tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · batuk, bersin, memakai tisu batuk, bersin, atau...
TRANSCRIPT
5
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pangan Asal Hewan
Bahan pangan asal hewan adalah semua produk peternakan yang belum
mengalami proses lanjutan. Daging dan telur adalah bahan makanan asal hewan.
Daging merupakan bagian-bagian dari hewan yang disembelih dan lazim dimakan
manusia, sedangkan telur adalah hasil dari unggas (SNI 01-6366-2000).
Bahan pangan asal hewan merupakan bahan makanan yang banyak
dikonsumsi manusia. Pangan asal hewan menjadi sumber makanan tidak hanya
bagi manusia tetapi juga bagi mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan bahan
makanan yang berasal dari hewan pada umumnya bersifat mudah rusak (Setiowati
& Mardiastuty 2009).
Keamanan Pangan Asal Hewan
Pangan yang tidak aman telah menjadi masalah bagi kesehatan manusia.
Diperkirakan setiap tahunnya 1.8 juta orang meninggal dikarenakan penyakit
diare dan kebanyakan kasus tersebut dikaitkan karena kontaminasi makanan
ataupun minuman (WHO 2006). Semua bahaya yang ditimbulkan dari pangan
disebut sebagai keracunan pangan. Keracunan pangan dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang mencemari pangan dan masuk ke dalam tubuh, hidup dan
berkembang biak, serta mengakibatkan infeksi pada saluran pencernaan (food
infection). Keracunan pangan juga dapat disebabkan oleh toksin/racun yang
dihasilkan oleh mikroorganisme pada pangan dan bahan kimia atau unsur alami
(BPOM 2006).
Menurut Sharif dan Al-Malki (2010), keracunan pangan dikaitkan dengan
sejumlah besar bakteri, parasit, virus, dan bahan kimia beracun. Keracunan
pangan ditandai dengan periode inkubasi yang singkat, penyakit akut, dan gejala
klinis yang khas yaitu gangguan sistem pencernaan. Kesalahan penanganan
makanan dalam tahap persiapan dan penyimpanan memainkan peranan penting
dalam terjadinya keracunan pangan (Egan et al. 2007; Karabudak et al. 2008).
World Health Organization mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB)
keracunan pangan atau dikenal dengan istilah “foodborne disease outbreak”
6
6
sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit
setelah mengonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber
penularan (BPOM 2005).
Foodborne disease dibagi atas dua jenis, yaitu foodborne infection dan
foodborne intoxication. Foodborne infection terjadi ketika manusia mengonsumsi
mikroorganisme patogen yang kemudian berkembang biak di dalam tubuh. Gejala
penyakit dapat terjadi tidak kurang dari 8 jam, namun biasanya memerlukan
waktu 2 atau 3 hari sampai berminggu-minggu untuk infeksi mikroorganisme
seperti Salmonella dan Shigella, virus norovirus atau hepatitis A, atau Giardia dan
Cryptosporidium, berkembang biak di tubuh dan menyebabkan timbulnya
penyakit (HITM 2006).
Berbeda dengan foodborne infection, foodborne intoxication terjadi karena
racun yang dibentuk oleh mikroorganisme dalam makanan. Contoh foodborne
intoxication yaitu mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh pertumbuhan
mikroorganisme pada ikan setelah mereka ditangkap, mengonsumsi racun yang
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus pada daging dan produk susu,
mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh Bacillus cereus pada sereal dan produk
susu, dan mengonsumsi racun yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum pada
daging, ikan, unggas, dan sayuran yang diproses, dikemas, dan disimpan dengan
tidak benar (HITM 2006).
Mikroorganisme penyebab keracunan seringkali secara alami terdapat
dalam makanan. Pada keadaan yang tepat satu mikroorganisme dapat tumbuh
menjadi lebih dari dua juta mikroorganisme hanya dalam waktu tujuh jam. Pada
beberapa jenis makanan mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak dengan
lebih mudah dari pada pada jenis makanan lain. Bahan makanan yang berasal dari
hewan pada umumnya bersifat mudah rusak dan berpotensi menimbulkan bahaya
bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous foods) (FR 2008; Setiowati &
Mardiastuty 2009).
Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), keamanan pangan merupakan
kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda fisik yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan merupakan kepastian
7
7
bahwa makanan tidak akan menyebabkan kerugian bagi konsumen ketika
disiapkan dan/atau dikonsumsi (CAC 2003).
