tinjauan buku amandemen uud 1945 - antara mitos dan pembongkaran (denny indrayana)

97
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM TINJAUAN BUKU AMANDEMEN UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran (Denny Indrayana) Karya Tulis ini disusun guna pemenuhan tugas mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi Dosen: Andi Sandi, Ant. T., S.H., LL.M. i

Upload: arczahra

Post on 18-Jun-2015

1.945 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tulisan ini merupakan tinjauan buku (book study) dengan judul Amandemen UUD 1945 antara mitos dan pembongkaran, yang ditulis oleh Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.Tulisan ini ditulis oleh Gunawan A. Tauda, S.H. dalam kapasitas sebagai mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM.

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS GADJAH MADA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMFAKULTAS HUKUM

TINJAUAN BUKU

AMANDEMEN UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran

(Denny Indrayana)

Karya Tulis ini disusun guna pemenuhan tugas mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi

Dosen: Andi Sandi, Ant. T., S.H., LL.M.

Oleh:Nama : Gunawan Abdullah Tauda, S.H.NIM : 09/294344/PHK/6075Bagian : Hukum Kenegaraan

YOGYAKARTA2009

i

Page 2: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

KATA PENGANTAR

Penulis melimpahkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah

memberikan rahmat, berkah dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW., seorang insan yang membawa cahaya dalam

gulitanya dunia, seorang Rasul yang Risalahnya menembus waktu, dan menjadi

rahmat bagi semesta alam.

Tinjauan buku ini disusun untuk memenuhi penugasan pada mata kuliah

Teori dan Hukum Konstitusi, dengan judul; "Amandemen UUD 1945, Antara Mitos

dan Pembongkaran" karya, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

Tinjauan buku ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi

semua pihak yang peduli terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu Hukum Tata

Negara di Indonesia. Dalam penyusunan tinjauan buku ini, tidak dapat dilepaskan

dari kenyataan ketergantungan adanya bantuan dalam bentuk apapun yang telah

Penulis terima dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari sempurna dan

masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimiliki. Oleh

karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat

Penulis harapkan demi kesempurnaannya. Akhir kata, semoga Karya Tulis ini dapat

berkenan dan memberikan manfaat bagi Pembaca.

Yogyakarta, November 2009.Fortune Favors The Bold,

Penulis,

Gunawan Abdullah Tauda, S.H.

ii

Page 3: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

DAFTAR ISI

halamanHALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUANA. Resume (Ringkasan) Buku 11. Kepustakaan Buku 12. Outline dan Alur Penulisan Buku 1a. Fokus Penelitian 1b. Metodelogi Penelitian 2c. Alur Penulisan 33. Fokus Kajian Tinjauan Konstitusi Indonesia Pra Amandemen

dan Pasca Amandemen 4a. Konstitusi Indonesia Pra Amandemen 41). Indonesia di Bahwa Soeharto: Orde Otoriter Baru 42). Otoritarianisme dalam UUD 1945 8b. Pentingnya Reformasi Konstitusi 161). Alasan Teoritis 162). Alasan Historis 173). Alasan Praktis 17c. Konstitusi Indonesia Pasca Amandemen 181). Reformasi Legislatif 192). Reformasi Eksekutif 213). Reformasi Yudisial 25d. Masalah Nasionalisme versus Negara Islam 27

B. Dasar dan Pendekatan Teoritis 281. Trias Politica 282. Distribution of Power dan Separation of Power 313. Checks and Balances 33

BAB II PEMBAHASANA. Komentar 361. UUD 1945 dan Otoriterisme 362. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 38

B. Perbandingan Teoritikal 401. Urgensi Reformasi Konstitusi 402. Metode Perubahan Konstitusi 423. Prosedur Perubahan 444. Gagasan Amandemen V UUD 1945 45

iii

Page 4: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

BAB III PENUTUPA. Kesimpulan 49B. Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 55

iv

Page 5: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

BAB IPENDAHULUAN

“A constitution may be defined as the organization of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that particular office which is sovereign in all issues”.

Politics, Aristoteles.

A. Resume (Ringkasan) Buku

1. Kepustakaan Buku

Judul Buku ini, secara lengkap adalah; Amandemen Undang-Undang Dasar

1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Diterjemahkan dari; Indonesian

Constitutional Reform 1999 – 2002: An Evaluation of Constitution-Making in

Transition. Karya; Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Copyright © 2007 by

Denny Indrayana. Penerjemah: E. Setiyawati A. Editor: Peri Umar Farouk dan Refly

Harun. Cetakan II, 520 halaman. Desember 2007. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan,

Bandung. ISBN 979-433-442-1.

2. Outline dan Alur Penulisan Buku

a. Fokus Penelitian

Tahun 1999 sengaja dipilih sebagai tanggal mula kajian, karena tahun inilah

tahun di mana MPR secara formal menginisiasi sebuah reformasi konstitusi. Tahun

2002 dipilih sebagai tahun akhirnya, karena inilah tahun yang ditetapkan MPR

sebagai batas akhir untuk menyelesaikan reformasi konstitusi. Peristiwa-peristiwa

yang terjadi setelah tahun 1999 – 2002 tidak menjadi objek penelitian, kendati

beberapa perkecualian khusus diambil, dimana masalah-masalah yang muncul

setelah tahun 2002 sangat signifikan bagi argumen-argumen dalam penelitian ini.1

1 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung. hlm. 59.

1

Page 6: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

b. Metodologi Penelitian

Tulisan dalam buku ini didasarkan pada kajian pustaka maupun penelitian

lapangan, dan pendekatan sosial-legal diadopsi secara luas, serupa dengan

pendekatan yang digunakan dalam karya fonomenal Nasution yang berjudul The

Aspiration for Constitutional Government: A Socio-legal Study of The Indonesian

Konstituante 1956 – 1959.

Dalam konteks kajian pustaka, penulis mengumpulkan data dari berbagai

jurnal, terbitan berkala, buku, surat kabar, peraturan perundang-undangan, situs

internet, dan berbagai macam materi sekunder pilihan, sebagaimana tercantum dalam

Kepustakaan.

Penelitian lapangan dilakukan di Indonesia, khususnya di Jakarta tempat

dilakukannya sebagian besar rapat dan sidang MPR yang bertujuan mengamandemen

UUD 1945. Penelitian lapangan mengumpulkan bahan-bahan yang teramat sulit

untuk diakses dari luar Indonesia, seperti risalah lengkap rapat-rapat MPR. Di

samping itu, penulis melakukan berbagai wawancara, terutama dengan tokoh-tokoh

penting yang terlibat dalam proses pembuatan konstitusi.

c. Alur Penulisan

Tulisan ini dipilah menjadi lima bagian besar dan delapan bab, diawali

dengan Prawacana pada Bagian Satu yang sekaligus merupakan bab pendahuluan.

2

Page 7: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Bagian berikutnya adalah Bagian Dua, yang berisikan Bab Dua. Titik

tekannya adalah pada pemaparan kerangka teori yang digunakan untuk memahami

hal ihwal reformasi konstitusi dalam sebuah proses transisi dari sebuah pemerintahan

otoriter. Pengalaman dari beberapa negara pilihan, khususnya Afrika Selatan dan

Thailand, dikaji untuk melihat apakah pendekatan-pendekatan mereka membantu

penulis menganalisis Indonesia serta membandingkan pengalaman-pengalaman

mereka dengan pengalaman Indonesia dalam melakukan reformasi konstitusi pada

masa transisi.

Latar belakang berupa transisi politik Indonesia digambarkan di Bagian Tiga

(Bab Tiga). Bab ini menggambarkan betapa Indonesia di bawah rezim Orde Baru,

tidaklah demokratis. Sistem yang tidak demokratis ini dimungkinkan oleh UUD

1945, dan karenanya, dokumen negara itu perlu direformasi demi mengamankan

transisi Indonesia dari kekuasaan yang otoriter.

Bab Tiga diikuti dengan sebuah kajian terperinci tentang proses pembuatan

konstitusi di Bagian Empat, yang terdiri dari Bab Empat hingga Bab Tujuh. Setiap

bab tersebut membahas satu perubahan. Format keempat bab tersebut serupa;

masing-masing menggambarkan latar belakang, proses, dan hasil dari masing-masing

perubahan konstitusi yang terjadi.

Data dari bab keempat hingga ketujuh tersebut dianalisis pada Bagian Lima

(Bab Delapan). Bab ini mengevaluasi apakah proses pembuatan konstitusi dari

keempat perubahan tersebut demokratis. Bab ini juga mengupas apakah hasil dari

keempat perubahan itu adalah sebuah konstitusi yang lebih demokratis, dan

merekomendasikan beberapa amandemen lanjutan yang diperlukan untuk

3

Page 8: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

memperkuat sistem saling kontrol saling imbang. Sebagai penutup, bab terakhir juga

menyampaikan kesimpulan penelitian ini.

3. Fokus Kajian Tinjauan Konstitusi Indonesia Pra Amandemen dan Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

a. Konstitusi Indonesia Pra Amandemen

1). Indonesia di Bawah Soeharto: Orde Otoriter Baru

Kendati Soekarno sudah diangkat menjadi Presiden seumur hidup, Soeharto

efektif menggantikan Soekarno pada tahun 1966, dan Orde Baru pun menggantikan

Orde Lama di waktu yang sama. Tak ayal, Demokrasi Terpimpin ramuan Soekarno

pun diganti Demokrasi Pancasila ala Soeharto, yang dikembangkan dari gagasan

Pancasila yang dibangun Soekarno dulu, dan terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Pancasila, menurut Hans Antlov, adalah "kekuasaan politik melalui

permusyawaratan, dengan mempertimbangkan kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa, Kesatuan Indonesia, Perikemanusiaan, dan Keadilan."2

Karenanya, tak heran bila di dunia nyata Demokrasi Pancasila mirip dengan

Demokrasi Terpimpin. Kedua sistem ini sama-sama menggantungkan hidupnya

kepada pemimpin yang otoriter, Soeharto dan Soekarno, dan sama-sama

mengandalkan formulasi ideologi yang sama di dalam UUD 1945. Bahkan kondisi-

kondisi tak demokratis Orde Lama yang digambarkan oleh Antlov juga berlaku pada

Orde Lama.3

2 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung. hlm. 141.

