tinjauan yuridis regulasi investasi asing dalam
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS REGULASI INVESTASI ASING DALAM
PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI (PEER TO PEER LENDING)
KONVENSIONAL DAN SYARIAH DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
HARLIE SUBEKTI
NIM: 11150480000031
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
v
ABSTRAK
Harlie Subekti. NIM 11150480000031. TINJAUAN YURIDIS REGULASI
INVESTASI ASING DALAM PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM
MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI (PEER TO
PEER LENDING) KONVENSIONAL DAN SYARIAH DI INDONESIA.
Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1440H/2019 M. ix + 74 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk meninjau regulasi terkait investasi asing yang
ada dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Hal yang
memberatkan apabila diinterpretasikan secara sistematis dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Serta implementasi dari penyelenggara berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 dan market conduct (etika
perilaku) yang diatur oleh asosiasi dalam hal ini Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia (AFPI)
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach). Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif empiris dengan menggunakan metoda
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa investasi asing pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan aturan diatasnya dan implementasi
untuk penyelenggara tergolong kurang maksimal, karena terhalang dengan
kewenangan Otoritas Jasa Keuangan yang terbatas karena hanya tergolong
peraturan otoritas bukan undang-undang.
Kata Kunci : Peer to Peer Lending, Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, Fintech, Otoritas Jasa Keuangan, Urgensi
undang-undang perlindungan data pribadi, Investasi asing, Pusat
data dan pusat pemulihan bencana
Pembimbing Skripsi : Dr. M. Bukhori Muslim, M.A.
Faris Satria Alam, M.H.
Sumber rujukan : Tahun 1967 sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحن الرحيم
Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya
kepada kita semua sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
PENGAWASAN DAN EVALUASI PERDA SERTA RAPERDA”.
Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin,
S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M. Bukhori Muslim, M.A. dan Faris Satria Alam, M.H. pembimbing
skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas
yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini. Karena, Tanpa bantuannya dalam
menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, maka skripsi ini
tidak akan dapat dilanjutkan untuk diteliti oleh peneliti.
5. Kedua orang tua, Haryanto dan Sulistyowati serta Ayah Chandra yang
selalu menyemangati disaat titik jenuh kuliah. Pun terimakasih kepada
seluruh keluarga yang senantiasa mendengar keluh kesah.
vii
6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan
satu persatu. Hanya doa serta ucapan terimakasih yang dapat peneliti
sampaikan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan
kalian.
Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang
berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum tata
negara. Kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan dari para
pembaca sehingga dapat menyempurnakan penelitian ini.
Jakarta, 20 Januari 2020
Harlie Subekti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9
D. Metode Penelitian ................................................................................. 9
E. Sistematika Pembahasan ......................................................................13
BAB II TINJAUAN UMUM FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER
LENDING
A. Kerangka Konseptual.............................................................................15
B. Kerangka Teori …..................................................................................16
1. Teori Perlindungan Hukum ……………………………………….. 16
2. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan (Stufenbau Theory) ..16
3. Tinjauan Umum Financial Technology ............................................ 17
a. Sejarah Financial Technology ………………………………… 19
b. Jenis-jenis Financial Technology ……………………………… 23
c. Pengertian Peer to Peer Lending……………………………….. 27
ix
d. Pihak-pihak Yang Dapat Menjadi Penyelenggara Peer to Peer
Lending di Indonesia……………………….. ................................ 31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.................................................... 32
BAB III TINJAUAN UMUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Sejarah Investasi Asing Di Indonesia............................................... .35
B. Pengaturan Regulasi Investasi Asing …………………………….... 39
1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
..................................................................................................... 39
2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
..................................................................................................... 40
3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal…………………….. 41
BABaIVaREGULASI INVESTASI ASING DALAM PENYELENGGARA
LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI
INFORMASI (PEER TO PEER LENDING) DI INDONESIA
A. Analisis Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun
2016 ……………………………………………..………………... 42
B. Analisis Investasi Asing Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional
– Majelis Ulama Indonesia Nomor 177 Tahun 2018 …………….. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 66
B. Rekomendasi ...................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68
LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ekonomi rakyat Indonesia memerlukan eskalasi setiap tahunnya, baik
didapatkan dengan pendapatan hasil bekerja setiap pribadi, dan/atau dengan
kebijakan-kebijakan pemerintahan yang mendorong perekonomian rakyat.
Kebijakan pemerintah dapat dituangkan dalam ketetapan ataupun peraturan-
peraturan yang bersinggungan secara langsung dengan rakyat atau dengan
institusi pemerintahan dan swasta. Pemerintahan dapat berupa BUMN (Badan
Usaha Milik Negara), BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), sedangkan institusi
swasta dapat berupa perusahaan dalam lingkup PMDN (Penanaman Modal
Dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing) atau dapat dikategorikan
sebagai UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Dengan diperhatikannya
ekonomi rakyat, maka dapat berkembang secara pesat seperti yang dicita-
citakan oleh para founding father Indonesia yang menginginkan adanya
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdapat dalam sila ke-
5 Pancasila. Keinginan tersebut harus dimanifestasikan oleh para pemimpin
bangsa Indonesia saat ini dan pemimpin yang akan datang, agar terciptanya
kemakmuran yang adil untuk rakyat.
Secara historis keberadaan penanaman modal asing di Indonesia bukan
merupakan fenomena yang baru, mengingat modal asing sudah hadir di
Indonesia sejak zaman kolonial dahulu. Namun tentunya kehadiran penanaman
modal asing pada masa kolonial berbeda dengan masa setelah kemerdekaan,
karena tujuan dari penanaman modal asing di masa kolonial tentu didedikasikan
untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk kesejahteraan bangsa
Indonesia.1 Penanaman modal asing pada saat ini diwujudkan untuk
kesejahteraan dan kemajuan negara dan bangsa Indonesia.
1 David Kairupan, Aspek Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013) h.1
2
Sebagai negara yang sedang dalam masa pertumbuhan, Indonesia
memerlukan penanaman modal asing sebagai usaha yang tepat untuk
meningkatkan perekonomian Indonesia ke segala lini daerah, mengingat
topografi Indonesia yang luas serta perekonomian nasional Indonesia yang
didasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Untuk
menjangkau seluruh bagian lapisan masyarakat secara finansial, dibutuhkan
pembiayaan, salah satunya dalam bentuk pinjaman. Modernisasi yang telah
meningkatkan peradaban manusia dari awal kemunculan hingga saat ini dan
masa mendatang salah satunya merupakan teknologi. Ekonomi pun tak luput
dari aspek modernisasi teknologi. Dengan memaksimalkan teknologi, membuat
inovasi pinjam meminjam yang lebih efektif dan efisien, yaitu berupa layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi / Peer to Peer Lending.
Masuknya teknologi dalam pinjam meminjam merupakan bagian dari disrupsi
inovasi yang memiliki arti fenomena dimana suatu produk atau layanan yang
berinovasi dengan berbasis teknologi atau aplikasi yang berupa kemudahan
untuk mengakses dan biaya yang lebih murah, serta berkembang tanpa henti
menghadapi petahana atau incumbent yang dalam hal ini merupakan pemain
lama yang telah ada sebelumnya.2 Hasil dari disruptif inovasi dalam pinjam
meminjam menjadikannya berbasis teknologi informasi.
Layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dijalankan oleh
penyelenggara yang merupakan badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi. Penyelenggara yang merupakan fasilitator untuk
mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
2 Clayton Christensen Institute, Disruptive Innovation. Diakses pada tanggal 21 Agustus
2019 dari https://www.christenseninstitute.org/disruptive-innovations/
3
rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah.
Khusus untuk Penyelenggara P2PL berbasis syariah, maka harus mengikuti
ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) Nomor 117 Tahun 2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis
Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
Penyelenggara dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya,
badan hukum penyelenggara berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77
Tahun 2016 penyelenggara yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas
dapat didirikan dan dimiliki oleh;
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
2. Warga negara asing dan /atau badan hukum.
Penyelenggara pada dasarnya merupakan perusahaan rintisan atau
startup. Istilah startup berasal dari bahasa Inggris yang berarti “The act or
process of starting a process or machine; a new organization or business
venture” atau “tindakan untuk memulai sebuah proses, sebuah organisasi baru
atau usaha bisnis.3 Perusahaan startup memiliki karakteristik antara lain:
1. Usia perusahaan kurang dari 3 tahun.
2. Jumlah pegawai kurang dari 20 orang.
3. Pendapatan kurang dari $100.000/ tahun.
4. Masih dalam tahap berkembang.
5. Umumnya beroperasi dalam bidang teknologi.
6. Produk yang dibuat berupa aplikasi dalam bentuk digital.
7. Biasanya beroperasi melalui website.4
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 merupakan
produk hukum yang dibuat secara mendadak atau mendesak dikarenakan belum
adanya aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan bisnis
3Purnama Alamsyah, Reportase Startup Indonesia 2010, (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indoneisa/LIPI), 2011), h.2. Diakses pada tanggal 1 Mei 2019 dari
https://id.scribd.com/doc/52816348/Reportase-Startup-Indonesia-2010 4 Karakter dan Perkembangan Bisnis Startup di Indonesia. Diakses pada tanggal 1 Mei 2019
dari https://www.jurnal.id/id/blog/2017-karakter-dan-perkembangan-bisnis-startup-di-indonesia/
4
layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi, yang mana kondisi tersebut
dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi Pengguna. Dengan realitas ini
maka peneliti tertarik untuk membahas implementasi dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016, oleh karenanya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini belum mengakomodir secara keseluruhan aturan main yang
bersifat teknis. Kendati aturan main akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keungan dan Market Conduct dari asosiasi, yang memiliki
dampak terhadap para penyelenggara khususnya penyelenggara yang berupa
PMA. Seperti fintech P2PL ilegal yang tidak dapat dijangkau oleh Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 ini, padahal fintech P2PL ilegal
merupakan issue krusial yang karenanya tidak ada regulator/pengawas serta
tidak tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016,
maka fintech P2PL ilegal bertindak sewenang-wenang. Layaknya bunga &
denda yang tinggi dan tidak transparan, pengurus yang tidak mempunyai
standar atau sertifikasi, cara penagihan yang tidak manusiawi, tidak terdaftar
dalam asosiasi, tidak mempunyai lokasi kantor, pengaduan konsumen yang
tidak ditanggapi dengan baik, dan akses data pribadi yang sangat masif.5
Selain dilihat dari hal-hal yang dilakukan oleh Penyelenggara Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, terdapat juga Pasal 25
ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 yang
mewajibkan penyelenggara menempatkan pusat data dan pusat pemulihan
bencana di Indonesia. Aturan dan definisi terkait dengan pusat data dan pusat
pemulihan bencana telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2019, dijelaskan bahwa Penyelenggara P2PL masuk ke dalam penyelenggara
sistem elektronik lingkup privat yang mana dapat melakukan pengelolaan,
pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di
5 Otoritas Jasa Keuangan, Fintech Lending Ilegal vs Fintech Lending Terdaftar/Berizin.
Diakses pada tanggal 16 Desember 2019 dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/fintech/Documents/Fintech%20Lending%20Legal%20vs.%20Ilegal.pdf#search=
microphone
5
Wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia. Dengan syarat bahwa
penyelenggara sistem elektronik lingkup privat wajib memastikan efektivitas
pengawasan oleh Kementerian atau Lembaga Penegakan hukum.
Sebelumnya aturan terkait dengan pusat data dan pusat pemulihan
bencana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 17 ayat (2)
yaitu “Penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib
menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia
untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan
negara terhadap data warga negaranya”. Dalam penjelasan Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tersebut, yang dimaksud dengan
pusat data (data center) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk
menempatkan sistem elektronik dan komponen terkaitnya untuk keperluan
penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data. Sedangkan yang dimaksud
dengan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) adalah suatu
fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta
fungsi-fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau rusak akibat
terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia. Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 menyatakan bahwa hanya
penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik yang diwajibkan untuk
menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik memberikan definisi “Pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik”. Maka penyelenggara pelayanan publik
adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik,
dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik. Ruang lingkup pelayanan publik dalam Undang-Undang Nomor 25
6
Tahun 2009 meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan
administratif. Dengan mengintepretasikan secara sistematis yang merupakan
penafsiran yang dapat terjadi jika naskah hukum yang satu dan naskah hukum
yang lain, dimana keduanya mengatur hal yang sama, dihubungkan dan
dibandingkan satu sama lain.6 Dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 2019 telah memberikan penegasan kepada penyelenggara P2PL
bahwa penyelenggara masuk dalam lingkup privat.
Pusat data dan pusat pemulihan bencana yang ditempatkan di Indonesia
memiliki perhatian khusus, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) mengatakan bahwa data center dalam negeri dianggap
rawan karena sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung dalam negeri
dianggap belum siap, rawan diekspolitasi atau disalahgunakan untuk
kepentingan pihak tertentu.7 Terlebih belum ada perangkat undang-undang
yang komprehensif dan memadai untuk perlindungan data pribadi sebagai salah
satu indikasi perlindungan data dalam negeri yang masih lemah, karena
perlindungan data pribadi baru diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam
Sistem Elektronik. Seperti yang telah diketahui, dalam Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Dengan tidak adanya materi pidana, maka tidak ada upaya
represif terhadap pelanggaran atas data pribadi dalam hal ini ancaman pidana.
Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip Civil Law. Sistem
hukum Indonesia memandang sumber hukum utama adalah undang-undang,
kodifikasi, atau hukum tertulis, hukum dengan demikian dapat ditemukan
dalam hukum positif atau hukum yang berlaku. Hal ini kausalitas sistem hukum
6 Afif Khalid, Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia,
(Kalimantan: Jurnal Hukum Al’ Adl, 2014), h.17 7 Mochamad Januar Rizki, Untung Rugi Penempatan Data Center di Dalam Negeri.
Diakses pada tanggal 15 mei 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bec14072274b/untung-rugi-penempatan-data-
center-di-dalam-negeri
7
Indonesia yang menganut prinsip Civil Law.8 Adanya kodifikasi tersebut maka
terdapati hierarki daripada peraturan perundang-undangan yang disebutkan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pada dasarnya kedudukan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan terdapat dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, dimana OJK merupakan lembaga yang independen.
Independensi OJK memang dapat diartikan tidak termasuk dalam wilayah
kekuasaan eksekutif dan tidak adanya campur tangan dari pihak manapun,
namun bukan berarti tidak ada lembaga yang memiliki hubungan kordinasi
dengan OJK. eksekutif dalam hal ini adalah pemerintah tidak memiliki
hubungan koordinasi dengan OJK. Kordinasi ini dilakukan dalam rangka
membentuk komitmen bersama terhadap pelaksanaan kebijakan guna
memelihara stabilitas perekonomian dan memperkuat daya tahan perekonomian
Indonesia.9
Hal ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian, dengan adanya
disharmonisasi peraturan dan belum terakomodir dengan baik muatan-muatan
yang ada di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016,
merupakan hal krusial dalam pengaturan Fintech P2PL. Terlebih target
pemasaran dari layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
merupakan masyarakat kecil dan UMKM. Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai implementasi Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, yang dituangkan dalam bentuk
penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Regulasi Investasi Asing
Dalam Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
8 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2018), h.53 9 Anthonius Adhi Soedibyo, Kedudukan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan Perundang-Undangan Terhadap Produk Perbankan, (Surabaya: Jurnal Hukum Kajian
Hukum & Keadilan, 2017) h.3
8
Teknologi Informasi (Peer to Peer Lending) Konvensional Dan Syariah Di
Indonesia.”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa masalah yang
dapat diidentifikasikan yang terkait dengan tema yang diteliti, antara lain:
a. Muatan aturan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77
Tahun 2016 yang belum maksimal.
b. OJK tidak dapat mengatur fintech P2PL ilegal.
c. Disharmonisasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun
2016 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 terkait
penempatan data elektronik di Indonesia.
d. Kedudukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terhadap hierarki
peraturan perundang-undangan.
e. Pusat data dan pusat pemulihan bencana yang wajib ditempatkan di
Indonesia.
f. Penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi
merupakan usaha rintisan.
g. Tidak adanya undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan masalah dalam penelitian ini lebih terfokus dan
tidak meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti.
Disini peneliti hanya akan membahas Investasi asing dalam Financial
Technology Peer to Peer Lending berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Uang Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi.
3. Perumusan Masalah
9
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah di atas, perumusan masalah yang diangkat adalah Tinjauan Yuridis
Regulasi Investasi Asing dalam Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, maka peneliti mempertegas perumusan masalah yang
dituangkan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan investasi asing berbasis teknologi informasi
(peer to peer lending) di Indonesia?
b. Bagaimana implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77
Tahun 2016?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Untuk menjawab seluruh pertanyaan penelitian di atas, dirumuskan tujuan
penelitian yang ingin dicapai, antara lain:
a. Untuk mengetahui pengaturan investasi asing berbasis teknologi
informasi (peer to peer lending) di Indonesia.
b. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77 Tahun 2016.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini memiliki manfaat untuk perkembangan
ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum bisnis di bidang
penanaman modal pada layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan agar dapat diteliti lebih dalam oleh pihak lain sebagai bahan
penelitian lanjutan.
