekonomi 873 (20,17%) sebagai penunjang hidup yang vital mulai
berdampak kini, ketika memasuki masa-masa krisis global banyak daripada
para suami menganggur di PHK, seperti yang terjadi di Tasikmalaya. Seiring
dengan banyaknya karyawan yang di PHK ternyaa banyak pula pihak istri
yang menggugat cerai suami, penulis melihat kerana minimnya nafkah yang
dapat di berikan suami kepada keluarga.
4. Pengaruh pihak ketiga 557 (12,57%) masih menjadi polemik yang sulit
dipisahkan, tanpa disadari ternyata kehadiran orang lain diluar struktur
keluarga secara utuh memberikan kontribusi perceraian yang signifikan. Hal
ini pula dituturkan oleh Ibu Yuliarti62
yang mengiyakan adanya pihak ketiga
yang merusak rumah tangganya, bahkan ia menuturkan bahwa suaminya
memiliki anak dari pihak ketiga tanpa pernikahan yang sah.
5. Adapun penyebab lain yang menjadi faktor perceraian tidak terlalu signifikan
(lihat tabel 6), hanya sebatas angka yang wajar dibandingkan 4 (empat) poin
teratas.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Badan Peradilan Agama
Makamah Agung, pada tahun 2007 penceraian di DKI Jakarta mencapai 6.218
kasus, terdiri atas istri gugat cerai suami 3.482 kasus, dan suami gugat cerai istri
2.115 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 tercatat 5.193 kasus, terdiri atas istri
gugat cerai suami 3.105 kasus, dan suami gugat cerai istri 1.462 kasus.
Direktur Urusan Agama Islam Departeman Agama, Mochtar Ilyas,
mengakui masih tingginya angka perceraian di DKI Jakarta. Faktornya bervariasi,
mulai dari masalah ekonomi hingga politik. Dan kasus tertinggi perceraian atas
permintaan istri, yaitu mencapai 60 persen. “Walaupun ada penurunan
dibandingkan tahun 2007 lalu, tetapi angka itu masih terbilang cukup tinggi. Dan
jumlah itu telah menghasilkan ikhwat atau tebusan perempuan terhadap laki-laki
62 Pengugat cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, berdasarkan wawancara penulis
dengan pihak yang bersangkutan.
sekitar Rp 600 juta. Padahal seharusnya, lebih besar bila tebusannya dari laki-
laki,” ujar Mochtar Ilyas.
Untuk menekan tingginya angka perceraian, menurut Mochtar Ilyas,
Mahkamah Agung akan membuat Undang-Undang Terapan tentang Pengadilan
Agama. Dengan UU yang baru itu, nanti segala sesuatu yang berkaitan dengan
talak atau perceraian harus memenuhi beberapa persyaratan. Di satu sisi, biaya
nikah dan cerai pun akan ditinjau kembali. "Sekarang biaya nikah cuma Rp 30
ribu, perceraian hanya Rp 10 ribu. Dengan biaya segitu sangat mudah dipenuhi
oleh pasangan suami istri untuk memenuhi keinginan bercerainya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4) DKI Jakarta, Sadirin, mengatakan, pasangan suami-istri
bermasalah yang datang meminta nasihat ke Badan Penasehat Pembinaan dan
Pelestarian Perwakinan (BP4) DKI Jakarta masih cukup banyak. Pada tahun 2008
mencapai 2519 pasangan, dan yang bisa didamaikan kembali 1.600 pasangan atau
berkisar 64 persen. Dan sisanya sekitar 873 pasangan atau sekitar 36 persen tetap
ke Pengadilan Agama untuk bercerai.
Cukup banyak pasangan berselisih yang tidak berhasil kita selesaikan. Itu
karena tingkat perselisihan dari kebanyakan pasangan tersebut sudah dalam
kondisi kritis,” katanya seraya menambahkan tidak sedikit pasangan yang
langsung mengajukan cerai ke Pengadilan Agama tanpa mengajukan mediasi ke
BP4 DKI Jakarta.
Ia menuturkan, rata-rata pasangan yang mengajukan gugat cerai di DKI
Jakarta sudah mulai bergeser. Dari yang sebelumnya pasangan bercerai
didominasi tamatan sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat pertama
dengan status ekonomi rendah atau kecil. Tetapi, saat ini malah sebaliknya.
"Perceraian justru lebih banyak dilakukan pasangan berpendidikan tinggi dengan
status ekonomi mapan,” katanya.