3 ibid. hlm. 142.

4

Page 9: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Bagian berikut ini akan mengkaji lebih terperinci bagaimanakah rezim Orde

Baru yang otoriter itu. Huntington menyatakan bahwa bentuk-bentuk spesifik rezim

otoriter bercirikan; sistem satu partai, kediktatoran personal, dan rezim militeristik.4

Paparan berikut menunjukkan bahwa pemerintahan Soeharto memiliki semua ciri

otoritarian tersebut.

Pertama, Sistem Satu Partai. Pemerintah Orde Baru dengan ketat dengan

ketat sebenarnya menerapkan sistem satu partai. Sejak awal 1970-an hingga 1998,

formalnya hanya tiga partai yang bisa bernafas; Golongan Karya, Partai Persatuan

Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Dua partai yang disebut belakangan

itu adalah hasil "fusi paksa" yang disponsori pemerintah terhadap sembilan partai

yang eksis dalam Pemilu 1971, pemilihan umum pertama di bawah Orde baru.

Kendati Golkar resminya bukan partai politik, melainkan hanya sebuah 'kelompok

fungsional' semata, pada praktiknya, Golkar adalah satu-satunya 'partai sejati'

sepanjang rezim Orde Baru.5

Kedua, Sistem Partai Golkar Soeharto. Pemerintahan Soeharto jelas bersikap

pilih kasih, dengan membeda-bedakan bobot kontrolnya di antara ketiga partai yang

ada. terhadap PPP dan PDI, pemerintah bersikap jauh lebih ketat dan keras

ketimbang terhadap Golkar. Golkar dengan cepat menjadi partai politik negara yang

intim dengan militer Indonesia.6

Ketiga, Monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil. Salah satu diantara mekanisme

yang digunakan untuk membantu Golkar, agar selalu menang dalam setiap Pemilu,

adalah kewajiban bagi para pegawai negeri sipil untuk selalu mendukung Golkar.

4 ibid.5 ibid.6 ibid.

5

Page 10: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Semua PNS secara otomatis menjadi anggota Korpri, sebuah lembaga yang setali tiga

uang dengan Golkar, dan sejak awal 1970-an semua anggota Korpri diwajibkan

menandatangani sebuah surat yang menyatakan 'monoloyalitas' mereka kepada

Golkar. Mereka yang melanggarnya dianggap telah melakukan tindak penghianatan

politik, dan hal demikian sudah cukup untuk menjadi alasan pemecatan.7

Keempat, Kebijakan Massa Mengambang. Konsep lain yang sangat

menguntungkan Golkar adalah "massa mengambang." Konsep ini mendepolitisasi

rakyat pedesaan dengan cara menutup cabang partai di bawah tingkat kabupaten.

Kebijakan ini banyak membatasi kapasitas dua partai lainnya, PPP dan PDI untuk

menyambangi konstituen mereka. Tetapi karena Golkar mengklaim bahwa secara

formal dirinya bukan partai politik, kebijakan massa mengambang ini sama sekali

tidak membatasi kampanye partai pemerintah. Golkar bisa memanfaatkan pejabat

lokal untuk memobilisasi suara dan melancarkan kampanye secara terang-terangan.

Kebijakan ini sangat besar artinya bagi kemenangan-kemenangan Golkar, karena

sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan.8

Kelima, Sumber Daya Finansial. Satu variabel yang ikut urun rembuk dalam

kemenangan-kemenangan Golkar, adalah tidak adilnya distribusi finansial di antara

ketiga partai. Semua partai politik menerima dana publik untuk menyokong aktivitas

mereka. PDI dan PPP sangat tergantung pada batuan ini untuk kampanye mereka.

Tetapi tidak mudah bagi kedua partai tersebut untuk menggalang dana dan dukungan

dari kalangan bisnis, terutama mengingat bahwa kalangan pengusaha paham betul

7 ibid. hlm 143 – 144.8 ibid. hlm. 144.

6

Page 11: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

bahwa kedua partai tersebut tidak mempunyai peluang sedikit pun peluang untuk

memenangi Pemilu, kecuali Golkar.9

Keenam, Akses ke Media. Seperti halnya dalam masalah tidak adilnya

pembagian sumber daya finansial, PPP dan PDI juga harus merasakan sikap pilih

kasih dari pemerintah dalam soal akses mereka kepada media. Contoh nyatanya

adalah soal liputan TVRI stasiun televisi milik negara yang tidak berimbang.10

Ketuju, Komisi Pemilihan Umum. Faktor lain yang menguntungkan Golkar

adalah status KPU sebagai badan yang bertanggung jawab melaksanakan Pemilu.

Fakta bahwa KPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, seorang anggota Golkar,

menjelaskan mengapa Komisi ini bukanlah sebuah badan legal yang independen,

suatu syarat dasar bagi terlaksananya sebuah Pemilu yang jujur dan adil.11

Sebagai kesimpulan, ketiga partai pada zaman Orde Baru hanyalah kamuflase

bagi sistem 'satu partai' yang dijalankan oleh Soeharto, dengan kata lain struktur

kepartaian ini sebagai sebuah "sistem partai hegemonik yang dipimpin oleh

Golkar."12

2). Otoritarianisme dalam UUD 1945

9 ibid.10 ibid. hlm. 145.11 ibid. 12 ibid.

7

Page 12: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Hubungan antara UUD 1945 dan rezim otoriter Orde Baru Soeharto sangatlah

jelas. UUD 1945 mempunyai peran sentral bagi hadirnya konsepsi Soeharto tentang

rezim Orde baru, dengan didominasinya kekuasaan pemerintahan oleh Presiden.13

a). Konstitusi yang 'Sarat-Eksekutif'

UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang 'sarat-eksekutif.' Ini berati bahwa

Konstitusi ini memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif, tanpa

menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di bawah UUD 1945,

Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Sebagai Kepala

Pemerintahan atau Kepala Eksekutif, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas

menteri-menteri dan pembentukan kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan (2)). Sebagai

Kepala Negara, Presiden memegang kekuasaan untuk:

1. Menjadi Palima Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan

Udara.

2. Menyatakan perang, membuat perdamaian, dan menandatangani perjanjian

dengan negara lain (Pasal 11).

3. Menyatakan keadaan darurat (Pasal 12).

4. Mengangkat duta besar dan konsul, dan menerima surat-surat kepercayaan

duta besar negara sahabat (Pasal 13).

5. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).

Kecuali untuk kekuasaan menyatakan perang, membuat perdamaian, dan

meneken perjanjian internasional, yang kesemuanya harus dengan persetujuan DPR

13 ibid. hlm. 151.

8

Page 13: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

(Pasal 11), tak satu pun di antara kekuasaan Presiden tersebut harus mendapat

persetujuan atau konfirmasi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Bahkan Batang

Tubuh UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan

pengawasan, sekalipun menurut Penjelasan UUD 1945, DPR harus "senantiasa

mengawasi tindakan-tindakan Presiden."14

Pada praktiknya, kekuasaan Presiden yang luas dan sebagian besar tak

terkontrol ini digunakan Soeharto sebagai landasan hukum untuk memilih orang

pilihannya untuk menduduki posisi-posisi strategis. Tak heran bila Soeharto berhasil

mengendalikan birokrasi, militer, lembaga legislatif, dan yudikatif. Pada dasarnya ia

adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang memiliki wewenang untuk

mengangkat dan memecat siapa pun sekehendaknya.15

Sistem UUD 1945 menjadi lebih 'sarat-eksekutif' karena, disamping

kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar, Presiden juga memiliki

kekuasaan legislatif. UUD 1945 jelas menyatakan bahwa; "Presiden memegang

kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan

rakyat. Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.16

b). Sistem Checks and Balances yang Tak Jelas

14 ibid. hlm. 153.15 ibid.16 ibid.

9

Page 14: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

MPR berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara dan merupakan penjelmaan

seluruh rakyat Indonesia, yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Kekuasaan MPR dalam teori tak terbatas. Konsepsi ini menjadikan MPR sebagai

sebuah parlemen yang superior.17

Di satu sisi, aturan-aturan tentang MPR yang superior ini membuat sistem

Indonesia terlihat Parlementer. Tetapi di sisi lain, argumen tentang konstitusi yang

'sarat eksekutif' itu menjadi indikasi bahwa, dalam praktiknya, Indonesia menerapkan

sistem presidensial.18

Di tataran praktik, MPR yang superior itu tidak kuat untuk mengendalikan

Presiden. Bahkan sisten konstitusi yang 'sarat eksekutif' berhasil mengungguli konsep

parlemen superior. Meski berdasarkan UUD 1945, MPR lebih unggul sebagai

lembaga tertinggi negara, tetapi pada praktiknya, Presidenlah yang dominan.19

c). Terlalu Banyak Pendelegasian ke Tingkat Undang-Undang

UUD 1945 mendelegasikan 12 masalah penting lainnya untuk diatur lebih

lanjut dengan undang-undang. Kedua belas hal penting ini meliputi:

1. Syarat-syarat untuk menyatakan keadaan darurat negara.20

2. Susunan dan kedudukan Dewan Pertimbangan Agung.21

3. Pembagian pemerintahan daerah.22

4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.23

17 ibid. hlm. 154.18 ibid.19 ibid.20 Pasal 12 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.21 Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.22 Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.23 Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

10

Page 15: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

5. Masalah keuangan dan pajak.24

6. Susunan dan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan.25

7. Susunan dan kedudukan lembaga-lembaga hukum, termasuk Mahkamah

Agung.26

8. Pengangkatan dan pemberhentian hakim-hakim.27

9. Masalah kewarganegaraan.28

10. Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.29

11. Masalah pertahanan keamanan.30

12. Sistem pendidikan nasional.31

Pendelegasian kepada undang-undang ini tidak akan problematis seandainya

saja UUD 1945 menyediakan mekanisme checks and balances yang kuat dan pagar-

pagar panduan tentang apa saja yang harus diatur. Batasan demikian sangat penting,

karena DPR yang semestinya bekerja sama dengan Presiden untuk membuat berbagai

undang-undang, praktis tidak mampu mengontrol kekuasaan legislatif Presiden,

karena komposisi DPR sendiri pun bergantung kepada undang-undang yang diramu

Presiden. Pada akhirnya, begitu banyak pendelegasian yang tak jelas ke tingkat

undang-undang, menjadi satu lagi karakteristik otoritarianisme dalam UUD 1945.32

24 Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.25 Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.26 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.27 Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.28 Pasal 26 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.29 Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.30 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.31 Pasal 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.32 Denny Indrayana, ibid. hlm. 156.