D. Metode Penelitian
10
Untuk memperoleh data yang diperlukan, digunakan metode pengumpulan
data sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam kaitannya dengan penelitan normatif, dapat digunakan pendekatan
sebagai berikut :
Pendekatan Perundang-Undangan
Suatu penelitan empiris tentu harus menggunakan pendekatan perundang-
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus suatu penelitian. Pendekatan ini dilakukan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 Tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian normatif empiris, yaitu dengan menggunakan norma-norma
hukum tertulis yang bersifat menjelaskan dengan cara menelaah dan
membahas peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan.10 Penelitian empiris merupakan penelitian yang bertitik tola
pada data primer Lebih ditekankan pada perundang-undangan mengenai
investasi asing dalam peer to peer lending dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi yang dilakukan penelitian lapangan untuk
mencari kesenjangan (gap) antara hukum yang seharusnya (das sollen)
dengan hukum yang senyatanya (das sein) dan peraturan pendukung lainnya
seperti : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset, 2011) h. 23
11
Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi
Elektronik dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar
Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk menjawab
semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
meliputi peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim.11 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h.
141
12
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik
9. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik
10. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Tebuka Dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
11. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
b. Bahan Hukum Sekunder, Bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer, yaitu hasil wawancara dengan beberapa informan yang memiliki
kompetensi dalam bidang fintech Peer to Peer Lending, materi dari
buku, artikel pada jurnal, publikasi media yang terdapat di internet,
hasil-hasil penelitian seperti makalah, skripsi, tesis dan disertasi.
c. Bahan Hukum Tersier, Bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekuder, seperti
kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah teknik studi kepustakaan dengan menggunakan bahan buku-buku
yang berkaitan dengan Financial Technology dan investasi asing serta
aturannya, baik staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetsz, formell gesetz
dan verordnung & autonome satzung.12 Serta dokumen hasil audiensi dari
Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology
(DP3F) Otoritas Jasa Keuangan dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI)
5. Teknik Pengolahan Data
12 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisisus,
2010), h. 41
13
Pengolahan data berdasarkan dari peraturan perundang-undangan
yang dilakukan penafsiran secara sitematis secara keseluruhan peratuan
perundang-undangan yang terkait dan hasil wawancara/audiensi.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang bersifat deskripstif
kualitatif yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal
yang bersifat khusus dan berdasarkan kepada data yang bersifat umum. Dan
karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) maka dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani yang
didasari atas fakta-fakta hasil audiensi/wawancara. Teknik analisis dengan
pendekatan undang-undang untuk penelitian untuk kegiatan praktis,
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya
atau antara undang-undang dan Undang-undang Dasar atau antara regulasi
dan undang-undang dan hasil wawancara yang mana dijadikan suatu
argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.13
7. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti mengacu kepada
sistematika penulisan dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Tahun 2017. Supaya sesuai dengan skripsi-skripsi yang
telah ada dan tetap dalam koridor penulisan akademis.
E. Sistematika Pembahasan
Berdasarkan berbagai uraian di atas, Peneliti merumuskan rancangan
sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab terdiri atas :
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 94
14
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan Latar Belakang Masalah
Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan
Sistematika Pembahasan.
BAB II : TENTANG TINJAUAN UMUM FINANCIAL
TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING
Bab ini berisikan Kajian Konsep dan Review Studi
Terdahulu, peneliti memaparkan kerangka konsep, sejarah
dan jenis-jenis Financial Technology khusunya Peer to Peer
Lending, teori perlindungan hukum, teori stufenbau theory,
serta review kajian terdahulu yang relevan dengan tema
penelitian dengan menganalisis persamaan dan perbedaan
studi-studi terdahulu.
BAB III : TINJAUAN UMUM INVESTASI ASING DI
INDONESIA
Bab ini berisikan tinjauan investasi asing di Indonesia, baik
sejarah, dan regulasi investasi asing.
BAB IV : REGULASI INVESTASI ASING PEER TO PEER
LENDING DI INDONESIA
Bab ini berisikan regulasi investasi asing dalam
penyelenggara peer to peer lending, seperti implementasi
dair Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun
2016 dan faktor lain yang akan diinterpretasi dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dan Fatwa DSN-
MUI Nomor 117 Tahun 2018.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan Kesimpulan dan Rekomendasi dari
permasalahan dalam penelitian ini.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM FINANCIAL TECHNOLOGY
A. Kerangka Konseptual
a. Financial Technology yang selanjutnya disebut Fintech adalah inovasi
layanan dalam lembaga keuangan non bank yang memanfaatkan teknologi
informasi sebagai alat untuk menjangkau komsumennya.
b. Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
(LPMUBTI) atau dikenal dengan Peer to Peer Lending (P2PL) adalah
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi
pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian
pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem
elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
c. Pedoman Perilaku (Market Conduct) adalah seperangkat prinsip, proses,
dan panduan yang disepakati secara bersama, sukarela, dan mengikat untuk
memberikan panduan etika serta perilaku bertanggung jawab bagi
Penyelenggara yang menawarkan layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi.
d. Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara LPMUBTI/P2PL adalah
badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi.
e. Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai
utang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
f. Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang
mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Mmeinjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
16
g. Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
yang selanjutnya disebut Pengguna adalah pemberi Pinjaman dan Penerima
Pinjaman yang menggunakan Layanan Pinjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi.
h. Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan
oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam
negeri.
B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan untuk memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan
perlindungan hukum dengan kata lain perlindungan hukum adalah upaya
hukum yang harus dibeerikan oleh aparat penegak untuk memberikan rasa
aman baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman
dari pihak manapun.1 Adapun perlindungan hukum menurut Philipus M.
Hadjon yakni perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah
yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan
diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk mencega terjadinya
sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.2
2. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan (Stufenbau Theory)
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53 2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, … h. 54
17
Hans Kelsen sebagai tokoh yang dikenal dengan salah satunya
stufenbau theory. Menurut Hans Kelsen, norma dasar (basic
norm/grundnorm) yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
grundnormitu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma
dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan presupposed.3
Teori tersebut dikembangkan oleh Hans Nawiasky murid Hans
Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum dalam negara selalu
berjenjang, yakni sebagai berikut:4
1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm);
2. Aturan-aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz)
3. Undang-undang (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksana serta peraturan otonom (verordnung & autonome
satzung).
Apabila dibandingkan dengan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky, maka struktur tata hukum
Indonesia adalah:5
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (pembukaan UUD 1945).
2. Staafsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell Gesetz : Undang-undang
4. Verordnung en Autonome Satzung. Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
3. Tinjauan Umum Financial Technology
Financial Technology atau dalam bahasa Indonesia Teknologi
Finansial (TekFin) adalah inovasi layanan dalam lembaga non bank yang
memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat untuk menjangkau
3 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, … h. 41 4 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, … h. 41 5 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, … h. 42
18
konsumennya6, sedangkan menurut Agus Pribadiono, Financial
Technology merupakan perpaduan antara teknologi dan fitur keuangan atau
dapat juga diartikan inovasi pada sektor finansial dengan sentuhan teknologi
modern.7 Teknologi finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem
keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem
pembayaran.8 Maka berdasarkan penjelasan yang ada bahwa fintech
merupakan inovasi bisnis yang memanfaatkan keadaan berdasarkan
perkembangan zaman yaitu teknologi serta keadaan empiris pasar yang
mendukung inovasi tersebut.
Inovasi dalam bentuk financial technology yakni sebagai refleksi
industri keuangan terhadap dinamisnya perkembangan teknologi yang
termasuk dalam era digital yang dalam praktiknya telah memasuki segala
sendi kehidupan termasuk ekonomi baik mikro ataupun makro. Dengan
labeling bahwa orang atau perusahaan yang bergerak dalam bidang
Financial Technology merupakan perusahaan rintisan (startup) yang
memungkinkan membuka peluang berinvestasi. Peluang ini didukung
dengan adanya survei yang dilakukan oleh Google dan Temasek pada tahun
2018 bahwa pengguna internet di Asia Tenggara meningkat sebanyak lebih
dari 350 juta pengguna internet di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand dan Vietnam, meningkat 90 juta lebih banyak dari tahun 2015. Hal
ini didukung9 secara simultan dengan ketersediaan harga handphone atau
6 I Wayan Bagus Pramana, Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga
Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technologi Jenis Peer to Peer Lending, Jurnal Hukum:
Kertha Semaya Vol. 06 Nomor 03, h.3 7 Agus Pribadino, Transportasi Online VS Transportasi Tradisional Non-Online
Persaingan Tidak Sehat Aspek Pemanfaatan Aplikasi Oleh Penyelenggara Online, Jurnal Hukum :
Lex Jurnalica, Vol. 13 Nomor 2, h.5 8 Bank Indonesia, Teknologi Finansial. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2019 dari
https://www.bi.go.id/id/sistem-pembayaran/fintech/Contents/default.aspx 9 Google dan Temasek, E-conomy SEA 2018: Southeast Asia’s Internet Economy. Diakses
pada tanggal 23 Agustus 2019 dari
https://www.thinkwithgoogle.com/qs/documents/6730/Report_e-Conomy_SEA_2018_by Google
_Temasek_v.pdf
19
smartphone yang terjangkau dan mulai tersedianya kecepatan dan
pelayanan telekomunikasi mobile yang dapat diandalkan. Serta survei yang
dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia),
jumlah pengguna internet Indonesia mengalami penambahan, pada tahun
2017 pengguna internet Indonesia sebanyak 143,26 juta jiwa10 dan
mengalami peningkatan sebesar 10,12% persen pada tahun 2018 sebanyak
171,17 juta jiwa.11
a. Sejarah Financial Technology
Fintech sebagai pelopor atau inovator atas transformasi terhadap
efisiensi dan efektivitas dalam bentuk digital yang merupakan sebuah
usaha rintisan atau start up. Start up dalam hal ini sebagai antitesis
pelayanan pembiayaan atau keuangan secara tradisional yang
menawarkan pelanggan berupa pelayanan yang berpusat pada
kemampuan mengintegrasikan kecepatan dan kemudahan yang
mendunia.12
Fintech hadir sebagai konsep yang modern yang mana fintech
memiliki sejarah yang dapat ditarik ke pertengahan abad 19, dimulai
pada telegram pada tahun 1838 dan kemudian atas kesuksesan
penemuan kabel translantik (kabel komunikasi bawah laut) pada tahun
1866, yang mana dua inovasi teknologi tersebut sebagai dasar atas
globalisasi finansial pada akhir abad 1800.13 Perkembangan jaman yang
membuat fintech sebagai sebuah inovasi disruptif yang menantang atau
merambat masuk ke pasar dengan mengambil sudut pandang yang
berbeda yang berperan menggantikan perusahaan incumbent. Semisal
ATM (Automatic Teller Machine) yang merupakan produk perbankan
10 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Buletin APJII, (Edisi 33, 2019), h.5.
diakses pada tanggal 9 Agustus 2019 dari https://apjii.or.id/content/read/104/398/BULETIN-APJII-
EDISI-33---Januari-2019 11 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Buletin APJII, (Edisi 40, 2019), h.1.
Diakses pada tanggal 9 Agustus 2019 dari
https://apjii.or.id/downfile/file/BULETINAPJIIEDISI40Mei2019.pdf 12 Bernardo Nicoletti, The Future Of Fintech, (Switzerland: Springer Nature, 2017) h.1 13 Bernardo Nicoletti, The Future Of Fintech, … h. 14
20
sebagai sebuah industri yang mengadopsi lebih dulu komputer untuk
penggunaan komersial, komputer digunakan untuk meningkatkan dan
mempercepat proses yang telah ada.14 Penggunaan komputer pada
dasarnya karena kesadaran atas sektor perbankan yang rentan akan
disrupsi.15
Disrupsi menurut Prof. Clayton M. Chistensen, yang merupakan
fenomena dimana suatu produk atau layanan yang berinovasi yang
berbasis teknologi atau aplikasi yang berupa kemudahan untuk
mengakses dan biaya yang lebih murah, serta berkembang tanpa henti
menghadapi incumbent atau petahana atau dalam hal ini ialah pemain
lama yang telah mapan dalam pasar yang telah ada.16 Rhenal Kasali
menggambarkan fenomena bahwa dunia tengah mengalami shifting
yang begitu cepat dan mengejutkan yang bila dulu kita menyebutnya
sebagai change atau transformasi, kini kita menyebutnya sebagai
disruption.17
Pada dasarnya disrupsi terdapat akhir yang berbeda yakni yang
terancam kehilangan besar-besaran dan ada yang memaksa masuk
dengan pesat. Karena tidak setiap usaha yang berupa inovasi disrupstif
membawa kemenangan dan tidak setiap kemenangan pendatang
mengikuti alur disrupsi.18 Sebagai refleksi untuk meningkatkan dan
mempercepat proses yang telah ada yang dimanifestasikan menjadi
ATM dalam sektor perbankan, hal tersebut menunjukan bahwa sektor
perbankan mengikuti arus globalisasi disrupsi dengan mengurangi
intensitas pertemuan nasabah dengan pihak bank dan hal ini terbukti
mempertahankan pasar bersangkutan. Seperti yang dikatakan oleh Paul
14 Bernardo Nicoletti, The Future Of Fintech, … h. 14 15 Susanne Chishti & Janos Barberis, The Fintech Book: The Financial Technology
Handbook For Investors, Entrepreneurs and Visionaries, (Cornwal: Great Britain, 2016), h.7 16 Clayton Christensen Institute, Disruptive Innovation. Diakses pada tanggal 21 Agustus
2019 dari https://www.christenseninstitute.org/disruptive-innovations/ 17 Prof. Rhenald Kasali, Ph, D., Rumah Perubahan. Diakses pada tanggal 21 Agustus dari
http://www.rumahperubahan.co.id/wp-content/uploads/Brosur_Rumah_Perubahan_2016.pdf 18 Clayton M. Christensen, Michael E, Raynor, dkk, What Is Disruptive Innovation, diakses
pada tanggal 21 Agustus 2019 dari https://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-innovation
21
Volcker, “the most important financial innovation that I have seen the
past 20 years is the automatic teller machine, that really helps people
and prevents visits to the bank and it a rel convenience.”19
Terkait persaingan antara perusahaan fintech dan perusahaan
incumbents, World Economic Forum (2017) menganalisis bahwa irisan
antara fintech dan perusahaan incumbents membawa ketergantungan
diantara keduanya, begitu pula dengan regulator yang harus membuat
kerangka kebijakan yang dapat mengatur, baik disisi institusi keuangan
incumbent maupun perusahaan fintech,20 yang masing-masing memiliki
mandat tersendiri terhadap pembuat regulasi. Maka dari itu Perusahaan
incumbents tidak dapat menutup mata terhadap perkembangan teknologi
apabila ingin tetap bertahan pada pasar yang telah didapatkan.