Berdasarkan data tahun 2008, wilayah Jakarta Selatan yang dikenal
kawasan ekonomi mapan dan berpendidikan tinggi, ternyata cukup tinggi angka
pasangan bermasalah yaitu 1.080 pasangan. Dan yang berhasil didamaikan 599
pasangan atau berkisar 55 persen, selebihnya 481 pasangan atau berkisar 45
persen ke Pengadilan Agama untuk bercerai. Bila dibandingkan dengan wilayah
Jakarta lain, misalnya: Jakarta Pusat, pasangan bermasalah sebanyak 313
pasangan, yang berhasil didamaikan 219 pasangan. Sisanya sebanyak 94
pasangan ke Pengadilan Agama untuk bercerai. Wilayah Jakarta Utara pasangan
bermasalah sebanyak 221 pasangan, yang berhasil didamaikan 178 pasangan atau
berkisar 80 persen. Sisanya sebanyak 45 pasangan ke Pengadilan Agama untuk
bercerai. Wilayah Jakarta Barat, pasangan bermasalah sebanyak 325 pasangan
yang berhasil didamaikan 209 pasangan. Sisanya sebanyak 116 pasangan ke
Pengadilan Agama untuk bercerai. Wilayah Jakarta Timur, pasangan bermasalah
sebanyak 440 pasangan, yang berhasil didamaikan 317 pasangan. Dan sisanya
sebanyak 123 pasangan ke Pengadilan Agama untuk bercerai. Dari perbandinagn
diatas tersebut, ternyata jumlah angka tertinggi dari pasangan yang bermasalah
terdapat di wilayah Jakarta Selatan, baik ada yang berhasil didamaikan maupun
ada yang membawanya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
“Untuk meminimalisir angka perceraian di Jakarta, kita telah melakukan
berbagai upaya seperti mengadakan pembinaan atau pendidikan pra-nikah atau
pascanikah, pelayanan konsultasi keluarga yang bermasalah, pemberdayaan
ekonomi keluarga, pemilihan keluarga sakinah teladan, dan penyuluhan keluarga
sakinah,” tandasnya.
Terkait dengan angka perceraian yang cukup tinggi itu, Wakil Gubernur
DKI Jakarta, Prijanto, meminta kepada seluruh pengurus BP4 untuk terus
meningkatkan konseling kepada keluarga yang bermasalah. Pasalnya, kondisi ini
sejalan dengan perkembangan dan kedudukan Jakarta sebagai pusat berbagai
kegiatan, seperti pemerintahan, perdagangan, ekonomi, social, budaya, politik dan
lainnya.
"Dengan kondisi itu tidak menutup kemungkinan mempengaruhi
kehidupan keluarga. Sehingga perceraian pun akan menjadi pilihan kalau dalam
satu keluarga ada yang tidak cocok. Ini merupakan fenomena yang tidak bisa
dihindari. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama berupaya meminimalir dengan
terus meningkatkan program konseling,” tandas wakil gubernur.
Seiring dengan tingginya angka perceraian, laju angka pernikahan juga
meningkat. Dari catatan Kanwil Depag DKI Jakarta, untuk periode Januari–Maret
2009, di Jakarta Utara terdapat 1.727 pasangan menikah, di Jakarta Pusat terdapat
1.621 pasangan menikah, di Jakarta Selatan terdapat 3.302 pasangan menikah, di
Jakarta Barat terdapat 2.514 pasangan menikah, di Jakarta Timur terdapat 3925
pasangan menikah, di Kepulauan Seribu terdapat 27 pasangan menikah.
“Jumlah keseluruhan dalam kurun waktu tiga bulan sejak tahun 2009
sudah mencapai 13.116 pasangan menikah. Sedangkan tahun 2008 lalu pasangan
menikah mencapai 62.051 pasang,” kata Darminto, petugas Kanwil Depag DKI
Jakarta.63
Berdasarkan paparan data diatas didapatkan bahwa angka perceraian di
wilayah DKI Jakarta masih tergolong tinggi dengan hampir setiap tahun
mengalami peningkatan, walaupun tidak dalam angka yang signifikan namum
angka tersebut masih tergolong tinggi. Ketidakadanya kecocokan sebagai pamicu
utama perceraian memang menjadi faktor utama perceraian, penulis menganalisa
banhwa faktor tersebut dapat terus meningkat jika tingkat kesejahteraan keluarga
tidak membaik dalam beberapa tahun kedepan. Memang permasalahan ini tidak
dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat, namun setidaknya BP4 memiliki
peranan yang penting dalam mencegah terjadinya perceraian di wilayah Jakarta
Selatan.
