tinjauan pustaka domba ekor tipis - repository.ipb.ac.id · atmadilaga (1958) mendefinisikan ......
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Ekor Tipis
Domba ekor tipis merupakan domba Indonesia dengan 80% populasinya
berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ternak tersebut memiliki kemampuan
beradaptasi di daerah yang gersang. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil sehingga
disebut juga domba kacang atau domba jawa (Mulyono, 2005). Selain itu, domba
ekor tipis juga dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung (Sumoprastowo,
1987). Penyebaran dengan jumlah tertinggi di Asia Tenggara berpusat di Jawa Barat
(Gatenby, 1991). Domba ekor tipis memiliki ciri-ciri berupa bulu badan yang
berwarna putih, terdapat belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian
lainnya. Jantannya memiliki tanduk melingkar, sedangkan betinanya umumnya tidak
bertanduk. Badannya yang kecil juga disertai dengan ekor relatif kecil dan tipis.
Menurut Mulyaningsih (1990), domba priangan sulit dibedakan dengan
domba lokal atau domba ekor tipis. Tirtosiwi (2011) dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa lingkar dada merupakan peubah ukuran linear permukaan
tubuh yang ditemukan paling tinggi pada domba ekor tipis di Cimande. Hafiz (2009)
dalam penelitiannya memperoleh domba ekor tipis jantan umur I0 memiliki rataan
bobot badan 20,24 kg, panjang badan 51,00 cm, lingkar dada 55,90 cm, lebar pinggul
12,10 cm, lebar dada 13,50 cm, tinggi badan 51,17 cm, tinggi pinggul 49,76 cm,
dalam dada 24,43 cm dan panjang pinggul 15,09 cm. Tirtosiwi (2011) dalam
penelitiannya memperoleh domba ekor tipis jantan umur I1 memiliki rataan ukuran
tubuh seperti bobot badan 32,8±4,77 kg, tinggi pundak 61,39 cm, panjang badan
61,21 cm, lingkar dada 73,52 cm, dalam dada 27,85 cm dan lebar dada 16,42 cm.
Utami (2008) melaporkan bahwa lingkar dada dan bobot badan pada domba lokal di
UP3J (Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol) memiliki hubungan yang
erat. Ukuran tubuh seperti dalam dada, tinggi pundak, lebar pinggul, tinggi pinggul,
lingkar dada dan lebar dada pada domba ekor tipis, domba ekor gemuk dan domba
Merino lebih rendah dibandingkan domba garut (Riwantoro, 2005).
Domba Garut
Domba garut atau biasa dikenal dengan domba priangan yang berasal dari
Jawa Barat. Domba garut yang bertipe besar umumnya digunakan untuk domba
4
aduan (Mulyono, 2005). Data mengenai sifat-sifat genetik domba Priangan
diperlukan selengkap mungkin sehingga akan lebih akurat untuk perbaikan mutu.
Penyebaran domba garut hingga ke daerah priangan dan daerah lainnya
menyebabkan domba ini dikenal juga sebagai domba priangan. Atmadilaga (1958)
mendefinisikan bahwa domba priangan adalah hasil persilangan segitiga antara
domba lokal, domba Merino dan domba ekor gemuk. Definisi ini berlaku untuk
domba garut yang mempunyai ciri khusus dalam pertandukan, sifat rambut dan
ketebalan pangkal ekor. Diwyanto (1982) mengemukakan bahwa domba garut
pedaging merupakan hasil sisa seleksi (domba afkir) dari domba garut tangkas.
Domba yang ada di daerah Garut ini dibagi dalam dua tipe atau perawakan,
yaitu tipe adu dan tipe pedaging. Domba garut tipe pedaging memiliki badan yang
lebih panjang dan paha yang lebih montok dibandingkan dengan domba adu
(Natasasmita et al., 1986). Ciri-ciri domba garut pedaging yaitu warna bulu
umumnya putih, garis muka cembung, garis punggung cekung dan ekor sedang
(Diwyanto, 1982). Tanduk dimiliki oleh jantan maupun betina domba garut
walaupun tanduk betina lebih kecil (Triwulanningsih et al., 1981). Domba garut
tangkas mempunyai ciri-ciri berupa muka cembung, bentuk telinga kecil rumpung,
bentuk mata normal dan posisi telinga tegak ke samping (Mulliadi, 1996).