Dalam perkembangannya dari awal era fintech, dapat dibagi
menjadi 3 tahap yang pada dasarnya saling keterkaitan dan saling
memperkuat setiap tahapan selanjutnya, yakni:21
1. Dari tahun 1866 sampai tahun 1967, industri jasa keuangan, pada
masa ini terikat erat dengan teknologi akan tetapi tetap sebagian
besar merupakan industri analog. Dalam persepsi publik yaitu
sebuah periode yang disebut sebagai Fintech 1.0. sebagai contoh
Pengembangan dari World Wide Web (WWW) dan pergantian dari
telegrap dengan mesin fax dan kemudian dengan email/ pesan instan
yang meningkatkan komunikasi kesepanjang dunia, yang membuat
tahap yang lebih kuat dalam hubungan finansial.22
19 Paul Volcker, The Only Thing useful banks have invented in 20 years is the ATM. Diakses
pada tanggal 22 Agustus 2019 dari https://nypost.com/2009/12/13/the-only-thing-useful-banks-
have-invented-in-20-years-is-the-atm/ 20 Berry A. Harahap, Pakasa Bary Idham, dkk, Perkembangan Financial Technology
Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Dan
Makroekonomi, BI Institute, h. 32. Di akses pada tanggal 10 September 2019 dari
https://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Pages/WP-2-2017.aspx 21 Douglas Arner, J. Barberis, dkk, The Evolution Of Fintech: A New Post-Crisis Paradigm,
University of Hongkong Faculty of Law, Research Paper No. 2015/047, h. 6. Diakses pada tanggal
26 Agustus 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/313365410_The_Evolution_of_Fintech_A_New_Post-
Crisis_Paradigm 22 Bernardo Nicoletti, The Future Of Fintech, … h. 16
22
2. Dari tahun 1967, sebuah pengembangan dari teknologi digital untuk
komunikasi dan proses transaksi yang meningkat,
mentransformasikan keuangan dari sebuah analog menuju sebuah
industri digital. Tepat pada akhir tahun 1987, layanan keuangan
yang paling tidak berada di negara berkembang, yang tidak hanya
sangat mendunia, tapi juga digitalkan. Periode ini kita sebut sebagai
Fintech 2.0 yang berlangsung hingga tahun 2008. Selama periode
ini, fintech didominasi terutama oleh aturan tradisional industri
layanan keuangan yang menggunakan teknologi untuk
meningkatkan produk dan lanyanan finansial. Yang menurut Fithri
Hadi selaku Direktur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa
Keuangan, bahwa perusahaan keuangan yang berinovasi
menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan akses pasarnya
yang mana perkembangan teknologi ini dimanfaatkan oleh
perusahaan jasa keuangan untuk mengjangkau konsumen dan juga
untuk menurunkan biaya operasional mereka.23
3. Sejak 2008 yang kita sebut sebagai Fintech 3.0, perusahaan start up
baru dan perusahaan teknologi yang didirikan telah mulai
mengirimkan produk dan layanan finansial secara langsung untuk
bisnis dan khalayak ramai. Karena perusahaan-perusahaan dan
layanan yang ditawarkan belum ada sebelumnya. Menurut Jamie
Dimon, “ratusan perusahaan start up menawarkan beragam
alternatif ke dalam perbankan tradisional.”24
Pada era sekarang yang kita kenal sebagai revolusi industri 4.0
yang mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas
yang tidak dapat dihindari. Teknologi internet yang semakin masif tidak
hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah
menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara
23 Fintech 2.0 dan 3.0, Apa Bedanya?. Diakses pada tanggal 27 Desember 2019 dari
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/25/183423826/fintech-20-dan-30-apa-bedanya 24 Muliaman D. Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Presentasi
disampaikan pada Indonesia Banking School (IBS), Indonesia 2 Juni 2017, h. 5
23
online.25 Industi 4.0 yang membuat semua terkoneksi dan membagikan
informasi dengan yang lain yang memberikan keuntungan bahwa
memang informasi cepat diakses dan permintaan dapat dilakukan
dengan segera yang berarti keseluruhan terhubung dengan setiap orang
dengan mudah dan pertukaran data yang cepat.26 Maka dalam tahapan
ini akan melihat perusahaan fintech dan inisiatif fintech (asosiasi fintech)
dalam institusi finansial tradisional terkoneksi lebih intens, yakni
sistematisasi dari solusi sebuah teknologi dan integrasi dari asosiasi
fintech dalam mendirikan sistem finansial.27 Sedangkan di Indonesia,
Pertumbuhan fintech yang semakin pesat ditandai dengan terbentuknya
Asosiasi Fintech Indonesia yang telah terdaftar secara sah sebagai badan
hukum sejak 10 Maret 2016.28 Asosiasi Fintech Indonesia hadir sebagai
wadah yang menghimpun perusahaan dan institusi para pelaku sektor
jasa keuangan yang menggunakan kemajuan teknologi dalam
menjalankan usahanya.29
b. Jenis-jenis Financial Technology
Fintech menawarkan beberapa jenis usaha atau bidang yang
terintegrasi dengan teknologi, seperti payments, pinjaman (lending),
kredit, capital market, crowd funding, dan sebagainya.30 Perkembangan
teknologi yang sangat cepat yang dimanfaatkan para pengusaha untuk
25 Dr. Slamet Rosyadi, Revolusi Industri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Jenderal Soedirman. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/324220813_REVOLUSI_INDUSTRI_40 26 Jan Schlechtendahl, Matthias Keinert, dkk, Making Existing Production Systems Industry
4.0- ready. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/267271828_Making_existing_production_systems_Indu
stry_40-ready 27 Bernardo Nicoletti, The Future Of Fintech, … h. 18 28 Berry A. Harahap, Pakasa Bary Idham, dkk, Perkembangan Financial Technology
Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Dan
Makroekonomi, BI Institute, h. 13. Di akses pada tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Pages/WP-2-2017.aspx 29 Fintech Indonesia. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2019 dari https://fintech.id/about-
us/ 30 KPMG, 2018 Fintech100: Leading Global Fintech Innovators. Diakses pada tanggal 28
Agustus 2019 dari https://h2.vc/wp-content/uploads/2018/11/Fintech100-2018-Report_Final_22-
11-18sm.pdf
24
melakukan perubahan yang mengikuti perkembangan jaman
menghasilkan jenis usaha baik inovasi baru ataupun meningkatkan daya
saing dengan menggabungkan teknologi ke dalam kegiatan usaha demi
menjaga pasar yang telah dikuasai. Dengan melihat jika sebuah
teknologi seperti mempunyai potensi untuk membantu konsumen dan
membuat hidup konsumen lebih mudah, maka ada kesempatan yang
bagus untuk akan diadopsi oleh perusahaan.31 Jenis-jenis Industri fintech
diklasfikasikan oleh OJK sebagai berikut32:
1. Deposit & Lending, usaha ini berupa peer to peer lending dan
underwriting platform, seperti platform Amartha, Danakita,
Crowdo, Investree, Modalku.
2. RegTech merupakan model pengawasan aturan yang dinamis untuk
jaringan keuangan.33 Berbeda perspektif dalam regtech di indonesia
yang merupakan smart legal tool yang menggunakan teknologi
inovatif untuk membantu masyarakat dan bisnis pada umumya
memahami dan patuh terhadap peraturan yang berlaku.34 Di
Indonesia sudah ada asosiasi yang mewadahi perusahaan regtech
dan juga Legaltech yang bernama IRLA (Indonesian Regtech and
Legaltech Association). IRLA sendiri memiliki misi untuk
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kepatuhan hukum
melalui berbagai inovasi yang telah dikembangkan oleh perusahaan
yang bergerak dalam bidang ini di Indonesia. Usaha berupa audit,
risiko dan regulatory compliance software, seperti platform
Lawbale.
31 Derek Corcoran, Avoka – An Overnight Success, 13 Years In The Making, dalam Susanne
Chishti & Janos Barberis, The Fintech Book: The Financial Technology Handbook For Investors,
Entrepreneurs and Visionaries, (Cornwal: Great Britain, 2016), h. 214 32 Dr. Widyo Gunadi, Regulasi Fintech Pada Era Industri 4.0. Presentasi disampaikan pada
Politeknik Negeri Surabaya, Indonesia 9 Nopember 2018, h. 7 33 Susanne Chishti & Janos Barberis, The Fintech Book: The Financial Technology
Handbook For Investors, Entrepreneurs and Visionaries, … h. 12-13 34 Daily Socialid, Perusahaan Teknologi Bidang Hukum Inisiasi Pendirian Asosiasi
Regtech dan Legaltech Indonesia. Diakses pada tanggal 2 September tahun 2019 dari
https://dailysocial.id/post/asosiasi-regtech-dan-legaltech-indonesia
25
3. Personal Finance, fintech jenis ini ingin membuat keuangan pribadi
lebih baik, lebih mudah diatur, lebih transparant, lebih berguna dan
lebih terjangkau untuk pengguna.35 Hal ini dikarenakan kebutuhan
mendesak untuk membuat perencanaan keuangan oleh masyarakat.
Platform ini dibuat untuk mendapatkan informasi yang dicari
dengan cepat terkait berapa banyak uang yang telah dikeluarkan
pada semua financial account dan langsung dikalkulasikan.36
Konsumen atau pengguna dapat langsung memasukkan transaksi
pemasukan/ pengeluaran yang telah dilakukan berupa nominal dan
keterangan penggunaan dan bukti transaksi berupa foto, serta
konsumen dapat melihat laporan hasil rekapitulasi transaksi
keuangan.37 Seperti platform Jojonomic, yang merupakan platform
produktivitas bisnis untuk mempermudah mengelola perusahaan
dengan gabungan aplikasi HR, Payroll, expense dan business travel
management sebagai solusi dalam pengelolaan administrasi HR &
Finance yang akurat, real-time dan mudah digunakan kapanpun
dimanapun.38
4. Payments adalah platform pembayaran yang diintegrasikan dengan
teknologi dalam bentuk e-money. Payment yang merupakan solusi
cashless payment yang mana uang dapat ditransfer melalui sebuah
perangkat tanpa kontak seperti telepon seluler, smartphone atau wifi,
yang dapat digunakan di restoran atau toko lainnya, yang hanya
apabila toko tersebut telah menyediakannya.39 Seperti platform,
Gopay, Ovo, Cashlez, Kartuku, Espay, Dana.
35 Oanh Truong, How Fintech Industry Is Changing The World, (Tesis S-2 Program Bisnis
Management, Centria University) h. 31 36 Tim Maurer, Level: Can A Budgeting App Change The Way We Bank?. Diakses pada
tanggal 4 September 2019 dari https://www.forbes.com/sites/timmaurer/2015/05/22/level-can-a-
budgeting-app-change-the-way-we-bank/#7b5a56d27b93 37 OJK, Perlindungan Konsumen Pada Fintech, h. 45. Diakses pada tanggal 11 September
2019 dari
https://konsumen.ojk.go.id/MinisiteDPLK/images/upload/201807131451262.%20Fintech.pdf 38 Diakses tanggal 4 September 2019 dari https://jojonomic.com/ 39 Wen Cao, Fintech Acceptance Research in Finland – Case Company Plastc. Thesis S-2,
information and Secvice Economy Aalto University, 2016), h.9
26
5. Insurance, banyak perusahaan asuransi yang masih memegang
model bisnis berdasarkan memupuk resiko, menghitung harga rata
rata dan menghasilkan pendapatan premi bruto yang mana diancam
eksistensinya oleh teknologi digital.40 Asuransi yang memanfaatkan
teknologi digital merupakan alternative jaminan, claims, distribusi
dan platform pialang yang memotong biaya dalam pelaksanaan
dengan mengandalkan platfom sebagai fasilitas modern.
6. Capital Market, yaitu layanan sekuritas pasar modal atau saham
yang berbasis internet yang memudahkan dalam melakukan trading
saham atau kegiatan lainnya di pasar modal.41
7. Wealth Management, adalah investasi berkelanjutan dari seorang
yang ahli yang mana meliputi perencanaan keuangan dan jasa
keuangan yang berupa mengelola pendapatan ditambah mengelola
gaya hidup.42 Seperti platform Ngaturduit.com, Bareksa.
8. Market Provisioning, yang mana fintech akan berperan sebagai
pembanding produk keuangan yang akan mengumpulkan dan
mengoleksi data finansial untuk dijadikan referensi oleh pengguna,
ini juga dapat disebut sebagai comparison site atau financial
aggregator.43 seperti Aturduit.com, Cermati, Cekaja.com, Privyid
9. Capital Raising atau biasa disebut crowd funding (penggalangan
dana), merupakan proses mengumpulkan sejumlah uang untuk suatu
proyek atau usaha oleh sejumlah besar orang yang biasanya
dilakukan melalui platform online. Terdapat beberapa
crowdfunding, reward-based crowdfunding yang berbasis hadiah
40 Accenture, Fintech and The Evolving Landscape: Landing Points For The Industry.
Diakses pada tanggal 2 September 2019 dari https://s24708.pcdn.co/wp-
content/uploads/2017/05/Fintech_Evolving_Landscape_2016.pdf 41 Muhammad Yusuf, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan Pinjaman
Uang Berbasis Financial Technology. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019) h. 103 42 Peter Garlans Sina, Wealth Management Untuk Pensiun Yang Sejahtera, Jurnal
Ekonomi: Economia, Vol. 11 Nomor 2, h. 189 43 Nurul Febriani, Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Perkembangan Financial
Technology (Studi pada 3 Perusahaan Financial Technoloogy Di Indonesia). (Skripsi S-1 Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan Bandung, 2018) h. 33
27
atau penghargaan, donation-based crowdfunding adalah bentuk
crowdfunding tanpa imbalan, equity-based crowdfunding yaitu
bentuk crowdfunding dimana penggalang dana akan memberikan
imbalan berupa saham keapada crowd investor, revenue sharing
crowdfunding yang merupakan bentuk crowdfunding dimana emiten
mengajukan kewajiban untuk melunasi kreditur yang bervariasi dari
pendapatan atau keuntungan perusahaan.44 seperti Akseleran,
Kitabisa.com, WeCare.id
c. Pengertian Peer to Peer Lending
Peer to Peer Lending (P2PL) atau biasa disebut dengan layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang merupakan
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan
pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan
perjanjian Pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung
melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Peer
to Peer Lending diatur di Indonesia dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Pertemuan antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman
difasilitasi oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi (penyelenggara P2PL) yang merupakan badan
hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang
termaktub dalam Pasal 1 Angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77 Tahun 2016. Penyelenggara dapat disebut juga sebagai
intermediator mengingat penyelenggara melakukan usaha dengan cara
intermediasi. Dengan memfasilitasi pengguna untuk bertemu
44 Muhammad Afdi Nizar, Teknologi Keuangan (Fintech) : Konsep dan Implementasinya
Di Indonesia. Diakses pada tanggal 3 September 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/323629323_Teknologi_Keuangan_Fintech_Konsep_dan
_Implementasinya_di_Indonesia
28
menyebabkan timbulnya hubungan hukum. Hubungan hukum memiliki
definisi hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan hak pada satu
pihak dan meletakan kewajiban pada pihak lainnya.45 Penyelenggara
dalam hal ini memfasilitasi dikarenakan ketertarikan pengguna untuk
memiliki akses terhadap kondisi finansial yang lebih baik dengan aman,
transparan dan mudah.46 Pengguna P2PL dibagi menjadi dua, yakni47:
1. Pemberi pinjaman.
Pemberi pinjaman biasanya adalah individu yang mencari tingkat
pengembalian yang lebih tinggi daripada yang dapat dikumpulkan
dari akun berbunga lainnya.
2. Penerima pinjaman.
Penerima Pinjaman hanyalah warga negara indonesia (WNI),
mengingat dilakukan dengan mata uang rupiah. Penerima pinjaman
sering kali adalah individu yang mencari pinjaman untuk membiayai
kembali hutangnya dengan rate yang wajar atau usaha kecil yang
kesulitan mendapatkan pinjaman bernilai rendah dari lembaga
tradisional.
Gambar 1 : Model Peer to Peer Lending
45 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), h. 221 46 Bernardo Nicoletti, The Future of Fintech, … h.39 47 Evan Bakker, Peer to Peer Lending: How Digital Lending Marketplaces Are Disrupting
The Predominant Banking Model. Diakses pada tanggal 11 September 2019 dari
https://www.businessinsider.com/peer-to-peer-lending-how-digital-lending-marketplaces-are-
disrupting-the-predominant-banking-model-2015-5?IR=T
29
Fintech P2PL merupakan sebuah disrupsi inovasi dari bisnis
pinjaman yang tidak efisien, seperti suku bunga yang tidak individual,
biaya penjaminan pinjaman yang tinggi, pilihan pinjaman yang
mengambil beberapa bulan dan bisnis kecil yang pada dasarnya tidak
tersentuh oleh bank.48 Fintech P2PL lebih murah biaya operasinalnya
daripada bank dan modal yang diminta juga lebih sedikit dan
memfasilitasi orang perseorangan dan/atau small and medium-sized
enterprises (SMEs) atau usaha kecil dan menengah (UMKM). Di
negara-negara berkembang, perusahaan fintech P2PL membantu
menjangkau populasi underbanked yang diharapkan dapat menjangkau
populasi unbanked dalam jangka panjang.49
Bill Gates mengatakan:
“The World Needs Banking Secvices But Not Necessarily Bank”
Gambar 2 : Model inovasi disruptif
48 Evan Bakker, Peer to Peer Lending: How Digital Lending Marketplaces Are Disrupting
The Predominant Banking Model. Diakses pada tanggal 8 September 2019 dari
https://www.businessinsider.com/peer-to-peer-lending-how-digital-lending-marketplaces-are-
disrupting-the-predominant-banking-model-2015-5?IR=T 49 Berry A. Harahap, Pakasa Bary Idham, dkk, Perkembangan Financial Technology BI
Institute, h. 32. Di akses pada tanggal 10 September 2019 dari
https://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Pages/WP-2-2017.aspx
30
Penyelenggara P2PL tidak hanya yang bersifat konvensional,
akan tetapi terdapat opsi lain yakni yang berbasis syariah dengan
keseluruhan proses menggunakan prinsip syariah. Selain mayoritas
bangsa Indonesia yang merupakan muslim sebanyak 87,2%.50 Adanya
fintech P2PL syariah juga dilatarbelakangi oleh disrupsi yang mana
penyaluran biaya syariah tidak semuanya dapat dilakukan oleh
perbankan syariah dikarenakan adanya persyaratan yang tidak mampu
dipenuhi oleh UMKM.51 Melihat dari sisi modal dalam kategori UMKM
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
P2PL berbasis syariah diperbolehkan berdasarkan Fatwa Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 177/DSN-
MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi
Informasi berdasarkan prinsip syariah. Ketentuan prinsip syariah untuk
P2PL ini ialah:52
1. Terhindar dari riba, gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi),
tadlis (menyembunyikan cacat), dharar (merugikan pihak lain), dan
haram.
