tinjauan pustaka 2.1 kota dan permukiman · data dasar lingkungan perumahan menurut tata cara...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kota dan Permukiman
Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh
batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi
oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Kota memiliki berbagai unsur dan
komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti
perumahan dan prasaran umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat
terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan
kota. Di samping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam
memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada satu
unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka
kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit
yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995).
Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a)
wilayah pengembangan di mana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara
optimal, (b) wilayah kendala di mana pengembangan kawasan terbangun dapat
dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c)
wilayah limit di mana peruntukannya hanya untuk menjaga kualitas alam,
sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH
menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada
wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga
kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi
kelestarian alam.
Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya
waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan
penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di
perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai
dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan
efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai
fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan barbagai fasilitas sosial,
seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah
5
menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkannya kemampuan
lingkungan perkotaan dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang
dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998).
Penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah
perubahan cuaca dan musim yaitu dalam hal peningkatan suhu, pencemaran
udara, perubahan musim, menurunnya permukaan air tanah, banjir, intrusi air laut,
serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan
oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota,
pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya.
Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor
percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang
keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor
akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar
membutuhkan ruang sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang
yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap. Tabel di bawah ini menunjukkan
klasifikasi kepadatan penduduk dan hubungannya dengan kebutuhan lahan yang
mengindikasikan tingkat reduksi lahan di kawasan perkotaan
Tabel 1 Faktor Reduksi Kebutuhan Lahan untuk Sarana Lingkungan Berdasarkan
Kepadatan Penduduk
Klasifikasi
Kawasan
Kepadatan
Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat
Kepadatan
penduduk < 150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 201-400 jiwa/ha >400 jiwa/ha
Reduksi terhadap
kebutuhan lahan - - 15% (maksimal) 30% (maksimal)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, 2004.
Luas wilayah tertentu memiliki kemampuan menampung penduduk
dengan kapasitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Berikut ini merupakan
data dasar lingkungan perumahan menurut Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan (2004):
- 1 RT : terdiri dari 150 – 250 jiwa penduduk
- 1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 – 10 RT
- 1 kelurahan (≈ lingkungan) : (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10 – 12 RW
6
- 1 kecamatan : (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4 – 6 kelurahan setiap
lingkungan
- 1 kota : terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan
Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi namun
menurun secara ekologis, padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara
ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan
perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama
yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu
dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan
kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan
kebutuhan kota terkait.
2.2 Ruang Terbuka Hijau
Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun
introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural
yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.
Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)
maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun
areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang
terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai
ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau
tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan
pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Tujuan dibentuk atau
disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain:
1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana
lingkungan perkotaan.
2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang
berguna bagi kepentingan manusia.
7
2.2.1 Tipologi
Ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologinya, yaitu
fisik, fungsi, struktur, dan kepemilikan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 di
bawah ini.
Gambar 2 Tipologi RTH
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, 2008.
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami terdiri atas daerah
hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau yang dilindungi agar
tetap dalam kondisi alami (protected areas), dan daerah hijau yang difungsikan
sebagai taman publik tetapi tetap dengan mempertahankan karakter alam sebagai
basis tamannya (natural park areas). RTH nonalami terdiri atas daerah hijau di
perkotaan yang dibangun sebagai taman kota (urban park areas), daerah hijau
yang dibangun dengan fungsi rekreasi bagi warga kota (recreational areas), dan
daerah hijau antarbangunan maupun halaman-halaman bangunan yang digunakan
sebagai area penghijauan. Kini RTH kota mengalami degradasi fungsi dan
kualitas akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan nonalami atau
binaan. RTH alami (basic nature) merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH
binaan (second hand nature), pengembangannya lebih diarahkan pada fungsi
sosial dan estetika sehingga fungsi ekologisnnya kurang optimal (Joga dan
Ismaun, 2011).
8
Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika,
dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis
(mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti
hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke
dalam RTH publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH
privat adalah sebagaimana Tabel 2 berikut.