11

Page 16: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

d). Pasal-Pasal yang Ambigu

UUD 1945 memuat sejumlah pasal krusial yang bermakna ganda. Salah satu

pasal yang membantu membentuk karakter otoriter rezim Soeharto adalah Pasal 27

UUD 1945, yang menyebutkan; "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya

selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."

Dari perspektif konstitusionalisme, pasal ini mestinya ditafsirkan bahwa

Presiden hanya boleh dipilih kembali untuk jabatan yang sama selama maksimum

dua periode. Tetapi Soeharto dan kaki tangannya menafsirkan, tidak ada batasan soal

berapa kali masa jabatan Presiden. Jadi Presiden bisa dipilih kembali setiap lima

tahun, berapa kali pun, dan karena Soeharto memonopoli semua kekuasaan,

penafsirannyalah yang harus diterima sebagai kebenaran. Begitulah, Soeharto dipilih

terus-menerus, sampai enam kali, masing-masing pada tahun 1973, 1978, 1983,

1988, 1993, dan 1998. persis seperti Soekarno yang pernah diangkat menjadi

Presiden Seumur Hidup, maka praktis Soeharto pun menjadi Presiden Seumur Hidup

dengan cara mengeksploitasi kelemahan Pasal 7 UUD 1945.33

Salah satu contoh lain pasal yang ambigu, adalah Pasal 28 UUD 1945, yang

menyatakan; "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan lain sebagainya ditetapkan dengan undang-undang." Salah satu

penafsiran pada pasal ini adalah; selama undang-undang yang dimaksud belum

diberlakukan, hak-hak tersebut tidak terlindungi. Aturan ini sama sekali bukanlah

satu jaminan atas hak-hak dasar freedom of speech, melainkan hanya sebuah pameran

kekuasaan pemerintah untuk membatasi hak-hak asasi.34

33 ibid. hlm. 157.34 ibid.

12

Page 17: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

e). Terlalu Bergantung kepada Political Goodwill dan Integritas Politisi

UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang sangat bergantung pada political

goodwill dan integritas para penyelenggara negara. Soepomo, salah satu tokoh kunci

perancang UUD 1945 dan penganjur paling terkemuka konsep negara integralistik,

yaitu sebuah negara yang merangkul seluruh bangsa, menyatukan seluruh rakyat.

Gagasan ini menekankan kesatuan dalam segala hal, atau yang dalam tradisi Jawa

disebut manunggaling kawulo gusti (kesatuan antara pengabdi dan majikannya).

Jadi, rakyat tidak membutuhkan perlindungan hak-hak asasi untuk

melindungi mereka dari potensi pelanggaran oleh negara, karena negara sama dengan

rakyat dan kepentingan-kepntingan keduanya, dengan demikian identik. Karena

kepentingan-kepentingan keduanya setali tiga uang, Soepomo juga menamakan

integralistiknya ini sebagai "negara kekeluargaan" di mana kritik antar anggota

keluarga dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi, oposisi dan kontrol

dari warga negara terhadap pemerintah tidak diperlukan, karena hal itu bertentangan

dengan prinsip percaya kepada 'iktikad baik' para pemimpin. Tak mengherankan bila

konsep negara integralistik yang naif demikian, gagal berhadapan dengan kekuasaan,

karena nyata-nyata negara dan rakyat tidak bertindak dan berpikir sama.35

f). Kekosongan Hukum

Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah sebuah konsep tentang hukum yag

diakui dalam civil law system. Kekosongan hukum mengacu pada sebuah kondisi di

mana suatu situasi belum diatur oleh hukum tertulis. Dalam common law system,

35 ibid. hlm. 159.

13

Page 18: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

konsep ini tidak dikenal, karena seorang hakim berhak menemukan, atau

menciptakan hukum.

Menurut Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

UUD 1945 mengandung empat kekosongan hukum yang serius. Kekosongan-

kekosongan ini adalah:

1. Sistem ekonomi Indonesia.

2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

3. Pembatasan terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar.

4. Sistem pemilihan umum.

Kecuali untuk dua kekosongan yang disebut pertama, Author sepakat dengan

argumen-argumen Tim Kajian ini. Dalam hal tidak adanya perlindungan terhadap

HAM, sebenarnya dalam UUD 1945 sudah ada pasal yang melindungi hak asasi

manusia; kesetaraan di depan hukum, hak untuk bekerja dan hak untuk hidup (Pasal

27), kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat (Pasal 28), kebebasan beragama

(Pasal 29), hak untuk berpartisipasi dalam pertahanan nasional (Pasal 30), hak untuk

mendapatkan pendidikan (Pasal 31), dan kesejahteraan sosial (Pasal 34). Tetapi hak-

hak asasi yang krusial, seperti kebebasan berserikat dan berpendapat masih harus

ditetapkan dengan undang-undang. Kecacatan hukum yang telanjang ini, memberi

peluang bagi mereka yang berkuasa untuk memelintir hak kebebasan mengeluarkan

pendapat. Nyatanya, selama rezim Soeharto memerintah, undang-undang semacam

itu tak pernah direalisasikan.36

36 ibid. hlm. 160.

14

Page 19: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum, bahkan tak ada kata

'pemilihan umum' pernah muncul dalam UUD 1945. ujung-ujungnya, karena tidak

ada pembatasan apapun oleh Konstitusi, kepentingan rezim Soeharto yang otoriter

bisa dengan mudah mendominasi proses Pemilu selama masa Orde baru.37

g). Penjelasan

Tidak seperti konstitusi lainnya, UUD 1945 memiliki Penjelasan sebagai

tambahan Pembukaan dan Batang Tubuhnya. Konstitusi ini adalah satu-satunya di

dunia yang punya penjelasan. Keberadaan Penjelasan dalam UUD 1945 ini

menciptakan dua masalah.38

Pertama, Penjelasan bukan produk BPUPKI atau PPKI, panitia-panitia yang

menyiapkan dan menulis draft UUD 1945. Soepomo-lah, salah satu anggota pada

kedua badan itu, yang meracik Penjelasan itu. Penjelasan itu muncul begitu saja

sebagai bagian dari UUD 1945 pada tahun 1946, dan pada tahun 1959, ketika

Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli-nya, tetapi kali ini tidak termasuk

dalam draft aslinya. Karena alasan-alasan tersebut, legitimasi Penjelasan kerap kali

dipertanyakan, dan karenanya, kekuatan mengikatnya lebih lemah ketimbang

Pembukaan dan batang Tubuh UUD 1945.39

Kedua, seperti sudah dibahas sebelumnya, penjelasan berisi banyak aturan

krusial yang semestinya ditempatkan kedalam batang Tubuh UUD 1945. Penjelasan

seharusnya tidak memuat prinsip-prinsip baru. Tapi nyatanya, banyak aturan dalam

37 ibid.38 ibid. hlm. 161.39 ibid.

15

Page 20: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Penjelasan yang merupakan prinsip konstitusi yang sangat penting, dan sama sekali

baru, dan karenanya, dapat digugat tidak sah.40 Misalnya:

1. Prinsip Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat).

2. Prinsip dan sistem tanggung jawab kepresidenan.

3. Prinsip independensi BPK, dan lembaga yudikatif.

b. Pentingnya Reformasi Konstitusi

Disamping kekurangan-kekurangan yang sudah dibahas sebelumnya, ada

alasan praktis, teoritis, dan historis mengapa UUD 1945 harus direformasi.

1). Alasan Teoritis

Konstitusi harus direformasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat. UUD 1945 pun seharusnya tidak boleh kebal terhadap perubahan. UUD

1945 adalah aturan buatan manusia yang tidak akan pernah sempurna.41

Di bawah pemerintahan Soeharto, mitos bahwa UUD 1945 tidak boleh

diutak-atik, salah satunya, dirumuskan kedalam kebijakan. 'konsensus nasional' yang

memberi Soeharto kewenangan untuk mengangkat orang-orang yang loyal

kepadanya untuk menduduki sepertiga keanggotaan MPR. Dengan demikian, segala

upaya untuk mengamandemen UUD 1945 tidak akan berhasil, karena salah satu

syarat untuk bisa melakukannya adalah hadirnya lebih dari dua pertiga jumlah

anggota MPR.42

40 ibid.41 ibid. hlm. 162.42 ibid.

16

Page 21: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

2). Alasan Historis

UUD 1945 dipersiapkan dalam kurun waktu yang sangat singkat, dalam

keadaan darurat perang, dan memang pada awalnya dirancang sebagai sebuah

dokumen sementara. Jadi secara historis, konstitusi itu sendiri mengamanatkan

perubahan, dan memang disiapkan untuk mengantisipasi perubahan itu.43

3). Alasan Praktis

Pada praktiknya, selama Orde Baru, UUD 1945 secara efektif sudah

diamandemen beberapa kali. Tab MPR dan undang-undang tentang Referendum,

yang mengubah prosedur amandemen, adalah contoh 'amandemen diam-diam.'

Mohammad Fajrul Falaakh berpandangan, contoh lain amandemen diam-diam

adalah:

1. Perluasan definisi 'golongan-golongan' yang menjadi anggota MPR

mencakup pula militer.

2. Campur tangan eksekutif terhadap independensi yudikatif melalui klaim

otoritas Soeharto untuk mengangkat Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

Agung.

