tinjauan pustaka 2.1 kota dan permukiman · data dasar lingkungan perumahan menurut tata cara...

15
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Permukiman Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Kota memiliki berbagai unsur dan komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasaran umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Di samping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada satu unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995). Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan di mana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala di mana pengembangan kawasan terbangun dapat dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit di mana peruntukannya hanya untuk menjaga kualitas alam, sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam. Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan barbagai fasilitas sosial, seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah

Upload: phungkiet

Post on 07-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota dan Permukiman

Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh

batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi

oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Kota memiliki berbagai unsur dan

komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti

perumahan dan prasaran umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat

terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan

kota. Di samping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam

memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada satu

unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka

kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit

yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995).

Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a)

wilayah pengembangan di mana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara

optimal, (b) wilayah kendala di mana pengembangan kawasan terbangun dapat

dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c)

wilayah limit di mana peruntukannya hanya untuk menjaga kualitas alam,

sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH

menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada

wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga

kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi

kelestarian alam.

Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya

waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan

penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di

perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai

dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan

efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai

fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan barbagai fasilitas sosial,

seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah

5

menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkannya kemampuan

lingkungan perkotaan dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang

dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998).

Penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah

perubahan cuaca dan musim yaitu dalam hal peningkatan suhu, pencemaran

udara, perubahan musim, menurunnya permukaan air tanah, banjir, intrusi air laut,

serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan

oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota,

pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya.

Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor

percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang

keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor

akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar

membutuhkan ruang sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang

yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap. Tabel di bawah ini menunjukkan

klasifikasi kepadatan penduduk dan hubungannya dengan kebutuhan lahan yang

mengindikasikan tingkat reduksi lahan di kawasan perkotaan

Tabel 1 Faktor Reduksi Kebutuhan Lahan untuk Sarana Lingkungan Berdasarkan

Kepadatan Penduduk

Klasifikasi

Kawasan

Kepadatan

Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat

Kepadatan

penduduk < 150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 201-400 jiwa/ha >400 jiwa/ha

Reduksi terhadap

kebutuhan lahan - - 15% (maksimal) 30% (maksimal)

Sumber: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, 2004.

Luas wilayah tertentu memiliki kemampuan menampung penduduk

dengan kapasitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Berikut ini merupakan

data dasar lingkungan perumahan menurut Tata Cara Perencanaan Lingkungan

Perumahan di Perkotaan (2004):

- 1 RT : terdiri dari 150 – 250 jiwa penduduk

- 1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 – 10 RT

- 1 kelurahan (≈ lingkungan) : (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10 – 12 RW

6

- 1 kecamatan : (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4 – 6 kelurahan setiap

lingkungan

- 1 kota : terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan

Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi namun

menurun secara ekologis, padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara

ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan

perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama

yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu

dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan

kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan

kebutuhan kota terkait.

2.2 Ruang Terbuka Hijau

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari

ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun

introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural

yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.

Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)

maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun

areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang

terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai

ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau

tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan

pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Tujuan dibentuk atau

disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain:

1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana

lingkungan perkotaan.

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang

berguna bagi kepentingan manusia.

7

2.2.1 Tipologi

Ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologinya, yaitu

fisik, fungsi, struktur, dan kepemilikan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 di

bawah ini.

Gambar 2 Tipologi RTH

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, 2008.

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami terdiri atas daerah

hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau yang dilindungi agar

tetap dalam kondisi alami (protected areas), dan daerah hijau yang difungsikan

sebagai taman publik tetapi tetap dengan mempertahankan karakter alam sebagai

basis tamannya (natural park areas). RTH nonalami terdiri atas daerah hijau di

perkotaan yang dibangun sebagai taman kota (urban park areas), daerah hijau

yang dibangun dengan fungsi rekreasi bagi warga kota (recreational areas), dan

daerah hijau antarbangunan maupun halaman-halaman bangunan yang digunakan

sebagai area penghijauan. Kini RTH kota mengalami degradasi fungsi dan

kualitas akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan nonalami atau

binaan. RTH alami (basic nature) merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH

binaan (second hand nature), pengembangannya lebih diarahkan pada fungsi

sosial dan estetika sehingga fungsi ekologisnnya kurang optimal (Joga dan

Ismaun, 2011).

