tinjauan teori (contoh karya ilmiah)
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Kesiapsiagaan
Ketika berhadapan dengan bencana maka diperlukan tindakan-
tindakan yang dapat mengantisipasi jatuhnya korban, salah satunya adalah
kesiapsiagaan.
1. Pengertian Kesiapsiagaan
Berkenaan dengan pengertian konsep kesiapsiagaan, pada
realitasnya di masyarakat masih banyak terdapat berbagai penafsiran yang
berbeda terhadap konsep kesiapsiagaan. Pengertian kesiapsiagaan menurut
Carter dalam Hartono (2010:22) adalah tindakan-tindakan yang
memungkinkan pemerintahan, organisasi-organisasi, masyarakat,
komunitas dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana
secara cepat dan tepat guna. Termasuk ke dalam tindakan kesiapsiagaan
adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan
sumberdaya dan pelatihan personil.
Sedangkan kesiapsiagaan didefinisikan lebih luas lagi Kent dalam
Hartono (2010:23) yaitu meminimalisir akibat-akibat yang merugikan dari
suatu bahaya lewat tindakan-tindakan pencegahan yang efektif,
rehabilitasi dan pemulihan untuk memastikan pengaturan serta pengiriman
13
bantuan dan pertolongan setelah terjadi satu bencana secara tepat waktu,
tepat, dan efektif.
Lalu apakah perbedaan dari kesiapsiagaan dengan mitigasi, Carter
dalam Hartono (2010:23) menjelaskan perbedaannya sebagai berikut:
Measures of prevention/mitigation tend to be geared to major policy decisions at government level; also they are usually directed primarily from senior management levels. Preparedness measures, howeve, tend to be more strongly oriented towards action by individual organisations.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kesiapsiagaan adalah
upaya/tindakan untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara
cepat dan tepat guna yang dilakukan satu komunitas dalam rangka
meminimalisir akibat-akibat yang merugikan dari suatu bahaya
2. Pentingnya Kesiapsiagaan
Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan
dan kesadaran seseorang, dari pengalaman dalam penanganan berbagai
kejadian bencana di berbagai belahan bumi ini, dalam 20 tahun terakhir ini
telah dirasakan pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat,
bukan saja pada tingkat pemerintahan dari suatu negara atau suatu daerah,
tetapi juga pada tingkatan komunitas yang langsung merasakan dan harus
menghadapi bencana itu sendiri, terutama sebelum bantuan atau
pertolongan datang dari instansi atau badan-badan pertolongan atau
penanganan bencana yang resmi.
Menurut LIPI-UNESCO (2006:6), kesiapsiagaan merupakan salah
satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep
14
pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan
kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan
pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya
suatu bencana.
Nugroho dalam Hartono (2010:23) mengatakan : ”Kesadaran dan
pemahaman hubungan antara bencana dan kebutuhan dasar warga adalah
hal yang sangat penting. Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan fondasi
dari pengurangan resiko bencana yang akan meningkatkan kesiapan warga
terhadap bencana. Sedangkan kesiapan terhadap bencana merupakan hal-
hal yang bersifat fungsional, yaitu menyangkut fungsi-fungsi untuk
bertahan hidup baik secara perseorangan maupun secara kelompok.”
Selanjutnya Nugroho dalam Hartono (2010:24) mengungkap
pentingnya kesiapsiagaan, yaitu kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang
menunjukkan tingkat efektifitas respon terhadap bencana secara
keseluruhan. Kesiapsiagaan masyarakat merupakan bagian dari
pengurangan resiko bencana. Muara kesiapsiagaan ini adalah untuk
membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana.
3. Sifat Kesiapsiagaan
Mengenai sifat dari kesiapsiagaan itu sendiri, LIPI-UNESCO
(2006:7), menyatakan: perlu diperhatikan sifat kedinamisan dari suatu
kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat kesiapsiagaan suatu
komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu dan
15
dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan
ekonomi dari suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu
memantau dan mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu masyarakat dan
melakukan usaha-usaha untuk selalu menjaga dan meningkatkan tingkat
kesiapsiagaan tersebut.
