tinjauan hukum islam terhadap cerai di luar...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR
PENGADILAN AGAMA DAN IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT
DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
FIFIN NIYA PUSYAKHOIS 052111024
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juli 2010
Deklarator
FIFIN NIYA PUSYAKHOIS NIM. 052111024
MOTTO
بمعروف أو سرحوهن بمعروف وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهنومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه وال تتخذوا آيات الله هزوا واذآروا نعمت الله عليكم وما أنزل عليكم من
اب والحكمة يعظكم به واتقوا الله واعلموا أن الله بكل شيء عليم الكت
“Apabila kamu mentalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah : 231).”
ABSTRAK
Penelitian yang berbentuk skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Praktek tersebut tentu berbeda dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Rumusan masalah dalam penelitian ini terdiri dari tiga permasalahan yakni: 1. Faktor apa saja yang menjadi penyebab perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap implikasi perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama adalah faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya serta murahnya biaya. Pelaksanaan cerai di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dalam konteks hukum Islam memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam asal (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal di luar Pengadilan Agama tidak ada pertentangan dengan hukum tersebut sehingga tetap dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum Islam yang ada di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Status tidak sah tersebut sekaligus juga berimbas pada perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan baru dan anak hasil dari perkawinan yang baru pasca perceraian) ikut menjadi tidak sah menurut KHI. Implikasi yang diakibatkan dari adanya perceraian di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban dapat menimbulkan madlarat, baik bagi masyarakat maupun negara. Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidaksesuaian dengan kaidah hukum Islam tentang penerapan hukum Islam yang menyebutkan bahwa penerapan hukum harus dapat membuang madlarat (الضرر يزال).
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam
selalu tercurah kehadirat Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia pada perubahan
dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang beradab dan penuh dengan perubahan.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini, tidak akan berhasil tanpa dukungan,
bimbingan dan bantuan dari semua pihak yang berada disekeliling penulis, sehingga skripsi ini
dapat diterima sebagai prasyarat dalam menempuh pembelajaran di Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, untuk itu ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis tunjukkan kepada
:
1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. H. Muhyidin, M.Ag beserta
seluruh sifitas akademik yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan
segala fasilitas di Fakultas Syari’ah.
2. Bapak Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag, dan Ibu Dra. Hj. Nur Huda, M.Ag selaku dosen
pembimbing I dan pembimbing II yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian
serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi.
3. Para dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi bimbingan
dan arahan dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.
4. Para pegawai perpustakaan Fakultas Syari’ah dan perpustakaan IAIN Walisongo
Semarang yang telah meminjamkan buku-bukunya sebagai bahan rujukan bagi penulis.
5. Bapak Sugito selaku Kepala Desa, bapak Chasbullah dan para karyawan yang telah
mengizinkan, membantu serta menganhantarkan penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Masyarakat Desa Penaruban Weleri selaku responden yang telah meluangkan waktunya
untuk membantu penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan Ibuku tercinta Syafi’i Ismail dan Sri Pujiyati, yang telah banyak memberikan
semangat, saran, curahan kasih sayang, serta tetes air mata sehingga ananda dapat
menyelesaikan studi ini.
8. Adik-adik M. Yasien Misbah, Lusiana Ning Saputri dan Siti Zaskia Nur Khasanah terima
kasih untuk motivasi dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
ini.
9. Sahabat-sahabatku Isna, Daim, Rifa, Leha, Ajeng, Njun, Saipul, Reza dan Ichwan yang
menjadi bagian dalam proses pembelajaran penulis di kampus IAIN. Terima kasih buat
persahaban kalian yang indah ini.
10. Adik-adik C10 (Risda, Nila, Mahbub dan Ina) terima kasih untuk waktu, motivasi dan
doanya.
11. Teman-teman angkatan 2005 khususnya AS A 2005 dan semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada mereka semua, tiada yang dapat penulis perbuat untuk membalas kebaikan
mereka, kecuali ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya serta doa penulis, semoga amal
kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan balasan kebaikan yang berlipat ganda. Amin
ya Rabbal Alamin........
Akhir kata penulis berdo’a semoga karya yang sederhana ini di dalamnya terkandung
nilai manfaat serta membawa banyak arti, khususnya bagi penulis secara pribadi dan bagi para
pembaca yang budiman pada umumnya. Hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Semarang, 12 Juli 2010
Penulis
Fifin Niya Pusyakhois
NIM. 052111024
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………… iii
HALAMAN DEKLARASI………………………………………… iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………… v
HALAMAN ABSTRAK…………………………………………… vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR……………………………….. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………….. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………... 6
C. Tujuan Penelitian…………………………………… 7
D. Telaah Pustaka……………………………………… 7
E. Metodologi Penelitian………………………………. 12
F. Sistematika Penulisan………………………………. 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian………………………………. 19
B. Dasar Hukum Perceraian…………………………… 21
C. Akibat-akibat Perceraian……………………………. 25
D. Tata Cara Perceraian………………………………... 28
BAB III DESKRIPSI PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA
PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN
WELERI KABUPATEN KENDAL
A. Profil Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal……………………………………………..... 44
B. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal…………………... 49
xi
C. Pendapat Tokoh Masyarakat Terhadap Praktek Cerai di Luar
Pengadilan Agama Pada Masyarakat di Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal…………………... 62
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR
PENGADILAN AGAMA DI DESA PENARUBAN
KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Cerai di Luar Pengadilan
Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal………………………………………………. 65
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Implikasi Praktek Cerai di Luar
Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal……………………………………….. 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………… 83
B. Saran………………………………………………….. 85
C. Penutup……………………………………………….. 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu aktifitas manusia telah menjadi
takdir Allah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah firman Allah
dalam surat ar-rum ayat 21 sebagai berikut:
مودة بينكم وجعل اليها لتسكنوا ازواجا انفسكم من لكم خلق ان اياته ومن يتفكرون لقوم أليت ذلك فى ان ورحمة
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Qs. Ar-Rum: 21).1
Berdasarkan firman di atas, maka secara tidak langsung perkawinan
memiliki dua fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi ibadah, yakni sebagai
perwujudan dari ajaran Islam tentang jalinan hubungan yang sah antara laki-
laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk menjalin hubungan keluarga
layaknya suami-isteri. Disebut sebagai fungsi ibadah karena merupakan wujud
pelaksanaan syari’at dan takdir Allah sebagaimana terkandung dalam firman
di atas.
Sedangkan fungsi kedua adalah fungsi sosial yang berkaitan dengan
kehidupan manusia, yakni sebagai sarana untuk menyalurkan seksualitas dan
menyalurkan hawa nafsu, mengembangkan prinsip tolong menolong, serta
mengembangkan keturunan secara sah dan benar. Perkawinan merupakan
1Departemen Agama RI, .Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Penerbit J-
ART, hlm. 406.
2
salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk melaksanakannya,
karena perkawinan dapat mengurangi maksiat penglihatan memelihara diri
dari perbuatan zina. Oleh karena itu bagi yang berkeinginan untuk menikah,
sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap dianjurkan
berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi perbuatan tercela
yang sangat keji yaitu perzinaan. 2Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Pasal 1 menegaskan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.3
Sebagai aktifitas yang memiliki nilai ibadah, maka dalam proses
perkawinan - menurut hukum Islam - diterapkan beberapa aturan untuk
mencapai keabsahan secara agama. Tata aturan tersebut di antaranya berkaitan
dengan syarat dan rukun perkawinan hingga proses perkawinan itu sendiri.
Selain diatur dalam konteks agama, di Indonesia perkawinan juga diatur dalam
sebuah undang-undang khusus yang hanya membahas mengenai perkawinan,
yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).4
2 AhmaRofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1995, hlm. 3 Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000, hlm. 96. Sedangkan dalam KHI dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Lihat dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kompilasi Hukum Islam, Tim Redaksi Fokus Media (ed), Bandung: Fokus Media, 2005, hlm. 7.
4 UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku untuk masyarakat umum. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam adalah tata aturan hukum
3
Sebuah perkawinan, menurut kedua tata aturan di atas, akan dianggap
sah manakala dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pemerintah yang
membidangi perkawinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat
(1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.5
Meskipun bersifat ibadah, tidak semua manusia dapat
mempertahankan mahligai perkawinan mereka. Apabila pasangan suami-isteri
telah merasa tidak mungkin lagi mempertahankan perkawinannya, maka Islam
pun membolehkan mereka untuk melakukan perceraian. Namun kebolehan
tersebut merupakan sebuah perbuatan halal yang dibenci atau dimurkai oleh
Allah. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam salah satu hadits berikut ini:
اهللا الى الحالل ابغض :قال وسلم عليه اهللا صلى النبي عن :عمر ابن عن الطالق
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi bersabda: Perkara halal yang paling dibenci Allah Azza Wajalla ialah talak”. 6
Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi
lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan
suami isteri. Hal ini seperti tersirat dalam tata aturan Islam mengenai proses
perceraian. Pada saat pasangan akan melakukan perceraian atau dalam proses
pertikaian pasangan suami-isteri, Islam mengajarkan agar dikirim hakam yang
yang dibuat oleh pemerintah, melalui lembaga keagamaan (Kemendepag dan MUI) yang ditujukan untuk mengatur masalah perkawinan bagi umat Islam dalam konteks ajaran agama Islam.
5 Departemen Agama RI, ”Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”, op. cit., hlm. 97. 6 Muh. Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abi Dawud juz I, Indonesia: Maktabah Dahlan,
t.th., hlm. 255.
4
bertugas untuk mendamaikan keduanya. Dengan demikian, Islam lebih
menganjurkan untuk melakukan perbaikan hubungan suami-isteri daripada
memisahkan keduanya. Perihal anjuran penunjukan hakam untuk
mendamaikan perselisihan antara suami-isteri dijelaskan oleh Allah dalam
firman-Nya surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:
يريدا إن أهلها من وحكما أهله من حكما فابعثوا بينهما شقاق خفتم وإن خبيرا عليما آان الله إن بينهما الله يوفق إصالحا
Artinya :" Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35)” 7
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, prosedur perceraian juga
diatur dalam proses yang terdaftar. Selain proses pendamaian, sebagaimana
didasarkan pada hukum Islam, untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami-istri.8
Setelah adanya alasan-alasan yang sesuai, tidak berarti perceraian
langsung dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Langkah berikutnya
adalah pelaksanaan proses perceraian di depan Pengadilan Agama. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun
2006 yaitu : "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
7 Depertemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123 8 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 39 ayat (2)
5
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak."9
Dengan demikian, perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan
Agama merupakan perceraian yang ilegal menurut hukum perundang-
undangan. Maksud dari perceraian di luar Pengadilan Agama adalah
perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri tanpa melibatkan
Pengadilan Agama namun dilakukan secara langsung dan bersifat lisan antara
suami dan isteri.
Meskipun telah diatur dalam hukum perundang-undangan, cerai di luar
Pengadilan Agama masih juga dilakukan oleh beberapa masyarakat. Hal ini
seperti yang terjadi di lingkungan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal. Pada dasarnya, masyarakat Desa Penaruban rata-
rata menganggap bahwa perceraian cukup dilakukan secara lisan dan dianggap
sah serta dengan dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Setelah adanya perceraian secara lisan, para pasangan suami-isteri juga
melakukan pembagian harta gono gini, mengurusi hadanah anak, dan bahkan
tidak jarang dari pasangan yang telah bercerai tersebut kemudian melakukan
perkawinan berikutnya dengan orang lain tanpa melalui KUA. Hal tersebut
tidak lain karena keyakinan masyarakat bahwa perceraian yang mereka
lakukan adalah benar secara agama. Menurut mereka, keabsahan secara agama
9 Mengenai ketentuan tentang perceraian yang harus dilakukan di depan Pengadilan
Agama dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama; Selain dalam UU tersebut, terkait dengan ketentuan perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan Agama juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (1) serta dalam KHI Pasal 115. Selain dijelaskan dalam UU, mengenai masalah prosedur perceraian dalam hukum Islam juga dapat dilihat dalam A. Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995; Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
6
lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu masyarakat Desa Penaruban
berani menikah lagi meskipun perceraian yang mereka lakukan tidak sah
menurut hukum negara.10
Peristiwa yang terjadi pada masyarakat Desa Penaruban merupakan
salah satu masalah hukum yang unik antara hukum agama dan hukum positif
negara. Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan sebuah
penelusuran secara ilmiah terkait dengan fenomena yang terjadi tersebut.
