tinjauan pustaka : rsu wahidin adherence odha
DESCRIPTION
RSU WAHIDIN Adherence ODHATRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum HIV/AIDS
1. Defenisi HIV AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang
menyebabkan suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan fungsi
sistem kekebalan. Sindrom disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Virus ini menyerang sel CD4 (sel T yang pada
permukaannya mengandung CD4 yang merupakan reseptor untuk
peptida dan makromolekul dan mikroba termasuk virus HIV (Stine
2011: Gragina 2007)
2. Struktur HIV
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical)
hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus
(virion). Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian
besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung terdapat bagian yang
disebut protein matriks. (http://wikipedia.org/wiki/HIV, diakses
desember 2013)
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut,
dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes.
Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein
13
nukleokapsid p7/p9, duakopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu
protease, reverse transcriptase dan integrase .
Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan
merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi
oleh matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan di
bawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung
dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam
sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag, pol, dan
env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein
prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi
protein mature (Jawet, 2001).
3. Patofisiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
penjamu untuk membentuk virus DNA baru dan dikenali selama
periode inkubasi yang panjang. Retrovirus ditularkan melalui darah
melalui kontak intim (seksual), dan mempunyai afinitas yang kuat
terhadap limfosit T. Pada retrovirus, informasi genetik ditransmisikan
melalui rantai tunggal RNA. Agar RNA mereplikasi diri, informasi ini
ditransfer ke dalam nukleus sel hospes. Aliran informasi terbalik “retro”
dari RNA ke DNA dibuat oleh enzim pembalik transcriptase yang
terdapat dalam partikel retrovirus (Nasronuddin, 2007).
14
Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode
inkubasi yang panjang (klinik laten), dan menyebabkan munculnya
tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem
imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri.
Dalam proses tersebut, HIV menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Limfosit T mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya
dengan sel lain antara lain memiliki marker permukaan seperti CD4+,
CD8+ dan CD3+. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi
sel B, killer sel dan makrofag saat ada antigen target khusus. Sel
CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel
kanker. Limfosit T juga mempunyai kemampuan untuk mensekresi
sitokin seperti Interferon. Sitokin dapat mengikat sel target dan
mengaktivasi proses inflamasi. Limfosit T juga membantu
perkembangan sel, mengaktivasi fagositosis, dan menghancurkan sel
target. Interleukin adalah sitokin yang bertugas sebagai messenger
antar sel darah putih (Nursalam,2007).
Sel penjamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang
sangat pendek, yang berarti HIV secara terus menerus menggunakan
sel penjamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus
dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh
sel Dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama
setelah paparan.Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke
15
nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5
hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat.
Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu : type HIV-1 dan
type HIV-2. Type HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih
cepat (Nursalam,2007).
4. Epidemiologi
Faktor resiko epidemiologis meliputi : (Depkes RI, 2001 dalam
Adhyana S, 2010) Perilaku beresiko (sekarang atau dimasa lalu) :
a) Pecandu narkotik suntikan.
b) Hubungan seksual yang tidak aman.
1. Memiliki banyak mitra seksual
2. Mitra seksual yang diketahui sebagai pasien HIV-AIDS
3. Mitra seksual dari daerah dengan prevalensi HIV-AIDS
yang tinggi
4. Homoseksual
5. Pekerja pada tempat hiburan seperti : panti pijat, diskotik,
karaoke atau tempat prostitusi terselubung.
6. Mempunyai riwayat penyakit menular seksual.
c) Riwayat menerima transfusi darah berulang.
d) Bayi-bayi dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS secara in-utero.
e) Riwayat perlukaan kulit :tato,tindik atau sirkumsisi dengan
alat yang tidak steril.
16
5. Stadium Klinis HIV/AIDS
Menurut WHO stadium klinis infeksi HIV dibagi dalam empat
stadium, yaitu (Levy D, 2004; Ayalu 2011) :
Tabel 2.1. Stadium klinik HIV pada Orang Dewasa Menurut WHO (2008)
Stadium I : Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata PersistenStadium II : Sakit Ringan Penurunan berat badan 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka disekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic popular eruption) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kukuStadium III : Sakit Sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (HB < 8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)Staidum IV : Sakit Berat (AIDS) Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan Kandidosis esophageal TB Extraparu Sarcoma Kaposi Retinitis CMV (Cytomegalovirus) Abses otak Toksoplasmosis Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifocal progresif (PML) Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas,
17
histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis) Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan
tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV) Kanker serviks invasive Leismaniasis atipik meluas Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.
6. Diagnosis
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu
metode pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi.
a) Diagnosis Klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus
klinik dan sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah
mengeluarkan batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan
dan merubah klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan
infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria
diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat (Read,
2007 dalam Mariam, 2010).