2. Akad baku memenuhi prinsip keseimbangan, keadilan, dan
kewajaran sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Akad yang digunakan selaras dengan karakteristik layanan
pembiayaan seperti al-bai’, ijarah, mudharabah, musyarakah,
wakalah bi al ujrah, dan qardh.
4. Terdapat bukti transaksi yaitu berupa sertifikat elektronik dan harus
divalidasi oleh pengguna melalui tanda tangan elektronik yang sah.
5. Transaksi harus menjelaskan ketentuan bagi hasil yang sesuai
dengan syariah.
50 Diakses pada tanggal 12 September 2019 dari https://www.indonesia.go.id/profil/agama 51 Jadzil Baihaqi, Financial Technology Peer to Peer Lending Berbasis Syariah Di
Indonesia, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah: Tawazun, Vol. 1 Nomor 2, h. 117 52 Jadzil Baihaqi, Financial Technology Peer to Peer Lending Berbasis Syariah Di
Indonesia, … h. 120
31
6. Penyelenggara layanan boleh mengenakan biaya (ujrah) dengan
prinsip ijarah.
d. Pihak-pihak Yang Dapat Menjadi Penyelenggara Peer to Peer Lending
di Indonesia
Penyelenggara P2PL sebagai intermediator atau fasilitator wajib
memiliki kredibilitas kepada pengguna khususnya penerima pinjaman
supaya tidak dilanggar hak-haknya yang termaktub dalam peraturan
perundang-undangan dan akuntabilitas sebagai bentuk pengembalian
pinjaman kepada pemberi pinjaman. Penyelenggara dalam hal ini
dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan yakni pergadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi
penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pihak yang dapat menjadi penyelenggara adalah badan hukum
yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 77 Tahun 2016
yakni berupa:
1. Perseroan Terbatas.
Perseroan terbatas sebagai salah satu bentuk penyelenggara, dapat
didirikan dan dimiliki oleh
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
dan/atau
b. Warga negara asing dan/atau badan hukum asing.
2. Koperasi.
32
Penyelenggara yang berbentuk badan hukum koperasi terbatas pada
jenis koperasi jasa. Koperasi Jasa ialah koperasi yang menkhususkan
kegiatannya dalam memproduksi dan memasukkan kegiatan jasa
tertentu.53 Karena berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian bahwa jenis koperasi didasarkan
pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
Secara empiris, tidak terdapat koperasi yang bergerak dalam bidang
P2PL ini.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Peneliti menemukan beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan
keterbukaan informasi di pasar modal, diantaranya adalah :
1. Skripsi oleh Radian Adi Nugraha54 yang berjudul Analisis Yuridis
Mengenai Perlindugan Data Pribadi Dalam Cloud Computing System
Ditinjau Dari Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Eleektronik,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2012. Dalam Skripsi ini
peneliti membahas mengenai penerapan pasal perlindungan data pribadi
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang dikaitkan dengan layanan
komputasi awan. Persamaan dengan peneletian ini, yaitu adanya kesamaan
membahas perlindungan data pribadi. Peneliti menjadikan skripsi ini
sebagai pembanding, karena substansi penulis juga tentang data pribadi.
Terdapat perbedaan mengenai penyimpanannya. Dalam skripsi diatas,
menempatkan data pribadi pada sistem komputasi awan, sedangkan
penelitian peneliti menempatkan penyimpanan secara langsung oleh
perusahaan.
53 Usman Moonti, Bahan Ajar Mata Kuliah Dasar-Dasar Koperasi, (Yogyakarta: Interpena
Yogyakarta, 2016) h.31 54 Radian Adi Nugraha, Analisis Yuridis Mengenai Perlindungan Data Pribadi Dalam
Cloud Computing System Ditinjau Dari Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik,
Skripsi S1 Kearsipan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2012
33
2. Skripsi oleh Astiti Swanitarini55 yang berjudul Analisis Faktor-Faktor
Yang Mepengaruhi Investasi Asing Langsung di Indonesia Tahun
2011-2014,Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2016.
Dalam skripsi ini peneliti membahas tentang faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi investasi asing langsung di Indonesia tahun 2011-2014.
Yang mengambil data sekunder dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian
Perdagangan dengan menggunakan metode dokumentasi. Persamaannya
dengan penelitian ini yaitu keduanya membahas faktor yang memengaruhi
Investasi.
Terdapat perbedaan, dalam skripsi ini membahas keseluruhan faktor-faktor
yang memengaruhi investasi asing di Indonesia dengan rentang waktu
antara 2011-2014, sedangkan penelitian ini membahas hambatan investasi
asing dalam penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana.
3. Artikel jurnal oleh I Wayan Bagus Pramana, Ida Bagus Putra Atmadja, Ida
Bagus Putu Sutama56 yang berjudul Peranan Otoritas Jasa Keuangan
Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial
Technology Jenis Peer to Peer Lending, Universitas Udayana, tahun 2018.
Dalam Jurnal ini peneliti membahas terkait analisa upaya OJK dalam
mengawasi lembaga keuangan non bank berbasis Financial Technology
jenis Peer to Peer Lending dan akibat hukum untuk yang tidak melakukan
pendaftaran dan perizinan di Otoritas Jasa Keuangan. Persamaan dengan
penelitian ini, bahwa peneliti juga menyinggung terkait dengan pendaftaran
dan perizinin yang ada di Otoritas Jasa Keuangan.
Perbedaannya terletak pada, jurnal ini membahas layanan pinjam meminjam
berbasis teknologi informasi dari aspek pengawasan, sedangkan penelitian
55 Astiti Swanitarini, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Asing
Langusng Di Indonesia Tahun 2011-2014, Skripsi S1 Kearsipan Fakultas Ekonomi, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2016 56 I Wayan Bagus Pramana, Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga
Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technologi Jenis Peer to Peer Lending, Jurnal Hukum:
Kertha Semaya Vol. 06 Nomor 03, 2018
34
ini berfokus pada regulasi penempatan pusat data dan pusat pemulihan
bencana.
Terdapat perbedaan, dalam skripsi ini membahas keseluruhan faktor-faktor
yang memengaruhi investasi asing di Indonesia dengan rentang waktu
antara 2011-2014, sedangkan penelitian ini membahas hambatan investasi
asing dalam penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana.
4. Artikel jurnal oleh Lia Sautunnida57 yang berjudul Urgensi Undang-
Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Studi Perbandingan
Hukum Inggris dan Malaysia, Universitas Syiah Kuala, tahun 2018.
Jurnal ini membahas pentingnya penetapan aturan hukum yang tegas dan
komprehensif yang dapat memberikan perlindungan terhadap data pribadi
yang berlangsung melalui media elektronik di Indonesia. Persamaan dengan
penelitian ini yaitu bahwa peneliti menyinggung perlindungan data pribadi
dari aturan hukum yang telah ada di Indonesia.
Perbedaannya terletak pada, jurnal ini membahas pentingnya suatu aturan
terkait perlindungan data pribadi di Indonesia, sedangkan penelitian ini
membahas pusat data yang terkait dengan data pribadi.
57 Lia Sautunnida, Urgensi Udang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Studi
Perbandingan Hukum Inggris dan Malaysia, Univesitas Syiah Kuala, 2018
35
BAB III
TINJAUAN UMUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Sejarah Investasi Asing Di Indonesia
Semua negara selalu berusaha untuk meningkatkan pembangunan,
kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan berbeda-
beda antara negara satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu
dilakukan oleh suatu negara adalah dengan menarik sebanyak-banyaknya
investasi asing agar masuk ke negaranya.1 Upaya menarik penanaman modal
asing marak dilakukan karena penanaman modal asing lebih baik apabila
dibandingkan dengan pinjaman.2 Investasi asing sebagai cara instan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan iklim berinvestasi di suatu
negara.
Investasi merupakan bentuk dari sebuah fasilitas yang disediakan oleh
suatu negara untuk membuka rongga bidang-bidang yang dapat diisi oleh orang
perseorangan atau badan hukum dalam lingkup privat untuk dapat menanamkan
modalnya. Hal ini senada dengan Ida Bagus Rahmadi Supanca yang
memberikan pengertian investasi sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person), dalam
upaya meningkatkan dan atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang
berbentuk tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tak bergerak, hak
kekayaan intelektual, maupun keahlian.3
Keberadaan penanaman modal pertama kali diawali dengan meletusnya
revolusi industri di Eropa pada 1760, khususnya di Inggris dan kemudian
menjalar ke Amerika pada 1860. Sebelum meletusnya revolusi industri keadaan
masyarakat sangat memprihatinkan terlebih para pekerja industri dikuasai oleh
tuan tanah, terlebih kegiatan perekonomian pada waktu itu diatur secara ketat
1 Ahmad Yulianto, Peranan Mulitlateral Invesment Guarantee Agency (MIGA) dalam
kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 5 Tahun 2003, h. 39 2 Yulianto Syahyu, Pertumbuhan Investasi Asing di Kepulauan Batam: Antara Dualisme
Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 5 Tahun 2003, h. 46 3 Ida Bagus Rahmadi Supanca, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), h. 2
36
oleh negara sehingga masyarakat pada masa itu menginginkan adanya suatu
struktur baru yang dapat mengikutsertakan mereka dalam kegiatan
perekonomian yang telah diatur oleh negara bertehun-tahun lamanya. Hal itu
pula yang menjadi alasan pertimbangan terjadinya demonstrasi dan
pemberontakan para pekerja waktu itu, sehingga melahirkan sistem baru
dimana masyarakat atau pihak swasta mulai diperkenankan untuk ikut serta
dalam kegiatan perekonomian negara. Dengan keikutsertaan pihak swasta
dalam kegiatan perekonomian negara itulah menandai awal mulanya
penanaman modal atau investasi dari pihak swasta ke dalam bidang industri.4
Sejarah penanaman modal asing di Indonesia telah dimulai sejak jaman
kolonialisasi oleh Belanda yang dikenal pertama kali melalui kebijaksanaan
pemerintah hindia-belanda yang mempekenankan masuknya modal asing Eropa
untuk menanamkan usahanya dalam bidang perkebunan pada tahun 1870.5
Dengan adanya agrarische wet pada tahun 1870, memungkinkan tanah-tanah
pertanian yang dahulunya tertutup mulai dibuka, dan keberadaan peraturan
tersebut juga memungkinkan penanaman modal asing khususnya yang datang
dari Eropa yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah Hindia-
Belanda mulai diizinkan untuk melakukan usahanya di Indonesia.6 Akan tetapi
keberadaan investasi asing ini sebagai bentuk upaya pemerintahan Hindia-
Belanda semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan karena
orientasinya bukan untuk rakyat. Tujuan dari penanaman modal asing di masa
kolonial didedikasikan untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk
kesejahteraan bangsa Indonesia.7 Kemudian transisi kolonialisasi dengan
hadirnya pemerintahan jepang yang membuat iklim investasi menjadi kacau
yang menyebabkan penanaman modal terhenti dan mulai menghancurkan
struktur yang telah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda.
4 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
4 5 Jochen Roppke, Kebebasan Yang Terhambat; Perkembangan Ekonomi dan Perilaku
Kegiatan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 157 6 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, … h. 16 7 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, … h. 1
37
Indonesia setelah mengalami masa kolonialisasi yang agak panjang,
pada awal kemerdekaannya mencoba untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi yang mana peran negara sangat sulit diharapkan sepenuhnya untuk
dapat membiayai sendiri pembangunan yang akan dilakukan, kenyataan
menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan modal yang dimiliki sangat tidak
mencukupi untuk dapat melaksanakan pembangunan nasional. Perkembangan
investasi atau penanaman modal asing paska kemerdekaan dimulai dari Kabinet
Ali Sastroamdjojo Pertama (1952-1953) Indonesia yang dipimpin oleh Ir.
Soekarno yang merupakan bapak proklamator yang kemudian menjabat
presiden pertama Indonesia, dengan mempersiapkan peraturan untuk menarik
penanaman modal asing di Indonesia, namun peraturan ini belum sempat
diajukan ke parlemen oleh karena jatuhnya kabinet ini. Pada kabinet Ali
Sastroamdjojo kedua, tepatnya pada tahun 1953 mengajukan kembali Rencana
Undang-Undang Penanaman Modal Asing, yang mengandung syarat-syarat
sedemikian rupa, agar jangan sampai penanaman modal asing menghambat
pembangunan masyarakat Indonesia. Rencana Undang-Undang Penanaman
Modal Asing ini juga tidak memperoleh persetujuan parlemen.8
Selanjutnya Kabinet Karya dibawah PM Djuanda mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing.
Akan tetapi kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda membuat
undang-undang ini jadi tak berarti yang ditambah masih kentara masalah politik
dalam menegakkan negara yang baru merdeka, keamanan dalam negeri
dikarenakan adanya gerakan atau aksi tentara Belanda yang masih ingin
mencoba menjajah Indonesia.9 Hingga munculnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1960 yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 pun tidak mempunyai arti lebih baik
mengingat pemerintah melakukan nasionalisasi modal dari Amerika dan Inggris
sebagai dampak konfrontasi dengan Malaysia. Amerika dan Inggris dianggap
8 C.F.G Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal
Asing di Indonesia, (Bandung: Binatjipta, 1972), h.3 9 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, ... h. 19-20
38
sebagai pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh
pemerintah Soekarno dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme karena
politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti barat.10 Hal ini sejalan dengan
perkataan Thee Kian Wie “Seperti kebanyakan kaum nasionalis Indonesia
lainnya, para pembuat kebijakan ekonomi di masa awal kemerdekaan amat
terpikat oleh cita-cita kaum sosialis. Mereka menolak kapitalisme karena
kapitalisme diasosiasikan dengan kekuasaan kolonial.”11
Drama nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing berakhir saat
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal asing yang diberlakukan pada masa orde baru yang berisi insentif dan
jaminan kepada calon investor asing. Materil undang-undang tersebut juga
termasuk masa bebas pajak dan jaminan tidak adanya nasionalisasi, kecuali
dianggap perlu bagi kepentingan nasional dengan kompensasi penuh sesuai
hukum internasional yang berlaku (Sadli 1972: 204).12 Investasi asing di
Indonesia mendapatkan angin segar, karena setelah Tiga bulan diberlakukan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967, Freeport Sulphur Incorporated menjadi
perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah
orde baru dengan menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeskplorasi
dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya.13
Seiring dengan perubahan perekonomian global dan keikutsertaan
Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, perlu diciptakan ilkim
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum,
keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 diubah karena tidak
sesuai dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan
10 Suparji, Pengaturan Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Universitas Al Azhar
Indonesia, 2010), h. 89-90 11 Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, (Jakarta:
Kompas, 2005), h.xxix 12 Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah, … h. 1 13 M. F. Mukhti, Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia. Diakses pada tanggal 3
Oktober 2019 dari https://historia.id/politik/articles/riwayat-masuknya-modal-asing-ke-indonesia-
DWVy1
39
pembagunan hukum nasional khususnya bidang penanaman modal. Maka
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal hadir
sebagai integrasi peraturan yang penanaman modal asing dan penanaman modal
negeri, yang mana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri juga ikut dicabut.
B. Pengaturan Regulasi Investasi Asing
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian
nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, mendorong pembangunan
ekonomi kerakyatan. Dan tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya
dapat tercapai bila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman
modal dapat diatasi, antara lain: perbaikan koordinasi antara instansi
pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian
hukum dibidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing
tinggi, iklim usaha yang kondusif dibidang ketenagakerjaan dan keamaan
berusaha. Hal inilah yang mendasari digantikannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang
Nomorr 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970.14
Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing
untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia beradasarkan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Sedangkan penanaman
modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
14 Rahayu Hartini, Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Jurnal Humanity Vol. 4 No. 1 Tahun 2009, h. 48
40
berpatungan dengan penanam modal dalam negeri, sebagaimana termaktub
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Yang
melaksanakan penanaman modal asing merupakan perseorangan warga
negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 bahwa
penanam modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Selanjutnya dalam
Pasal 5 ayat (3), penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan :
a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. Membeli saham; dan
c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang mengamanatkan
setiap penanam modal baik penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing yang berbentuk perseroan terbatas yang diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 diatur permodalan
yakni dalam Pasal 32 bahwa Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Aturan permodalan ini telah diatur oleh
pemerintah dengan menerbitkan aturan yang lebih fleksibel yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar
Perseroan Terbatas yang mengatur besaran modal dasar Perseroan Terbatas
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri Perseroan Terbatas. Akan
tetapi masih dalam frame peraturan yang sama yakni Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007, terdapat kegiatan usaha tertentu yang dapat
menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada
41
ketentuan modal dasar yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007.
