tinjauan pustaka mangrove

24
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan produsen yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di lautan. Hal ini menjadikan terumbu karang memiliki potensi keragaman jenis biota yang tinggi dan bernilai ekonomis penting.Terumbu karang menjadi habitat ikan-ikan karang, seperti ikan Kerapu, ikan Kakap Merah dan ikan Napoleon, Teripang dan Kima. Potensi terumbu karang juga memberikan jasa lingkungan karena keindahan yang dimilikinya dan sekaligus sebagai sumberdaya industri ekowisata kelautan. Namun potensi sumberdaya terumbu karang di Indonesia semakin menurun dan terancam rusak. Kerusakan terumbu karang di Indonesia diindikasikan terutama sebagai akibat aktivitas manusia. Praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan dan penggunaan racun oleh nelayan di sekitar terumbu karang. Penambangan karang dan pasir juga

Upload: fruityjuicy

Post on 17-Jan-2016

97 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Mangrove

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas

tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar

di dunia. Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan

produsen yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang

majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di lautan.

Hal ini menjadikan terumbu karang memiliki potensi keragaman jenis biota yang tinggi

dan bernilai ekonomis penting.Terumbu karang menjadi habitat ikan-ikan karang, seperti

ikan Kerapu, ikan Kakap Merah dan ikan Napoleon, Teripang dan Kima. Potensi terumbu

karang juga memberikan jasa lingkungan karena keindahan yang dimilikinya dan

sekaligus sebagai sumberdaya industri ekowisata kelautan. Namun potensi sumberdaya

terumbu karang di Indonesia semakin menurun dan terancam rusak.

Kerusakan terumbu karang di Indonesia diindikasikan terutama sebagai akibat

aktivitas manusia. Praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti

pemboman, pembiusan dan penggunaan racun oleh nelayan di sekitar terumbu karang.

Penambangan karang dan pasir juga turut andil dalam eksploitasi sumberdaya ekosistem

terumbu. Perusakan ini menjadi kekhawatiran akan punahnya biota laut di pulau kecil dan

terganggunya keseimbangan ekologi yang selanjutnya berpengaruh terhadap

berkurangnya populasi ikan.

Salah satu sumber daya laut lainnya yang cukup potensial untuk dapat

dimanfaatkan adalah lamun, Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga

(angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga

dan buah. Dimana secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting diaerah

pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal diseluruh dunia dan

merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme.

Komunitas padang lamun di perairan pesisir mempunyai manfaat baik secara

ekonomis maupun ekologis. Secara ekonomis lamun banyak dimanfaatkan sebagai bahan

makanan ternak, pupuk, bahan kerajinan, obat dan di beberapa tempat dikonsumsi sebagai

Page 2: Tinjauan Pustaka Mangrove

bahan pangan. Secara ekologis lamun merupakan tempat pemijahan (spawning ground),

tempat asuhan (nursery ground) dan sebagai tempat hidup berbagai jenis ikan dan

organisme laut lainnya.

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan memiliki

fungsi yang sangat penting. Soehardjono dan Soemarto (1998) mengungkapkan ditinjau

dari fisiknya, hutan mangrove dapat menjadi pelindung pantai (penahan abrasi karena

hempasan ombak) dan mempercepat akresi daratan. Hutan mangrove juga memiliki

fungsi ekologis yang penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat

pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari

makan (feeding ground) bagi biota-biota laut tertentu. Secara sumber daya, mangrove

menghasilkan bahan untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, arang dan bahan

bangunan. Jika dilihat dari aspek kimia, maka hutan mangrove berfungsi sebagai

penyerap bahan pencemar dan sumber energi bagi lingkungan sekitarnya (Bengen, 1998).

Selain itu mangrove juga merupakan habitat biota yang memiliki nilai ekonomis penting

seperti benih ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan dan madu serta dapat dikembangkan

sebagai objek pariwisata bahari, pendidikan dan penelitian.

