tinjauan dan dafpus
DESCRIPTION
dafpusTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebrae
Anatomi tulang belakang perlu diketahui agar dapat ditentukan elemen yang
terganggu pada timbulnya keluhan nyeri punggung bawah.Columna vertebralis
adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-
tulang tak beraturan, disebut vertebrae.Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut1:
Cervicales (7)
Thoracicae (12)
Lumbales (5)
Sacroles (5, menyatu membentuk sacrum)
Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu)
Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi
atas 2 bagian1:
Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis
(sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale anterior
dan posterior.
Bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis,
serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot
penyokong dan pelindung kolumna vertebrae.
Gambar 1. Gambaran lateral columna vertebralis
Bagian posterior vertebrae antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi
apofisial (fascet joint). Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh
ligamentum dan tulag rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari
corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago
yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis
anterior dan ligamentum longitudinalis posterior.1
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Diskus Intervertebralis
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis.
Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak
terjadi gerakan columna vertebralis. Struktur ini dapat dianggap sebagai discus
semielastis, yang terletak di antara corpus vertebrae yang berdekatan dan bersifat
kaku. Ciri fisiknya memungkinkan berfungsi sebagai peredam benturan bila beban
pada columna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang melompat
dari tempat yang tinggi. Kelenturannya memungkinkan vertebra yang kaku dapat
bergerak satu dengan yang lain. Sayangnya daya pegas ini berangsur-angsur
menghilang dengan bertambahnya usia.1
Gambar 2. Lumbar vertebrae
Setiap discus terdiri atas bagian pinggir, anulus fibrosus, dan bagian tengah
yaitu nucleus pulposus.
Anulus fibrosus
Terdiri atas jaringan fibrocartilago, di dalamnya serabut-serabut kolagen
tersususn dalam lamel-lamel yang kosentris. Berkas kolagen berjalan
miring di antara corpus vertebrae yang berdekatan, dan lamel-lamel yang
lain berjalan dalam arah sebaliknya. Serabut-serabut yang lebih perifer
melekat dengan erat pada ligamentum longitudinale anterius dan
posterius columna vertebralis.1
Nucleus fibrosus
Pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat gelatin
yang banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel
tulang rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit ebih
dekat ke pinggir posterior daripada pinggir anterior discus. Permukaan
atas dan bawah corpus vertebrae yang berdekatan yang menempel pada
discus diliuti oleh cartiloago hyalin yang tipis. Sifat nucleus pulposus
yang setengah cair memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae
dapat mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada
flexi dan ekstensi columna vertebralis.1
Peningkatan beban kompresi yang mendadak pada columna vertebralis
menyebabkan nucleus pulposus yang semi cair menjadi gepeng. Dorongan keluar
dari nucleus ini dapat ditahan oleh daya pegas anulus fibrosus disekelilingnya
kadang-kadang, dorongan keluar ini terlalu kuat bagi anulus, sehingga anulus
menjadi robek dan nucleus pulposus enjadinkeluar dan menonjol kedalam canalis
vertebralis, tempat nucleus ini dapat menekan radix nervus spinalis, nervus
spinalis, atau bahkan medula spinalis.1
Dengan bertambahnya umur, kandungan air di dalam nucleus pulposus
berkurang dan digantikan oleh fibrocartilago. Serabut-serabut collagen anulus
berdegenerasi, dan sebagai akibatnya anulus tidak lagi berada dalam tekanan.
Pada usia lanjut, discus ini tipis dan kurang lentur, dan tidak dapat lagi dibedakan
antara nucleus dan anulus.1
Gambar 3.A. Perubahan bentuk nucleus pulposus saat fleksi dan ekstensi. B. Diskus intervertebralis
Discus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan 2 atau di
dalam os sacrum atau os coccygeus. Diskus intervertebralis, baik annulus fibrosus
maupun nucleus pulposusnya adalah bangunan yang tidak peka nyeri.
Bagian yang merupakan bagian peka nyeri adalah:1
Lig. Longitudinale anterior
Lig. Longitudinale posterior
Corpus vertebra dan periosteumnya
Articulatio zygoapophyseal
Lig. Supraspinosum
Fasia dan otot fasia dan stabilitas vertebrae tergantung pada integritas
korpus vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong
yaitu ligamentum (pasif) dan otot(aktif). Untuk menahan beban yang besar
terhadap kolumna vertebrale ini stabilitas daerah pinggang sangat bergantung
pada gerak kontraksi volunter dan refleks otot-otot sakrospinalis, abdominal,
gluteus maksimus, dan hamstring. Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus
pulposus menurun dan digantioleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut,
diskus ini tipis dan kurang lentur, dan sukar dibedakan dari anulus. Ligamen
longitudinalis posterior di bagian L5-S1 sangat lemah, sehingga HNP sering
terjadi di bagian postero lateral.1
Gambar 4. “penonjolan” nucleus pulposus
2.2 PAIN (NYERI)
2.2.1 Definisi Pain
The International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri
sebagai “perasaan yang tidak menyenangkan baik itu sensasi maupun emosi
berkaitan dengan adanya suatu kerusakan jaringan. Definisi ini mencakup aspek
objektif, proses fisiologi nyeri, subjektif, emosi dan psikologi. Respon nyeri
sangat bervariasi antar individu maupun pada individu yang sama dalam waktu
yang berbeda.2
2.2.2 Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri.3
Menurut Smeltzer & Bare (2002), jenis pengukuran nyeri adalah sebagai
berikut:4
2.2.2.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien
skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.5
2.2.2.2 Skala Identitas Nyeri Numeriks
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala biasanya digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
Gambar 5
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,
1992).5
2.2.2.3 Skala Analog Visual
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka.6
2.2.2.4 Skala Nyeri menurut Bourbanis
Kategori dalam skala nyeri Bourbanis sama dengan kategori VDS, yang
memiliki 5 kategori dengan menggunakan skala 0-10. Menurut AHCPR (1992),
kriteria nyeri pada skala ini yaitu:5
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
Gambar 6
Gambar 7.