Tabel 2.2. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
18
Keadaan Umum Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,50 C)
lebih dari satu bulan Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan Limfadenofati meluas
KulitPPE* (Pruritic Popular Eruption)* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur Kandidosis oral*Dermatitis seboroikInfeksi jamur Kandidosis oral*
Infeksi Viral
Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu dermatom)*Herpes genital (kambuhan)Moluskum kontagiosumKondiloma
Gangguan pernafasan
Batuk lebih dari satu bulanSesak nafasTBPnemoni kambuhanSinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis
Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelaspenyebabnya)Kejang demamMenurunnya fungsi kognitif
*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
(Sumber : WHO SEARO 2007 dalam Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
b) Diagnosis Laboratorium
19
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap
HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme
immunoassays atau enzyme – linked immunosorbent assay
(ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test skrining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun
meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit
absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV
tetapi digunakan untuk evaluasi.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus,
tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test
(NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti
DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji
untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
B. Tinjaun umum Pengobat Antiretroviral (ARV)
20
1. Defenisi Obat Antireroviral (ARV)
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi
Humanm Immunodeficiency Virus (HIV) (DepKes, 2006). Pengobatan
infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi
kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah
perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus
HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif
sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi oportunistik,
keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan
yang akhirnya mendorong ke arah kematian (Ayalu 2011)
2. Jenis dan Golongan Obat Antiretroviral (ARV)
Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6
golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
1) Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI)
NRTIs bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse
transcriptaseHIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus
yang sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat golongan ini
memerlukan aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim
menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari : Analog
deoksitimidin (Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog
deoksiadenosin (Didanosin), analog adenosisn (Tenovir disoproxil
21
fumarat/TDF), analog sitosin (Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog
guanosin (Abacavir) (Katzung, 2004).
2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
NNRTIs bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada
situs aktif enzim reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas
polimerase DNA terhambat. Golongan ini tidak bersaing dengan
trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi
aktif. Golongan ini terdiri dari: Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine
(Katzung, 2004).
3) Protease inhibitors (PIs)
Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen
Gag-Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian
menjadi partikel yang belum matang. Protease bertanggung jawab
pada pembelahan molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein
bentuk akhir dari inti virion matang dan protease penting untuk
produksi virion infeksius matang selama replikasi. Golongan ini
terdiri dari : Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir (Katzung,
2004).
4) Fusion inhibitors (FIs)
FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara
berikatan dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke sel target dihambat. Obat golongan ini terdiri
dari : Enfuvirtide (T-20 atau pentafuside).
22
5) Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan
sel pejamu. Golongan ini terdiri dari : Maraviroc, Aplaviroc,
Vicrivirox (Tsibris, 2007).
6) Integrase Strand Transfer Inhibitors (INSTI)
Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA
(cDNA) virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri
dari : Raltegravir dan elvitegravir (Evering H, 2008).
Terapi tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV
yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat antiretroviral merupakan
strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk sebagai terapi
antiretroviral yang sangat aktif (HAART). (Jawetz, 2005).
3. Tujuan Pengobatan Antiretroviral (ARV)
Berdasarkan pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan
dengan Antiretroviral (Mariam, 2010) adalah :
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan
dengan HIV
3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
4. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan tubuh
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus
menerus
23
4. Kombinasi Antiretroviral
Prinsip Pemilihan obat ARV adalah :
1) Pilihan pertama Lamivudin (3TC), ditambah
2) Pilihan dari salah satu obat dari golongan nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI), Zidovudin (AZT) atau Stavudin (d4T)
Tabel 2.3. Pilihan paduan ARV untuk lini pertama
Anjuran Paduan ARV KeteranganPilihan Utama AZT+3TC+NVP AZT dapat menyebabkan anemia,
dianjurkan untuk pemantauan hemoglobin, tapi AZT lebih disukai dari pada d4T karena efek toksik d4T (lipodistrofi, asidosis laktat, neuropati perifer) Pada awal penggunaan NVP terutama pada pasien perempuan dengan CD4> 250 beresiko untuk timbul gangguan hati simtomatik, yang biasanya berupa ruam kulit yang sering terjadi pada 6 minggu pertama dari terapi.
Pilihan alternatif AZT+3TC+EFV Efavirenz (EFV) sebagai substitusi dari NVP manakala terjadi intoleransi dan bila pasien mendapat terapi ripamfisin. EFV tidak boleh diberikan bila ada peningkatan enzim alanin aminotransferasi (ALT) pada tingkat 4 atau lebih. Perempuan hamil tidak boleh diterapi dengan EFV. Perempuan usia subur harus menjalani tes kehamilan terlebih dahulusebelum mulai terapi dengan EFV
d4T+3TC+ NVP atau EFV
d4T dapat digunakan dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium
(Sumber : DepKes, 2007)
5. Kriteria Untuk Memberikan Obat Antiretrovirus (ARV)
Keputusan untuk mulai memakai obat ini tidak dapat ditentukan
secara pasti. Ada beberapa kriteria untuk seorang ODHA dapat
24
diberikan obat antiretroviral. Kriteria untuk memberikan terapi
antiretrovirus sebagai berikut (Depkes 2007):
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah
dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus
Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun.