No. Jenis RTH Publik RTH Privat
1 RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah tinggal V
b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat
usaha
V
c. Taman atap bangunan V
2 RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT V V
b. Taman RW V V
c. Taman kelurahan V V
d. Taman kecamatan V V
e. Taman kota V
f. Sabuk hijau V
3 RTH jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan V V
b. Jalur pejalan kaki V V
c. Ruang di bawah jalan layang V
4 RTH Fungsi Tertentu
a. RTH sempadan rel kereta V
b. Jalur hijau jaringan listrik tekanan tinggi V
c. RTH sempadan sungai V
d. RTH sempadan pantai V
e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air V
f. Pemakaman V
Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
1. Pekarangan
Pekarangan adalah lahan yang kepemilikannya jelas, berada di sekeliling
rumah dan biasanya ditanami dengan kombinasi tanaman tahunan dan tanaman
keras. Menurut Arifin (2009) pekarangan didefinisikan sebagai lahan yangada di
sekitar rumah dengan batas kepemilikan yang jelas dan ditumbuhi berbagai jenis
tanaman serta dimanfaatkan untuk kepentingan kekerabatan dan kegiatan sosial.
Pekarangan merupakan tipe taman Indonesia yang memiliki keragaman struktur
yang kompleks, memiliki dimensi fungsi ekobiologis serta dimensi estetik.
Soemarwoto dan Soemarwoto (1981) berpendapat bahwa pekarangan adalah
Tabel 2 Jenis dan Kepemilikan RTH
9
lahan yang merupakan sistem integrasi dari berbagai elemen lunak, keras, dan
manusia dalam lingkungan tersebut.
Berdasarkan fungsinya, pekarangan dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
i. Produksi
Berbagai tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan,
industri, sayuran, rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen. Selain itu
memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan
mineral dapat pula memberikan pendapatan (Arifin, 2009).
ii. Sosial Budaya
Menurut Abdoellah (1991), dalam usaha memenuhi berbagai kebutuhannya,
pemilik terkadang memilih elemen penyusun pekarangan yang disesuaikan
dengan kebutuhan bersosial ataupun kebutuhan lainnya dan berhubungan dengan
kebiasaan setempat.
iii. Estetika
Pekarangan dengan pemilihan tanamannya merupakan wujud dari kreativitas,
imajinasi, kewirausahaan, dan rasa estetik pemiliknya. Penanaman pekarangan
dengan tanaman ornamental akan menciptakan nuansa tersendiri bagi rumah yang
berada di dalamnya.
iv. Ekologi.
Fungsi ini terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Konservasi, jenis tumbuhan yang beragam pada pekarangan menghasilkan
keanekaragaman yang tinggi dan bermacam ketinggian tanaman. Selain berguna
untuk pengoptimalan penggunaan sinar matahari, strata juga berfungsi untuk
menahan air hujan yang berenergi kinetik tinggi agar tidak langsung mengenai
tanah dan mengikis lapisan humusnya. Air akan terlebih dahulu mengenai daun
tumbuhan tertinggi, kemudian jatuh ke daun yang berada di bawahnya, sehingga
energi kinetik air hujan berkurang. Banyaknya tumbuhan pada pekarangan
menyebabkan air yang diserap oleh akar tidak langsung menghilang sebagai aliran
permukaan.
b. Sumber kekayaan genetik, kekayaan genetik atau keanekaragaman hayati
dideskripsikan sebagai jumlah, variasi dari organisme pada semua tingkatan
organisasi, dari genetik, populasi, dan tingkatan spesies pada suatu ekosistem.
10
Menurut Abdoellah (1990) dalam Whitten (1999), pekarangan merupakan sumber
plasma nutfah utama yang dinamis dan sangat penting.
