tinjauan yuridis atas izin mendirikan bangunan …
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS ATAS IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DALAM PENATAAN RUANG DI KABUPATEN JAYAPURA
Judial Review of Building Construction Licency in Space
Planning in Jayapura Regency
I R S A N
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS ATAS IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DALAM PENATAAN RUANG DI KABUPATEN JAYAPURA
Judial Review of Building Construction Licency in Space
Planning in Jayapura Regency
IRSAN
P0904211015
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Program
Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Irsan
Nim : P0904211015
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Agustus 2013
Yang Menyatakan
Irsan
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat hidayah dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini yang berjudul Tinjauan Yuridis Atas Izin
Mendirikan Bangunan Dalam Penataan Ruang Di Kabupaten Jayapura,
sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Hukum Universitas
Hasanuddin.
Penulis menyadarai bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa
penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Harapan penulis, semoga
tesis ini dapat berguna serta memberikan kontribusi pemikiran terkait
dengan masalah Hukum Tata Negara khususnya mengenai Izin
Mendirikan Bangunan.
Dengan rasa hormat dan cinta kasih yang tulus penulis berterima
kasih yang sebesar-besar kepada kedua orang tua yaitu Ibunda Hj.
Wamardia dan Ayahanda (alm) H. La Gani Spd atas segala dukungan,
motivasi, kritik, dan saran serta kesabaran dalam mendidik penulis, juga
spesial buat ketiga anak laki-lakiku, yang telah menjadi teman dekatku,
dikala suka dan duka dalam menyelasaikan studi ini, istriku tercinta
Wulandari Diah Nuryenita. Terima kasihku tak terhingga atas cinta dan
sayangmu selama ini, atas semua dukungan dan doa yang tak putus-
putusnya, sehingga membuat hidup ini menjadi lebih indah, bermakna dan
berarti.
Dengan segala hormat dan kerendahan penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Razak. S.H., M.H selaku
pembimbing utama dan Prof. Dr Marthen Arie. S.H., M.H., selaku
pembimbing pendamping atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan
dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis
sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya; Direktur
Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya;
2. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
3. Ketua Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Ketua
Bagian, Sekretaris Bagian, dan para Dosen di bagian Hukum Tata
Negara serta dosen-dosen pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin;
4. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H, Prof. Dr. M. Yunus Wahid,
S.H., M.Si, dan Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Tim Penguji;
5. Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2011 Magister Hukum
Universitas Hasanuddin, khususnya bagian Hukum Tata Negara;
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan namanya satu per satu
yang telah membantu penulis selama ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan tersebut
dengan segala limpahan rahmat dan hidayahNya. Akhir kata semoga tesis
ini bermanfaat bagi kita semua. AMIN.
Makassar, Agustus 2013
Penulis
ABSTRAK
IRSAN. Tinjauan Yuridis Atas Izin Mendirikan Bangunan Dalam Penataan Ruang Di Kabupaten Jayapura (dibimbing oleh Abdul Razak dan Marthen Arie).
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menjelaskan bagaimana
pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam penataan ruang di Kabupaten Jayapura dan pelaksanaan pengawasan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk menunjang tata ruang Kabupaten Jayapura.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan dan penelitian
kepustakaan dengan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Izin Mendirikan
Bangunan kurang efektif dan tidak maksimal yang pertama pemberian Izin Mendirikan bangunan (IMB) memakan waktu yang lama, sehingga pemohon membangunan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ataupun membangun sambil mengurus IMB. Kedua, penerapan sanksi yang kurang tegas serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat.
Kata kunci : Izin Mendirikan Bangunan, Penataan Ruang.
ABSTRACT
IRSAN. Judicial Review of Building Contstruction Licency in
Space Planning in Jayapura Regency. (Supervised by Abdul Rasak and
Marthen Arie).
The aim of the research is to acknowledge and explain how the
licency of building construction is implemented in the space planning in
Jayapura Agency, and the implementation of control of building
construction licency to support the space planning of Jayapura Regency.
The research method were field observation and library research.
The technique of data analysis was a qualitative approach which
generated a descriptive analysis of what is stated by respondents in
writing and oral, as well as in real conduct. These data components were
studied and observed as an integrated unity.
The result of the research indicated that the licecnce issue of
building construction in Jayapura Regency is not effective and is less
maximum, firstly because it takes a long time, therefore the applicant
would start constructing of the building while applying for the licence.
Secondly, the sanction is less decisive, and minimum socialization of the
public.
Keywords : Licence of building construction, spatial planning.
DAFTAR ISI
nomor halaman
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK vii
ABSTRCT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13
A. Teori Negara Hukum 13
B. Asas-Asas Pemerintahan Umum yang Baik 17
C. Teori Efektifitas 22
D. Teori Kewenangan 30
E. Izin 36
F. Tata Ruang 61
G. Kerangka Pikir 90
H. Definisi Operasional 91
BAB III METODE PENELITIAN 93
A. Lokasi Penelitian 93
B. Tipe Penelitian 93
C. Populasi dan Sampel 93
D. Jenis dan Sumber Data 94
E. Teknik Pengumpulan Data 95
F. Analisis Data 96
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 97
A. Efektifitas pelaksanaan IMB dalam Penataan Ruang
Kabupaten Jayapura 97
1. Efisiensi jangka waktu pemberian IMB di Kabupaten
Jayapura 97
2. Proses dan Prosedur IMB diKabupaten Jayapura 106
3. Penerapan Sanksi 110
B. Pengawasan izin mendirikan bangunan dalam
Penataan Ruang di Kabupaten Jayapura. 115
1. Bentuk-bentuk pengawasan. 118
2. Tanggung jawab terhadap pengawasan IMB
di Kabupaten Jayapura 120
BAB V PENUTUP 127
A. Kesimpulan. 127
B. Saran 128
DAFTAR PUSTAKA 129
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
Tabel 1 Rumah layak huni dan tidak layak huni 101
Tabel 2 Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan 101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran tentang kesejahteraan masyarakat sebenarnya sudah
ada sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
tercermin dalam cita-cita luhur dan tujuan Negara, ini dapat dilihat
pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi:
Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..1
Dengan demikian segala bentuk kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan untuk mengisi kemerdekaan bertujuan meningkat
kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh anggota masyarakat
(warga negara) guna terwujudnya tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa serta bernegara yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
1 Alinea 3 dan 4 Pembukaan UUD 1945
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dituangkan
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
ikut melaksanakan ketertiban dunia. Penegasan bahwa Indonesia
negara hukum juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.2
Serta Pasal 18 ayat (1) dalam UUD NRI 1945 “bahwa Negara
kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah- daerah provinsi dan
daerah provinsi itu di bagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang
diatur dengan undang-undang”. Dalam sistem negara kesatuan
(unitary state), hubungan antar level pemerintahan berlangsung secara
inklusif (inklusif authority model)3 yaitu penyelenggaraan pemerintah
daerah tetap di kontrol oleh pemerintah pusat agar tercipta kesatuan
negara.
Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tentunya diharapkan dapat memberikan
dampak nyata yang luas terhadap peningkatan pelayananan
masyarakat. Pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah menghendaki terciptanya penyelenggaraan
pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka
2 Helmi, 2012, Hukum perizinan lingkungan hidup, Sinar Grafika, Jakarta hal: 17
3 Bambang, sebagaimana dikutip Murtir Jeddawii dalam bukunya, pemerintahan suatu
dalam suatu kajian beberapa perda tentang penanaman investasi daerah (cet: II, UII, Press Yogyakarta 2006: hal 41.
peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam
pemberian dan peningkatan kualitas pelayanan.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan bahwa Penataan Ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan.
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia.
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Selanjutnya dalam Pasal 61 Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam pemanfaatan
ruang setiap orang wajib:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
b. Memanfaatkan ruang, sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang;
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Izin merupakan instrument hukum administrasi yang dapat
digunakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengatur
cara-cara pengusaha untuk menjalankan usahanya. Dalam sebuah izin
pejabat yang berwenang, menuangkan syarat-syarat atau ketentuan-
ketentuan berupa perintah-perintah ataupun larangan-larangan yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan. Dengan demikian izin merupakan
pengaturan tingkat individu atau norma hukum subyektif karena sudah
dikaitkan dengan subyek hukum tertentu. Perizinan memiliki fungsi
preventif dalam arti instrument untuk pencegahan terjadinya masalah-
masalah akibat kegiatan usaha.4
Adanya IMB berfungsi supaya pemerintah dapat mengontrol
dalam rangka pendataan fisik kota sebagai dasar yang sangat penting
bagi perencanaaan, pengawasan dan penertiban pembangunan kota
yang terarah dan sangat bermanfaat bagi pemilik bangunan karena
memberikan kepastian hukum atas berdirinya bangunan yang
bersangkutan dan akan memudahkan bagi pemilik bangunan untuk
suatu keperluan, antara lain pemindahan hak bangunan kepada pihak
lain (seperti jual beli, pewarisan,penghibahan dan sebagainya) untuk
mencegah tindakan penertiban jika tidak memiliki IMB5
4 Takdir Rahmadi, hukum lingkungan di Indonesia,PT.RajaGrafindoPersada,Jakarta hal:105
5 Adrian Sutedi, hukum Perizinan Dalam sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta 2010 hal
213
Pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui tugas mengurus
mempunyai makna pemerintah terlibat dalam bidang kesejahteraan
sosial dan ekonomi maupun pemeliharaan kesehatan dengan secara
aktif menyediakan sarana, prasarana, financial dan personal. Adapun
pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui tugas mengatur
mempunyai makna bahwa pemerintah terlibat dalam penerbitan dan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan
system-sistem perizinan. Melalui instrument pengaruran tersebut
pemerintah mengendalikan masyarakat dalam bentuk peraturan
termasuk izin yang mengandung larangan dan kewajiban. Izin sendir
sebagai salah satu instrument pengaturan yang paling banyak
digunakan oleh pemerintah dalam mengendalikan masyarakat.
Dengan demikian, sebagai salah satu instrument pemerintah yang
berfungsi mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.6
Lebih Lanjut dalam penjelasan Pasal 32, Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang dalam pemanfaatan
ruang ditegaskan lebih lanjut sebagai berikut ini:
Ayat (1), pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktivitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan tata ruang. Ayat (2), pemanfaatan ruang secara vertikal dan pemanfaatan ruang di dalam bumi dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ruang dalam menampung kegiatan secara lebih intansif. Contoh pemanfaatan ruang secara vertikal misalnya berupa bangunan bertingkat, baik atas tanah maupun di dalam
6 Ridhwan H.R. Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Rajagrafindo, 2006 hal 112-113
bumi. Sementara itu, pemanfaatan ruang lainnya didalam bumi, antara lain, untuk jaringan utilitas, (jaringan transmisi listrik, jaringan telekomunikasi, jaringan pipa air bersih dan jaringan gas dan lain-lain.) serta jaringan kereta api maupun jaringan jalan bawah tanah. Ayat (3) program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait.7
Izin merupakan perangkat hukum administrasi yang digunakan
oleh pemerintah untuk mengendalikan warganya. Untuk
mengendalikan masyarakat agar berjalan dengan terartur diperlukan
perangkat-perangkat administrasi. Izin tersebut diterapkan oleh pejabat
pemerintah, dengan demikian dilihat dari penerapannya, izin
merupakan instrument pengendalian dan alat pemerintah untuk
mencapai sasarannya.8
Penjelasan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007, tentang penataan ruang, disebutkan Rencana Tata Ruang
Kabupaten menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk
menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan
ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi
dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang
sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten.
Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tentunya diharapkan dapat memberikan dampak
7. Penjelasan UU No 26 Tahun 2007
8 Ibid…hal 107
nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan masyarakat.
Pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah menghendaki terciptanya penyelenggaraan pelayanan dengan
jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi
Pemerintah Daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan
peningkatan kualitas pelayanan.
Beragamnya organ pemerintah yang berwenang memberikan
izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin
tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran yang
hendak dicapai. Artinya campur tangan pemerintah dalam bentuk
regulasi perizinan dapat menimbulkan kejenuhan bagi pelaku kegiatan
yang membutuhkan izin, apalagi bagi kegiatan yang membutuhkan
kecepatan pelayanan dan menuntut efisiensi.9
Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, umumnya dalam
pelayanan pemberian Izin mendirikan Bangunan, masyarakat harus
meluangkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Mengingat bahwa
untuk mendapatkan pelayanan, tidak jarang mereka harus
melakukannya kebeberapa instansi pemerintah yang seringkali
lokasinya terpencar-pencar. Ditambah lagi data-base masing-masing
instansi umumnya berdiri sendiri (tidak on-line satu sama lainnya),
diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan suatu proses
9 Ridhwan.H.R Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Rajagrafindo, Jakarta, 2011 hal 205
perizinan. Serta kurangnya transparannya mekanisme dan biaya yang
diperlukan untuk memproses suatu izin10.
Pasal 33 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor
15 Tahun 2003 tentang Izin Mendirikan Bangunan disebutkan bahwa
sebelum dimulai rencana mendirikan bangunan oleh seseorang, badan
hukum atau instansi yang bersangkutan wajib menyesuaikan atau
memilih lokasi sesuai dengan peruntukkan lahan berdasarkan
Rencana Umum Tata Ruang Kota di Kabupaten Jayapura
Dalam pasal 43 Nomor 21 Tahun 2009 Peraturan Daerah
Kabupaten Jayapura, disebutkan bahwa cagar alam Cyckloop yang
merupakan kawasan suaka alam dipergunakan untuk penelitian,
pendidikan dan wisata alam, namun ternyata dalam realitanya banyak
sekali bangunan-bangunan tempat tinggal yang dibangun didaerah
cagar alam Cycloop. Serta bangunan yang awalnya diberikan izin
sebagai ruko oleh dinas terkait tetapi dalam kenyataannya ruko
tersebut dijadikan hotel.
Permasalahan Penataan Ruang merupakan suatu gambaran
yang bersifat multi sektoral, terlebih setelah diberlakukakannya konsep
otonomi daerah dalam pelaksanaan penataan ruang , dengan berbagai
pro dan kontranya, merupakan salah satu peluang yang dapat
mendekatkan penerapan tata ruang pada permasalahan lokal,
10
Ibid Adrian Sutedi…..hal 120
keterlibatan publik secara nyata, dan membangun masyarakat madani
pada masalah-masalah tata ruang.11
Selain masalah infrastruktur, masalah perizinan merupakan
aspek yang menentukan bagi kondisi iklim usaha di daerah. Dalam
aspek perizinan dalam era otonomi daerah belum secara signifikan
memperbaiki kualitas pelayanan dalam perizinan, bahkan ada
kecendurangan pasca penerapan otonomi daerah jumlah biayanya
meningkat.
Dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 32 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan disebutkan Pemberian
IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip:
a. prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif;
b. pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu;
c. keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha;
d. aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan,
keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan.
Ironisnya tingginya biaya perizinan tidak diimbangi dengan
peningkatan kualitas pelayanan. Banyak pelaku dan pemohon
perizinan yang mengeluh karena kekecewaan mereka terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi perizinan antara lain
11
Ibid Adrian Sutedi hal 180
tidak adanya transparansi biaya yang harus dikeluarkan dan prosedur,
prosedur yang berbelit-belit, tingginya biaya yang harus dikeluarkan.12
Birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang
menjadi kendala, bagi perkembangan usaha di Indonesia. Terlebih lagi
pada era otonomi daerah yang diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah pada kenyataannya menjadi tidak tercapai. Hal ini dapat terlihat
masyarakat sering mengeluh karena proses pelayanan oleh
Pemerintah Daerah tidak memiliki kejelasan baik menyangkut prosedur
pelayanan, maupun peraturan perundang-undangan.13
Dikemukakan oleh Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Jayapura
Drs Gideon Dodop, MM14. sejumlah bangunan ruko dan hotel yang ada
di Kabupaten Jayapura ini memang sudah banyak menyalahi aturan
tata kota. Oleh karena itu, ke depannya pihak dinas terkait harus
konsisten mentaati aturan Tata Kota dalam pemberian IMB. Disamping
itu juga perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau
pengusaha yang akan membangun bangunan di Kabupaten Jayapura.