Penelusuran ilmiah tersebut akan penulis laksanakan dalam wujud penelitian
sebagai syarat akademik dengan judul penelitian ”Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Cerai Di Luar Pengadilan Agama Dan Implikasinya Pada
Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa permasalahan
dalam benak penulis untuk membahas masalah tersebut. Adapun rumusan
masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Faktor apa yang mendorong masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal dalam melakukan cerai di luar Pengadilan
Agama?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan
Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal?
10Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Chasbullah, selaku modin di Desa Penaruban.
Wawancara pra penelitian dengan Chasbullah, modin Desa Penaruban, tanggal 8 April 2010.
7
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap implikasi cerai di luar
Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa
tujuan pokok, yaitu:
1. Mengetahui faktor yang mendorong masyarakat Desa Penaruban dalam
melakukan cerai di luar Pengadilan Agama
2. Mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan
Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal?
3. Mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap implikasi cerai di luar
Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal?
D. Telaah Pustaka
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang mengambil lokasi di
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Untuk menunjang
dalam mengkaji dan menganalisa tentang perceraian di luar pengadilan, agar
sesuai dengan sasaran dan maksud yang diinginkan, maka penulis menelaah
beberapa buku-buku, skripsi yang hampir sama pembahasannya, serta
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan perceraian. Maka berikut ini
8
akan penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan
penelitian yang akan penulis laksanakan, yakni:
Hasil penelitian mahasiswa Syari’ah atas nama Muslihuddin
(2101122) yang lulus uji penelitian pada tahun 2007. Penelitian tersebut
berjudul Dampak Perceraian di Bawah Tangan (Studi Kasus di Desa Tegal
Mulya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu Jawa Barat). Penelitian
yang memusatkan kajian masalah pada alasan dan status hukum perceraian di
bawah tangan ini menyimpulkan bahwasanya alasan terjadinya perceraian di
bawah tangan adalah adanya kecepatan, keringan biaya, serta sebagai
perceraian alternatif. Sedangkan status hukumnya adalah sah menurut hukum
normatif dan tidak sah menurut hukum negara.11 Meskipun memiliki
kesamaan obyek penelitian, menurut penulis, perbedaan karakter dan alasan
akan menjadikan penelitian yang akan penulis laksanakan berbeda dengan
penelitian yang telah dilaksanakan. Dalam penelitian yang akan penulis
laksanakan, alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden tidak seperti
yang diungkapkan dalam penelitian yang telah dilaksanakan. Pada dasarnya
alasan yang digunakan masyarakat Desa Penaruban adalah adanya legalitas
hukum agama di atas hukum negara serta adanya faktor salah satu pihak pergi
meninggalkan pihak lain tanpa diketahui keberadaannya dalam waktu yang
lama. Dengan demikian penelitian yang akan penulis laksanakan, menurut
penulis akan berbeda dengan penelitian yang telah ada.
11 Muslihuddin, Dampak Perceraian di Bawah Tangan (Studi Kasus di Desa Tegal
Mulya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu Jawa Barat): Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007.
9
Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Lina Masruroh (2102187),
mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang lulus pada
tahun 2007 dengan judul Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Kendal
No. 1042/ Pdt.G/ 2004/ PA. Kendal Tentang Cerai Gugat Menjadi
Pembatalan Perkawinan. Penelitian yang memusatkan pada kajian sebab PA
Kendal merubah cerai gugat menjadi pembatalan perkawinan tersebut
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: menurut Hakim Pengadilan Agama
Kendal, perkara tentang cerai gugat menjadi pembatalan perkawinan karena
pernikahannya tidak sah, dan dalam memutuskan pembatalan perkawinan
menggunakan Undang- Undang, KHI, dan Kaidah Fiqih sebagai dasar
hukum. Penelitian ini sekilas ada kemiripan dengan penelitian yang akan
penulis laksanakan terkait dengan implikasi dari cerai di luar Pengadilan
Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal.12 Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar
bahwasanya penelitian yang telah dilakukan tersebut terpusat pada penyebab
batalnya perkawinan karena perkawinan yang tidak sah sedangkan dalam
penelitian yang akan penulis laksanakan berhubungan dengan salah satu sebab
yang dapat menjadikan perkawinan seseorang menjadi tidak sah. Dengan
demikian, tidak ada kesamaan mendasar maupun menyeluruh antara penelitian
yang akan penulis laksanakan dengan penelitian yang terdahulu.
Selain kedua penelitian di atas, ada beberapa penelitian yang
memusatkan kajian pada proses perceraian. Namun lingkup dari penelitian
12 Lina Masruroh Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Kendal No. 1042/ Pdt.G/
2004/ PA. Kendal Tentang Cerai Gugat Menjadi Pembatalan Perkawinan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang ,2007.
10
tersebut hanya mencakup salah satu jenis perceraian atau proses perceraian di
Pengadilan Agama. Sepanjang penelusuran penulis, hanya dua hasil penelitian
di atas yang hampir memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan penulis
laksanakan. Dengan demikian, penulis merasa yakin - berdasarkan penjelasan
yang telah penulis paparkan di atas - bahwasanya penelitian yang akan penulis
laksanakan jauh dari pendapat orang lain.
Selain penelitian di atas, memang ada beberapa penelitian yang
memusatkan kajian pada proses perceraian. Namun lingkup dari penelitian
tersebut hanya mencakup salah satu jenis perceraian atau proses perceraian di
Pengadilan Agama. Di samping hasil penelitian lapangan, telaah pustaka ini
juga meliputi hasil karya ilmiah berupa buku yang di antaranya adalah sebagai
berikut:
Buku karya A. Rofiq yang berjudul Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Dalam buku ini salah satu penjelasannya adalah mengenai prosedur
perkawinan dan perceraian menurut hukum perundang-undangan di Indonesia.
A. Rofiq menjelaskan bahwasanya perkawinan dan perceraian yang sah adalah
yang dilakukan berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan akan dianggap sah jika dilakukan di depan Pegawai Pencatatan
Nikah (PPN) di KUA. Sedangkan perceraian akan dianggap sah dan berlaku
akibat hukum adalah perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama.13
Hal yang sama juga dinyatakan dalam kajian pustaka berikut ini yang
merupakan hasil karya dari Idris Ramulyo yang berjudul Asas-Asas Hukum
13 A. Rofiq, op.cit.
11
Islam. Namun dalam bukunya, Idris Ramulyo juga menjelaskan tentang dasar
hukum perkawinan dalam Islam yang juga menyangkut hukum asal tentang
perceraian. Idris Ramulyo menjelaskan bahwasanya pada dasarnya
perkawinan sah menurut Islam adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat
dan rukunnya.14 Sedangkan pada perceraian, menurut hukum dasar Islam,
proses tersebut dapat dilakukan oleh pihak keluarga yang telah ditunjuk
menjadi hakam yang bertugas mendamaikan dan apabila tidak dapat
didamaikan maka hakam boleh dan dapat menceraikan pasangan suami isteri
tersebut.
Dari dua kajian buku tersebut, maka dapat diketahui bahwasanya ada
kesamaan antara penelitian yang akan penulis laksanakan dengan dua kajian
ilmiah. Kesamaan tersebut adalah sama-sama melakukan pembahasan
mengenai prosedur perceraian. Meski demikian, ada perbedaan mendasar
antara dua kajian buku di atas dengan penelitian yang akan penulis
laksanakan. Perbedaan tersebut adalah bahwasanya penelitian yang akan
penulis laksanakan lebih cenderung pada praktek pelaksanaan perceraian di
kalangan umat Islam, khususnya di Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal sedangkan kajian dua buku masalah dalam konteks teori
pelaksanaan perceraian.
Berdasarkan penjelasan di atas, sepengetahuan penulis belum ada
penelitian yang memiliki kesamaan secara menyeluruh dengan penelitian
yang akan penulis laksanakan. Maka dalam skripsi ini, secaara garis besar
14 M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
12
penulis akan memfokuskan pada pembahasan perceraian di luar Pengadilan
Agama dan relevensinya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh
kembali pemecahan terhadap segala permasalahan dalam suatu penelitian.15
Sedangkan menurut Winarko Surahmad, metode merupakan cara utama yang
dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk mengkaji
serangkaian hipotesa dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu.
Cara utama ini digunakan setelah penyelidikan dalam memperhitungkan
kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta dari situasi penyelidikan,
karena pengertian dari metode penyelidikan adalah pengertian yang luas,
yang biasanya perlu dijelaskan lebih eksplisit di dalam setiap penyelidikan.16
Supaya dapat memperoleh hasil yang valid dan dapat dipertanggung
jawabkan maka penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field
research), yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek di lapangan
untuk mendapatkan data dan gambaran yang jelas dan konkrit
tentang hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti.
15 Joko Subagya, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, Cet. Ke-I, 1991, hlm. 2. 16 Winarko Surakhmad, Pengantar Penelitian Dasar Metode Teknik, Bandung: Transito,
edisi VIII, 1989, hlm. 131.
13
Obyek penelitian ini adalah masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang melaksanakan cerai di
luar Pengadilan Agama.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
tujuan penelitian ini, didapat pencandraan secara sistematis, factual
dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu.17
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan dua bentuk sumber data sebagai pusat informasi
pendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian. Sumber data
tersebut adalah:
a. Sumber Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian
dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang
dicari.18
Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara
dan observasi tentang pelaksanaan cerai di luar Pengadilan
Agama pada masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
17 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992, hlm
18 18 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I, 1998, hlm.
91.
14
Kabupaten Kendal. Hasil dari data primer ini akan dipaparkan
pada Bab III.
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang diambil dari sumber kedua yang berupa
buku panduan tentang obyek perceraian yang menjadi penelitian
penulis, dan buku-buku atau artikel-artikel yang berkaitan
dengan pembahasan penelitian tentang pelaksanaan cerai di luar
Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
3. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini, maka pengumpulan data dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Wawancara ( Interview )
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan
data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau
hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan
sumber data (responden).19 Narasumber yang akan di wawancarai
adalah responden (Pelaku), Modin Desa, Kepala Desa, dan tokoh
masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal.
b. Dokumentasi
19 Rianto Adi, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 72.
15
Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data
berupa sumber data tertulis (yang berbentuk tulisan). Sumber data
tertulis dapat dibedakan menjadi: dokumen resmi, buku, arsip,
ataupun dokumen pribadi dan juga foto.20 Dokumen-dokumen
yang akan dikumpulkan meliputi buku-buku yang berkaitan
dengan teori serta dokumen lapangan yang berkaitan dengan
proses cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
4. Metode Analisis
Proses analisa data merupakan suatu proses penelaahan data
secara mendalam. Menurut Lexy J. Moleong proses analisa dapat
dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan
pengumpulan data meskipun pada umumnya dilakukan setelah
data terkumpul.21 Guna memperoleh gambaran yang jelas dalam
memberikan, menyajikan, dan menyimpulkan data, maka dalam
penelitian ini digunakan metode analisa deskriptif kualitatif, yakni
suatu analisa penelitian yang dimaksudkan untuk
mendeskripsikan suatu situasi tertentu yang bersifat faktual secara
sistematis dan akurat.22
Penggunaan metode menggambarkan pada adanya usaha
untuk menganalisa seluruh data (sesuai dengan pedoman rumusan
20 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
71. 21 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002, hlm. 103. 22 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002,
hlm. 41.
16
masalah) sebagai satu kesatuan dan tidak dianalisa secara
terpisah. Sedangkan pendekatan analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan hukum (law approach).
Penggunaan pendekatan ini tidak lain dikarenakan sebuah proses
pengambilan dan penetapan hukum tidak akan dapat dilepaskan
dari aspek-aspek kehidupan pada saat proses tersebut
berlangsung.
Melalui pendekatan hukum ini, data yang telah diperoleh
akan dikaji dalam konteks hukum, khususnya yang berkaitan
dengan karakteristik hukum Islam, dan fungsi hukum bagi
masyarakat khususnya terkait dengan cerai di luar Pengadilan
Agama.
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan hasil penelitian yang akan penulis laksanakan terdiri atas
dua bagian dengan penjelasan sebagai berikut:
Bagian awal yang isinya meliputi cover, lembar pengesahan, nota
pembimbing, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, dan daftar isi.
Bagian isi yang terdiri atas lima bab dengan penjelasan isi sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Isinya meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
17
Menjelaskan tentang Pengertian Cerai, Dasar Hukum Perceraian,
Akibat-akibat dari Perceraian, dan Prosedur Perceraian.
BABIII: DESKRIPSI CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA
MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI
KABUPATEN KENDAL.