Begitu pula menurut Kent (1994:12) kesiapan bencana harus
dilihat sebagai satu proses yang terus-menerus dan aktif. Rencana-rencana
kesiapan adalah usaha-usaha yang dinamis yang perlu ditinjau ulang,
dimodifikasi, diperbaiki dan diuji-coba secara berkala.
Lebih lanjut LIPI-UNESCO (2006:7) menyatakan: dalam konteks
pengurangan risiko bencana, dalam jangka panjang diharapkan terjadinya
proses pergeseran paradigma, dari pendekatan kesiapsiagaan ke
pendekatan pencegahan dan mitigasi dan hal ini memerlukan perubahan
cara pandang dari tindakan-tindakan individual ke pengembangan
kebijakan dan arah dari para pengambil keputusan.
4. Parameter Kesiapsiagaan
LIPI-UNESCO/ISDR (2006:13) menjelaskan ada 5 parameter
dalam kesiapsiagaan, yaitu:
1. Pengetahuan dan sikap
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk
kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami Aceh dan Nias, Yogyakarta
serta gempa dan tsunami di Jepang kemarin memberikan pelajaran yang
16
sangat berarti akan pentingnya pengetahuan tentang bencana alam.
Pengetahuan yang dimiliki biasanya mempengaruhi sikap dan kepedulian
untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka
yang bertempat tinggal di tempat yang rentan dengan bencana.
2. Kebijakan dan Panduan
Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan
merupakan upaya konkrit untuk melaksankan kegiatan siaga bencana.
Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi :
pendidikan publik, emergency planning, sistim peringatan bencana dan
mobilisasi sumber daya, termasuk organisasi pengelola, SDM dan
fasilitas-fsilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Kebijakan-
kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk, tetapi akan lebih bermakna
apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan-peraturan seperti
perda, SK, yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan
dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibituhkan panduan-
panduan operasionalnya.
3. Rencana Tanggap Darurat
Rencana ini menjadi bagian yang penting dalam kesiapsiagaan,
terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan, dan penyelamatan agar
korban dapat diminimalkan. Upaya ini sangat krusial, terutama pada saat
terjadi bencana dan hari-hari pertama setelah bencana sebelum batuan dari
pihak luar datang.
17
4. Sistim Peringatan Dini
Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan
terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, dapat dilakukan
tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan
kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa yang
harus dilakukan ketika mendengar peringatan, kemana dan bagaimana
harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai denga lokasi
dimana sedang berada pada saat terjadi bencana.
5. Mobilisasi Sumber Daya
Sumber daya yang tersedia, baik SDM, maupun pendanaan dan
sarana-prasarana penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang
dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan
bencana alam. Karena itu mobilisasi sumber daya menjadi faktor yang
krusial.
Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan, maka lima parameter itu
harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang dapat dihitung
nilainya. Jumlah variabel bervariasi antar parameter sesuai dengan
kebutuhan dan spesifikasi masing-masing. Untuk mendapatkan variabel
yang lebih spesifik secara detail dapat dilihat pada table 2.1 berikut :
18
Tabel 2.1 Framework kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengantisipasi
bencana alam
No Parameter Variabel Indikator
1
Pengetahuan dan sikap
Pengetahuan
- kejadian alam dan bencana (tipe, sumber, besaran, lokasi)
- kerentanan fisik lokasi dan kondisi bangunan
- Menjelaskan tipe-tipe, sumber, penyebab, dan intensitas bencana
- Menjelaskan kerentanan lingkungan dan bangunan fisik sekolah
Sikap terhadap risiko bencana Motivasi komunitas sekolah untuk kesiapsiagaan mengantisipasi terjadinya bencana alam.
2
Kebijakan dan panduan
Kebijakan - Adanya kebijakan pendidikan dan panduan untuk kesiapsiagaan bencana.
- Tersedianya fakta/data pelaksanaan kebijakan pendidikan kesiapsiagaan bencana.
Peraturan - adanya peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana
- Tersedianya fakta/data tentang pelaksanaan dari peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana.