Pada wilayah Jakarta Selatan yang dikenal dengan daerah yang memiliki
perekonomian dan taraf pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah
lainnya di Jakarta justru memiliki tingkat perceraian tertinggi. Hal ini melihat
pentingganya keharmonisan dalam berumah tangga, diantaranya dengan
63 http://www.beritajakarta.com/v_ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId =33470
lingkungan keluarga yang sehat dan pengetahuan tentang berumah tangga yang
cukup, sebab hai ini senada dengan yang di ungkapkan oleh Ibu Dra. Muhayyah,
SH, MH.64
64 Wawancara Penulis dengan Dra. Muhayah SH. MH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, pada tanggal 23 Juni 2009. Dalam permasalah ini beliau menekankan pada pendidikan pra-
nikah sebagai bekal dan modal utama dalam membina rumah tangga yang sakinah mawadda wa
rahmah,
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian pada penjabaran bab sebelumnya penulis
mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam kurun waktu tiga tahun (2006-2008) menerima 3359 permohonan
perkara cerai gugat (65,09%) dan 1802 permohonan perkara cerai talak
(34,91%). Sehingga dapat diketahui pengajuan kasus cerai secara keseluruhan
adalah 5161 permohonan. Sedangkan pada perkara yang dikabulkan
permohonannya adalah 1423 perkara cerai talak dan 2907 perkara cerai gugat,
sehingga didapatkan jumlah 4330 perkara cerai yang diputuskan dalam tiga
tahun. Sehingga kalau diambil rata-rata maka setiap harinya terjadi 4 (empat)
perkara cerai yang diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Faktor penyebab perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah tidak
ada keharmonisan di dalam berumah tangga dengan angka 1454 (33,58%),
dilanjutkan dengan kurangnya tanggung jawab baik itu dari suami maupun
istri 1274 (29,42%), faktor ekonomi merupakan hal yang menakutkan karena
merupakan faktor penyebab perceraian ketiga 873 (20,17%), dan gangguan
pihak ketiga 557 (12,57%) tetap menjadi pengancam keutuhan rumah tangga.
B. Saran-saran
Kiranya penulis mendapatkan hal yang menarik dalam skripsi ini bahwa
pernikahan haruslah dapat dijalani dengan pemikiran yang matang dan pendidikan
yang cukup tentang berumah tangga, sehingga perceraian dapat terhindarkan.
Berikut merupakan saran penulis berdasarkan skripsi ini, yaitu:
1. Untuk Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan kepada pejabat setempat, agar
dapat memutuskan perkara yang terkait dengan cerai gugat ini dengan lebih
teliti dan bijaksana, dan agar lebih memperhatikan dan merapihkan data guna
memudahkan dalam pencarian.
2. Hendaklah kepada para pejabat Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4), agar dapat lebih memaksimalkan lagi dalam mendamaikan
suami isteri yang sedang dalam masalah dan akan bercerai
3. Kepada Bimas Dirjen Islam agar selalu memberikan penyuluhan kepada
masyarakat dan pasangan yang akan menikah tentang pengetahuan dalam
berumah tangga.
4. Kepada Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, sekiranya mereka sebagai para
tokoh agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat dan dapat memberikan
keterangan atau penjelasan tentang bagaimana seharusnya menjalani
kehidupan dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Bukhari, Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim, Ibnu. Shahih Bukhori.
Kohiro: Jumhuriyah Mishro Al-Arobiyah, 1411-H, Juz-VIII.
Abdurrahman. H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akadika Pressindo,
2004.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2.
Arsip Pengadilan Jakarta Selatan pada 16 Maret 2009.
Arto. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, Cet. Ke-4.
Bakar Al-Jaziri, Abu. Ensiklopedi Muslim, Terjemah. Fadli Bahir, Lc. Jakarta: Darul
Falah, 2005, Cet. Ke-9.
Departemen Agama Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, 2004.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003, Edisi.I.
Hamidy, Muhammad. Perkawinan dan Permasalahannya. Surabaya: Bina Ilmu,
1980.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta:
Pustaka Kartini, 1993, Cet.Ke-2.
Himpunan Undang-undang, No. 1 Tahun 1974, Departemen Agama Indonesia, 2004
http://202.57.16.35/2008/id/berita_print.asp?nNewsId=33470 26 Juni 2009.
http://kampungtki.com/baca/1563. 25 juni 2009.