3. Perluasan wilayah Indonesia hingga mencakup Timor-Timur.

Di mata Yusuf dan Basalim, diperluasnya definisi militer Indonesia, hingga

mencakup Polri, adalah amandemen diam-diam terhadap Pasal 10 UUD 1945, yang

membatasi definisi militer hanya untuk menyebut Angkatan Darat, Angkatan Laut,

dan Angkatan Udara.44

43 ibid.44 ibid. hlm. 164.

17

Page 22: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

c. Konstitusi Indonesia Pasca Amandemen

Setelah melalui empat tahapan perubahan, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, jelas merupakan teks yang lebih demokratis

ketimbang naskah UUD 1945.45 Aturan-aturan tentang lembaga legislatif, eksekutif,

dan yudikatif serta aturan-aturan tentang hak asasi manusia, menunjukkan bahwa

Konstitusi yang telah diubah itu membakukan pemisahan kekuasaan yang lebih jelas

dan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak asasi manusia, bila

dibandingkan dengan teks aslinya. Hal ini konsisten dengan pandangan bahwa

sebuah Konstitusi yang demokratis, secara khusus, mendefinisikan bagaimana

kekuasaan politik dikontrol secara efisien dan bagaimana hak-hak individu dan

masyarakat dilindungi.46

Selain Reformasi dibidang hak asasi manusia, Hasil-hasil penting yang

dicapai dari proses reformasi Konstitusi Indonesia, secara konseptual menurut

konsepsi Trias Politica, dijabarkan menjadi; reformasi legislatif, reformasi eksekutif,

dan reformasi yudisial.

1). Reformasi Legislatif

a). Reformasi Struktural

45 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga tanggal 9 November 2001, dan Perubahan Keempat tanggal 10 Agustus 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan nama atau penyebutan resmi untuk UUD 1945 Pasca Amandemen, baik Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat.

46 Denny Indrayana, ibid. hlm. 366.

18

Page 23: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Keempat amandemen itu telah mengubah struktur parlemen. MPR yang

semula berisi anggota-anggota DPR dan kelompok-kelompok fungsional tambahan,

termasuk militer telah diubah, dan sekarang hanya terdiri dari DPR dan DPD.

Anggota DPR mewakili kepentingan partai-partai politik, sedangkan anggota DPD

mewakili kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya. Yang terpenting, semua

anggota dari kedua kamar ini kini dipilih oleh rakyat. Ini berarti sistem 'kursi

pesanan' untuk militer dan golongan-golongan lain, sudah tidak berlaku lagi.47

b). Reformasi Fungsional

1) MPR dan Kedaulatan

Sebuah perubahan yang fundamental terjadi ketika Perubahan ketiga

mengatur bahwa; "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar." Ini berarti bahwa MPR tidak lagi menjadi satu-satunya

pemegang kedaulatan, tidak lagi menjadi lembaga tertinggi di Republik ini, dan tidak

lagi memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terbatas.48

2) Reformasi DPR

Sejak Amandemen, DPR menjadi sebuah lembaga legislatif yang digdaya.

Amandemen-amandemen itu bahkan telah melahirkan DPR yang unggul, dan dengan

begitu, Konstitusi yang sarat-eksekutif menjadi Konstitusi yang sarat-DPR.49

47 ibid. hlm. 367.48 ibid.49 ibid. hlm. 369.

19

Page 24: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Jimly Asshiddiqie merujuk pada keterlibatan DPR dalam menerima duta

besar negara-negara asing, sebagai satu contoh betapa lebih kuat dan berkuasanya

DPR sejak amandemen. Menurutnya, Pasal ini tidak praktis dan melanggar

kelaziman dalam diplomasi internasional. Sejalan dengan ini, Fajrul Falaakh

menyatakan bahwa syarat pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta besar

merupakan intervensi berlebihan lembaga legislatif dalam urusan eksekutif.50

Satu prestasi monumental lainnya dari proses amandemen terjadi ketika

Perubahan Pertama mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan

Presiden, dan memberikannya kepada DPR. Amandemen ini mengukuhkan checks

and balances yang lebih jelas antara Presiden selaku lembaga eksekutif dan DPR

sebagai lembaga legislatif. Amandemen ini juga mengatasi situasi yang tidak

memuaskan yang ada sebelumnya, di mana Presiden memiliki kewenangan yang

lebih kuat untuk membuat undang-undang. Walaupun demikian peran legislatif DPR

masih tetap rentan. Semua rancangan undang-undang harus disetujui bersama-sama

oleh Presiden dan DPR melalui tahap pembahasan, untuk bisa menjadi sebuah

undang-undang, dan Presiden memiliki hak veto absolut untuk menolak segala

rancangan undang-undang pada tahap pembahasan demikian. Kendati, sekali

Presiden setuju, dia tidak akan bisa menggunakan hak vetonya untuk tidak

menandatangani rancangan undang-undang itu dikemudian hari. Dalam waktu tiga

puluh hari, rancangan undang-undang itu tetap akan menjadi undang-undang,

sekalipun ditolak oleh Presiden.51

50 ibid.51 ibid. hlm. 371.

20

Page 25: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

3) Pembentukan DPD

Satu langkah reformasi legislatif lainnya adalah pembentukan Dewan

Perwakilan Daerah. Lembaga baru ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan

kepada masyarakat daerah untuk berperan lebih aktif di dalam pemerintahan, sejalan

dengan ide untuk menerapkan otonomi daerah. Tetapi DPD hanya diberi otoritas

yang terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Tetapi,

bagaimanapun, ini adalah satu contoh lain kompromi yang dicapai dalam proses

amandemen.52

2). Reformasi Eksekutif

a). Menuju Sebuah Sistem Presidensial Konvensional

Sistem presidensial di Indonesia bulakanlah 'presidensial' yang dipahami di

Amerika Serikat dan Filipina, karena presiden-presiden Indonesia tidak dipilih secara

langsung dan dapat diberhentikan kapan saja melalui pemungutan suara di MPR.

Tetapi sejak amandemen, Indonesia sudah mengadopsi model 'sistem presidensial'

yang lebih konvensional tersebut. Ini sesuai dengan karakteristik yang disodorkan

oleh Arendt Lijpart dan Giovanni Sartori.53

Lijphrat berpendapat bahwa sebuah sistem presidensial memiliki tiga

karakteristik yang spesifik:

1. Eksekutif yang dijalankan oleh satu orang, bukan gabungan.

2. Eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat.

52 ibid. hlm. 372.53 ibid. hlm. 374.

21

Page 26: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

3. Masa jabatan tertentu yang tidak bisa dicabut oleh sebuah pemungutan suara

di parlemen.

Menurut Sartori, sebuah sistem politik disebut presidensial jika Presidennya:

1. Dipilih oleh Pemilu rakyat.

2. Tidak bisa dicabut atau dihapuskan oleh pemungutan suara di parlemen,

selama dalam masa jabatannya.

3. Memimpin pemerintah yang dipilih dan diangkatnya sendiri.

b). Kekuasaan Eksekutif

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memiliki

sebuah sistem checks and balances yang lebih baik terhadap kekuasaan Presiden.

Kendati pemilihan Presiden langsung memperkuat legitimasi Presiden, ini tidak

berarti bahwa kekuasaan Presiden akan tak terbatas. Ini salah satunya, disebabkan

karena kekuasaan Presiden untuk mengangkat dan menghentikan pejabat-pejabat

tinggi negara sudah diatur dengan lebih baik.54 Sebagai misal:

1. Anggota-anggota MPR, DPR, dan DPD dipilih oleh rakyat.

2. Para anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan

dan saran-saran DPD, untuk kemudian disahkan oleh Presiden.

3. Nama-nama calon untuk diangkat menjadi Hakim Agung diserahkan oleh

Komisi Yudisial kepada DPR dan selanjutnya disahkan oleh Presiden.

c). Kekuasaan Legislatif

54 ibid. hlm. 377.

22

Page 27: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Kekuasaan legislatif, yang semula didominasi oleh Presiden, sekarang sudah

beralih ke tangan DPR, dengan sedikit partisipasi dari DPD. Tetapi Presiden masih

tetap memiliki kekuasaan legislatif yang signifikan. Rancangan undang-undang

dibahas dan harus disetujui oleh DPR maupun Presiden. Syarat persetujuan Presiden

ini pada dasarnya merupakan 'hak veto' bagi Presiden. Hak ini lebih kuat ketimbang

hak veto Presiden Amerika Serikat sekalipun. Di Indonesia, jika presiden menolak

sebuah rancangan undang-undang, tidak ada mekanisme yang dapat digunakan oleh

DPR dan/ atau DPD untuk mengalahkan penolakan semacam itu. Tetapi jika

Presiden sudah memberikan persetujuannya pada tahap ini, di belakang hari nanti,

dia tidak akan bisa mencabut persetujuannya itu lalu menolak menandatangani

sebuah rancangan-undang-undang agar sah menjadi undang-ndang. Tetapi demi

memperkuat sistem checks and balances, kekuasaan-kekuasaan legislatif Presiden

harus direformasi lebih lanjut dengan cara mengurangi atau membatasinya, yaitu

dengan memberi DPR dan DPD sebuah hak veto tandingan (veto over-ride) ala

Amerika Serikat, yang bisa dipakainya pada tahap pembahasan apabila Presiden

menolak.55

c). Kekuasaan Yudisial

Pada cabang yudikatif, potensi intervensi oleh Presiden sudah dikurangi oleh

amandemen konstitusi. Sebagai misal:

1. Kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi dan rehabilitasi sekarang sudah

dibatasi dengan saran-saran Mahkamah Agung.

2. Kekuasaan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dibatasi oleh

pertimbangan-pertimbangan DPR.

55 ibid. hlm. 377 – 378.

23

Page 28: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

3. Presiden hanya diberi kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan

anggota-anggota Komisi Yudisial, dengan persetujuan DPR.

4. Presiden hanya memiliki kekuasaan terbatas dalam mengesahkan Hakim

Agung, karena nama-nama calonnya harus terlebih dahulu mendapat

persetujuan.