3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha
Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal
Penanaman modal baik penanam modal dalam negeri dan/atau
penanam modal asing memerlukan pembatasan dan persyaratan dalam
percepatan pembangunan dengan tetap melindungi bagi usaha mikro, kecil
dan menengah, serta koperasi dan berbagai sektor strategis nasional serta
meningkatkan daya saing ekonomi dalam menghadapi masyarakat Ekonomi
ASEAN dan dinamika globalisasi ekonomi, dipandang perlu mengganti
ketentuan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha
yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Bidang usaha
yang dalam aturan ini terdiri dari:
a. Bidang Usaha Yang Terbuka;
b. Bidang Usaha Yang Tertutup; dan
c. Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu dalam Pasal
2 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 yaitu:
a. Batasan kepemilikan modal asing;
b. Lokasi tertentu;
c. Perizinan khusus;
d. Modal dalam negeri 100% (seratus persen) dan/atau
e. Batasan kepemilikan modal dalam kerangka kerjasama Association of
Southeast Asiang Nations (ASEAN)
42
BAB IV
REGULASI INVESTASI ASING DALAM PENYELENGGARA LAYANAN
PINJAM MEMIMJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
A. Analisis Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
Otoritas Jasa Keuangan sebagai instansi yang memiliki fungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan berdasarkan Pasal
5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Salah satu kegiatan jasa keuangan yang dibawah pengaturan dan pengawasan
OJK berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 adalah
kegiatan jasa keuangan di sektor lembaga jasa keuangan lainnya. Pasal 2 ayat
(1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Penyelenggara P2PL dinyatakan
sebagai lembaga jasa keuangan lainnya. Atas dasar tersebut, OJK berhak
berdasarkan kewenangannya menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sebagai jaring
pengaman untuk pelaku usaha dalam menjalankan usaha P2PL.1
Selain kewenangan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011, OJK untuk pendaftaran dan perizinan terkait fintech p2pl diberikan
kewenangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 25
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, “Perusahaan penanaman
modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki
kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang”
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 yang hadir
sebagai kebutuhan mendesak yang akan realitas yang dihadapkan Era 4.0 yang
1 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2
43
membuat keseluruhan aktivitas dapat diintegrasikan dengan teknologi yang
dalam hal ini pinjam meminjam telah memasuki tahap disrupsi inovatif yakni
fintech P2PL. Adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu
langkah yang tepat dan harus ditaati oleh para penyelenggara P2PL secara
keseluruhan mengingat Indonesia menganut prinsip civil law yang
mengedepankan adanya peraturan kemudian baru dapat dilaksanakan. Hal ini
merupakan hal yang baik sebagai dasar perlindungan hukum baik pada lingkup
preventif ataupun represif. Keadaan mendesak yang dijelaskan dalam
penjelasan umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016,
mengakibatkan substansinya kurang komprehensif sehingga perlindungan
hukumnya kurang maksimal.
Secara norma hukum bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77 Tahun 2016 ini bernafaskan norma individual-konkret yaitu suatu norma
hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatannya bersifat konkret.2 Norma individual dapat dilihat pada subyek
yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yakni Penyelenggara
yang telah terdaftar sebagai anggota asosiasi yakni AFPI (Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia) atau penyelenggara yang telah terdaftar atau
terizin baik berdasarkan modal dalam negeri atau joint venture. Penyelenggara
P2PL yang terdaftar dan terizin merupakan penyelenggara yang legal
berdasarkan hukum. Hal ini didukung dengan pernyataan Juru Bicara OJK,
Sekar Putih Djarot bahwa OJK hanya dapat memberikan tindakan tegas untuk
penyelenggara yang telah terdaftar atau berizin, sedangkan untuk yang ilegal
dilakukan penindakan oleh Satuan Tugas Waspada Investasi yang menaungi 13
kementerian dan lembaga.3
AFPI sebagai satu-satunya asosiasi yang ditunjuk oleh OJK berdasarkan
S-5/D.05/2019 dengan Latar belakang penunjukan tersebut bahwa sebelum
2 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
(Jakarta: Kanisius, 2013), h. 29 3 OJK: Penagihan Fintech Legal Tak Sesuai Aturan Bisa Dicabut Izinnya. Diakses pada
tanggal 27 November 2019 dari https://tirto.id/ojk-penagihan-fintech-legal-tak-sesuai-aturan-bisa-
dicabut-izinnya-ee4J
44
adanya AFPI, secara fungsi AFPI berada dibawah AFTECH (Asosiasi Fintech
Indonesia) yang mana anggota dari AFTECH sebanyak 50% bergerak dalam
bidang fintech P2PL. Untuk mempermudah organisasi fintech P2PL maka AFPI
dipisah menjadi entitas tersendiri.4 Pada saat penunjukan AFPI sebagai asosiasi,
OJK melihat bahwa hanya AFPI yang dapat menjadi asosiasi untuk mewadahi
para penyelenggara P2PL yang saat bersamaan terdapat AFTECH dan AFSI
(Asosiasi Fintech Syariah Indonesia). karena apabilia dilihat dari ketiga asosiasi
tersebut, AFPI merupakan asosiasi yang memfokuskan pada fintech P2PL
selain dari nama dan perilaku pasar yang dikeluarkan.5
Sinergi antara OJK selaku regulator dan AFPI selaku asosiasi, terkait
dengan aturan yang berlaku untuk para penyelenggara P2PL. OJK mengatur
terkait dengan framework (garis besar) dan AFPI untuk perilaku pasar yang
bersifat teknis berdasarkan perkembangan riset terkait dengan kebutuhan
industri yang dilihat dari masalah-masalah di lapangan yang merupakan salah
satu usaha untuk proaktif membantu OJK dalam meregulasi fintech P2PL.6 Pun
juga didasari bahwa saat pembentukan Departemen Fintech di OJK,
departemen tersebut telah menentukan industri fintech P2PL ini akan lebih
banyak dilakukan sesuai dengan market conduct (perilaku pasar). Dan
karenanya harapan OJK agar ketentuan dan praktik didasarkan atas kebutuhan
industri, layaknya idiom dari industri untuk industri.
Fintech P2PL ada yang legal dan ilegal. P2PL ilegal sangat jelas dan
meyakinkan bahwa tidak mempunyai itikad baik sebagai penyelenggara P2PL
untuk melakukan usaha di Indonesia dengan tidak melakukan pendaftaran atau
perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan AFPI. P2PL ilegal menghindari
ketentuan-ketentuan yang dapat merestriksi aktivitas penyelenggara. Hal ini
selaras dengan aduan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pada 23
4 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI 5 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2 6 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI
45
Maret tahun 2019, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengumumkan telah
menerima sekitar 3000 pengaduan terkait permasalahan penyelenggaran fintech
P2PL yang telah mereka terima sejak Mei tahun 2018. Berdasarkan pengaduan-
pengaduan tersebut, LBH Jakarta menemukan banyak pelanggaran hukum dan
hak asasi manusia yang dialami oleh korban pengguna aplikasi pinjaman online
atau fintech P2PL ini, sebagian besar mengalami tindak pidana yang dilakukan
oleh penyelenggara dan pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara
aplikasi fintech P2PL, hal itu meliputi, namun tidak terbatas pada :
1. Penyebaran data pribadi melalui media elektronik (Pelanggaran Pasal 32 jo
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik & Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi)
2. Pengancaman (Pasal 368 KUHP)
3. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
4. Fitnah (Pasal 311 ayat (1) KUHP)
5. Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik).7
Berdasarkan hasil investigasi OJK dalam permasalahan ini bahwa
banyaknya debitur yang menjadi korban dalam masalah ini merupakan
pengguna aplikasi pinjaman yang tidak legal atau tidak terdaftar izin usahanya
di OJK. AFPI sebagai asosiasi menghimbau kepada masyarakat untuk sadar dan
melihat pada platform tersebut biaya bunga yang dikenakan, suku bunga dan
layanannya untuk apa saja serta adakah customer service berserta kantor dari
penyelenggara tersebut.8 Selain dibutuhkan kesadaran dari masyarakat,
tindakan represif dilakukan oleh Satgas Waspada Investasi yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor
01/KDK.01/2016 tanggal 1 Januari 2016 yang bekerja sama dengan
7 Laporan LBH Jakarta, Tindak Pidana Korban Pinjaman Online. Diakses pada tanggal 27
November 2019 dari https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ 8 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI
46
Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kejaksaan, Kepolisian
RI dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang telah melakukan
koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo), hingga pertengahan Maret 2019, sudah memblokir 803
fintech illegal.9 Sedangkan disebutkan pada sumber lain, bahwa Satgas
Waspada Investasi telah memblokir situs ataupun aplikasi sebanyak 1.773
fintech ilegal.10
Hegemoni P2PL illegal pada pasar aplikasi dalam hal ini yakni Google
Play atau yang lebih akrab disebut PlayStore milik perusahaan raksasa Google
merupakan hal yang wajar. Mengingat tidak sulit untuk pemgembang aplikasi
mendaftarkan aplikasinya untuk dipublikasikan di PlayStore. Hanya dengan
mengunjungi Google Play Console11 dengan cara membuat akun google baik
yang telah ada atau buat akun baru, menyetujui persyaratan distribusi
pengembang Google Play12, membayar biaya pendaftaran dan melengkapi data
akun. Selanjutnya hanya mengikuti langkah yang tergolong mudah untuk
memasukkan aplikasi ke PlayStore13, maka dengan adanya hal tersebut, akan
sulit untuk melakukan upaya preventif terhadap P2PL illegal. Fintech ilegal
pada dasarnya mempunyai ciri-ciri:14
1. Tidak memiliki izin resmi.
9 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2 10 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2 11 Google Play Console. Diakses pada tanggal 29 November 2019 dari
https://play.google.com/apps/publish/signup/ 12 Google Play, Google Play Developer Distribution Agreement. Diakses pada tanggal 29
November 2019 dari https://play.google.com/about/developer-distribution-agreement.html 13 Klik Mania, Cara Mempublikasikan Aplikasi Sendiri Ke Google Play Store Terbaru.
Diakses pada tanggal 29 November 2019 dari https://www.klikmania.net/cara-mempublikasikan-
aplikasi-ke-google-play-store/ 14 Siaran Pers Nomor SP 05/VII/SWI/2019, Otoritas Jasa Keuangan dan Bareskrim Polri
Sepakat berantas Fintech Peer to Peer Lending ilegal dan Investasi ilegal. Diakses pada tangal 29
November 2019 pada pukul https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-
Pers-OJK-dan-Bareskrim-Polri-Sepakat-Berantas-Fintech-Peer-To-Peer-Lending-Ilegal-dan-
Investasi-Ilegal.aspx
47
2. Tidak ada identitas dan alamat kantor yang jelas.
3. Pemberian pinjaman sangat mudah.
4. Informasi bunga dan denda tidak jelas.
5. Bunga tidak terbatas.
6. Denda tidak terbatas
7. Penagihan tidak batas waktu
8. Akses ke seluruh data yang ada di ponses
9. Ancaman teror kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik,
menyebarkan foto/video pribadi.
10. Tidak ada layanan pengaduan.
Sebelum menjadi terdaftar di OJK, ada beberapa Checklist Permohonan
Pendaftaran Penyelenggara LPMUBTI, dalam formulir tersebut mengharuskan
adanya Rekomendasi dari AFPI. Prasayarat ini merupakan hal wajib karena
AFPI sebagai satu-satunya asosiasi P2PL yang ditunjuk oleh OJK. Proses agar
dapat dirilis surat rekomendasi, penyelenggara harus ikut seminar dan
sertifikasi dasar mengenai fintech P2PL yang diwajibkan untuk seluruh direksi,
komisaris dan pemegang saham. Dan harus lulus dari semua proses ini.
Sertifikasi ini dilakukan sebagai upaya Penyelenggara P2PL mendapatkan
pemahaman awal terkait ketentuan P2PL yang ada dalam pedoman perilaku.
Pun rekomendasi dari AFPI memerlukan legal dokumen lain dan penyelenggara
diundang untuk melakukan audiensi terkait pengecekan rekam jejak. OJK
memandatkan kepada AFPI bahwa OJK ingin semua platform yang terdaftar di
OJK atau AFPI dapat diketahui oleh anggota AFPI yang telah ada dan semua
penyelenggara dapat melihatnya. Sehingga apabila ada seseorang yang telah
dipecat Perusahaan P2PL yang dilarang dan kemudian membuka usaha P2PL
baru, hal tersebut dapat dijadikan sebuah rekam jejak kemudian diblacklist
orang tersebut. Hasil dari rekam jejak dikirim via email, dan apabila tidak
mempunyai rekam jejak yang dicek selama proses rekam jejak, maka dapat
dikeluarkan surat rekomendasi dari AFPI.15 Seluruh perusahaan yang ingin
15 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI
48
bergerak dibidang P2PL harus melalui proses ini dan ini seleksi awal demi
terciptanya iklim usaha yang baik.
Surat rekomendasi dari AFPI pun dapat diserahkan kepada KOMINFO,
karena kominfo telah meminta untuk kerjasama dengan AFPI untuk
keseluruhan platform harus mendapatkan bukti pendaftaran PSE
(Penyelenggara Sistem Elektronik) yang merupakan tanda pengenal bahwa
penyelenggara merupakan penyelenggara berbasis sistem elektronik.
Pendaftaran PSE sangat mudah, hanya sekedar memasukkan nama perusahaan
dan kelompok bisnis, maka dapat dikeluarkan PSE. apabila platform tersebut
telah berproses di AFPI dan saat AFPI ingin mengeluarkan surat rekomendasi
maka AFPI akan kontak ke Kominfo bahwa PSE dapat diterbitkan.16 Adanya
AFPI sebagai double checking untuk mendapatkan PSE karena dikhawatirkan
penyelenggara dari yang sudah diberikan PSE ternyata membuat platform P2PL
ilegal. Tanda bukti terdaftar PSE juga merupakan salah satu syarat mendapatkan
bukti terdaftar di OJK.
AFPI sebagai asosiasi penyelenggara P2PL memiliki market conduct
atau pedoman perilaku yang mengikat semua anggota yang bergabung di
dalamnya. Dalam menegakkan pedoman perilaku tersebut, dibentuk sebuah
Majelis Etika. Platform Do-it atau PT. Glotech Prima Vista menerima teguran
tertulis dari Majelis Etika AFPI terkait pelanggaran pelampauan maksimal
pengenaan biaya 0,8% setara bunga flat/hari pada tanggal 9 Mei tahun 2019,
yang dibacakan oleh Majelis Etika AFPI. Platform wajib mengembalikan bunga
yang berlebih kepada peminjam melalui uang kembali (cashback). Bahwa
Majelis etika dalam memberikan sanksi akan berkonsultasi terlebih dahulu
mengingat majelis etika ini beranggotakan pihak independen dan pakar yang
mengetahui model dan penyelenggaraan bisnis. Penetapan bunga 0,8%
merupakan angka yang telah diperhitungkan dengan merujuk praktek yang telah
ada selain akibat dari relevansi atas refleksi terhadap fintech P2PL di Inggris,
akan tetapi dalam waktu dekat angka bunga ini akan dikaji kembali dengan
16 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI
49
melihat kondisi ekonomi, inflasi, makro ekonomi, jumlah borrowers, jumlah
transaksi yang ada dalam fintech P2PL.17 Selain Do-it, ada pula platform yang
terkena sanksi dari majelis etika AFPI, akan tetapi tidak dipublikasikan karena
berbeda klasifikasi sanksi dari majelis etika. Sanksi yang diberikan oleh majelis
etika AFPI terdiri dari 4 (empat) jenis sanksi:
1. Peringatan/teguran tertulis, peringatan ini bersifat tertutup yang mana
teguran ini langsung ke penyelenggara P2PL. Apabila telah ditanggapi
dengan itikad baik, maka sudah selesai peringatan tertulis ini.
2. Pemberitahuan kepada masyarakat dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3. Pemberhentian keanggotan sementara.
4. Pembehentian keanggotaan secara permanen.
Hingga saat ini sudah jarang penyalahgunaan pedoman perilaku.