3
Rencana Tanggap Darurat (RTD)
Rencana untuk merespon keadaan darurat
- Tersedianya rencana sekolah untuk keadaan darurat
- Tersedianya prosedur tetap (protap) sekolah untuk keadaan darurat bencana
Rencana Evakuasi Tersedianya rencana tempat-tempat, peta dan jalur evakuasi
Pertolongan pertama penyelamata, keselamatan dan keamanan
- Tersedia rencana pertolongan pertama
- Tersedianya rencana penyelamatan, keselamatan dan pengamanan sekolah
Pemenuhan Kebutuhan Dasar - Tersedianya back-up dokumen-dokumen penting sekolah
- Tersedianya data tentang alokasi kebutuhan dasar sekolah
Peralatan dan Perlengkapan Tersedianya dokumen-dokumen, peralatan penting sekolah dan tempat penyimpanan yang aman.
Fasilitas-fasilitas penting (rumah sakit, - Tersedianya alamat dan no.telpon
19
Sumber:LIPI -UNESCO/ISDR, 2006
Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah terhadap bencana
gempabumi akan didapat dengan mengkategorisasikan hasil indeks pada
indikator-indikator yang ditetapkan sesuai dengan parameter-parameter
yang sesuai. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam kajian ini
dikategorikan menjadi lima, sebagai berikut:
pemadam kebakaran, polisi, PAM, PLN, Telkom)
fasilitas-fasilitas penting
-Adanya akses terhadap fasilitas-fasilitas penting
Latihan dan simulasi - Adanya akses terhadap pendidikan kesiapsiagaan bencana
- Frekuensi latihan dan simulasi/gladi (public dan sekolah)
4
Sistim Peringatan Dini
Tradisional yang berlaku secara turun temurun
Adanya akses terhadap sumber informasi peringatan bencna tradisional dan/atau local
Instalasi (teknik, peralatan, tanda dan sinyal)
Adanya peralatan yang dapat menangkap informas peringatan bencana
Latihan dan Simulasi - Jumlah guru dan siswa yag telah dilatih/terlatih
- Frekuensi latihan dan simulasi
5
Mobilisasi
Penataan Kelembagaan Tersedianya tim yang bertuga untuk keadaan darurat
Sistim Komado Tersedianya prosedur untuk keadaan darurat bencana
Komunikasi dan koordinasi atau stakeholder yang relevan
Adanya keterlibatan sekolah dalam jaringan kesiapsiagaan bencana
Sumber Daya manusia Jumlah guru dan murid yang dilatih/terlatih untuk kesiapsiagaan dan pengelolaan tanggap darurat bencana
Bimbingan teknis dan penydiaan materi Tersedianya materi dan bahan kesiapsiagaan bencana
Pemantauan dan Evaluasi (motev) Tersedianya rencana untuk mengintegrasikan materi kesiapsiagaan bencana ke dalam kurikulum mata pelajaran yang relevan, muatan local atau ekskul.
Lanjutan Tabel 2.1
20
Tabel 2.2 Tingkat Kesiapsiagaan bencana
Sumber:LIPI – UNESCO/ISDR, 2006
B. Bencana
Secara umum pengertian bencana adalah kejadian tiba-tiba atau
musibah yang besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal
dari suatu masyarakat atau komunitas, UNDP (2007:14). Pengertian
bencana dalam Kepmen No.17/kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai
berikut : “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan
korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan
lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat.
Dari pengertian di atas, bencana merupakan sebuah peristiwa yang
terjadi karena bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia
dengan kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk
No Nilai indeks Kategori
1 80 – 100 Sangat siap
2 65 – 79 Siap
3 55 – 64 Hampir Siap
4 40 – 54 Kurang Siap
5 Kurang dari 40 (0-39) Belum Siap
21
menangani bencana. Singkatnya ketika ancaman berdampak merugikan
manusia dan lingkungan, dan tidak adanya kemampuan masyarakat untuk
menanggulanginya maka peristiwa itu disebut dengan bencana.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
(RAN PRB) bahaya adalah ancaman atau resiko yang disebabkan oleh
manusia maupun alam sehingga mengakibatkan kerusakan. Contoh bahaya
yang disebabkan oleh alam adalah banjir, taifun (atau angin ribut) dan
gempa bumi. Contoh bahaya yang disebabkan oleh manusia adalah
tumpahan zat kimia, ranjau darat dan polusi beracun dari industri. Bencana
adalah bahaya yang menyebabkan kerugian dan kehancuran besar yang
berimbas pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk
menghadapinya. Berikut adalah contoh yang menunjukkan perbedaan
antara bahaya dan bencana.