Perundingan putaran Uruguai mengenai General Agreemaent on Tariffs
and Trade (GATT) yang diikuti oleh 125 negara pada tahun 1994 memiliki
dampak yang sangat luas, antara lain mencakup kesepakatan mengenai aplikasi
tindakan sanitary and phytosanitary (SPS). Kesepakatan ini mengatur tindakan
perlindungan terhadap keamanan pangan dalam bidang kesehatan hewan dan
tumbuhan yang perlu dijalankan oleh negara-negara anggota World Trade
Organization (WTO). Tujuannya adalah untuk melindungi manusia dari risiko
yang ditimbulkan oleh bahan makanan tambahan (aditif) dalam pangan, cemaran
(kontaminan), racun (toksin) atau mikroorganisme penyebab penyakit dalam
makanan atau dari penyakit zoonosis. Oleh karena itu, dalam perjanjian tersebut
ditegaskan bahwa setiap negara harus melakukan upaya untuk menjamin
keamanan pangan bagi konsumen dan mencegah penyebaran hama dan penyakit
pada hewan dan tumbuhan (Bahri 2008).
Salah satu upaya dalam menjaga keamanan pangan dapat dilakukan
dengan menjaga makanan pada zona suhu yang tepat. Gambar 1 menunjukkan
zona suhu berbahaya dalam penyimpanan bahan pangan.
Gambar 1 Zona suhu berbahaya dalam penyimpanan makanan (HR 2012).
Zona penyimpanan pada
suhu panas
Zona penyimpanan pada
suhu panas
Zona berbahaya
dalam penyimpanan bahan
pangan
Bakteri tumbuh
dan berkembang
biak
Tidak ada pertumbuhan
mikroorganisme
Pertumbuhan lambat
bagi mikroorganisme
8
8
Zona suhu yang akan membuat mikroorganisme tumbuh dan berkembang
biak disebut “Danger Zone” (zona berbahaya), yaitu dengan rentang suhu antara
4 °C sampai 60 °C (40 °F sampai 140 °F). Jika makanan disimpan dalam rentang
suhu tersebut, maka mikroorganisme akan berkembang biak dan berlipat ganda
setiap 20 menit. Oleh karena itu, penting untuk menjaga makanan dingin atau
panas dan keluar dari danger zone untuk menghentikan pertumbuhan
mikroorganisme (HR 2012).
Menurut Unusan (2007), sebagian besar kasus penyakit keracunan pangan
dapat dicegah jika prinsip-prinsip keamanan pangan diikuti dari mulai proses
produksi sampai ke konsumsi. Saat ini tidak mungkin bagi produsen makanan
untuk menjamin persediaan makanan yang bebas mikroorganisme patogen, maka
produsen makanan perlu tahu bagaimana meminimalkan kehadiran
mikroorganisme patogen atau racun dalam makanan. Selain itu, keamanan pangan
juga harus didukung oleh higiene personal, produksi, dan fasilitas.
Kantin
Kantin merupakan salah satu tempat yang menyediakan makanan bagi
banyak orang. Hal ini menjadi penting dalam manajemen kantin untuk
memberikan layanan terbaik bagi konsumen, khususnya dari segi kualitas
makanan yang disediakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya
pelatihan pengelolaan kantin dapat berkontribusi dalam penyediaan makanan yang
tidak aman bagi konsumen (Veiros et al. 2009).
Pekerja Kantin
Pekerja kantin merupakan orang yang berkontribusi dalam menangani dan
menyediakan makanan di kantin. Pekerja kantin terkadang berasal dari
masyarakat umum dengan tingkat pengetahuan yang rendah (Veiros et al. 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pekerja kantin belum
memiliki pengetahuan yang baik dalam menyediakan pangan yang aman. Tingkat
pengetahuan tersebut dapat berasosiasi dengan praktik higiene pekerja kantin,
Penelitian lain menunjukkan penyebaran mikroorganisme dapat terjadi dari tangan
pekerja kantin karena praktik higiene yang buruk. Hal ini menyebabkan bahan
9
9
pangan tersebut menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (HITM 2006), maka
penting bagi pekerja kantin untuk melakukan praktik higiene dalam penyediaan
makanan agar menjadi aman untuk dikonsumsi.
Higiene
Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada
usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang
tersebut berada (Widyati & Yuliarsih 2002).
Menurut CAC (2003), higiene pangan (food hygiene) adalah semua
kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan
makanan pada semua tahap dalam rantai makanan, sedangkan keamanan pangan
(food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada
saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya.