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2139&Itemi
d=429 28 Juni 2009.
http://www.beritajakarta.com/v_ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=33470.
http://www.eramuslim.com, Berita/nasional/dalam-satu-dasawarsa-kasus-isteri-
gugat-cerai-suami-makin-meningkat.htm 26 Juni 2009.
I Doi, A. Rahman. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah). Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.I.
Khuzari,Ahmad, M.A., Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995, Cet pertama.
Manan, Abdul. Aneka Masalah: Hukum Pedata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2006.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1998.
Mukhtar, Kamal. Asa-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1993, cet.III.
Mulyati, Sri. Relasi Suami Isteri dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah, 2004.
Munawir, Ahmad Warson. Almunawir Kamus Besar Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997, Cet. Ke-14.
Nasikun. 1980, Urbanisasi Berlebih, Involusi Perkotaan dan Radikalisme Politik di
Negara-negara Berkembang. Jakarta: Prisma 8, LP3ES.
Nawawi, Hadawi. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1998, Cet. Ke-8.
Notoatmodjo, Soekidjo, Prof., Dr., Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta. 2003, Cet. ke-2
Rahmad, Bakri A. Drs dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut
Islam,Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW. Jakarta:
Hidakarya Agung, 1981.
Rif'i, Mohammad. Kifayatul Akhyar, terjemah. Semarang: PT.Toha Putra, 1978.
Sabiq, Sayyid. Fiqhusunnah: Fikih Sunnah 8, Penerjemah Mohammad Thalib.
Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1981, Cet.I.
_______Terjemahan: Fikih Sunnah JIlid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, Cet.
Ke-3.
Said, A. Fuad Said. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,
1993.
Sajastani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1952, Juz 1.
Sebekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa, 2001, Cet. Ke-24.
Shiddieq, Ahmad. Hukum Talak dalam Islam. Surabaya: Putra Pelajar, 2001.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsiran Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat. Jakarta: Mizan Media Utama, 2007, Cet. ke-2.
______Perempuan.Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. ke-4
Subekti, R dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT.
Pratnya Paramita, 2006, Cet.ke-27.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet.I.
Thalib, M. Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya. Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1997, Cet.Ke-1.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986, cet.V.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004
www.mahkamahsyariahaceh.go.id/data 28 Juni 2009
Yanggo, Chuzaemah Tahido, dan A. Hafiz Anshari. A. Z. Problematika Hukum Islam
dan Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
PEDOMAN WAWANCARA HAKIM
1. Pernahkah Bapak/Ibu Hakim menangani perkara cerai yang diajukan isteri
kepada suami ?
2. Apa makna cerai gugat menurut Bapak/Ibu Hakim ?
3. Mayoritas apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya pengajuan cerai
gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?
4. Dari perkara cerai yang Bapak/Ibu Hakim tangani, lebih banyak mana cerai
talak atau cerai gugat Dan berapa yang dikabulkan ?
5. Apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara cerai gugat ?
6. Apa permasalahan yang masih menjadi polemik dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat di lihat dari sisi undang-undang maupun SDM ?
7. Apa pendapat Bapak/Ibu Hakim tentang hak-hak perempuan dalam talak ?
PEDOMAN WAWANCARA PENGGUGAT/TERGUGAT
1. Alasan apa yang dipakai Bapak/Ibu hingga ingin bercerai ?
2. Apa pertimbangan Bpk/Ibu hingga ingin melakukan cerai ?
3. Apa yang menjadi faktor/sebab isteri menggugat cerai suami ?
4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan isteri ?
5. Apa jalan terbaik yang sudah dilakukan atau ditempuh oleh Bpk/Ibu agar
perceraian tersebut tidak terjadi ?
6. Apa yang Bpk/Ibu pahami tentang cerai gugat ?
HASIL WAWANCARA
SUMBER : H. M. KHAILANI, SH. MH
TANGGAL : 23 JUNI 2009
LOKASI : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Pernahkah Bapak/Ibu Hakim menangani perkara cerai yang diajukan isteri kepada
suami ?
Jawab : Pernah, bukan hanya cerai gugat tetapi cerai talak juga.
2. Apa makna cerai gugat menurut Bapak/Ibu Hakim ?
Jawab : Menurut saya, cerai gugat adalah cerai yang diajukan oleh pihak isteri
terhadap suami melalui Pengadilan Agama.