Luas hutan mangrove di dunia kurang lebih 14,7 juta ha dan negara yang paling

luas hutan mangrovenya adalah Indonesia (Kamal, 1997). Ditjen Intag Dephut (1993)

memperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia 3,75 ha. Penyebarannya ditemukan

hampir di seluruh Kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Propinsi Irian

Jaya, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Selatan. Data terakhir menunjukkan luas

hutan mangrove di Jawa tinggal 74.950 ha dan di luar Jawa tinggal 3.67 juta ha, padahal

sekitar 20 tahun yang lalu luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.25 juta ha (Darsidi,

1987 dalam Arie Budiman dan Suhardjono, 1992).

1.2. Tujuan Praktikum

1.2.1. Ekosistem Lamun (Seagrass)

o Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.

o Mengetahui hubungan atau interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.

o Mampu menganalisa factor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada

ekosistem padang lamun.

1.2.2. Ekosistem Terumbu Karang

Page 3: Tinjauan Pustaka Mangrove

o Melakukan pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang di Perairan Pantai

Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

o Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode LIT

(Line Intercept Transect).

o Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,

Kecamatan Mlonggo, Jepara.

1.2.3. Ekositem Mangrove

o Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove di Perairan Pantai

Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

o Mengetaui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan metode

sample plot.

o Mengetahui keanekaragaman spesies mangrove di Perairan Pantai Blebak,

Kecamatan Mlonggo, Jepara.

1.3. Manfaat

Page 4: Tinjauan Pustaka Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1. Definisi Mangrove

Menurut Dawes (1981), kata “mangrove” berasal dari bahasa Portugis untuk

pohon (mangue) dan bahasa Inggris untuk pohon yang berdiri tegak (grove), dimana

secara ekologi termasuk didalamnya adalah semak dan pohon-pohon (dikotil dan

monokotil) yang terdapat dalam zona intertidal dan subtidal dari rawa pasang surut daerah

tropik dan subtropik.

Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove sebagai

komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar

garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua mangrove sebagai individu spesies

(Macnae 1968 in Supriharyono 2000). Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila

berkaitan dengan komunitas atau hutan dan istilah “mangrove” untuk individu tumbuhan.

Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan

payau, namun menurut Giesen (2006), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya

kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan

mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Berdasarkan dua pendapat tersebut mengenai

definisi dasar mangrove, sehingga definisi ekosistem mangrove dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan

hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara

makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air

laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam

perairan asin/payau (Santoso 2004).

Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas

tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di

daerah pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan

pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas

lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama,

yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai rendah

Page 5: Tinjauan Pustaka Mangrove

dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut.

Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus

biologi di suatu perairan (Arief, 2003).

2.1.2. Klasifikasi Mangrove

Tomlinson (1986) membagi mangrove menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Mangrove mayor, yakni yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove,

berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur

komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar

dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis

dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,

Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

2. Mangrove minor, yakni mangrove komponen yang tidak termasuk elemen yang

menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan

yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan

mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara

musiman pada pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove

lain yang merjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak

terbatas pada zona litoral. Contohnya adalah Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera,

Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia

dan Pelliciera.

3. Mangrove asosiasi, yakni komponen yang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam

komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam

tumbuh-tumbuhan darat. Contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,

Calamus, dan lain-lain.

2.1.3 Zonasi Mangrove

Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,

umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya

dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut:

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak

lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar

Page 6: Tinjauan Pustaka Mangrove

garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp)

dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora

spp).

2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek

(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp) dan di beberapa tempat

dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp).

3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan

berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis

tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (N fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air

dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang

dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada

umumnya ditumbuhi jenis nipah (N fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

2.1.4. Bentuk Adaptasi Mangrove

2.1.5. Fungsi Mangrove

Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan organisme

yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut Kusmana dkk.