Higiene Personal
Menurut Hall (1999) standar higiene personal sangat terkait pada praktik
dalam menghasilkan pangan yang baik. Standar ini tidak hanya diberlakukan bagi
konsumen tetapi juga bagi orang yang menangani makanan dalam menjaga
kondisi higiene pangan. Pekerja yang menangani makanan harus memiliki
penampilan yang bersih, rapi, tanpa infeksi kulit, kebersihan gigi yang baik,
memiliki kuku pendek dan tidak memiliki kebiasaan menggigit kuku, tidak
memakai perhiasan, tidak memakai riasan wajah, memakai sepatu dan seragam
yang bersih, dan tetap berpegang pada praktik higiene yang baik (Bas et al. 2004).
Menurut CAC (2003), higiene personal dalam menangani makanan
meliputi:
a) Status kesehatan
Orang yang menderita suatu penyakit atau diduga menjadi pembawa
penyakit yang mungkin ditularkan melalui makanan, seharusnya tidak
diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan. Pemeriksaan medis
terhadap pekerja yang menangani makanan harus dilakukan jika menunjukkan
gejala secara klinis maupun epidemiologis.
10
10
b) Sakit dan Cidera
Menurut Bas et al. (2004), pekerja yang menangani makanan dapat
menjadi sumber mikroorganisme, baik selama menderita penyakit gangguan
pencernaan atau selama dan setelah masa pemulihan, meskipun tidak terlihat lagi
gejala klinisnya. Kondisi yang harus dilaporkan oleh pekerja untuk mendapatkan
pemeriksaan medis sehingga tidak dapat menangani makanan, yaitu:
Sakit kuning
Diare
Muntah
Demam
Sakit tenggorokan dengan demam
Lesio pada kulit (bisul, luka, dan lain-lain)
Discharge atau cairan yang keluar dari mata, telinga atau hidung
c) Kebersihan Personal
Pekerja yang menangani makanan dapat menyebarkan mikroorganisme
dari sumber yang terkontaminasi, misalnya dari bahan mentah ke makanan yang
telah dimasak (Bas et al. 2004). Hal ini menjadi alasan sehingga pekerja harus
selalu memperhatikan tingkat kebersihan pribadi dan bila perlu mengenakan
pakaian khusus, penutup kepala, dan alas kaki.
Menurut Hall (1999), menjaga kebersihan pakaian setiap kali memasuki
area produksi makanan merupakan standar utama yang perlu diperhatikan pada
setiap orang yang menangani makanan. Idealnya, semua pakaian harus diganti
setiap selesai bekerja dan lebih sering diganti jika dalam keadaan berminyak.
Selain itu, beberapa praktik kebersihan personal lainnya yaitu memotong dan
membersihkan kuku, serta mengobati dan menutup luka terbuka (NFSMI 2009).
Tangan pekerja yang menangani makanan dapat menjadi vektor dalam
penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau
kontaminasi silang (Bas et al. 2004). Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk
selalu mencuci tangan mereka. Tabel 1 memperlihatkan aktivitas-aktivitas yang
disarankan untuk mencuci tangan.
11
11
Tabel 1 Aktivitas yang disarankan untuk mencuci tangan (Green et al. 2007)
Waktu untuk
mencuci tangan Jenis kegiatan Deskripsi
Sebelum memulai
kegiatan
Persiapan makanan Terlibat dalam persiapan makanan,
termasuk bekerja dengan makanan yang
terbuka, peralatan bersih, dan bahan lain
yang tidak terbungkus
Memakai sarung
tangan untuk
persiapan makanan
Memakai sarung tangan jika terlibat
dalam persiapan makanan
Setelah kegiatan dan
sebelum memulai
kegiatan lainnya
Mempersiapkan
produk bahan mentah
Mempersiapkan produk bahan mentah
(produk hewani yang belum dimasak
atau diolah, seperti: telur mentah,
daging, unggas, dan ikan)
Makan, minum,
merokok
Makan, minum, atau merokok (kecuali
dari wadah minuman yang tertutup
untuk mencegah kontaminasi pada
tangan)
Batuk, bersin,
memakai tisu
Batuk, bersin, atau menggunakan sapu
tangan atau tisu sekali pakai
Penanganan peralatan
kotor
Penanganan peralatan dan baju kotor
Menyentuh bagian
tubuh
Menyentuh bagian tubuh manusia selain
tangan yang bersih dan lengan yang
tidak terpapar
Selain frekuensi, prosedur cuci tangan juga dianggap penting (Nel et al.