3. Mayoritas apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya pengajuan cerai gugat
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?
Jawab : Mayoritas perkara cerai gugat yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yaitu karena sebab selingkuh (adanya pihak ketiga). Ada yang
karena perselisihan atau pertengkaran yang sulit dirukunkan. Ada yang
karena suami mendapat hukuman penjara. Faktor ekonomi karena
suami sudah tidak bekerja. Adanya kekerasan terhadap isteri dalam
rumah tangga.
4. Dari perkara cerai yang Bapak/Ibu Hakim tangani, lebih banyak mana cerai talak
atau cerai gugat Dan berapa yang dikabulkan ?
Jawab : Perkara yang saya tangani lebih banyak perkara cerai gugat
dibandingkan perkara cerai talak. Dari kasus cerai gugat yang saya
tangani, lebih banyak yang dikabulkan daripada yang ditolak.Rata-rata
90% yang dikabulkan.
5. Apa permasalahan yang masih menjadi polemik dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat di lihat dari sisi undang-undang maupun SDM ?
Jawab : Permasalah yang masih menjadi polemik dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat ternyata tidak ada, karena sudah jelas sudah diatur oleh
Undang-undang. Jika dari para pihak yang berperkara ada yang tidak
setuju karena berbeda pendapat, maka pihak-pihak yang berpekara
tersebut bisa mengajukan banding, bahkan hingga kasasi.
6. Apa pendapat Bapak/Ibu Hakim tentang hak-hak perempuan dalam talak ?
Jawab : Seorang isteri/perempuan bila merasa dirugikan dalam rumah
tangganya bisa mengajukan gugat untuk cerai dengan suaminya kepada
Pengadilan Agama. Adapun hak isteri dari suami karena perceraian
ialah mendapatkan hak nafkah iddah, hak nafkah mut'ah, kemudian hak
nafkah anak bila ada seorang anak yang diasuh oleh sang isteri. Ada hak
nafkah madiyah dari hak nafkah yang sudah lama tidak diberikan oleh
sang suami.
HASIL WAWANCARA
SUMBER : Dra. MUHAYAH, SH. MH
TANGGAL : 25 JUNI 2009
LOKASI : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Pernahkah Bapak/Ibu Hakim menangani perkara cerai yang diajukan isteri kepada
suami ?
Jawab : Pernah. Selain menangani cerai talak saya juga pernah menangani cerai
gugat. Bahkan bukan hanya itu, perkara Isbat Nikah, Pembagian harta
bersama, Waris, Poligami.
2. Apa makna cerai gugat menurut Bapak/Ibu Hakim ?
Jawab : Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang datang dari pihak isteri
terhadap pihak suami melalui Pengadilan Agama.
3. Mayoritas apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya pengajuan cerai gugat
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?
Jawab : Permasalah terbanyak dari cerai gugat yaitu: ekonomi, salah paham, ada
pihak ketiga (selingkuh) atau ada campur tangan dari keluarga. Masalah
ketidakcocokan hingga menimbulkan salah persepsi. Disini sang isteri
pun kadang mempunyai pengaruh dalam menjadi penyebab.Adapun
faktor dari sang isteri itu sendiri yaitu: Kurangnya pendidikan moral dan
lemahnya mental dari dalam diri sang isteri.
4. Dari perkara cerai yang Bapak/Ibu Hakim tangani, lebih banyak mana cerai talak
atau cerai gugat Dan berapa yang dikabulkan ?
Jawab : Secara kuantitas lebih banyak cerai gugat, karena ini merupakan akibat
dari faktor kesadaran akan hukum. Lebih banyak yang dikabulkan,
karena kalau bukti sudah terlihat dari segi fakta hukum maka itu
memungkinkan akan banyak yang dikabulkan.
5. Apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara cerai gugat ?
Jawab : Pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai gugat mengacu
kepada hukum formal dan hukum materilnya. Misalnya kasus KDRT,
disini mengacu kepada Undang-undang KDRT, hukum formalnya
undang-undang perkawinan, hukum materilnya ada hukum syar'i.
Kemudian ditinjau secara sosiologis dan yuridis.
6. Apa permasalahan yang masih menjadi polemik dalam menyelesaikan perkara
cerai gugat di lihat dari sisi undang-undang maupun SDM ?
Jawab : Saya pikir secara substansi tidak ada permasalahan yang menjadi
polemik, semuanya sudah ada acuannya,kalau memang tidak ada
acuannya atau belum diatur maka disini diperlukan ijtihad hukum atau
penemuan hukum yang merupakan kewenangan Peradilan Agama.