Isi dari bab ini meliputi Profil Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal, Praktek Cerai Di Luar Pengadilan Agama
Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal,
Pendapat Tokoh Masyarakat terhadap Cerai Di Luar Pengadilan
Agama Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal.
BAB IV: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR
PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN
KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang analisis terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Penaruban dalam
melaksanakan cerai di luar Pengadilan Agama, Tinjauan hukum islam
terhadap cerai di luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, dan Tinjauan
hukum islam terhadap implikasi cerai di luar Pengadilan Agama di
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi yang isinya
meliputi kesimpulan, Saran, dan Penutup.
18
19
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian dalam bahasa arab adalah الطال ق yang berasal dari kata
yang bermakna cerai nikah, bercerai.1 Sedangkan pengertian طاق- يطاق –طال قا
talak menurut istilah dapat diketahui dari beberapa pengertian di bawah ini:
مخصوص فى اال صطال ح بأنه ازالة النكا ح اونقصا ن حله بلفظ
Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. 2
الشرع حل رابطة الزوج وانهاء العال قة الزوجيةوفى
Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali perkawinan dan
mengakhiri tali pernikahan suami isteri. 3
ى ور ا هل ظ ج و لف ا ح وه د انك ل قي م لح شرع اس وفى ال ره وه ر ي شرع بتق د ال واألصل فيه الكتا ب واسنة وا جم ع ا هل الملل مع اهل السنة
Artinya: Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali
ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang
setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata
melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah
berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama
dan ahlus sunnah.4
1 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Penafsiran Al-Qur'an, Jakarta, 1973, hlm. 239 2Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar
al-Fikr, 1972, hlm. 216. 3 Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, hlm. 278
4Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84
20
Abdul Djamali dalam bukunya, Hukum Islam, mengatakan bahwa
perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam hubungan
keluarga.5
Dari definisi yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud talaq adalah melepas adanya tali perkawinan
antara suami isteri dengan mengunakan kata khusus yaitu kata talak atau
semacamnya sehingga isteri tidak halal baginya setelah ditalak.
Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu
dapat terjadi dalam dua keadaan:
1. Kematian salah satu pihak
2. Putus akibat perceraian.6
Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan isteri masih
hidup (perceraian) dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas
kehendak isteri dan terjadi di luar kehendak suami isteri. Menurut hukum
Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami
dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang
disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li'an, serta dapat
terjadi melalui apa yang disebut zihar.7
Berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak isteri
dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa
yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa'
5 Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997, hlm. 95. 6 Ibid., hlm. 94 7Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73.
21
(pengaduan). Berakhirnya perkawinan di luar kehendak suami dapat terjadi
atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab
kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau
isteri.8
Sejalan dengan keterangan di atas, Fuad Said mengemukakan bahwa
perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu, fasakh, li'an dan ila' .9
Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus Islam memberikan hak talak
kepada suami untuk menceraikan isterinya dan hak khulu kepada isteri
untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk kedua suami-isteri.
Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan menyebabkan
perceraian antara suami-isteri, ialah talak, khulu, fasakh.10
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113, disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Putusan Pengadilan11
B. Dasar Hukum Perceraian
Permasalahan perceraian atau thalaq dalam hukum Islam dibolehkan
dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist. Hal
ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini:
8Ibid., hlm. 73. 9Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 10Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung,
1990, hlm. 110. 11 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005, hlm. 56.
22
Dalam surat Al- Baqarah ayat 231 disebutkan bahwa:
سكوهن بمعروف أو سرحوهن وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمبمعروف وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه وال تتخذوا آيات الله هزوا واذآروا نعمت الله عليكم وما أنزل عليكم
الكتاب والحكمة يعظكم به واتقوا الله واعلموا أن الله بكل شيء من عليم
Artinya : "Apabila kamu mentalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah : 231). 12
Hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan
yang halal yang paling dibenci oleh Allah.13
ابغض : عن ابن عمر ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال )رواه ابو داود والحاآم وصححه(حالل إلى اهللا عز وجل الطالق ال
Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”.14
Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan agar
kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahkan
diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling
12 Ibid, hlm. 56 13 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
hlm. 268. 14 Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut : Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1996, hlm.
120.
23
mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena
menginginkan kehidupan yang menurut anggapannya lebih baik, dia berdosa
dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan
pada hakekatnya merupakan salah satu anugerah Ilahi yang patut disyukuri.
Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut (kufur
nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang agama dan tidak halal dilakukan
kecuali dengan sangat terpaksa (darurat).
Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat”
yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat
lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai
alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya perceraian,
ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan
perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
Perceraian dalam hukum negara diatur dalam:
a. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab VIII
tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya mulai dari Pasal 38 sampai
Pasal 41.
b. PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
yang diatur dalam Bab V tentang Tata Cara Perceraian yang tertulis dari
Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
c. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang tata
cara pemeriksaan sengketa perkawinan. Penjelasan tersebut diatur dalam
24
Bab Berita Acara bagian kedua tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
yang diatur dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 91.
d. Inpres No. I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang diatur
dalam Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan serta Bab XVII tentang
Akibat Putusnya Perkawinan. Pada bab XVI ketentuan mengenai
perceraian dijelaskan dalam dua bagian. Bagian kesatu merupakan
ketentuan umum tentang perceraian sedangkan bagian kedau berkaitan
dengan tata cara perceraian. Dalam bab ini kedua bagian tersebut
dijelaskan dari Pasal 114 sampai dengan Pasal 148. Sedangkan pada Bab
XVII dijelaskan dari Pasal 149 sampai dengan Pasal 162.
Berdasarkan beberapa sumber hukum, maka hukum talak itu dibagi
menjadi 4, yaitu:
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan talak
digunakan sebagai tujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
antara suami isteri jika masing-masing pihak melihat bahwa talak adalah
jalan satu-satunya untuk mengakhiri perselisihan. Selain terjadi syiqoq
kasus ila dimana suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya juga
dapat mewajibkan terjadinya perceraian.
2. Sunat
Thalaq disunatkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama atau meninggalkan kewajiban-
kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, istri tidak ‘afifah
25
(menjaga diri, berlaku terhormat). Hal ini dikarenakan istri yang
demikian itu akan menurunkan martabat agama, mengganggu tempat
tidur suami dan tidak terjamin keamanan anak yang dilahirkan.
3. Haram
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa thalaq diharamkan jika tidak
ada keperluan untuk itu, karena talak yang demikian menimbulkan
madharat, baik bagi suami maupun istri, serta melenyapkan kemaslahatan
kedua suami istri itu tanpa alasan.
4. Makruh.
Berdasarkan Hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan
yang halal yang paling dibenci Allah SWT yakni dibenci jika tidak ada
sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi tidak mengharamkannya juga
karena talak dapat menghilangkan kemaslahatan yang terkandung dalam
perkawinan. 15
C. Akibat-akibat Perceraian
Suatu perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian suami istri
yang masih hidup, maka akibat hukumnya sebagai berikut:
1. Mengenai Hubungan Suami Istri
Mengenai hubungan suami istri sudah jelas bahwa akibat dari
perceraian adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka
boleh kawin kembali sepanjang ketentuan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayanya itu. Dalam perceraian perkawinan itu
membolehkan rujuk menurut ketentuan-ketentuan hukum agama Islam
15 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munkahat, Jakarta: Kencana, 2006,hlm.214-217
26
usaha rujuk suami kepada istrinya dapat dilakukan. Akan tetapi menurut
Pasal 41 ayat (3), undang-undang No. 1 tahun 1974, Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan
atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istreri.
2. Mengenai Anak.
Menurut Pasal 41 ayat (1) dan (2), baik ibu atau bapak
berkawijiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisian mengenai
penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusan. Dan bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak
dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu dapat ikut memikul biaya tersebut. Disamping itu Pengadilan
dapat pula memberikan keputusan tentang siapa diantara mereka yang
menguasai anak yang memelihara dan mendidiknya, apabila ada
perselisihan diantara kedunya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu
didasarkan kepentingan anak. 16
3. Mengenai Harta Benda
Menurut Pasal 35, Undang-Undang No.1 tahun 1974 harta benda
dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda
yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang
disebut harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang
16 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
27
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.17
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 87 ayat
(2) bahwa mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta
diperoleh masing-masing sebagai hibah, hadiah, sodaqoh, suami istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta benda.
Selanjutnya dalam Pasal 88 dijelaskan bahwa apabila terjadi
perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.18
Menurut penjelasan Pasal 35, apabila perkawinan putus, maka
harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini
tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan
putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena
perceraian. Akan tetapi Pasal 37, mengaitkan putusnya perkawinan itu
karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Maksud dari menurut hukumnya masing-masing, penjelasan
Pasal 37 ini adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
17 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia
,1990, hlm. 144-145 18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo,
1995, hlm. 134.
28
Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan
pasal 35 adalah sama dengan Pasal 37.
Jelasnya, baik perkawinan putus karena perceraian maupun
perkawinan putus karena kematian salah satu pihak, harta bersama itu
diatur menurut hukumnya masing-masing, yakni hukum agama, hukum
adat, dan hukum lainnya.19
D. Tata Cara Perceraian
Mengenai tata cara perceraian dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41
Undang - Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan diatur dalam Pasal 14
sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 serta
ditegaskan dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 82 Undang - Undang Nomor 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dalam hal tersebut dapat disimpulkan
adanya dua macam perceraian yaitu :
1. Cerai Gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh isteri Kepada Pengadilan dan dengan suatu
putusan Pengadilan, Undang - Undang Perkawinan Pasal 40 mengatakan. :
a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat Pasal ini diatur
dalam Peraturan Perundangan tersendiri.
Peraturan pelaksanaan dalam penjelasan Pasal 20 menegaskan
sebagai berikut:
19 M . Djamil Latif loc, cit.
29
“Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami
atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaan itu selain agama Islam”
Sedang dalam Pasal 73 Undang – Undang Nomor 3 tahun 2006
yaitu :
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman Penggugat,
kecuali Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa ijin Tergugat.
2. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman diluar negeri gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya tempat
kediaman Tergugat.
Ketentuan dalam Pasal 73 UU Nomor 3 tahun2006 merupakan
kebalikan Pasal 118 HIR.142 Rbg, hal ini bertujuan untuk memberikan
kemudahan bagi pihak isteri untuk menuntut perceraian dari suami ditinjau
dari segi waktu, dana dan perjalanan terutama dalam hal suami pergi
meninggalkan tempat kediaman bersama.20 Demikian juga dalam
penjelasan Pasal 73 UU No.3 tahun 2006 menyebutkan:
(1) Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66
ayat (2) maka untuk melindungi pihak isteri, gugatan perceraian
20 Hensyah Syahlani, Penemuan dan Pemecahan masalah Hukum dalam Pengadilan
Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1993, hlm. 60
30
diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Penggugat.
Dengan memperhatikan Pasal-Pasal tersebut diatas, maka dalam
cerai gugat dalam prosesnya telah jelas, justru dengan lahirnya UU No.3
tahun 2006 kedudukan isteri dalam mengajukan gugatan mendapatkan
perlindungan hukum yang lebih ringan dimana isteri dapat mengajukan
gugatan cerai di tempat daerah hukumnya.
Selain alasan perceraian tersebut diatas menurut Pasal 116 huruf
(g) dan (h) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perceraian dapat pula
beralasan karena suami melanggar taklik talak dan peralihan agama
murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan
demikian perceraian dianggap sah harus dilakukan sesuai aturan hukum
yang berlaku. Maksud dari aturan hukum yang berlaku kaitannya dengan
perceraian adalah keberadaan UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini karena pada
dasarnya ketentuan KHI juga masih menginduk pada ketentuan UU No. 1
Tahun 1974 dengan indikator disebutkan dalam Pasal 4 mengenai
perkawinan yang sah di mana disebutkan bahwasanya perkawinan yang
sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 2
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.21
21 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta : Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam 1999/2000, 1999, hlm. 136.
31
2. Cerai Talak
Cerai talak hanya khusus untuk yang beragama Islam, seperti yang
dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 sebagai
berikut:
“ Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan - alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Sedang Hilman Hadikusuma menyebutkan seorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar thalaq.22 Dan menurut Hensyah Syahlani menyebutkan
bahwa apabila seorang suami hendak menceraikan istri, jalur yang harus
ditempuh dengan cara mengajukan gugat permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama.23
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa yang diajukan oleh
suami merupakan Surat Permohonan yang isinya memberitahukan bahwa
ia akan menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada Pengadilan
agar diadakan sidang untuk penyaksian ikrar talak. Dalam Pasal 66
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan:
22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut perundang, Hukum adat,
Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hlm. 177. 23 Hensyah Syahlani, op. cit., hlm. 66
32
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Sedang Pasal 67
huruf a menyebutkan sebagai berikut:
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas
memuat: nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan
Termohon yaitu isteri.