(2005) dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi dan

fungsi biologi seperti yang berikut :

1. Fungsi fisik :

o Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil

o Mempercepat perluasan lahan

o Mengendalikan intrusi air laut

o Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan gelombang dan

angin kencang

o Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi)

o Mengolah bahan limbah organik

Page 7: Tinjauan Pustaka Mangrove

2. Fungsi ekonomi :

o Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu bakar),

bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar)

o Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman serta

makanan, tanin dan lain-lain

o Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman,

pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain)

3. Fungsi biologi :

o Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning

ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang,

kerang dan biota laut lainnya

o Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung

o Merupakan sumber plasma nutfah

Dari semua fungsi ini yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh bentuk

ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang

menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan.

2.1.6. Habitat Mangrove

2.1.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelulushidupan Mangrove

Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan

memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi

berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival

and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi

lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut

dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat

eksploitasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi

adalah :

Salinitas

Salinitas merupakan berat garam dalam gram per kilogram air laut. Salinitas

ditentukan dengan mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas. Salinitas dapat juga

diukur melalui konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip

Page 8: Tinjauan Pustaka Mangrove

konduktivitas ini untuk menentukan salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan

mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10- 30 ppt (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Page 9: Tinjauan Pustaka Mangrove

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis

mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa

diantaranya selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya,

sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus

pada daunnya (Noor, 2006).

Fisiografi Pantai

Fisiografi Pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi sepesies dan lebar

hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam

jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai

menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi

spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan

lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove

untuk tumbuh (LPP Mangrove, 2008).

Gelombang Arus

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada

lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan

mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan

arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai

Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk

menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung

terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir dimuara sungai.

Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan ini merupakan substrat yang baik untuk

menunjang pertumbuhan mangrove (Noor dkk, 2006).

Page 10: Tinjauan Pustaka Mangrove

Iklim

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan

air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu,

dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Cahaya

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik

mangrove. Intensitas, kualitas, dan lama pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan

mangrove (mangrove adalah tumbuhan long dayplants yang membutuhkan intensitas

cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup didaerah tropis). Laju pertumbuhan

tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan

sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap pembungaan

dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan

menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada

tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan

Jumlah, lama, dan distribusi curah hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan

mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air

dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.

3. Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun

baru A. marina terjadi pada suhu 18-200 C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi

menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal

pada suhu 26-280 C. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 270C, dan Xylocarpus tumbuh

optimal pada suhu 21-260 C.

4. Angin

Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi

dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove

(Biology Resources on Shantybio, 2004).

Page 11: Tinjauan Pustaka Mangrove

2.2. Lamun

2.2.1. Definisi Lamun

Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai

vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Padang lamun dapat berbentuk vegetasi

tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun saja atau vegetasi campuran yang disusun

mulai dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama pada suatu substrat (Kirkman,

1985 dalam Kiswara dan Winardi, 1997). Pengertian lamun sendiri menurut Den Hartog

(1970) dalam Kiswara (1997) yaitu tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh

dan berkembang baik pada dasar perairan laut dangkal, mulai daerah pasang surut (zona

intertidal) sampai dengan daerah sublitoral. Peranan padang lamun secara fisik di perairan

laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring

sedimen yang terlarut dalam air, dan menstabilkan dasar perairan (Fonseca et al., 1982

dalam Kiswara dan Winardi, 1997). Selain itu, padang lamun diketahui mendukung

berbagai jaring rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivora maupun detrivor

(McRoy dan Helferich, 1997 dalam Kiswara dan Winardi, 1997).

Fungsi akar lamun adalah sebagai tempat penyimpanan O2 hasil fotosintesis dan

CO2 yang digunakan untuk fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Rimpang dan akar lamun

menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan stabilitas permukaan

air di bawahnya, dan saat itu air menjadi lebih jernih karena sedimen halus turun ke

bawah, lalu berada diantara akar dan tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak

dan arus (Hutomo and Azkab 1987).

Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan

kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya

pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa

lamun. Menurut BTNKpS (2004) in Dwintasari (2009), jenis lamun yang tumbuh di

wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan seperti kecerahan dan substrat yang

kurang baik, serta adanya masukan pencemaran biasanya memiliki rata-rata kerapatan dan

biomassanya yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang bukan pemukiman.