2. Halaman fasilitas umum dan fasilitas sosial
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, yang dimaksud dengan fasilitas umum
adalah fasilitas bangunan yang dapat menampung kepentingan dan kebutuhan
aktivitas masyarakat umum secara luas, meliputi:
a. fasilitas kesehatan: rumah sakit, puskesmas, apotek
b. fasilitas peribadatan: masjid, gereja, vihara, klenteng
c. fasilitas kebudayaan: museum, perpustakaan
d. fasilitas informasi dan telekomunikasi: Telkom
e. fasilitas keuangan: perbankan, money changer
f. fasilitas transportasi: penjualan tiket angkutan umum
3. Jalur hijau
Lanskap jalan adalah wajah dari karekter lahan atau tapak yang terbentuk
pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alamiah seperti
bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang
terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi
lahannya. Lanskap jalan haruslah mempunyai ciri khas karena harus disesuaikan
dengan persyaratan geometrik jalan dan khas karena harus disesuaikan dengan
persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi bagi kenyamanan
pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah,
nyaman, dan memenuhi fungsi kaeamanan. Jalur hijau tanaman adalah jalur
penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam Daerah
Milik Jalan (Damija) maupun di dalam Daerah Pengawas Jalan (Dawasja). Sering
disebut jalur hijau karena didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang
pada umumnya berwarna hijau (Dinas Pekerjaan Umum, 1996)
Tepi, median, dan pulau jalan dapat berupa taman atau nontaman, namun
apabila dikaitkan dengan potensi jalur hijau jalan sebagai ruang terbuka hijau
kota, maka bentuk yang diharapkan adalah adanya vegetasi sebagai pengisi ruang
11
tersebut. Median jalan adalah ruang terbuka hijau berupa jalur pemisah yang
membagi jalan menjadi dua kalur atau lebih. Sedangkan pulau jalan adalah ruang
terbuka hijau yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga
atau bundaran jalan.
Tanaman merupakan soft materials dalam lanskap dan peletakannya
sebagai pelengkap jalan, tanaman berfungsi untuk membedakan area melalui
kualitas lanskap yang unik, melapisi jalur lalu lintas dan memperkuat jajaran path
dan jalan raya, memberikan penekanan pada nodes jalur lalu lintas, memberikan
peneduhan dan daya tarik, screen atau menutupi pemandangan yang jelek,
menghilangkan kesilauan serta mengurangi kebisingan suara. Pada persimpangan
jalan harus bersih, tidak boleh ditempatkan tanaman yang dapat menutupi
pandangan pemakai jalan untuk alasan keselamatan (Simonds, 2006).
4. Bantaran sungai
Sempadan sungai/bantaran sungai adalah lahan pada kanan dan kiri badan
sungai yang ditumbuhi oleh vegetasi alami spesifik (riparian) dan dipengaruhi
oleh batuan dasar sebagai bagian dari struktur sungai. Sempadan sungai sering
disebut dengan bantaran sungai walau terdapat perbedaan. Bantaran sungai adalah
daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir, sedangkan sempadan sungai
adalah daerah bataran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (land sliding)
yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar keamanan yang
diperlukan kaitannya dengan letak sungai (misal areal permkiman-
nonpermukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan hidraulis
sungai yang penting (Maryono, 2005). Bantaran sungai merupakan bagian dari
sungai, merupakan lahan pada kanan dan kiri sungai, terletak mulai batas datar
tebing sungai menjauh dari badan sungai ke arah daratan. Peranan fungsinya
cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan
dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan
yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu
mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau.
Berdasarkan Kepres No. 32 tahun 1990, di wilayah perkotaan ditetapkan
minimal 50 meter pada kanan dan kiri badan sungai, sedangkan di luar daerah
12
perkotaan ditetapkan 100 meter. Walaupun demikian masih banyak
ketidaksesuaian dengan batas ketetapan karena okupasi penduduk.
5. Bantaran rel kereta api
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan
perkotaan, penyediaan ruang terbuka hijau pada bentaran rel kereta api memiliki
fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan
kereta api. RTH Jalur Sempadan Rel Kereta Api berfungsi sebagai peresap air,
peredam kebisingan, pengaman, dan konservasi flora.
6. Pemakaman
Menurut Dahlan (2004), kuburan atau pemakaman perlu ditanami dengan
bebungaan agar menjadi semarak indah, tidak berkesan seram menakutkan,.
Lokasi ini pun perlu ditanami dengan pepohonan, agar lebih teduh, sejuk, dan
nyaman. Tanaman ditempatkan sedemikian rupa agar cukup teduh, tapi tidak
terlalu gelap. Jika terlalu gelap, akan menimbulkan kesan menakutkan dan juga
setelah hujan akan tetap becek. Sinar matahari tidak dapat menyinari tanah dengan
baik karena terhalangi oleh tajuk pohon yang terlalu rapat.