Meskipun hukum menentukan sifat gugat “cerai talak” berupa
permohonan, akan tetapi sifat permohonan dalam cerai talak tidak identik
dengan gugat voluntair, sebab voluntair adalah permohonan cerai talak
harus bersifat 2 pihak (Pasal 66 ayat 1 jo Pasal 67 huruf a UU Nomor 3
Tahun 2006).24
Perlu ditegaskan bahwa dalam cerai talak suami dalam
permohonan mohon kepada Pengadilan Agama untuk dapat memberikan
ijin kepadanya untuk menjatuhkan talak kepada isterinya, maka sifat
permohonan ini bila dikabulkan oleh Pengadilan Agama, putusan yang
dijatuhkan belum merupakan putusan final akan tetapi harus adanya tindak
lanjut atau lebih kita kenal pelaksanaan isi putusan (eksekusi) namun
dalam hal ini dikenal sidang penyaksian ikrar talak. Menurut Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: MA/Kumdil/1973/IV/1990
tanggal 3 April 1990 menyatakan bahwa pada dasarnya cerai talak adalah
merupakan sengketa perkawinan antara dua belah pihak berperkara,
24 Ibid., hlm. 66..
33
sehingga karenanya produk Hakim yang mengadili sengketa tersebut harus
dibuat dalam bentuk dengan bentuk kata putusan dalam amar dalam
bentuk Penetapan. Dengan demikian halnya dengan upaya hukum, dimana
upaya hukum yang terbuka bagi putusan Pengadilan Agama terhadap
perkara ini adalah banding (Pasal 70 ayat 2 UU No.3 tahun 2006).
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 70 Undang - Undang Nomor 3
tahun 2006, yaitu :
1 ) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2 ) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
isteri dapat mengajukan banding.
3 ) Setelah Penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
4 ) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus
dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak,
mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
5 ) Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka
suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya
isteri atau wakilnya.
34
6 ) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
dan atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat
panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan
tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan
yang sama.
Selain perceraian dilakukan dengan cara cerai gugat dan cerai talak
tersebut, pihak isteri dapat mengajukan perceraian dengan alasan khuluk
artinya perceraian berdasarkan persetujuan suami isteri yang berbentuk
jatuhnya talak satu kali dari suami kepada isteri dengan adanya penebusan
dengan harta atau uang oleh si isteri yang menginginkan cerai dengan
khuluk itu.25
Dalam rangka menerima, memeriksa, mengadili serta
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama
sebagaimana tersebut dalam UU No.4 tahun 2004 tentang pokok-pokok
kekuasaan Kehakiman, Diperlukan Administrasi Pengadilan Agama yang
benar dan tertib. Sehubungan hal ini Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran Peradilan
Agama untuk melaksanakan dengan sungguh - sungguh pelaksanaan
Administrasi tersebut sesuai Surat Keputusan Mahkamah Agung RI
No.KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang “ Penerapan dan
Pelaksanaan Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan
25 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986,
hlm. 115.
35
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama”. Yang melaksanakan
tugas - tugas Administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut
adalah Panitera Sebagaimana dalam Pasal 26 Undang - Undang Nomor 3
tahun 2006 menyebutkan:
Panitera sebagai pelaksana kegiatan Administrasi Pengadilan
memiliki 3 (tiga) macam tugas pokok yaitu:
1 ) Pelaksanaan Administrasi perkara
2 ) Pendamping Hakim dalam persidangan
3 ) Pelaksana Putusan/Penetapan Pengadilan dan tugas - tugas
kejurusitaan lainnya
Proses penerimaan perkara di Pengadilan Agama adalah sebagai
berikut:
a. Pengajuan Perkara
1) Permohonan cerai gugat diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
Penggugat. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman di luar
negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukum meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal
Penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
36
2) Permohonan cerai talak diajukan oleh suami atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah wilayah hukumnya tempat kediaman
Termohon, kecuali apabila Termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin
Pemohon. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri,
permohonan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukum meliputi tempat kediaman Pemohon. Dalam hal Pemohon
dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Menurut ketentuan Pasal 118 HIR, yaitu gugatan harus diajukan
dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh Penggugat atau
wakilnya. Surat permintaan tersebut dalam prakteknya disebut
surat gugatan, Oleh karena itu gugatan harus diajukan dengan
surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan
untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk mengadili perkara itu. Pengadilan
Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR akan membuatkan
atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud.
b. Pemanggilan
Setelah gugatan perceraian tersebut diterima oleh petugas Meja
Pertama, kemudian diperintahkan untuk membayar vorschot biaya
37
perkara kecuali penggugat mengajukan perkara dengan cuma - cuma,
yang selanjutnya dicatat dalam buku Register perkara dengan kode
No…./Pdt.G/……/PA…..
Selanjutnya oleh Ketua Pengadilan Agama diterbitkan surat
Penunjukan Majelis Hakim (PMH), kemudian Ketua Majelis Hakim
mengeluarkan surat Penetapan Hari Sidang (PHS) dan sekaligus
memerintahkan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti untuk memanggil
kepada para pihak untuk datang dan hadir dalam persidangan yang
telah ditetapkan.
Jurusita dalam melaksanakan pemanggilan harus berdasarkan
azas - azas pelaksanaan pemanggilan yaitu:
1) Harus memenuhi waktu yang patut artinya pada saat ketua
menetapkan hari sidang hendaknya melihat dan mengingat akan
jauh dekatnya tempat tinggal para pihak berperkara, sehingga
tenggang waktu pemanggilan yang dilakukan oleh Jurusita dengan
hari sidang tidak kurang dari 3 hari dan didalamnya tidak termasuk
hari besar (Pasal 122 HIR/146 Rbg jo Pasal 26 ayat 4 PP No.9
tahun 1975 jo Pasal 138 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam.).
2) Harus dilakukan secara resmi, artinya sasaran atau obyek panggilan
harus tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan Perundang -
Undangan.
3) Panggilan harus disampaikan langsung kepada pribadi ditempat
orang yang dipanggil.
38
4) Dalam hal orang yang dipanggil tidak dijumpai ditempat
kediamannya, maka Panggilan dapat disampaikan melalui
lurah atau kepala Desa
(Pasal 390 HIR/ 718 Rbg, jo Pasal 26 ayat (3) PP No.9 tahun 1975 jo
Pasal 138 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam).
5) Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui
atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, ataupun
orang yang dipanggil tidak dikenal, maka dilakukan pemanggilan
umum oleh dan melalui Bupati/Walikota dalam wilayah tempat
kediaman Penggugat atau pemohon.
6) Dalam hal salah satu pihak bertempat atau berdomisili di luar
wilayah Hukum Pengadilan yang memeriksa perkaranya, maka
panggilan dilakukan dengan meminta bantuan kepada Ketua
Pengadilan Agama yang mewilayahinya.
7) Panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat apabila yang dipanggil bertempat berkedudukan di luar
negeri (Pasal 28 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo Pasal
140 Kompilasi Hukum Islam).
8) Panggilan disampaikan kepada ahli waris apabila orang yang
dipanggil meninggal dunia (Pasal 390 ayat 2 HIR/718 ayat 2 Rbg).
39
c. Memeriksa dan Mengadili
Di samping azas dan tata cara pemeriksaan gugatan perceraian
yang meliputi juga cerai talak dan gugat cerai tunduk sepenuhnya pada
HIR dan Rbg, serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 3 tahun2006, maka tata tertib pemeriksaan juga harus
berpedoman pada azas umum yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun
2006 yaitu :
a. Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari tiga
orang hakim, salah seorang diantaranya sebagai Ketua Majelis dan
yang lainnya sebagai Hakim anggota (Pasal 80 ayat (1) UU No. 3
Tahun 2006).
b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup ( Pasal 80 ayat (2)
UU No. 3 Tahun 2006) dan putusan perkara perceraian diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum, Pasal 81 ayat (1) UU No.3
Tahun 2006.
c. Pemeriksaan paling lambat 30 hari dari tanggal pendaftaran
gugatan (Pasal 80 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006), hal ini untuk
memenuhi tuntutan azas yang ditentukan pada Pasal 4 ayat 2 UU
No.14 Tahun 1970, yaitu Peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
d. Pemeriksaan disidang dihadiri oleh suami isteri atau wakilnya yang
mendapat kuasa khusus dari mereka.
40
Upaya mendamaikan kedua belah pihak diusahakan selama
proses pemeriksaan berlangsung ( Pasal 82 ayat (4) UU No.3 Tahun
2006 jo Pasal 11 PP Nomor 9 tahun 1975) khusus dalam hal ini
merupakan sedikit penyimpangan dari azas umum yang diatur dalam
Pasal 130 ayat 1 HIR/154 Rbg, dimana ditentukan mendamaikan
cukup diusahakan hakim pada sidang pertama saja.
d. Menyelesaikan
Pada azasnya putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dapat dijalankan, Pengecualiannya ada yaitu apabila
suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan lebih
dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR, Perlu di kemukakan bahwa tidak
semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
dilaksanakan hanyalah putusan - putusan yang bersifat condemnatoir
yaitu mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan 26
Menurut Pasal 70 ayat (3) Undang - Undang Nomor 7 tahun
1989 menyebutkan bahwa setelah Penetapan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang
Penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan isteri atau
wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
Dengan memperhatikan Pasal tersebut, maka dapat dikatakan
pelaksanaan sidang Penyaksian ikrar talak merupakan bentuk
26 Ibid, hlm. 130
41
pelaksanaan (eksekusi) Putusan. Ditinjau dari segi sasaran yang
hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan
Pengadilan, eksekusi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk,
yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran uang. Tetapi tidak
demikian halnya dalam cerai talak dimana cerai jenis ini setelah
putusan untuk itu in kracht van gewijsde, masih memerlukan lagi
tindak lanjut dari Pengadilan, yakni eksekusi ikrar talak.27
Pada umumnya eksekusi dilaksanakan oleh Pengadilan karena
adanya Permohonan eksekusi dari pemohon, karena putusan tidak
dilaksanakan secara sukarela, tetapi tidak demikian didalam eksekusi
ikrar talak Pengadilan bersifat aktif artinya setelah putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama secara ex
officio harus segera membuat penetapan sidang ikrar talak.
Menurut Pasal 70 ayat (6) Undang - Undang Nomor 3 tahun
2006 menyatakan bahwa jika suami dalam tenggang waktu enam
bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah
mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan
penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan yang sama.
27 Abdul Mannan, Eksekusi Ikrar Talak menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan Majalah Hukum tahun XI-No.124 Januari 1996 halaman 138.
42
Ketentuan Pasal ini jelas akan bertentangan terhadap
kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan salah satu badan
Peradilan yang melaksanakan tugas pokok kehakiman, dimana setiap
putusan Pengadilan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap, para
pihak dapat mengajukan eksekusi apabila tidak dilaksanakan secara
damai, lebih - lebih jika dilihat dari kepentingan Termohon (isteri)
jelas akan sangat merugikan apabila ternyata Pemohon (suami) tidak
melaksanakan sidang ikrar talak karena menghindari suatu kepentingan
dan bahwa Pengadilan Agamapun tidak ada kekuatan untuk
memaksanya.
Dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006,
disebutkan:
1. Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
thalaq.
2. Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa
perkawinan putus sejak ikrar thalaq diucapkan dan penetapan
tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
3. Dengan memperhatikan Pasal-pasal tersebut maka sebelumnya
adanya pelaksanaan sidang ikrar thalaq, maka perceraian belum
terjadi. Tetapi sering terjadi Pemohon tidak mau hadir dalam
sidang penyaksian ikrar thalaq walaupun Pengadilan telah
memanggil secara sah dan patut. Akibat Pemohon tidak
melaksanakan sidang ikrar talak ini sudah barang tentu akan
43
merugikan pihak Termohon. Dalam hal Pemohon tidak
melaksanakan sidang ikrar talak, maka isteri dapat mengajukan
gugatan cerai kepada suami, hal ini ditegaskan dalam Pasal 73 ayat
(1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang menyebutkan
bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman
Penggugat. Dalam mengajukan gugatan cerai tersebut, isteri dapat
mendalilkan alasan-alasan yang tercantum dalam permohonan
cerai thalaq yang oleh suami tidak dilaksanakannya sidang ikrar
thalaq, alasan taklik thalaq, khuluk dan atau berdasarkan alasan-
alasan sesuai Perundang-undangan yang berlaku.28
28 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
44
BAB III
DESKRIPSI CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA
MASYARAKAT DESA PENARUBAN KECAMATAN WELERI
KABUPATEN KENDAL
A. Profil Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
1. Keadan Geografi dan Monografi
Desa Penaruban merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
administrasi Pemerintah Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Luas
wilayah Desa Penaruban adalah 107.043 HA dan batas-batas wilayah
administrasi dengan wilayah lain sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Pucuksari
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Penyangkringan
3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sambungsari
4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karangdowo
Secara geografis, Desa Penaruban merupakan wilayah dataran
rendah. Luas wilayah Desa Penaruban di atas terdiri dari:
a. Tanah sawah seluas 54.780 HA dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) Irigasi tehnis 49.780 HA
2) Irigasi setengah tehnis -
3) Sederhana 5.000 HA
4) Tadah hujan -
45
b. Tanah kering seluas 52.263 HA dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) Yang digunakan (pekarangan, bangunan, dll) 43.180 HA
2) Yang tidak digunakan 11.043 HA
c. Lain-lain (prasarana desa) seluas 9.083 HA
Jumlah penduduk Desa Penaruban adalah sebanyak 4.333 yang
terdiri dari 2170 laki-laki dan 2163 perempuan.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana-sarana yang ada di Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sarana pemerintahan
1) Balai Desa 1 buah
2) Kantor Desa 1 buah
3) Tanah Bengkok Pamong Desa 9.905 HA
4) Tanah Kas Desa 0,385 HA
2. Sarana ibadah
1) Masjid 2 buah
2) Musholla 9 buah
3) Gereja 1 buah
3. Sarana ekonomi
1) Toko/kios/warung 27 buah
2) Koperasi Simpan Pinjam 2 buah
3) Badan-badan Kredit 3 buah
4) Industri Kecil 5 buah
46
5) Industri Rumah Tangga 6 buah
6) Rumah/Warung Makan 7 buah
7) Perdagangan 9 buah
8) Angkutan 14 buah
9) Lain-lain 70 buah
4. Sarana pendidikan
1) TK 4 buah
2) SD 2 buah
3) SLTP Umum 3 buah
4) SLTA Umum 2 buah
5) SLTA Kejuruan 1 buah
6) Kursus 1 buah
7) MTs 1 buah
8) MA 1 buah
Sedangkan dalam bidang kesehatan, belum ada sarana fisik yang
tersedia. Desa Penaruban hanya memiliki 1(satu) orang dokter, 1 (satu)
orang bidan, dan 1 (satu) orang dukun bayi.1
3. Struktur Organisasi Pemerintahan
Pemerintahan Desa Penaruban dipimpin oleh seorang Kepala Desa
yang bernama Sugito yang memimpin tiga dukuh yang berada di dalam
wilayah administrasi Desa Penaruban. Ketiga dukuh tersebut adalah
Dukuh Pagersari, Dukuh Karangtengah, dan Dukuh Tegalrejo. Dalam
1 Arsip Desa Penaruban 2008.
47
pelaksanaan pemerintahan, Kepala Desa mendapat kontrol dari Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Sedangkan untuk mempermudah dan
melancarkan program kerja desa, Kepala Desa dibantu oleh beberapa
orang dengan kedudukan atau jabatan tertentu. Secara lebih lanjut,
organisasi Desa Penaruban serta struktur organisasinya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Kepala Desa : Sugito
Sekretaris/Carik : A. Mudhirin
Kaur Umum : Kasbul
Bekel : Imam Supriyanto
Modin : Sapuan
Bayan Tani : Nur Khamid
Kamituwo I : Widiarto
Kamituwo II : M. Mursidin
Kamituwo III : M. Sudaryo
Sedangkan struktur organisasi pemerintahan Desa Penaruban
adalah sebagai berikut:
48
Struktur Organisasi
Pemerintahan Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
BPD Kepala Desa
Carik
Kaur Umum
Bekel Modin Bayan Tani Kamituwa Pagersari
Kamituwa Karangtengah
Kamituwa Tegalrejo
49
B. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal
1. Profil Chasbullah
Chasbullah merupakan tokoh masyarakat yang dikenal sebagai
sosok yang sering menangani proses perceraian di kalangan masyarakat
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Praktek tersebut
dilakukan sejak tahun 1986. Praktek ini menurut beliau tidak dapat
dilepaskan dari adanya keinginan masyarakat untuk bercerai yang
berkesesuaian dengan hukum Islam serta proses cepat dan murah.
Pria berusia 64 tahun yang masih aktif sebagai perangkat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal ini juga merupakan
tokoh keagamaan masyarakat. Pemahaman beliau akan ilmu agama-lah
yang menjadikan beliau sebagai panutan masyarakat dalam hal
permasalahan agama. Di samping menjadi hakam dalam proses perceraian
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal, Chasbullah juga menjadi pihak yang mengawinkan
pasangan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan sirri atau di luar
ketentuan perkawinan resmi di Indonesia.2
2. Profil Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
Peristiwa cerai di Luar Pengadilan Agama sangat umum dilakukan
oleh masyarakat Desa Penaruban. Meski demikian, hanya ada beberapa
2 Hasil wawancara dengan Chasbullah tanggal 30 Maret dan 16 Mei 2010.
50
orang yang mau dijadikan responden oleh penulis. Berikut ini akan penulis
paparkan profil singkat dari warga yang mau menjadi responden dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis.3
1. Rubiati
Ia adalah janda akibat talak dari Marjuki. Proses talak tersebut
dilakukan di luar Pengadilan Agama pada tahun 1982. Dua tahun
kemudian, janda yang berusia 35 tahun tersebut kemudian menikah
lagi dengan Nur Salim dari Penaruban sebagai isteri kedua dan dari
perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang anak. Penyebab perceraian
Rubiati dengan suaminya yang pertama karena beliau dan suami beliau
seringkali bertengkar meskipun hanya berawal dari perkara sepele.
2. Marwati4
Ia juga merupakan janda akibat talak. Kemudian beliau menikah lagi
dengan Agus Pranoto (Alm). Marwati(45 th) isteri kedua dari
almarhum dan sepanjang perkawinan tersebut dikarunia seorang anak.
Penyebab perceraian Marwati dengan suami yang pertama adalah
karena sering cekcok dengan suaminya. Hal ini dikarenakan suaminya
sudah sering pulang melebihi jam kerja dan bahkan tidak jarang tidak
pulang dalam beberapa hari dengan alasan kerjaan. Padahal ketika
3 Hasil wawancara dengan para responden (Marwati, Sri Sutarmi, Hartono) pada
tanggal 3 April 2010. 4 Responden merasa keberatan untuk menyebutkan nama suami terdahulu. Demi etika,
maka penulis tidak dapat memaksakan hal tersebut. Namun demikian, Chasbullah menyatakan bahwa status Marwati adalah janda talak karena proses perceraiannya dulu ditangani oleh Chasbullah. Hasil wawancara Penulis dengan Chasbullah, tanggal 30 Maret 2010.
51
Marwati mengecek ke teman kerjanya, kata teman kerja suaminya
yang pertama tidak ada agenda kerja untuk suaminya.
3. Redi
Redi merupakan pelaku cerai di luar Pengadilan Agama karena
ditinggal isteri tanpa adanya kabar. Isterinya meninggalkannya selama
hampir 6 bulan. Awalnya isteri beliau izin untuk bekerja di luar negeri
sebagai TKW. Oleh karena telah 6 bulan tidak mengirim kabar, maka
kemudian Redi menceraikan isterinya melalui Chasbullah pada tahun
1999. Sebelum menginginkan perceraian, Redi sudah berusaha
meminta tolong kepada keluarga isteri yang diceraikannya tersebut
untuk membantunya dalam mencari informasi keberadaan isterinya.
Namun tidak mendapatkan hasil karena mereka juga telah kehilangan
kontak serta tidak ada berita dari sanak keluarga mereka tersebut (isteri
dari Redi) perihal keberadaannya.
Pada saat perceraian, pasangan Redi dengan isteri yang dicerai telah
dikaruniai seorang anak. Setelah itu, kemudian Redi menikah lagi
dengan Pratiwi pada tahun 2000. Hingga saat ini, isteri lama dari Redi
tidak lagi memberi kabar dan anak hasil perkawinannya terdahulu ikut
dengan Redi.
4. Musthofiah
Musthofiah merupakan isteri kedua dari Chasbullah. Suami pertama
Musthofiah menceraikan Musthofiah didasari oleh rasa cemburu
kepada Musthofiah. Kecemburuan tersebut tidak jarang menimbulkan
52
percekcokan di antara mereka. Oleh sebab itulah, kemudian suami
pertamanya menginginkan perceraian. Saat menikah dengan
Chasbullah, status Musthofiah adalah janda dari perceraian yang
dilakukan di depan Chasbullah. Namun perkawinan tersebut tidak
bertahan lama dan bercerai tanpa anak.
5. Sri Sutarmi
Sri Sutarmi juga mengalami hal yang sama dengan Musthofiah.
Penyebab perceraiannya dengan suami yang pertama adalah karena
beliau seringkali mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya dan
tidak jarang suaminya juga mengucapkan kata-kata kasar dan kotor
kepada beliau. Setelah bercerai dengan suami terdahulu melalui
perceraian di luar pengadilan, beliau menikah lagi dengan Bambang S
sebagai isteri kedua. Namun kemudian beliau bercerai dengan
Bambang dan dari perkawinan tersebut dikaruniai seorang anak.
6. Hartono
Nasib Hartono sama dengan nasib Redi. Beliau ditinggalkan isterinya
selama tiga bulan. Hal itu beliau lakukan karena isteri yang
diceraikannya telah berjanji akan memberikan kabar setelah tiba di
tempat kerjanya di Jakarta. Namun setelah ditunggu selama dua
minggu hingga tiga bulan, tidak ada kabar dari isteri beliau tersebut.
Bahkan di sisi lain, ada seorang tetangga beliau yang memberitahukan
bahwa dia pernah melihat isteri beliau berjalan mesra dengan laki-laki
lain di suatu wilayah di Jakarta. Namun tetangga tersebut tidak
53
mengetahui keberadaan isteri Hartono karena hanya melihat sebanyak
dua kali dan setelah itu tidak melihat lagi. Karena tidak ada kabar
kejelasan, maka kemudian beliau menceraikan isterinya tanpa adanya
kehadiran dari isterinya di depan Chasbullah. Selang beberapa waktu
kemudian, beliau menikah lagi dengan Juwarni. Dari pernikahan
tersebut dikaruniai dua orang anak.
Wawancara dengan responden:
a. Kapan anda melakukan perceraian? Di mana?
Jawab: Lupa tepatnya kapan, di luar Pengadilan Agama dan
tepatnya melalui Chasbullah
b. Siapa yang menyaksikan?
Jawab: Tidak ada saksi
c. Mengapa anda melakukan perceraian?
Jawab: Karena sudah tidak ada kecocokan lagi
d. Apa yang anda ketahui tentang tata cara perceraian?
Jawab: Saya tidak tahu
e. Apa anda mengetahui bahwa perceraian yang anda lakukan itu
sah/tidak?
Jawab: Menurut saya sah karena sesuai agama islam.
Sebagian besar masyarakat menilai bahwa perceraian
tersebut sah menurut agama, walaupun tanpa melalui Pengadilan
Agama. Dengan cara ini sangat mudah dan biayanya murah.
54
3. Faktor-faktor Pendorong Praktek Perceraian di Masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
Masalah cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal tidak
lepas dari pemahaman masyarakat terhadap posisi hukum dalam
kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat memiliki pandangan
bahwasanya hukum Islam adalah hukum dasar yang menjadi pijakan
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, sekali lagi, bagi
mereka pelaksanaan hukum agama lebih penting dan lebih utama daripada
pelaksanaan hukum lainnya.5
Selain faktor dari dimensi keagamaan, praktek cerai di luar
Pengadilan Agama juga didasarkan pada kenyataan bahwasanya proses
yang dilalui lebih mudah dan tidak memerlukan biaya yang banyak.