Realitas pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah yang telah
dilaksanakan di daerah, khususnya pelaksanaan pelayanan di bidang
Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Jayapura, tidak berjalan
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat khususnya
12
Ibid Adrian Sutedi, hal 49 13
Juniarso Ridhwan dan Ahmad sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, 2010
14. Cenderawasih Pos Jumat, 24 agustus 2012
pemohon IMB, ketidakpuasan pemohon Izin Mendirikan Bangunan
biasanya mengeluhkan proses yang berbelit-belit, lamban dalam
penanganan, biaya tinggi, dan kurang cermat, dalam penanganan.
Perkembangan pembangunan dan pertambahan penduduk
Kabupaten Jayapura yang begitu pesat, sehingga menimbulkan ada
dugaan salah standar mekanisme pemberian izin mendirikan
bangunan, diduga ada kecendurangan menyalahi tata ruang serta
pelaksanaan dan pengawasan pemberian izin mendirikan bangunan
yang tidak sesuai dengan tata ruang. Dengan demikian penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauhmana pelaksanaan proses pemberian Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dalam Penataan Ruang Di Kabupaten Jayapura.
2. Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dalam Penataan Ruang Di Kabupaten Jayapura.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pelaksanaan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dalam penataan ruang Kabupaten
Jayapura.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) untuk menunjang tata ruang Kabupaten
Jayapura.
D. Manfaat Penelitian.
1. Bermanfaat untuk Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai
masukan untuk pemberian Izin Mendirikan Bangunan
2. Sebagai sumbangsih teoritis bagi pembangunan ilmu hukum,
khususnya bagi instansi Pemerintah Daerah.
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum
adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau
pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada
kekuasaan diatas hukum (above the law), semuanya ada dibawah
hukum (under the rule of law), dengan kedudukan ini, tidak boleh ada
kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau
penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power)
Pemikiran negara hukum ini dilatari oleh situasi dan sama ketika
era Plato dan Aristoteles mengemukakan idenya tentang negara
hukum, yaitu merupakan reaksi kekuasaan yang absolute dan
sewenang-wenang. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XIX
dan mengilhami pemikiran John Locke (1632-1704), Montesquieu
(1689-1755). John Locke, adalah orang yang pertama mengemukakan
pemikiran tentang pemisahan kekuasaan (sharing of power), memiliki
gagasan yang pada intinya menyatakan bahwa negara bertujuan
menjamin hak-hak asasi warga negara, penyelenggaraan negara
berdasarkan atas hukum, adanya pemisahan kekuasaan negara demi
kepentingan umum, supremasi kekuasaan pembentuk undang-undang
yang tergantung pada kepentingan rakyat.
Menurut Frederich Julius Stahl dalam Ni’matul Huda ciri dari
negara hukum Eropa continental (rechtsstaat) meliputi:
1. Mengakui dan melindungi hak asasi manusia; 2. Untuk melindungi hak asasi tersebut penyelenggaraan
negara harus berdasarkan pada teori trias politica. 3. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan
undang-undang (wetmatig bestuur); 4. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-
undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.15
Sementara itu menurut Alber Veen Dicey, dalam S.F Marbun,
ciri negara hukum (rule of law) meliputi (1) supremacy of law, dalam
arti tidak boleh ada kesewenangan-wenangan, sehingga seseorang
hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, (2) equality before the
law, artinya kedudukan yang sama di muka hukum, (3) human right
yakni terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan
keputusan-keputusan pengadilan.16
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara Hukum,”
yang menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia 1945, “Negara Kesatuan Republik Indonesia di
bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota
15
Julius Stahl, dalam Ni’matul Huda Pengawasan pusat terhadap daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, FH UII, Press, Yogyakarta, 2007, hal 57 16
A.V Dicey, dalam S.F Marbun, dkk dimensi-dimensi pemikiran hukum administasi negara, UII, Press Yogyakarta, hal 8
mempunyai pemerintahan daeerah yang diatur dengan Undang-
undang,” sebagai negara hukum setiap penyelenggaraan urusan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku
(wetmatigheid van bestuur) sebagai negara yang menganut asas
desentarlisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri
atas urusan pemerintah pusat dan urusan pemerintahan daerah.
Artinya bahwa ada perangkat pemerintahan pusat dan ada perangkat
pemerintahan daerah, yang diberi otonomi yakni kebebasan dan
kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
Dengan merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum
pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi
:memajukan kesejahteran umum,” ada yang berpendapat bahwa
Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare state),
seperti Azhari dan Hamid S. Attamimi. Ashari mengatakan bahwa
negara yang ingin dibentuk (pada waktu itu) oleh bangsa Indonesia
adalah “negara kesejahteraan”,17 ,menurut Hamid S. Attamimi, bahwa
negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan
dirinya sebagai negara yang berdasarkan hukum, sebagai rechsstaat,
bahkan rechsstaat Indonesia adalah rechsstaat yang “memajukan
kesejahteraan umum”, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Rechsstaat itu ialah rechsstaat yang materiil, yang sosial yang oleh
17
. Tahir Azhari, negara hukum Jakarta bulan bintang 1992 hal 116
bung Hatta disebut negara pengurus, suatu terjemahan
Verzorgingstaat.18.
Salah satu karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah
kewajiban pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau
bestuurszog. Menurut E. Utrecht, adanya bestuurszog ini menjadi
suatu tanda yang menyatakan adanya suatu “welfare state”19 Bagir
Manan, menyebutkan dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar
atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah
mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan
umum) dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimensi ini secara spesifik
melahirka faham negara kesejahteraan (verzorgingsstaat, welfare
state).20 Sjachran Basah dalam Ridhwan H.R jika adanya kewajiban
pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum itu merupakan ciri
konsep negara kesejahteraan, Indonesia termasuk negara
kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah semata-mata hanya
dibidang pemerintahan saja, melainkan harus juga melaksanakan
18
. A.hamid S.Attamimi, Deer rechsstaat Republik Indonesia dan prespektifnya menurut Pancasila dan UUD, makalah pada seminar sehari dalam rangka Dies natalis Universitas 17 Agustus ke -42, diselenggarakan oleh FH Universitas 17 Agustus Jakarta, 9 Juli 1994 hal 16
19. Utrecht, pengantar hukum administarsi negara (Surabaya Pustaka Tinta Emas, 1988) hal : 30,
20. Bagir Manan, pemikiran negara berkonstitusi, makalah pada Temu Ilmiah Nasional ,
Fakultas hukum Universitas Padjajaran, Bandung 6Aril 1992, hal 2
kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara, yang
dijalankan melalui pembangunan nasional.21
B. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Asas-asas Pemerintahan yang baik lahir dari praktek
penyelenggaraan dan pemerintahan sehingga bukan produk formal
suatu lembaga negara seperti Undang-Undang. Asas-asas
pemerintahan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman untuk
meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak individu. Fungsi asas-
asas pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan
adalah sebagai pedoman atau penuntun bagi pemerintah atau pejabat
administrasi negara dalam rangka pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam hubungan ini Muin Fahmal22 mengemukakan “
asas pemerintahan yang layak(baik) sesungguhnya adalah rambu-
rambu bagi penyelenggara dalam menjalankan tugasnya. Rambu-
rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai
dengan tujuan hukum yang sesungguhnya”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang
Penyelenggara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme
1. Asas Kepastian Hukum
21
. Ibid… Ridwan HR. hal 19
22. Fahmal Muin, peran asas-asas pemerintahan yang layak dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih. Yogyakarta: UII Press, 2008 hal:60
Dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara. Asas ini juga menghendaki
adanya stabilitas hukum sehingga tidak menimbulkan citra negatif
yang akhirnya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum.
2. Asas Tertib Penyelenggara Pemerintah
Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan
keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara. Asas
ini menghendaki agar setiap kebijakan dan/atau keputusan yang
diambil pemerintah (pejabat negara), harus mempunyai dasar atau
alasan yang jelas, benar serta adil dan sesuai prosedur yang ada di
dalam UU.
3. Asas Kepentingan Umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proposionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara dan warga negara dalam segala
aspeknya.
6. Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas.
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian menurut SF Marbun dan Moh.Mahfud MD
mengklasifikasikan asas-asas umum pemerintahan yang baik kedalam
tiga belas asas, yaitu :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security).
Asas kepastian hukum disebut dalam istilah Legal Of Security.
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari pada negara hukum,
sehingga setiap perbuatan adalah tindakan aparatur pemerintah
haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum.
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality).
Asas keseimbangan dikaitkan dengan keseimbangan hak dan
kewajiban yang pada hakikatnya menghendaki terciptanya keadilan
menuju pada kehidupan yang damai.
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality).
Asas ini konsisten dengan tuntutan pasal 27 UUD 1945 yang
memberikan kedudukan sama kepada semua warga negara
didepan hukum dan pemerintahan.
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulnes).
Asas ini menuntut ketelitian dari aparatur pemerintah didalam
setiap kali melakukan sesuatu perbuatan.
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation).
Asas yang memberi dorongan untuk berbuat, bagi perbuatan
aparatur pemerintah yang berakibat hukum.
6. Asas jangan mencampur adukkan kewenangan (principle of non
misuse of competence).
Asas ini memberi petunjuk agar pejabat pemerintah ataupun badan
aparatur pemerintahan tidak boleh bertindak atas sesuatu yang
bukan wewenangnya.
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play).
Asas ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
rakyat untuk mencari kebenaran dan keadilan sebelum aparatur
pemerintah mengambil suatu keputusan.
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition
of arbitrariness).
Asas ini menuntut ditegakkan aturan hukum agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan.
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting
raised expectation).
Asas ini mendorong aparatur pemerintah dalam pembuatan
hukumnya selalu memperhatikan harapan-harapan yang
ditimbulkan oleh rakyat atau pihak yang ada dalam hubungan
hukum yang tercipta sebagai lapangan hukum tata pemerintahan.
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of
undoing the consequences of an annuled decision).
Asas yang menuntun aparatur pemerintah agar didalam perbuatan
hukum yang dilakukannya ternyata dibatalkan oleh lembaga
peradilan yang berwenang, artinya harus menerima resiko untuk
mengembalikan hak-hak dari pihak yang dirugikan oleh
perbuatannya dan jika mungkin keharusan adanya membanyar
ganti rugi.
11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of
protecting the personal way of life).
Asas dimana aparatur pemerintah didalam pembuatan hukum yang
dilakukannya haruslah melindungi pandangan hidup yang dianut
bertentangan dengan pancasila dan aturan perundang-undangan
yang berlaku.
12. Asas kebijaksanaan (sapientia).
Asas kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-
ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk
bagi setiap usaha aparatur pemerintah, sehingga tercapai
kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu.
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service).
Asas ini menghendaki agar dalam menjalankan tugasnya
pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum. Karena
negara Indonesia adalah negara hukum yang dinamis, yang
menuntut segenap aparat pemerintah dalam melakukan kegiatan
menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum.23
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan Penyeleggaran Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Teori Efektifitas
Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas
memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat
23
SF Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok administrasi negara, 2004 hal 59
efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelaahan
terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas, namun
secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan
dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi.
Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun
memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas
organisasi.
Mengutip Ensiklopedia administrasi24, menyampaikan
pemahaman tentang efektivitas sebagai berikut :
Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.”
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal
dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan
yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan
pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal
tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian
suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau
kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut
telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah
24
http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/10/teori-efektivitas.html, diakses pada tanggal 6 Oktober 2012.
tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut
merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan
menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.
Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum,
Achmad Ali25 berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh
mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat
mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”.
Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya
faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran,
wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam
menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun
dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto26 adalah
bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)
faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
25
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1 (Jakarta: Kencana, 2010), 375. 26
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 8.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh
karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan
tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen
pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut
dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto27 ukuran efektivitas pada elemen
pertama adalah :
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya
kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan
ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut
dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya
disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental
yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto28 bahwa masalah yang
berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi
aparat akan tergantung pada hal berikut :
27
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80. 28
Ibid, hal : 82.
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana
dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya.
Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas
yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum.
Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan
istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto29 memprediksi patokan
efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana
tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan
kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi
kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah :
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan
memperhitungkan angka waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
29
Ibid, hal : 82
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan
lagi fungsinya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang
tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu :
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun
peraturan yang baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik,
petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa
disiplin dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang
secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu
yang menjadi elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu
pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui
motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat
kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang
efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan
masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik
yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal.
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang
bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena
adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang
tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan
yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang
sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya.
Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya semacam
tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar
warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum,
keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum
disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan
rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum
daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat
menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau
hanya temporer.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto
tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli
Atmasasmita30 yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas
penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur
penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi
juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.
Menurut Soerjono Soekanto31 efektif adalah taraf sejauh mana
suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan
efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum
30
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001), 55. 31
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi (Bandung: CV. Ramadja
Karya, 1988), 80.
mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku
manusia sehingga menjadi perilaku hukum.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,
pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal
namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun
merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun
erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau
aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu
pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan
ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena
ancaman paksaannya kurang berat; mungkin juga karena ancaman
paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga
masyarakat32.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat
untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor
yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-
baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu
hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga
masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
32
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone, 1998), 186.
dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut
mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau
peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.
D. Teori Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan dan wewenang.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo, dalam Juniarso Ridhwan dan
Ahmad Sodik yang dimaksud dengan kewenangan (authority
gezag) adalah apa yang dimaksud dengan kekuasaan formal, yang
berasal dari kekuasaan legislative (diberi oleh Undang-undang)
atau dari kekuasaan eksekutif/administratif. Sedangkan yang
dimaksud dengan wewenang (compentence bevoeggheid), masih
menurut Prajudi Atmosudirdjo dalam kutipan adalah kekuasaan
untuk melakukan suatu tindakan/menerbitkan surta-surat izin dari
seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangannya
masih berada ditangan menteri (delegasi wewenang).33
Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal
authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada
seseorang atau pada suatu pihak dalam satu bidang tertentu.
Dalam hal demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan bersumber
pada hukum, yaitu ketentuan yang mengatur pemberian wewenang
tadi.34
33
Juniarso Ridhwan dan Ahmad Sodik, Hukum Tata Ruang Dalam konsep Otonomi Daerah, Nuansa Bandung, 2008 hal 111
34 Mochtar Kusuma Atmaja Fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan
Nasional, Bina Cipta Bandung 1975 hal 74.
Hardjon35 mengemukakan bahwa wewenang merupakan
faktor penting dan mendasar dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan termasuk peraturan daerah. Kewenangan
diartikan sebagai suatu konsep hukum publik , maka kewenangan ,
pemerintah sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen
yaitu: pengaruh, dasar hukum, dan komformitas hukum. Komponen
pengaruh disini bermakna bahwa penggunaan wewenang
pemerintahan dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek
hukum, sedangkan komponen dasar hukum bermakna bahwa
wewenang pemerintahan selalu harus dapat ditujukan dasar
hukumnya. Komformitas hukum mengandung makna adanya
standar wewenang dan standar khusus yang mencangkup
wewenang tertentu saja.
Sementara itu Marbun, memberikan pengertian berbeda
antara kewenangan dan wewenang, menurutnya kewenangan
(authority gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik
terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu
bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan wewenang
(competence rechtbevoegdheden) hanya mengenai bidang tertentu
saja. Dengan demikian kewenangan berarti kumpulan dari
wewenang-wewenang (rechtbevoegdheden). Menurutnya
wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan
35
Philipus M. Hadjon, (selanjutnya di sebut Philpus M.Harjon II) wewnangn, jurnal
Yuridika, Edisi Nomor 5 dan 6 Tahun 1997, hal 27
hukum public atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk melakukan hubungan
hukum.36
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya mengambarkan
hak untuk berbuat dan tidak berbut. Dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban. Dalam kaitan dengan otonoi
daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur
sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen),
sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekusaaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertical
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu
tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.37
Wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan
perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah
adalah peraturan perundang-undangan yang secara teoritik,
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi dan
mandat. 38
36
S.F. Marbun dkk, ibid…hal 27 37
Bagir Manan, wewenang Propinsi, Kabupaten dan kota, dalam rangka otonomi
daerah, makalah pada seminar nasional, FH Unpad Bandung, 13 Mei 2000, hal 1-2 38
Ridhwan HR Hukum Administrasi Negara, edisi revisi -7, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2011, hal 101
2. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan.