2.2.2 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan
a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai
berikut:
ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;
proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang
terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka
hijau privat;
apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah
memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku,
maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.
13
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan
udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan
nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai
secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal.
b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan
dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas
RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. Tabel 3 menampilkan standar
penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk tertentu.
c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau
pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya
alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan
agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau
sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan
perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan
RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
14
Tabel 3 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
No. Unit
Lingkungan Tipe RTH
Luas
minimal/unit
(m2)
Luas
minimal/kapita
(m2)
Lokasi
1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah
lingkungan RT
2 2.500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat
kegiatan RW
3 30.000 jiwa Taman
Kelurahan
9.000 0,3 Dikelompokkan
dengan
sekolah/pusat
kecamatan
4 120.000 jiwa Taman
kecamatan
24.000 0,2 Dikelompokkan
dengan
sekolah/pusat
kecamatan
Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar
5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat
wilayah/kota
Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/
kawasan
pinggiran
Untuk fungsi-
fungsi
tertentu
disesuaikan 12,5 Disesuaikan
dengan
kebutuhan
Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
2.2.3 Manfaat
Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar
bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH menurut SNI 03-1733-2004
tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, antara lain:
1. meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan
yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis,
2. mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial
antar penggunanya,
3. menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan,
4. menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan
pejalan kaki,
5. mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan.
15
2.2.4 Syarat Vegetasi di Perkotaan
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang
telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan
peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan
industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga
berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang
berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka
sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi
penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis
yang akan ditanam (Anonim dalam Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem
RTH di Perkotaan, 2005)
Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan menurut
Anonim pada makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan,
antara lain: (a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota; (b) Mampu
tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang
tercemar); (c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme); (d) Perakaran dalam
sehingga tidak mudah tumbang; (e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias
dan arsitektural; (f) Dapat menghasilkan oksigen dan meningkatkan kualitas
lingkungan kota; (g) Bibit atau benih mudah didapatkan dengan harga yang murah
(terjangkau) oleh masyarakat; (h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik
(lokal); (i) Keanekaragaman hayati.
Agar dapat berfungsi dalam arsitektur lanskap, terdapat beberapa kriteria
tanaman yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Pengontrol visual
Tanaman pagar yang rapat dan mempunyai ketinggian lebih dari 1,8 meter
dapat menciptakan suasana pribadi dan agar dapat menghalangi sinar secara
efektif, tanaman harus diletakkan pada tempat yang strategis antara sumber
sinar dengan area yang akan dilindungi (Carpenter et al., 1975). Efektifitas
tanaman dalam mengontrol sinar, baik sinar langsung maupun sinar pantulan
tergantung dari ukuran tanaman, ketinggian tanaman dan kepadatan daun
(Grey dan Deneke, 1978)
2. Pembatas fisik
16
Penghalang fisik bagi manusia dan hewan diberikan oleh tanaman yang
berketinggian antara 0,9 – 1,8 meter. Tanaman dengan ketinggian lebih dari
1,8 meter selain dapat menciptakan penghalang fisik yang baik, juga dapat
digunakan sebagai pengontrol visual (Carpenter et al., 1975). Grey dan
Deneke (1978) menambahkan bahwa tanaman yang berduri dapat
menghalangi pergerakan.
3. Pengontrol suhu
Radiasi matahari berpengaruh terhadap suhu lingkungan. Efektifitas
pepohonan dalam menangkap radiasi matahari tergantung pada kepadatan
daun, bentuk daun, dan pola percabangan Grey dan Deneke (1978)
menyatakan bahwa pohon yang memiliki batas kanopi tinggi berguna dalam
menangkap radiasi matahari. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk
menghalangi sinar dan menurunkan temperatur adalah: a) tajuk lebar, b)
bentuk daun lebar, dan c) ketinggian kanopi lebih dari 2 meter
4. Penahan angin
Tanaman dapat mengontrol angin dengan cara menghalangi, mengarahkan
atau memperkuat angin (Carpenter et al., 1975). Efektifitas penanamannya
sebagai penahan angin ditentukan oleh tinggi tanaman, lebar penanaman, dan
kerapatan daun. Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tingkat proteksi
suatu area oleh angin tergantung pada tinggi pohon. Angin yang mempunyai
arah tegak lurus terhadap deretan tanaman penahan angin gerakannya akan
akan dipengaruhi sampai pada jarak 5 – 10 kali tinggi tanaman penghalang
pada ruang dekat pohon dan sampai 30 kali tinggi tanaman pada bagian
belakang. Lebar tanaman dan mudah tidaknya tanaman ditembus angin
tergantung dari pengaturan tanaman yang baik agar dapat menahan angin,
yaitu dengan mengkombinasikan antara pohon dan semak. Selain itu
tanaman penghalang angin juga dapat mempengaruhi suhu daerah di
belakangnya (Crockett, 1971).