Biasanya proses perceraian di Pengadilan Agama berlarut-larut karena
harus menjalani beberapa persidangan. Berbeda dengan perceraian yang
dilakukan di depan penghulu yang langsung dapat diputuskan langsung
jika pasangan suami-isteri yang akan bercerai telah benar-benar
menginginkan perceraian. Meskipun ada upaya pendamaian, namun hal itu
tidak berlarut-larut dan tidak melibatkan banyak orang melainkan hanya
terpusat pada pasangan yang akan bercerai.6
4. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama di Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal
5 Wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Desa Penaruban, tanggal 5 April 2010.
6 Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
55
Praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat dilaksanakan
di depan modin di luar modin resmi atau Pegawai Pembantu Pencatatan
Nikah (PPPN) Desa Penaruban, yakni Chasbullah. Ia merupakan modin
tidak resmi yang telah lama menjadi abdi masyarakat “tidak resmi” untuk
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan
modin, seperti masalah perceraian.
Pada dasarnya, proses perceraian yang dilaksanakan di depan
Chasbullah dilaksanakan melalui tiga tahapan dengan penjelasan sebagai
berikut:7
a. Tahapan “pendaftaran”
Maksud dari pendaftaran ini tidak sama dengan pendaftaran
pada proses perceraian di Pengadilan Agama. Pendaftaran dalam
proses perceraian di Desa Penaruban cukup pemberitahuan kepada
Chasbullah perihal keinginan suami isteri yang akan bercerai.
Pendaftaran tersebut dilakukan secara lisan kepada Chasbullah.
Hasil dari proses pendaftaran tersebut tidak dibuktikan melalui
hitam di atas putih melainkan hanya berlandaskan pada saling percaya
antara masyarakat dengan Chasbullah. Dalam proses “pendaftaran”
juga disertakan kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Umumnya, jangka waktu antara penyampaian keinginan dari
suami-isteri yang akan bercerai dengan penyelesaian masalah tidak
lebih dari 1 (satu) minggu. Biaya untuk proses perceraian ini tidak
7 Hasil wawancara dengan Chasbullah tanggal 30 Maret dan 16 Mei 2010.
56
ditentukan, namun umumnya, para pelaku memberikan uang tanda jasa
kepada Chasbullah rata-rata sebesar Rp. 100.000,00 – Rp. 250.000,00.
b. Tahapan “mediasi”
Proses ini terdiri dari dua proses, yakni proses penjelasan
alasan-alasan yang menyebabkan suami-isteri ingin bercerai dan proses
pemberian konsultasi Chasbullah kepada pasangan suami-siteri
tersebut. Pada proses yang pertama, Chasbullah akan mempertanyakan
hal-hal yang menjadi penyebab suami-isteri menginginkan perceraian.
Hal ini penting karena menurut Islam, perceraian harus didasarkan
pada sebab-sebab yang diperbolehkan oleh agama. Menurut
Chasbullah, alasan-alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam di
antaranya adalah:
1) Salah satu pasangan murtad
2) Terjadi perselisihan yang tidak dapat didamaikan dan apabila
dipaksakan akan menimbulkan madlarat bagi salah satu atau
bahkan keduanya
3) Tidak ada kejelasan kabar dari salah satu pasangan suami isteri
dalam jangka waktu tertentu
4) Adanya cacat permanen yang dapat mengganggu produktifitas
keluarga
5) Isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai Isteri
57
6) Isteri melakukan zina (li’an).8
7) Isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa izin dari suami dan
tidak ada alasan syara’ atau suami terhalang memasuki rumah Isteri
yang ditempati berdua (nusyuz).
Alasan-alasan di atas yang mayoritas dijadikan alasan untuk
melakukan talak di Desa Penaruban adalah nomor 2 dan 3 yang tidak
lain disebabkan karena mayoritas yang meminta perceraian adalah
pihak laki-laki.
Setelah adanya pemaparan tentang permasalahan yang dialami
oleh pasangan suami-isteri, kemudian Chasbullah akan memberikan
konsultasi terkait dengan permasalahan yang dialami kecuali untuk
permasalahan murtad. Chasbullah beranggapan bahwa:
“Masalah agama kan menjadi masalah pribadi yang sangat privasi bagi setiap orang. Saya tidak berhak memaksakan salah satu pasangan untuk kembali kepada agama asal demi menyelamatkan perkawinan mereka. Hal ini tentu akan bertentangan dengan konsep Islam kaffah.”9
Dari kasus keinginan cerai pasangan suami-isteri yang
ditangani oleh Chasbullah, hanya ada beberapa kasus yang dapat
didamaikan kembali pada proses mediasi. Namun tidak sedikit yang
berakhir pada perceraian. Proses konsultasi hanya dilakukan satu kali
8 Li’an dalam arti bahasa berasal dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aanan yakni masing-
masing melaknat pihak yang lain. Sedangkan menurut arti syara’ ialah kalimat-kalimat khusus dipergunakan sebagai alasan bagi pihak yang memerlukan untuk menuduh orang lain yang menodai kehormatannya atau tidak mengakui anak. Lih. Ulaudin, Badaiush Shana’iek, Jilid 3, Mesir, Cet. ke-1, 1910, hlm. 237.
9Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
58
dan apabila memang keputusan untuk bercerai dari pasangan suami-
isteri telah bulat, maka kemudian melangkah pada tahap ketiga.
Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan keluarga dari
masing-masing pasangan. Hal ini disebabkan keberadaan pasangan
suami isteri telah dapat memberikan gambaran keadaan rumah tangga
yang mereka alami. Jadi tidak perlu menghadirkan keluarga dalam
proses konsultasi. Terlebih lagi, tidak jarang kehadiran keluarga malah
akan menimbulkan keributan dalam proses konsultasi pasangan suami-
isteri.
c. Tahapan “putusan”
Apabila proses konsultasi gagal, maka kemudian Chasbullah
mempersilahkan pasangan tersebut untuk bercerai dengan adanya ikrar
talak dari pihak suami. Pengucapan ikrar tersebut dilakukan di depan
Chasbullah dan isteri. Namun jika tidak ada pihak isteri (isteri tidak
diketahui kejelasan keberadaannya), maka ikrar talak tersebut
dilakukan di depan Chasbullah.
Ikrar talak yang diucapkan merupakan ikrar talak dalam fiqih
Islam. Ikrar talak yang diucapkan dalam proses perceraian di
masyarakat Desa Penaruban adalah sebagai berikut:
“Saya talak isteri saya yang bernama.......binti....... dengan
talak...... sejak....... karena..........”10
10 Wawancara dengan Chasbullah, Tanggal 30 Maret 2010.
59
Dalam pengucapan ikrar talak tersebut juga disebutkan kualitas
talak yang diikrarkan. Hal ini untuk memperjelas posisi kemungkinan
rujuk bagi pasangan suami-isteri atau hilangnya kemungkinan rujuk
tersebut.
d. Tahapan “pencatatan”
Setelah adanya pengucapan ikrar talak, maka tahapan
berikutnya adalah pencatatan hasil perceraian. Catatan ini hanya
berupa tulisan tangan dari Chasbullah yang disertai dengan tanda
tangan Chasbullah sebagai legalitas perceraian. Catatan ini berfungsi
untuk informasi tentang status baru yang dialami oleh pasangan suami-
isteri yang telah bercerai. Selain itu, catatan tersebut juga berguna
sebagai pedoman bagi pasangan suami-isteri dalam melaksanakan
perkawinan yang baru. Meski demikian, catatan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum bagi pernikahan berdasar hukum negara.
Oleh sebab itu, catatan tersebut tidak dapat digunakan untuk
menunjang perkawinan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
negara.
Dalam catatan perceraian tersebut harus tertera aspek-aspek
berikut ini:
1) Nama suami-isteri yang bercerai
2) Tanggal perceraian
3) Tempat pelaksanaan perceraian
4) Alasan perceraian
60
5) Tanda tangan pasangan yang bercerai
6) Tanda tangan Chasbullah
e. Tahapan “pemberian nasehat”
Setelah selesai proses perceraian dengan adanya ikrar talak,
maka kemudian Chasbullah memberikan nasehat kepada suami-isteri
yang telah bercerai. Nasehat tersebut terkait dengan hak dan kewajiban
yang diakibatkan dari adanya perceraian, baik yang menyangkut
suami-isteri, harta benda, atau hak dan kewajiban kepada anak-anak
mereka.
Nasehat yang diberikan juga mencakup masalah masa iddah,
hubungan kekeluargaan berbasis persaudaraan antara mantan suami
dengan mantan istri. Materi ini sangat penting karena tidak jarang
setelah adanya perceraian, hubungan persaudaraan antara keluarga
mantan suami dan mantan isteri tidak baik dan bahkan cenderung
bermusuhan.
Kasus-kasus yang ditangani oleh Chasbullah dalam proses
perceraian antara lain adalah mencakup permasalahan nusyuz, syiqaq,
hingga nikah hamil.
5. Implikasi Cerai di Luar Pengadilan Agama dan Implikasinya Pada
Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
Setelah melakukan cerai di Luar Pengadilan Agama, Masyarakat
Desa Penaruban kemudian melaksanakan pernikahan kembali dengan jalan
nikah siri. Berikut ini adalah data masyarakat yang melaksanakan
61
perceraian di luar Pengadilan Agama dan statusnya setelah perceraian
tersebut.
No Nama Usia (Tahun)
Alamat Status Cerai Status Sekarang
Keterangan
1 Rubiati 35 Kel. Pojoksari
Talak di luar Pengadilan
Isteri kedua dari Nursalim
Memperoleh anak
2 Redi 50 Sendang Kulon
Talak di luar Pengadilan karena isteri pergi tanpa kabar
Menjadi suami dari Pratiwi
3 Marwati 45 Penaruban Talak di luar Pengadilan
Isteri kedua dari Agus Pranoto
Memperoleh anak
4 Musthofiah 47 Pegandon Talak di luar Pengadilan
Isteri kedua dari Chasbullah
Tidak memiliki anak
5 Sri Sutarmi 38 Penaruban Talak di luar Pengadilan
Isteri kedua dari Bambang S
Memperoleh anak
6 Hartono 46 Penaruban Talak di luar Pengadilan karena isteri pergi tanpa kabar
Menjadi suami dari Juwarni
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwasanya pelaku
cerai di luar Pengadilan Agama berasal dari kelompok laki-laki dan
wanita. Pada kelompok laki-laki, alasan yang digunakan untuk melakukan
cerai di luar Pengadilan Agama adalah karena telah ditinggal pergi oleh
isteri. Sedangkan pada kelompok wanita tidak ada alasan selain karena
faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya (hal ini penulis
jelaskan pada bagian berikutnya dalam sub bab b). Implikasi dari
perceraian di Luar Pengadilan Agama tersebut adalah terjadinya
perkawinan baru antara pelaku dengan orang lain yang bukan isteri atau
62
suaminya terdahulu. Pada umumnya mereka (para wanita) menjadi isteri
kedua dari suami baru mereka. Dari hasil perkawinan tersebut, ada yang
memperoleh anak dan ada yang tidak memperoleh anak.
C. Pendapat Tokoh Masyarakat terhadap Fenomena Cerai di Luar
Pengadilan Agama di Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal
Fenomena cerai di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa
Penaruban telah menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan di kalangan
tokoh masyarakat Desa Penaruban. Berikut ini akan penulis paparkan
beberapa pendapat dan pandangan para tokoh masyarakat Desa Penaruban:
1. Sapuan11
Sebagai Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah (PPPN) Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal, Sapuan menganggap
bahwasanya praktek perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Penaruban memiliki keabsahan dalam Islam karena juga sesuai dengan
fiqih perkawinan dalam Islam. Namun jika dipraktekkan pada masa
sekarang, khususnya di Indonesia dan setelah adanya undang-undang yang
mengatur tentang perkawinan (KHI dan UU Perkawinan), maka praktek
tersebut sebaiknya dihentikan.
Menurut Sapuan, penghentian praktek tersebut tidak lain karena
dapat berakibat hukum dan demi ketertiban administrasi kenegaraan.
Akibat hukum yang dimaksud adalah tidak adanya status legal dalam
11 Wawancara dengan Sapuan, tanggal 18 Mei 2010.
63
hukum negara yang dapat berakibat pada tidak terpenuhinya hak-hak
warga negara yang berkaitan dengan dampak perkawinan dalam lingkup
hukum kenegaraan Indonesia. Sedangkan terkait dengan administrasi,
praktek perceraian tersebut tidak didaftarkan pada lembaga pemerintahan
sehingga akan mengakibatkan tidak adanya penjelasan status baru dari
pasangan suami-isteri dalam administrasi kenegaraan.
2. A. Widiarto12
Menurut beliau, praktek tersebut tidak apa-apa karena telah legal
menurut Islam. Sedangkan mengenai keabsahan hukum dalam hukum
negara tidak menjadi masalah karena yang terpenting adalah adanya
legalitas dari hukum agama.