7-9 : Nyeri berat, secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi.
2.3 LOW BACK PAIN
2.3.1 Definisi Low Back Pain
Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah atau nyeri pinggang
bawah adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan
nyeri lokal (inflamasi), maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri yang berasal
dari punggung bawah dapat berujuk kedaerah lain atau sebaliknya yang berasal
dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah/refered pain.7
Menurut Rakel (2002) Low back pain (LBP) adalah nyeri di daerah
punggung antara sudut bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar
tulang ekor). Nyeri juga bisa menjalar ke daerah lain seperti punggung bagian atas
dan pangkal paha. LBP atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu
gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang
baik.8
2.3.2 Klasifikasi Low Back Pain
Jenis Low Back Pain dari beberapa symptom penyakit spinal (nyeri, kaku,
keterbatasan gerakan, dan deformitas), nyeri adalah yang paling penting. Empat
jenis nyeri dapat dibedakan, yaitu lokal, alih, radicular, dan yang diakibatkan oleh
spasme otot sekunder (protektif). Jenis-jenis nyeri ini dapat dibedakan dari
Gambar 8.
deskripsi pasien tentang karakteristik, lokasi, kondisi yang memodifikasi nyeri itu
sendiri.9
2.3.2.1 Nyeri Lokal
Nyeri lokal disebabkan oleh proses patologis yang mengenai struktur yang
mengandung serabut saraf sensorik. Keterlibatan dari periosteum copus vertebra,
kapsul sendi apophysial, otot-otot, annulus fibrosus, dan ligamentum-ligamentum
sering menyebabkan nyeri. Nyeri lokal sering digambarkan seperti nyeri yang
terus-menerus dan sangat nyeri, namun dapat juga intermiten dan tajam, dan
walaupun tidak berbatas jelas, nyeri selalu dirasakan di dalam atau dekat bagian
yang terlibat dari tulang belakang. Biasanya terdapat respon splinting secara
spontan untuk melindungi pusat nyeri dengan cara kontraksi otot-otot
paravertebral dan beberapa gerakan atau postur yang menawan spasme dan
mengubah posisi dari jaringan yang trauma yang justru dapat memperburuk nyeri.
Otot-otot yang spasme tersebut dapat lebih sensitif nyeri dengan penekanan.9
2.3.2.2 Nyeri Alih
Nyeri alih memiliki 2 tipe. Pertama, yang berasal dari spinal ke visera dan
struktur lain yang mendasari dermatom lumbal dan sacral atas. Yang kedua, yang
berasal dari visera pelvis dan abdomen ke spinal. Nyer yang disebabkan oleh
penyakit dari lumbar bagian atas sering dialihkan ke panggul, panggul lateral,
inguinal, dan paha anterior. Hal ini dapat diatribusikan oleh n. cluneal superior
yang berasal dari divisi posterior tiga vertebrae lumbalis pertama dan
menginervasi bagian superior gluteal. Nyeri yang ditimbulkannya dari bagian
bawah lumbar biasanya dialihkan ke saraf spinal bawah, yang mengaktifkan
neuron-neuron yang berasal dari area yang sama yang menginervasi paha
posterior. Nyeri jenis ini biasanya luas dan memiliki kualitas yang dalam, dan
amat nyeri, namun cenderung beberapa kali lebih dialihkan ke superficial. McCall
dkk dan Kellgren dapat membuktikan area peralihan ini dengan injeksi larutan
salin hipertonik ke sendi apophysial. Namun, Sinclair dkk menyebutkan daerah
peralihan ini tidak jelas dan tidak dapat dibuktikan pada lesi yang tepat. Pada