8

Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika,

dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis

(mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti

hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke

dalam RTH publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH

privat adalah sebagaimana Tabel 2 berikut.

No. Jenis RTH Publik RTH Privat

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal V

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat

usaha

V

c. Taman atap bangunan V

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT V V

b. Taman RW V V

c. Taman kelurahan V V

d. Taman kecamatan V V

e. Taman kota V

f. Sabuk hijau V

3 RTH jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan V V

b. Jalur pejalan kaki V V

c. Ruang di bawah jalan layang V

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta V

b. Jalur hijau jaringan listrik tekanan tinggi V

c. RTH sempadan sungai V

d. RTH sempadan pantai V

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air V

f. Pemakaman V

Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan

1. Pekarangan

Pekarangan adalah lahan yang kepemilikannya jelas, berada di sekeliling

rumah dan biasanya ditanami dengan kombinasi tanaman tahunan dan tanaman

keras. Menurut Arifin (2009) pekarangan didefinisikan sebagai lahan yangada di

sekitar rumah dengan batas kepemilikan yang jelas dan ditumbuhi berbagai jenis

tanaman serta dimanfaatkan untuk kepentingan kekerabatan dan kegiatan sosial.

Pekarangan merupakan tipe taman Indonesia yang memiliki keragaman struktur

yang kompleks, memiliki dimensi fungsi ekobiologis serta dimensi estetik.

Soemarwoto dan Soemarwoto (1981) berpendapat bahwa pekarangan adalah

Tabel 2 Jenis dan Kepemilikan RTH

9

lahan yang merupakan sistem integrasi dari berbagai elemen lunak, keras, dan

manusia dalam lingkungan tersebut.

Berdasarkan fungsinya, pekarangan dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

i. Produksi

Berbagai tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan,

industri, sayuran, rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen. Selain itu

memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan

mineral dapat pula memberikan pendapatan (Arifin, 2009).

ii. Sosial Budaya

Menurut Abdoellah (1991), dalam usaha memenuhi berbagai kebutuhannya,

pemilik terkadang memilih elemen penyusun pekarangan yang disesuaikan

dengan kebutuhan bersosial ataupun kebutuhan lainnya dan berhubungan dengan

kebiasaan setempat.

iii. Estetika

Pekarangan dengan pemilihan tanamannya merupakan wujud dari kreativitas,

imajinasi, kewirausahaan, dan rasa estetik pemiliknya. Penanaman pekarangan

dengan tanaman ornamental akan menciptakan nuansa tersendiri bagi rumah yang

berada di dalamnya.

iv. Ekologi.

Fungsi ini terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Konservasi, jenis tumbuhan yang beragam pada pekarangan menghasilkan

keanekaragaman yang tinggi dan bermacam ketinggian tanaman. Selain berguna

untuk pengoptimalan penggunaan sinar matahari, strata juga berfungsi untuk

menahan air hujan yang berenergi kinetik tinggi agar tidak langsung mengenai

tanah dan mengikis lapisan humusnya. Air akan terlebih dahulu mengenai daun

tumbuhan tertinggi, kemudian jatuh ke daun yang berada di bawahnya, sehingga

energi kinetik air hujan berkurang. Banyaknya tumbuhan pada pekarangan

menyebabkan air yang diserap oleh akar tidak langsung menghilang sebagai aliran

permukaan.

b. Sumber kekayaan genetik, kekayaan genetik atau keanekaragaman hayati

dideskripsikan sebagai jumlah, variasi dari organisme pada semua tingkatan

organisasi, dari genetik, populasi, dan tingkatan spesies pada suatu ekosistem.

10

Menurut Abdoellah (1990) dalam Whitten (1999), pekarangan merupakan sumber

plasma nutfah utama yang dinamis dan sangat penting.