Untuk mengetahui apakah pemerintah daerah memperoleh
wewenang dibidang pernerbitan perizinan melalui atribusi, maka
perlu ditelaah urusan-urusan yang menjadi wewenang pemerintah
daerah berdasarkan peraturan perundang-undanga yang
mengaturnya. Untuk hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 10 (1)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
dinyatakan:
a. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang
oleh undang-undang itu ditentukan menjadi urusan pemerintah.
b. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi
kewenangan sebagaimana yang dimaksudkan ayat (1),
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, untuk
mengatur dan mengurus sendiri urasan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
c. Urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1) Politik luar negeri.
2) Pertahanan.
3) Keamanan.
4) Yustisi.
5) Moneter dan Fiscal Nasional.
6) Agama.
Dengan melihat ruang lingkup kewenangan daerah, dapat di
pastikan, urusan penerbitan perizinan termasuk dalam urusan
otonomi daerah sebenarnya menjadi bagian integral dan urusan
otonomi daerah, sebab wewenang penerbitan perizinan
didistribusikan kepada badan dan pejabat administrasi negara,
keterlibatan administrasi negara dalam bidang perizinan pada
dasarnya merupakan sikap tindak hukum yang memperkenankan
permohonan untuk melakukan suatu kegiatan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam bentuk surat keputusan.
Adapun pejabat administrasi negara yang memiliki
kewenangan untuk memberikan perizinan berada/terletak pada
tangan Kepala Daerah sebagaimana tercantum dalam peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah yang menjadi dasar
hukumnya. Surat keputusan kepala daerah yang berisikan tentang
perizinan merupakan salah satu bentuk ketetapan (beschikking)
yang terdapat dalam lapangan hukum publik. Oleh karenanya, sifat
hubungan hukum yang timbul dari perizinan termasuk perbuatan
hukum publik dari administrasi negara, perbuatan hukum
termaksud yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara, ini
termasuk bentuk ketetapan yang pada umumnya tertulis. Tertulis
artinya bahwa ketetapan tadi berupa surat keputusan kepala
daerah yang diterbitkan dalam suatu surat keputusan, maka
sesungguhnya ketetapan yang menyangkut pemberian perizinan
memiliki unsur.39
a. Positif, artinya bahwa ketetapan telah menimbulkan hak dan
kewajiban baru bagi pemohon perizinan.
b. Ekstrem, artinya dalam ketetapan terdapat hubungan hukum
antara pemerintah, dalam hal ini pejabat administrasi negara
selaku aparatur pemerintahan, dengan orang perorangan atau
badan hukum perdata selaku pemohon perizinan.
Pada dasarnya kewenangan pemerintah daerah dalam negara
kesatuan adalah milik pemerintah, dengan kebijakan desentralisasi
pemerintah menyerahkan kewenangan pemerintahan tersebut kepada
daerah yang penyerahan wewenangnya terdiri atas:
1. Materi wewenang yang meliputi semua urusan pemerintahan yang
terdiri atas urusan pemerintahan umum dan urusan pemerintahan
lainnya.
2. Manusia yang diserahi wewenang, yakni masyarakat yang tinggal
didaerah yang bersangkutan sebagai kesatuan masyarakat hukum,
bukan kepala daerah atau kepada DPRD atau keduanya
3. Wilayah yang diserahi wewenang, yakni daerah otonom, bukan
wilayah administarsi.
39
Atang Ranuwiharja,R, Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Transito Bandung ,1989, hal 20
Adanya pemberian atau pembagian wewenang dari pemerintah
kepada pemerintah daerah baik dalam bentuk atribusi maupun
delegasi, dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurus
sendiri urusan rumah tangganya. Termasuk di dalamnya wewenang
menetapkan peraturan sendiri di daerah dalam rangka
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah yang dikenal dengan
peraturan daerah.
E. Izin
1. Pengertian izin
Utrecht dalam Adrian Sutedi memberikan pengertian izin
(vergunning) sebagai berikut:
Izin adalah bilamana pembuat peraturan tidak umumnya
melarang suatu perbuatan, tetapi juga masih memperkenankannya
asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing
hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin
(vergunning)40.
Menurut luffi Effendi bahwa izin (vergunning) adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan izin (vergunning)
40
. Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika,
Jakarta, 2011:167
dapat juga diartikan sebagai dispensasi/pembebasan dari suatu
larangan.41
Lebih lanjut Lutfi Effendi bahwa hal pokok pada izin, bahwa
suatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar
dalam ketentuan. Penolakan izin terjadi, bila kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi misalnya tentang hal
ini adalah dilarang mendirikan suatu bangunan, kecuali ada izin
tertulis dari pejabat yang berwenang dengan ketetntuan mematuhi
persyaratan.42
Menurut Sjachran Basah, dalam Adrian Sutedi izin adalah
perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang
mengaplikasikan peraturan dalam hal konkrit berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.43
Jadi dapat dikatakan bahwa izin merupakan perangkat
hukum admnistrasi yang digunakan oleh pemerintah untuk
mengendaikan warganya
Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, yang
dalam keadaan tertentu menyimpang dari peraturan perundang-
undangan. Izin tersebut ditetapkan oleh pejabat negara, dengan
41
. Luffi Effendi, 2004, pokok-pokok hukum administrasi Bayumedia Malang, 2004 hal:63
42. Ibid
43. Ibid Adrian Sutedi…hal 170
demikian dengan demikian, dilihat dari penepatannya, izin
merupakan intrumen pengendalian dan alat pemerintah untuk
mencapai apa yang menjadi sasarannya, yang paling penting
adalah persoalan adalah persoalan siapa yang paling berwenang
memberikan izin hal ini sangat penting karena izin merupakan
bentuk keputusan tata usaha negara, karena izin dikeluarkan
pejabat tata usaha negara, yaitu pemerintah atas permohonan yang
diajukan oleh badan hukum perdata atau perorangan.
Kemudian Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti
luas berarti persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk memperolehkan melakukan tindakan
atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.44
N.M. Spelt dan J.B.M ten Berge, membagi pengertian izin
dalam arti luas dan sempit, yaitu izin merupakan salah satu
instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintah mengunakan izin sebagai sarana yuridis
untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang 44
. Bagir manan. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak dan
kemerdekaan berkumpul di Tinjau dari Perspektif UUD 1945, makalah tidak dipublikasikan, Jakarta, 1995 hal: 8
sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan
yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus
atasnya ini adalah paparan luas dari pengertian izin.45
Selanjutnya N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge,
mendefinisikan izin dalam arti sempit yakni pengikatan-pengikatan
pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada
keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.
Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat
undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana
ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya, hal
yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu
tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar
dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan
dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi
persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam
keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-
tindakan yang diperkenanan dilakukan dengan cara tertentu
(dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan)46.
Menurut Prins, verguinning dalam Adrian Sutedi adalah
keputusan Administrasi Negara, berupa aturan, tidak umumnya
45
Spelt, N.M dan J.B.J.M. ten Berge, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M. Hardjon, cet, I Surabaya, Yuridika) hal: 2-3
46. Ibid
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya
asal saja diadakan secara yang ditetntukan untuk masing-masing
hal yang konkret, maka perbuatan administrasi Negara yang
diperkenankan tersebut bersifat suatu izin47. Dalam
perkembangannhya, secara yuridis pengertian izin dan perizinan
tertuang dalam Pasal 1 angka 8 dan 9 peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan
pelayanan terpadu satu pintu.
Dalam Pasal 1 angka 8 ditegaskan bahwa izin adalah
dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan
peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti
legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau
badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu.
Kemudian Pasal 1 angka 9 menegaskan bahwa perizinan
adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku
usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda
daftar usaha. Definisi izin dan perizinan juga didefinisikan sama
dalam Pasal 1 angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 20 Tahun 2008 tentang pedoman Organisasi Tata Kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.
47
Adrian Sutedi,Hukum Perizinan dalam sektor pelayanan public, Sinar Grafika, Jakarta,
hal 172
Dengan demikian dapat diartikan bahwa perizinan
merupakan upaya mengatur kegiatan-kegiatan yang memiliki
peluang menimbulkan gangguan pada kepentingan umum.
Mekanisme perizinan yaitu melalui penerapan prosedur ketat dan
ketentuan yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan suatu
pemanfaatan lahan. Perizinan adalah suatu bentuk pelaksanaan
fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimilikin oleh
pemerintah, merupakan mekanisme pengendalian administratif
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat48.
2. Sifat Izin
Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/badan
tata usaha negara yang berwenang yang isinya atau subtansinya
mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha
negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum
tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar
kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin.
b. Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha
negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum
tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin
kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pada kader
sejauhmana peraturan perundang-undangan mengaturnya
48
. Op Cit Adrian Sutedi ……hal 173.
misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, HO, izin usaha
industri dan lain-lain.
Perbedaan antara izin yang bersifat bebas dan terikat adalah
penting dalam hal apakah izin dapat ditarik kembali/dicabut atau
tidak. Pada dasarnya hanya izin sebagai putusan tata usaha
negara yang bebas yang dapat ditarik kembali/dicabut, hal ini
karena tidak terdapat persyaratan-persyaratan yang mengikat
dimana izin itu tidak dapat ditarik kembali/dicabut.
Pada izin yang bersifat terikat, pembuat undang-undang
memformulasikan syarat-syarat dimana izin diberikan dan izin
dapat ditarik kembali/dicabut. Hal penting dalam pembedaan di atas
adalah dalam hal menentukan kadar luasnya dasar pengujian oleh
hakim tata usaha negara apabila izin sebagai keputusan tersebut
digugat. Pada wewenangn menetapkan izin yang terikat, hakim
relatif akan menguji lebih lengkap dibanding dengan wewenang
yang bebas dalam menetapkan izin, sehingga bila banyak
kebebasan yang dimiliki oleh organ pemerintahan dalam
menetapkan izin, maka hakim akan membatasi diri pada pengujian
pada undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
a. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang izinnya
mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Izin
yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan
titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan,
dalam arti yang bersangkutan diberikan hak-hak atau
pemenuhan tuntutan yang tidal akan ada tanpa keputusan
tersebut. Misalnya, dari izin yang menguntungkan adalah SIM,
SIUP, SITU dan lain-lain.
b. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya
mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk
ketentuan-ketentuan yang berkaitan kepadanya. Disamping itu,
izin yang bersifat memberatkan merupakan pula izin yang
memberi beban kepada orang lain atau masyarakat sekitarnya,
misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu. Bagi
mereka yang tinggal disekitarnya yang merasa dirugikan izin
tersebut merupakan suatu beban. Pembedaan antara izin yang
bersifat menguntungkan dengan izin yang bersifat memberatkan
adalah penting dalam hal penarikan kembali/pencabutan dan
perubahannya, izin sebagai keputusan yang menguntungkan
tidak begitu gampang ditarik kembali atau diubah atas kerugian
yang berkepentingan. Adapun penarikan kembali/pencabutan
dan perubahan izin yang bersifat memberatkan biasanya tidak
terlalu menjadi soal.
c. Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut
tindakan-tindakan yang akan segera berakhir atau izin yang
masa berlakunya relatif pendek. Misalnya, izin mendirikan
bangunan (IMB), yang hanya berlaku untuk mendirikan
bangunan dan berakhir pada saat bangunan selesai didirikan.
d. Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang menyangkut
tindakan-tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya
relatif lama. Misalnya izin usaha industri dan izin yang
berhubungan dengan lingkungan. Pembedaan antara izin yang
segera berakhir dengan izin yang berlangsung lama adalah
penting dalam hal kemungkinan penarikan kembali dan masa
berlakunya izin. Secara umum diakui bahwa setelah berlakunya
tindakan-tindakan yang memerlukan izin seperti izin mendirikan
bangunan berakhir, maka berakhirlah masa berlakunya izin
tersebut. Disamping mengenai masa berlakunya izin,
pembedaan diatas penting dalam hal penarikan
kembali/pencabutan izin manakala izin diberikan secara salah
karena perbuatan tercela dari pemegang izin.
e. Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung
pada sifat atau kualitas pribadi pemohon izin. Misalnya, izin
mengemudi (SIM)
f. Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya
tergantung pada sifat dan objek izin. Misalnya izin HO, SITU,
dan lain-lain.
Pembedaan antara izin yang bersifat pribadi dengan izin
yang bersifat kebendaan adalah penting dalam hal kemungkinan
mengalihkannya pada pihak lain. Izin yang bersifat pribadi tidak
dapat dialihkan pada pihak lain, misalnya surat izin mengemudi
(SIM) tidak dapat dialihkan pada pihak lain, misalnya terdapat
penjualan perusahaan pada pihak lain, maka izin HO-nya secara
otomatis beralih pada pihak lain dengan syarat nama perusahaan
(nama PT) tidak berubah. Izin seperti itu harus ditaati oleh mereka
yang secara nyata mengeksploitasi lembaga tersebut. 49
Menurut Spelt dan ten Berge dalam (Abdul Razak, ringkasan
Disertasi Universitas Hasanuddin 2005: 18-19), bahwa tujuan
perizinan adalah sebagai berikut:
a. Keinginan Mengarahkan (mengendalikan “sturen” aktivitas-aktitas tertentu (misalnya izin mendirikan bangunan, izin HO, dll)
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (misalnya izin penerbangan, izin usaha industri, izin-izin lingkungan dll)
c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monument-monumen, izin mencari/menemukan barang barang peninggalan terpendam dll)
d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk)
e. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya izin bertransmigrasi dll)50
Berdasarkan tujuan perizinan menurut Spelt dan ten Berge,
maka nampak bahwa tujuan perizinan tersebut lebih difokuskan
kepada jenis perizinan di bidang lingkungan. Yang terpenting dalam
izin adalah izin digunakan oleh penguasa sebagai instrument untuk
49
Op Cit Adrian Sutedi ……hal: 175 50
. Op Cit Disertasi Abdul Razak…hal:18-19
mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang
dianjurkan guna mencapai suatu tujuan konkrit. Dalam
kenyataannya, didalam berbagai sektor kebijaksanaan terdapat
berbagai sistem izin dengan sejenis yang berdiri secara
berdampingan.
3. Fungsi Pemberian Izin.
Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagai
fungsi penertib dan sebagai fungsi pengatur. Sebagai fungsi
penertib, dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat
usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak
berrtentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap
segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 28 tahun 2002
tentang bangunan gedung yang menyebutkan Fungsi bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sesuai
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Kemudian
lebih lanjut dalam ayat (2) bahwa Fungsi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan.
Sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang
ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukkannya, sehingga
terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain,
fungsi pengaturan ini dapat disebut sebagai suatu fungsi yang dimilik
oleh pemerintah.
Dalam izin mendirikan bangunan, fungsi dari izin bangunan
ini dapat dilihat dalam beberapa hal:
a. Segi Teknis Perkotaan.
Pemberian izin mendirikan bangunan sangat penting artinya
bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan
merencanakan pembangunan perumahan di wilayahnya sesuai
dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam
master plan kota. Untuk mendapatakan pola pembangunan kota
yang terencana dan terkontrol tersebut, pelaksanaan
pembangunan dia atas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki
izin mendirikan bangunan dan penggunaannnya sesuai dengan
yang disetujui oleh dinas perizinan dan pengawasan
pembangunan kota.
Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan
melalui izin ini, pemerintah di daerah dapat merencanakan
pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota
dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting
artinya agar wajah perkotaan dapat ditata dengan rapi serta
menjamin keterpaduan pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Penyesuaian pemberian izin mendirikan bangunan dengan
master plan kota akan memungkinkan adanya koordinasi antara
berbagai departemen teknis dalam melaksanakan
permbangunan kota.
b. Segi Kepastian Hukum.
Izin mendirikan bangunan penting artinya sebagai
pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal
pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi
acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya.
Bagi masyarakat pentingnya izin mendirikan bangunanan ini
adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak
bangunan yang dilakukan, sehingga tidak adanya gangguan
atau hal-hal lain yang merugikan pihak lain dan akan
memungkinkan untuk mendapatkan keamanan dan ketentraman
dalam pelaksanaan usaha atau pekerjaan.
Selain itu izin mendirikan bangunan tersebut bagi pemiliknya
dapat berfungsi antara lain sebagai berikut:
1) Bukti milik bangunan yang sah.
2) Kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal
sebagai berikut:
a) Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang
bersifat untuk kepentingan hukum.
b) Bentuk-bentuk kerugian yang diderita oleh pemilik lainnya
yang berasal dari kebijaksanan dan kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah.
c) Segi pendapatan daerah, dalam hal ini pendapatan
daerah, maka izin mendirikan bangunan merupakan
salah satu sektor pemasukan yang tidak dapat diabaikan
begitu saja. Melalui pemberian izin ini dapat dipungut
retribusi izin mendirikan bangunan. Retribusi atas izin
mendirikan bangunan itu ditetapkan berdasarkan
persentase dari taksiran biaya bangunan yang dibedakan
menurut fungsi bangunan tersebut. Retribusi izin
mendirikan bangunan dibebankan terhadap setiap orang
atau badan hukum yang namanya tercantum dalam surat
izin yang dikeluarkan itu.51
Hukum perizinan adalah bagiaan dari hukum administrasi
negara, adapun yang dimaksudkan dengan perizinan adalah
melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang
berada dibidang hukum publik yang berdasarkan wewenang
tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang
maupun badan hukum terhadap masalah yang dimohonkan.
Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang
memakan tempat. Adapun pengertian mendirikan bangunan adalah
pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian
termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah
yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan. Jadi
51
. Op Cit Adrian Sutedi …….hal:193-194
izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk
mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang
dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai
dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan
tersebut. Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan
diatur oleh peraturan daerah setempat dimana bangunan itu akan
didirikan.
Disisi lain izin merupakan instrument yuridis yang digunakan
oleh pemerintah untuk mempengaruhi warganya agar mau
mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan
konkrit52 sebagai suatu instrument, izin selaku ujung tombak
instrument hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang
masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin
dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur
itu terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung
dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu
sendiri.53 apabila dikatakan izin itu dapat difungsikan sebagai
instrument pengendali dan instrument untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan
dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, penataan dan
pengaturan izin ini sudah semestinya harus dilakukan dengan
52
. Op cit N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge hal 5 53
. Op cit Sahran Basah system..
sebaik-baiknya. Menurut Prajudi Atmosudirdjo berkenaan dengan
fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakkan dalam fungsi
menertibkan masyarakat.54
Perizinan tidak boleh diartikan terlalu dominan pada fungsi
budgetering-nya. Memang pada dasarnya sah-sah saja jika dari
perizinan akan dapat diharapkan memberikan kontribusi yang
positif bagi peneriamaan daerah. Minimal proses perizinan tersebut
akan membiayai dirinya sendiri (self fund) dan tidak menjadi beban
anggaran daerah yang sudah dari sarananya terbatas. Akan tetapi
mengedepankan fungsi budgetering, semata-mata sebagai fungsi
dari perizinan sudah pasti merupakan penafsiran yang keliru.
4. Izin Mendirikan Bangunan
Dalam Pasal 1 angka (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2010 Izin mendirikan bangunan, yang selanjutnya
disingkat IMB, adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah
daerah kepada pemohon untuk membangun baru,
rehabilitasi/renovasi, dan/atau memugar dalam rangka melestarikan
bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku.
Pemerintah menggunakan instrumen izin sebagai sarana
yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warganya yang tujuannya
dapat berupa:
54
. Ridwan H.R hukum administrasi negara Jakarta Ghalia Indonesia 1981 hal 23.)
1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan-“sturen”) aktivitas-
aktivitas tertentu misalnya izin bangunan.
2. Mencegah bahaya bagi lingkungan, misalnya perizinan
lingkungan.
3. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu misalnya izin
membongkar monumen-monumen.
4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit, misalnya izin
penghunian di daerah padat penduduk.
Dalam Pasal 1 butir (8) Peraturan Daerah Kabupaten Nomor
15 Tahun 2003 tentang izin mendirikan bangunan yang dimaksud
dengan izin mendirikan bangunan yang selanjutnya disingkat
dengan (IMB) adalah izin yang diberikan oleh Bupati kepada
perorangan atau badan usaha untuk mendirikan, merubah dan
memindahkan bangunan.
Izin pemanfaatan ruang untuk kegiatan pembangunan
perumahan dan permukiman baik untuk kepentingan pribadi, sosial
maupun umum, dapat dibagi55 dalam 3 (tiga) sasaran yaitu:
1. Izin yang berkaitan dengan penetapan lokasi investasi dan
perolehan tanah atau yang disebut dengan izin lokasi.
2. Izin yang berkaitan dengan rencana pengembangan kualitas
ruang atau yang disebut dengan surat persetujuan site plan.
55
. Spelt.N.M. dan Ten Berge dalam Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan (Medan:Pustaka Bangsa Press, 2003), hal:178
3. Izin yang berkaitan dengan pengembangan tata bangunan atau
yang disebut dengan izin mendirikan bangunan.
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, mempunyai peran yang sangat strategis dalam
membentuk watak, perwujudan produktivitas dan jati diri manusia.
Oleh karena itu penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur
dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta
penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan
gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi
dan selaras dengan lingkungannya. Bangunan gedung merupakan
salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam
pengaturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum
dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis
bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, memuat pengertian apa yang dimaksud
dengan bangunan gedung yang berbunyi: “Bangunan gedung
adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau berada di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tempat tinggal, kegiatan agama, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya maupun kegiatan khusus”.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002
menunjukkan bahwa fungsi bangunan gedung meliputi fungsi
hunian, keagamaan, usaha, sosial budaya dan fungsi khusus.
Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah
tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun dan rumah
tinggal sementara. Setiap bangunan gedung harus memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan
fungsi bangunan gedung. Setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
1. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari
pemegang hak atas tanah
2. status kepemilikan bangunan gedung dan
3. izin mendirikan bangunan gedung
Ketiga persyaratan administratif tersebut di atas harus
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai hak pemilik dan pengguna bangunan gedung diatur
dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2002, menyatakan:
“Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
bangunan gedung mempunyai hak:
1. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas
rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi
persyaratan, Lihat ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
2. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan
perizinan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;
3. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung dan/atau
lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah
Daerah;
4. mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dari Pemerintah Daerah karena bangunannya
ditetapkan sebagai bangunan yang harus dilindungi dan
dilestarikan;
5. mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari
Pemerintah Daerah;
6. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan apabila bangunannya dibongkar oleh Pemerintah
Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh
kesalahannya.
Dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf b UU No. 28 Tahun
2002 di atas, jelaslah bahwa setiap pelaksanaan pembangunan
gedung harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah. Perizinan pembangunan gedung berupa
izin mendirikan bangunan gedung yang diperoleh dari Pemerintah
Daerah secara cepat dan murah atau terjangkau. Setelah rencana
teknis bangunan gedung disetujui, biaya IMB bersifat terjangkau
disesuaikan dengan fungsi, kepemilikan dan kompleksitas
bangunan gedung serta dimaksudkan untuk mendukung
pembiayaan pelayanan perizinan, menerbitkan surat bukti
kepemilikan bangunan gedung dan pembinaan teknik
penyelenggaraan bangunan gedung.
Perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang
terutama adalah izin mendirikan bangunan penerbitan izin yang
diterbitkan oleh instansi terkait, terutama rekomendasi dari instansi
yang bertanggungjawab dibidang tata kota dalam bentuk ketetapan
rencana tata kota dan rencana tata letak bangunan, rekomendasi
dari instansi pertanahan, rekomendasi komisi amdal, rekomendasi
manajemen lalu lintas, penerbitan izin mendirikan bangunan, izin
penggunaan bangunan, izin kelayakan mengunakan bangunan, izin
undang-undang gangguan harus didasarkan kepada peruntukan
tanah yang ditetapkan dalam rekomendasi ketetapan rencana kota.
Adanya Izin Mendirikan Bangunan berfungsi supaya
pemerintah dapat mengontrol dalam rangka pendataan fisik kota
sebagai dasar yang sangat penting bagi perencanaan,
pengawasan, dan penertiban pembangunan kota yang terarah dan
sangat bermanfaat pula bagi pemilik bangunan karena memberikan
kepastian hukum atas berdirinya bangunan yang bersangkutan dan
akan memudahkan bagi pemilik bangunan yang bersangkutan dan
akan memudahkan bagi pemilik bangunan untuk suatu keperluan,
antara lain dalam hal pemindahan hak bangunan kepada pihak lain
(seperti jual beli, pewarisan, penghibahan dan sebagainya) untuk
mencegah tindakan penertiban jika tidak memiliki izin mendirikan
bangunan (IMB).
5. Pembangunan Gedung dan Hubungan Dengan Perizinan.
Pembangunan Nasional untuk mewujudkan kesejahteraan
umum sebagaimna dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945
pada hakekatnya adalah pembangunan nasional Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang
menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran
lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia
yang maju berkeadilan sosial. Bangunan gedung sebagai tempat
manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam menbentuk watak, perwujudan produktivitas dan jati
diri manusia. Oleh karena itu penyelenggaraan bangunan gedung
perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk
mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, berjati diri serta
seimbamg, serasi dan selaras dengan lingkungannya.56
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan
gedung, mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan
56
. Lop, Cit Adrian Sutedi……hal:223
gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan
kewajiban pemilik dan pengguna bangunan pada setiap tahap
penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran serta
masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah dan sanksinya.
Atmosudirdjo mengemukan bahwa: “perizinan merupakan
perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan
oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan
diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin
atau persetujuan atas sesuatu yan pada umumnya dilarang” 57
Pasal 1 butir (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2010 yang dimaksudkan dengan Bangunan adalah
bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
Kemudian di dalam Pasal 1 butir (2), Bangunan gedung
adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus
57
. Atmosudirdjo. S.P, 1982, Administrasi pembangunan, CV Hajimasagung, Jakarta, hal:
118
Perizinan yang dimaksud tersebut merupakan penetapan
atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada
permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada
penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu
instansi, badan, perusahaan atau perseorangan. Perizinan ini
timbul dari strategi dan teknik yang dipergunkan oleh pemerintah
untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni
dengan melarang tanpa izin tertulis utnuk melakukan kegiatan-
kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh
pemerintah.
Izin dapat diartikan sebagai suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan peraturan perundang-undangan. Ini menyangkut perkenan
bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya (Spelt,dkk 1993). 58 Mendasarkan
pada definisi tersebut, perizinan akan selalu berkaitan dengan
aktivitas pengawasan terhadap aktivitas yang menjadi objek
perizinan. Pengawasan terhadap investasi sebagai aktivitas objek
perizinan akan mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu : pemberian izin
58
. Spelt, N.M dan J.B.J.M. ten Berge, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M. Hardjon, cet, I Surabaya, Yuridika)
(aparat perizinan), pelaku investasi (subjek perizinan) dan aktivitas
inventasi (objek perizinan).
Antara pemerintah dan masyarakat terjalin suatu hubungan
timbal balik, yakni pada suatu sisi masyarakat mempengaruhi
pemerintah dalam menjalankan tugasnya, pada sisi lain pemerintah
memberi pengaruh tertentu pada masyarakat melalui tugas
memberi dan mengatur.
Pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui tugas
mengurus mempunyai makna pemerintah terlibat dalam bidang
kesejahteraan sosial dan ekonomi maupun pemeliharaan
kesehatan dengan secara aktif menyediakan sarana, prasarana,
finansial dan proposional.
Sedangkan pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui
tugas mengatur mempunyai makna pemerintah terlibat dalam
penerbitan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
termasuk melahirkan sistem-sistem perizinan.59. Melalui instrument
pengaturan tersebut pemerintah mengendalikan masyarakat dalam
bentuk peraturan termasuk izin yang mengandung larangan dan
kewajiban. Izin sendiri sebagai salah satu instrument pengaturan
yang paling banyak digunakan oleh pemerintah dalam
mengendalikan masyarakat, dengan demikian izin sebagai salah
59
. Abdul Razak, 2005, kedudukan dan fungsi peraturan kebijakan di bidang Perizinan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, ringkasan disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
satu instrument pemerintahan yang berfungsi mengendalikan
tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Penerbitan izin merupakan perbuatan pemerintah
(administrasi negara) yang bersegi satu. Dalam hukum administrasi
negara perbuatan hukum pemerintahan yang bersegi satu lazim
disebut “ketetapan” (beschikking). Atas dasar inilah terlebih dahulu
dikemukakan pengertian ketetapan sehingga mempermudah
pengertian izin.
Dengan memberi izin penguasa memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum
yang mengharuskan pengawasan, sehingga izin merupakan salah
satu instrument hukum pemerintah dalam mengendalikan
masyarakat dalam bentuk peraturan termasuk izin yang
mengandung larang dan kewajiban, karena izin merupakan salah
satu instrument hukum yang paling banyak dilakukan atau
dipergunakan oleh pemerintah dalam mengendalikan masyarakat60
F. Hukum Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
1. Dasar Hukum Tata Ruang.
Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
60
. Ibid …..hal 17-18
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen
ke empat, berbunyi: “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada
negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan
kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat” kalimat tersebut mengandung makna,
negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,
mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna
terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.
Mochtar Koesoemaatmadja, mengemukakan bahwa hukum
haruslah menjadi sarana pembangunan, artinya bahwa hukum
haruslah mendorong proses modernisasi, sejalan dengan fungsi
tersebut maka pembentuk Undang-Undang meletakkan berbaga
dasar yuridis dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan,
sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan undang-undang
mengenai penataan ruang.61,
Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang,
maka peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak
diterbitkan oleh pihak pemerintah dimana salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah
Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 merupakan Undang-
Undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan
ruang, keberadan undang-undang tersebut diharapkan selain
sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan
tata ruang juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan
pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungna hidup.
Setiap pembangunan yang dilakukan dalam suatu negara
harus terarah, supaya terjadi keseimbangan, keserasian
(keselarasan), berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang berkeadilan. Untuk perlu disusun suatu rencana yang disebut
rencana tata ruang. rencana tata ruang ada yang bersifat Nasional,
artnya “meliputi bidang Nasional ada pula yang hanya berlaku
untuk wilayah, atau regional tertentu seperti RUTR.
61
Mochtar Koesoemaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam pembangunan, Alumni
Bamdung, 2002 hal 104.
Pengendalian pemanfaatan lahan yang distrategikan
seringkali mengalami benturan atau penyimpangan dengan
berbagai bidang lainnya. Hubungan penyediaan tanah untuk
kepentingan pemerintah dan swasta sangat erat dengan masalah
perencanaan kota. Pembebasan lahan untuk pembangunan,
permukiman, perkantoran, hotel, mall, pusat pembelanjaan,
apartemen, dan sebagainya ditengah kota seringkali
mengakibatkan dampak yang tidak menguntungkan karena mereka
terpaksa kehilangan tempat tinggal.
Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu
dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan
ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu
mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii)
tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Penataan
ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya
tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai
akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
subsistem. Hal itu berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang
yang ada. Karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh
pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi
sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan
penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu system
keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu
kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah,
harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang oleh siapa pun
tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang.
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana
umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah
administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur
ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun
berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan
kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga
penetapan blok dan subblok peruntukan. Penyusunan rencana rinci
tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata
ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi. Peraturan
zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun
untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah
Kabupaten/Kota dan peraturan zonasi yang melengkapi rencana
rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan
sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata
ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang
dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang
sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan
izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif,
sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.62.
Daud Silalahi menyatakan, tata ruang berarti susunan ruang
yang teratur. Kata teratur mencakup pengertian serasi dan
sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Karena
62
. Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
pada tata ruang, yang tata adalah tempat berbagai kegiatan serta
sarana dan prasarananya dilaksanakan, lebih lanjut menurut Daud
Silalahi, suatu tata ruang yang baik dapat dilaksanakan dari segala
kegiatan menata yang baik disebut penataan ruang. Dalam hal ini
penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama yakni perencanaan
tata ruang, perwujudan tata ruang dan pengendalian tata ruang.63.
Pasal 2, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang
asas-asas Penataan Ruang, dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Penataan Ruang diselenggarakan berdasarkan
asas:
a. Keterpaduan.
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain,
adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. Keserasian
Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola
ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan
63
. M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam system Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni Bandung, 2006, hal :80
lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan
antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan.
c. Keberlanjutan
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
d. Keberdayaan dan keberhasilangunaan.
Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan” adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan
sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin
terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e. Keterbukaan
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan penataan ruang.
f. Kebersamaan dan kemitraan
Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan.
g. Perlindungan kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum”
adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat.
h. Kepastian hukum dan keadilan
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan
hukum/ketentuan peraturan perundangundangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban
semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i. Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dapat di
pertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.
Adapun yang menjadi tujuan penataan ruang ditegaskan
dalam Pasal 3 UUPR bahwa penyelenggaraan Penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman produktif dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisasian antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber
daya manusia.
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pengertian “aman” yang dimaksud disini adalah situasi
masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
terlindungi dari berbagai ancaman, kemudian yang dimaksud
dengan “nyaman “ adalah keadaan masyarakat dapat
mengartikulasikan nilai budaya dan fungsi dalam suasana yang
tenang dan damai.
Sementara yang dimaksud dengan “produktif” adalah proses
produksi dan distribusi berjalan secara efisiensi sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
Berkelanjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat
di pertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pada
antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan
setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan
Kemudian pasal 33 UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang:
a. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan
mengembangkan penataangunaan tanah, penataangunaan air,
penataangunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam
lain.
b. Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan
dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca
penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara
dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain.
c. Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk
pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum
memberikan hak prioritas bagi pemerintah dan pemerintah
daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari
pemegang hak atas tanah.
d. Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung
diberikan prioritas bagi pemerintah dan pemerintah daerah
untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak
atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai penataangunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan
sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.53
Selanjutnya berkaitan dengan perizinan, pasal 35 UUTR
menyatakan:
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi.
Kemudian pasal 36:
a. Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35
disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
b. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang
untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
c. Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
1) Peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem
nasional.
2) Peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi
sistem provinsi.
3) Peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa: Izin pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dibatalkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-
masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh
dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Izin
pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar,
tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya. Izin pemanfatan ruang yang tidak sesuai
lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat
dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan
memberikan ganti kerugian yang layak. Setiap pejabat pemerintah
yang berwenang menerbitkan izin pemanfatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan serta, didukung dengan
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian, keserarasan
dan keseimbangan subsistem. Hal ini akan meningkatkan kualitas
ruang yang ada, karena pengelolaan subsistem yang satu
berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat
mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan
pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu
sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya
suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat baik tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus
dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Dengan demikian pemanfaatan ruang oleh siapapun tidak boleh
bertentangan dengan rencana tata ruang.
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana
umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah
administratif dengan muatan subtansi mencakup rencana struktur
ruang dengan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang
disusun berdasarkan pendekatan nilai strategi kawasan dan/atau
kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup
hingga penetapan blok dan subblok peruntukan penyusunan
rencana rinci tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi
rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan
zonasi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
tentang persyaratan pemanfaatan ruang, serta ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan
yang menetapkan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang
dimaksud sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang
sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang. Kegiatan pemanfaatan ruang pada dasarnya
adalah upaya memadukan berbagai pelaksanaan rencana
pembangunan sosial ekonomi dan fisik ke dalam tindakan
pemanfaatan ruang secara terkendali untuk dapat menghindari
kerugian eksternal dan sesuai dengan kebutuhan ke depan dan
aspirasi masyarakat. Instrument penting dalam pemanfaatan ruang
adalah pemberian izin dan penggunaan tanah, izin gangguan, izin
mendirikan bangunan dan amdal.64. Penataan ruang merupakan
proses tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang, berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasilguna,
serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.Penataan ruang
diharapkan mampu mewadahi seluruh kepentingan secara optimal
dalam ruang itu sendiri. Ruang daerah sebagai wadah kegiatan
sosial dan ekonomi masyarakat harus mampu mengakomodasi
kepentingan semua pihak, baik pemerintah, swasta dan
masyarakat itu secara adil dan berkelanjutan bagi generasi yang
akan datang, sejalan dengan peningkatan dinamika kebutuhan
yang berkembang dari waktu ke waktu. Tujuan penataan ruang
adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai
kegiatan di berbagai sub wilayah agar tercipta hubungan yang
harmonis dan serasi. Dengan demikian, hal itu mempercepat
proses tercapainya kemakmuran dan terjaminnya kelestarian
lingkungan hidup.
64
. Op Cit Helmi………hal 117-119
Kemudian dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan
penataan ruang tersebut, Undang-Undang ini, antara lain, memuat
ketentuan pokok sebagai berikut:
a. pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan
tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan
dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui penetapan
peraturan perundang-undangan termasuk pedoman bidang
penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan
ruang;
c. pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk
meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang pada semua tingkat pemerintahan;
e. pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan
penataan ruang, termasuk pengawasan terhadap kinerja
pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan;
f. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat,
termasuk masyarakat adat dalam setiap proses
penyelenggaraan penataan ruang;
g. penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah maupun
antarpemangku kepentingan lain secara bermartabat
h. penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negeri
sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang
dilakukan;
i. ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar
untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan
ruang; dan
j. ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru,
dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.
Tata ruang merupakan instrument penting bagi pemerintah,
penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan penetapan
oleh legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Tata
ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi
baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga
diharapkan proses pemanfatan ruang dapat dilakukan secara
konsisten. Pemanfaatan ruang dalam kegiatan pemanfaatan ruang,
acuan yang digunakan adalah rencana tata ruang yang diketahui
mempunyai dimensi waktu tertentu, yang pada suatu waktu sudah
tidak dengan dinamika yang ada. Tujuan rencana tata ruang yang
up to date agar proses pembangunan dan investasi oleh
pemerintah, usaha swasta, dan masyarakat dilakukan secara efektif
dan efisien sesuai dengan dinamika perkembangan social-ekonomi
dan pola ruang yang ada.65.
Perencanaan pembangunan pada umumnya harus memiliki
dan memperhitungkan unsur-unsur pokok, yaitu:
a. Tujuan akhir yang dikehendaki. b. Sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya. c. Jangka waktu mencapai sasaran-sasaran tersebut. d. Masalah-masalah yang dihadapi e. Modal atau sumber daya yang akan digunakan serta
pengalokasiannya. f. Kebijaksanaan untuk melaksanakannya. g. Organisasi atau badan pelaksananya, mekanisme
pemantauan, evaluasi dan pengawasan pelaksanaannya.66
Menurut Mabogunje, dalam Jayadinata, (1999:12) ada 3
macam ruang yaitu:
a. Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang
ada dalan ruang itu, misalnya, ruang permukaan bumi adalah
wadah bagi berbagai benua, laut, gunung, kota dan sebagainya.
b. Ruang relative, adalah ruang berdasarkan jarak dan sarana, jika
tempat A dan B berdekatan tetapi tidak ada jalan, sedangkan
tempat A dan C berjauhan tetapi ada jalan dan sarana
65
. Op Cit Helmi……..hal: 121 66
. Kartasasmita, G. 1997, Administarsi pembangunan; perkembangan pemikiran dan
prakteknya di Indonesia LP3ES Jakarta hal :51
angkutan, maka disebut bahwa jarak A C relative lebih kecil dan
relati berdekatan dan ruangnya relatf kecil.
c. Ruang relasi, yang melibatkan unsur-unsur yang mempunyai
relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Ruang relasi
mengandung unsur-unsurnya aatau bagian-baagiannya yang
saling berinteraksi, sehingga unsur-unsur itu berubah, sebagai
interaksi maka dikatakan bahwa ruang itu berubah.67 Penataan
ruang diklasifikasikan menurut fungsi-fungsi untuk menampung
atau mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat dengan
tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan guna
keberlanjutan ekologi demi generasi yang akan datang. Menurut
Budihardjo, kegiatan penataan ruang dapat diklasifikasikan
dalam beberapa hal, antara lain:
1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan,
meliputi kawasan lindung (misalnya kawasan resapan air,
suaka alam, taman nasional, taman wisata alam) dan
kawasan budidaya ( misalnya kawasan hutan produksi,
kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan
pertanahan keamanan)
67
Jayadinata,J.T, 1992, Tata guna tanah dalam perencanaan kota dan wilayah, ITB,
Bandung)
2) Penataan ruang berdasarkan aspek administrasi tata ruang
meliputi tata ruang wilayah nasional, propinsi, dan
kabupaten/kota.
3) Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek
kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan
dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan skala
besar untuk kepentingan industri, pariwisata atau pertanahan
keamanan beserta sarana dan prasarananya.68
2. Pengertian Ruang.
Ruang dapat diartikan sebagai wadah kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya alam. Ruang
baik sebagai wadah maupun sebagai sumber daya alam terbatas.
Sebagai wadah ia terbatas pada besaran wilayah, sedangkan
sumber daya, ia terbatas daya dukungnya. Oleh karena itu
menurut. pemanfaatan ruang perlu ditata agar tidak terjadi
pemborosan dan penurunan kualitas ruang.69 Ruang (space)
diartikan pula sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan
lapisan biosfera, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia. Ruang dapat merupakan suatu wilayah yang mempunyai
batas geografis yatu batas menurut keadaan fisik, sosial atau
pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan
68
. Eko, Budihardjo, (2005), Tata Ruang Perkotaan. Bandung: PT. Alumni. 69
. Kantaatmadja, M.K. 1994, hukum angkasa dan hukum tata ruang, Mandar Maju
Bandung) hal: 115
lapisan tanah dibawahnya serta lapisan udara diatasnya.
Seseorang pemegang hak atas tanah berhak mengunakan seluruh
ruang. Jayadinata menyatakan bahwa penggunaan tanah dapat
berarti pula tata ruang.70
Kartasasmita menyatakan bahwa: Penataan ruang secara
umum mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi
proses perencanaan, pelaksanaan, atau pemanfaatan tata ruang,
dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang
harus berhubungan satu sama lain.71
Dari aspek Planalogi (konsep tata ruang) tata ruang berarti
susunan ruang yang teratur. Bagi pembangunan perkotaan teratur
mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah
dipahami dan dilaksanakan. Oleh karena itu pada tata ruang yang
ditata adalah tempat berbagai kegiatan serta saranan
prasarananya. Sedangkan untuk batasan pengertian rencana
dijelaskan sebagaimana yang dirumuskan oleh Alden dan Morgan72
dengan hasil aktifitas formal untuk mengatur perkembangan dan
perubahan masyarakat melalui penerapan ilmu pengetahuan guna
memecahkan masalah dan mencapai tujuan dari sistem sosial.
70
. Jayadinata, J.T. 1999, tata guna tanah dalam perencanaan perdesaan, perkotaan dan wilayah, edisi ketiga ITB, Bandung. hal 12
71. Kartasasmita, 1997:51) (Kartasasmita, G. 1997, Administarsi pembangunan;
perkembangan pemikiran dan prakteknya di Indonesia LP3ES Jakarta)
72. Eko, Budihardjo,, 1997, lingkungan binaan dan tata ruang kota, Andi, Yogyakarta,
hal:68
Penataan ruang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Dalam pasal 1 butir
1 UUPR adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya, hidup
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya,
ruang sendiri terbagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah
permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan
sisi darat dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut di mulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah
termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimanan
negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan
dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada
bumi, dimanan negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
Di dalam UUPR, ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang
kawasan, pengertian wilayah dalam pasal 1 butir 17 UUPR adalah
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenapnya
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administartif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan
pengertian kawasan dalam pasal 1 butir 20 UUPR adalah wilayah
yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia
untuk melakukan kegiatannya. Hal ini tidaklah berarti bahwa ruang
wilayah Nasional akan dibagi habis oleh ruang-ruang yang
diperuntukan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi
harus mempertimbangkan pula adanya ruang-ruang yang
mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap
keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta
satu kesatuan ekologi.
Pasal 1 butir 2 UUPR, menjelaskan yang dimaksud dengan
tata ruang adalah wujud struktural dan pola ruang. Struktur ruang
dalam pasal 1 butir 3 UUPR adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedang pola
ruang dalam pasal 1 butir 4 adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang fungsi budi daya.
Pengertian penataan ruang dalam pasal 1 butir 5 UUPR
adalah suatu sistem proses yang terdiri dari perencanan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses
penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan system yang
tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Sesuai dengan pasal 6
ayat (3) yuridiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup
ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi
sebagai satu kesatuan.
Menurut Syafrudin, (1992:8)73. bahwa kegiatan menata
ruang yang baik dan teratur disebut penataan ruang. Dalam
pengertian ini penataan ruang terdapat tiga (3) kegiatan utama
yaitu, perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan
pengendalian tata ruang. Sedangkan Budiardjo74 mengemukakan
pemahaman tata ruang dalam arti luas mencakup keterkaitan dan
keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata guna udara serta
alokasi sumber daya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian
konflik antara kepentingan yang berbeda.
Ilhami mengemukakan bahwa: Perwujudan penataan ruang
harus dibedakan dengan perwujudan tata ruang. Pada perwujudan
tata ruang belum tampak adanya wujud kegiatan pembangunan
dilapangan, sebab yang ditata baru tempat-tempat yang akan diisi
dengan kegiatan serta sarana prasarana yang diperlukan.
Sedangkan pada perwujudan pemanfaatan ruang sudah dapat
dilihat wujud dari kegiatan serta sarana dan prasarananya.75 73
. Syafrudin. A. 1992, penataan ruang dan lingkungan hidup dan kaitannya dengan pemerintah daerah dalam hal perizinan, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya)
74. Op Cit Eko Budihardjo…….hal:68
75. Ilhami, 1990, Strategi pembangunan perkotaan di Indonesia, ITB Bandung)
3. Sejarah peraturan penataan ruang kota di Indonesia.
Peraturan penataan ruang kota di Indonesia mulai
diperhatikan sejak kota Jayakarta (Batavia) dikuasai oleh Belanda
pada awal abad ke -17, namun peraturan secara intensif baru
dikembangkan pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang
mengatur kota Batavia adalah De Statuten Van 1642 yang
dikeluarkan oleh VOC khusus untuk kota Batavia. Peraturan ini
tidak hanya mengatur pembangunan jalan, jembatan dan bangunan
lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggungjawab
pemerintahan kota.
Peraturan pembangunan kota mulai diperhatikan lagi setelah
Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan undang-undang
disentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan
pemerintahan kota dan daerah. Dimana undang-undang ini
memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai,
pemerintahan, administrasi, keuangan kota sendiri
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan
dan pemeliharaa jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan
perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan kota.
Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom
yang disebut Gemente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak
lama kemudian Tahun 1905 diterbitkannya Localen-raden
Ordonantie, Stb. 1905/191 tahun 1905 yang antara lain berisi
pemberian wewenang kepada pemerintahan kota untuk
menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. Karena
menghadapi beberapa persoalan dalam pembangunan kota, pada
akhirnya pemerintahan Hindia Belanda menyadari perlu
pengembangan peraturan perencanaan kota di Indonesia, meski
pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.
Karsten, dalam laporannya kepada kongres desentralisasi
tentang pembangunan kota Hindia Belanda (Indiese Stedebouw)
pada tahun 1920, selain berisi konsep dasar pembangunan kota
dan peranan pemerintah kota, mengatur pula petunjuk praktis yang
dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai
jenis rencana. Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang
disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad. Peraturan ini menjadi
dasar bagi kegiatan perencanaan kota sebelum perang
kemerdekaan. Lebih lanjut dinyatakan pada tahun 1933 Kongres
Desentralisasi di Indonesia meminta Pemerintah Hindia Belanda
untuk memusatkan persiapan peraturan perencaan kota di tingkat
pusat. Kemudian dibentuklah panitia perencanaan kota pada tahun
1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai
pengganti Bijblad 11272. Bersamaan dengan itu pemerintah Hindia
Belanda menetapkan Undang-Undang perbaikan Kampung 1934.
Undang-undang ini dibuat untuk mengatur perbaikan jalan, gang,
drainase, dan prasarana kesehatan lainnya di kampong-kampung
kota.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang
kemerdekaan Indonesia menyebabkan rancangan Undang-undang
perencanaan wilayah perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun
1948, dengan nama undang-undang pembentukan kota
(Stadsvormingsordonnanntie, SVO) Stb 1948, Nomor 168 untuk
sejumlah kota tertentu Yakni Batavia, Tegal, Pekalongan,
Semarang , Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang,
Banjarmasin, Cilacap, tangerang, Bekasi, Kebayoran, dan Pasar
Minggu. Substansi SVO mengatur zoning, konservasi, bangunan
bersejarah, kondisi perumahan, jenis dan kepadatan bangunan,
ruang terbuka tranportasi, lalulintas air bersih dan sebagainya.