5. Presiden harus berbagi kekuasaan dengan DPR dan Mahkamah Agung dalam

mengangkat kesembilan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Masing-masing

lembaga berwenang mengangkat tiga Hakim Konstitusi.

d). Impeachment

Proses impeachment atau pencopotan Presiden yang diciptakan oleh

amandemen UUD 1945 jauh lebih terperinci ketimbang sebelumnya. Prosedur yang

berlaku di Indonesia sekarang agak mirip dengan prosedur milik Amerika Serikat.

Dalam hal alasan untuk melakukan impeachment, Indonesia sudah mengadopsi

kriteria yang hampir seluruhnya sama dengan Amerika Serikat, dengan hanya

menambah 'korupsi' sebagai landasan tambahan.56

3). Reformasi Yudisial

a). Reformasi Struktural

Ada dua reformasi yudisial yang utama. Pertama, Pasal 1 ayat (3) Perubahan

Ketiga, yang terang-terangan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara

berdasarkan hukum. Perubahan ketiga juga semakin memperkuat reformasi yudisial

dengan mamasukkan secara eksplisit prinsip 'independensi kehakiman' kedalam

56 ibid. hlm. 379.

24

Page 29: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

UUD 1945. Prinsip ini sebelumnya hanya diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dan

tidak pada Batang Tubuhnya.57

Kedua, bila dibandingkan dengan lembaga eksekutif maupun legislatif,

reformasi-reformasi struktural yang dilakukan terhadap lembaga yudikatif lebih

komprehensif. Perubahan Ketiga membakukan dua lembaga baru, yakni Mahkamah

Konstitusi dan Komisi Yudisial. Posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan

Mahkamah Agung, tetapi dengan yurisdiksi yang berbeda. Keputusan untuk

membentuk sebuah mahkamah baru adalah salah satu solusi yang lebih baik

ketimbang memberikan kekuasaan yudisial yang baru kepada Mahkamah Agung,

mengingat begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan di

tingkat-tingkat peradilan dibawahnya.58

b). Judicial Review

Kekuasaan-kekuasaan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi menyumbang lebih banyak lagi terbentuknya sistem checks and balances

yang lebih baik. Salah satu kekuasaan krusial yang diberikan adalah kewenangan

untuk melakukan peninjauan atau judicial review terhadap produk-produk

perundang-undangan, sesuatu yang tidak ada sebelum Perubahan Ketiga. Bahkan

hanya dalam satu tahun sejak didirikan pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi

sudah berhasil "meraih reputasi dan independensinya" melalui penggunaan

kekuasaan barunya tersebut.59

57 ibid. hlm. 381.58 ibid.59 ibid. hlm. 383.

25

Page 30: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

4). Reformasi di Bidang Hak-hak Asasi Manusia (HAM)

Reformasi di bidang HAM merupakan reformasi yang mengesankan, karena

UUD 1945 yang asli tidak memiliki aturan-aturan tentang HAM yang memadai.

Inilah salah satu kekurangan terbesar yang diatasi melalui amandemen. Setelah

Perubahan Kedua, perlindungan terhadap HAM menjadi lebih impresif, setidaknya di

atas kertas. Ross Clarke berpendapat bahwa amandemen tentang HAM adalah

"perlindungan HAM pertama yang signifikan dalam UUD 1945." Baginya,

amandemen itu mewakili "sebuah perubahan radikal dalam falsafah konstitusional

Indonesia dari model yang sangat otoriter ke yang lebih demokratis." Tim Lindsey

juga berpendapat bahwa Bab XA yang panjang dan impresif tentang Hak-Hak Asasi

Manusia itu sudah mengubah UUD 1945 asli dari sebuah dokumen yang hanya

memberi sedikit jaminan atas HAM, kesebuah dokumen yang, setidaknya dalam

pengertian formal, memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia yang lebih luas

ketimbang yang diberikan banyak negara maju.60

d. Masalah Nasionalisme versus Negara Islam

Bab XI Pasal 29 UUD 1945, tentang Agama, adalah satu-satunya bab yang

tidak diubah dalam reformasi konstitusi tahun 1999 – 2002. Penolakan terhadap

usulan untuk memasukkan 'tujuh kata' Piagam Jakarta kedalam Pasal 29 ayat (1)

lebih menegaskan bahwa perdebatan tentang nasionalisme dan negara Islam adalah

satu masalah yang sangat sensitif dan krusial dalam sejarah konstitusi Indonesia.

Perdebatan-perdebatan konstitusi tahun 1999 – 2002 tentang dimasukkannya Piagam

60 ibid. hlm. 386.

26

Page 31: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Jakarta, sesungguhnya mengulangi debat-debat yang sama yang pernah terjadi

sebelumnya pada tahun 1945 dan 1956 – 1959. Dari tiga periode perdebatan ini,

hasilnya selalu sama saja, yaitu mempertahankan Pembukaan (dan Pancasila) dan

menolak dimasukkannya syariah kedalam Konstitusi. Hasil yang sama ini merupakan

bukti kuat bahwa tuntutan untuk mempertahankan ideologi negara nasionalis

Pancasila dan Pasal 29 sebagaimana adanya sekarang, adalah pilihan yang paling

disukai oleh mayoritas kelompok sosial di Indonesia.61

Oleh sebab itu, kemungkinan bahwa Pembukaan (Pancasila) dan Pasal 29

harus dibakukan dalam bentuknya sekarang demi mengatasi sulitnya hubungan

antara Islam dan negara di kemudian hari, harus dipertimbangkan masak-masak. Ini

akan berarti bahwa Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945 harus secara eksplisit

didefinisikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat diubah (non-amandable

provisions). Aturan semacam ini sah-sah saja dari persepektif hukum konstitusi. Di

Perancis, misalnya, bentuk Republik "tidak boleh dijadikan objek amandemen." Di

Indonesia Perubahan Keempat mengatur bahwa bentuk negara kesatuan tidak boleh

diubah.62

B. Dasar dan Pendekatan Teoritis

1. Trias Politica

Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau dalam bahasa

Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan

61 ibid. hlm. 387 - 388.62 ibid. hlm. 388.

27

Page 32: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.63 Pembatasan itu dilakukan dengan

hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh

karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau

constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam gagasan yang

sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah

constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi

yang berdasarkan atas hukum.

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan

pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri,

yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam

fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling

berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan

itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya.64 Yaitu cabang kekuasaan

legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan

yudisial.65

Menurut Montesquieu, dalam bukunya "L’Espirit des Lois" (1784) atau

dalam bahasa Inggris-nya "The Spirit of The Laws", yang mengikuti jalan pikiran

John Locke, membagi kekuasaan negara kedalam tiga cabang, yaitu:

63 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm. 156.

64 Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu. Istilah trias politica, sejatinya tidak dimunculkan sendiri oleh Montesquieu. Kata trias politica yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya pemisahan kekuasaan pada tiga poros (cabang) justru dimunculkan oleh Immanuel Kant. Lihat, SF. Marbun dan Mahfud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adminstrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. hlm. 43.

65 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm. 12.

28

Page 33: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.

2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan.

3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara moderen

dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or

administrative function), dan yudisial (the judicial function).66

Sebelumnya, John Locke dalam bukunya "Two Tereatises of Government"

(1689), juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya.

Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi:

1. Fungsi Legislatif.

2. Fungsi Eksekutif.

3. Fungsi Federatif.

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana itu nampaknya

mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke

mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan

fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau

pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan

John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam dan keluar negara-negara

lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi

diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi

federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori

fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi

66 ibid . hlm. 13.

29

Page 34: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi)

yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dianggap tersendiri.

Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi

kekuasaan kehakiman.67

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Miriam Budiardjo menjabarkan legislatif

sebagai kekuasan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk

menyelenggarakan undang-undang, dan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili

pelanggaran undang-undang. Selanjutnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun

mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya, ketiganya harus

terpisah satu sama lain.68

Sehubungan dengan itu, Montesquieu menerangkan bahwa jika kekuasaan

legislatif digabung dengan eksekutif, maka hal itu dapat mengancam kebebasan

warga negara. Sebab, jika dua kekuasaan itu diserahkan pada satu badan, hal ini

berpotensi memunculkan produk legislasi (undang-undang) yang tiranik, dan lebih

parah lagi, akan dijalankan secara tiranik pula. Selain itu, warga negara juga tidak

akan mendapati kebebasannya jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari

kekuasaan legislatif. Sebab jika kedua kekuasaan itu disatukan, maka kewenangan

para hakim tidak hanya terbatas pada mengadili semata, tetapi juga membentuk

undang-undang. Penggabungan dua kekuasaan pada satu organ ini dipastikan akan

menghadirkan penyelenggaraan negara yang otoriter. Sama halnya, jika kekuasaan

67 ibid. hlm. 14.68 Miriam Budirdjo, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 151.

30

Page 35: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

yudikatif dikawinkan dengan eksekutif, maka hal ini akan berpotensi melahirkan

penguasa yang tidak kalah despotik. Sebab disaat yang sama, hakim memiliki dua

kekuasaan yang besar, yakni mengadili atas pelanggaran undang-undang dan

mengeksekusi undang-undang. Dalam kondisi inilah kebebasan warga negara

terancam hilang.69

2. Distribution of Power dan Separation of Power

Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of Power) berkaitan erat dengan

teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan

(division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan

atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-

nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli

berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.70

Istilah "pemisahan kekuasaan" dalam bahasa Indonesia merupakan

terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga

fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan

dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan

masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,

kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula

kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada

intinya, satu organ hanya memiliki satu fungsi, sebaliknya satu fungsi hanya

dilakukan oleh satu organ.71

69 ibid. hlm. 152 -153.70 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu... op. cit. hlm. 15.71 ibid. hlm. 15 – 16.