umunya, intensitas nyeri alih memiliki kesamaan dengan nyeri lokal. Dengan kata
lain, gerakan yang membedakan nyeri lokal memiliki efek yang sama pada nyeri
alih, walaupun berbeda tempat lokasi asal yang disebut nyeri radiks.9
Nyeri yang berasal dari visceral biasanya dirasakan di dalam abdomen,
panggul, region lumbal, dan dimodifikasi oleh aktivitas visera dan terkadang
dengan postur tubuh berdiri tegak atau supinasi. Nyeri ini tidak banyak
berhubungan dengan gerakan-gerakan oleh punggung. Nyeri radik memiliki
beberapa karakteristik nyeri alih namun berbeda dalam intesitasnya yang lebih
berat, pengalihan distal, terbatas pada satu radiks, dan faktor yang
membangkitkannya. Mekanismenya adalah peregangan, iritasi, atau kompresi dari
radiks spinal. Karakteristik nyeri tersebut tajam dan intensitas tinggi. Batuk,
bersin, dan mengangkat beban dapat mencetuskan nyeri alih ini, walaupun tiap
aktivitas ini meningkatkan tekanan intrabdominal, dapat juga meningkatkan
tekanan intraspinal yang dapat menekan radiks.9
Pola yang paling sering adalah sciatica, nyeri yang berasal dari region
gluteal dan dialihkan ke paha posterior atau posterolateral. Nyeri ini berasal dari
iritasi radiks L5 atau S1. Keluhan lain yang menyertai adalah parestesia atau
hilangnya sensorik superficial, nyeri pada kulit, dan nyeri tekan di daerah tertentu
sepanjang sarah yang menyertai radiks tersebut. Jika radik anterior terlibat, dapat
juga terjadi hilangnya reflex, kelemahan, atropi, dan getaran-getaran fasciculus.9
2.3.2.3 Nyeri yang berasal dari spasme otot
Nyeri ini biasanya terjadi berhubungan dengan nyeri lokal. Spasme dapat
dipikirkan sebagai refleks nocifensive untuk proteksi melawan injuri.
Spasme otot berhubungan dengan gangguan punggung bawah dan
mengganggu postur normal. Kontraksi otot yang kronik dapat meningkat
menjadi tumpul dan terasa nyeri kram. Pasien dapat merasa kaku pada otot
sacrospinalis dan gluteal dan saat palpasi nyeri bersifat lokal.9
2.3.3 Faktor Risiko Low Back Pain
Obesitas yang berasal dari obesitas sentral, dan kehamilan pada tingkat
akhir dapat mengganggu kelengkungan spinal dan menyebabkan low back pain.
Pada kehamilan, nyeri biasanya membaik saat kelahiran. Beberapa aktivitas
seperti jogging, lari pada jalan bersemen ketimbang lintasan sintel, mengangkat
beban berat, duduk yang terlalu lama (mengendara truk, mobil, dan kursi yang
didesain tidak baik) dapat mencetuskan nyeri. Namun demikian faktor psikologis
juga dapat mencetuskan nyeri.10
2.3.4 Penyebab Low Back Pain
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya LBP, antara lain:
2.3.4.1 Kelainan Tulang Punggung (Spine) Sejak Lahir
Keadaan ini lebih dikenal dengan istilah Hemi Vertebrae. Kelainan-
kelainan kondisi tulang vertebra tersebut dapat berupa tulang vertebra hanya
setengah bagian karena tidak lengkap pada saat lahir. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya low back pain yang disertai dengan skoliosis ringan.11
Selain itu ditandai pula adanya dua buah vertebra yang melekat menjadi satu,
namun keadaan ini tidak menimbulkan nyeri. Terdapat lubang di tulang vertebra
di bagian bawah karena tidak melekatnya lamina dan keadaan ini dikenal dengan
Spina Bifida. Penyakit spina bifida dapat menyebabkan gejala- gejala berat
sepert club foot, rudimentair foot, kelayuan pada kaki, dan sebagainya.