2. Halaman fasilitas umum dan fasilitas sosial

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010

tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, yang dimaksud dengan fasilitas umum

adalah fasilitas bangunan yang dapat menampung kepentingan dan kebutuhan

aktivitas masyarakat umum secara luas, meliputi:

a. fasilitas kesehatan: rumah sakit, puskesmas, apotek

b. fasilitas peribadatan: masjid, gereja, vihara, klenteng

c. fasilitas kebudayaan: museum, perpustakaan

d. fasilitas informasi dan telekomunikasi: Telkom

e. fasilitas keuangan: perbankan, money changer

f. fasilitas transportasi: penjualan tiket angkutan umum

3. Jalur hijau

Lanskap jalan adalah wajah dari karekter lahan atau tapak yang terbentuk

pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alamiah seperti

bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang

terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi

lahannya. Lanskap jalan haruslah mempunyai ciri khas karena harus disesuaikan

dengan persyaratan geometrik jalan dan khas karena harus disesuaikan dengan

persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi bagi kenyamanan

pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah,

nyaman, dan memenuhi fungsi kaeamanan. Jalur hijau tanaman adalah jalur

penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam Daerah

Milik Jalan (Damija) maupun di dalam Daerah Pengawas Jalan (Dawasja). Sering

disebut jalur hijau karena didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang

pada umumnya berwarna hijau (Dinas Pekerjaan Umum, 1996)

Tepi, median, dan pulau jalan dapat berupa taman atau nontaman, namun

apabila dikaitkan dengan potensi jalur hijau jalan sebagai ruang terbuka hijau

kota, maka bentuk yang diharapkan adalah adanya vegetasi sebagai pengisi ruang

11

tersebut. Median jalan adalah ruang terbuka hijau berupa jalur pemisah yang

membagi jalan menjadi dua kalur atau lebih. Sedangkan pulau jalan adalah ruang

terbuka hijau yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga

atau bundaran jalan.

Tanaman merupakan soft materials dalam lanskap dan peletakannya

sebagai pelengkap jalan, tanaman berfungsi untuk membedakan area melalui

kualitas lanskap yang unik, melapisi jalur lalu lintas dan memperkuat jajaran path

dan jalan raya, memberikan penekanan pada nodes jalur lalu lintas, memberikan

peneduhan dan daya tarik, screen atau menutupi pemandangan yang jelek,

menghilangkan kesilauan serta mengurangi kebisingan suara. Pada persimpangan

jalan harus bersih, tidak boleh ditempatkan tanaman yang dapat menutupi

pandangan pemakai jalan untuk alasan keselamatan (Simonds, 2006).

4. Bantaran sungai

Sempadan sungai/bantaran sungai adalah lahan pada kanan dan kiri badan

sungai yang ditumbuhi oleh vegetasi alami spesifik (riparian) dan dipengaruhi

oleh batuan dasar sebagai bagian dari struktur sungai. Sempadan sungai sering

disebut dengan bantaran sungai walau terdapat perbedaan. Bantaran sungai adalah

daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir, sedangkan sempadan sungai

adalah daerah bataran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (land sliding)

yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar keamanan yang

diperlukan kaitannya dengan letak sungai (misal areal permkiman-

nonpermukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan hidraulis

sungai yang penting (Maryono, 2005). Bantaran sungai merupakan bagian dari

sungai, merupakan lahan pada kanan dan kiri sungai, terletak mulai batas datar

tebing sungai menjauh dari badan sungai ke arah daratan. Peranan fungsinya

cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan

dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan

yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu

mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau.

Berdasarkan Kepres No. 32 tahun 1990, di wilayah perkotaan ditetapkan

minimal 50 meter pada kanan dan kiri badan sungai, sedangkan di luar daerah

12

perkotaan ditetapkan 100 meter. Walaupun demikian masih banyak

ketidaksesuaian dengan batas ketetapan karena okupasi penduduk.

5. Bantaran rel kereta api

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008

tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan

perkotaan, penyediaan ruang terbuka hijau pada bentaran rel kereta api memiliki

fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan

kereta api. RTH Jalur Sempadan Rel Kereta Api berfungsi sebagai peresap air,

peredam kebisingan, pengaman, dan konservasi flora.

6. Pemakaman

Menurut Dahlan (2004), kuburan atau pemakaman perlu ditanami dengan

bebungaan agar menjadi semarak indah, tidak berkesan seram menakutkan,.

Lokasi ini pun perlu ditanami dengan pepohonan, agar lebih teduh, sejuk, dan

nyaman. Tanaman ditempatkan sedemikian rupa agar cukup teduh, tapi tidak

terlalu gelap. Jika terlalu gelap, akan menimbulkan kesan menakutkan dan juga

setelah hujan akan tetap becek. Sinar matahari tidak dapat menyinari tanah dengan

baik karena terhalangi oleh tajuk pohon yang terlalu rapat.