Mengenai akibat status dari hasil perkawinan, seperti hak
sertifikasi anak (akta kelahiran dan lain sebagainya) dapat diurus dan tidak
akan memberikan dampak pada anak. Nyatanya hingga saat ini tidak ada
permasalahan yang berhubungan dengan akibat hukum dari praktek
tersebut.
3. Sugito
Sebenarnya praktek itu pada satu sisi memberikan kerugian kepada
pemerintah desa karena menghambat tata administrasi, khususnya
berkaitan dengan pergerakan keluarga (kartu Keluarga/KK). Namun
praktek tersebut juga akan menimbulkan masalah jika langsung
mendapatkan larangan. Hal ini karena adanya keyakinan masyarakat
12 Wawancara dengan Widiarto, Kamituwa Dukuh Pagersari, tanggal 17 Mei 2010.
64
mengenai legalitas hukum agama yang lebih tinggi dari hukum negara
serta adanya realitas mahal dan lamanya proses perceraian di Pengadilan
Agama.
Oleh sebab itu, sebenarnya perlu adanya kerjasama antar beberapa
pihak untuk menangani permasalahan ini. Baik dari pemerintah, melalui
lembaga Pengadilan Agama, pihak tokoh agama masyarakat, hingga
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tata hukum negara dan agama.
Jadi intinya, masyarakat tidak dapat dipersalahkan secara sepihak
melainkan perlu adanya pembenahan secara terstruktur mengenai keadaan
ini dengan melibatkan berbagai elemen yang berkompetensi untuk
melahirkan kebijakan yang baru.
65
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP CERAI DI LUAR
PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA PENARUBAN
KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Cerai Di Luar Pengadilan
Agama Pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal
1. Tinjauan fiqih terhadap cerai di luar Pengadilan Agama di masyarakat
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
Untuk mengetahui legalitas dampak (implikasi) yang disebabkan
oleh adanya praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban, maka perlu
adanya penelaahan terlebih dahulu mengenai legalitas sebab yang
menyebabkan akibat tersebut. Maksud dari legalitas sebab tersebut tidak
lain adalah legalitas proses perceraian yang nantinya berdampak pada
legalitas implikasi dari perceraian tersebut. Ruang lingkup tinjauan hukum
Islam yang digunakan sebagai “peninjau” praktek cerai di masyarakat
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal meliputi tinjauan
dalil Qur’an maupun Hadis serta tinjauan pendapat ulama terkait dengan
praktek cerai yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
Cerai atau talak untuk mengakhiri perkawinan merupakan suatu
perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah. Meski diperbolehkan, di sisi
66
lain Allah talak atau cerai merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah.
Terkait dengan sisi legalitas dan kebencian Allah terhadap praktek cerai
dapat terlihat dalam hadis berikut ini:
قال رسول ا هللا صلى ا هللا : عن ا بن عمر ر ضى ا هللا عنهما قال رواه ابوداود وابن (ل الى اهللا ا لطالق أبغض الحالعليه وسلم
1)جهماArtinya : ''Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda Rasullulah
Saw, perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talaq (H.R. Imam Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa meskipun diperbolehkan,
Islam tidak menghalalkan cerai yang dilakukan secara sembarangan tanpa
adanya landasan dari ketentuan hokum Islam. Salah satunya adalah perlu
adanya kehadiran hakam yang menjadi pihak untuk mengusahakan
perdamaian di antara suami-isteri yang bertikai. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam salah satu firman Allah surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:
يريدا إن أهلها من وحكما أهله من حكما فابعثوا بينهما شقاق خفتم وإن خبيرا عليما آان الله إن بينهما الله يوفق إصالحا
Artinya : "Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35) 2
Penjelasan mengenai hakam dalam sebuah pertikaian yang dialami
oleh suami-isteri sebagaimana tersebut dalam ayat di atas telah
menimbulkan dua pendapat di kalangan para ulama. Kedua perbedaan
pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 178. 2 Depertemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123
67
a. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam adalah dari keluarga dan
hanya bertugas mendamaikan dan tidak memiliki hak untuk
menceraikan. Hal didukung oleh pendapat imam Abu Hanifah,
sebagian pengikut Imam Hambali, dan qoul qadim dari Imam Syafi’i,
yang menyandarkan tugas hakam dari pengertian “hakam” yang berarti
wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh
menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan
dari pihak suami, begitu pula hakam tidak boleh mengadakan khuluk
sebelum mendapat persetujuan dari isteri.
b. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam disandarkan pada hakim
sehingga dapat memutuskan perkara tersebut dan dapat juga berasal
dari luar keluarga suami-isteri yang bertikai. Pendapat ini di antaranya
diungkapkan oleh Imam Malik, sebagian lain pengikut Imam Hambali
dan qoul jadid pengikut Imam Syafi’i yang menyandakan tugas hakam
pada makna “hakam” sebagai hakim. Dari penyandaran makna tersebut
maka hakam boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat
keduanya tentang hubungan suami-isteri yang sedang berselisih itu,
apakah ia akan memberi keputusan perceraian atau ia akan
memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali. Menurut
pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau
pemerintah, karena ayat diatas diajukan kepada seluruh muslimin.
Dalam hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan
68
pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang
untuk mengadili perkara yang disampaikan. 3
Sekilas, praktek cerai yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Penaruban tidak melibatkan hakam yang sesuai dengan prosedur dalam
firman di atas. Hal ini dikuatkan dengan posisi hakam yang disematkan
pada diri Bapak Chasbullah yang bukan berasal dari keluarga suami
maupun isteri. Selain permasalahan tersebut, jumlah hakam juga tidak
sesuai dengan ketentuan dalam firman di atas, di mana jika masing-masing
pihak dari suami isteri menunjuk salah satu wakil dari keluarganya sebagai
hakam, maka minimal jumlah hakam adalah dua orang, sedangkan dalam
prakteknya jumlah hakam dalam proses perceraian suami-isteri di Desa
Penaruban hanya satu orang.
Menurut penulis, praktek perceraian yang dilaksanakan di
masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
cenderung sama dengan pendapat pertama dari para ulama mazhab, yakni
menyandarkan tugas hakam pada pemaknaan hakam sebagai wakil.
Indikator tersebut dapat dilihat dari tugas dan wewenang Bapak
Chasbullah dalam proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban.
Terkait dengan jumlah hakam, jika dikaji dalam lingkup pendapat
kedua dari pendapat para ulama mazhab di atas, keberadaan jumlah hakam
yang hanya satu orang tidak menjadi masalah. Hal ini seperti dijelaskan di
atas yang menyebutkan bahwasanya hakam dapat berasal dari keluarga
3 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: PT Karya Unipress, 1974, hlm. 189-190.
69
suami-isteri maupun dari pihak lain yang disepakati oleh suami-isteri
tersebut. Sedangkan mengenai kebolehan penerapan mazhab tersebut
dalam proses perceraian di masyarakat Desa Penaruban dapat disandarkan
pada legalitas ijtihad dalam hukum Islam.
Sedangkan mengenai tempat pelaksanaan perceraian, dalam
sumber dasar perceraian Q.S. an-Nisa ayat 35 tidak disebutkan secara
detail. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa permasalahan
tempat tidak begitu penting dan yang paling penting adalah proses dari
perceraian tersebut. Apabila disandarkan pada dalil dasar tersebut, maka
proses perceraian yang dilaksanakan di masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal memiliki kesesuaian dengan
substansi dalil tersebut. Namun jika dikaitkan dengan keberadaan lembaga
yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek tersebut kurang
relevan karena telah adanya pengadilan yang disediakan oleh pemerintah
sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
proses perceraian suami-isteri.
Menurut hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan
berdasarkan tata urut keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum
Islam sendiri, tata urut keabsahan sumber hukum Islam bersumber pada al-
Qur’an, Hadis, dan Ijma-Qiyas. Penjelasan mengenai tata urut sumber
hukum ini adalah apabila suatu hukum yang berhubungan dengan
perkembangan kehidupan umat manusia tidak diketemukan atau kurang
jelas mengenai penjelasannya dalam al-Qur’an, maka diperbolehkan
70
menggunakan sumber hukum Hadis yang berkenaan dengan hukum
tersebut. Jika di dalam Hadis juga tidak ditemukan hukum yang jelas
maupun kurang jelas dalam menjelaskannya, maka umat Islam
diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal tersebut melalui
metode ijtihad dalam bentuk ijma’ maupun qiyas.4
Dengan demikian, maka praktek perceraian yang dilaksanakan oleh
masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
memiliki kesesuaian dengan fiqih Islam sehingga dapat dilegalkan dalam
konteks fiqih Islam. Konsekuensi dari adanya status legal dalam konteks
fiqih Islam – sebagaimana dijelaskan di atas – adalah adanya status legal
yang melekat pada perbuatan maupun hasil perbuatan.
2. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan
Agama dan implikasinya di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal
Apabila mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perceraian, maka dalam praktek
perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal terdapat perbedaan dengan ketentuan dalam
KHI. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Masalah proses perdamaian dalam proses perceraian
Proses perdamaian merupakan suatu anjuran yang sangat
penting dalam menangani masalah atau perkara suami-isteri yang akan
4 Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.
71
bercerai. Jika melihat praktek perceraian yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Penaruban, sekilas sudah ada kesesuaian dengan
ketentuan upaya pendamaian yang terkandung dalam Kompilasi
Hukum Islam. Kesesuaian tersebut adalah adanya upaya pendamaian
yang dilakukan oleh Bapak Chasbullah. Namun jika dikaji dalam
lingkup lama waktu yang digunakan dalam upaya pendamaian
tersebut, maka akan ditemukan kekurangsesuaian tersebut. Mengenai
ketentuan pendamaian kedua belah pihak (suami-isteri) diatur dalam
Pasal 142 sebagai berikut:
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa proses
perceraian tidak langsung diputuskan dalam waktu yang singkat. Hal
ini ditujukan untuk memberikan peluang damai bagi kedua belah
pihak. Hal inilah yang kurang dipenuhi pada proses perceraian di
masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
karena proses perceraian hanya dilaksanakan dalam satu kali
pertemuan yang langsung diputuskan cerai. Dari proses “perceraian
kilat” tersebut otomatis tidak ada waktu yang panjang untuk
mendamaikan kedua belah pihak.
Selain karena kurangnya waktu untuk mendamaikan kedua
belah pihak, perceraian yang diproses dalam waktu singkat juga
berpeluang kurangnya eksplorasi terhadap permasalahan yang dihadapi
72
oleh kedua belah pihak. Padahal eksplorasi terhadap akar masalah
yang terjadi pada kedua belah pihak sangat diperlukan sebagai bahan
pertimbangan Bapak Chasbullah dalam menentukan langkah yang
terbaik bagi kedua belah pihak terkait dengan perkawinan mereka. Hal
inilah yang menurut penulis menjadi penyebab tidak adanya upaya
pendamaian yang maksimal pada praktek perceraian yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal.
b. Tempat Pelaksanaan Perceraian
Praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Hal
ini jelas sekali tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
115 sebagai berikut:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak5
Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwasanya
tidak ada tempat lain yang dapat digunakan untuk memproses
perceraian selain Pengadilan Agama. Hal tersebut ditegaskan dengan
kata “hanya” yang menjelaskan bahwasanya tidak ada pilihan lain atau
kompensasi terkait dengan tempat pemrosesan perkara perceraian.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwasanya tempat pelaksanaan
5 Undang-Undang Perkawinan Indonesia Tahun 2007 Dilengkapi dengan Kompilasi
Hukum Islam, t.kp: Wipress,2007, hlm. 205.
73
perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal tidak memenuhi syarat tempat
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 115 KHI di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasanya
praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah
dalam KHI adalah perceraian yang dilaksanakan di depan Pengadilan
Agama sedangkan percaraian yang dilakukan di Desa Penaruban
dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Ketidaksesuaian tersebut
dapat melahirkan hukum yang tidak sah yang mengena pada perbuatan
hukum yang melanggar ketentuan yang berlaku. Dengan demikian,
praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dapat
dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku
karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam KHI.
Adanya status tidak sah (ilegal) tersebut mengindikasikan
bahwasanya perkawinan masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal yang proses cerainya di luar Pengadilan
Agama masih sah. Adanya keabsahan terhadap perkawinan terdahulu
yang dicerai di luar Pengadilan Agama dalam konteks KHI secara
74
tidak langsung mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan
perkawinan yang baru dengan pasangan yang berbeda.
Bagi pihak suami, peluang untuk melaksanakan perkawinan
yang baru karena masih adanya status sah pada perkawinan terdahulu
mereka terbuka karena adanya ketentuan tentang kebolehan poligami.