1. Tsunami adalah sejenis bahaya.
2. Hawaii, di Lautan Pasifik, memiliki perencanaan yang bagus untuk
mencegah kerusakan bila terjadi tsunami. Ketika tsunami benar-benar
terjadi di sana, rumah-rumah dan bangunan tidak hancur dan tidak
ada yang meninggal. Pada kasus ini tsunami bukan merupakan
bencana.
3. Ketika tsunami terjadi di Indonesia, saat itu hanya terdapat sedikit
rencana pencegahan yang kuat, terjadi kematian yang jumlahnya
sangat besar dan kehancuran pada harta benda yang tidak mampu
22
dihadapi komunitas yang terkena dampak bencana. Pada kasus ini,
tsunami merupakan bencana.
1. Managemen Bencana
Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan
korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar baik di Jawa Barat
maupun di Indonesia, telah membuka mata kita bersama bahwa
manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita
harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan
hanya datang sewaktu-waktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang
rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang
manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan,
baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Dalam Jurnal Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat 2004 (BPLHD Jabar)
mengemukakan manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum,
saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen
Bencana (seperti terlihat dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana),
yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi
penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak
berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur
utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
23
Lebih jauh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa
Barat 2004 (BPLHD Jabar), mengemukakan secara umum kegiatan
manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan
utama,yaitu:
a. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
b. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat
untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and
rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
c. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan,
padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting
karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal
dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah
bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah
atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi
bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana
24
Sumber : UNDP 1994
Gambar 2.1 Siklus Manajemen Bencana
Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat
kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah
bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana
biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan
tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya
bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang
harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat
guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan
kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali
TAHAP PENGURANGAN RISIKO SEBELUM BENCANA
BENCANA
TAHAP PENANGGULANGAN BENCANA
Pemulihan Pembangunan
Pencegahan
Mitigasi
Kesiapsiagaan
25
prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu
diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan
dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak
hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga
rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus
Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga
hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau
meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
C. Gempabumi
1. Pengertian Gempa Bumi
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Tahun 2007 menjelaskan yang dimaksud dengan gempabumi yaitu:
“berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng
bumi, patahan aktif, aktivitas gunungapi atau runtuhan batuan.
2. Penyebab Terjadinya Gempabumi
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Tahun 2007, Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar, ketika
bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan
menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan
akibat gesekan dari selubung bumi. Perlambatan gerak itu menyebabkan
penumpukkan energy di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya di
26
zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas
elastisitas lempeng terlampaui maka terjadilah patahan batuan yang diikuti
oleh lepasnya energy secara tiba-tiba. Proses ini menimbulkan getaran
partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempabumi.
Sumber: Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi 2007
Gambar 2.2 Tumbukan lempeng samudera dan lempeng benua
Menurut Coburn dkk dalam Hartono (2010:15) penyebab
gempabumi adalah pelepasan energi oleh penyesuaian-penyesuaian
geofisik jauh di kedalaman bumi sepanjang daerah retakan yang terbentuk
di dalam kerak bumi. Proses-proses tektonis dari gerakan benua yang
lamban diatas permukaan bumi. Pergeseran-pergeseran geomorfologi
setempat, aktivitas vulkanis.
27
3. Akibat yang Ditimbulkan oleh Gempabumi
Indonesia terletak pada jalur gunung api dan merupakan Negara
dengan jumlah gunung api terbanyak. Jumlah gunung api di Indonesia 177
gunung api, pola penyebaran gunung api hampir mirip dengan pola
penyebaran fokus gempa dan tipe aktivitas kegunungapiannya tergantung
pada batas lempengannya.
LIPI-UNESCO Tahun (2006:2) menjelaskan bahwa Indonesia
merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik Lempeng Indo-Australia
bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan
Nusatenggara, sedangkan dengan Pasifik di utara Irian dan Maluku utara.
Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan
terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup
menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Pelepasan
energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan
karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction.
Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada
beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme
sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan.
Gempa bumi terjadi diawali dengan akumulasi tekanan di sekitar
batas lempeng, sehingga aktifitas gempa banyak disini. Walaupun
konsentrasi akumulasi tekanan akibat tabrakan lempeng berada di sekitar
28
batas lempeng, akibatnya bisa sampai jauh sampai beberapa ratus
kilometer dari batas lempeng karena ada pelimpahan tekanan di kerak
bumi, sehingga ada daerah aktif gempa di luar daerah pertemuan lempeng.
Kasus sesar Sumatra umpamanya adalah sesar yang dibentuk oleh
pelimpahan tekanan tabrakan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia
dengan sudut tabrakan miring terhadap garis. Kemiringan ini
menyebabkan timbulnya sesar Sumatra dimana konsentrasi akumulasi
stress atau pusat-pusat gempa di daerah ini.
Sumber: Jurnal Geologi Indonesia ,Vol 1 No. 1 Maret 2006
Gambar 2.3 Geologi Indonesia
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2007,
Akibat utama gempabumi adalah hancurnya bangunan-bangunan karena
goncangan tanah. Jatuhnya korban jiwa biasanya terjadi karena tertimpa
29
reruntuhan bangunan, terkena longsor, dan kebakaran. Jika sumber
gempabumi berada di dasar lautan maka bisa membangkitkan gelombang
tsunami yang tidak saja menghantam pesisir pantai di sekitar sumber
gempabumi tetapi juga mencapai beberapa km ke daratan.
Coburn dkk dalam Hartono (2010:16): “Energi getaran yang
dikirimkan lewat permukaan bumi dari kedalaman. Getaran menyebabkan
kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada gilirannya
bisa membunuh dan melukai orang-orang yang bertempat tinggal disitu.
Getaran juga mengakibatkan tanah longsor, pencairan, runtuhnya bebatuan
dan kegagalan-kegagalan daratan yang lain, yang merusak tempat-tempat
hunian di dekatnya”.
Tingkat kerusakan bisa juga dilihat dari bagaimana kondisi fisik
bentang alam wilayah Bandung dan sekitarnya. Secara fisik, bentang alam
wilayah Bandung dan sekitarnya yang termasuk ke dalam Cekungan
Bandung, merupakan cekungan berbentuk lonjong (elips) memanjang
berarah timur tenggara-barat barat laut. Cekungan Bandung ini dimulai
dari daerah Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah barat
dengan jarak horizontal lebih kurang 60km, sementara itu jarak utara
selatan mempunyai lebar sekitar 40km. cekungan Bandung ini hamper
dikekelilingi oleh jajaran kerucut gunung api berumur kuarter, diantaranya
di sebelah utara terdiri atas kompleks Gunung Burangrang-Sunda-
Tangkubanparahu, Gunung Bukittunggul, tinggian batuan gunung api
30
Cupunagara, Gunung Manglayang, dan Gunung Tampomas. Batas timur
berupa tinggian batua gunung api Batujajar, Gunung Karengseng-Gunung
Kareumbi, kompleks batua gunning api Nagreg sampai dengan
Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari kompleks gunung api Kamojang,
Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kandeng. Hanya di sebelah
barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunung api berumur
Tersier dan batugamping yang termasuk ke dalam Formasi Rajamandala
(Jurnal Geologi Indonesia, Vol 1 No. I Maret 2006)
Cekungan Bandung sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni
bagian timur, tengah, dan barat. Cekungan Bandung bagian timur dimulai
dari dataran Nagreg sampai Cicalengka; bagian tengah membentang dari
Cicalengka hingga Cimahi-kompleks perbukitan Gunung lagadar, dan
cekungan bagian barat terletak di antara Cimahi-Batujajar hingga Cililin
dan Waduk Saguling.
Sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol 1 No. 1 Maret 2006
Gambar 2.4 Geologi Cekungan Bandung
31
Secara geologi, satu-satunya batuan sedimen non gunungapi yang
tersingkap di sebelah barat Cekungan Bandung adalah Formasi
Rajamandala, yang tersusun atas batugamping, batulempung, napal, dan
batupasir kuarsa yang berumur oligosen. Selebihnya, mulai dari umur
Tersier Awal hingga masa kini, seluruh formasi batuan tersusun atas hasil
kegiatan gunung api. Secara geokronologi, batuan gunungapi
teridentifikasi sejak umur sekitar 59 juta tahun lalu yang ditemukan di
daerah Cupunagara, sebelah timur Gunung Tangkubanparahu. Batuan
gunungapi berumur Miosen Tengah yang dijumpai dari data pemboran
panas bumi, dipandang sebagai batuan dasar Gunung Wayang. Batuan
gunungapi berumur Neogen Awal ini secara geologi regional dapat
dibandingka dengan Formasi jampang dan Formasi Citarum. Selanjutnya
batuan gunung api berumur pliosen di jumpai di kompleks Gunung
Malabar-papandayan, Selacau dan Paseban di Selatan Cimahi, Cipicung
dan Kromong di Banjaran-Ciparay, Bandung Selatan. Batua gunung api di
Gunung Kromong dan Soreang tersebut termasuk Formasi Beser (Jurnal
Geologi Indonesia, Vol 1 No. 1 Maret 2006).
D. Mitigasi
Dalam UNDP ( 1994:11) “mitigasi berarti mengambil tindakan-
tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu bahaya sebelum
bahaya itu terjadi”. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari
aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin
32
diawali, dari yang fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang
lebih kuat, sampai dengan prosedural, seperti teknik-teknik yang baku
untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan
lahan. Dalam UNDP (1994:12) juga dikemukakan bahwa: “Perserikatan
Bangsa Bangsa telah mengadopsi dekade tahun 1990-an sebagai Dekade
Internasional untuk Pengurangan Bencana Alam. Tujuannya adalah untuk
mencapai pengurangan yang signifikan dalam hal kematian dan kerusakan
materi yang disebabkan oleh bencana-bencana”. Namun di Indonesia
nampaknya hal tersebut belum dijadikan sebuah isu yang yang paling
pokok, pada era tersebut (1990an) Indonesia lebih sibuk pada isu politik.
Baru setelah Aceh (2004) diterpa gempabumi dan tsunami bangsa
Indonesia mulai melirik dan bahkan membuka mata lebar-lebar untuk
melakukan mitigasi bencana.
Dalam Jurnal Gea Vol 10 N0 1 April 2010, mengemukakan bahwa
mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi bahaya supaya
kerugian dapat diperkecil. Mitigasi meliputi aktifitas dan tindakan-
tindakan perlindungan yang dapat diawali dari persiapan sebelum bencana
itu berlangsung, menilai bahaya bencana, penanggulangan bencana berupa
penyelamatan, rehabilitsi dan relokasi.
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi
kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban
33
jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada
kehidupan dan kegiatan manusia.
Pengaruh-pengaruh yang paling buruk dari bencana apapun adalah
kematian dan luka-luka yang ditimbulkan. Skala bencana dan jumlah
orang yang terbunuh adalah justifikasi utama untuk tindakan mitigasi.
Memahami cara orang-orang itu terbunuh dan terluka dalam bencana-
bencana adalah prasyarat untuk mengurangi korban. Diantara serangan
bencana-bencana yang mendadak, banjir dan gempabumi menyebabkan
korban paling banyak di seluruh dunia, badai dan angin kencang tidak
begitu mematikan akan tetapi lebih luas penyebarannya.
Pada gempabumi lebih dari 75% kematian disebabkan karena
bangunan yang roboh. Menyelamatkan hidup dari gempabumi berarti
memusatkan pada pencegahan robohnya bangunan. Konsekuensi-
konsekuensi kerusakan fisik sering kali lebih penting dibanding dengan
kerusakan itu sendiri. Pabrik yang rusak tidak lagi dapat meneruskan
operasinya untuk memberikan pekerjaan-pekerjaan. Orang-orang yang
tidak mempunyai pekerjaan tidak mempunyai pendapatan untuk bisa
belanja di toko-toko setempat dan akhirnya keseluruhan ekonomi lokal
menderita. Kerusakan terhadap infrastruktur dan terhadap sarana-sarana
produksi memberi tekanan terhadap ekonomi.