31

Page 36: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli biasa

menggunakan pula istilah division of power atau distribution of power. Ada pula

sarjana yang menggunakan istilah division of power sebagai genus, sedangkan

separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, Arthur Mass, misalnya,

membedakan pengertian division of power tersebut kedalam dua pengertian, yaitu;

capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama

bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.72

Separation of power diartikan oleh O. Hood Philips dan yang lainnya sebagai

the distribution of the powers of government among different organs. Dengan kata

lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power. Oleh

karena itu, istilah-istilah separation of powers, division of powers, distribution of

powers, dan demikian pula istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian

kekuasan, menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja,

tergantung konteks pengertian yang dianut. Jimly mencontohkan, misalnya, dalam

Konstitusi Amerika Serikat, kedua istilah separation of Power dan division of power

sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power itu digunakan dalam

konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian (territorial division

of power), sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian

kekuasaan di tingkat federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary

(capital division of power).73

72 ibid. hlm. 18.73 ibid. hlm. 19.

32

Page 37: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Guna membatasi pengertian separation of powers, dalam bukunya

"Constitutional Theory," G. Marshall membedakan ciri-ciri deoktrin pemisahan

kekuasaan (separation of power) itu kedalam lima aspek:

1. Differentiation.

2. Legal incompatibilty of office holding.

3. Isolation, immunity, independence.

4. Checks and balances.

5. Co-ordinate state and lack of accountability.

3. Checks and Balances

Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep

checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s

Law Dictionary, diartikan sebagai "arrangement of governmental powers whereby

powers of one governmental branch check or balance those of other brances ."74

Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances

merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang

kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari

adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.

Munir Fuadi, mengartikan kata "checks" dalam checks and balances sebagai

"suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan

tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.

74 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn. Page 238.

33

Page 38: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Adapun "balance," merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing

pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani.75

Lebih lanjut, Munir menjabarkan operasionalisasi dari teori checks and

balances melalui cara-cara tertentu.76 Cara-cara ini adalah:

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu

cabang pemerintahan.

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu

cabang pemerintahan.

3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap cabang

pemerintahan lainnya.

4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan yang satu terhadap yang

lainnya.

5. Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the last

word) jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif.

Selain dilakukan di antara lembaga-lembaga negara, checks and balances

juga dilakukan di internal lembaga negara. Di Internal Congress Amerika Serikat

sebagai misal, House of Representatives-nya berbagi kewenangan dan saling kontrol

dengan Senate untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak saling menjegal,

meskipun keduanya mempunyai hak untuk saling memveto dalam proses legislasi.77

75 Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung. hlm. 124.

76 ibid.77 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

hlm. 16.

34

Page 39: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

35

Page 40: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

BAB IIPEMBAHASAN

UUD 1945 hasil amandemen yang ada sekarang ini merupakan UUD yang bukan saja isinya lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum amandemen, melainkan juga prosedur dan prosesnya sudah memadai. Ini penting dikemukaan karena sampai sekarang masih ada yang

mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 sudah menghianati gagasan kontrak sosial oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ada yang mendorong-dorong Presiden agar

mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H.

Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm. 169.

A. Komentar

1. UUD 1945 dan Otoriterisme

Adalah kenyataan bahwa UUD 1945 sebelum diamandemen selalu

menimbulkan otoriterisme kekuasaan.78 Ini dapat dilihat dari periodisasi berlakunya

UUD 1945 yang berlaku di tiga periode sejarah politik dan ketatanegaraan Indonesia,

yaitu pertama periode 1945 – 1949, kedua, periode 1959 – 1966, ketiga, periode

1966 – 1998.

Pertama, periode 1945 – 1949, demokrasi dapat tumbuh dan berkembang

dengan baik di bawah sistem parlementer. Pada periode ini sempat berlaku tiga

konstitusi atau UUD, yakni UUD 1945 (1945 – 1949), Konstitusi RIS 1949, dan

UUDS 1950. Pertengahan tahun 1945 dapat dianggap sebagai periode pemerintahan

fasis, karena tanpa adanya kehadiran parlemen dalam sistem pemerintahan. Jika

dilihat dari ukuran-ukuran umum berlakunya demokrasi, demokrasi tumbuh subur

ketika UUD 1945 ditinggalkan, dengan berlakunya sistem pemerintahan parlementer

78 Istilah resmi yang dipergunakan MPR RI adalah "perubahan," namun dalam praktik sehari-hari dipergunakan juga istilah amandemen dengan arti yang sama, sebab arti amandemen adalah perubahan juga.

36

Page 41: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

yang sama sekali tidak sesuai dengan UUD 1945, melalui Maklumat No. X Tahun

1945.79

Kedua, periode 1959 – 1966, demokrasi dapat dikatakan mati sebab dengan

demokrasi terpimpin pemerintah tampil secara sangat otoriter yang ditandai dengan

pembuatan Penpres di bidang hukum, pembubaran lembaga perwakilan rakyat,

pembredelan pers secara masiv, penangkapan tokoh-tokoh politik tanpa prosedur

hukum, dan lain sebagainya. Pada periode ini berlaku UUD 1945 berdasarkan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan di dalam Keppres No. 150 dan ditempatkan di

dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959.80

Ketiga, periode 1966 – 1998, demokrasi juga tidak dapat hidup dengan wajar

karena yang dikembangkan adalah demokrasi prosedural semata-mata, yakni

demokrasi yang dibatasi dan diatur dengan undang-undang, tetapi isi undang-undang

itu melanggar substansi demokrasi. Akibatnya tidak ada kontrol yang kuat terhadap

pemerintah. Pemeran utama politik nasional adalah militer dengan sutradara

utamanya Presiden Soeharto, dan KKN merajalela sampai menjerumuskan Indonesia

ke dalam krisis multi dimensi yang sulit diatasi.81

Mengenai alasan, mengapa pada periode-periode berlakunya UUD 1945 yang

asli selalu terjadi otoriterisme, berbagai studi telah menyimpulkan bahwa UUD 1945

mengandung kelemahan sistem yang dijadikan pintu masuk untuk membangun

otoriterisme. Pertama, membangun executive heavy yang menjadikan Presiden

sebagai penentu seluruh agenda politik nasional. Kedua, memuat pasal-pasal penting

79 Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta. hlm. 140.

80 ibid. hlm. 139.81 ibid. hlm. 140.

37

Page 42: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

yang multi tafsir dan tafsir sepihak pemerintah yang harus dianggap benar. Ketiga,

memberi atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada lembaga legislatif untuk

mengatur hal-hal penting dengan undang-undang tanpa pembatasan yang jelas,

padahal Presiden adalah pemegang kekuasaan legislatif dengan DPR yang ketika itu,

hanya diberi fungsi untuk menyetujui. Selain itu, UUD 1945 yang asli lebih

mempercayai semangat orang dari pada sistem yang kuat.82

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Setelah UUD 1945 diubah tampak jelas bahwa kehidupan demokrasi tumbuh

semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah merupakan kemajuan yang

sudah sangat besar bagi demokrasi Indonesia, sebab pada masa terkait, jika ada

gagasan untuk mengubah UUD 1945, maka akan sangat ditabukan. Sekarang setelah

UUD 1945 diubah, siapa pun boleh mempersoalkan UUD tanpa adanya ketakutan

untuk ditangkap. Semua itu boleh dinyatakan secara bebas dan aman karena setelah

perubahan Konstitusi, kran demokrasi menjadi terbuka lebar. Akan tetapi, menurut

Mahfud MD, apapun pandangan yang kita ikuti keputusan akhirnya haruslah tetap

konstitusional atau harus bernasarkan nomokrasi, sebab demokrasi tanpa nomokrasi

dapat menimbulkan kekacauan atau anarkisme.83

Selain itu, yang saat ini tampak makin baik adalah munculnya checks and

balances secara lebih proporsional di dalam sistem ketatanegaraan. Pengujian

peraturan perundang-undangan sesuai dengan penjenjangannya sekarang sudah

berjalan baik. Pada era Orde Baru, banyak produk peraturan perundang-undangan

82 ibid. hlm. 142.83 ibid. hlm. 144.

38

Page 43: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

yag bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi

tidak ada lembaga pengujian yang dapat dioperasionalisalkan. Padahal pada saat itu

banyak sekali undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD karena

penggunaan atribusi kewenangan, dan banyak peraturan perundang-undangan di

bawah udang-undang yang bertentangan dengan undang-undang. Era Orde baru tidak

memberikan peluang pengujian undang-undang terhadap UUD (constitutional

review), karena diasumsikan bahwa undang-undang tidak dapat dibatalkan melalui

judicial review melainkan hanya dapat dibatalkan melalui legislative review.84

Sejak era reformasi, lebih-lebih sejak diubahnya UUD 1945 sampai empat

kali sudah banyak undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai

wujud "checks and balances yang mengagumkan" bagi sistem ketatanegaraan. Saat

ini lembaga legislatif tak bisa lagi membuat undang-undang dengan sembarangan

atau melalui transaksi politik tertentu, sebab produk legislasi sekarang sudah dapat

diimbangi (balancing) oleh lembaga yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi. Terkait

pula, Mahkamah Agung sudah berkali-kali memutus permohonan judicial review

peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Semua ini tidak pernah

dapat terjadi ketika UUD 1945 belum diamandemen.

Kemajuan lain yang tak kalah pentingnya, adalah kinerja Dewan Perwakilan

Rakyat yang saat ini menjadi pemegang kukuasaan mebentuk undang-undang. Pra

amandemen, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan Presiden,

namun sekarang berada di DPR sehingga lembaga legislatif ini menjadi lebih

berdaya.

84 ibid. hlm. 145.

39

Page 44: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Tak kalah penting dari semua itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, memuat pengaturan yang eksplisit dan rinci tentang perlindungan terhadap

hak-hak asasi manusia. Mahfud MD, mengatakan, pelaksanaan HAM di Indonesia

pasca amandemen Konstitusi tidak lagi dijadikan residu kekuasaan, melainkan

kekuasaanlah yang menjadi residu HAM.85 Berdasarkan UUD yang asli, masalah

HAM diatur secara sumir yang pelaksanaannya diatribusikan kepada lembaga

legislatif yang kemudian berdasarkan undang-undang ternyata HAM dijadikan residu

kekuasaan dan bukan kekuasaan yang menjadi residu HAM. Inilah yang

menyebabkan baik zaman Orde Lama dan Orde Baru, selalu terjadi pelanggaran

HAM dan kekerasan-kekerasan politik yang diberi wadah undang-undang.