2004). Tahapan dalam mencuci tangan disajikan pada Gambar 2. Menurut HITM
(2006), langkah-langkah yang tepat dalam mencuci tangan dengan benar, yaitu:
1) Basahi tangan hingga ke sela-sela jari.
2) Terapkan sekitar 1/2 sendok teh sabun untuk penyabunan.
3) Lakukan penyabunan hingga ke ujung jari. Tambahkan air dan sabun jika perlu.
Gosok ujung jari dan di bawah kuku dengan sikat kuku. Jangan gunakan sikat
kuku kecuali untuk jari agar tidak menyebarkan mikroorganisme pada ujung
jari ke seluruh tangan.
12
12
Gambar 2 Tahapan dalam mencuci tangan (WHO 2011).
4) Bilas sabun dan bersihkan mikroorganisme patogen dari sikat dan jari. Cara
terbaik adalah untuk tidak menggunakan sabun antibakteri karena akan
menghancurkan mikroflora alami yang sangat penting pada kulit tangan.
Mikroflora alami ini menjaga tangan sehingga tetap sehat dan cenderung untuk
menghancurkan dalam 2 sampai 4 jam setiap mikroorganisme asing seperti
bakteri patogenik fekal yang terpapar ke kulit.
Basahi tangan dengan
air
Gunakan sabun Gosokkan dengan
kedua telapak tangan
Telapak kanan di atas
telapak kiri
Jari-jari saling ber-
kaitan
Ujung jari-jari saling
mengunci
Gosokkan jempol
dengan arah memutar
Gosokkan telapak
dengan arah memutar
Bilas tangan dengan air
Keringkan tangan
dengan handuk
Gunakan handuk untuk
menutup keran
Tangan siap untuk
menangani makanan
13
13
5) Sabun tangan hingga pergelangan tangan untuk kedua kalinya dengan sabun.
6) Lakukan hingga terbentuk busa yang banyak.
7) Bilas sabun dari tangan dan pergelangan tangan.
8) Keringkan tangan dengan menggunakan handuk. Pengeringan akan
mengurangi jumlah mikroorganisme. Jangan menggunakan kain lap umum
yang telah digunakan orang lain untuk mengeringkan tangan atau
membersihkan peralatan lainnya.
Selain mencuci tangan, pekerja yang menangani makanan juga disarankan
untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci
tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari
kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah
mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan
(TPH 2004).
d) Perilaku Personal
Pekerja yang menangani makanan harus menahan diri dari perilaku yang
dapat mengakibatkan kontaminasi makanan, misalnya:
Merokok
Meludah
Mengunyah atau makan
Bersin atau batuk
Selain itu, pekerja juga harus menghindari pemakaian cat warna pada kuku
dan tidak menggunakan perhiasan apapun di tangan saat memasak karena akan
memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009).
Semua personal harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam
melindungi makanan dari kontaminasi atau kerusakan. Penangan makanan harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk
menangani makanan secara higienis. Penanganan dengan bahan kimia pembersih
yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus
diinstruksikan dalam teknik penanganan yang aman (CAC 2003).
14
14
Higiene Produksi
Menurut BPOM (2003), produksi pangan adalah kegiatan atau proses
menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas,
mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. Higiene produksi adalah
kondisi dan perlakuan yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan saat
dalam proses produksi pangan.
Dampak dari kegiatan produksi yang mengancam keamanan dan
kesesuaian pangan harus diperhatikan setiap saat. Hal ini dilakukan dengan
mengidentifikasi setiap titik-titik tertentu dalam kegiatan produksi yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi. Kontrol kontaminasi yang terpenting
adalah dari bahan pangan (CAC 2003).
Kontaminasi silang terjadi ketika pangan yang aman untuk dikonsumsi
berkontak dengan mikrooragnisme patogen, bahan kimia, atau bahan lain tidak
diinginkan sehingga membuat pangan tidak aman untuk dikonsumsi. Hal ini
biasanya terjadi dalam tiga cara:
1) Bahan mentah berkontak dengan bahan yang telah dimasak.
2) Penggunaan peralatan yang sama untuk menangani bahan mentah dan bahan
yang telah dimasak
3) Tangan yang tercemar menyentuh makanan.
Kontaminasi silang dapat dicegah dengan cara memisahkan bahan mentah
dengan bahan yang telah dimasak, peralatan yang telah digunakan untuk bahan
mentah harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan lagi untuk bahan
yang telah dimasak (TPH 2004).
Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman bagi
industri pangan mengenai cara memproduksi pangan yang baik. Good
Manufacturing Practices mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan
disinfeksi dengan frekuensi yang memadai terhadap seluruh permukaan mesin
pengolah pangan baik yang berkontak langsung dengan makanan maupun yang
tidak. Mikroorganisme membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu
persyaratan GMP yaitu mengharuskan setiap permukaan yang bersinggungan
dengan makanan dan berada dalam kondisi basah harus dikeringkan dan
15
15
didisinfeksi. Persyaratan GMP lainnya yaitu mencegah kontaminasi produk dari
udara, partikel, dan kotoran yang dapat mencemari produk (Learoyd 2005).
Higiene Fasilitas dan Peralatan
Menurut BPOM (2003), persyaratan mengenai higiene fasilitas yaitu tata
letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang,
tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat
fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi
kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan,
dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan
keamanan bahan dan produk pangan yang diolah. Penyimpanan bahan makanan
yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi
dari hama (Cuprasitrut et al. 2010).
Menurut CAC (2003), ketersediaan air yang cukup dengan tempat
penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk
menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang
digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi
silang.
Persyaratan higiene fasilitas lainnya yaitu peralatan harus mudah untuk
dibersihkan (Aarnisalo et al. 2006). Peralatan yang berkontak dengan makanan
harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, khususnya untuk pisau dan
talenan. Pisau yang kotor harus segera dibersihkan agar tidak berkarat. Pisau yang
kotor dicuci dengan air sabun hangat dan dipisahkan dari peralatan yang lain
sehingga tidak mengkontaminasi peralatan lainnya (HITM 2006). Begitu pula
dengan talenan, mencuci talenan dengan sabun dan air panas atau pembersih
sebelum penggunaan berikutnya akan mencegah kontaminasi silang antar
makanan (Karabudak et al. 2008).
Semua peralatan yang telah dicuci bersih sebaiknya tidak ditumpuk dalam
keadaan basah. Hal ini dikarenakan air yang tertinggal dalam peralatan yang
masih basah akan memungkinkan terdapat sisa mikroorganisme yang terus
berkembang biak. Peralatan harus disimpan dalam keadaan kering (HITM 2006).
16
16
Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu
(Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didesinfeksi
secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan
infestasi hama (TPH 2004). Lantai dibersihkan menggunakan pel basah minimal
sekali sehari. Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan daerah yang sulit
dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Menurut
HITM (2006), makanan disimpan dalam lemari atau wadah yang tertutup dengan
jarak 15 cm dari lantai agar terjaga kebersihannya dan terhindar dari hama.
Sedangkan menurut Cuprasitrut et al. (2011), meja untuk menyimpan dan
menyajikan makanan harus memiliki tinggi lebih dari 60 cm untuk mencegah
kontaminasi dari hama atau serangga pengganggu.
Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali pembuangan ke
tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga
kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya
(TPH 2004).
Studi KAP (Knowledge, Attitude, Practice)
Studi KAP didasari pada anggapan hubungan antara pengetahuan, sikap,
dan praktik yang sangat berpengaruh satu sama lain. Tingkat pengetahuan
seseorang sangat menentukan sikap dan tingkah lakunya. Demikian juga, sikap
mungkin dapat memengaruhi tingkat laku dan keterbukaan untuk memperoleh
pengetahuan baru (Blalock 2008). Menurut Sharif dan Al-Malki (2010),
pengetahuan, sikap, dan praktik merupakan tiga faktor penting yang memainkan
peran utama dalam kejadian keracunan makanan khususnya yang berkaitan
dengan penangan makanan. Sehingga dengan melihat tingkat pengetahuan, sikap,
dan praktik pekerja dalam mempersiapkan, mendistribusikan, dan menjual produk
makanan dapat memudahkan untuk mengontrol keamanan pangan (Pirsaheb et al.
2010).
Arti dari kata pengetahuan merupakan subjek pada sejumlah interpretasi
yang berbeda (Gao et al. 2008). Fernandez dan Sabherwal (2001) mengartikan
pengetahuan (knowledge) sebagai hasil refleksi dan pengalaman seseorang,
17
17
sehingga pengetahuan selalu dimiliki oleh individu atau kelompok. Pengetahuan
melekat dalam bahasa, aturan-aturan, prosedur-prosedur, serta konsep.