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan
pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi,
efek samping yang mungkin terjadi, dll.
4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan
mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi
yang dapat timbul akibat ART.
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb,
tes fungsi hati, dll.
6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum
dan infeksi oportunistik akibat HIV.
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup,
termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang
berhubungan dengan HIV.
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor,
pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu
pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) dan pendampinya.
25
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan
umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif
termasuk sistem untuk menyebar luaskan informasi dan
pedoman baru.
C. Tinjauan Umum Kepatuhan Berobat Antiretroviral (ARV)
Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kepatuhan atau adherence pada
terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya
atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah
dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat
kepatuhan minum obat.
Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi
secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering
diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat
kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa
untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari
semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika
pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga
kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan
26
yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat.
(Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral, 2011)
Alasan utama terjadinya kegagalan terapi ARV adalah ketidakpatuhan
atau adherence (kepatuhan) yang buruk. Kepatuhan harus selalu dipantau
dan dievaluasi secara teratur serta didorong pada setiap kunjungan
pasien. Kepatuhan pada pengobatan antiretroviral sangat kuat
hubungannya dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi,
meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Karena
pengobatan HIV merupakan pengobatan seumur hidup, dan karena
banyak pasien yang memulai terapi dalam kondisi kesehatan yang baik
dan tidak meunjukkan tanda penyakit HIV.
Berdasarkan Pedoman Nasional terapi Antiretroviral (ARV) oleh
Depkes RI, dinyatakan bahwa kepatuhan minum ARV yang diaharapkan
adalah 100%, atau mencapai Highly Active Antiretroviral Therapy
(HARART), artinya semua kombinasi dosis harus diminum tanpa terlewati,
sesuai waktu dan dengan cara yang benar. Ada 3 (tiga) klasifikasi tingkat
kepatuhan pengobatan ARV yaitu Kepatuhan Baik jika jumlah kombinasi
obat ARV < 3 dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (≥ 95%) ;
Kepatuhan sedang yaitu jika jumlah 3-12 dosis kombinasi obat ARV tidak
diminum dalam periode 30 hari (80-95%) ; Kepatuhan Rendah (< 80%)
jika lebih dari 12 dosis jumlah obat ARV tidak diminum dalam periode 30
hari. (Depkes 2007, dalam Reynold, 2012)
27
Kepatuhan berhubungan dengan karakteristik pasien, aturan dan
dukungan kuat dari keluarga pasien. Informasi harus diberikan dan pasien
mengerti mengenai penyakit HIV dan aturan khusus untuk menggunakan
obat adalah sangat penting. Beberapa faktor yang berhubungan dengan
kurangnya kepatuhan, meliputi :Tingkat pendidikan dan pengetahuan
yang rendah, umur (seperti : kurang penglihatan, lupa), kondisi psikis
(seperti : depresi, kurang dukungan sosial, dimensia, psikosis), pelayanan
yang kurang baik, kesulitan menerima pengobatan (seperti : sulit menelan
obat, jadwal minum obat harian), aturan pakai yang rumit (seperti :
frekuensi pemberian obat, persyaratan makanan), efek obat yang tidak
diinginkan, pengobatan melelahkan, tidak adanya dukungan sosial.
(WHO, 2008).
D. Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan
Antiretroviral (ARV)
1. Faktor Usia
Menurut Brannon dan Feist, (1997) Hubungan antara kepatuhan
dengan usia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang
mempengaruhi hubungan antara kepatuhan dengan usia diantaranya
adalah faktor penyakit, dan waktu terjangkit penyakit. Penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa kepatuhan dapat meningkat atau
menurun sejalan usia. Pasien berusia 50-an waktu terinfeksi HIV
menanggapi pengobatan HIV (ARV) secara lebih baik dibandingkan
28
dengan pasien yang berusia 18-49. Hal ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan Souleymane et al (2007) di Pantai Gading menyatakan
bahwa usia pasien HIV dibawah 35 tahun memiliki risiko 2 kali untuk
tidak patuh berobat dibandingkan dengan meraka yang lebih tua (> 35
tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Newman (2011) dimana hasil
penelitiannya menemukan bahwa pasien ODHA yang lebih tua (> 50
tahun) cenderung patuh terhadap pengobatan dibandingkan mereka
yang berusia 18-49 tahun.