Adapun pelanggaran terhadap pedoman perilaku lebih banyak saat awal
tersistematisasi dan terstruktur aturan-aturan terkait dengan fintech P2PL
karena adanya pemahaman yang berbeda. Kemudian untuk meminimalisir
pelanggaran, AFPI secara intensif memberikan edukasi berupa seminar seperti
penghitungan biaya, bunga yang dikenakan, apa saja yang boleh dan tidak
boleh, dan terbukti secara gradual tingkat pelanggaran terhadap pedoman
perilaku telah menurun dan walaupun ada yang melanggar hanya sedikit dan
diinfokan oleh AFPI serta langsung disesuaikan oleh platform atau masuk
dalam kategori sanksi ke-1 (kesatu) dari AFPI.18
Pada tahun 2018, sebanyak 6 platform terdaftar yang dicoret oleh OJK,
5 fintech P2PL secara sukarela membatalkan tanda bukti terdaftar, antara lain:
1. PT Relasi Perdana Indonesia (Relasi)
Surat Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial
Technology Nomor S-615/NB.213/2018
2. PT Tunaiku Fintech Indonesia (Tunaiku)
17 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI 18 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2
50
Surat Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial
Technology Nomor S-616/NB.213/2018
3. PT Dynamic Credit Asia (Dynamic Credit)
Surat Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial
Technology Nomor S-617/NB.213/2018
4. PT Progo Puncak Group (Pinjamwinwin)
Surat Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial
Technology Nomor S-618/NB.213/2018
5. PT Karapoto Teknologi Finansial (Karapoto)
Surat Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial
Technology Nomor S-619/NB.213/201819
Pencabutan status terdaftar 4 entitas perusahaan fintech P2PL ini karena
terbukti melakukan pergantian pemegang saham tanpa persetujuan OJK. Saham
diklasifikasikan sebagai dasar daftar kepemilikan yang harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016. Yang dalam
penjelasan pasal tersebut bahwa persetujuan atas perubahan kepemilikan
Penyelenggara dilakukan untuk menilai kelayakan dan kesesuaian calon
pemilik dengan memperhatikan persyaratan yang lain. PT Tunaiku Fintech
Indonesia (Tunaiku) menurut Hendrikus Passagi, bahwa Tunaiku melanggar
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 yakni tidak
melaporkan kinerja keuangan kepada OJK setiap 3 (tiga) bulan sekali20
sebagaimana termaktub dalam Pasal 9:
Pasal 9
(1) Penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
19 OJK Batalkan Tanda Terdaftar 5 Penyelenggara Fintech. Diakses pada tanggal 5
Desember 2019 dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-
Batalkan-Tanda-Terdaftar-5-Penyelenggara-Fintech-.aspx 20 Langgar Keimigrasian, OJK Cabut Status Terdaftar Fintech Danakita. Diakses pada
tanggal 5 Desember 2019 dari https://keuangan.kontan.co.id/news/langgar-keimigrasian-ojk-cabut-
status-terdaftar-fintech-danakita
51
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK dengan
informasi yang paling sedikit memuat:
a. Jumlah Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman;
b. Kualitas pinjaman yang diterima oleh Penerima Pinjaman berikut dasar
penilaian kualitas pinjaman; dan
c. Kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar di OJK
(2) Laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak jatuh tempo tanggal pelaporan.
Dengan dibatalkannya tanda terdaftar 5 entitas perusahaan fintech P2PL
oleh OJK, maka PT Relasi Perdana Indonesia, PT Tunaiku Fintech Indonesia,
PT Dynamic Credit Asia, PT Progo Puncak Group, dan PT Karapoto Teknologi
Finansial harus menghentikan seluruh kegiatan layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi, menyelesaikan hak dan kewajiban pengguna, dan
dilarang mencantumkan logo OJK serta pernyataan terdaftar dan diawasi oleh
OJK dalam setiap kegiatannya serta OJK mengimbau masyarakat yang
merupakan Pengguna layanan tersebut untuk menghubungi perusahaan terkait
dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.21
Terdapat 1 (satu) entitas fintech P2PL yakni PT. Danakita Data Prima
(DanaKita) dicabut status terdaftarnya oleh OJK. DanaKita mendapatkan
penolakan dan pembatalan yang dituangkan dalam Surat Direktur Pengaturan,
Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Nomor S-
539/NB.213/2018 tertanggal 13 Juli 2018. OJK telah melakukan pemeriksanaan
dan evaluasi pada tanggal 25 Juni 2018, serta verifikasi ke lapangan pada
tanggal 2 Juli - 4 Juli 2018 untuk mengetahui secara objektif dan lengkap tekait
kepatuhan, kepatutan, kebenaran, serta kelayakan bisnis model dan sistem
elektronik PT Danakita Data Prima.22 Dari hasil analisis tersebut, PT Danakita
21 OJK Batalkan Tanda Terdaftar 5 Penyelenggara Fintech. Diakses pada tanggal 5
Desember 2019 dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-
Batalkan-Tanda-Terdaftar-5-Penyelenggara-Fintech-.aspx 22 OJK Tolak dan Batalkan Tanda Terdaftar Danakita. Diakses pada tanggal 5 Desember
2019 dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-Tolak-
Permohonan-Izin-dan-Batalkan-Tanda-Terdaftar-Danakita.aspx
52
Data Prima dinyatakan melanggar Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016:
Pasal 10
(1) Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan
izin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
sejak tanggal terdaftar di OJK.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
berakhir, Penyelenggara yang telah mendapatkan surat tanda bukti terdaftar
dan tidak menyampaikan permohonan perizinan atau tidak memenuhi
persyaratan perizinan, surat tanda bukti terdaftar Penyelenggara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dinyatakan batal.
(3) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat lagi menyampaikan
permohonan pendaftaran kepada OJK.
(4) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyelesaikan hak dan
kewajiban Pengguna sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian.
(5) Penyelenggara yang masih terdaftar dan menyatakan tidak mampu
meneruskan kegiatan operasionalnya, harus mengajukan permohonan
kepada OJK disertai dengan alasna ketidakmampuan dan rencana
penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.
Sanksi yang dikenakan kepada PT Danakita Data Prima mengakibatkan
PT Danakita Data Prima diwajibkan melaksanakan penyelesaian hak dan
kewajiban seluruh penggunanya, dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dan Menghentikan seluruh operasional sistem elektroniknya. PT Danakita Data
Prima juga dilarang mencantumkan logo OJK pada kantor pusat, outlet, setiap
penawaran, promosi layanan maupun media pemasaran lainnya, serta wajib
tunduk dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku dalam
menyelesaikan hak dan kewajiban Pengguna. Atas adanya pencabutan kepada
53
para penyelenggara kepada para konsumen, OJK pun mengimbau23 kepada
masyarakat yang merupakan Pengguna layanan tersebut untuk menghubungi
Perusahaan terkait dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.
Penyelenggara P2PL dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Penyelenggara P2PL yang diharuskan berbentuk perseroan terbatas, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal
32 bahwa Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah). Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat
menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada
ketentuan modal dasar yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007. Seperti dalam Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77 Tahun 2016, bahwa penyelenggara yang berbentuk perseroan terbatas wajib
memiliki modal disetor paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
pada saat pendaftaran dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp.
2.500.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) pada saat mengajukan
permohonan perizinan. walaupun telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas
yang mengatur besaran modal dasar Perseroan Terbatas ditentukan berdasarkan
kesepakatan para pendiri Perseroan Terbatas, akan tetapi karena belum ada
undang-undang fintech yang mengatur secara keseluruhan dan usaha ini
merupakan kategori padat modal bukan padat karya.
Penyelenggara yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas dapat
didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dan/atau warga negara asing dan/atau badan hukum asing asing.
Kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing, baik secara langsung atau tidak langsung paling banyak 85% dari
modal disetor dan dihitung dari jumlah lembar saham yang dikeluarkan. Hal ini
23 OJK Tolak dan Batalkan Tanda Terdaftar Danakita. Diakses pada tanggal 5 Desember
2019 dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-Tolak-
Permohonan-Izin-dan-Batalkan-Tanda-Terdaftar-Danakita.aspx
54
untuk menyelaraskan dengan konsep hukum mengenai saham yang berlaku
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Saham dengan maksimal 85% dalam hal ini diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Permodalan yang hanya berlaku dalam nominal tertentu dan mengharuskan
dengan dalam checklist Permohonan Pendaftaran Penyelenggara LPMUBTI
(revisi Februari 2019) selain persyaratan jumlah permodalan, warga negara
asing atau badan hukum asing juga wajib melampirkan dokumen setara Surat
Keterangan Cakap Kelakuan (SKCK) yang diterbitkan oleh otoritas asli negara
asal WNA atau badan hukum asing tersebut. Dilegalisasi oleh Kedutaan Besar
Republik Indonesia di negara asal WNA atau badan hukum asing tersebut dan
disertai terjemahan ke dalam bahasa indonesia.
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara P2PL yang
didirikan oleh penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing
karena sama-sama mendirikan badan hukum Indonesia dan pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 bahwa semua yang terdaftar di
OJK merupakan P2PL yang sah,24 Akan tetapi dalam menempatkan pusat data
dan pusat pemulihan bencana di Indonesia berdasarkan Pasal 25 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 merupakan suatu hal yang
memerlukan pembahasan lebih lanjut. Apabila merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik
Pasal 21
(1) Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat melakukan
pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan Sistem Elektronik dan
Data Elektronik di Wilayah Indonesia dan /atau di Luar wilayah Indonesia.
(2) Dalam hal Sistem Elektronik dan Data Elektronik dilakukan pengelolaan,
pemrosesan, dan/atau penyimpanan di luar wilayah Indonesia,
24 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), pada tanggal 18 November 2019 di Kantor AFPI
55
Penyelenggara sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memastikan
efektivitas pengawasan oleh Kementerian atau Lembaga penegakan hukum.
(3) Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses
terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan
dan penegakkan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan Sistem
Elektronik dan Data Elektronik bagi Penyelenggara Sistem Elektronik
Lingkup Privat di sektor keuangan diatur lebih lanjut oleh otoritas pengatur
dan pengawas sektor keuangan.
Penyelenggara P2PL termasuk ke dalam Penyelenggara Sistem
Elektronik Lingkup Privat, yang merupakan penyelenggaraan sistem elektronik
oleh Orang, Badan Usaha, dan masyarakat berdasarkan Pasal 1 angka 6
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019. Yang sebelumnya pada Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik dalam Pasal 17 ayat (2) bahwa yang wajib menempatkan
pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia adalah
Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik. Apabila
diinterpretasikan secara sistematis dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pelayanan publik berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 terdiri dari pelayanan barang publik dan jasa publik yang
berdasarkan ayat (4) Pasal tersebut bahwa pelayanan atas jasa publik meliputi:
a. Penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
56
b. Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau
kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
c. Penyediaan jas publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya
bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan,
tetapi ketersediannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan
Dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang mencabut Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik menegaskan bahwa Penyelenggara P2PL merupakan
sektor privat atau penyelenggara sistem elektronik lingkup privat. Pada
dasarnya ketentuan terkait pusat data tidak terdapat perubahan melainkan hanya
diatur lebih tegas yakni diberikan kebebasan untuk menaruh pusat datanya di
dalam atau luar Indonesia. Selanjutnya bahwa PSE lingkup privat yang harus
mematuhi aturan untuk memberikan akses terhadap data saat dibutuhkan oleh
pemerintah, dimanapun lokasi pusat datanya.25
Akses terhadap data terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 2 bahwa
“Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah
hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia” kemudian penjelasan
pasal tersebut yakni “Undang-undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak
semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau
25 Kominfo Jawab Kritik Soal Aturan Transaksi Elektronik. Diakses pada tanggal 10
Desember 2019 dari https://inet.detik.com/law-and-policy/d-4771928/kominfo-jawab-kritik-soal-
aturan-transaksi-elektronik
57
dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perubatan
hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh
warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum
Indonesia mupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia,
mengingat pemanfaatan Teknologi informasi untuk Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Dan yang
dimaksud dengan ‘merugikan kepentingan Indonesia’ adalah meliputi tetapi
tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan
data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara,
kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
OJK telah menjadi satu-satunya regulator yang membawahi fintech
P2PL, dan dalam Pasal 21 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019
Bahwa ketentuan mengenai pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan sistem
elektronik dan Data Elektronik bagi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup
Privat di sektor keuangan diatur lebih lanjut oleh otoritas pengatur dan
pengawas sektor keuangan. Walaupun bertentangan dengan aturan-aturan yang
berada diatasnya yang merupakan suatu kesatuan hierarki yang terdapat dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya merupakan
lembaga yang independen yang memiliki aturan yakni berupa Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan berdasarkan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. OJK dalam hal ini menanggapi26 bahwasannya hal-hal
yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan merupakan lex specialis,
karena yang diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah merupakan
hal umum yang memiliki arti bukan hanya untuk fintech P2PL saja. Atas dasar
26 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2
58
tersebut maka pusat data tetap harus ditempatkan di Indonesia. Lex specialis
derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum yang mengandung makna
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang
umum.27 Penyelenggara harus telah memiliki pusat data yang siap terhubung
dengan pusat data Asosiasi dan OJK yang terdapat di checklist perizinan, maka
checklist yang ada di OJK merupakan syarat kelengkapan atau katalisator
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016, untuk mengatur lebih
lanjut apa saja yang diperlukan baik dalam proses pendaftaran dan/atau
perizinan.
Peratuan Otoritas Jasa Keuangan memiliki sifat spesialis akan tetapi
tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya yang mana dalam hal ini
peraturan pemerintah lebih tinggi. Hal ini dikarenakan adanya aturan yang
bersifat lebih general dan harus diikuti dengan peraturan dibawahnya
berdasarkan stufenbau theory yang diaplikasikan pada tataran hukum Indonesia
yang berupa hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terdapat
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Independensi OJK memang dapat diartikan tidak termasuk dalam
wilayah kekuasaan eksekutif dan tidak adanya campur tangan dari pihak
manapun, namun bukan berarti eksekutif dalam hal ini adalah pemerintah tidak
memiliki hubungan koordinasi dengan OJK. Kordinasi ini dilakukan dalam
rangka membentuk komitmen bersama terhadap pelaksanaan kebijakan guna
27 Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Diakses pada
tanggal 10 Desember 2019 dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509fb7e13bd25/lex-spesialis-dan-lex-
genralis/
59
memelihara stabilitas perekonomian dan memperkuat daya tahan perekonomian
Indonesia.28
Perlindungan terhadap data pribadi pada dasarnya setiap konsumen -
dalam hal ini peminjam- berhak atas keamanan dalam menggunakan jasa
pilihannya. Sebagai penyelenggara P2PL yang telah memiliki legalitas
walaupun hanya dalam bentuk terdaftar, tidak diperkenankan untuk mengakses
data pribadi peminjam sesuai dengan Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 terkait kerahasiaan data bahwa penyelenggara
wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data
transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data
tersebut dimusnahkan dengan rentang waktu paling singkat 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (3) Pemenkominfo Nomor 20 Tahun 2016
tentang Perlindugan Data Pribadi. Serta wajib diperoleh berdasarkan
persetujuan pemilik data tersebut, hal ini sesuai dengan pasal 26 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.
Pembahasan pusat data selalu berkaitan dengan perlindungan data
pribadi yang mana perlindungan data pribadi dalam sektor teknologi belum
mempunyai peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan memadai.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 bahwa setiap orang yang
dilanggar haknya dalam hal menyangkut data pribadi seseorang, maka dapat
mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Dalam Pasal 14 ayat (5)
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 jika terjadi kegagalan dalam
pelindungan terhadap data pribadi yang dikelolanya, Penyelenggara Sistem
Elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemilik Data Pribadi
tersebut. Aturan lebih lanjut terkait data pribadi dalam Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan
Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik dalam Pasal 36 yang hanya dikenakan
28 Anthonius Adhi Soedibyo, Kedudukan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan Perundang-Undangan Terhadap Produk Perbankan, Jurnal Lex: Kajian Hukum &
Keadilan Vol. 1 Nomor 2, 2017, h.3
60
sanksi administratif. Keseluruhan sanksi administratif dan jalur perdata yang
dipakai dan diselaraskan dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa yang
mengandung materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya undang-undang,
perda provinsi dan perda kabupaten/kota. Maka berdasarkan hal tersebut
merupakan suatu urgensi untuk segera disahkannya RUU Perlindungan Data
Pribadi untuk mengikat para penyelenggara P2PL dan fintech lainnya supaya
memiliki cakupan yang lebih masif jangkauannya serta dapat dikenakan kepada
fintech yang ilegal.29
Hak perlindungan data pribadi merupakan perkembangan dari hak untuk
menghormati kehidupan pribadi atau disebut the right to private life.30 Hak
perlindungan data pribadi masuk ke dalam perlindungan hukum yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah dalam hal apapun. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Hak pribadi mengandung
pengertian sebagai berikut:
1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas
dari segala macam gangguan.
2. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain
tanpa tindakan meamta-matai.
3. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang
kehidupan pribadi dan data seseorang.
Dengan tidak adanya undang-undang terkait dengan perlindungan data
pribadi, maka selain tidak adanya efek jera dikarenakan hanya diatur dalam
peraturan menteri yang memiliki sanksi administratif, fintech ilegal pun tidak
dapat dijangkau dan para penyelengara P2PL ilegal akan berdalih bahwa tidak
ada aturan yang dapat mengikat mereka serta pemerintah tidak dapat melakukan
apapun atas pelanggaran tersebut. Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data
29 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2 30 Sinta Dewi Rosadi & Garry Gumelar Pratama, Perlindungan Privasi dan Data Pribadi
Dalam Era Ekonomi Digital Di Indonesia, (Bandung : Jurnal Hukum Veritas Et Justitia, 2018), h.