Rataan bobot sapih domba garut adalah 11,5 kg (Istiqomah et al., 2006).
Mansjoer et al. (2007) dalam penelitiannya memperoleh bahwa domba garut
Margawati jantan umur I1 memiliki rataan ukuran tubuh seperti bobot badan
46,3±5,50 kg, tinggi pundak 70,20 cm, panjang badan 67,10 cm, lingkar dada 89,60
cm, dalam dada 33,0 cm dan lebar dada 19,20 cm. Tirtosiwi (2011) dalam
penelitiannya memperoleh bahwa domba garut jantan umur I1 memiliki rataan
ukuran tubuh seperti bobot badan 49,28±7,12 kg, tinggi pundak 74,14 cm, panjang
badan 73,70 cm, lingkar dada 88,88 cm, dalam dada 33,13 cm dan lebar dada 19,19
cm. Nataatmaja dan Johar (2008) memperoleh korelasi tinggi antara bobot badan
dan tinggi pundak sebesar 0,8551 pada domba garut.
Indigofera sp.
Indigofera merupakan tanaman leguminosa yang penting sebagai makanan
ternak di Indonesia (Tarigan, 2009). Hassen et al. (2007) mengemukakan bahwa
Indigofera adalah tanaman dari kelompok kacangan (family Fabaceae) dengan genus
5
Indigofera dan memiliki 700 spesies tersebar mulai dari benua Australia, Asia,
Afrika, Australia dan Amerika Utara. Sebanyak 10% penambahan Indigofera ke
dalam ransum dapat memenuhi kebutuhan protein kasar pada kambing dan
meningkatkan konsumsi pakan. Nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp.
yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka adalah 60% dengan
pertambahan bobot harian sebesar 28,25±52,38 gr/ekor/hari (Tarigan, 2009).
Menurut Suharlina (2010), Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan
pakan ternak karena kandungan bahan organiknya dapat meningkat dengan adanya
pemberian pupuk organik sehingga nilai kecernaan juga dapat meningkat.
Tepung daun Indigofera mengandung protein kasar tinggi (27,60%), data
produksi daun 4,096 kg/ha/hasil panen pada umur potong 68 hari dan kecernaan in
vitro sebesar 67%-81% (Abdullah dan Suharlina, 2010). Hassen et al. (2007)
menyatakan bahwa komposisi tepung daun Indigofera sp. terdiri dari protein kasar
27,9%, NDF 19% – 50%, serat kasar 15%, calcium 0.22%, phosphor 0,19% dan
kecernaan bahan organik (in vitro) sebesar 56%- 72%, sedangkan kualitas dalam
bentuk pellet mengandung protein kasar sebesar 25,66% (Abdullah, 2010). Umur
Kualitas Indigofera sp. terbaik diperoleh pada umur potong dengan defoliasi umur 60
hari (Abdullah dan Suharlina, 2010). Indigofera sp. mengandung pikmen indigo yang
dapat digunakan sebagai hijauan pakan ternak dan suplemen kualitas untuk ternak
ruminansia (Haude, 1997). Perlakuan pemupukan pada daun dapat meningkatkan
nilai cerna (in vitro) menjadi 70%-80% untuk kecernaan bahan kering dan 67%-
73% untuk kecernaan bahan organik (Intan et al., 2011).
Gambar 1. Indigofera sp. Segar dan Indigofera sp. Kering
6
Limbah tauge
Limbah tauge merupakan sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit
kacang hijau atau angkup tauge dan pecahan-pecahan tauge yang diperoleh pada saat
pengayakan atau ketika pemisahan untuk mendapatkan tauge yang dapat dikonsumsi.
Limbah tauge diperoleh dari pasar atau dikenal dengan limbah pasar karena proses
pemisahan limbah tauge dari tauge itu sendiri terjadi di pasar dan biasanya masih
bercampur dengan sedikit tauge dan potongan-potongan ekor tauge dan kepala tauge
yang tidak utuh. Potensi limbah tauge dalam sehari berlimpah dilihat dari produksi
tauge yang tidak mengenal musim terutama untuk pengrajin tauge di daerah Bogor.