namun jika lubang tersebut kecil, tidak akan menimbulkan keluhan.11
2.3.4.2 Low Back Pain karena Trauma
Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama LBP
(Bimariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot
atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat menderita nyeri
pinggang bawah yang akut.11
Gerakan bagian punggung belakang yang kurang baik dapat menyebabkan
kekakuan dan spasme yang tiba-tiba pada otot punggung, mengakibatkan
terjadinya trauma punggung sehingga menimbulkan nyeri. Kekakuan otot
cenderung dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun
pada kasus-kasus yang berat memerlukan pertolongan medis agar tidak
mengakibatkan gangguan yang lebih lanjut.12
2.3.4.3 Low Back Pain karena Perubahan Jaringan
Kelompok penyakit ini disebabkan karena terdapat perubahan jaringan
pada tempat yang mengalami sakit. Perubahan jaringan tersebut tidak hanya pada
daerah punggung bagian bawah, tetapi terdapat juga disepanjang punggung
dan anggota bagian tubuh lain. Beberapa jenis penyakit dengan keluhan LBP yang
disebabkan oleh perubahan jaringan antara lain osteoartritis (spondylosis
deformans), fibrositis, dan penyakit infeksi sendi.12
2.3.4.4 Low Back Pain karena Pengaruh Gaya Berat
Gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan dapat
mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi
pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, coxa valgum
dan sebagainya. Beberapa pekerjaan yang mengaharuskan berdiri dan duduk
dalam waktu yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya LBP.11
Kehamilan dan obesitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya LBP akibat pengaruh gaya berat. Hal ini disebabkan terjadinya
penekanan pada tulang belakang akibat penumpukan lemak, kelainan postur tubuh
dan kelemahan otot.11
2.3.5 Terapi Low Back Pain
Tatalaksana pada pasien LBP bergantung dari riwayat pasien dan tipe dari
nyeri yang diderita oleh pasien. Dengan terapi tanpa pembedahan, sebagian besar
pasien dengan LBP akan sembuh dalam enam bulan. Jika tidak ada perbaikan,
diagnosis lebih lanjut dan pembedahan disarankan untuk dilakukan.13
2.3.5.1 Terapi Nonbedah
Terapi pasien dengan LBP dimulai dengan istirahat atau tirah baring untuk
membatasi aktivitas pasien. Istirahat ini dapat mengurangi inflamasi dan
mengurangi spasme otot yang menyebabkan nyeri.14 Istirahat juga dapat
memberikan kesempatan perbaikan pada syaraf yang cedera. Namun, istirahat
tirah baring melebihi dua hari tidak disarankan karena hal ini dapat merusak
tulang, jaringan lunak, otot, dan sistem peredarahan darah.15
Jika LBP disertai dengan fraktur dari sebagian vertebrae, pasien
direkomendasikan menggunakan korset rigid selama dua atau tiga bulan.
Penggunaan korset rigid juga dapat membatasi pergerakan sendi lumbosakral
sehingga mengurangi risiko cedera sendi lebih lanjut.14
Penggunaan terapi medikasi pada terapi LBP juga dapat dilakukan untuk
mengurangi nyeri. Obat-obatan yang digunakan pada umumnya berasal dari
golongan NSAIDs, muscle relaxant, dan antidepresan.15 Selain itu, nyeri juga
dapat dihindari dengan menghindari posisi atau gerakan tubuh yang dapat
mencetuskan nyeri. Oleh karena itu, pemilihan posisi yang membuat pasien
nyaman sangat penting untuk melindungi pasien dari kecelakaan sendi,
mereduksi gejala, dan mencegah cedera lebih lanjut.15 Walaupun demikian, pasien
dengan LBP juga perlu melakukan latihan-latihan untuk memperbaiki fleksibilitas
dari punggung dan hamstring serta untuk menguatkan kembali otot-otot punggung
dan abdominal.14
2.3.5.2 Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan jika terapi nonbedah tidak memperbaiki
keadaan pasien LBP dan jika telah diketahui pasti penyebab dari LBP yang telah
dibuktikan gambaran radiologi, MRI, atau CT-scan. Pada pasien LBP dengan
spondilolisthesis misalnya, pembedahan dilakukan jika terjadi pergeseran
vertebrae berat yang menyebabkan kesulitan berjalan, perubahan pada fungsi
ekskresi (bowel and bladder), dan perburukan fungsi syaraf.15
Pembedahan pada pasien MBP dapat berupa laminektomi,
mikrodistektomi, dan fusi. Tujuan dari pembedahan ini adalah untuk mengurangi
kompresi dari radiks syaraf. Dengan dilakukan pembedahan ini, diharapkan
penyebab utama dari LBP dapat diatasi dan pasien tidak menderita nyeri lagi.13,14
2.3.5.3 Rehabilitasi
Terapi rehabilitasi biasanya memerlukan waktu latihan beberapa kali
selama empat hingga enam minggu. Beberapa kasus memerlukan waktu lebih
panjang untuk menjalani terapi hingga selesai.14
Tujuan utama dari terapi rehabilitasi ini adalah untuk mengontrol gejala
LBP. Terapis akan membantu pasien menemukan posisi dan pergerakan yang
dapat mengurangi rasa nyeri. Terapi menggunakan panas (IRR, MWD, dan
SWD), dingin (cryoterapi), ultrasound (US), dan stimulasi elektrik (TENS) juga
dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.14
Latihan yang dijalani pasien LBP adalah peregangan otot-otot paha.
Seiring dengan perbaikan kondisi pasien, dilakukan juga latihan untuk
menguatkan otot-otot abdominal dan otot-otot punggung. Latihan ini dilakukan
pada otot-otot tersebut untuk membantu pasien agar mudah bergerak dan
mengurangi permasalahan nyeri di waktu mendatang jika nyeri ini kambuh lagi.
Sebenarnya latihan peregangan otot tidak dibatasi pada otot-otot ini saja karena
semua otot menahan tulang belakang lumbal dan korset pelvic dapat
diseimbangkan dan stretching yang regular dapat membantu memperbaiki gerakan
yang normal tulang belakang dan pelvis. Stretching menggunakan gerakan
dinamik postural (yoga postur) dapat secara khusus menolong karena dapat
memperbaiki keseimbangan otot tulang belakang dan korset pelvic.15
Latihan ini biasanya bersatu dengan program rehabilitasi yang lebih
komprehensif, meliputi latihan stabilisasi. Tujuan latihanini adalah untuk
mengajarkan kepada pasien bagaimana menemukan tulang belakang yang normal
selama latihan setiap hari. Posisi normal tulang belakang berbeda untuk setiap
individu, dibedakan oleh pelvis dan postur tulang belakang yang menempatkan
penekanan terakhir pada elemen tulang belakang dan struktur pendukung.