Tabel Sintesa Faktor Usia dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS atau ODHA
NoJudul dan Sumber
JurnalPeneliti (tahun)
Karakteristik
Temuan Subjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Determinants of adherence to highly active antiretroviral therapy among HIV-1-infected patients in Coˆte d’Ivoire
Sumber(http://
journals.www.com/aidsonlin)
Souleymane et al (2008)
591 Pasien rawat
jalan di klinik RS
pantai Gading
Kuesioner, Interview, dan Self-Reported
Observational prospektif
faktor yang secara independen terkait dengan
ketidakpatuhan salah satunya yaitu usia kurang dari 35 tahun [risiko relatif
(RR) 1,45, 95% confidence interval (CI) 1,17-1,79],
2 Older Adults Accessing HIV Care and Treatment and Adherence in the IeDEA Central Africa Cohort
Sumber(www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/)
Jamie Newman
et al (2011)
18.839 orang
dewasa yang
terdaftar diperawatan HIV
di IeDEA Afrika
Tengah
Kuesioner Self-
reported,
Cross-sectional Mereka yang berusia 50 + yang lebih cenderung
patuh terhadap pengobatan dibandingkan
mereka yang berusia 18-49 (P <0,001).
29
2. Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus
tak terputus dari generasi ke generasi di manapun di dunia ini. Upaya
memanusiakan manusia melalui pendidikan itu diselenggarakan sesuai
dengan pandangan hidup dan latar belakang sosial setiap masyarakat
tertentu (Tirtarahardja et al., 2005). Faktor yang sangat berhubungan
dan mempunyai pengaruh penting terhadap kepatuhan berobat adalah
tingkat pendidikan pasien. Dimana semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin dia patuh untuk minum obat. Pendapat ini
dikuatkan dengan beberapa penelitian diantaranya dilakukan oleh
peneliti belanda Julia Arnsten (2007) yang meneiliti tentang faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV pada ODHA pengguna
Jarum suntik dan Narkoba dimana hasil penelitiannya menemukan
bahwa kepatuhan berobat ODHA terkait dengan pendidikan ODHA
yaitu lulusan SMA.
Untuk di Indonesia penelitian serupa dilakukan oleh Reynold (2012)
pada ODHA di dua Rumah Sakit Layanan Pengobatan ARV di Kota
Mimika Papua. Dalam penelitiannya faktor pendidikan dibagi atas
menjadi dua jenis yaitu Tinggi (SMA sampai Perguruan Tinggi) dan
rendah (SD sampai SMP). Dari pembagian tersebut maka ditemukan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ODHA yang memiiki tingkat
pendidikan tinggi (SMA – Perguruan tinggi) 20 kali lebih patuh untuk
berobat ARV dibandingkan dengan ODHA yang berpendidikan rendah.
30
Tabel Sintesa Faktor Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS atau ODHA
NoJudul dan Sumber
JurnalPeneliti (tahun)
Karakteristik
Temuan Subjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Factors Associated With Antiretroviral Therapy
Adherence and Medication Errors
Among HIV-Infected Injection Drug Users
Sumberwww.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed
Julia H. Arnsten et al (2007)
636 ODHA IDU
(pengguna jarum suntuk
Narkoba) yg
mengambil ARV
Kuesioner, data
Interview, dan Self-Reported
Randomized-trial
Kepatuhan yang baik secara independen terkait
dengan responden dengan lulusan SMA
[AOR = 1.57 (1.03 - 2.41)]
2 Faktor-Faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan minum Obat ARV di Kota Mimika
PapuaSumber :
lontar.ui.ac.id
Reyonold R (2012)
Pasien HIV /ODHA yang
menggunakan
ARVada di 2 RS di
Kota Timika
Kuesioner rekam
medik & Self-
reported,
Cross-sectional
Faktor tingkat pendidikan berhubungan dengan
kepatuhan ARV ODHA (p = 0,000) dan akan patuh 20 kali dalam pengobata ARV (OR: 20,08; 95%CI :
2.65-159.3)
3. Faktor Pengetahuan Pengobatan
Pasien HIV atau ODHA yang kurang mengetahui pengobatan
sering tidak mengetahui aturan pengobatan yang diberikan oleh
petugas kesehatan dan oleh karena itu tingkat kepatuhan pengobatan
lebih rendah. Penelitian yang terkait dengan faktor pengetahuan dapat
mempengaruhi kepatuhan berobat ARV dteliti oleh Sharada et al
(2012) yang menyatakan bahwa pasien ODHA yang memiliki
pengetahuan kurang tentang ARV memiliki 9 kali berisiko untuk tidak
patuh berobat ARV. Sebaliknya hasil penelitian Oyore (2013)
menemukan bahwa pasien dengan pengetahuan memadai tentang
ARV memiliki hubungan yang kuat terhadap kepatuhan berobat.