Mitigasi juga memerlukan perlindungan ekonomi terhadap bencana.
Aktivitas ekonomi di masyarakat-masyarakat industri yang lebih maju
34
semakin kompleks dan saling terkait, dengan industri-industri pelayanan
yang tergantung pada pabrik, yang pada gilirannya tergantung pada suplai-
suplai bahan-bahan mentah, tenaga buruh, tenaga listrik dan komunikasi.
Saling ketergantung yang kompleks ini sangat rentan terhadap gangguan
bahaya-bahaya yang mempenguruhi siapa saja yang terkait dengan rantai
hubungan itu. Masyarakat-masyarakat industri baru adalah yang pling
rentan dari semua itu.
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi
kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban
jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada
kehidupan dan kegiatan manusia.
Menurut Sadisun dalam Ahmad (2011:15), mitigasi merupakan
Strategi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk
assessment). Pendekatan proaktif dalam pengurangan resiko bencana
merupakan salah satu bagian terpenting dari kegiatan mitigasi, yang pada
akhirnya sebenarnya lebih ditujukan untuk mengurangi tingkat resiko
bencana. Melalui kajian resiko, gambaran potensi bahaya bencana alam
yang mugkin terjadi di suatu daerah dapat diketahui, prioritas-prioritas
bahaya dan kerentanannya pun dapat diidentifikasi dengan tepat. Kajian
resiko bencana secara umum dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya adalah probabilistic definition of risk, scenario analysis, risk
indexing, risk matrix analysis, dan multiple risk mapping. Selain untuk
35
keperluan mitigasi, kajian resiko untuk bahaya dari berbagai jenis potensi
bahaya alam lebih lanjut dapat juga digunakan sebagai dasar dalam
mengembangkan rencana operasi darurat atau emergency operation plan
(EOP), atau dalam bentuk SOP (standard operasional procedure) yang
terjangkau (achievable/workable), sederhana dan tepat (appropriate). Pada
dasarnya EOP dan SOP merupakan kerangka dasar dalam rencana tanggap
darurat yang terkoordinasi dan efektif, karena di dalamnya umumnya telah
mendefinisikan peranan dan tanggung jawab seluruh stakeholder seperti
pemerintah, organisasi swasta dan sukarelawan serta badan-badan lain
yang terdapat di dalam suatu wilayah Negara.
Dengan demkian dapat disimpulkan bahawa sebuah kajian
kebencanaan bukan merupkan suatu kajian yang singkat, membutuhkan
beberapa tahapan dalam penyempurnaan konsep kebencanaannya
sehingga akan tercapai sebuah standar baku dalam hal penanganan
bencana.
1. Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No. 24 tahun
2007 tentang penanggulangan bencana). Mitigasi bencana merupakan
suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak
36
bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban
ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang
kita harus lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah
tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah kita harus
mengetahui bahaya (hazard), Kerentanan (vulnerability) dan kapasitas
(capacity) suatu wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik
dan wilayahnya.
1. Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk
menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau
kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun
tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana apabila telah menimbulkan
korban dan kerugian.
2. Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan
apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi
akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian
kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang
mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan,
mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya. Jenis-
jenis kerentanan :
a. Kerentanan fisik : Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang
lemah
37
b. Kerentanan sosial : Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat
pertumbuhan tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
c. Kerentanan mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya
percaya diri dan lainnya.
3. Kapasitas (capacity) adalah kemampuan untuk memberikan
tanggapan terhadap situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia
(fisik, manusia, keuangan dan lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan
kearifan lokal masyarakat yang diceritakan secara turun temurun dari
generasi ke generasi.
4. Resiko Bencana (Risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta benda, dan
gangguan kegiatan masyarakat; akibat kombinasi dari bahaya,
kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan.
Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan
tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan
dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur
dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena
38
bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi
untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur
bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain
itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural,
diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara
membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui
perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.
2. Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama,
BPLHD Jawa Barat (2004), yaitu penilaian bahaya, peringatan dan
persiapan.
a. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik
sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian
bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana
yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
b. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana
39
yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai
saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang
berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang
akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
c. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena
bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika
situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat
bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang
yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi
struktur akan bencana (mitigasi struktur).