Stabilisasi spinal menekankan aktivasi yang sinergis dari trunkus dan otot-otot
pada posisi tengah karean kekuatan otot abdominal dan otot-otot gluteal. Selain
itu, memungkinkan pasien untuk melatih otot-otot yang mendukung trunkus dan
tulang belakang sehingga dapat mengurangi seluruh penekanan dari tulang
belakang.14
2.3.5.4 Edukasi
Edukasi pasien sangat penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi dari
tulang belakang. Pada masa akut, pasien harus memeiliki pengertian yang baik
atas kondisi mereka dan kemungkinan efek merugikan dari tirah baring yang
lama. Instruksi pada postur yang sesuai dan mekanik tubuh dengan aktivitas
sehari-hari sangat penting untuk setiap pasien. Bila nyeri menjadi tidak terkontrol,
pasien harus aktif pada program rehabilitasi tulang belakang yang meningkat yang
kemudian dapat digabungkan dengan program latihan rumah untuk melanjutkan
kekuatan fungsi. Strategi keamanan punggugn dan proteksi sendi disatukan
melalui proses rehabilitasi.15
2.3.6 Prognosis
Prognosis mencakup prognosis klinis dan prognosis fungsional. Tujuan
dari menentukan prognosis adalah untuk memberikan penilaian terhadap
perkembangan lebih lanjut dari penyakit yang diderita.16
2.3.6.1 Prognosis Klinis
Secara klinis, prognosis LBP bergantung dari etiologi LBP, tata laksana
yang akan dijalani oleh pasien, kepatuhan pasien, dan latihan-latihan yang akan
dilakukan oleh pasien. Pasien sedang menjalani fisioterapi berupa pemanasan
dalam (SWD dan IRR), TENS, dan disarankan untuk menggunakan korset. Jika
pasien patuh, mengikuti latihan dan tata laksana dengan baik, prognosis secara
klinis dari pasien ini adalah dubia ad bonam.16
2.3.6.2 Prognosis Fungsional
Prognosis secara fungsional dapat dinilai dengan menggunakan standar
fungsional Functional Independence Measure (FIM), Indeks Katz, atau Indeks
Barthel. Secara umum yang dinilai adalah fungsional aktivitas pasien yang
mencakup kegiatan sehari-hari, yaitu makan, mobilitas, mandi, personal toilet,
berpakaian, mengatur BAB dan BAK. Pasien ini dapat dapat melakukan semua
kegiatan tersebut secara mandiri, tetapi ada keterbatasan gerak pada saat duduk,
hendak berdiri, dan beribadah (sholat). Dengan program rehabibiltasi tulang
belakang yang aktif dan terfokus, prognosis dari pasien ini untuk dapat
beraktivitas yang bebas dari nyeri sangat baik, walaupun beberapa pasien LBP
menetap dan membutuhkan lebih banyak intervensi. Oleh karena itu, prognosis
fungsional pasien ini adalah dubia ad bonam.16
2.4 SPONDYLOLISTHESIS
2.4.1 Definisi Spondylolisthesis
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang berarti
“bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk pergeseran
(biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang
dibawahnya.17,20,21,25
2.4.2 Etiopatofisiologi
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral
(kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang kecil, sendi facet tidak
kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai
spondilolisthesis displastik, atau mungkin terjadi selama masa remaja karena
patah tulang atau cedera pada salah satu tulang-tulang belakang darikegiatan
olahraga terkait seperti angkat berat, berlari, berenang, atau sepak bola yang
menyebabkan seseorang memiliki spondilolisthesisisthmic.17,25
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis yang dikategorikan
berdasarkan sistem klasifikasi Wiltse:
a. Tipe I disebut dengan spondylolisthesis displastik (kongenital) dan terjadi
akibat kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5
inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
b. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang
bermakna pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars
interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan
spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra
yang lain, kelainan ini disebut dengan spondylolisthesis.
Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
- Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren
yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
- Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
- Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
c. Tipe III, merupakan spondylolisthesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat
degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi
tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang.
Tipe spondylolisthesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondylolisthesis degeneratif pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
d. Tipe IV, spondylolisthesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan
fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondylolisthesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya
2.4.3 Epidemiologi
Insidensi spondilolisthesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan studi otopsi.
Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena secara umum
populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-
L5. Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini.17,18,24
2.4.4 Gejala klinis
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis
pergeseran dan usia pasien.Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis
dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul
dan paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan
tingkat pergeseran, meskipun mereka disebabkan ketidakstabilan segmental.