Total produksi tauge di daerah bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang
menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Limbah
terkadang tidak bernilai ekonomis jika tidak dimanfaatkan dengan baik (Winarno,
1981). Uji laboratorium secara kualitatif menunjukkan bahwa limbah tauge memiliki
kandungan nutrien yang terdiri atas protein kasar sebesar ±13-14 %, serat kasar
49,44% dan TDN sebesar 64,65% (Rahayu et al., 2010).
Kandungan vitaminnya dalam bentuk tauge lebih banyak daripada bentuk
bijinya yaitu kacang hijau. Kadar vitamin C-nya meningkat 20 mg/100 gram dan
kadar vitamin B-nya meningkat menjadi 20 mg/ 100 gram. Kandungan protein tauge
juga meningkat 119% dari kandungan awalnya berdasarkan berat keringnya. Hal ini
disebabkan oleh adanya sintesa protein selama proses germinasi kecambah
(Winarno, 1981). Kandungan air dalam bentuk limbah tauge adalah 63,35%, abu
7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, serat kasar 49,44% dan kandungan TDN
adalah 64,65 (Rahayu et al., 2010). Menurut Mubarak (2005), komposisi kimia tauge
terdiri dari protein kasar 27,5 g, lemak kasar 1,85 g, serat kasar 4,63 g, abu 3,76 g,
total karbohidrat 62,3 g, air 9,75 g (dalam 100 g bobot kering).
Limbah tauge sudah terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan domba.
Penelitian di wilayah Bogor yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan
domba ekor gemuk dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransum menghasilkan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi yaitu sebesar 145 g/e/h
dengan penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum dimana PBBHnya lebih
tinggi dibandingkan apabila hanya diberi ransum konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h
(Rahayu et al., 2010).
7
Gambar 2. Tauge Segar dan Tauge Kering
Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya bobot tubuh sampai
dicapainya besar tubuh dewasa (disebut pertumbuhan, growth) dan terdapatnya
perubahan bentuk dan konformasi tubuh hewan, sehingga diperoleh bentuk hewan
dewasa (disebut perkembangan, development) (Herman, 1982). Pertumbuhan murni
mencakup pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti
urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh yang lain (kecuali
jaringan lemak), dan alat-alat tubuh. Dari sudut kimiawi, pertumbuhan murni adalah
suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang tertimbun dalam tubuh
(Anggorodi, 1984).
Herman (1982) mengemukakan bahwa kepala dan kaki adalah bagian tubuh
yang tumbuh lebih awal. Tubuh bagian belakang (hindquarters) dan daerah pinggang
(loin) berkembang lambat, tumbuh lambat dalam fase pertumbuhan permulaan dan
lebih cepat kemudian dan merupakan bagian terakhir yang mencapai ukuran dewasa.
Proses ini merupakan suatu gelombang yang menyebar dari bagian yang berkembang
dini kepada bagian yang berkembang lambat. Anggorodi (1984) menyatakan semua
bagian dari tubuh hewan tumbuh dengan cara yang teratur, kaki dan tangan (pada
manusia) tumbuh sebanding dengan tinggi dan panjang tubuh, akan tetapi kepala
tumbuh lebih lambat daripada anggota badan. Pertumbuhan berjalan dari kepala
menuju ke bagian belakang tubuh, dari bagian bawah kaki menuju keseluruh kaki
kemudian ke bagian tubuh dan akhirnya semua gelombang bertemu di bagian
pinggang (loin) (Herman, 1982). Adanya suatu variasi yang terdapat dalam ukuran
dan perbandingan tubuh di dalam spesies (Anggorodi, 1984). Kecepatan
8
pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis kelamin, genetik dan
lingkungan termasuk makanan.
Ukuran Tubuh
Ukuran tubuh merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan dalam
mengetahui produktivitas seekor ternak. Pengambaran yang diperoleh dari ukuran
tubuh merefleksikan kinerja produksi ternak jika tidak memungkinkan dilakukan
penimbangan bobot hidup (Sariubang dan Tambing, 2008). Ukuran permukaan dan
bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan dalam menaksir bobot badan,
serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu.
Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran umum pada ternak,
yaitu sebagai sifat kuantitatif untuk dapat memberi gambaran eksterior seekor domba
dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak atau digunakan dalam
seleksi (Mulliadi, 1996).
