tinjauan pustaka depresi

33
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi Depresi Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993). Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992). Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993). 1.2 Epidemiologi Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja

Upload: feddyfebriyantomanurung

Post on 06-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

depresi

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Depresi

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Depresi

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai

masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,

gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta

bipolar (Ingram dkk, 1993).

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan

dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada

pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus

asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka

orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan,

karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

1.2 Epidemiologi

Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup

sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer

dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%.

Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan

depresif berat (Ismail dkk, 2010).

1. Jenis Kelamin

Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan

hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan

perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail

dkk, 2010).

Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan

depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-laki

(Kaplan, 2010). Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali

lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun

alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut

Page 2: Tinjauan Pustaka Depresi

didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek kelahiran,

perbedaan stressor psikososial dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari

(Kaplan, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi

yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya

ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak

yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre

Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah

dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,

kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.

2. Usia

Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50

tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data

terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun.

Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan

penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).

Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah

kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia

20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-

anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa

insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang

berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan

oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada

kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75

tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan

bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun

(10%).

3. Status Perkawinan

Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan

interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita

yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita

Page 3: Tinjauan Pustaka Depresi

depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding

terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang

tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau

berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007)

memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan

yang bercerai atau berpisah.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya

Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi

berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan disbanding daerah perkotaan

(Ismail dkk, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging

Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan

pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar

51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada

kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan

sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan

kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat

menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan,

namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya gangguan

depresif (Kaplan, 2010).

1.3 Etiologi

Etiologi depresi terdiri dari:

1. Faktor genetik

Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan

bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti

adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.

Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam

perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika

adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk

menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan

memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada

Page 4: Tinjauan Pustaka Depresi

sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak

saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2

sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010;

Tomb, 2004).

2. Faktor Biokmia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam

metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin

dan dopamine (Gambar 1.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain

faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain

yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino

khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi

neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh

adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu

kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah

penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap

pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating

Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada

laki-laki (Trisdale, 2003).

Page 5: Tinjauan Pustaka Depresi

Gambar 1.1 Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:

a. Hipotesis Katekolamin

Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin

pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-

kadang menimbulkan depresi lambat (Ingram dkk, 1993).

Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun

dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan

meningkat di saat mereka gembira (Ingram dkk, 1993).

b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-

hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat

(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak

pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi

meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk, 1993).

3. Faktor Hormon

Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan

kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien

depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini

didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar,

waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).

Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau

menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi.

Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini

menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting

dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).

4. Faktor Kepribadian Premorbid

Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama

hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian

depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat.

Page 6: Tinjauan Pustaka Depresi

Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari

rata-rata (Ismail dkk, 2010).

Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia

luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka

cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka

yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi

dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang

mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon

mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar

dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam

kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor

lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang

mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita

mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota

keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik,

dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan

tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif

(Ismail dkk, 2010).

5. Faktor Lingkungan

Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak

peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan

mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi didahului

oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan

berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan

orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram

dkk, 1993).

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan

tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan

krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali

kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang

membuat gangguan depresif muncul (Ismail dkk, 2010).

Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa

kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama

Page 7: Tinjauan Pustaka Depresi

gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu

teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress

yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang

bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan

perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi

sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan

seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan

mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).

1.4 Klasifikasi

1. Episode Depresif

Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah

ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan

(mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya

energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya

aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala

lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode

tipe ringan sekalipun)

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Tidur terganggu

g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke

hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat

memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana

pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual

yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja.

Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada

waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana

perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas,

Page 8: Tinjauan Pustaka Depresi

minum alkohol berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau

obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk

episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa

sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode

lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung

cepat (Depkes RI, 1993).

Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan

memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna

klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau

kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi

emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan,

bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih

parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang

nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara

mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari

berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,

sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu

pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan

Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan

kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi

yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurang-

kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis pasti.

Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya seluruh episode

berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).

Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang

gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan

kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali

(Depkes RI, 1993).

F32.1 Episode depresif sedang

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang

ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga

(dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat

Page 9: Tinjauan Pustaka Depresi

menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak

variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2

minggu (Depkes RI, 1993).

Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi

kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah

tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan

ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi

merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak

berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama

pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir

selalu ada pada episode dpresif berat.

Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan

dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan

beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala penting

(misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau

tidak mampu utnuk melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal

demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat

dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-

kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,

maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari

2 minggu.

Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan

mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali

pada taraf yang sangat terbatas.

Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat

tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan

subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2

terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya

Page 10: Tinjauan Pustaka Depresi

biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang

mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi

auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh

atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat

menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan

sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood).

Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia

katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini

hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan gejala

psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan

depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya

Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan

gambaran yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun

kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya

termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi

dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan

campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang

bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-kadang terlihat pada

pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi

sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa

riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan

hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan yang

memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadang-

kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset,

keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuany

sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih tua

dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset rata-rata lima puluhan.

Page 11: Tinjauan Pustaka Depresi

Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya

sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya lebih jarang. Pemulihan keadaaan

biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian kecil pasien mungkin

mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk

keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan). Episode masing-masing dalam

berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang

penuh sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi

menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.

Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang

mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya akan

mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka

diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.

1.5 Gejala

Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy

adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih,

tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood

depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal

(Ingram dkk, 1993).

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan

minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati

atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,

kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual

dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya

interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).

Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk,

1993):

1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin

dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri

dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu

murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk

menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).

2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan

membaik di siang hari.

Page 12: Tinjauan Pustaka Depresi

3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit

diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri

seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi

jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa

harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.

4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam

pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan

berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai

dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.

5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya

penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang

dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu

dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah

ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh

bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan

waham hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.

6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.

7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia

kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan

baginya benda-benda terlihat tidak nyata.

8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri

mungkin ditemukan.

9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari,

kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi

insomnia total.

10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan

kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau

tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga

pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit

dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang

disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia

mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka

Page 13: Tinjauan Pustaka Depresi

menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.

Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana

mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan

pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80%

pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan

sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan

pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan

bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang

biasa (Depkes RI, 1993).

1.7 Diagnosis

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada

DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and

Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat

terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode

depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat.

Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini

ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini

berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat

diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria

diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan

kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan

memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik politetik,

tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).

DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang

berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya

mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-

IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap

bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan

lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam

menginterpretasikan gejala-gejala.

Page 14: Tinjauan Pustaka Depresi

Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga

menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting

lainnya, yaitu:

1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.

2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental

3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan

gangguan mental

4. Aksis IV: Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya

selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya

pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-

lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan

didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan

dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan

depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif

ringan keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis

gangguan depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode

depresif memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis

gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang

tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara

terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga

menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.

a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik

Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit

yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.

b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik

Page 15: Tinjauan Pustaka Depresi

Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari gangguan

depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok pasien yang

dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive terhadap terapi farmakologi

daripada pasien nonmelankolik.

c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal

Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan secara

resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis yang menyatakan

bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang spesifik dan dapat diramalkan.

Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumen-

instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan

penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini

adalah beberapa instrumen yang sering digunakan, yaitu:

a. Beck’s Depression Inventory

b. Hamilton Depression Scale

c. The Zung Self-Rating Depression Scale

Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan

dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti yang tertera dalam the American

Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders

Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan

untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both

adults and adolescents 13 years of age and older, dan merupakan sebuah ukuran

standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk

mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.

BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih

kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan

criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II menilai gejala-

gejala khas dari depresi seperti gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal,

ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri

sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas,

Page 16: Tinjauan Pustaka Depresi

penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia,

kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.

1.8 Penatalaksanaan

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah

tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik

yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus

dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien

selanjutnya (Kaplan, 2010).

Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi

psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang

dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat dapat

menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang

tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan

kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH,

2002).

1. Terapi Farmakologis

Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek

farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa

pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi

tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat

pada antidepresan (Kaplan, 2010).

Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses

farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek

farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali

(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja

untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin

dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan

etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem

neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas

adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan

kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).

Page 17: Tinjauan Pustaka Depresi

a. Trisiklik

Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai

pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).

Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik

primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik

tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang

paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai

efek samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih

karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena

sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik

(Kaplan, 2010).

Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake

neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja

sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier

menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai

implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive

terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan

lebih responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)

MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.

Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif

katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT

dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai

lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi

tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi

dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju,

anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati

terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di

hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)

SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama

pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat

Page 18: Tinjauan Pustaka Depresi

golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering

dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa

SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh

tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang

memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan

histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila

SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek

serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala

hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda vital (Arozal,

2007).

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )

Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama

dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake

norepinefrin (NIMH, 2002).

Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada

beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien

depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih jelas pada gambar

di bawah ini (Mann, 2005).

Page 19: Tinjauan Pustaka Depresi

Gambar 1.2 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

e. Terapi Non Farmakologis

Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam

pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi

perilaku (Kaplan, 2010). NIMH (2002) telah menemukan predictor respons

terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang

rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal, (2)

disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi

kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi

mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan depresi

yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan

farmakoterapi.

Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang

memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi

berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah

Page 20: Tinjauan Pustaka Depresi

rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif

(Kaplan, 2010).

Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan

pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami

sekarang, dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal

sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang

disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di

dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang (Kaplan,

2010).

1.9 Prognosis

Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan

pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati

berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati

berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir

selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).

Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif

berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak

penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan

buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya

gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak adanya gangguan kepribadian,

tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih

dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik.

Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,

penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih

dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).

Page 21: Tinjauan Pustaka Depresi

DAFTAR PUSTAKA

Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI, 2007.

I.M Ingram. dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC

Kaplan and Saddock. Synopsis of Psychiatry. 7th ed. Vol 1. Sans Tache. New York, 1993.

Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott Wiliams

And Wilkins. Philadelphia, 2010.

Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III “Gangguan

Depresi”. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.

Maslim, Rusdi. Panduan Praktis pengguaan klinis obat psikotropik edisi ketiga. Jakarta:2002