Tanda neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat selip dan melibatkan
motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai untuk pelampiasan akar
saraf (biasanya S1).19
Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah:
1. Nyeri punggung bawah.
Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi
tulang belakang lumbal.20
2. Beberapa pasiendapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan,atau
kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari saraf
dapat menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung
kemih.20
3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak
daripunggung bawah.20
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang
dengan nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang
umum di L3-4. Gejala-gejala radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral
dari facet dan ligamen hipertrofi dan/atau disk herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi
paling sering dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus. Stenosis
pusat dan klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada.20
Penyebab gejala klaudikasio selama ambulasi adalah multifaktorial. Rasa
sakit ini berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk
atau bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum
flavum menonjol, pengurangan lamina utama dan aspek, dan pembesaran foramen
tersebut. Hal ini mengurangi tekanan pada akar saraf keluar dan, dengan
demikian, mengurangi rasa sakit.20
2.4.5 Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik
pasien spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung yang
disertai dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering
menyebabkan spasme otot, atau kekakuan pada betis.
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang
belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang
bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra di dekatnya. Spondilolistesis
dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan persentase pergeseran vertebra
dibandingkan dengan vertebra di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%
5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari
tempatnya
Gambar 9. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis
Gambar 10. Derajat Spondilolisthesis
Jika pasien mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai,
pemeriksaan penunjang tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat
disebabkan stenosis atau penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai.
CT scan atau MRI dapat membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang
berhubungan dengan spondilolistesis. Pada keadaan tertentu, PET scan dapat
membantu menentukan adanya proses akftif pada tulang yang mengalami
kelainan. Pemeriksaan ini juga berperan dalam menentuskan terapi pilihan untuk
spondilolistesis.22
2.4.6 Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot
view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat
memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal dapat
memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu
membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
b. SPECT
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto
polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah
dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif
akan terjadi.
c. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat
memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat
membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi
tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus, kanal, dan anatomi
serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.23
2.4.7 Penatalaksanaan
2.4.7.1 Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan
non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau
defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan,
stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting
dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.22
2.4.7.2 Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan
untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip
50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade
spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi
tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi.
Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan
operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih
besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral
x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas
rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka
kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non
union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan:22
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
2.4.8 Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien
yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-25%),
infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang
perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah
(>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
menderita spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi
serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini.24
2.4.9 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran
vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan
penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini akan
membutuhkan pembedahan dekompresi.24
2.5 Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
2.5.1 Definisi
Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah suatu penyakit, dimana bantalan
yang berada diatara ruas tulang belakang biasa disebut nucleus pulposus
mengalami kompresi di bagian posterior atau lateral, kompresi tersebut
menyebabkan nucleus pulposus pecah sehingga terjadi penonjolan melalui anulus
fibrosus ke dalam kanalis spinalis dan mengakibatkan iritasi dan penekanan
radiks saraf sehingga di daerah iritasi terasa nyeri yang menjalar.26 Berikut ini
adalah sifat nyeri dari HNP adalah:
1. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam beberapa minggu
sampai beberapa tahun). Nyeri menyebar sesuai dengan distribusi saraf
skiatik.
2. Sifat nyeri khan dari posisi berbaring ke duduk,nyeri mulai dari pantat
dan terus menjalar ke bagian belakang lalu kemudian ke tungkai
bawah.
3. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan
pinggang saat batuk atau mengedan, berdiri, atau duduk untuk jangka
waktu yang lama dan nyeri berkurang klien beristiraho berbaring.
4. Penderita sering mengeluh kesemutan (parostesia) atau baal bahkan
kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi persarafan yang
terlibat.
5. Nyeri bertambah bila daerah L5—S1 (garis antara dua krista iliaka)
ditekan.
Gambar 11.Gambaran herniasi pada nukleus pulposus4.5.2 Etiologi dan Predisposisi
Herniasi dari diskus intervertrebalis membentuk tonjolan dari anulus
fibrosus. Dalam keadaan normal anulus fibrosus melindungi dari letak nukleus
yang terkandung di dalamnya. Pada saat terjadi herniasi pada nukleus, terjadi
kompresi pada jaras syaraf yang berdekatan dengan tempat terjadinya herniasi
sehingga terjadi iritasi yang menyebabkan rasa nyeri yang bisa disebut skiatika,
apabila semakin parah dapat terjadi disfungsi sistem saraf.27
Faktor resiko terjadinya HNP terdiri dari faktor resiko yang dapat dirubah
dan yang tidak dapat dirubah yaitu faktor risiko yang tidak dapat dirubah adalah
umur, makin bertambah umur risiko makin tinggi, jenis kelamin padalaki-laki
lebih banyak dari wanita, riawayat cedera atau trauma pada punggung, kemudian
faktor risiko yang dapat dirubah antara lain pekerjaan dan aktivitas: duduk yang
terlalu lama, mengangkat atau menarik barang-barang berta, sering membungkuk
atau gerakan memutar pada punggung, latihan fisik yang berat, paparan pada
vibrasi yang konstan seperti supir, olahraga yang tidak teratur, mulai latihan
setelah lama tidak berlatih, latihan yang berat dalam jangka waktu yang lama,
merokok, nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan diskus
untuk menyerap nutrien yang diperlukan dari dalam darah, berat badan
berlebihan, terutama beban ekstra di daerah perut dapat menyebabkan strain pada
punggung bawah.