94
61
Pribadi sangat diperlukan untuk generalisasi, mengingat undang-undang
merupakan salah satu produk hukum dari salah satu lembaga trias politica yakni
legislatif dan undang-undang sebagai formell gesetz yang didalamnya memiliki
norma-norma yang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan
terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma
hukum dalam undang-undang tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal,
tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang
berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma
hukum primernya, dengan demikian dalam suatu undang-undang sudah dapat
dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa.31
B. Analisis Investasi Asing Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia Nomor 177 Tahun 2018
P2PL berbasis syariah diperbolehkan berdasarkan Pasal 11 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 dan terdapat dalam checklist
pendaftaran dan checklist perizinan mengenai model bisnis. Pada dasarnya tidak
ada perbedaan permodalan dalam investasi asing antara fintech P2PL
konvensional dengan fintech P2PL syariah di Indonesia. Penyelenggara P2PL
yang ingin menjalankan model bisnis syariah, harus memenuhi fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. Karena
selain berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016,
penyelenggara P2PL syariah juga berpedoman pada Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 177/DSN-MUI/II/2018
tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah. AFSI yang merupakan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia
yang bergerak di bidang fintech P2PL, akan tetapi untuk penyelenggara P2PL
yang ingin terdaftar harus mendaftarkannya ke AFPI, dan AFSI hanya sebagai
salah satu wadah untuk fintech P2PL syariah serta AFSI yang turut serta
31 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
(Jakarta: Kanisius, 2013), h. 52
62
bergabung ke dalam AFPI untuk integrasi market conduct.32 Karena AFPI
merupakan satu-satunya asosiasi yang ditunjuk oleh OJK.
Dalam presentasi Dr. Oni Sahroni, terkait dengan Fatwa DSN-MUI No.
117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi
Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, bahwa para pihak wajib mematuhi
pedoman umum sebagai berikut :
1. Penyelenggara Layanan Pinjam Pembiayaan berbasis teknologi informasi
tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, yaitu antara lain terhindar
dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram;
2. Akad Baku yang dibuat Penyelenggara wajib memenuhi prinsip
keseimbangan, keadilan dan kewajaran sesuai syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Akad yang digunakan oleh para pihak dalam penyelenggaraan layanan
pembiayaan berbasis teknologi informasi dapat berupa akad-akad yang
selaras dengan karakteristik layanan pembiayaan, antara lain akad al-bai’,
ijarah, mudharabah, musyarakah, wakalh bi al ujra, dan qardh;
4. Penggunaan tanda tangan elektronik dalam sertifikat elektronik yang
dilaksanakan oleh Penyelenggara wajib dilaksanakan dengan syarat
terjamin validitas dan autentifikasinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
5. Penyelenggara boleh mengenakan biaya (ujrah/rusum) berdasarkan prinsip
ijarah atas penyediaan sistem dan sarana prasarana Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi; dan
6. Jika informasi pembiayaan atau jasa yang ditawarkan melalui media
elektronik atau diungkapkan dalam dokumen elektronik berbeda dengan
kenyataannya, maka pihak yang dirugikan memiliki hak untuk tidak
melanjutkan transaksi.33
32 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 27 November
2019 di Wisma Mulia 2 33 Oni Sahroni, Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018,
dipresentasikan pada 3rd Annual Islamic Finance Conference 5 Juli 2018. Diakses pada tanggal 16
Desember 2019 dari https://fiskal.kemenkeu.go.id/aifc2018/seminar-files/
63
Pada fintech P2PL setidaknya terdapat enam jenis akad yang
diperbolehkan34 :
1. Al-bai’ (jual-beli) yaitu akad antara penjual dan pembeli yang
mengakibatkan berpindahnya kepemilikan obyek yang dipertukarkan
(barang dan harga).
2. Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau
jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran ujrah atau upah.
3. Mudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal
(shahibu al maaf) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola
(‘amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai
nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh
pemilik.
4. Musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana/modal
usaha (ra’s al maf) dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai
nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian
ditanggung oleh para pihak secara proporsional.
5. Wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah
(upah).
6. Qardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa
penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai
dengan waktu dan cara yang disepakati.
Mekanisme fintech P2PL syariah pada dasarnya sama dengan fintech
P2PL konvensional, karena masih dalam satu payung hukum yakni Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016, akan tetapi terdapat
penyesuaian mekanisme dan nomenklatur berdasarkan Fatwa DSN-MUI
Nomor 117 Tahun 2018, sebagai berikut :
34 Muchamad Januar Rizki, Ada Fintech Syariah, Bagamaina Payung Hukumnya?. Diakses
pada tanggal 19 Desember 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ce64abd0e1bc/ada-fintech-syariah--bagaimana-
payung-hukumnya/
64
1. Calon penerima pembiayaan atas dasar pengajuan pembiayaan kepada
penyelenggara P2PL;
2. Atas dasar pengajuan pembiayaan pada angka 1, penyelenggara P2PL
melakukan penawaran kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai
pengajuan tersebut;
3. Dalam hal calon pemberi pembiayan menyetujui penawaran pada angka 2,
dilakukan akad wakalah bi al-ujrah antara penyelenggara P2PL dengan
pemberi pembiayaan;
4. Penyelenggara melakukan pembiayaan dengan penerima pembiayaan
berdasarkan akad jual-beli, musyarakat, atau mudharabah;
5. Penerima pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi
hasil) sesuai dengan kesepakatan dalam akad;
6. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi
hasil) kepada pemberi pembiayaan.35
Salah satu praktik yang dilarang dalam fatwa DSN-MUI Nomor 117
Tahun 2018 adalah gharar yang terdapat dalam Surah al baqarah ayat 188 :
لكم بينكم بٱلبطل وتدلوا بها موكلوا أ
ول تأ
ن أ كلوا فريقا م
م لأ ل ٱلنااس إل ٱلكا مو
نتم تعلمون ثم وأ بٱل
Artinya : “Dan janganlah (saling) memakan harta diantara kalian dengan
(cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim
(untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan
sebagahian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.”
Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa apabila melakukan perniagaan
kita mestinya harus dilakukan suka sama suka agar tidak ada yang dirugikan.
Gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan
35 Oni Sahroni, Fatwa Desan Syariah Nasional-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018,
dipresentasikan pada 3rd Annual Islamic Finance Conference 5 Juli 2018. Diakses pada tanggal 16
Desember 2019 dari https://fiskal.kemenkeu.go.id/aifc2018/seminar-files/
65
pihak lain. suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada
kepastian, baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah
maupun menyerahkan objek akad tersebut.36 Dalam Fatwa DNS-MUI Nomor
117 Tahun 2018, gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik
mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya.
Akad dalam fatwa DSN-MUI sangat diperhatikan karena akad yang
menentukan syariah untuk pertama kali. Akad wakalah bi ujrah sebagai akad
pertama dalam hal penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi karena akad wakalah dilakukan antara penyelenggara P2PL
dengan pemberi pinjaman. Akad wakalah tegaskan dalam surah al kahfi ayat
19:
نهم كم لثتم قالوا لثنا يوما وكذلك بعثنهم لتساءلوا بينهم قال قائل م قالوا و بعض ي أ وم
حدكم بورقكم علم بما لثتم فٱبعثوا أ
ه ربكم أ ي
زك طعاما هذهۦ إل ٱلمدينة فلينظر أ
ا أ
ف ول يشعرنا بكم نه ولتلطا تكم برزق م فليأ
حدا أ
Artinya : “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling
bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka:
sudah berapa lamakah kamu berada (disini)”. Mereka menjawab “kita berada
(disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (kepada yang lain lagi: “Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (disini). Maka suruhlah
salah seorang diantara kamu untuk pergio ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah ia membawa makanan untukmu dan hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.”
36 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004),
h. 147
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis yang telah dilakukan, maka
dapat ditarik kesimpulan dari pokok permasalahan yang telah dikemukakan
dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Pengaturan regulasi investasi asing terkait dengan peer to peer lending
cukup baik terkait dengan penanaman modal tidak adanya pembedaaan satu
sama lain. hanya terkait dengan pusat data dan pusat pemulihan bencana
yang menjadi faktor penghambat penanaman modal asing.
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 yang dibuat secara
mendesak menjadikan substansi atau materi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tersebut menjadi kurang maksimal yang menyebabkan tidak
dapat menjangkau hal-hal yang dilakukan oleh fintech P2PL ilegal sehingga
implementasi atau manifestasi POJK Nomor 77 Tahun 2016 masih jauh dari
apa yang diharapkan atau das sollen.
B. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan di bab empat dan kesimpulan di bab lima,
maka peneliti akan memberikan rekomendasi atas hal-hal yang dianggap perlu
untuk memperbaiki permasalahan tersebut, yaitu :
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 harus segera
direvisi untuk mencakup penyelenggara P2PL secara keseluruhan dan
substansi lebih jelas. Atau membuat undang-undang tentang fintech agar
dapat menjadi satu kesatuan dan memberikan perlindungan hukum yang
lebih merata.
2. OJK selaku satu-satunya regulator untuk fintech P2PL harus melakukan
sinergi yang lebih baik dengan institusi atau pihak manapun, seperti
terobosan OJK ke depan untuk meningkatkan peranan Asosiasi Fintech
67
Pendanaan Bersama Indonesia supaya OJK pun memiliki asosiasi yang
memang dapat besanding dengan baik bersama OJK.
3. Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi harus segera
disahkan atau dibahas dengan lebih komprehensif supaya dapat diterapkan
mengingat dinamisnya teknologi sebagai bagian dari 4.0.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chisti, Susanne dan Janos Barberis. The Fintech Book: The Financial Technology
Handbook For Investors, Entrepreneurs and Visionaries. Cornwal: Great
Britain. 2016
Corcoran, Derek. An Overnight Success, 13 Years In The Making, dalam Susanne
Chishti & Janos Barberis, The Fintech Book: The Financial Technology
Handbook For Investors, Entrepreneurs and Visionaries. Cornwal: Great
Britain. 2016,
Farida, Maria Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta:
Kanisius. 2010.
-------------------------------------------, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan. Jakarta: Kanisius. 2013
Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 1997
Hartono, C.F.G Sunarjati. Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman
Modal Asing di Indonesia. Bandung: Binatjipta. 1972
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
2004
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. 2003
Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
2017
Kairupan, David. Aspek Penanaman Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group. 2013
Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.
2005
Moonti, Usman. Bahan Ajar Mata Kuliah Dasar-Dasar Koperasi. Yogyakarta:
Interpena Yogyakarta. 2016
Nicoletti, Bernardo. The Future Of Fintech. Switzerland: Springer Nature. 2017
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000
Redi, Ahmad. Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta:
Sinar Grafika Offset. 2001
69
Roppke, Jochen. Kebebasan Yang Terhambat: Perkembangan Ekonomi dan
Perilaku Kegiatan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1986
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset. 2011
Sunny, Ismail dan Rudioro Rochmat. Tinjauan dan Pembahasan UU PMA dan
Kredit Luar Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. 1967
Suparji, Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia. Jakarta: Universitas Al
Azhar Indonesia. 2010
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
Supanca, Ida Bagus Rahmadi. Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung
Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2006
Tutik, Tititk Triwulan, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher. 2006
Wie, Thee Kian. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an.
Jakarta: Kompas. 2005
Jurnal
Adha, Lalu Hadi. Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan
Pemerintah Dengan Pihak Swasta. Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman, 2011.
Baihaqi, Jadzil. Financial Technology Peer to Peer Lending Berbasis Syariah Di
Indonesia. Kudus: Institut Agama Islam Negeri Kudus, 2018
Khalid, Afif. Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia. Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Banjarmasin, 2014
Pramana, I Wayan Bagus. Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi
Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technologi Jenis Peer
to Peer Lending. Bali: Universitas Udayana, 2018
Pratiwi, Puspa. Kerjasama Garuda Food Indonesia Dengan Suntory Beverage And
Food Dalam Bidang Industri Makanan Dan Minuman Ringan Di
Indonesia. Riau: Universitas Riau, 2016
Pribadino, Agus. Transportasi Online VS Transportasi Tradisional Non-Online
Persaingan Tidak Sehat Aspek Pemanfaatan Aplikasi Oleh Penyelenggara
Online. Jakarta: Universitas Esa Unggul, 2016
70
Rosadi, Sinta Dewi dan Garry Gumelar Pratama, Perlindungan Privasi dan Data
Pribadi Dalam Era Ekonomi Digital Di Indonesia. Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 2018.
Sina, Peter Garlans. Wealth Management Untuk Pensiun Yang Sejahtera.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2015.
Soedibyo, Anthonius Adhi. Kedudukan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa
Keuangan Berdasarkan Perundang-Undangan Terhadap Produk
Perbankan. Surabaya: Universitas Dr. Soetomo, 2018
Syahyu, Yulianto. Pertumbuhan Investasi Asing di Kepulauan Batam: Antara
Dualisme Kepemilikan Hukum. Bali: Universitas Pendidikan Nasional,
2003
Yulianto, Ahmad. Peranan Mulitlateral Invesment Guarantee Agency (MIGA)
dalam kegiatan Investasi. Bali: Universitas Pendidikan Nasional, 20003
Internet / Artikel
Accenture. Fintech and The Evolving Landscape: Landing Points For The Industry.
Diakses pada tanggal 2 September 2019 dari https://s24708.pcdn.co/wp-
content/uploads/2017/05/Fintech_Evolving_Landscape_2016.pdf
Alamsyah, Purnama. Reportase Startup Indonesia 2010. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia/LIPI. 201. Diakses pada tanggal 1 mei 2019 dari
https://id.scribd.com/doc/52816348/Reportase-Startup-Indonesia-2010
Arner, Douglas, dkk. The Evolution Of Fintech: A New Post-Crisis Paradigm,
University of Hongkong Faculty of Law. Research Paper No. 2015/047.
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/313365410_The_Evolution_of
_Fintech_A_New_Post-Crisis_Paradigm
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Buletin APJII. (Edisi 33, 2019).
Diakses pada tanggal 9 Agustus 2019 dari
https://apjii.or.id/content/read/104/398/BULETIN-APJII-EDISI-33---
Januari-2019
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Buletin APJII. (Edisi 40, 2019).
Diakses pada tanggal 9 Agustus 2019 dari
https://apjii.or.id/content/read/104/398/BULETIN-APJII-EDISI-33---
Januari-2019
Bakker, Evan. Peer to Peer Lending: How Digital Lending Marketplaces Are
Disrupting The Predominant Banking Model. Diakses pada tanggal 11
September 2019 dari https://www.businessinsider.com/peer-to-peer-
71
lending-how-digital-lending-marketplaces-are-disrupting-the-
predominant-banking-model-2015-5?IR=T
Bank Indonesia. Teknologi Finansial. https://www.bi.go.id/id/sistem-
pembayaran/fintech/Contents/default.aspx
Clayton Christensen Institute, Disruptive Innovation. Diakses pada tanggal 21
Agustus 2019 dari https://www.christenseninstitute.org/disruptive-
innovations/
Christensen, Clayton, dkk. What Is Disruptive Innovation?. Diakses pada tanggal
21 Agustus 2019 dari https://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-
innovation
Daily Socialid. Perusahaan Teknologi Bidang Hukum Inisiasi Pendirian Asosiasi
Regtech dan Legaltech Indonesia. Diakses pada tanggal 2 September
tahun 2019 dari https://dailysocial.id/post/asosiasi-regtech-dan-legaltech-
indonesia
DetikInet. Kominfo Jawab Kritik Soal Aturan Transaksi Elektronik. Diakses pada
tanggal 10 Desember 2019 dari https://inet.detik.com/law-and-policy/d-
4771928/kominfo-jawab-kritik-soal-aturan-transaksi-elektronik
Fintech Indonesia. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2019 dari
https://fintech.id/about-us/
Google dan Temasek. E-conomy SEA 2018: Southeast Asia’s Internet Economy.