Sekarang, hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan dengan mudah. Selain

memuat rincian lengkap tentang HAM yang tidak boleh diresidukan, UUD 1945

hasil perubahan sudah memuat sistem pengawasan politik dan pengawasan hukum

terhadap pemerintah, agar tidak mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak

asasi manusia.86

B. Perbandingan Teoritikal

1. Urgensi Reformasi Konstitusi

Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah

reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah negara demokrasi

konstitusional. Sebab, transformasi kearah pembentukan sistem demokrasi hanya

85 ibid. hlm. 147.86 ibid.

40

Page 45: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi

yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi lainnya.87

Menurut Jimly Asshiddiqie, reformasi politik dan ekonomi yang bersifat

menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun

reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh

agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya

constitutional reform yang tidak setengah hati.88

Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan

otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh

kemauan anggota badan itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya

bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh elit politik yang

memegang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan

perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan

harus berhasil membaca arah perubahan yang dikehendaki masyarakat yang diatur

secara kenegaraan.89

Dalam setiap perubahan konstitusi terdapat paradigma perubahan yang harus

dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi "politik hukum"

perubahan konstitusi. Kesulitannya, perubahan yang diinginkan oleh masyarakat

politik tidak senantiasa sama dengan substansi perubahan yang diinginkan oleh

anggota lembaga yang meempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi.90

87 Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta. hlm. 193.

88 ibid. Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, "Telaah Akademis atas Perubahan UUD 1945," Jurnal demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 4, September – November 2001. hlm. 15.

89 Ni’matul Huda, op. cit. hlm. 194.90 ibid.

41

Page 46: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Perubahan konstitusi harus di dasarkan pada paradigma perubahan agar

perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat.

Paradigma ini digali kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan

argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin

stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat.91

Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang menjadi

dasar atau jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan

untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar

bagi perubahan atau penyusunan konstitusi baru. Disamping persoalan paradigma

dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan aspek teoritik dalam perubahan

konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang

dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan sunstansi yang akan diubah.92

2. Metode Perubahan Konstitusi

Berkenaan dengan prosedur perubahan konstitusi, dianut adanya tiga tradisi

yang berbeda antara satu negara dengan negara lain.

Pertama, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengubah

materi konstitusi dengan langsung memasukkan (insert) materi perubahan itu

kedalam naskah konstitusi. Negara-negara yang menganut sistem ini antara lain,

Republik Perancis, Jerman, dan Belanda.93 Metode ini dikenal pula dengan nama

metode renewal (pembaharuan atau perpanjangan).94 Konstitusi Perancis, misalnya,

91 ibid.92 ibid. hlm. 195.93 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... op. cit. hlm. 53.94 Sri Soemantri M., 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,

Bandung. hlm. 81.

42

Page 47: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah

aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu mencantumkan tambahan ketentuan pada

Article 3, Article 4, dan ketentuan baru Article 53-2 naskah asli Konstitusi Perancis

yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Keseluruhan materi perubahan itu

langsung dimasukkan kedalam teks konstitusi.95

Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan

penggantian naskah konstitusi. Metode ini dikenal pula dengan metode replace

(penggantian). Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali

diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi

RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Menurut Jimly Asshiddiqie, pada

umumnya, negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem

politiknya belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun bersifat jatuh-bangun, dan

masih bersifat trial and error. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di

Afrika dan Asia, banyak yang dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian.

Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi tidaklah dianggap ideal.

Praktik penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan

keterpaksaan.96

Ketiga, tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, yakni perubahan

konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai

amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Metode ini dikenal pula

95 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... loc. cit.96 ibid. hlm 54.

43

Page 48: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

dengan metode amendment atau addendum (perubahan, penambahan, atau

perbaikan).97 Dengan tradisi demikian, naskah asli konstitusi tetap utuh, tetapi

kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri

yang dijadikan adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Menurut Jimly,

tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada

salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti

prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat

kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti

mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat.98

3. Prosedur Perubahan

Mudah tidaknya prosedur perubahan dilaksanakan, mendapat perhatian yang

penting dalam studi hukum tata negara. Bahkan, telaah mengenai tipologi konstitusi

dikaitkan oleh para ahli dengan sifat rigid atau fleksibelnya suatu naskah Konstitusi

menghadapi tuntutan perubahan. Jika suatu konstitusi mudah diubah, maka konstitusi

itu bersifat fleksibel, tetapi jika sulit mengubahnya, maka konstitusi tersebut disebut

rigid atau kaku. Kadang-kadang, kekakuan suatu konstitusi dikaitkan dengan tingkat

abstraksi perumusannya ataupun dengan rinci tidaknya norma aturan dalam dalam

konstitusi itu dirumuskan. Kalau konstitusi itu hanya memuat garis besar ketentuan

yang bersifat umum, maka konstitusi itu juga kadang-kadang disebut soepel dalam

arti lentur dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu konstitusi, makin

abstrak perumusannya, maka makin soepel dan fleksibel penafsiran konstitusi itu

97 Sri Soemantri M., loc. cit.98 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Kons... op. cit. hlm. 53 – 54.

44

Page 49: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

sebagai hukum dasar. Namun, karena tingkat abstraksi hukum dasar dianggap

sebagai sebagai sesuatu yang niscaya, maka soal prosedur perubahanlah yang

dianggap lebih penting dan lebih menentukan kaku atau rigid tidaknya suatu

konstitusi. Makin ketat prosedur dan rumit mekanisme perubahan, makin rigid tipe

konstitusi tersebut. 99

4. Gagasan Amandemen V UUD 1945

Perbandingan UUD 1045 sebelum dan sesudah amandemen menegaskan

pandangan atau penilaian Mahfud MD, yang mengatakan bahwa UUD 1945 hasil

amandemen sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli,

baik dalam konsep dasarnya maupun dalam kenyataan praktiknya. Krisis-krisis yang

saat ini muncul secara beruntun, tidaklah ada kaitannya dengan perubahan konstitusi.

Menurut Mahfud, ini perlu detegaskan karena masih sering kita mendengar

pernyataan-pernyataan manipulatif bahwa bangsa ini dilanda krisis dan berbagai

bencana karena kita menghianati para pendiri negara dengan mengamandemen UUD

1945.100

Masih menurut Mahfud, pernyataan seperti itu sangatlah manipulatif dan

lucu. Jika ingin jujur sebenarnya krisis yang ada saat ini justru sebagai akibat atau

kelanjutan yang belum bisa diputus dari warisan korupsi-korupsi dalam bidang

ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan

(ipoleksosbudhankam) masa lalu ketika korupsi dibangun oleh pemerintah dengan

berlindung di bawah UUD 1945. Sementara soal bencana terjadi karena hukum alam

99 ibid. hlm. 54.100 Moh. Mahfud MD, op. cit. hlm. 152.

45

Page 50: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

(sunnatullah) yang dapat diciptakan oleh kesalahan manajerial manusia, bukan

karena konstitusi diubah.101

Meskipun secara tegas dapat disimpulkan bahwa konstitusi hasil amandemen

kita sudah jauh lebih baik dan sah dengan segala akibat hukumnya, namun haruslah

diakui bahwa hasil amandemen tersebut masih menyisakan beberapa persoalan

sehingga usulan untuk diperbaiki kembali dengan amandemen lanjutan tetap

signifikan.

Mahfud berpendapat, masalah-masalah yang sekarang banyak dimunculkan

misalnya, mengenai DPD yang dianggap tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan

yang berarti, masalah sistem parlemen yang dianggap tidak tegas, masalah sistem

presidensial yang menimbulkan gaya parlementer, masalah fungsi legislasi yang pada

umumnya di negara dengan sistem presidensial tidak dimiliki presiden, namun

presiden memiliki hak veto, masalah kekuasaan kehakiman yang terkait kompetensi

silang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, eksesivitas wewenang

MK serta pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial, cara pengisian jabatan

presdiden dan wakil presiden jika keduanya berhalangan secara tetap dan bersamaan

sehingga terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden, dan lain-lain.102

Gagasan penyempurnaan kembali ini tidak boleh ditabukan karena beberapa

hal.

Pertama, setiap konstitusi merupakan produk resultante atau kesepakatan

lembaga yang diberikan wewenang untuk membuat (dan mengubahnya) berdasarkan

situasi tertentu dan waktu tertentu, sehingga bila situasinya berubah, maka

101 ibid.102 ibid. hlm. 152 – 153.

46

Page 51: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

konstitusinya juga dapat diubah kembali dengan resultante baru agar sesuai dengan

perkembangan dan kebutuhan zaman.103

Kedua, ketika perubahan dulu dilakukan, ada kemungkinan didominasi atau

dipengaruhi secara kuat oleh suasana emosi dan euphoria yang kemudian

menampung dan menuangkan berbagai gagasan untuk amandemen konstitusi tanpa

pertimbangan yang matang.104

Ketiga, dalam kenyataannya UUD 1945 hasil amandemen telah menimbulkan

beberapa masalah di lapangan baik karena ketidak jelasan konsep maupun karena

tidak antisipatif terhadap masalah konstitusional yang dapat timbul kemudian.105

Keempat, UUD 1945 hasil amandemen itu sendiri memang membuka peluang

melalui prosedur dan pembatasan tertentu yang sangat ketat untuk dilakukannya

perubahan kembali jika diperlukan sesuai dengan teori resultante sebagaimana

dikemukakan oleh K.C. Wheare.106

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa isi konstitusi itu merupakan pilihan politik

yang disepakati oleh lembaga pembuatnya yang diberi kewenangan konstitusional.