Undang-undang ini member kewenangan kepada kota untu
menyusun rencana umum atau rencana detail yang disahkan oleh
Letnan Gubernur Jendral (kemudian diganti dengan Presiden
setelah diadopsi ke dalam hukum Indonesia). Bahwa SVO
mencakup ketentuan-ketentuan berkenaan dengan proses
konsultasi, konpensasi (ganti rugi), pungutan dan perpajakan bagi
lahan yang mendapat manfaat dari perencanaan dan
pembangunan kota. Peraturan pelaksanaan SVO, adalah peraturan
pembentukan Kota (Stadsvormingverordening. SVV) Stb 1949
Nomor 40.
Perkembangan kota yang sedemikian pesat mengakibatkan
SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia.
Karena itu pemerintah Indonesia mengajukan RUU bina kota pada
tahun 1970 namun tidak disetujui akibat munculnya sejumlah
konsep baru dalam pembangunan kota dan adanya perubahan
struktur administrasi dan pemerintahan dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di daerah. Nasib yang sama menimpa dua
Rancangan Undang-Undang (RUU) tata guna tanah yang diajukan
Departeman Dalam Negeri tahun 1980 dan 1982, tidak disetujui.
Akhirnya tahun1992 Indonesia berhasil menyusun Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, disingkat
UUPR. UUPR (yang diprakasai oleh Kantor Menteri Negara KLH
dengan melibatkan berbagai instansi antara lain Bapenas, DPU,
dan Depdagri) dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan difinisi
dan tumpang tindih pengawasan pemanfaatan sumber daya alam
dan ruang beserta isiya.
Namun dengan seiring adanya perubahan terhadap
paradigm pemerintahan daerah melalui ketentuan Undan-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka
ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang
ditandai dengan digantikannya ketentuan Undang-undang nomor
24 tahun 1992 menjadi Undang-undang nomor 26 Tahun 2007
tentang penataan ruang dan berlaku sampai saat ini. Undang-
undang nomor 26 Tahun 2007 ini dimaksudkan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan definisi dan tumpang tindihnya
pengawasan sumber daya alam dan ruang beserta isinya. Sejalan
dengan itu telah terbit Peraturan Menteri dalam negari nomor 1
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terbuka hijau kawasan
perkotaan.
G. BAGAN KERANGKA PIKIR
Tinjauan Yuridis Atas Izin Mendirikan
Bangunan Dalam Penataan Ruang
Di Kabupaten Jayapura.
Pelaksanaan Izin
Mendirikan Bangunan
Pengawasan Izin
Bangunan
1. Efisiensi Waktu IMB
2. Proses dan
Prosedur.
3. Penerapan Sanksi
1. Bentuk-bentuk
pengawasan.
2. Tanggungjawab
pengawasan IMB
Terciptanya Izin mendirikan bangunan
berbasis tata ruang Kabupaten Jayapura.
H. Defenisi Operasional
1. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan
dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
2. Izin (vergunning) adalah: suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan peraturan perundang-undangan.
3. Bangunan adalah Bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
4. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,
baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus
5. Ruang adalah: Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
6. Penataaan Ruang adalah: suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
7. Efektifitas adalah, pencapaian tujuan secara tepat atau memilih
tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan
cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya.
Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan
dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
8. Pengawasan adalah, suatu bentuk pengontrolan dari pihak yang
lebih atas kepada pihak dibawahnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua,
Pertimbangan untuk menetapkan lokasi tersebut adalah berdasarkan
penelitian pendahuluan bahwa di lokasi tersebut ada kecendurangan
tidak sesuainya Izin Mendirikan Bangunan dalam kaitannya dengan
penataan ruang ditengah-tengah perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat yang begitu pesat.
B. Tipe Penelitian.
Tipe penelitian ini adalah normatif empiris yaitu suatu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menelaah fakta yang
ada sejalan dengan pengamatan di lapangan kemudian dikaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
acuan untuk memecahkan masalah.
C. Populasi dan Sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh komponen
masyarakat dan aparatur pemerintah daerah yang berkaitan dengan
keseluruhan proses pemohon Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten
Jayapura.
Sampel yang ditarik dalam penelitian ini adalah purposive sampling
yaitu sampel ditentukan sendiri oleh peneliti dengan pertimbangan,
antara lain :
a. Responden dianggap mempunyai pengetahuan, pemahaman
dan pengalaman tentang proses izin mendirikan bangunan
b. Responden memiliki kewenangan dan memiliki kebijakan dalam
proses izin mendirikan bangunan
c. Sampel yang ditarik dalam penelitian ini terdiri dari :
1) Bappeda
2) Dinas Tata Kota
3) Badan Pertanahan
4) Dinas Pekerjaan Umum..
5) Pemohon IMB
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini
terdiri dari 2 (dua) jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara lansung dari
lapangan penelitian yang diperoleh dari sumber utama atau obyek
yang diteliti dengan cara wawancara.
2. Data Sekunder adalah data yang digali dari telaah pustaka yang
bersumber dari jurnal, laporan penelitian dan bahan-bahan
dokumen tertulis lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang
diteliti.
Data sekunder dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Bahan primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat
berupa perundang-undangan yang mengakomudir berlakunya
misalnya Peraturan Daerah
b. Bahan sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan atau
bahan yang menguraikan tentang bahan hukum primer berupa
karya ilmiah tentang hukum pemberian izin bangunan dan Tata
Ruang
c. Bahan tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Inggris
dan kamus bahasa Indonesia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis dan sumber data, maka teknik yang
digunakan oleh peneliti yaitu :
1. Wawancara (interview)
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya
jawab dengan responden dan menggunakan wawancara sebagai
instrumen agar benar-benar terarah pada pokok permasalahan.
Dalam hal ini wawancara akan dilakukan terhadap Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Tata Kota, Badan
Pertanahan Nasional, Dinas Pekerjaan Umum, pakar ahli,
Masyarakat yang berada di lokasi sampel.
2. Studi Dokumen
Studi Dokumen adalah teknik pengumpulan data melalui informasi
kepustakaan atau bahan-bahan kepustakaan yaitu peneliti akan
menggunakan dokumen seperti buku-buku tentang Izin Mendirikan
Bangunan, Laporan penelitian hukum Tata Ruang, Majalah, Koran,
Kamus, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan
dengan Izin Mendirikan Bangunan maupun peraturan perundang-
undangan yang mengakomodir Izin Mendirikan Bangunan dan Tata
Ruang.
F. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
analisis data kualitatif, yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif analistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Penggunaaan deskriptif ini
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat
memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Penataan
Ruang Di Kabupaten Jayapura.
1. Efisiensi Waktu IMB
Pemberian IMB harus berlandaskan prinsip-prinsip
sebagaimana yang disebutkan didalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010, tentang Pedoman Izin
Mendirikan Bangunan, bahwa:
a. Prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif.
b. Pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu.
c. Keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha
d. Aspek tata ruang, kepastian status hukum pertanahan,
keamanan dan keselamatan serta kenyamanan.
Demi mewujudkan prinsip dmaksud, maka perlu
dilakukannya sosialisasi kepada publik guna terselenggarakannya
IMB yang sesuai ketentuan, hal ini disebut dalam Pasal 26
Peraturan Menteri Dalam Negeri, tentang Pedoman Pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah
melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat dalam pemberian
IMB antara lain terkait dengan:
1. Keterangan rencana Kabupaten/Kota;
2. Persyaratan yang perlu dipenuhi pemohon;
3. Tata cara proses penerbitan IMB sejak permohonan diterima
sampai dengan penerbitan IMB; dan teknis perhitungan dalam
penetapan retribusi IMB.
Sosialisasi tersebut diharapkan dapat mempermudah dan
memperlancar proses IMB sehingga jangka waktu yang diberikan
dapat terpenuhi, hal ini juga sangat erat kaitannya dengan proses
penandatanganan oleh yang berwenang. Berdasarkan ketentuan
Pasal 6 Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 tentang pedoman
penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu jo Pasal 6
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang
pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan
terpadu di Daerah menyatakan bahwa Kepala Badan/Kantor
mempunyai kewenangan menandatangani perizinan atas nama
Kepala Daerah berdasarkan pendelegasian wewenang dari Kepala
Daerah.
Dalam Keputusan Bupati Nomor 246 Tahun 2012
memberikan pelimpahan kewenangan pelayanan dan
penandatanganan perizinan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu (KPPT) Artinya bahwa ada 13 perizinan yang
perizinan yang menjadi tanggungjawab (KPPT) termasuk izn
mendirikan bangunan.
Kepala Kantor Pelayanan Terpadu mempunyai tugas
membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan di
bidang perizinan secara terpadu, dalam melaksanakan tugasnya
Kepala Kantor Pelayanan terpadu menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan teknis dibidang pelayanan secara
terpadu;
2. Pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan di
bidang pelayanan perizinan secara terpadu;
3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pelayanan
perizinan secara terpadu;
4. Pembinaan dan penilaian bawahan sesuai ketentuan yang
berlaku; dan
5. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai
bidang tugasnya.
Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2003
bahwa Badan Komisi Distrik dalam jangka waktu 4 (empat) hari
kerja setelah menerima permohonan, mengadakan pemeriksaaan
dan kemudian mengumumkannya selama 20 (dua puluh) hari
dilokasi yang dimohon, kemudian diserahkan kepada Dinas terkait
yang lalu mengadakan pemeriksaan selambat lambatnya 14 (empat
belas) hari untuk mengadakan pemeriksaan yang meliputi:
a. Pemeriksaan zoning (peruntukan lahan);
b. Pemeriksaan tehnis bangunan;
c. Gambar perhitungan kontruksi dan RAB bangunan;
d. Garis sempadan;
e. Letak, lingkungan bangunan dan hal-hal lain yang dianggap
perlu.
Kemudian dalam Pasal 8 Peraturan Daerah nomor 15 Tahun
2003, hasil rapat Tim IMB, dituangkan dalam suatu berita acara
rapat yang menyatakan bahwa permohonon disetujui atau ditolak,
Lebih lanjut dalam Pasal 9 Nomor 15 Tahun 2003 Bupati
harus telah memutuskan dan menandatangani pemberian maupun
penolakan IMB selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya berkas permohonan IMB dari Dinas. Berdasarkan
keputusan Bupati Jayapura Nomor 246 Tahun 2012, dimana Bupati
melimpahkan kewenangan pelayanan dan penandatanganan
perizinan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Berdasarkan hal tersebut untuk memulai dari kualitas
bangunan baik itu rumah dan bangunan ruko dapat diukur dengan
melihat kondisi kepadatan dan jenis bangunan, yang digolongkan
dalam 2 (dua) jenis bangunan yakni bangunan layak dan tidak
layak seperti pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Jumlah Rumah Layak dan Tidak Layak Huni di Kabupaten Jayapura Tahun 2011 KONDISI RUMAH
NO DISTRIK LAYAK HUNI TIDAK LAYAK ATAP RUMBIA ATAP SENG
BAIK RSK BAIK RSK BAIK RSK BAIK RSK
1 SENTANI TIMUR 1,279 - 122 47 4 - 1,407 37
2 SENTANI 5,879 - 98 28 5 - 5,977 23
3 EBUNG FAUW 394 - 62 24 6 - 412 62
4 WAIBU 1,232 - 59 23 3 - 1,255 56
5 SENTANI BARAT 815 - 32 11 12 - 824 22
6 RAVENIRARA 240 - 58 22 6 - 252 62
7 YOKARI 329 - 110 22 7 - 366 88
8 DEPAPRE 606 - 109 25 3 - 654 83
9 DEMTA 457 - 108 32 12 - 512 73
10 KEMTUK 388 - 145 43 16 - 507 53
11 KEMTUK GRESI 435 - 165 24 14 - 525 85
12 NIMBORAN 527 - 186 33 8 - 671 67
13 NIMBOKRANG 1,485 - 94 35 4 - 1,568 42
14 NAMBLONG 638 - 88 47 6 - 705 62
15 GRESI SELATAN 188 - 69 21 8 - 231 39
16 UNURUM GUAY 237 - 119 35 18 - 278 95
17 KAUREH 7,838 - 150 24 16 - 7,920 76
18 YAPSI 1,292 - 156 33 12 - 1,375 94
19 AIRU 112 - 127 97 45 - 184 107
JUMLAH 24,371 0 2,057 626 205 0 25,623 1,226
sumber Data Dinas PU dan Perumahan Kabupaten Jayapura, 2012.
Berdasarkan tabel 1 maka dapat dijelaskan bahwa sebagian
besar jumlah bangunan tidak layak huni yang ada di Kabupaten
Jayapura, Selain itu, kawasan pemukiman di Kabupaten Jayapura di
bagi menjadi 2 yakni : kawasan pemukiman di wilayah perkotaan dan
kawasan pemukiman di wilayah perkampungan.
Dengan melihat kondisi bangunan di Kabupaten Jayapura, jika
dikaitkan dengan kondisi tersebut dalam penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan seperti tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Pemberian IMB
Tahun Jumlah
2010 90
2011 101
2012 19
Jumlah 210
sumber Data Dinas PU dan Perumahan Kabupaten Jayapura, 2012.
Berdasarkan tabel diatas penulis mengambil responden 15
orang terhadap masyarakat yang telah menerima Izin Mendirikan
bangunan untuk tahun 2010 sebanyak 5 orang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 orang responden76
mengemukakan bahwa dalam mengurus Izin Mendirikan bangunan
sangat berbelit-belit birokrasi yang harus ditempuh, serta biaya
yang tidak transparan dan meluangkan waktu yang begitu lama
hampir 1-2 tahun dalam pengurusan izin mendirikan Bangunan.
Berdasarkan wawancara dengan 177 orang responden
dikatakan bahwa dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
tidak transparan dalam hal pembiayaan, berbelit belit birokrasinya,
dan dalam memenuhi syarat prosedur khusus dalam pembuatan
RAB juga harus dilakukan oleh petugas tata bangunan Kabupaten
Jayapura.
Tahun 2011 sampel 5 orang, berdasarkan wawancara
dengan pengguna Izin Mendirikan Bangunan, bahwa 478 orang
menyatakan bahwa pemberian Izin Mendirikan Bangunan, berbelit-
belit dalam birokrasinya, tidak transparans dari sisi pembiayaan dan
meluangkan waktu yang lama dalam proses pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, kemudian 179 orang menyatakan bahwa
76
Hasil wawancara tanggal 29 Juli 2013 dengan H,Damsiri, Pak Hadi, Pak Bahar,Ibu Mardia 77
Hasil wawancara tanggal 30 Juli 2013 dengan Ainur Rofiq 78
Hasil wawancara tanggal 5 Agustus dengan, Pak Bambang, Pak Defi, Pak Robin, Pak Budi 79
Hasil wawancar Tanggal 11 Agustus dengan Pak Elvis Tuuk
proses pemberian Izin Mendirikan Bangunan sudah sesuai dengan
Peraturan Daerah, namun tidak dalam transparans dari sisi biaya.
Pada tahun 2012 sebanyak 5 orang responden, berdasarkan
hasil wawancara dengan pengguna Izin Mendirikan Bangunan, 480
orang responden menyatakan bahwa proses pemberian Izin
Mendirikan Bangunan berbelit-belit birokrasinya dengan jangka
waktu yang lama, juga dari sisi pembiayaan tidak transparan,
kemudian 181 orang menyatakan bahwa proses pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, sesuai dengan aturannya, tidak berbelit-belit
namun tidak tranparansi dalam pembiayaan pemberian Izin
Mendirikan Bangunan.
Kemudian berdasarkan wawancara dengan para pengguna
Izin Mendirikan Bangunan yaitu 15 orang responden penerima Izin
mendirikan Bangunan 13 responden mendapatkan informasi
tentang Izin mendirikan bangunan yang diperoleh informasi dari
teman ataupun saudara, sedangkan 2 orang responden
mengetahui informasi tentang Izin Mendirikan Bangunan dari
Pemerintah Daerah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penerima atau
pemohon IMB, saya berpendapat bahwa dalam mengurus Izin
Mendirikan Bangunan sangat berbelit-belit, tidak transparans
80
Hasil wawancara tanggal 30 Juli dengan Pak Erwin, Pak Abdullah, Pak Reiner, Pak Ahmad 81
Hasil wawancara, tanggal 28 Juli 2013 dengan Sumadi
dalam hal biaya, meluangkan waktu yang lama dan minimnya
sosialisasi kepada masyarakat tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, di Kabupaten
Jayapura dalam hal implementasi IMB masih sangat rendah,
dimana masyarakat harus meluangkan waktu dan biaya yang tidak
sedikit karena lokasi instansi yang terpencar-pencar dan kurangnya
transparansi mekanisme dan biaya yang diperlukan untuk
memproses suatu izin.