7. Apa pendapat Bapak/Ibu Hakim tentang hak-hak perempuan dalam talak ?
Jawab : Saya pikir secara substansi tidak ada permasalahan yang menjadi
polemik, semuanya sudah ada acuannya,kalau memang tidak ada
acuannya atau belum diatur maka disini diperlukan ijtihad hukum atau
penemuan hukum yang merupakan kewenangan Peradilan Agama.
- Pendapat cerai gugat : Faktor sosiologis, wanita lebih banyak sehingga para
bapak atau suami yang sering mengabaikan tanggung jawab terhadap sang
isterinya, atau menyimpang dari tanggung jawab hingga biasnya timbul kepada
keluarga. Faktor pendidikan, maksud disini ialah bahwa seorang suami atau isteri
yang berpendidikan tinggi tidak serta-merta selalu menjamin adanya keutuhan
dalam berumah tangganya, kecuali bila sang suami maupun sang isteri selalu
mengembalikannya kepada orientasi agama.
- Permasalah terbanyak dari cerai gugat yaitu: ekonomi, salah paham, ada pihak
ketiga (selingkuh) atau ada campur tangan dari keluarga. Masalah ketidakcocokan
hingga menimbulkan salah persepsi,pola pikir dan karakter.
- Hal-hal yang mendorong isteri cenderung menggugat suami. Disini sang isteri
pun kadang mempunyai pengaruh dalam menjadi penyebab.Adapun faktor dari
sang isteri itu sendiri yaitu: Kurangnya pendidikan moral dan lemahnya mental
dari dalam diri sang isteri.
- Pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai gugat mengacu kepada
hukum formal dan hukum materilnya. Misalnya kasus KDRT, disini mengacu
kepada Undang-undang KDRT, hukum formalnya undang-undang perkawinan,
hukum materilnya ada hukum syar'i. Kemudian ditinjau secara sosiologis dan
yuridis.
- Tanggapan hakim dalam menilai jumlah angka cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dilihat dari proporsionalnya, satu sisi secara
subjektif sungguh sangat prihatin, sudah banyak wanita-wanita yang teraniaya
akan hak-haknya sehingga muncul dalam dirinya rasa tertekan yang menimbulkan
penderitaan baik fisik maupun psikis, sehingga dengan kesadarannya dia
mengajukan ke tempat yang berwenang dalam hal ini ke Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Tapi secara objektif, bahwa itu adalah merupakan bagian dari
sudah adanya rasa kesadaran hukum. Disini seorang isteri memahami dan
menyadari betul akan haknya secara hukum agama maupun hukum negara.
- Lebih banyak yang dikabulkan. Karena kalau bukti sudah terlihat dari segi fakta
hukum maka itu mungkin akan banyak yang akan dikabulkan.
- Dengan mengacu pada undang-undang nasional atau hukum negara, hukum
syar'i, bahwa isteri yang dicerai itu mempunyai hak yang harus diperhatikan,
yaitu nafkah selama iddah, mut'ah, atau nafkah-nafkah lain misalnya tentang
nafkah madiyah atau nafkah yang lalu yang pernah dilalaikan. Jadi ada hak-
haknya seorang isteri yang harus dilindungi yang memang harus ada apabila
suami mau menceraikan isterinya.
- Saya pikir secara substansi tidak ada permasalahan yang menjadi polemik,
semuanya sudah ada acuannya,kalau memang tidak ada acuannya atau belum
diatur maka disini diperlukan ijtihad hukum atau penemuan hukum yang
merupakan kewenangan Peradilan Agama.
HASIL WAWANCARA
SUMBER : NOVA ERLANGGA
TANGGAL : 25 JUNI 2009
LOKASI : PNGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Alasan apa yang dipakai Bapak/Ibu hingga ingin bercerai ?
Jawab : Isteri ingin bercerai dengan alasan karena suami belum kuat secara
finansial atau karena suami belum mampu mencukupi kebutuhan sang
isteri. Karena mental dari kedua belah pihak yang belum pas atau belum
siap menjalani kehidupan berumah tangga, karena pernikahan yang
terjadi didasarkan atas akibat dari sesuatu yang tidak diinginkan. Karena
adanya masalah dari kedua orang tua masing-masing.