Gambar 12. Gambar proses terjadinya herniasi
2.5.3 Patofisiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP adalah aliran darah ke
discus berkurang, beban berat, ligamentum longitudinalis posterior menyempit.
jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nukleus
pulposus (gel) akan keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada di
canalis vertebralis menekan radiks. Bangunan peka nyeri mengandung reseptor
nosiseptif (nyeri) yang diberikan rangsang oleh berbagai stimulus lokal (mekanis,
termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai
mediator inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri
merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah pergerakan sehingga proses
penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri
inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator inflamasi; atau nyeri
neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada sistem saraf. Iritasi neuropatik pada
serabut saraf dapat menyebabkan 2 kemungkinan. Pertama, penekanan hanya
terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari nervi nevorum
yang menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan
bertambah dengan peregangan serabut saraf misalnya karena pergerakan.
Kemungkinan kedua, penekanan mengenai serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi
perubahan biomolekuler di mana terjadi akumulasi saluran ion Na dan ion
lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya rangsang mekanik panas yang
sangat peka terhadap rangsang mekanikal dan termal.27
2.5.4 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamesis didapatkan nyeri diskogenik yang akan bertambah berat
apabila duduk, membungkuk, batuk, bersin atau kegiatan yang dapat
meningkatkan tekanan dari intradiscal. Lalu diperhatikan kapan mulai timbulnya
keluhan, bagaimana mulai timbulnya keluhan, lokasi nyeri, sifat nyeri, kualitas
nyeri, apakah nyeri yang diderita diawali kegiatan fisik, faktor yang memperberat
atau memperingan, ada riwayat trauma sebelumnya dan apakah ada keluarga
penderita penyakit yang sama. Perlu juga ditanyakan keluhan yang mengarah pada
lesi saraf seperti adanya nyeri radikuler, riwayat gangguan miksi, lemah tungkai
dan adanya saddle anestesi(windsor, 2012).
b. Pemeriksaan Fisik
Posisi berdiri:
a. Perhatikan cara penderita berdiri dan sikap berdirinya.
b. Perhatikan bagian belakang tubuh: adakah deformitas, gibus, skoliosis,
lordosis lumbal (normal, mendatar, atau hiperlordosis), pelvis yang
miring tulang panggul kanan dan kiri tidak sama tinggi, atrofi otot.
c. Derajat gerakan (range of motion) dan spasmus otot.
d. Hipersensitif denervasi (piloereksi terhadap hawa dingin).
e. Palpasi untuk mencari trigger zone, nodus miofasial, nyeri pada sendi
sakroiliaka, dan lain-lain.
f. Perhatikan cara penderita berjalan/gaya jalannya.
Posisi duduk:
a. Perhatikan cara penderita duduk dan sikap duduknya.
b. Perhatikan bagian belakang tubuhnya.
Posisi berbaring :
a. Perhatikan cara penderita berbaring dan sikap berbaringnya.
b. Pengukuran panjang ekstremitas inferior.
c. Pemeriksaan abdomen, rektal, atau urogenital.
Pemeriksaan neurologik,
a. Pemeriksaan sensorik
b. Pemeriksaan motorik mencari apakah ada kelemahan, atrofi atau
fasikulasi otot
c. Pemeriksaan tendon
d. Pemeriksaan yang sering dilakukan
1. Tes untuk meregangkan saraf ischiadikus (tes laseque)
2. Tes untuk menaikkan tekanan intratekal (tes Nafzigger, tes Valsava)
3. Tes Patrick dan Tes Contra Patrick
4. Tes Distraksi dan Tes Kompresi
Gambar 13.Pemeriksaan patrik dan laseque
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab untuk mengetahui adanya infeksi.
2. Skrining rheumatologi.
3. Tes neuroendokrin
4. Elektromiografi (EMG)
5. Somato Sensoric Evoked Potential (SSEP)
6. Magnetic resonance imaging (MRI)
d. Pemeriksaan Gold standard
Untuk pemeriksaan terbaik adalah dengan menggunakan Magnetic
resonance imaging karena dengan pemeriksaan tersebut dapat mendiagnosis
terjadinya kompresi pada tulang belakang.