Berdasarkan wawancara dengan Pak Agus Haryadi SP,82
Kepala Kantor pelayanan perizinan terpadu (KPPT) Kabupaten
Jayapura Pelaksanaan izin mendirikan bangunan di Kabupaten
Jayapura belum efektif disebabkan beberapa hal antara lain:
1. Informasi dan sosialisasi tentang pentingnya izin mendirikan
bangunan kurang dilakukan oleh Pemerintah Daerah misalnya
lewat penyuluhan-penyuluhan, pemasangan pampflet,
pemasangan spanduk-spanduk dipinggr jalan dan lain-lain.
2. Pelayanan yang diberikan oleh petugas belum seperti yang
diharapkan oleh masyarakat, misalnya soal biaya, transparansi
dll.
3. Kurangnya aparatur sebagai sumber daya manusia khususya
dalam kaitan dengan pelayanan perizinan izin mendirikan
bangunan.
82
Hasil wawancara dengan kepala (KPPT), Bp Agus Haryadi tanggal 20 mei 2013
Untuk mengeluarkan IMB, semua harus mengacu kepada
tata ruang kota, sehingga antara pembangunan yang dilakukan
masyarakat dengan rencana pemerintah selalu sejalan, tidak
berbenturan, inilah salah satu tujuan mengapa pentingnya IMB itu
untuk pembangunan Kabupaten Jayapura
Dan itu sesuai dengan Pasal 33 Peraturan Daerah Nomor 15
Tahun 2003, tentang IMB dimana sebelum dimulainya rencana
mendirikan bangunan oleh seseorang, badan hukum atau instansi
yang bersangkutan wajib menyesuaikan atau memilih lokasi sesuai
dengan peruntukan lahan berdasarkan rencana Tata Ruang kota di
Kabupaten Jayapura.
Perizinan sebagaimana dimaksud, merupakan perizinan
yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang (termasuk pemberian
izin mendirikan bangunan) yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanan
pemanfaatan ruang, perizinan sebagaimana dimaksud mencakup
kegiatan:
a. Izin prinsip;
b. Izin lokasi/fungsi ruang.
Dalam Pasal 64 ayat (4) Perda Nomor 21 Tahun 2009, izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
Wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Sehubungan dengan pesatnya pembangunan fisik yang ada
di Kabupaten Jayapura dan dalam rangka pengendalian
pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
berdasarkan surat edaran Bupati Nomor 100/1439/SET tentang
pemberitahuan legalitas pembangunan fisik, Pedoman dalam
melakukan aktivitas pembangunan fisik adalah dengan mengacu
pada Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2009 tentang rencana
tata ruang wilayah Kabupaten Jayapura dan ketentuan lainnya.
Setiap pembangunan fisik yang hendak memanfaatkan
ruang, (pemberian IMB) sebelum aktivitas dilakukan terlebih dulu
mengurus izin prinsip dari Bupati Jayapura. Izin prinsip ini
dimaksudkan untuk:
a. Menjamin agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah disusun.
b. Mengendalikan pemanfaatan ruang.
c. Kemudahan dalam pengawasan dan penertiban pemanfataan
ruang.
d. Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang.
e. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.
2. Proses dan Prosedur.
Sebelum menerbitkan izin mendirikan bangunan pemohon
wajib terlebih dahulu mengurus izin prinsip yang dikeluarkan oleh
Bappeda Kabupaten Jayapura dengan memenuhi persyaratan-
persyaratan. dalam permohonan izin prinsip antara lain:
1. Foto copy identitas diri atau KTP
2. Foto copy surat pelepasan tanah
3. Foto copy surat hak milik tanah atau sertifikat tanah pemohon.
4. Peta lokasi rencana pembangunan perumahan.
5. Site plan rencana pembangunan.
6. Foto copy akte pendirian perusahaan bagi pemohon yang
mengatasnamakan perusahaan.
7. Surat keterangan domisili.
Ini berarti setiap orang/badan/lembaga yang hendak
mengunakan lahan/tanah di Kabupaten Jayapura terlebih dahulu
diwajibkan mengurus izin prinsip penggunaan lahan/ruang, izin
prinsip ini dimaksudkan agar rencana pengguanaan tanah/lahan
untuk kepentingan pembangunan untuk kegiatan fisik benar-benar
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Jayapura.
Pelaksanaan pembangunan fisik sesuai rencana tata ruang
Kabupaten Jayapura telah ikut menjaga keselamatan diri dan
pelestarian lingkungan demi kelangsungan hidup masyarakat
secara berkesinambungan.
Setelah memenuhi syarat-syarat dalam izin prinsip maka
pemohon mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan
(IMB) kepada Bupati Cq kepala kantor pelayanan perizinan terpadu
Kabupaten Jayapura. Dengan mengisi formulir dan memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Foto copy KTP
2. Foto copy sertifikat tanah
3. Foto copy surat keterangan pendaftaran tanah (SKTP)
4. Foto copy bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB)
tahun reakhir.
5. Foto copy gambar rencana kontruksi yang telah diperiksa dan
disahkan oleh Dinas PU dan perumahan Kabupaten Jayapura.
6. Foto copy Rencana Angggaran Belanja (RAB) yang telah
diperiksa dan disahkan oleh Dinas PU dan Perumahan
Kabupaten Jayapura.
7. Perhitungan kontruksi bangunan bertingkat yang telah diperiksa
dan disahkan oleh dinas PU dan perumahan Kabupaten
Jayapura.
8. Foto copy denah lokasi bangunan
9. Foto copy bukti pembayaran bahan galian c
10. Foto copy izin prinsip dari Bappeda Jayapura.
11. Surat rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan dari Kepala
Distrik.
12. Stopmap baru.
Dalam prosedur IMB Setelah persyaratan-persyaratan
dilengkapi, kemudian badan komisi Distrik dalam jangka waktu 4
(empat) hari kerja setelah menerima permohonan mengadakan
pemeriksaan dan kemudian mengumumkan selama 20 (dua puluh)
hari dilokasi yang dimohon.
Kemudian Kepala Distrik memberikan berita acara
pemeriksaan dan melanjutkan pemohonan kepada Bupati melalui
Dinas. Setelah menerima berkas permohonan IMB dan berita acara
dari Kepala Distrik selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari harus
selesai mengadakan pemeriksaan yang meliputi:
1. Pemeriksaan zoning (peruntukan lahan)
2. Pemeriksaan teknis bangunan.
3. Gambar perhitungan kontruksi dan Rab bangunan.
4. Garis sempadan.
5. Letak, lingkungan bangunan dan hal-hal lain yang dianggap
perlu.
Setelah pemeriksaan, Bupati harus telah memutuskan dan
menandatangani pemberian maupun penolakan IMB selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya berkas
permohonan IMB dari Dinas terkait.
Namun prosedur yang sudah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan ini tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya, justru terjadi penyimpangan yang non prosedural. Hal ini
diperkuat dengan hasil wawancara dengan H.Damsiri,
mengemukakan bahwa dalam mengurs Izin Mendirikan Bangunan
sangat berbelit-belit birokrasi yang harus ditempuh,serta biaya
yang tidak transparan dan meluangkan waktu yang begitu lama
hampir 2 tahun dalam pengurusan izin mendirikan Bangunan.
Serta diperkuat juga dengan Ainur Rofiq dikatakan bahwa
dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan tidak transparan
dalam hal pembiayaan, berbelit belit birokrasinya, dan dalam
memenuhi syarat prosedur khusus dalam pembuatan RAB juga
harus dilakukan oleh petugas tata bangunan Kabupaten Jayapura
3. Penerapan Sanksi
Penerapan sanksi merupakan salah satu upaya penting
untuk mengusahakan agar hukum itu efektif (jadi mempunyai
dampak hukum positif), adalah dengan menetapkan sanksi. Sanksi
tersebut sebenarnya merupakan suatu rangsangan untuk berbuat
atau tidak berbuat. Kadang-kadang sanksi dirumuskan sebagai
suatu persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu
dalam masyarakat.
Pengenaan sanksi dalam pelanggaran Perda Penataan
Ruang terutama pada Pasal 67 ayat (3), pengenaan sanksi tidak
hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan
pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin pemanfaatn ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, kemudian pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang, yang tidak memiliki izin, dikenai
sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana
denda sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam kenyataannya tidaklah terlalu mudah untuk
menetapkan bahwa hukum tertentu pasti akan efektif apabila
disertai dengan sanksi-sanksi,.akan tetapi faktor utama yang perlu
diperhatikan untuk menentukan apakah sanksi tersebut berperan di
dalam mengefektifkan hukum adalah masalah karakteristik dari
sanksi itu sendiri. Hal yang berkaitan erat dengan itu ialah persepsi
warga masyarakat di dalam menanggung resiko, terutama kalau
melanggar suatu peraturan yang disertai dengan suatu sanksi yang
negatif. Kalau seseorang warga masyarakat berani menanggung
risiko, walaupun sifatnya spekulatif maka akan dapat diduga bahwa
sanksi yang negatif tersebut sangat terbatas akibatnya.
Perda IMB maupun Penataann Ruang Kabupaten Jayapura
telah mengatur beberapa tingkat dan jenis sanksi. Apabila dilihat
dari sifatnya sanksi-sanksi yang diatur dalam perda IMB adalah
sanksi-sanksi yang negatif berupa Denda dan penjatuhan pidana
Dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2010, sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa peringatan tertulis untuk mengurus IMB dan
perintah pembongkaran, selanjutnya dalam ayat (3), selain sanksi
administarsi sebagaimana di maksud pada ayat (2) dapat
dikenakan denda paling banyak 10%(sepuluh perseratus) dari nilai
bangunan.
Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2003, disebutkan bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan dalam peraturan ini diancam hukuman pidana kurungan
selama-lamanya 5 (lima) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) kemudian dalam Pasal (2)nya,
tindak pidana tersebut ayat(1) pasal ini adalah tindakan pidana
pelanggaran.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 38 Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2003, disebutkan bahwa Orang/Badan yang
terhukum karena melanggar Peraturan Daerah ini, dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan harus minta izin baru atau
membongkar/mengubah dan memperbaiki hal-hal yang
bertentangan dengan IMB yang diberikan.
Namun dari segi efektifitasnya ternyata sanksi-sanski
tersebut belum membuat jera para pelaku pelanggar disiplin atau
dengan kata lain pemberian sanksi belum efektif. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu :
a. Penerapan sanksi berupa denda yang kurang tegas
Terhadap pelaku pelanggaran Perda IMB cenderung
lamban dan kurang tegas Kelambanan dalam penjatuhan sanksi
teguran serta denda mengakibatkan efektifitas sanksi menjadi
lemah. Selain itu juga dapat berakibat masyarakat menjadi tidak
percaya sehingga wibawa hukum maupun penegaknya
mengalami kemerosotan yang dapat. memunculkan
kecenderungan masyarakat untuk melakukan berbagai bentuk
pelanggaran Perda IMB untuk mencoba apakah denda tersebut
benar dikenakan atau malah lepas83.
Beberapa indikator yang menunjukkan kelambanan
dalam menjatuhkan pengenaan denda kepada masyarakat yang
melakukan pelanggaran Perda IMB dapat dilihat dari maraknya
kasus pelanggaran membangun bangunan tanpa memiliki IMB
oleh masyarakat. Dan pelanggaran tersebut tidak segera
dikenakan teguran dan denda.
b. Penjatuhan sanksi administrasi
Sebagaimana diketahui bahwa terhadap setiap bentuk
pelanggaran akan dikenakan hukuman disiplin oleh
pemerintah. Sanksi yang diberikan kepada pemohon yang tidak
memiliki IMB yakni dengan memberikan sanksi administrasi
dengan mencabut atau memberhentikan pelaksanaan
bangunan, Dalam rangka menegakkan disiplin masyarakat
maka ketentuan itu sendiri harus benar-benar dapat
dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah yang
83
Op cit hal 84
berwenang. Tidak melaksanakan ketentuan itu, sama halnya
dengan tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran yang
telah terjadi, sama pula halnya artinya telah membiarkan
berlangsungnya pelanggaran perda IMB.
Pasal 44 Nomor 28 Tahun 2002, tentang bangunan gedung,
setiap pemilik dan atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana, termasuk
adalah izin mendirikan bangunan gedung yang diberikan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini oleh Kepala KPPT yang tidak
sesuai dengan fungsi izinnya.
Menurut hasil wawancara dengan Kepala seksi tata Kota
Kabupaten Jayapura Bapak Abdul Madjid, ST.84 Pelaksanaan
pemberian sanksi di Kabupaten Jayapura terhadap pelanggaran
IMB jumlah ada 20 (dua puluh) bangunan dan sanksi yang di
berikan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura hanya berupa
teguran tertulis serta pencabutan izin mendirikan bangunan, hal ini
disebabkan karena ada rasa kemanusiaan
Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian terhadap
aturan perundang-undangan bahwa penerapan sanksi terhadap
pelanggaran izin mendirikan bangunan kurang maksimal. Antara
84
Hasl wawancara dengan Pak Madjid Kepala seksi tata bangunan Kabupaten Jayapura, tgl 24 April 2013
lain dalam pemberian sanksi administrasi misalnya denda, dimana
menurut Permendagri bahwa pemberian sanksi denda, 10% dari
nilai bangunan, sedangkan Perda Nomor 15 Tahun 2003
pengenaan sanksi hanya Rp 500.000 ribu dari nilai bangunan
artinya sanksi denda tersebut terlalu rendah, pencabutan izin
sampai pada penjatuhan pidana dan ini juga disebabkan petugas
Satpol PP sebagai aparat penerapan sanksi perda yang kurang
profesional menjadi kendala berfungsinya penerapan sanksi dalam
mendukung terwujudnya efektifitas pelaksanaan dan pengawasan
pemberian IMB di Kabupaten Jayapura.
B. Pelaksanaan pengawasan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Penataan Ruang Di Kabupaten Jayapura.
Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja
dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil
yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut.
Controlling is the process of measuring performance and taking action
to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk
memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa
yang telah direncanakan . The process of ensuring that actual activities
conform the planned activities.
Menurut Winardi “Pengawasan adalah semua aktivitas yang
dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa
hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan”. Sedangkan
menurut Basu Swasta “Pengawasan merupakan fungsi yang
menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti
yang diinginkan”.85
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam
menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka
perencanaan yang diharapkan oleh pemerintah dapat terpenuhi dan
berjalan dengan baik.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk
menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau
penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan
diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara
efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu
efektifitas pelaksanaan IMB Konsep pengawasan demikian
sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi
aparat pemerintah, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk
pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada
pihak di bawahnya.”
Segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai
sebagai: proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan,
85
http://blogspot kementrian dalam negeri.com/2010/06/teori-pengawasan.html, diakses,
14 april 2013
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan, atau diperintahkan.86
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana
terdapat keefektifan dan ketidakefektifan IMB sebagai instrumen
yuridis pemerintahan yang bercirikan good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting
untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan
penerapan good governance itu sendiri.
Dalam pasal 32 Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2003,
tentang IMB,tugas pengawasan terhadap izin mendirikan bangunan
dilakukan oleh Dinas atau petugas yang ditunjuk oleh Bupati
Kabupaten Jayapura, kemudian petugas tersebut berhak melakukan
pemeriksaan terhadap kesesuaian antara pelaksanaan pekerjaan
mendirikan bangunan dengan persyaratan yang ditentuan dalam
peraturan Perda ini, dan petugas dapat memasuki tempat-tempat
berlangsungnya kegiatan mendirikan bangunan pada setiap jam kerja,
sedang pelaksana pembangunan/pemilik bangunan berkewajiban
member izin masuk.