2. Apa pertimbangan Bpk/Ibu hingga ingin melakukan cerai ?
Jawab : Pertimbangan disini ialah karena apabila diteruskan pun pernikahan ini
akan tidak ada gunanya, dan mungkin dengan berpisah bertujuan agar
bisa dapat mencari lagi tentang jati diri masing-masing untuk lebih
dewasa.
3. Apa yang menjadi faktor/sebab isteri menggugat cerai suami ?
Jawab : Yang menjadi faktor atau sebab sang isteri ingin menggugat cerai suami
yaitu karena adanya faktor dari keluarga isteri dan suami yang tidak
merestui. Masalah finansial yang kurang karena suami belum bekerja.
4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan isteri ?
Jawab : Saya sebagai suami awalnya merasa keberatan, namun setelah
mengadakan dialog akhirnya saya menerima tentang gugat cerai dari
siteri saya.
5. Apa jalan terbaik yang sudah dilakukan atau ditempuh oleh Bpk/Ibu agar
perceraian tersebut tidak terjadi ?
Jawab : Jalan yang sudah ditempuh atau dilakukan hanyalah berupa dialog antara
saya dengan isteri saya. Di sini tidak ada mediasi dari pihak luar maupun
dari pihak keluarga masing-masing.
6. Apa yang Bpk/Ibu pahami tentang cerai gugat ?
Jawab : Cerai gugat yaitu perceraian yang diajukan sang isteri terhadap suami.
Kalau menurut Undang-undang, yaitu perceraian yang terjadi bila
perjanjian-perjanjian yang tertulis secara Undang-undang dilanggar atau
tidak dipenuhi.
HASIL WAWANCARA
SUMBER : HASANAH
TANGGAL : 23 JUNI 2009
LOKASI : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Alasan apa yang dipakai Bapak/Ibu hingga ingin bercerai ?
Jawab : Sudah tidak bisa dipertahankan lagi, walau pun sudah ditempuh jalan
dengan melakukan mediasi beberapa kali.
2. Apa pertimbangan Bapak/Ibu hingga ingin melakukan cerai ?
Jawab : Ingin hidup tenang, tidak ingin menjadi dosa yang berkepanjangan
karena ribut terus-menerus.
3. Apa yang menjadi faktor/sebab isteri menggugat cerai suami ?
Jawab : Suami tidak menghargai posisi perempuan atau selalu merendahkan
sang isteri. Karena si suami yang berkeinginan untuk menikah lagi,
padahal dia sudah beristerikan saya.
4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan isteri ?
Jawab : Sang suami awalnya tidak mau, namun kemudian akhirnya dia mau
juga dengan mengemukakan syarat tidak mau menggunakan jalur
hukum.
5. Apa jalan terbaik yang sudah dilakukan/ditempuh oleh Bapak/Ibu agar perceraian
tersebut tidak terjadi ?
Jawab : Jalan yang sudah dilakukan atau dutempuh baik oleh sang suami
maupun isteri ialah dengan cara mediasi dengan melibatkan saudara.
Melakukan introspeksi dari diri masing-masing.
6. Apa yang Bapak/Ibu pahami tentang cerai gugat ?
Jawab : Menurut saya cerai gugat itu sudah tertulis dan diatur dalam Undang-
undang Perkawinan. Sedangkan secara Agama, menurut pemahaman
saya tentang cerai gugat tidak ada, namun yang ada hanyalah perceraian
dari suami dan tidak boleh atau haram oleh isteri karena perceraian
adalah merupakan hak suami.
HASIL WAWANCARA
SUMBER : YULIARTI
TANGGAL : 25 JUNI 2009
LOKASI : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Alasan apa yang dipakai Bapak/Ibu hingga ingin bercerai ?
Jawab : Karena sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Yang mana sejak awal
pernikahan sang suami sudah melakukan kekerasan, kebohongan yang
terus-menerus, tidak menafkahi lahir, kemudian adanya selingkuh dari
sang suami.
2. Apa pertimbangan Bpk/Ibu hingga ingin melakukan cerai ?
Jawab : Karena sang suami sudah terus menerus melakukan hal-hal yang sama
dalam kurun waktu selama 13 tahun perkawinan. Selama 13 tahun ini
perilaku suami sama sekali tidak berubah, hingga saya sudah empat kali
ke Pengadilan Agama. Intinya pertimbangan yang saya pakai disini yaitu
bahwa penilaian saya akan dia sang suami tidak mungkin akan bisa
berubah, jadi lebih baik saya berpisah dari pada nantinya akan menjadi
atau timbul mudharat.