31
Tabel Sintesa Faktor Pengetahuan dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS atau ODHA
NoJudul dan Sumber
JurnalPeneliti (tahun)
Karakteristik
TemuanSubjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Factors Influencing Adherence to Antiretroviral
Treatment in Nepal: A Mixed-Methods StudySumber : PlosONE
http://www.plosone.org
Sharada P et al (2012)
330 pasien yang
berobat ART di Nepal
Kuesioner Adult AIDS
Clinical Trial
Groups (AACTG), Indepth
Interview
Mixed Methods
Kurangnya pengetahuan dan persepsi negatif terhadap obat
ART secara signifikan mempengaruhi ketidakpatuhan [OR=9.07 (3.20 to 25.73) p <
0.001]
2 Determinants of adherence to
antiretroviral therapy (ART) among patients attending public and
private health facilities in Nairobi, Kenya
Sumber : Academicjournals
(academicjournals.org/journal/JAHR/)
J. P. Oyore et al
(2013)
450 pasien yang
mendatangi fasilitas
kesehatan baik
pemerintah maupun
swasta di Nairobi
Kuesioner Interview dan FGD
Cross-setional
Salah Satu Faktor utama yang ditemukan berhubungan dengan kepatuhan adalah
pengetahuan yang memadai mengenai ARV (χ2 = 106.432 df
= 7, p = 0.001)
4. Faktor Efek Samping ARV
Mengingat terapi ARV adalah terapi seumur hidup, maka masalah
kepatuhan terapi merupakan permasalahan umum. Berbagai penelitian
menunjukkan beberapa hal yang menghambat kepatuhan antara lain
takut akan efek samping.
Keterkaitan efek samping obat terhadap kepatuhan terapi ARV
ODHA ditemukan bahwa kekhawatiran tentang potensi efek samping
pengobatan ARV akan berisiko menurunkan tingkat kepatuhan berobat
ODHA dan efek samping dengan rasa mual setelah mengkonsumsi
obat ARV secara langsung mempegaruhi penurunkan angka
32
kepatuhan pasien HIV AIDS di Intansi Kesehatan Dakar, Senegal. (p =
0.000). (Robert Horne et al 2007; Ture et al ,2012)
Tabel Sintesa Faktor Efek Samping Pengobatan dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS atau ODHA
NoJudul dan Sumber Jurnal
Peneliti (tahun)
Karakteristik
TemuanSubjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Patients’ Perceptions of Highly Active AntiretroviralTherapy in Relation to Treatment Uptake and AdherenceSumber : http://journals.lww.com/jaids
Roberts H, et al (2007)
153 Pasien yang berusia Dewasa yang terdaftar pada
klinik rawat jalan HIV di
Brighton, Inggris
yg mengikuti terapi ARV
Kuesioner Longitudinal prosektif
Kepatuhan ART berkaitan dengan persepsi kebutuhan pribadi untuk pengobatan
([OR] = 7.41, 95% [CI]: 2,84-19,37)
Kekhawatiran tentang potensi efek samping (OR = 0,19, CI 95%: 0,07-0,48) merupakan
faktor protektif terhadap kepatuhan ART
2. Predictors of ART
Adherence among HIV
infected Individuals in
Dakar, Senegal
Sumber : Proquest -
interesjournals.org
http://www.interesjou
rnals.org/JMMS
P.G. Sow et al
(2012)
60 Pasien ART yang
meliputi laki-laki,
perempuan, Trans gender
dan anak-anak di Institut
Kesehatan dan
Kebersihan, Dakar,
Sanegal
Kuesioner dan
Wawancara terstruktur
Cross sectional
efek samping obat merasakn mual, sakit kepala berlebihan
(p-value-.000) secara langsung berhubungan
dengan ketidakpatuhan, dan ketidakpuasan pada jumlah obat yang dikonsumsi (p-
value.015) telah memberikan kontribusi untuk ketidakpatuhan
5. Faktor Pengungkapan Status HIV
Pengungkapan Status HIV merupakan hal yang berat bagi ODHA
karena adanya ketakutan mendaptkan stigma yang buruk dari
lingkungan dimana mereka tinggal. Menurut buku seri kesehatan
Mental dan HIV AIDS yang dikeluarka WHO pada tahun 2005,
mmberikan pengertian tentang pengungkapan yaitu Bercerita kepada
33
orang lain bahwa seseorang positif HIV, kepada keluarganya,
kelompok pergaulannya, serta kepada petugas layanan kesehatan.
(Kerry Saloner et al, 2005)
Mengungkapkan status HIV bagi seorang ODHA memang
membutuhkan banyak dukungan dari luar, seperti dukungan teman
sebaya, atau mendapatkan dukungan dari komunitas ODHA. Dengan
mampunya seorang ODHA untuk mengungkapkan status HIV mereka,
hal tersebut ankan membantu mereka untuk patuh dalam memenuhi
kebutuhan pengobatan ARV mereka. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengungkapan status HIV pada ODHA
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan berobat
ARV diantaranya yaitu baru-baru ini tahun 2011 Kiran Bam et al yang
meneliti ODHA di Nepal dimana hasi penelitian mengungkapkan
bahwa pengungkapkan status HIV ODHA secara signifikan
berhubungan dengan peningkatan kepatuhan berobat ARV dan 3 kali
memiliki pengaruh terhadap kepatuhan Berobat terapi ARV.