Pengetahuan merupakan suatu kemampuan untuk menerima, menguasai,
dan menggunakan informasi, sebagai gabungan dari pemahaman, pengalaman,
dan keahlian. Pengetahuan yang alami bersandar pada perbedaan cara menerima
gagasan berdasarkan persepsi, imajinasi, ingatan, penilaian, abstrak, dan alasan.
Kriteria pengetahuan berpusat disekitar pemikiran yang memperkenankan kita
untuk membedakan di antara benar dan salah, seperti pembelajaran berdasarkan
logika dan metode ilmiah (Badran 1995).
Pengetahuan diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar.
Namun, perbuatan yang dikehendaki mungkin tidak akan berlangsung sampai
seseorang mendapat petunjuk yang cukup kuat untuk memicu motivasi berbuat
berdasarkan pengetahuan tersebut. Menurut Hayek (2003), semua kegiatan
ekonomi harus didasarkan pada pengetahuan, termasuk dalam hal ini perdagangan
makanan. Pemahaman dan pengetahuan tentang risiko keracunan pangan dalam
produksi dan perdagangan makanan sangat diperlukan agar dapat menjalankan
praktik penanganan pangan yang tepat (Patil et al. 2005).
Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, informasi yang
disampaikan tenaga profesional kesehatan, orang tua, guru, buku, media massa,
dan sumber lainnya (WHO 2002). Pengetahuan juga bisa didapatkan dari
pendidikan ataupun pelatihan. Pengetahuan yang diperoleh dari program
pendidikan dan pelatihan penanganan makanan dapat meningkatkan dan
mengontrol keamanan pangan (Ehiri & Morris 1996; Pirsaheb et al. 2010). Begitu
pula menurut Fleet dan Fleet (2009), tingkat pendidikan mempunyai pengaruh
positif terhadap pengetahuan dan sikap mengenai keamanan pangan.
Pendidikan kesehatan tentang pencegahan penyakit keracunan pangan
berdasar pada tiga hal: yaitu, peningkatan kebersihan bahan mentah dalam
pertanian, penerapan teknologi pengolahan makanan untuk mengontrol
kontaminasi pada tingkat pengolahan, dan pendidikan kepada konsumen
(Charlebois 2002). Informasi yang memadai dalam peningkatan pengetahuan dan
praktik penanganan makanan sangat diperlukan untuk pengembangan program
pendidikan kesehatan yang efektif (Fawzi & Shama 2009). Beberapa studi yang
18
18
telah dilakukan menunjukkan adanya intervensi pendidikan keamanan pangan
terhadap perilaku keamanan pangan (Kang et al. 2010).
Pendidikan atau pelatihan kadang tidak berhasil dikarenakan pelatihan
tersebut dirancang tanpa mempelajari sosial tempat kerja dan faktor lingkungan
yang memengaruhi target peserta pelatihan (Montenegro et al. 2006). Selain itu,
efektivitas pendidikan ataupun pelatihan sangat tergantung pada sikap dan
kesediaan untuk menerapkan praktik higiene yang baik. Pelatihan mengenai
higiene pangan yang efektif perlu menargetkan perubahan perilaku yang berperan
besar dalam keracunan pangan (Egan et al. 2007). Selain pengetahuan, sikap juga
merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengontrol keracunan pangan
(Bas et al. 2004; Nee & Sani 2011). Rahayuningsih (2008) mengemukakan bahwa
sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara
tertentu.
Sikap mengarahkan kepada kecenderungan untuk bereaksi pada cara yang
tepat dalam situasi yang tepat. Sikap dibutuhkan untuk melihat dan
menerjemahkan peristiwa sesuai kecenderungan yang tepat. Sikap juga
dibutuhkan untuk membentuk opini yang masuk akal dan susunan yang saling
berhubungan (Badran 1995). Kerapkali sikap berasal dari pengalaman kita sendiri
atau pengalaman orang lain. Sikap juga bisa terbentuk berdasarkan pengalaman
yang terbatas. Oleh karena itu, masyarakat dapat membentuk sikapnya tanpa
memahami keseluruhan situasi (WHO 2002).
Kata praktik atau perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan
dengan semua aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya (Laurens 2005). Menurut Bas et
al. (2004), meningkatnya jumlah kasus-kasus keracunan pangan memperlihatkan
kebutuhan akan praktik higiene pangan yang lebih baik. Maka diperlukan upaya
peningkatan praktik dalam penanganan makanan untuk mengurangi kejadian
keracunan pangan (Egan et al. 2007).