40
E. Peran Sekolah dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana
Sekolah merupakan tempat proses belajar-mengajar. Sekolah
merupakan tempat sosialisasi. sekolah terdiri dari tiga unsur, yaitu : siswa,
guru dan sekolah sebagai institusi. Dan ketiga unsur tersebut biasa disebut
dengan komunitas sekolah. Menurut Widyatun dkk (2008:97) peran yang
diharapkan dari komunitas sekolah ini dalam upaya pengurangan risiko
bencana adalah penyiapan rencana penyelamatan, penyabarluasan
peringatan bencana, serta dalam jangka panjang diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan tentang bencana.
Lebih jauh Widyatun, dkk (2008:98) menjelaskan peran-peran
yang disebutkan di atas sangat penting untuk dapat dikuasai oleh
komunitas sekolah mengingat strategisnya peran komunitas ini dalam
kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat. Sekolah telah lama
memiliki peran yang sangat penting dalam proses sosialisasi dan bahkan
disebut sebagai agen sosialisasi. Sekolah adalah tempat di mana seorang
anak akan belajar menyerap nilai-nilai dan norma-norma yang baru
melalui guru maupun teman-teman sebayanya. Oleh karena itu
pengetahuan para guru dan siswa menjadi penting untuk diketahui. Pada
level ini instistusi berbagai kebijakan dan panduan dalam menghadapi
bencana adalah elemen penting yang menjadi dasar bagi guru dalam
penyebarluasan pengetahuan tentang bencana.
41
Dalam Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol 1 No 1 tahun
(2010), sekolah mempunyai peran strategis dalam upaya mitigasi bencana,
oleh Karena itu, perlu membangun kapasitas guru agar memahami konsep
yang benar tentang kebencanaan, pelatihan formal dan kolaborasi dengan
institute pendidikan, serta mengintegrasikan pemahaman PRB dalam
pelatihan guru-guru.
Dalam perspektif psikososial, upaya memahami kondisi siswa
secara kognitif sampai dengan tindakan dalam merespon bencana.
Mekanisme pikiran, tanggapan dan respon terhadap bencana tersebut
diharapkan dapat dijadikan indikator tingkat pemahaman assessment siswa
secara cermat dan utuh dalam arti seberapa tingkat kesadaran akan risiko
bencana maupun respon serta mitigasi yang telah menjadi pengetahuan
dan perspektifnya.
Dalam Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol 1 No 1 tahun
(2010), lebih jauh menjelaskan bahwa psikoedukasi pada siswa SMA
merupakan langkah yang tepat dalam suatu pembelajaran mitigasi
bencana. Pertimbangan tersebut diperkuat dengan program pelatihan
membangun budaya PRB pada kelompok remaja ini karena : remaja dari
perspektif perkembangan psikososial sedang dalam proses yang rentan
karena perubahan fisik yang berakibat langsung pada perubahan
psikososialnya. Kerentanan itu terkait juga dengan pola pikir yang sedang
berlangsung pada keterbatasan perspektif dalam melihat, menganalisis dan
42
menyimpulkan sebuah persoalan masih banyak didominasi sifat
egosentrisme. Berarti persoalan akan dihadapi dengan perspektif dari diri
sendiri dan kurang melihat persoalan dari perspektif orang lain. Perspektif
demikian dapat sebagai akar permasalahan remaja dalam adaptasi tehadap
perubahan internal dan eksternalnya.
F. Komunitas Sekolah
Menurut Widyatun,dkk (2008:95), komunitas ialah kumpulan dari
berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang
saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Cara penamaan
suatu komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat
komunitas tersebut seperti bentuk atau struktur utama (jenis yang
didominan), berdasarkan habitat fisik dari komunitas atau pun berdasarkan
sifat-sifat atau tanda-tanda fungsionalnya. Komunitas juga merupakan
kelompok sosial dari beberapa organism yang berbagi lingkungan,
umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia di
dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi,
kebutuhan, resiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas
sekolah adalah satu dari tiga stakeholders utama yaitu sekolah (kepala
sekolah, tenaga administrasi), guru dan siswa.