2.2.2 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan

a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai

berikut:

ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;

proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang

terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka

hijau privat;

apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah

memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku,

maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

13

Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan

ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan

mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan

udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan

nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai

secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal.

b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan

dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas

RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. Tabel 3 menampilkan standar

penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk tertentu.

c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau

pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya

alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan

agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau

sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan

perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan

RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

14

Tabel 3 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

No. Unit

Lingkungan Tipe RTH

Luas

minimal/unit

(m2)

Luas

minimal/kapita

(m2)

Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah

lingkungan RT

2 2.500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat

kegiatan RW

3 30.000 jiwa Taman

Kelurahan

9.000 0,3 Dikelompokkan

dengan

sekolah/pusat

kecamatan

4 120.000 jiwa Taman

kecamatan

24.000 0,2 Dikelompokkan

dengan

sekolah/pusat

kecamatan

Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar

5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat

wilayah/kota

Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/

kawasan

pinggiran

Untuk fungsi-

fungsi

tertentu

disesuaikan 12,5 Disesuaikan

dengan

kebutuhan

Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan

2.2.3 Manfaat

Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar

bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH menurut SNI 03-1733-2004

tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, antara lain:

1. meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan

yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis,

2. mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial

antar penggunanya,

3. menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan,

4. menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan

pejalan kaki,

5. mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan.

15

2.2.4 Syarat Vegetasi di Perkotaan

RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang

telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan

peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan

industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga

berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang

berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka

sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi

penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis

yang akan ditanam (Anonim dalam Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem

RTH di Perkotaan, 2005)

Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan menurut

Anonim pada makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan,

antara lain: (a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota; (b) Mampu

tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang

tercemar); (c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme); (d) Perakaran dalam

sehingga tidak mudah tumbang; (e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias

dan arsitektural; (f) Dapat menghasilkan oksigen dan meningkatkan kualitas

lingkungan kota; (g) Bibit atau benih mudah didapatkan dengan harga yang murah

(terjangkau) oleh masyarakat; (h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik

(lokal); (i) Keanekaragaman hayati.

Agar dapat berfungsi dalam arsitektur lanskap, terdapat beberapa kriteria

tanaman yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Pengontrol visual

Tanaman pagar yang rapat dan mempunyai ketinggian lebih dari 1,8 meter

dapat menciptakan suasana pribadi dan agar dapat menghalangi sinar secara

efektif, tanaman harus diletakkan pada tempat yang strategis antara sumber

sinar dengan area yang akan dilindungi (Carpenter et al., 1975). Efektifitas

tanaman dalam mengontrol sinar, baik sinar langsung maupun sinar pantulan

tergantung dari ukuran tanaman, ketinggian tanaman dan kepadatan daun

(Grey dan Deneke, 1978)

2. Pembatas fisik

16

Penghalang fisik bagi manusia dan hewan diberikan oleh tanaman yang

berketinggian antara 0,9 – 1,8 meter. Tanaman dengan ketinggian lebih dari

1,8 meter selain dapat menciptakan penghalang fisik yang baik, juga dapat

digunakan sebagai pengontrol visual (Carpenter et al., 1975). Grey dan

Deneke (1978) menambahkan bahwa tanaman yang berduri dapat

menghalangi pergerakan.

3. Pengontrol suhu

Radiasi matahari berpengaruh terhadap suhu lingkungan. Efektifitas

pepohonan dalam menangkap radiasi matahari tergantung pada kepadatan

daun, bentuk daun, dan pola percabangan Grey dan Deneke (1978)

menyatakan bahwa pohon yang memiliki batas kanopi tinggi berguna dalam

menangkap radiasi matahari. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk

menghalangi sinar dan menurunkan temperatur adalah: a) tajuk lebar, b)

bentuk daun lebar, dan c) ketinggian kanopi lebih dari 2 meter

4. Penahan angin

Tanaman dapat mengontrol angin dengan cara menghalangi, mengarahkan

atau memperkuat angin (Carpenter et al., 1975). Efektifitas penanamannya

sebagai penahan angin ditentukan oleh tinggi tanaman, lebar penanaman, dan

kerapatan daun. Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tingkat proteksi