Page 12: Tinjauan Pustaka Mangrove

2.2.2. Karakteristik Lamun

Tumbuhan yang hidup di laut.

Ditemukan di kedalaman rata-rata-25 m

Memiliki bunga, buah dan seed/biji

Bedasarkan penelitian Den Hartog (1970), terdapat 49 species seagrass, 12

Genus, 6 Sub-family dan 2 Family.

Penyebaran sangat luas dari daerah tropis hingga kutub.

Ada dua faktor pembatas dari seagrass community yaitu:

o Arus pasut yang kuat dan tinngi

o Tidal range sangat luas

(Nontji, A. 1987).

2.2.3. Taksonomi Lamun

Beberapa tahun yang lalu ahli taksonomi tanaman darat telah mengadopsi

percobaan fenologi sebagai studi sampingan dari spesimen kering herbarium dalam

membuat analisis. Metode percobaan termasik studi biokimia isozyme dan senyawa

sekunder (Alston dan Turner, 1962) dan percobaan pertumbuhan dalam rumah kaca serta

kultur vegetatif dan pertumbuhan dari biji (Kruckeberg, 1967). Aplikasi dari metode

percobaan ini dalam taksonomi lamun dimulai pada tahun 1974 ketika McMillan

melakukan studi fenologi sebagai bagian dari “Studi Ekosistem Lamun” yang dibiayai

oleh The National Science Foundation.

Den Hartog (1964) telah menyimpulkan bahwa sejak bunga dan buah agak jarang

ditemukan pada lamun Holodule. Ahli taksonomi telah melakukan usaha keras untuk

mencari karakter vegertatif dalam mengindentifikasi material yang steril. Tiga karakter

daun telah digunakan untuk menemukan jenis baru pada marga Holodule yaitu : lebar, ada

atau tidak ada lakuna pada tulang daun dan morfologi ujung daun yang dewasa. Den

Hartog (1964) telah menjelaskan tiga jenis baru Halodule dari perairan Pasifik, Amerika

Tengah dengan menggunakan morfologi daun sebagai bahan dasar prinsip untuk

memisahkan satu spesimen dengan yang lainnya. Den Hartog (1964) menyimpulkan

bahwa semua jenis dari marga Halodule adalah berasal dari Amerika Serikat, dimana H.

beaudettei adalah salah satu dari jenis baru yang telah terindentifkasi.

Page 13: Tinjauan Pustaka Mangrove

Philipps (1960) menemukan karaktrer daun vegetatif dari Halodule wrightii

bervariasi dengan zona pasang-surut. Pada tahun 1967, dia melaporkan bahwa ada tiga

karakteristik daun yang telah digunakan untuk membedakan jenis pada tanaman yang

sama atau tanaman yang berbeda pada daerah pasang surut. Lebih lanjut Philipps et al.

(1974) menemukan bunga dan buah yang melimpah dari Halodule di Texas. Sejak bunga

disepakati sebagai deskripsi untuk jenis H. wrightii, dan sejak morfologi ujung daun

dijadikan interprestasi sebagai material koloni, maka disimpulkan bahwa material tersebut

merupakan jenis H. wrightii. Menurut Den Hartog (1964) disamping itu, telah

disimpulkan juga bahwa semua marga Halodule di Teluk Meksiko adalah lamun jenis H.

wrightii.

Den Hartog (1964) menemukan jenis baru dari marga Zostera yang ditemukan di

Washington, disebut Z. nana Roth (Z. noltii Hornem), i.e. Z. americana den Hartog.

Sedangkan deskripsi jenis dari Z. americana dan Z. noltii dianggap telah terjadi tumpang

tindih dari bagian-bagian tanaman pada kedua jenis lamun tersebut. Philipps et al. (1974)

telah melakukan penelitian pada beberapa koleksi vegetatif dan reproduktif pada marga

Zostera di perairan Washington, dan pada lamun marga Zostera tersebut telah ditemukan

retinakula yang merupakan salah satu ciri untuk mengindentifikasi jenis Z. noltii dan Z.

americana. Tetapi, Philipps et al. (1974) telah menyimpulkan bahwa jenis-jenis lamun

dari marga Zostera yang ditemukan di perairan Washington adalah Z. noltii, sedangkan

jenis lamun Z. americana masih diperdebatkan keabsahannya.