5. Pengontrol Presipitasi dan Kelembaban
Kriteria tanaman yang dapat menangkap jatuhnya air hujan dan mengontrol
pergerakan air ke tanah adalah tanaman berdaun jarum atau berdaun kasar
(berambut), pola percabangan horizontal dan tekstur batang yang kasar (Grey
17
dan Deneke, 1978). Tanaman dapat mengontrol kelembaban dengan
melepaskan air ke udara melalui transpirasi. Semakin banyak jumlah daun,
jumlah air yang dikeluarkan semakin banyak, dengan demikian kelembaban
udara semakin tinggi (Carpenter et al., 1975).
6. Pengontrol bising
Efektifitas tanaman dalam mengontrol bising tergantung dari tinggi tanaman,
kepadatan daun dan lebar penanaman. Tanaman yang mempunyai penutupan
daun sampai bawah, lebih efektif dalam mengontrol bising. Secara umum
vegetasi paling efektif digunakan utnuk mengurangi kebisingan dengan
frekuensi tinggi yang mengganggu atau berbahaya. Beberapa tanaman dengan
lebar 25 – 50 kaki dapat mengurangi suara bising dengan frekuensi tertinggi
antara 10 – 20 dB, tapi kurang efektif jika digunakan untuk mereduksi
kebisingan dengan frekuensi yang lebih rendah. Penanaman satu jenis
tanaman tidak seefektif penanaman beberapa jenis tanaman, karena
penanaman satu spesies hanya dapat menangkap suara dengan frekuensi
rendah atau tinggi saja, tapi tidak efektif dalam mereduksi suara dengan
frekuensi sedang (antara tinggi dan rendah). Selanjutnya Grey dan Deneke
(1978) menyatakan bahwa tanaman berdaun tebal, cabang, dan batang besar
dan penanaman yang rapat serta cabang-cabang yang ringan, mudah bergerak
sehingga menimbulkan suara merupakan tanaman yang efektif dalam
mengontrol kebisingan.
7. Pengontrol polusi udara
Polusi udara dapat berupa partikel debu atau gas (Grey dan Deneke, 1978).
Polutan yang berbentuk pertikel dapat ditangkap oleh daun tanaman yang
kasar dan berambut secara efektif. Partikel-partikel polutan yang terbawa
angin ditangkap oleh cabang dan dedaunan pohon. Kriteria tanaman yang
dapat digunakan untuk menyergap polutan berupa gas adalah:
a. Mempunyai pertumbuhan yang cepat
b. Tumbuh sepanjang tahun
c. Percabangan dan daun yang padat
d. Daun yang berambut
18
8. Kontrol erosi
Erosi tanah dipengaruhi oleh daya perlindungan tanah terhadap angin dan air,
karakteristik fisik tanah serta topografi. Erosi oleh angin dipengaruhi oleh
kecepatan, waktu dan arah angin, serta faktor tanah itu sendiri seperti
kelembaban, struktur fisik dan lapisan tanah. Pohon dan semak sejak lama
digunakan untuk mencegah erosi akibat angin (Grey dan Deneke, 1975).
Menurut Carpenter et al, (1985), perlindungan terbaik terhadap erosi tanah
adalah penutupan tanah dengan baik oleh vegetasi, karena tanaman dapat
mereduksi pengaruh dari hujan pada tanah pada tanah dan akarnya membantu
menangkap partikel tanah yang dapat tercuci.