Diwyanto (1982) mengemukakan bahwa penampilan seekor hewan adalah
hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup
hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai perkembangan kecepatan
pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik
maupun lingkungan. Penelitian Doho (1994) diperoleh bahwa pertambahan bobot
badan pada hewan akan menyebabkan hewan tersebut menjadi lebih besar dan diikuti
dengan pertambahan kekuatan dan perkembangan otot-otot penggantung masculus
serratus ventralis dan musculus pectoralis yang terdapat di daerah dada, sehingga
ukuran lingkar dada semakin meningkat. Semakin besar dan semakin panjang badan
akan meningkatkan bobot badannya yang diumpamakan dengan silinder yang
volumenya dipengaruhi oleh diameter (lingkar dada) dan ketinggiannya (panjang
badan) (Diwyanto, 1982). Adanya korelasi atau keterkaitan antar ukuran tubuh dapat
disebabkan pengaruh aksi-aksi gen (pleiotropy) yang mempengaruhi dua sifat atau
lebih (Martojo, 1990).
Hasil penelitian Nataatmaja dan Johar (2008) menunjukkan ukuran tubuh
bobot badan dan tinggi pundak pada domba jantan di Kabupaten Pandeglang dan
Garut mempunyai korelasi tinggi yaitu sebesar 0,8551. Noor (2004) mengemukakan
bahwa nilai korelasi yang positif dapat memperbaiki kedua sifat yang berkorelasi.
Suatu ukuran yang semakin beragam akan semakin baik untuk dilakukan seleksi
9
karena mempunyai kisaran cukup luas antara nilai tertinggi dan terendah secara
statistik. Bobot badan yang memiliki keragaman yang besar dapat disebabkan
kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan dan keragaman genetik yang
berbeda (Nataatmaja dan Johar, 2008). Menurut Nurrahmi (2011), kelompok domba
garut secara umum ukuran-ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan domba ekor
tipis dan domba ekor gemuk. Bangsa domba yang besar akan menunjukkan bobot
lahir lebih berat, lebih cepat tumbuh dan lebih berat ketika mencapai dewasa tubuh
dibandingkan bangsa domba yang kecil.
Indeks Morfologi
Adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam
yang dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen tertentu menyebabkan terjadinya
keragaman sifat morfologi. Suparyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa populasi
yang besar dengan tingkat keragaman yang cukup tinggi, baik dalam bangsa maupun
antar bangsa menjadikan domba-domba di Indonesia beragam pola warna dan bentuk
tubuhnya. Perbedaan bobot badan, struktur tubuh, pola warna bulu dan kepadatan
wol adalah contoh karakteristik morfologis yang berlainan antar agroekosistem yang
dapat dijadikan sebagai gambaran spesifikasi suatu bangsa ternak.
Alderson (1999) menyatakan bahwa satu pengukuran linear lebih relevan di
dalam pertanian. Hal ini juga memberi pengaruh signifikan dari sistem peternakan
pada pengukuran tubuh tertentu. Sistem pengukuran linear dapat memberikan
penilaian tipe dan nilai keseluruhan pada ternak. Rasio bobot badan/ tinggi badan dan
lingkar badan/ tinggi badan diusulkan sebagai perhitungan indeks sapi potong
(Knapp dan Cook, 1933) dan sapi Hereford (Guilbert dan Gregory, 1952). Indeks
lebar dan panjang badan digunakan dalam mengestimasi keseimbangan dan penting
dalam pendugaan nilai keseluruhan (Salako, 2006). Sistem indeks ditujukan sebagai
alat ukur praktis di lapangan dalam menggambarkan keterkaitan antar dimensi tubuh
ternak untuk kepentingan studi pemuliaan (Takaendengan et al., 2011).
Pane (1986) mengemukakan salah satu metode seleksi yang dapat digunakan
dalam suatu program pemuliaan ternak. Metode seleksi yang dimaksud adalah
seleksi indeks dimana berbagai sifat termasuk nilai ekonomis ternak domba dihitung
berdasarkan indeks tertentu. Kisaran tertentu ditetapkan dalam menilai atau
membatasi karakter dari ternak pada umumnya, dari yang kurang baik sampai yang
10
paling baik. Karakter yang satu akan terkompensasi oleh karakter lainnya dalam
suatu sistem indeks. Hafiz (2009) mengemukakan bahwa nilai length index di bawah
1 menunjukkan ternak tersebut bertipe tinggi badannya dan menunjukkan bertipe
panjang untuk length index di atas 1. Ternak domba dikatakan unggul jika pundak
sampai pinggul membentuk garis lurus mendatar sama tinggi, sehingga semakin
mendekati nol nilainya akan semakin baik atau bagus ternaknya.