Begtiu pula yang dilakukan oleh Grace pada tahun 2012 pada
ODHA di pusat layanan kesehatan HIV AIDS di Keffi Nigeria dimana
hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan pengungkapan
status HIV ODHA terhadap kepatuhan berobat ARV yakni
pengungkapan status terhadap keluarga Penderita HIV.
34
Tabel Sintesa Faktor Pengungkaan Status HIV dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS
atau ODHA
NoJudul dan Sumber Jurnal
Peneliti (tahun)
Karakteristik
Temuan hasil penelitianSubjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Adherence to Anti-Retroviral
Therapy among People
Living with HIV and AIDS in Far West,
NepalSumber :
http://www.nepjol.info/index.php/
AJMS
Kiran Bam et al 2011
Pasien di usia atas 15 tahun
dan memakai
ART paling
sedikit 3 bulan
In-depth Interview, Kuesioner
Cross Sectional
Peningkatan kepatuhan secara signifikan berhubungan dengan
pengungkapkan status HIV (OR: 3,25; 1,02-10,19)
2 Adherence To Highly Active Antiretroviral Therapy And
Its Challenges In People
Living With Human
Immunodeficiency Virus
(HIV) Infection In Keffi, Nigeria
Sumber : academicjournals.org/journ
al
Grace R et al
(2012)
250 penderita
positif (HIV) yang
mengikuti terapi ARV
Kuesioner Self-
reported,
Cross-sectional
Pengungkapan status HIV kepada anggota keluarga (p ≤ 0,05)
secara signifikan berhubungan dengan keptuhan ART
6. Faktor Pelayanan Kesehatan
Kepatuhan berbat ODHA atau pasien HIV AIDS dapat
dipengaruhi dengan kemudahan ODHA untuk dapat mengakses
layanan kesehatan yang menyediakan pengobatan (Reynold, 2011).
Namun Berbagai kendala yang dialami ODHA dalam mengakses ARV,
di antaranya keterbatasan pelayanan kesehatan seperti lokasi rumah
sakit rujukan yang berada di perkotaan, jarak pelayanan ART yang
35
jauh dari rumah ODHA serta pemeriksaan darah dan kepuasan
konseling pelayanan serta waktu tunggu pasien dalam mengambil obat
lama dan cepat. Hal semacam ini yang membuat ODHA cenderung
untuk mengalami ketidakpatuhan dalam menjalani dan mengikuti terapi
pengobatan ARV. (Hadisetyono B dalam Yuyun, 2013)
Beberapa penelitian yang dilakukan seperti Kiran Bam et al
(2011) yang menelitii variabel akses pelayanan kaitannya dengan
kepatuhan ODHA di Nepal menemukan bahwa peningkatan kepatuhan
terapi ARV secara signifikan ditentukan oleh kepuasan sangat baik
pasien HIV AIDS dengan penyedia layanan terapi dan menurunya
kualitas kepatuhan ODHA dalam terapi ARV ditentukan oleh waktu
dan jarak ODHA untuk mencapai fasilitas perawatan. Serupa dengan
penelitian yang dilakukan Samwel et al (2011) yang menemukan
bahwa akses klinik ART dalam jarak yang jauh ODHA terkait dengan
ketidakpatuhan pengobatan ART.
36
Tabel Sintesa Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS
atau ODHA
NoJudul dan Sumber Jurnal
Peneliti (tahun)
Karakteristik
Temuan hasil penelitianSubjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Adherence to Anti-Retroviral
Therapy among People
Living with HIV and AIDS in Far West,
NepalSumber :
http://www.nepjol.info/index.php/
AJMS
Kiran Bam et al 2011
Pasien di usia atas 15 tahun
dan memakai
ART paling
sedikit 3 bulan
In-depth Interview, Kuesioner
Cross Sectional
Peningkatan kepatuhan secara signifikan ditentukan oleh mudah
untuk mencapai fasilitas kesehatan (OR: 2,86, 1,10-7,47)
Kepuasan yang sangat baik dengan penyedia layanan terapi
(OR: 13,11; 4,75-36,19)
2 Factors associated with non-
adherence to highly active antiretroviral
therapy in Nairobi, Kenya
sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pmc/
Samwel N et al
(2011)
416 pasien
berusia di atas 18 tahun
Kuesioner terstruktur
Cross - Sectional
Mengakses klinik ART dalam jarak yang jauh, (OR = 2,387, CI.95 = 1,155-4,931, p = 0,019) terkait
dengan ketidakpatuhan pengobatan ARV
7. Faktor Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan suatu fungsi pertalian social yang
menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan
interpersonal yang melindungi individu dari konsekuensi stress dan
memberikan kenyamanan psikis yang dapat diperoleh dari keluarga,
teman, rekan, dan yang lainnya (Rook dalam fibrianty, 2009).