suatu area oleh angin tergantung pada tinggi pohon. Angin yang mempunyai

arah tegak lurus terhadap deretan tanaman penahan angin gerakannya akan

akan dipengaruhi sampai pada jarak 5 – 10 kali tinggi tanaman penghalang

pada ruang dekat pohon dan sampai 30 kali tinggi tanaman pada bagian

belakang. Lebar tanaman dan mudah tidaknya tanaman ditembus angin

tergantung dari pengaturan tanaman yang baik agar dapat menahan angin,

yaitu dengan mengkombinasikan antara pohon dan semak. Selain itu

tanaman penghalang angin juga dapat mempengaruhi suhu daerah di

belakangnya (Crockett, 1971).

5. Pengontrol Presipitasi dan Kelembaban

Kriteria tanaman yang dapat menangkap jatuhnya air hujan dan mengontrol

pergerakan air ke tanah adalah tanaman berdaun jarum atau berdaun kasar

(berambut), pola percabangan horizontal dan tekstur batang yang kasar (Grey

17

dan Deneke, 1978). Tanaman dapat mengontrol kelembaban dengan

melepaskan air ke udara melalui transpirasi. Semakin banyak jumlah daun,

jumlah air yang dikeluarkan semakin banyak, dengan demikian kelembaban

udara semakin tinggi (Carpenter et al., 1975).

6. Pengontrol bising

Efektifitas tanaman dalam mengontrol bising tergantung dari tinggi tanaman,

kepadatan daun dan lebar penanaman. Tanaman yang mempunyai penutupan

daun sampai bawah, lebih efektif dalam mengontrol bising. Secara umum

vegetasi paling efektif digunakan utnuk mengurangi kebisingan dengan

frekuensi tinggi yang mengganggu atau berbahaya. Beberapa tanaman dengan

lebar 25 – 50 kaki dapat mengurangi suara bising dengan frekuensi tertinggi

antara 10 – 20 dB, tapi kurang efektif jika digunakan untuk mereduksi

kebisingan dengan frekuensi yang lebih rendah. Penanaman satu jenis

tanaman tidak seefektif penanaman beberapa jenis tanaman, karena

penanaman satu spesies hanya dapat menangkap suara dengan frekuensi

rendah atau tinggi saja, tapi tidak efektif dalam mereduksi suara dengan

frekuensi sedang (antara tinggi dan rendah). Selanjutnya Grey dan Deneke

(1978) menyatakan bahwa tanaman berdaun tebal, cabang, dan batang besar

dan penanaman yang rapat serta cabang-cabang yang ringan, mudah bergerak

sehingga menimbulkan suara merupakan tanaman yang efektif dalam

mengontrol kebisingan.

7. Pengontrol polusi udara

Polusi udara dapat berupa partikel debu atau gas (Grey dan Deneke, 1978).

Polutan yang berbentuk pertikel dapat ditangkap oleh daun tanaman yang

kasar dan berambut secara efektif. Partikel-partikel polutan yang terbawa

angin ditangkap oleh cabang dan dedaunan pohon. Kriteria tanaman yang

dapat digunakan untuk menyergap polutan berupa gas adalah:

a. Mempunyai pertumbuhan yang cepat

b. Tumbuh sepanjang tahun

c. Percabangan dan daun yang padat

d. Daun yang berambut

18

8. Kontrol erosi

Erosi tanah dipengaruhi oleh daya perlindungan tanah terhadap angin dan air,

karakteristik fisik tanah serta topografi. Erosi oleh angin dipengaruhi oleh

kecepatan, waktu dan arah angin, serta faktor tanah itu sendiri seperti

kelembaban, struktur fisik dan lapisan tanah. Pohon dan semak sejak lama

digunakan untuk mencegah erosi akibat angin (Grey dan Deneke, 1975).

Menurut Carpenter et al, (1985), perlindungan terbaik terhadap erosi tanah

adalah penutupan tanah dengan baik oleh vegetasi, karena tanaman dapat

mereduksi pengaruh dari hujan pada tanah pada tanah dan akarnya membantu

menangkap partikel tanah yang dapat tercuci.