Nilai width slope index yang tinggi dapat mengindikasi bahwa domba
tersebut memiliki balance yang lebih besar (Salako, 2006). Menurut Takaendengan
et al. (2011), weight index dan length index merupakan parameter utama dalam
menduga balance berdasarkan faktor penentu fungsional. Kuda Tomohon memiliki
nilai weight index 72x104±13x10
3, length index 0,91±0,04 dan balance 0,99±0,09.
Bangsa kuda Thoroughbred lebih banyak dipelihara untuk pacuan, hal ini diperkuat
dengan hasil analisis indeks morfologi yaitu weight index dan cumulative index pada
kuda di Tomohon yang memiliki indeks bobot badan yang tinggi dan secara
kumulatif menggambarkan bahwa postur tubuhnya lebih besar daripada populasi
kuda lainnya. Berdasarkan nilai cumulative index, populasi kuda di Tomohon
memiliki kaki dan tubuh lebih panjang yang mencirikan kuda pacuan, sedangkan
populasi kuda di Manado mencirikan ternak pekerja (Takaendengan et al., 2011).
Cumulative index berkorelasi dengan umur sehingga dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat pertumbuhannya sehingga semakin besar nilainya akan semakin
baik (Alderson, 1999). Salako (2006) melakukan penelitian indeks morfologi dengan
sampel domba Yankasa dan domba WAD (West African Dwarf) yang merupakan
domba lokal (indigenous) Nigeria. Domba Yankasa memiliki nilai bobot hidup dan
semua ukuran tubuh lainnya lebih tinggi dibandingkan domba WAD kecuali width
slope index (17.06±2.43cm berbanding 15.08±1.22cm). Adanya perbedaan bobot
hidup antar kedua bangsa tersebut yaitu sebesar 25,03±5,21cm pada domba WAD
dan 41,60±6,47cm pada domba Yankasa. Domba Yankasa dan domba WAD
memiliki nilai cumulative index berturut-turut sebesar 1,18 dan sebesar 2,80. Dalam
penelitian Takaendengan et al. (2011), nilai cumulative index kuda Tomohon
sebesar 3,12±0,19 yang menunjukkan kuda tersebut memiliki kaki dan tubuh lebih
panjang yang mencirikan kuda pacuan, sedangkan populasi kuda di Manado
(2,77±0,24) memiliki proporsi tubuh untuk kuda pekerja.
11
Lingkungan Ternak
Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan, dan pengaruh sekitarnya yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas ternak
(Ensminger et al., 1990). Lingkungan yang cocok untuk mempertahankan hidup,
pertumbuhan, dan produksi maksimal serta kondisi fisiologis dibutuhkan oleh hewan.
Johnston (1983) mengemukakan bahwa lingkungan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan ternak, contohnya kondisi lingkungan yang terlalu panas akan
menyebabkan stress dan berdampak terhadap produktivitasnya. Performa yang
berkurang pada ternak akibat cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari
gangguan pada proses termoregulasi yang mempengaruhi keseimbangan air, energi
dan endokrin.
Ternak harus berada dalam lingkungan yang optimal dan diperlihara dalam
daerah tersebut untuk menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi
optimal. Produksi panas ternak akan ditingkatkan jika suhu lingkungan semakin
rendah, sebaliknya evaporasi akan dilakukan ternak untuk melepaskan panas jika
suhu lingkungan meningkat. Thermonetral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman
dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. TNZ untuk domba dalam
pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 21-30 ºC (Yousef, 1985).
Cekaman lingkungan pada ternak ruminansia dapat menyebabkan terjadinya
perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok
dan produksi (Devendra dan Faylon, 1989). Reksohadiprodjo (1984) mengemukakan
bahwa hewan homeotherm dapat mempertahankan dan mengeluarkan panas tubuh
dalam upaya untuk menjaga agar suhu tubuh tetap dalam kisaran normal.