Dukungan sosial dapat datang dari berbagai sumber, seperti
keluarga, teman, tetangga, rekan kerja, ahli profesional, dan kenalan
37
lainnya dari individu. Sumber dukungan sosial itu dapat memberikan
dukungan berupa dukungan fisik (berupa meminjamkan uang,
bantuan) dan meyakinkan individu bahwa ia dipedulikan,disayangi, dan
dihargai (DiMatteo dan Martin, 2002). Namun menurut kajian literature
Ayalu et al (2011) menyimpulkan bahwa ada dua faktor dukungan
sosial yang dapat membantu ODHA dalam meningkatkan kepatuhan
berobat mereka, yaitu : dukungan dari keluarga dan dukungan teman
sebaya. Dukungan sosial dari keluarga, teman dan tenaga kesehatan
memberikan pengaruh penting terhadap kepatuhan ODHA dalam
minum ARV. (Badahdah AM dan Han, 2013).
Penelitian yang berkaitan dengan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan berobat ARV ODHA telah banyak dibuktikan diantaranya
Berdasarkan penelitian Souleyman et al (2007) yang dilakukan pada
pasien ODHA di pantai gading menemukan bahwa ODHA yang tidak
mendaptkan dukunga sosial dari kelurganya berisiko 1-2 kali untuk
tidak patuh berobat ARV dan menurunkan kepatuhan berobatnya.
Sedang penelitian Homairah et al (2013) tentang pengaruh variabel
dukungan sosial terhadap pengobatan ARV yang dilakukan pada
pasien HIV AIDS di kota Rio De Jeneiro Brazil mengungkapkan
bahwa pasien ODHA yang mendapat dukungan sosial yang tinggi
(keluarga, teman sebaya (ODHA), dan petugas kesehatan) skuat
hubungannya dengan peningkatan kepatuhan berobat ARV
38
Tabel Sintesa Faktor Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Berobat ARV (Antiretroviral) Pasien HIV/AIDS atau ODHA
NoJudul dan Sumber
JurnalPeneliti (tahun)
Karakteristik
Temuan PenelitianSubjek Instrumen
DesainPenelitian
1 Determinants Of Adherence To Highly Active Antiretroviral
Therapy Among HIV-1-Infected Patients
In Coˆte d’IvoireSumber(http://
journals.www.com/aidsonlin)
Souleymane et
al (2007)
591 Pasien rawat jalan di klinik RS Pantai Gading
Kuesioner, Interview, dan Self-Reported
Observational prospektif
faktor yang secara independen terkait dengan ketidakpatuhan
salah satunya tidak adanya dukungan sosial dari keluarga (RR 1,66, 95% CI 1,24-2,24),
2 Individual And Contextual Factors
Of Influence On Adherence To Antiretrovirals Among People
Attending Public Clinics in Rio de Janeiro, Brazil
Sumber : http://link.springer.
com
Homaira Hanif
et al (2013)
632 total pasien dari 6 klinik kesehatan masyarakatdi kota Rio De Jeniero, Brasil
Kuesioner Cross sectional
84% responden patuh terhadap dosis ARV. Variabel sosio-demografi, mereka yang
memiliki anak terkait positif dgn kepatuhan (AOR 2,29 CI [1,33-
3,94]). ODHA dengan dukungan sosial yang tinggi (dari keluarga, teman, dekat, sesam ODHA dan petugas
layanan) (AOR 2,85 CI [1,50-5,41]) berhubungan positif
dengan kepatuhan terhadap ARV.
39
E. Kerangka Teori
Berdasarkan teori pada tinjauan pustaka maka disusun kerangka
teori penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1.Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi Teori Green Lawrence 1980 Ayalu 2011 (Faktor Predisposisi); Kar 1983 (Faktor
Pelayanan Kesahatan & Dukungan Sosial)
Faktor Predisposisi 1. Usia2. Tingkat Pendidikan3. Suku4. Pengetahuan Pengobatan5. Persepsi ARV6. Efek Samping7. Konsumsi Alkohol8. Pengungkapan Status HIV
Faktor Pelayanan Kesehatan
1. Biaya Pengobatan2. Akses Layanan
kesehatan.3. Stigma.4. Konseling Kepatuhan
Kepatuhan Pengobatan ARV
Faktor Dukungan Sosial 1. Dukungan Keluarga2. Dukungan Komunitas Sebaya
40
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori, maka dapat disusun kerangka
konseptual variabel penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel DependenVariabel Independen
Faktor Predisposisi 1. Usia2. Tingkat Pendidikan3. Pengetahuan Pengobatan4. Riwayat Efek Samping ARV
Faktor Pelayanan Kesehatan Akses Layanan kesehatan
Faktor Dukungan Sosial 1. Dukungan Keluarga2. Dukungan Teman Sebaya
Kepatuhan Pengobatan ARV
41
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian pada penelitian kali ini adalah :
1. Ada pengaruh antara usia pasien dengan kepatuhan pengobatan
ARV pasien HIV/AIDS.