Jadi isi konstitusi itu tidak ada kaitannya secara mutlak dengan soal benar atau salah,

dan soal baik atau jelek diantara pendapat-pendapat, dan kehendak-kehendak yang

berbeda mengenai isi konstitusi itu sendiri. Semuanya benar dan baik menurut

persepektif teori dan dalil-dalil yang dipergunakannya. Ini sama halnya dengan

putusan hakim yang belum tentu benar, sebab putusan hakim atas satu kasus bisa

103 ibid. hlm. 153.104 ibid.105 ibid. hlm. 153 – 154.106 ibid. hlm. 154

47

Page 52: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

berbeda jika kasus itu diperiksa oleh hakim lain, baik hakim pengadilan yang lebih

tinggi maupun hakim pengadilan yang sejajar untuk kasus dan isinya sama.107

Oleh sebab itu, keberlakuan konstitusi itu bukan karena ia lebih benar atau

lebih baik daripada yang lain, melainkan karena ia disepakati untuk dipilih dan

ditetapkan sebagai konstitusi yang berlaku sehingga yang ditetapkan oleh lembaga

yang berwenang itulah yang mengikat untuk dilaksanakan sebelum diubah secara

konstitusional pula.108

107 ibid.108 ibid.

48

Page 53: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

BAB IIIP E N U T U P

"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.""Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan mutlak akan

menghasilkan korupsi yang mutlak."(Lord Acton, A Study in Conscience and Politics, 1887)

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, Penulis

dengan ini berkesimpulan sebagai berikut:

Pertama, terkait pendapat subyektif Penulis tentang buku dengan judul;

Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran. Reformasi konstitusi

merupakan suatu keniscayaan politik. Karenanya, upaya perubahan konstitusi tidak

boleh ditutupi dengan alasan apapun. Uraian-uraian Denny Indrayana dalam buku

ini, pada prinsipnya berusaha untuk menggambarkan mitos-mitos seputar sakralisasi

UUD 1945 yang sealu disalahgunakan oleh penguasa, dan menggambarkan pula

pembongkaran-pembongkaran seputar otoriterianisme dalam UUD 1945, sehingga

konstitusi ini tertelanjangi ketidakkonstitusionalismenya.

Disamping itu, diuraikan pula tentang Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai the highest political compact-nya Indonesia

yang sarat akan nilai-nilai demokrasi, cita negara hukum, perlindungan terhadap hak

asasi manusia, checks and balances yang "mengagumkan," dan local wisdom-nya

Bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang sangat berharga bagi masyarakat madani (civil

society) tersebut, kecuali yang terakhir, tidak dimiliki sedikitpun oleh UUD 1945 Pra

Amandemen. Buku ini karenanya, mengingatkan kembali pembacanya akan suatu hal

yang esensial mengenai konstitusi, yang salah satunya adalah konstitusionalisme.

49

Page 54: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Kedua, terkait tentang UUD 1945. UUD 1945 adalah dokumen politik yang

otoriter. Baik Soekarno dan Soeharto memanfaatkan Konstitusi otoriter demikian

untuk memusatkan banyak kekuasaan negara di genggaman tangan mereka sendiri.

Karenanya, jika Republik Indonesia ingin menjadi negara yang demokratis, UUD

1945 harus direformasi. Transisi dari the dark age-nya rezim otoriter Soeharto adalah

salah satu peluang untuk mengusung reformasi ini.

Ketiga, terkait tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Konstitusi ini merupakan "angin segar" bagi demokrasi di Indonesia.

Kehidupan demokrasi di Indonesia tumbuh semakin baik. Perubahan konstitusi itu

sendiri, sudah merupakan suatu kemajuan besar. Mengingat, selama 32 tahun

lamanya hal ini adalah tabu, bahkan dalam wacana sekalipun. Keempat amandemen

konstitusi ini pun masih tetap lebih baik dalam menghindarkan Indonesia dari

terjerumus lagi ke dalam kegelapan. Oleh karena itu, segala upaya "irasional" untuk

kembali kepada UUD 1945 naskah asli melalui mekanisme apapun, harus dihentikan

dan dilawan. Paling tidak, Amandemen IV UUD 1945 penting untuk harus tetap

dipertahankan oleh siapapun dan dengan cara apapun.

Keempat, terkait reformasi konstitusi. Hasil reformasi konstitusi berupa UUD

1945 hasil amandemen sudah "jauh lebih baik" jika dibandingkan dengan UUD 1945

yang asli, baik dalam konsep dasarnya maupun dalam kenyataan praktiknya. Kita

hanya bisa berharap, semoga reformasi konstitusi yang dilakukan Indonesia dalam

mencari Konstitusi yang lebih efektif ini akan memandu transisi Indonesia untuk

menjadi sebuah negara yang jauh lebih demokratis kedepannya.

50

Page 55: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Kelima, terkait Amandemen V UUD 1945. Meskipun secara tegas dapat

disimpulkan bahwa konstitusi hasil amandemen kita sudah jauh lebih baik dan sah

dengan segala akibat hukumnya, namun harus diakui bahwa hasil amandemen

tersebut masih menyisakan beberapa persoalan sehingga usulan untuk diperbaiki

kembali dengan amandemen lanjutan tetap signifikan. Gagasan penyempurnaan

kembali ini tidak boleh ditabukan karena paling tidak setiap konstitusi merupakan

produk resultante atau kesepakatan lembaga yang diberikan wewenang untuk

membuat (dan mengubahnya) berdasarkan situasi tertentu dan waktu tertentu,

sehingga bila situasinya berubah, maka konstitusinya juga dapat diubah kembali

dengan resultante baru agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapai

sebelumnya pada Karya Tulis ini, Penulis dengan ini menggagas saran-saran sebagai

berikut:

Pertama, terkait reformasi legislatif yang telah dicapai dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus

mereformasi struktuk dan kekuasaan MPR, DPR, dan DPD. Oleh karena itu:

1. DPD harus diberi kekuasaan-kekuasaan yang lebih besar ketimbang apa yang

dimilikinya saat ini di bawah hasil amandemen. Seperti halnya DPR kini,

DPD harus diberi hak untuk menjalankan kekuasaan legislatif, disamping

juga hak imunitas bagi para anggotanya. Keadaan DPD saat ini

"menyedihkan" karena hanya menjadi "anak bawangnya" DPR.

51

Page 56: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

2. MPR harus menjadi sekedar sidang bersama antara kedua kamar itu, dan

bukan lagi menjadi sebuah lembaga terpisah. Hanya dengan cara inilah ide

tentang sistem bikameral yang efektif bagi bangsa Indonesia dapat tercapai.

Cara ini akan memperkuat DPD sekaligus memperkuat internal checks and

balances, karena mampu mencegah DPR agar tidak menjadi sebuah lembaga

legislatif yang sama sekali tidak terkendali (ancaman tirani DPR).

Kedua, terkait reformasi eksekutif yang telah dicapai dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus mereformasi

kekuasaan dan keberadaan Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif. Oleh

karena itu:

1. Perlu dilakukannya pembatasan lebih jauh terhadap kekuasaan legislatif

Presiden. Kendati Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menurut Penulis adalah local wisdom yang diciptakan

Founding Parents-nya Republik Indonesia, Aturan-aturan konstitusi ini

memungkinkan Presiden untuk menjegal rancangan undang-undang yang

tidak didukungnya. DPR dan DPD, sebagai lembaga legislatif, tidak memiliki

mekanisme untuk mengalahkan "hak veto" Presiden ini. Karenanya, demi

memperkuat sistem checks and balances, sangat penting untuk memberi DPR

dan DPD sebuah hak ala Amerika Serikat untuk memveto balik (veto over-

ride) penolakan Presiden pada tahap pembahasan.

2. Perlu dilakukannya perubahan terhadap syarat-syarat pencalonan Presiden.

Untuk menghindari adanya diskriminasi, syarat-syarat berkenaan dengan

52

Page 57: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

kemampuan mental dan fisik "sebaiknya" dihapuskan. Indonesia perlu

mempertimbangkan untuk hanya menyebutkan syarat-syarat yang umum,

seperti kewarganegaraan dan usia minimum, seperti diatur dalam Pasal II

Bagian 1 Konstitusi Amerika Serikat.

3. Perlu diberikannya kesempatan terhadap calon-calon presiden independen

untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Monopoli oleh partai-partai politik

atas pengajuan seorang calon presiden "sebaiknya" diakhiri. Ini diperlukan

untuk memperkuat demokrasi yang partisipatif.

Ketiga, terkait reformasi yudisial yang telah dicapai dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penting untuk terus menyempurnakan

lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman selaku pemegang kekuasaan

yudikatif. Oleh karena itu, permasalahan kekuasaan kehakiman yang terkait

kompetensi silang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi perlu

dicarikan constitutional solution-nya. Salah satunya adalah pemisahan fungsi yang

jelas antara "Dua Menara Kembar (The Twin Tower)" ini, berupa penerapan konsepsi

Mahkamah Agung sebagai Court of Justice dan Mahkamah Konstitusi sebagai Court

of Law. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung lebih efisien untuk mengadili

permasalahan-permasalahan penegakkan keadilan (pro justitia), juga untuk

mengurangi menumpuknya beban perkara yang sudah menumpuk di Mahkamah

Agung, dan agar terciptanya keselarasan antara Konstitusi dan segala produk

perundang-undangan di bawahnya, guna "memastikan" dan "menyelesaikan"

permasalahan-permasalahan penegakkan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.

53

Page 58: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Kedepannya, kewenangan Judicial review untuk segala produk perundang-undangan

dibawah Undang-Undang Dasar, harus dilimpahkan sepenuhnya kepada Mahkamah

Konstitusi sebagai manfestasi dari Court of Law.[]

54

Page 59: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

DAFTAR PUSTAKA

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung.

Denny Indrayana, 2008, Negeri Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan , Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, cetakan kedua, Konstitusi Press, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, cetakan ketiga, Konstitusi Press, Jakarta.

K. C. Wheare, 2003, Konstitusi-Konstitusi Modern, penerjemah: Muhammad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya.

Miriam Budiardjo, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, Jakarta.

Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung.

Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta.

SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD., 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cetakan kedua, Liberty, Yogyakarta.

Soehino, 2000, Ilmu Negara, cetakan ketiga, Liberty, Yogyakarta.

55

Page 60: Tinjauan Buku Amandemen UUD 1945 - antara mitos dan pembongkaran (Denny Indrayana)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Republik Indoenesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

56