Sejarah menunjukkan bahwa ahli taksonomi tanaman telah menggunakan

morfologi flora sebagai dasar untuk pemisahan jenis tanaman berpembuluh. Biasanya,

struktur flora digunakan sebagai perbandingan untuk bagian vegetatif dari tanaman.

Masalahnya pada lamun adalah pada beberapa jenis lamun, pembungaannya jarang atau

tidak sama sekali (Den Hartog, 1964). Jadi penggunaan karakter vegetatif dalam

taksonomi telah lama berkembang. Dalam kasus Halodule, reproduksi seksual belum

diketahui sampai tahun 1974, setelah itu telah ditemukan bunga secara konsiten di Texas

(Philipps et al, 1974).

Page 14: Tinjauan Pustaka Mangrove

2.2.4. Perairan Pantai Blebak Terhadap Ekosistem Lamun

a. Kondisi Perairan

b. Jenis Substrat

c. Letak Geografis

d. Jenis Lamun yang Ada

2.2.5. Fungsi Ekosistem Lamun

Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem

pesisir dan sangat menunjang dalam mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih

penting lagi sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang

lamun, yaitu:

1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai

perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih

jernih

2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non

ikan)

3) lamun sebagai produser primer

4) komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan

perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan

5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka

di lingkungan laut

(Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).

Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang

berada diperairan sekitarnya. Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai

makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650

gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada

Page 15: Tinjauan Pustaka Mangrove

suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan

ammonium (Green dan Short, 2003).

2.3. Karang

2.3.1. Definisi Karang

Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat

kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur

(Calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat

(CaCO3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina)

merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -

building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum

Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari

dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya

dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.

Menurut Sorokin (1993) terumbu karang (Coral reef) merupakan masyarakat

organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang

cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang

dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur,

dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu

karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu

organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu

ekosistem.

2.3.2. Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal,

seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai

pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu

perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar dan sirkulasi air yang lancar serta

terhindar dari proses sedimentasi. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang

baik dalam memperbaiki bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai

macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya

terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem lainnya, terumbu karang tidak memerlukan

Page 16: Tinjauan Pustaka Mangrove

campur tangan atau manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Dahuri

et al, 2004).

Dalam proses saling makan, berbagai biota laut yang hidup dalam lingkungan

komunitas terumbu ada yang bersimbiosis mutualisme, komensalisme, dan parasitisme.

Yang berbentuk hubungan komensalisme dengan terumbu karang antara lain hewan-

hewan Decapoda (Crustaceae) misalnya udang dan rajungan (Portunus spp) serta

berbagai jenis ikan karang membutuhkan keberadaan terumbu karang sebagai tempat

berteduh (shelter) dan tempat menyelinap (sembunyi) untuk melindungi diri dari serangan

predator, serta tempat mencari makan berupa plankton dan serasah. Organisme lain yang

juga bisa ditemui dilingkungan terumbu karang antara lain bulu babi (Diadema), hewan

bangsa kerang-kerangan (Pelecypoda), ubur-ubur (jellyfish), bintang mengular

(Ophiuroidea), bintang laut (Asterias sp), sea anemones, cumi (loligo sp), gurita (octopus

spp), dan sebagainya (Wibisono, 2005).

Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu

karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive

terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,

eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan

perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di

tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan

kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa

pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di

atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan

mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa

curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)

dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan

salinitas air laut.

Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi

terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang

melimpah (overgrowth) terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari

lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis.

Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan

oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC.

Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan

Page 17: Tinjauan Pustaka Mangrove

suhu sekitar 25 o C sampai 29 oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak

dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).

2.3.3. Keragaman Terumbu Karang

2.3.4. Klasifikasi Terumbu Karang

2.3.5. Habitat Karang