Namun tentu saja perkawinan yang baru tersebut (poligami) harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI, baik
dalam syarat maupun prosesnya. Mengenai syarat yang diperbolehkan
untuk berpoligami meliputi syarat jumlah, syarat kemampuan adil dan
ekonomi pihak suami, syarat ijin dari isteri, serta syarat isteri yang
dapat menyebabkan Pengadilan Agama membolehkan poligami yang
dijelaskan dalam Pasal 55 – Pasal 58.6
Apabila proses poligami dilakukan tanpa didasarkan pada
ketentuan di atas, maka poligami tersebut tidak dapat disebut sah. Hal
inilah yang menurut penulis dapat menjadi dasar untuk menentukan
status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca
perceraian ilegal menurut KHI. Menurut penulis, status perkawinan
baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca perceraian ilegal dapat
dinyatakan tidak sah (ilegal) menurut KHI karena tidak terpenuhinya
syarat dan prosedur poligami yang telah ditentukan dalam KHI. Selain
itu, melihat kondisi hubungan antara pihak suami dengan pihak isteri
6 Mengenai syarat jumlah dibatasi empat orang (Pasal 55); syarat kemampuan adil dan
ekonomi suami (Pasal 55 dan Pasal 58); syarat persetujuan isteri dilakukan secara tertulis maupun lisan (Pasal 58); sedangkan syarat kebolehan poligami didasarkan pada keadaan isteri yang tidak dapat memberikan keturunan, isteri tidak dapat menjalankan kewajiban, dan isteri menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Pasal 57)
75
yang lama, perkawinan baru yang dilakukan pihak suami pasca
perceraian ilegal tidak dapat disebut poligami karena pihak suami telah
memutuskan hubungan – baik lahir maupun batin – dengan isteri yang
lama (yang diceraikan secara ilegal menurut KHI).
Status tidak sah bagi perkawinan baru yang dilakukan pasca
perceraian ilegal juga berlaku bagi pihak isteri yang melakukan
perkawinan baru pasca perceraian secara ilegal menurut KHI. Status
tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri secara tidak langsung
telah melangsungkan model perkawinan poliandri (satu isteri dengan
suami lebih dari satu orang) karena masih adanya ikatan perkawinan
yang sah dengan suaminya terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri
sendiri merupakan bentuk perkawinan yang dilarang dalam ajaran
Islam.7
Dengan demikian, perkawinan baru yang dilakukan setelah
proses perceraian yang ilegal menurut KHI memiliki status tidak sah
dalam konteks KHI. Oleh sebab itu, dari adanya status tidak sahnya
perkawinan baru pasca perceraian ilegal tersebut, status anak hasil
perkawinan yang baru juga akan terkena dampaknya, yakni menjadi
anak yang tidak sah menurut KHI. Hal ini didasarkan pada ketentuan
Pasal 99 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang
7 Mengenai sebab larangan poliandri dalam Islam dapat dilihat secara lebih jelas dalam
beberapa literer yakni: Rachmat Ramadhana al-Banjary dan Anas al-Djohan Yahya, Hikmahnya Poligami: Mengapa AA Gym Menikah Lagi? Menangkap Hikmah di Balik Tabir Poligami, Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2007, hlm. 4-11; Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007, hlm. 55-57.
76
lahir dalam atau akibat dari perkawinan yang sah. Sehingga karena
perkawinan baru pasca perceraian yang ilegal adalah tidak sah menurut
KHI, maka status anak yang dihasilkannya juga menjadi tidak sah
menurut KHI.
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Implikasi Praktek Perceraian di
Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
Dasar hukum yang paling mendasar yang dapat digunakan untuk
“menilai” penggunaan hukum yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Penaruban. Ayat tersebut tidak lain adalah surat an-Nisa ayat 59:
وا الرسول وأولي الأمر منكم يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعفإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن آنتم تؤمنون
بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا”Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam firman tersebut sangat jelas bahwa ada tiga tingkatan ketaatan
hukum yang harus ditaati oleh umat Islam, yakni:
1. Ketaatan kepada Allah
2. Ketaatan kepada rasul-rasul Allah
3. Ketaatan kepada ulil amri (pemerintahan)
Berdasar pada penjelasan tersebut, umat Islam harus menaati ulil amri
sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah. Maksud dari ulil amri adalah suatu
pemerintahan yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia.
Salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan
77
menjalankan produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat
manusia.
Implikasi dari firman tersebut pada kasus yang menjadi obyek masalah
pada makalah ini adalah pelaksanaan dasar hukum perceraian yang menjadi
dasar perceraian di Indonesia di kalangan umat Islam. Jika menelaah proses
terbentuknya hukum acuan perceraian yang dilakukan oleh para ulama
Indonesia (MUI), maka hasil hukum tersebut dapat disebut sebagai hasil
ijtihad. Ijtihad sendiri dalam konteks hukum Islam dapat menjadi bahan
sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadis.8 Jadi secara tidak langsung
firman di atas juga memiliki indikasi tentang tata urut sumber hukum yang
dapat digunakan oleh umat Islam.
Pada praktek cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Penaruban dasar hukum pelaksanaan cerai di luar Pengadilan
Agama yang digunakan oleh masyarakat Desa Penaruban adalah dasar
perceraian yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni dapat dilakukan di
depan orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum perkawinan Islam.
Menurut penulis, dasar hukum al-Qur’an memang menjadi dasar dari segala
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia (umat Islam), termasuk
dalam hal proses perceraian.
Namun jika merujuk pada kedudukan hukum perceraian yang ada di
Indonesia dan didasarkan pada firman Q.S. an-Nisa ayat 59 di atas, maka
8 Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, loc. cit.
78
menurut penulis hukum yang telah terbentuk dalam suatu negara – selama
dalam pembentukan dan pembangunan hukumnya tidak menyalahi tata aturan
dalam Islam – dapat dijadikan sebagai landasan dalam perbuatan hukum umat
manusia. Dengan demikian, proses perceraian yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal dalam konteks hukum
Islam dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam karena
adanya unsur pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lainnya.
Selain karena adanya pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lain,
kekurangsesuaian praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal dengan hukum Islam karena lebih cenderung
menimbulkan madlarat daripada menghasilkan manfaat. Menurut penulis,
unsur madlarat yang terkandung dalam praktek perceraian masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut:
1. Tidak jelasnya status suami-isteri
Adanya perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Penaruban berdampak pada tidak adanya status yang
jelas bagi pasangan yang bercerai. Maksudnya adalah bahwa tidak adanya
surat cerai yang sah dari pemerintah kepada pasangan yang bercerai akan
menjadikan pasangan tersebut tidak memiliki kejelasan terkait dengan
hubungan keduanya. Dampak ini akan menimbulkan permasalahan yang
tidak kecil bagi pasangan yang telah bercerai serta keluarga dari masing-
masing pasangan. Misal saja manakala salah satu dari pasangan yang
bercerai tersebut terlibat dalam hutang yang “resmi” yang mana pada saat
79
hutang tersebut masih berstatus sebagai pasangan dari suami atau isteri
seseorang. Apabila tidak ada kejelasan status, terlebih lagi tidak adanya
legalitas hukum perceraian, maka akan mempersulit proses penyelesaian
masalah hutang piutang tersebut.
Begitu pula sebaliknya, hal yang sama akan terjadi manakala salah
satu pasangan memiliki piutang kepada orang lain, apalagi jika saat proses
hutang tersebut dilakukan oleh pihak penghutang atas nama keluarga saat
belum bercerai. Dengan adanya perceraian di luar Pengadilan Agama,
maka akan timbul kebingungan dalam pembayaran hutang dari orang yang
berhutang kepada pasangan yang bercerai kaitannya kepada siapa dia
harus melunasinya. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya perceraian
yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama tidak ditunjang dengan
penjelasan mengenai pihak-pihak yang berhak melunasi hutang atau
menerima pembayaran hutang.
2. Mempersulit administrasi kependudukan negara
Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tentu tidak
terdata dalam administrasi Pengadilan Agama. Hal ini karena proses
perceraian tersebut tidak didaftarkan di Pengadilan Agama. Dampak dari
hal tersebut tentu akan menyulitkan negara dalam proses pendataan
kependudukan. Padahal di sisi lain, masalah kependudukan terkait dengan
pelaporan kegiatan kependudukan atau peristiwa penting yang dialami
oleh anggota masyarakat kepada pejabat administrasi negara. Hal ini
80
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan Pasal 3 yang berbunyi:
Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Mengenai peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 17 dalam UU yang sama sebagai berikut:
Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Berdasarkan dua pasal dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak
adanya pendataan terhadap perceraian yang dilaksanakan oleh masyarakat
Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal termasuk salah satu
tindakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.9
3. Perlindungan anak pasca perceraian
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di
jelaskan tentang perlindungan anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran
9 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
81
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku
dikenakan pemberatan hukuman.
Mengenai kewajiban orang tua telah diatur pada pasal 26 yaitu: (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku10.
Dengan demikian, selain karena adanya pertentangan nash, praktek
perceraian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penaruban Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal lebih cenderung menyebabkan timbulnya
tindakan pelanggaran hukum yang berakibat pada kerugian bagi negara.
Oleh sebab itu, akan lebih baik lagi jika masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal lebih menggunakan dasar legalitas
perceraian yang disahkan oleh negara dalam KHI dan meninggalkan
praktek perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada
10 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
82
kaidah hukum Islam yang menjelaskan perlunya penerapan hukum tidak
menimbulkan madlarat dan bahkan sebaliknya penerapan hukum harus
dapat membuang madlarat sebagaimana kaidah hukum Islam yang
berbunyi:
يزالالضرر”Madlarat itu harus dihilangkan”
Berdasarkan kaidah tersebut, maka penerapan hukum yang
ideal bagi masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal dalam praktek perceraian adalah hukum yang termaktub dalam
Kompilasi Hukum Islam agar menghilangkan madlarat bagi pemerintah.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan yang menjadi faktor melakukan cerai di luar Pengadilan Agama di
Desa Penaruban adalah faktor agama dan kemudahan dalam proses
perceraiannya
2. Pelaksanaan cerai di masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dalam
konteks hukum Islam memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai
dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup
hukum Islam (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal di luar Pengadilan
Agama tidak ada pertentangan dengan hukum tersebut sehingga tetap
dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut
(perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan
yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum
Islam terapan di Indonesia (KHI), perceraian masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal yang dilakukan di luar Pengadilan
Agama dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan
perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Status
84
tidak sah tersebut sekaligus juga berimbas pada perbuatan yang
diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan baru dan anak hasil dari
perkawinan yang baru pasca perceraian) ikut menjadi tidak sah menurut
KHI.
3. Implikasi dari praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban adalah
timbulnya tindakan pelanggaran hukum terkait dengan tata administrasi
kenegaraan yang menjadi kewajiban masing-masing anggota masyarakat
sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan yang berdampak pada kerugian bagi negara. Serta dalam
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di jelaskan tentang
perlindungan anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2). Penerapan hukum yang
ideal bagi masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal kaitannya dengan praktek perceraian adalah dengan menjadikan
KHI sebagai dasar hukum praktek perceraian di masyarakat Desa
Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Hal ini untuk
menghindarkan madlarat yang diakibatkan dari adanya pertentangan nash
dalam praktek perceraian masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal dan madlarat terkait dengan pendataan kependudukan
bagi pemerintah. Selain itu, penerapan KHI juga berkesesuaian dengan
kaidah penerapan hukum yang menyebutkan bahwa penerapan hukum
harus dapat membuang madlarat (الضرر يزال).
85
B. Saran
Dari hasil penelitian dapat terlihat adanya kekurang pahaman
masyarakat terhadap yurisprudensi hukum Indonesia pada masyarakat Desa
Penaruban sehingga terjadi praktek perceraian yang kurang sesuai dengan
ketentuan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sosialisasi di
bidang hukum khususnya pada masyarakat Desa Penaruban dan umumnya
pada masyarakat yang masih mengalami keadaan tersebut.
C. Penutup
Demikian hasil penelitian berupa skripsi yang dapat penulis susun.
Bercermin pada kata bijak bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, maka
saran dan kritik yang membangung sangat penulis harapkan demi perbaikan
karya ilmiah ini dan karya-karya ilmiah penulis selanjutnya. Akhirnya,
semoga di balik ketidaksempurnaannya, karya ilmiah ini dapat memberikan
secercah manfaat bagi kita semua. Amin.