Gambar 14.Gambaran MRI HNP
2.5.5 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
OAINS dapat membantu mengurangi nyeri yang dirasakan
oleh pasien. OAINS yang dapat dipilih adalah bergantung pada dosis
yang akan digunakan dan harga yang akan diberikan. Apabila nyeri
dirasakan sangat menyiksa, dapat diberikan analgesic narkotik untuk
mengurangi rasa nyeri dengan cepat. Contoh obat anti inflamasi non
steroid yang dapat diberikan adalah:
1. Calecoxib
2. Ibuprofen
3. Naproxen
4. Ketoprofen
Selain diberikan terapi obat dapat juga dilakukan terapi
bedah. Terapi bedah yang dapat dilakukan apabila terjadi herniasi
diskus intravertebralis adalah microdiscectomy dan laminotomy
b. non-medikamentosa
Memberikan program rehabilitasi untuk 3 waktu yang
berbeda yaitu:
1. Fase akut dapat dilakukan terapi konservatif berupa pemberian
penanganan awal seperti pemberian analgetik, anti inflamasi,
dan terapi fisik.
2. Fase recovery fokus dari terapi pada fase ini adalah fungsi dari
biokimia dan deficit jaringan ikat . Dapat pula dimulai latihan
fisik ringan untuk memperkuat otot.
3. Fase maintenance fakus dari terapi pada fase adalah untuk
mencegah agar rasa nyeri kembali menyerang
2.5.6 Prognosis
Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi
konservatif. Sebagian kecil dapat berkembang menjadi kronik meskipun sudah
diterapi. Pada pasien yang dioperasi: 90 % membaik terutama nyeri tungkai,
kemungkinan terjadinya kekambuhan adalah 5%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
2. IASP. 2011. IASP Taxonomy. Diunduh dari http://www.iasp-pain.org/. [Diakses tanggal 22 Maret 2013].
3. Tamsuri, A. 2007. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
4. Smeltzer, S. C, Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Edisi 8. Jakarta: EGC
5. Agency for Health Care Policy and Research. 1992. Assessment & management of pain. Diunduh dari http://rnao.ca/. [Diakses tanggal 25 Juli 2015].
6. Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Vol 1. Jakarta: EGC.
7. Meliala, L. dan Pinzon, R. 2004. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah. Dalam Meliala, L. et al. Kumpulan Makalah Pain Symposium: Toward Mechanism Based Treatment, hal 109-116. Yogyakarta: Medikagama Press.
8. Maher, Salmond dan Pellino. 2002. Low Back Pain Syndrome. Philadelphia: FA Davis Company.
9. Roper, A.H. dan R.H. Brown. 2005. Adams dan Victor’s Priciples of Neurology. Edisi 8. The McGraw Hill Companies. Inc. USA. Halaman 168-170.
10. Ehrilch, G.E. 2003. Low Back Pain. Bulletin of the World Health Organization; 81. Halaman 671-676.
11. Bimariotejo. (2009). Low Back Pain (LBP). Diunduh dari www.backpainforum.com/ [Diakses tanggal 25 Juli 2015].
12. Idyan, Z. (2008). Hubungan Lama duduk Saat Perkuliahan dengan Keluhan Low. Back Pain. Diunduh dari http://inna-ppni.or.id/ [Diakses tanggal 25 Juli 2015].
13. Ullrich, P.F. 2007. Lower back Pain Treatment. Diunduh dari http://www.spine-health.com/. [Diakses tanggal 25 Juli 2015].
14. Aging Spine Center. 2003. A Patients’ Guide to Lumbar Spondylolisthesis. http://www.agingspinecenter.com/. [Diakses tanggal 25 Juli 2015].
15. Ruslan, H.M. dan Fauziah N.K. 2009. Terapi Fisik dan Rehabilitasi Medik Edisi Ketiga. Palembang: Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Unsri.
16. Jalalin. 2006. Penuntun Pemeriksaan Fisik dan Fungsional Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Palembang: Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Unsri.
17. Sjamsuhidajat R, Jong Wd., Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 835. 2005
18. Spondylolisthesis.org. 2011. Spondylolisthesis. Diunduh dari: http://www.spondylolisthesis.org/ [Diakses tanggal 26 Juli 2015].
19. Syaanin, Syaiful. Neurosurgery of Spondylolisthesis. Padang: RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
20. Nicrovic, Peter. A., Back pain in children and adolescents: Overview of causes. UpToDate Systematic review ver. 17.3. 2009.
21. Lee, Dennis,. Spondylolisthesis Symptoms. 2011. Diunduh dari: http://www.medicinenet.com/ [Diakses tanggal 26 Juli 2015].
22. Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/ [Diakses tanggal 26 Juli 2015].
23. Shiel Jr, William C.Spondylolisthesis. MedicineNet.com . Diunduh dari: http://www.medicinenet.com/ [Diakses tanggal 26 Juli 2015].
24. Japardi, I. Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Medan: Fakultas Kedokteran Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara. 2002.
25. Medical Disability Guidelines. 2009. Spondylolisthesis. Diunduh dari: http://www.mdguidelines.com/ [Diakses tanggal 26 Juli 2015].
26. Benjamin C. Herniated Disk.University of Maryland Medical Center. 2011. Available at http://www.umm.edu/imagepages/9700.htm
27. Sahrakar, Kamran. 2011. Lumbar Disc Disease. Medscape Reference. Available at http://emedicine.medscape.com/article/249113-overview#a0112
28. Foster Mark. 2012. Herniated Nucleus Pulposus. Medscape Reference. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1263961-overview#aw2aab6b3