Dalam kaitannya dengan IMB pengawasan merupakan salah
satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga
masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu
86
Ibid 77
sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal
control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping
mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan
terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu,
tindakan yang dapat dilakukan adalah:
a. mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
1. Bentuk-Bentuk Pengawasan IMB
a. Pengawasan Intern dan Ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan
oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit
organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini
dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung
atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan
yang dilakukan secara rutin oleh tim teknis dari Dinas Pekerjaan
Umum dan Perumahan Kabupaten Jayapura
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan
oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang
diawasi. Dalam hal ini pengawasan dilakukan baik itu DPRD
maupun masyarakat terhadap pelaksanaan IMB yang terlepas
dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan
tugasnya, DPRD maupun Masyarakat tidak mengabaikan hasil
laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah,
sehingga sudah sepantasnya di antara pengawasan
(Pemerintah, DPRD, dan Masyarakat) terjalin kerjasama
sehingga tercipta efisisensi dan efektifitas IMB
b. Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai,
pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum
kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya
penyimpangan.” Lazimnya, pengawasan ini dilakukan
pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya
penyimpangan pelaksanaan IMB di Kabupaten Jayapura. Di sisi
lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem
pelaksanaan Pengawasan dapat berjalan sebagaimana yang
dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan
bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga
penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi
lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan
yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu
dilakukan.” Pengawasan model ini lazimnya dilakukan setelah
bangunan itu dibangun di mana bangunan yang telah ditentukan
kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya penyimpangan.
2. Tanggungjawab Pengawasan IMB
Tanggung jawab terhadap pengawasan IMB dalam penataan
ruang terdiri dari:
a. Pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan
(internal control)
b. Pengawasan oleh masyarakat dan DPRD (external control).
Setiap pelaksanaan kegiatan itu baik pada permulaan,
pelaksanaan maupun setelah pelaksanaan, perlu diadakannya
suatu pengawasan yang konsisten. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadinya suatu penyimpangan terhadap izin yang telah diberikan
kepada pemohon.
Aparat pengawas yang kurang profesional menjadi kendala
berfungsinya lembaga Penegak Hukum Perda dalam mendukung
terwujudnya IMB guna kesejahteraan masyarakat. Padahal Semua
pihak dewasa ini bertekad untuk menyempurnakan dan lebih
mendayagunakan aparatur pemerintah dan aparatur pembangunan
guna menciptakan aparatur yang bersih, berwibawa, dan
berkemampuan “good governance”. Semua pihak juga bertekad
untuk lebih meningkatkan secara lebih terpadu pengawasan dan
langkah-langkah penindakannya. Hal ini mengandung pengertian
bahwa masih terdapat aparatur yang kurang berwibawa, dan
kurang berkemampuan serta belum terpadunya pengawasan serta
belum nyatanya langkah-langkah penindakannya.
Setiap pimpinan semua satuan organisasi pemerintah,
merupakan aparatur negara, abdi negara yang bertindak sebagai
aparatur fungsional pengawasan. sedang di lain pihak (selebihnya)
terdapat Pegawai Negeri Sipil, aparatur negara, abdi negara
sebagai kelompok aparat yang diawasi. Meskipun demikian pada
hakikatnya semua Pegawai Negeri Sipil merupakan pengawas,
paling tidak kepada dirinya sendiri, yang harus mampu
mengendalikan diri, mengawasi diri ke arah pelaksanaan peraturan
perundang-undangan umumnya dan peraturan daerah tentang IMB
pada Khususnya. Sebagai aparat fungsional pengawasan, sebagai
atasan yang masing-masing mempunyai bawahan, maka pertama-
tama harus memahami Perda yang akan ditegakkan. Sebagai
atasan langsung harus mengetahui hal-hal apa yang menurut
peraturan perundang-undangan di larang dan hal apa saja yang
wajib dilakukan.
Peraturan Perda yang ditegakkan juga masih kurang.
Adapun yang disebutkan salah satu bentuk pengawasan yaitu
pengawasan internal. Lemahnya pengawasan juga disebabkan
karena selama ini fungsi pengawasan melekat belum dipergunakan
secara optimal oleh atasan untuk mengetahui sejauhmana tingkat
kinerja bawahannya.
Pengawasan IMB di Kabupaten Jayapura dilakukan oleh
suatu tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan yang
mengawasi proses pembangunan dari awal sampai dengan
selesainya pekerjaan dan izin yang diterbitkan ini belum efektif,
belum efektifnya pengawasan izn mendirikan bangunan menurut
Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten
Jayapura Bapak Arry Ronny Deda, S,ip. MT disebabkan karena
kurang personel/sumber daya manusia didalam pelaksanaan
pengawasam IMB serta kurangnya sarana prasarana pendukung
bagi tim teknis untuk melaksanakan pengawasan terhadap IMB87
Dalam pengawasan Izin Mendirikan Bangunan ini apabila
ditemukan pelanggaran di lapangan, maka Tim pengawas akan
memberikan peringatan tertulis. Apabila peringatan tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemilik Izin maka akan dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 15 Tahun 2003
tentang IMB di Kabupaten Jayapura, dalam pasal 37 yang di
dalamnya disebutkan:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal – pasal dalam
Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling
87
Hasil wawancara dengan Sekretaris PU dan perumahan Kabupaten Jayapura, Arry Ronny Deda, tgl 13 Mei 2013
lama 5 (tiga) bulan atau denda setinggi – tingginya Rp. 500
000,- (lima ratus ribu rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
adalah tindak Pelanggaran.
Tingkat pemahaman masyarakat terhadap IMB dan rencana
tata ruang masih sangat kurang. Walaupun dapat dikatakan
pengetahuan tentang tata ruang dan IMB sudah baik, namun hanya
sekedar tahu atau mendengar saja sedangkan pemahaman secara
lebih rinci atau dalam masih sangat kurang bahkan tidak tahu.
Demikian juga pengetahuan terhadap rencana tata ruang, apalagi
pemahaman secara detail juga sangat kurang.
Efektifitas ini jika dihubungkan dengan kinerja dan
pemahaman masyarakat terhadap IMB dan rencana tata ruang
terlihat adanya hubungan dalam beberapa indikator yang ada.
Berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan ketidak sesuaian
penggunaan lahan di lapangan atau terjadinya pelanggaran
disebabkan oleh beberapa faktor utama yaitu pengawasan
terhadap IMB yang kurang dan tidak konsisten, kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap IMB dan rencana tata ruang.
Kekurangefektifan IMB tersebut berdasarkan pelaksanaan
pengawasan IMB yang masih kurang dan tidak ada ketegasan
dalam pemberian sanksi bagi pelanggar. Demikian juga insentif
terhadap mereka yang secara sadar mengurus IMB juga kurang
diberikan perhatian.
Disisi lain pemahaman masyarakat terhadap IMB dan
rencana tata ruang pun juga masih kurang, hal ini selaras dengan
kurangnya sosialisasi yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat. Sosialisasi IMB dan rencana tata ruang masih sebatas
pada aparat pemerintah saja, sedangkan ke masyarakat secara
langsung masih kurang. Walaupun sosialisasi ini pun juga
diragukan efektifitasnya. termasuk dalam proses pengawasan dari
awal membangun sampai dengan selesainya suatu bangunan.
Menurut Soerjono Soekanto, “tidak jarang bahwa orang akan
mempersoalkan masalah efektifitas hukum apabila yang
dibicarakan adalah pengaruh hukum terhadap masyarakat. Inti dari
pada pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku
masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku atau yang
telah diputuskan. Kalau masyarakat berperilaku sesuai dengan
yang diharapkan atau dikehendaki oleh hukum maka dapatlah
dikatakan bahwa hukum yang bersangkutan adalah efektif”.88
Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura tentang IMB sebagai
suatu bentuk peraturan hukum tertulis dibuat untuk menegakkan
perilaku dalam mendirikan bangunan hanya dapat berfungsi secara
88
Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Socio Yuridis Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 88.
efektif apabila apabila memenuhi tiga syarat yang menurut Satjipto
Rahardjo adalah:89
a. Syarat filosofis, yaitu bahwa hukum dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang dijadikan sasarannya. Tidak boleh suatu hukum menimbulkan diskriminasi tehadap beberapa individu atau kelompok masyarakat tertentu.
b. Syarat yuridis, lebih menekankan pada segi kepastiaan hukumnya. Kepastian hukum merupakan suatu ukuran/derajat yang menentukan ketegasan atau kejelasan dari suatu ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban orang/badan hukum (subyek hukum) dalam kehidupan masyarakat, tentang apa-apa tindakan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap perbuatan yang melawan hukum dan terhadap pelakunya, dan lan-lain. Adanya kepastian hukum tersebut dapat diukur dari ada atau tidaknya peraturan hukum itu sendiri serta sinkronisasi dengan peraturan hukum yang ada di atasnya.
c. Syarat sosiologis, yaitu bahwa suatu hukum dapat berfungsi apabila norma-norma yang masih bersifat abstrak seperti yang termuat dalam pasal-pasalnya diimplementasikan oleh para pelaksananya baik masyarakat maupun aparat penegak hukumnya.
Instrumen kendali disiplin Pegawai adalah sarana lain di
samping peraturan perundang-undangan, sebagai sarana yang nyata
dalam bentuk catatan, laporan prestasi kerja, daftar absensi, dan
sebagainya termasuk daftar pekerjaan yang sudah dan belum selesai
dikerjakan (sebagai contoh: pekerjaan Pelayanan permohonan Izin
IMB) yang. sesungguhnya dapat dijadikan alat bantu oleh setiap
atasan dan atau pejabat yang berwenang untuk setiap saat digunakan
untuk mengetahui kedisiplinan Pegawai (bawahannya). Apabila
instrumen tersebut diterapkan dan dipergunakan oleh para pejabat
89
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya, Bakti, 2000, hal 44
atasan untuk mengetahui sikap atau tingkah laku, akan berguna bagi
atasan untuk mengetahui hasil kerja atau prestasi anak buahnya.
Apabila instrumen ini digunakan maka perjabat atasan memang
seharusnya diwajibkan melaksanakan pengawasan melekat
mempunyai alat bantu yang akan mempermudah baginya dalam
hendak melaksanakan tindakan terhadap anak buahnya.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
1. Bahwa pemberian Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten.
Jayapura tidak efektif dan kurang maksimal yang pertama adalah
pemberian Izin Mendirikan Bangunan meluangkan waktu yang
lama, berbelit-belit dan tidak transparan dalam pembiayaan
sehingga pemohon membangun bangunan belum ada izin ataupun
membangun bangunan sambil mengurus izin mendirikan
bangunan. Kedua adalah penerapan sanksi yang diterapkan kurang
tegas, dan minimnya sosialisai kepada masyarakat.
2. Pengawasan terhadap izin mendirikan bangunan di Kabupaten.
Jayapura belum efektif, yang pertama kurangnya sumber daya
manusia yang mengetahui tentang Izin Mendirikan Bangunan.
kedua, Mekanisme pengawasan yang terjadi sangat tidak
transparan, hal ini dapat dilihat dari adanya pengawasan yang di
biayai oleh pemohon izin mendirikan bangunan, sehingga sangat
membuka peluang terjadinya kolusi antara pengawas dan pemohon
izin.
B. Saran.
1. Perlu adanya mekanisme izin mendirikan bangunan dalam
pelaksanaan IMB yang lebih efektif dan efisien, antar lain pemohon
tidak meluangkan waktunya yang lebih lama, berbelit-belit dengan
biaya yang transparan, kemudian dari sisi penerapan sanksinya
harus dipertegas ataupun diperberat mulai dari teguran, sanksi
administrasi sampai pada penjatuhan pidana penjara sehingga
akan menimbulkan efek jera terhadap sipemohon izin mendirikan
bangunan dan dilakukan sosialisi kepada masyarakat. Lebih lanjut
terkait dengan Sumber daya manusia, perlu dilakukan studi
banding terhadap daerah-daerah yang memiliki mekanisme
perizinan yang baik. Sehingga pemberian izin di Kabupaten.
Jayapura dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan
peruntukan perizinannya.
2. Pengawasan perlu diperketat, terhadap bangunan-bangunan tanpa
IMB dan perlu adanya peningkatan sumber daya manusia , serta
adanya dana mandiri dari instansi pemerintah daerah dalam
pengawasan IMB, agar dalam pengawasan tidak dibiayai oleh
pemohon dengan begitu akan menghindari kolusi antara pemohon
dan pengawas.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2011 Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik,
Sinar Grafika, Jakarta.
A.Hamid S.Attamimi, 1994 Deer Rechsstaat Republik Indonesia dan
prespektifnya menurut Pancasila dan UUD, makalah pada
seminar sehari dalam rangka Dies Natalis Universitas 17
Agustus ke -42, diselenggarakan oleh FH Universitas 17
Agustus Jakarta,
Ateng Syarifrudin, 1992, Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup dan
Kaitannya Dengan Pemerintah Daerah Dalam Hal
Perizinan, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya)
Atmosudirdjo. S.P, 1982, Administrasi Pembangunan, CV Hajimasagung,
Jakarta,
Bambang S, 2006, Sebagaimana dikutip Murtir Jeddawii dalam bukunya,
Pemerintahan Suatu Dalam Suatu Kajian Beberapa Perda
Tentang Penanaman Investasi Daerah (cet: II, UII, Press
Yogyakarta
Bagir Manan. 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan
Penyelenggaraan Hak dan Kemerdekaan Berkumpul di
Tinjau dari Perspektif UUD 1945, makalah tidak
dipublikasikan, Jakarta,
1992, Pemikiran Negara Berkonstitusi, Makalah Pada
Temu Ilmiah Nasional, Fakultas hukum Universitas
Padjajaran, Bandung
Eko Budihardjo, 2005, Tata Ruang Perkotaan. Bandung: PT. Alumni.
1997, Lingkungan Binaan Dan Tata Ruang Kota, Andi,
Yogyakarta
Fahmal Muin, 2008, Peran Asas-Asas Pemerintahan yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII
Press,
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika,
Jakarta.
Hotma, P. Sibuea, 2010 Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, penerbit
Erlangga.
Ilhami, 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia, ITB
Bandung)
Jayadinata, J.T. 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Perdesaan,
Perkotaan Dan Wilayah, edisi ketiga ITB, Bandung.
Kantaatmadja, M.K. 1994, Hukum Angkasa Dan Hukum Tata Ruang,
Mandar Maju Bandung)
Kartasasmita, G. 1997, Administrasi Pembangunan; Perkembangan
Pemikiran Dan Prakteknya di Indonesia LP3ES Jakarta.
Luffi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia malang,
Mochtar Koesoemaatmadja, 2002 Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Alumni Bamdung.
M. Daud Silalahi, 2006 Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni Bandung..
Ridwan H.R 2001 Hukum Administrasi Negara Jakarta Ghalia Indonesia
S.F Marbun., dkk, 2001 Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administasi
Negara, UII, Press Yogyakarta.
SF Marbun dan Mahfud MD, 2004 Pokok-Pokok Administrasi Negara,
Yogyakarta.
Sjahran Basah. 1995, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum
Administrasi, makalah pada penataran Hukum Administrasi
Negara dan Linkungan di fakultas Hukum Unair, Surabaya.
Spelt, N.M dan J.B.J.M. ten Berge, 1993. Pengantar Hukum Perizinan,
disunting oleh Philipus M. Hardjon, cet, I Surabaya,
Yuridika)
2003, Dalam Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan
Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Berkelanjutan, Medan:Pustaka Bangsa Press
Tahir Azhari, 1992, Negara Hukum, Jakarta Bulan Bintang
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta,
Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administarsi Negara, Surabaya Pustaka
Tinta Emas.
Peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata
Ruang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Lingkungan
Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999. Tentang
Penyelenggara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002, Tentang
Bangunan Gedung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009, Tentang
Pajak dan Retribusi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2010,
Tentang,Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu satu Atap.
Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Rencana penataan Ruang Kabupaten Jayapura.
Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 15 Tahun 2003, tentang
Izin Mendirikan Bangunan.
Disertasi dan Website
Abdul Razak, 2005, kedudukan dan fungsi peraturan kebijakan di bidang
Perizinan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan,
ringkasan disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Cenderawasih pos, Jumat, 24 agustus 2012
http://blogspot kementrian dalam negeri.com/2010/06/teori-
pengawasan.html, diakses, 14 april 2013
http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/10/teori-efektivitas.html, diakses
pada tanggal 6 Mei 2013.