3. Apa yang menjadi faktor/sebab isteri menggugat cerai suami ?
Jawab : Suami sudah melakukan kekerasan, kebohongan yang terus-menerus,
tidak menafkahi lahir, kemudian adanya selingkuh dari sang suami.
4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan isteri ?
Jawab : Suami menolak tentang permintaan saya untuk bercerai, bahkan dia tetap
berkeyakinan tidak akan menceraikan saya, dan beranggapan bahwa dia
bisa berubah.
5. Apa jalan terbaik yang sudah dilakukan atau ditempuh oleh Bpk/Ibu agar
perceraian tersebut tidak terjadi ?
Jawab : Saya sebagai isteri mencoba untuk tetap sabar dan ikhlas, kemudian
memberikan kesempatan kepada suami untuk merubah perilakunya.
Kemudian saya melakukan mediasi baik dengan pihak keluarga suami
maupun antara pribadi saya dengan sang suami.
6. Apa yang Bpk/Ibu pahami tentang cerai gugat ?
Jawab : Cerai gugat yaitu isteri yang meminta diceraikan oleh suami dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama karena sudah tidak sanggup
lagi menghadapi atau menanggulangi permasalahan yang terjadi dalam
keluarga. Menurut saya secara hukum Islam Allah tidak menyukai tentang
perceraian, tapi sungguh diperbolehkan jika itu merupakan jalan keluar
yang terbaik dari permasalahan-permasalahan suami isteri yang mungkin
akan merugikan pada salah satu pihak jika perceraian tidak dilakukan.
Sedangkan pemahaman saya tentang cerai gugat menurut Undang-undang
hanyalah sebuah proses cerai yang dilakukan di Pengadilan Agama untuk
mendapatkan sebuah legalitas perceraian yaitu mendapat akta cerai.
HASIL WAWANCARA
SUMBER : AHMAD SYAFEI
TANGGAL : 25 JUNI 2009
LOKASI : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
1. Alasan apa yang dipakai Bapak/Ibu hingga ingin bercerai ?
Jawab : Karena isteri merasa sudah tidak ada kecocokan lagi. Alasan ini pun
dirasakan sama oleh saya sebagai sang suami. Sudah sering terjadi
keributan baik kecil maupun besar. Merasa sudah tidak kuat lagi dengan
tingkah laku suami, karena dia menilai si suami sudah memposisikan
perkawinannya atau hubungan suami isterinya dengan posisi yang tidak
jelas atau tidak seperti layaknya suami isteri hingga suami
menelantarkan sang isteri.
2. Apa pertimbangan Bpk/Ibu hingga ingin melakukan cerai ?
Jawab : Pertimbangan yang saya gunakan ialah bahwasanya bila rumah tangga
ini diteruskan saya yakin tetap tidak akan adanya keharmonisan karena
dari diri saya pun merasa sudah tidak ada kecocokan dengan isteri saya.
Hal senada ini pun sama dengan apa yang dikatakan oleh isteri saya.
3. Apa yang menjadi faktor/sebab isteri menggugat cerai suami ?
Jawab : Faktor atau alasan utama yang dipakai isteri untuk menggugat cerai
suami ialah karena tidak ada nafkah hingga satu setengah tahun. Kasar
dalam rumah tangga.Adanya pengaruh pihak lain yaitu pengaruh dari
masing-masing keluarga suami dan isteri.
4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan isteri ?
Jawab : Saya sebagai suami menerima gugatan cerai yang dilakukan oleh isteri
saya, karena sebenarnya dari saya pun sejak lama sudah ada niat untuk
menceraikan isteri saya, namun orang tua saya melarangnya dan
memerintahkan saya untuk menahannya, dan berkata kepada saya
“biarlah dari pihak isteri saja yang menceraikannya”.
5. Apa jalan terbaik yang sudah dilakukan atau ditempuh oleh Bpk/Ibu agar
perceraian tersebut tidak terjadi ?
Jawab : Adapun jalan yang sudah kami tempuh adalah mediasi. Selain itu kami
pun meminta kepada orang tua kami masing-masing untuk membantu
dalam berdialog guna mencari titik temu antara saya dengan isteri saya.
6. Apa yang Bpk/Ibu pahami tentang cerai gugat ?
Jawab : Cerai gugat ialah cerai yang dilakukan oleh seorang isteri melalui surat
gugatannya yang ditujukan kepada suami yang kemudian diproses di
Pengadilan Agama.