Kondisi Fisiologis Domba
Fisiologi hewan merupakan ilmu yang mempelajari fungsi normal tubuh
dengan berbagai gejala yang ada pada sistem hidup, serta pengaturan atas segala
fungsi dalam sistem tersebut (Isnaeni, 2006). Devendra dan Burns (1994)
mengemukakan bahwa secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap
rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Domba banyak dijumpai di daerah
tropis karena mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan daya adaptasi tinggi
(Ensminger et al., 1990).
12
Mamalia seperti domba memiliki kemampuan mengatur berbagai faktor
seperti pH, suhu tubuh, kadar garam, kandungan air, dan kandungan nutrien dengan
tepat. Hewan melakukan adaptasi untuk bertahan seiring terjadinya perubahan dalam
tubuh hewan (Insnaeni, 2006). Respon fisiologis merupakan respon terhadap
berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef,
1985). Ternak mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, yang
dapat menguntungkan atau merugikan. Panas yang diperoleh ternak juga dapat
dimanfaatkan untuk mengatur suhu tubuh ternak atau sebaliknya (Isnaeni, 2006).
Respon fisiologis dapat diketahui dengan mengukur suhu tubuh, laju repirasi dan
denyut nadi.
Lingkungan yang berbeda khususnya keadaan lingkungan mikro dapat
bervariasi di setiap daerah oleh adanya perbedaan ketinggian tempat. Keadaan iklim
mikro yang tidak sesuai dapat menghambat kegiatan atau proses fisiologi ternak
untuk berproduksi normal (Yousef, 1982). Ensminger et al. (1990) menambahkan
jika suhu lingkungan rendah (di bawah titik kritis minimum) dapat mengakibatkan
suhu tubuh menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan terkadang diiringi
kematian akibat kegagalan mekanisme homeotermis. Indikator suhu tubuh, denyut
jantung dan laju respirasi pada ternak domba dalam kondisi lingkungan normal
dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Status Fisiologis Domba pada Lingkungan Normal
Umur Denyut Jantung
(kali/menit)
Suhu Rektal
(ºC)
Laju Respirasi
(kali/menit)
Anak domba 115 38,5 – 40,5 15-18
I2-I4 85-95 12-15
Dewasa 70-80 38,5 – 39,5 9-12
Sumber: Smith & Mangkoewodjojo (1988)
Suhu Rektal
Salah satu indikator yang baik dalam menggambarkan suhu internal tubuh
ternak adalah suhu rektal. Suhu permukaan kulit, suhu rektal dan suhu tubuh
meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu
rektal juga dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu
rektal harian umumnya rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey,
13
1983). Suhu lingkungan yang rendah, di bawah titik kritis minimum dapat
mengakibatkan suhu tubuh menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan terkadang
diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeotermis (Ensminger et al.,
1990). Oktameina (2011) melaporkan bahwa suhu tubuh domba garut pada pagi hari
(38,22±0,38 0C) lebih rendah dari suhu tubuh siang (38,57±0,25
0C) dan sore hari
(39,17±0,19 0C). Hasil penelitian Darmanto (2009) menunjukkan bahwa suhu rektal
domba ekor tipis yang terendah pada pagi hari yaitu 38,1±0,26°C, meningkat pada
siang dan sore hari yaitu 38,7±0,15°C dan 38,7±0,19°C.
Domba sebagai hewan homeotermis berusaha mempertahankan suhu
tubuhnya dalam kisaran yang sesuai dengan aktivitas fisiologisnya. Baillie (1988)
mengemukakan bahwa suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
lingkungan, konsumsi pakan, minum dan aktivitas. Menurut Hafez (1968), sebagai
hewan berdarah panas, domba akan mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran
normal yaitu 37,5–40,5 ºC. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa
suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2-40 ºC. Santoso (1996)
mengemukakan bahwa perubahan suhu rektal memperlihatkan pola perubahan yang
sama dengan perubahan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan serta lingkungan mikro
dalam kandang. Reksohadiprodjo (1984) mengemukakan bahwa hewan homeotherm
dapat mempertahankan dan mengeluarkan panas tubuh dalam upaya untuk menjaga
agar suhu tubuh tetap dalam kisaran normal. Ternak memiliki kisaran suhu tubuh
tertentu yang ideal atau lebih disukai yang memungkinkan ternak dapat
menyelenggarakan proses fisiologis secara optimal (Isnaeni, 2006).