2. Ada pengaruh antara tingkat Pendidikan dengan kepatuhan
pengobatan ARV pasien HIV/AIDS
3. Ada pengaruh antara tingkat Pengetahuan pengobatan ARV
dengan tingkat kepatuhan pengobatan ARV pasien HIV/AIDS.
4. Ada pengaruh antara efek samping pengobatan ARV dengan
kepatuhan pengobatan ARV pasien HIV/AIDS.
5. Ada pengaruh antara akses ke layanan pengobatan ARV dengan
kepatuhan pengobatan ARV pasien HIV/AIDS.
6. Ada pengaruh antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
pengobatan ARV pasien HIV/AIDS.
7. Ada pengaruh antara dukungan teman sebaya dengan kepatuhan
pengobatan ARV pasien HIV/AIDS.
42
H. Defenisi Oprasional
1) Definisi Opresional Variabel Dependen
1. Kepatuhan berobat penderita HIV adalah penderita HIV yang
memeriksakan diri dan menelan obat sesuai jadwal dan aturan
yang berlaku secara rutin. Kepatuhan Baik adalah jumlah
kombinasi obat ARV < 3 dosis yang tidak diminum dalam periode
30 hari (≥ 95%) ; Kepatuhan Sedang : jumlah kombinasi obat ARV
antara 3-12 dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (80-
95%); Kepatuhan Rendah adalah jumlah kombinasi obat ARV > 12
dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (< 80%).
Kriteria Objektif :
Patuh : Jika tingkat kepatuhan minum ARV ≥ 80% (tingkat
keptuhan sedang – baik)
Tidak Patuh : Jika kepatuhan minum ARV < 80%. (Tingkat
kepatuhan Rendah)
2) Definisi Opresional Variabel Independen
1. Usia Pasien adalah jumlah tahun yang dihabiskan oleh responden
sejak kelahiran sampai ulang tahun terakhir saat peneitian
dilakukan.
Kriteria Objektif :
Jika Usia ≥ 50 tahun (berisiko untuk patuh berobat ARV)
Jika Usia < 50 tahun (berisiko tidak patuh berobat ARV)
43
2. Tingkat Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang ditamatkan
oleh responden.
Kriteria Objektif :
Tinggi : tingkat pendidikan terkahir SMA-Perguruan tinggi
(berisiko untuk patuh berobat ARV)
Rendah : tingkat pendidikan terkahir SD-SMP (berisiko untuk
tidak patuh berobat ARV)
3. Pengetahuan adalah kemampuan penderita untuk memahami dan
mengerti tentang penyakit HIV dan terapi pengobatan ARV.
Kriteria Objektif :
Baik : Jika mampu memberikan jawaban skor benar ≥ 70
(berisiko untuk patuh berobat ARV)
Kurang : Jika mampu memberikan jawaban skor benar < 70
(berisiko untuk tidak patuh berobat ARV )
4. Efek samping obat adalah pengalaman reaksi hypersensitive tubuh
terhadap pengobatan ARV yang ditunjukkan dengan satu atau lebih
gejala, sperti mual, mimpi buruk, sakit kepala hebat.
Kriteria objektif
Tidak Pernah merasakan efek samping : (berisiko untuk patuh
berobat ARV)
Jika Selalu Merasakan efek samping : (berisiko untuk tidak
patuh berobat ARV)
44
5. Akses Layanan Kesehatan adalah pengalaman pasien HIV AIDS
dalam mengakses layanan pengobatan ARV dilihat dari jarak
(dalam kilometer) mengakses layanan pengobatan.
Kriteria Objektif :
Mudah : Jika jarak akses ke pelayanan ARV < 20 kilometer.
(berisiko untuk patuh berobat ARV)
Sulit : jika jarak akses ke Pelayanan ARV ≥ 20 kilometer.
(berisiko untuk tidak patuh berobat ARV)
6. Dukungan keluarga adalah peran serta keluarga membantu dan
mendorong penderita HIV untuk patuh minum obat.
Kriteria Objektif :
Jika mendapat Dukungan Keluarga : berisiko untuk patuh
berobat ARV
Jika Tidak mendapat dukungan keluarga : berisiko untuk patuh
berobat ARV
7. Dukungan Teman Sebaya adalah pasien mendapat dukungan
dari teman sesama ODHA dalam menjadi PMO atau mendampingi
ke layanan kesehatan.
Kriteria objektif :
Mendapat dukungan (berisiko untuk patuh berobat ARV).
Tidak Mendapat Dukungan (berisiko untuk patuh berobat
ARV).