Laju Respirasi
Laju respirasi merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O2, CO2 dan
H2O dalam cairan tubuh (Subronto, 1985). Sistem respirasi memiliki fungsi utama
untuk menyuplai O2 ke dalam tubuh dan membuang CO2 dari dalam tubuh.
Kekurangan O2 maupun kelebihan CO2 dalam darah atau cairan tubuh dapat
menggangu proses fisiologis keseluruhan (Isnaeni, 2006). Respirasi meliputi semua
proses baik fisik, kimia maupun biologi dimana hewan mengadakan pertukaran gas-
gas dengan lingkungan sekelilingnya. Peningkatan jumlah beban panas yang hilang
dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit
(Yousef, 1985). Nilai laju respirasi beragam tergantung pada kondisi fisiologis
14
ternak. Menurut Hafez (1968), domba yang normal respirasinya berkisar antara 20-
50 kali menit. Rata-rata frekuensi respirasi domba adalah 19 kali per menit dalam
keadaan istirahat (Frandson, 1992).
Menurut Smith dan Mangkoewodjojo (1988), domba tropis dalam keadaan
istirahat mempunyai rataan laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit. Hasil
penelitian Martawidjaja et al. (1999) diperoleh respirasi domba Moulton Charollais
dengan induk garut (93,02 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan domba garut (66,59
kali/menit) dan St. Croix dengan induk garut (71,50 kali/menit) (faktor bangsa) serta
pada faktor waktu pengukuran diperoleh respirasi di pagi hari lebih rendah (47,41
kali/menit) daripada siang (95,92 kali/menit) dan sore hari (87,78 kali/menit).
Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, respirasi pada ternak
bereaksi melalui panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat). Evaporasi
adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air
evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25ºC
(Yousef, 1985). McDowell et al. (1970) menyatakan bahwa peningkatan frekuensi
respirasi dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh pada keadaan
suhu udara dalam kandang meningkat. Mekanisme dalam mempertahankan suhu
tubuhnya agar tidak naik dengan cara meningkatkan pembuangan panas tubuh
melalui penguapan air respirasi, sehingga frekuensi naik. Suhu rektal, denyut
jantung, dan frekuensi respirasi mempunyai hubungan yang erat.
Laju Denyut Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing
bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh
vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh
tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Jantung memiliki suatu mekanisme
khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruh otot
jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan
denyut jantung dikendalikan oleh saraf, rangsangan kimiawi seperti hormon dan
perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006).
Satu siklus jantung menghasilkan sekali denyutan jantung. Ritme jantung
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang diantaranya adalah rangsangan kimiawo
15
(hormon atau perubahan kadar O2 dan CO2) ataupun rangsangan panas (Isnaeni,
2006). Secara umum kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar
pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah
besarnya ukuran hewan (Awabien, 2007). Marshall dan Halnan (1953)
mengemukakan bahwa semakin muda umur domba akan meningkatkan laju denyut
jantung. Kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) adalah antara 70-80 kali tiap menit. Isnaeni (2006)
mengatakan bahwa denyut jantung dapat meningkat hingga lebih dari dua kalinya
pada saat aktif melakukan kegiatan. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam
terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey,
1983). Adisuwirdjo (2001) menambahkan aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan
laju denyut jantung, ternak muda cenderung lebih banyak beraktivitas dan aktif
sehingga memiliki frekuensi jantung yang lebih besar.
Hasil penelitian Oktameina (2011) menunjukkan denyut jantung domba garut
pada pagi hari (73,92±4,51kali/menit) lebih rendah daripada siang hari (79,92±5,28
kali/menit) dan sore hari (83,98±5,98 kali/menit), serta denyut jantung domba ekor
tipis meningkat dari pagi hari sebesar 88±7,72 detak/menit, menjadi 89±5,06
detak/menit pada siang hari dan 94±3,86 detak/menit pada sore hari (Darmanto,
2009). Suhu udara pada siang lebih tinggi sehingga perlu mengeluarkan panas
dengan mengalirkan peredaran darah lebih cepat sedangkan pada sore hari tingginya
aktivitas meningkatkan laju denyut jantung (Adisuwirdjo, 2001).