Diakses pada tanggal 23 Agustus 2019 dari
https://www.thinkwithgoogle.com/qs/documents/6730/Report_e-
Conomy_SEA_2018_by Google _Temasek_v.pdf
Google Play, Google Play Developer Distribution Agreement. Diakses pada tanggal
29 November 2019 dari https://play.google.com/about/developer-
distribution-agreement.html
Google Play Console. Diakses pada tanggal 29 November 2019 dari
https://play.google.com/apps/publish/signup/
Harahap, Berry A, dkk. Perkembangan Financial Technology Terkait Central Bank
Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Dan
Makroekonomi. BI Institute. Di akses pada tanggal 10 September 2019
dari https://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Pages/WP-2-2017.aspx
Indonesia.Go.Id. Portal Informasi Indonesia. Diakses pada tanggal 12 September
2019 dari https://www.indonesia.go.id/profil/agama
Jojonomic, https://jojonomic.com/
Karakter dan Perkembangan Bisnis Startup di Indonesia. Diakses pada tanggal 1
Mei 2019 dari https://www.jurnal.id/id/blog/2017-karakter-dan-
perkembangan-bisnis-startup-di-indonesia/
72
Kasali, Rhenald. Rumah Perubahan. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2019 dari
http://www.rumahperubahan.co.id/wp-
content/uploads/Brosur_Rumah_Perubahan_2016.pdf
Klik Mania. Cara Mempublikasikan Aplikasi Sendiri Ke Google Play Store
Terbaru. Diakses pada tanggal 29 November 2019 dari
https://www.klikmania.net/cara-mempublikasikan-aplikasi-ke-google-
play-store/
Kontan. Langgar Keimigrasian, OJK Cabut Status Terdaftar Fintech Danakita.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2019 dari
https://keuangan.kontan.co.id/news/langgar-keimigrasian-ojk-cabut-
status-terdaftar-fintech-danakita
Kompas, Fintech 2.0 dan 3.0, Apa Bedanya?. Diakses pada tanggal 27 Desember
2019 dari
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/25/183423826/fintech-20-
dan-30-apa-bedanya
KPMG. 2018 Fintech100: Leading Global Fintech Innovators. Diakses pada
tanggal 28 Agustus 2019 dari https://h2.vc/wp-
content/uploads/2018/11/Fintech100-2018-Report_Final_22-11-18sm.pdf
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Laporan Tindak Pidana Korban Pinjaman
Online. Diakses pada tanggal 27 November 2019 dari
https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-
pinjol/
Maurer, Tim. Level: Can A Budgeting App Change The Way We Bank?. Diakses
pada tanggal 4 September 2019 dari
https://www.forbes.com/sites/timmaurer/2015/05/22/level-can-a-
budgeting-app-change-the-way-we-bank/#7b5a56d27b93
Mukhti, M. F. Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia. Diakses pada tanggal
3 Oktober 2019 dari https://historia.id/politik/articles/riwayat-masuknya-
modal-asing-ke-indonesia-DWVy1
Nizar, Muhammad Afdi. Teknologi Keuangan (Fintech) : Konsep dan
Implementasinya Di Indonesia. Diakses pada tanggal 3 September 2019
dari
https://www.researchgate.net/publication/323629323_Teknologi_Keuang
an_Fintech_Konsep_dan_Implementasinya_di_Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan. Fintech Lending Ilegal vs Fintech Lending
Terdaftar/Berizin. Diakses pada tanggal 16 Desember 2019 dari
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/fintech/Documents/Fintech%20Lending%20Legal%20
vs.%20Ilegal.pdf#search=microphone
73
Otoritas Jasa Keuangan. OJK Batalkan Tanda Terdaftar 5 Penyelenggara Fintech.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2019 dari
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-
Batalkan-Tanda-Terdaftar-5-Penyelenggara-Fintech-.aspx
Otoritas Jasa Keuangan. Siaran Pers Nomor SP 05/VII/SWI/2019. Otoritas Jasa
Keuangan dan Bareskrim Polri Sepakat berantas Fintech Peer to Peer
Lending ilegal dan Investasi ilegal. Diakses pada tangal 29 November
2019 pada pukul https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-
pers/Pages/Siaran-Pers-OJK-dan-Bareskrim-Polri-Sepakat-Berantas-
Fintech-Peer-To-Peer-Lending-Ilegal-dan-Investasi-Ilegal.aspx
Otoritas Jasa Keuangan. Perlindungan Konsumen Pada Fintech. Diakses pada
tanggal 11 September 2019 dari
https://konsumen.ojk.go.id/MinisiteDPLK/images/upload/201807131451
262.%20Fintech.pdf
Otoritas Jasa Keuangan. OJK Tolak dan Batalkan Tanda Terdaftar Danakita.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2019 dari
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-
Tolak-Permohonan-Izin-dan-Batalkan-Tanda-Terdaftar-Danakita.aspx
Rizky, Muchamad Januar Rizki. Ada Fintech Syariah, Bagamaina Payung
Hukumnya?. Diakses pada tanggal 19 Desember 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ce64abd0e1bc/ada-fintech-
syariah--bagaimana-payung-hukumnya/
Rizky, Mochamad Januar. Untung Rugi Penempatan Data Center Di Indonesia.
Diakses pada tanggal 1 mei 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bec14072274b/untung-
rugi-penempatan-data-center-di-dalam-negeri
Rosyadi, Slamet. Revolusi Industri. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019
dari
https://www.researchgate.net/publication/324220813_REVOLUSI_IND
USTRI_40
Schlechtendahl, Jan, dkk. Making Existing Production Systems Industry 4.0- ready.
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.researchgate.net/publication/267271828_Making_existing_p
roduction_systems_Industry_40-ready
Tirto. OJK: Penagihan Fintech Legal Tak Sesuai Aturan Bisa Dicabut Izinnya.
Diakses pada tanggal 27 November 2019 dari https://tirto.id/ojk-
penagihan-fintech-legal-tak-sesuai-aturan-bisa-dicabut-izinnya-ee4J
Tobing, Letezia. Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Diakses
pada tanggal 10 Desember 2019 dari
74
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509fb7e13bd25/lex-
spesialis-dan-lex-genralis/
Volker, Paul. The Only Thing Useful Banks Have Invented in 20 Years Is The ATM.
Diakses pada tanggal 22 Agustus 2019 dari
https://nypost.com/2009/12/13/the-only-thing-useful-banks-have-
invented-in-20-years-is-the-atm/
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan
Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan
Transaksi Elektronik
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 117 Tahun 2018
Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah
Workshop / Seminar Yang Dipublikasikan :
Gunadi, Widyo. Regulasi Fintech Pada Era Industri 4.0. 9 Nopember 2018.
Indonesia: Politeknik Negeri Surabaya
Hadad, Muliaman D. Financial Technology (Fintech) di Indonesia. 2 Juni 2017.
Indonesia: Indonesia Banking School (IBS)
75
Sahroni, Oni. Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018.
5 Juli 2018. Indonesia: 3rd Annual Islamic Finance Conference 5 Juli 2018.
Skripsi / Tesis
Cao, Wen. “Fintech Acceptance Research in Finland – Case Company Plastc.”
Tesis S-2 Program Information and Service Economy. Aalto University.
2016
Febriani, Nurul. “Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Perkembangan Financial
Technology (Studi pada 3 Perusahaan Financial Technoloogy Di
Indonesia). Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas
Pasundan Bandung. 2018
Hasanudin, Aminuddin. “Perusahaan Joint Venture Dalam Penanaman Modal
Asing di Indonesia.” Tesis S-2 Fakultas Hukum. Universitas Indonesia.
2010
Truong, Oanh. “How Fintech Industry Is Changing The World.” Tesis S-2 Program
Bisnis Management. Centria University. 2016.
Yusuf, Muhammad. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan
Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology. Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2019
Audiensi & Interview
Audiensi dan Interview Bersama Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan
Pengawasan Financial Technology (DP3F) dengan Bapak Irfan Nurhadi
Satria, Gedung Wisma Mulia 2 II (OJK), 27 November 2019
Audiensi dan Interview Bersama Pengurus Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), Kantor AFPI Centenial Tower, 18 November 2019
76
LAMPIRAN
77
78
Lampiran Tanya-Jawab
Otoritas Jasa Keuangan
1. Berdasarkan penjelasan umum POJK 77 Tahun 2016, bahwa dibuatnya
aturan tersebut sebagai kondisi yang mendesak, mendesak yang seperti
apa yang gambarkan oleh OJK?
Bahwa aturan OJK ini dibuat karena Penyelenggara p2pl sudah banyak dan
untuk melindungi para pengguna platform yang telah melakukan transaksi,
namun POJK ini masih banyak kekosongan sehingga diatur lebih lanjut dalam
checklist saat pendaftaran dan perizinan serta dalam Surat Edaran OJK. POJK
77 Tahun 2016 sedang dilakukan rancangan perubahan supaya dapat
mengakomodir lebih baik para Penyelenggara. Karena fintech p2pl ini telah
banyak membantu UMKM, mengingat ada 5C dalam bank yang membuat
peminjam sulit untuk mendapatkan dana segar dari bank dan di p2pl ini tidak
memerlukan jaminan.
2. Menurut OJK, apakah sudah maksimal Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informasi Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik? Kalau belum, apakah ini merupakan salah satu
urgensi untuk disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi
UU data Pribadi memang diperlukan untuk lebih mengikat para penyelenggara
dan fintech lainnya supaya memiliki cakupan aturan yang lebih masif
jangkauannya, jadi dapat dikenakan kepada fintech-fintech yang ilegal, karena
saat ini fintech ilegal tidak tersentuh oleh OJK ataupun Asosiasi.
3. OJK menunjuk AFPI sebagai Asosiasi untuk Penyelenggara P2PL
berdasarkan S-5/D.05/2019, apa yang melatarbelakangi atau mendasari
Surat tersebut?
Saat pemilihan AFPI sebagai Asosiasi, pada dasarnya OJK melihat bahwa
hanya AFPI yang dapat menjadi asosiasi untuk mewadahi para penyelenggara
disaat ada AFTECH dan AFSI (Asosiasi Fintech Syariah Indonesia). Apabila
dilihat dari ketiga asosiasi tersebut, AFPI merupakan asosiasi yang
memfokuskan pada p2pl Selain dari nama dan pemfokusan terhadap
79
pembiayaan. Maka akibat dari keputusan ini, keseluruhan Penyelenggara P2PL
harus terdaftar di AFPI bahkan penyelenggara p2pl syariah sekali pun. Dalam
praktiknya, pihak AFSI ikut bergabung atau terlibat dengan AFPI untuk
integrasi market conduct.
4. Adakah penyelenggara LPMUBTI yang melanggar aturan-aturan terkait
dengan POJK atau aturan lainnya? Kalau ada, siapa dan pelanggaran apa
saja?
Ada, pada dasarnya apabila terdapat pengaduan baik oleh AFPI atau OJK,
kedua institusi tersebut memiliki 2 cara yang berbeda. Yang melanggar terdapat
dalam berita di web OJK.
5. Adakah penyelenggara P2PL yang telah dikenai sanksi oleh OJK? Apakah
setelah adanya putusan majelis etika, maka OJK yang akan mengenai
sanksi?
Ada yang telah melanggar, dan sanksi bersifat administratif. Dan OJK tidak
langsung dapat mencabut izin usaha, ada hak dan kewajiban dari para pengguna
dan penyelenggara yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Penyelenggara
yang terdaftar pun ada yang melanggar dan telah dikembalikan bukti
pendaftaran oleh OJK.
6. SATGAS Waspada Investasi mempunyai tugas untuk hal-hal yang ilegall,
sudah berapa banyak Penyelenggara LPMUBTI yang telah diblokir? Dan
kebanyakan perihal apa saja?
Total entitas fintech lending ilegal yang ditangani Satgas Waspada Investasi
sampai dengan 31 Oktober 2019 sebanyak 1.369 entitas sedangkan total yang
telah ditangani Satgas sejak tahun 2018 s.d. 31 Oktober 2019 sebanyak 1.773
entitas fintech lending ilegal
7. Pasal 25 POJK 77/2016, Pusat data dan pusat pemulihan bencana wajib
ditempatkan di Indonesia. Dengan adanya PP Nomor 71 Tahun 2019
tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik, apakah
sejalan PP tersebut dengan POJK terkait dengan pusat data dan pusat
pemulihan bencana?
80
Hal-hal yang diatur dalam POJK merupakan lex specialis, karena yang diatur
dalam UU atau PP merupakan hal umum yang memiliki arti bukan hanya untuk
p2pl lending saja. Penyelenggara tetap harus menempatkan pusat data di
Indonesia.
8. Apa saja terobosan dari OJK kedepan terhadap iklim investasi P2PL ini?
OJK ingin memperkuat peran asosiasi, sehingga asosiasi lebih mempunyai
kewenangan yang lebih banyak. Mengingat OJK telah mengurus keseluruhan
mulai dari pendaftaran, perizinan dan lain sebagainya. Jadi Asosiasi diperkuat
supaya ada check and balances yang tercipta. Karena pada kenyataannya bahwa
asosiasi yang lebih mengetahui kebutuhan pasar daripada OJK yang memang
regulator.
Lebih concern untuk memberikan masukan ke pemerintah mengenai
pembentukan UU Fintech, supaya OJK atau lembaga lain mempunyai ruang
gerak yang lebih banyak dan lebih memadai. Mengingat adanya teror,
intimidasi atau tindakan tidak menyenangkan lainnya yang mengancam para
pengguna P2PL ilegal.
81
Lampiran Tanya-Jawab
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
(AFPI)
1. OJK menujuk asosiasi untuk penyelenggara P2PL dalam hal ini ialah
AFPI berdasarkan S-5/D.05/2019, apa yang melandasi atau
melatarbelakangi AFPI sebagai mitra strategis OJK?
Pertama, saat pembentukan Departemen Fintech OJK bahwa OJK telah
menentukan bahwa Industri ini akan lebih banyak dilakukan sesuai dengan
market conduct (perilaku pasar), karena harapan OJK supaya ketentuan dan
prakteknya berdasarkan apa kebutuhan Industri, seperti dari Industri dan untuk
Industri. Dari OJK bahwa ketentuan POJK yang ada hanya mengatur secara
garis besar atau framework akan tetapi secara teknis diserahkan kepada AFPI
yang dalam hal ini mengeneralisasi market conduct dari para Penyelenggara
P2PL. Alasan yang melandasi karena kebutuhan OJK sendiri untuk
mempraktekan market conduct yakni AFPI. Bahwa AFPI secara fungsi berada
dibawah AFTECH yang mana membernya sebanyak 50% anggotanya yakni
P2PL. dan secara OJK pun fungsi yang membawahi P2PL hadir berdiri sendiri
dan untuk mempermudah kordinasi maka AFPI dipisah sendiri. Kalau untuk
selain P2PL berada di bawah OJK IKD, untuk P2PL berada di Departemen
Fintech.
2. Apa saja yang menjadi syarat untuk penyelenggara P2PL dapat menjadi
anggota AFPI dan prasyarat yang diberikan oleh AFPI untuk terdaftar
atau terizin di OJK? Apakah sama untuk Penyelenggara P2PL Asing?
Pertama, harus telah terdaftar di OJK, lalu harus terdaftar di AFPI. Prasyarat
untuk terdaftar sebagai terdaftar dan terizin di OJK secara garis besar,
dichecklist pendaftaran untuk OJK yang mana salah satunya adalah
rekomendasi dari AFPI. Maka saat ingin mendaftar Penyelenggara harus
mendapatkan rekomendasi dari AFPI. Proses di AFPI agar bisa dirilis surat
rekomendasi, penyelenggara harus ikut seminar dan sertifikasi dasar mengenai
Fintech P2PL yang diwajibkan untuk seluruh direksi, komisaris dan pemegang
82
saham. Dan harus LULUS. Selanjutnya kelengkapan legal dokumen di AFPI
yang lebih mudah/simple dari OJK, lalu dipanggil penyelenggara untuk
audiensi terkait pengecekan rekam jejak. OJK memandatkan kepada AFPI
bahwa mereka ingin semua platform yang terdaftar di OJK atau AFPI dapat
diketahui oleh Member AFPI yang telah ada dan semua penyelenggara dapat
melihatnya. Sehingga apabila ada seseorang yang telah dipecat Perusahaan
P2PL yang dilarang dan kemudian membuka usaha P2PL, dan hal tersebut
dapat dijadikan rekam jejak kemudian diblacklist orang tersebut. OUTPUT
Rekam jejak dikirim via email, dan apabila tidak mempunyai rekam jejak yang
dicheck selama rekam jejak, maka dapat dikeluarkan surat rekomendasi.
Surat rekomendasi dapat diserahkan kepada OJK dan KOMINFO, karena
Kominfo telah meminta untuk kerjasama AFPI untuk keseluruhan Platform
harus mendapatkan PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) atau tanda
pengenal bahwa mereka (penyelenggara) merupakan penyelenggara berbasis
sistem elektronik dan di Kominfo hanya sekedar pendaftaran saja, input nama
PT dan kelompok bisnis, maka dapat dikeluarkan PSE. Mereka dikhawatirkan
dari yang sudah diberikan PSE ternyata membuat platform P2P ilegal, maka
setelah platform tersebut telah berproses di AFPI dan saat AFPI ingin
mengeluarkan surat rekomendasi maka AFPI akan kontak ke kominfo bahwa
PSE dapat diterbitkan. PSE dan rekomendasi tersebut bersama dengan checklist
lainnya untuk mendapatkan tanda terdaftar di OJK.
3. Menurut AFPI, apakah sudah maksimal Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informasi Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
Dalam Sistem Elektronik? Kalau belum, apakah ini merupakan salah satu
urgensi untuk disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi?
Urgensi RUU. Karena yang membedakan legal dan illegal terkait dengan akses
data. Jangan sampai ilegal beralasan bahwa mereka tidak terdaftar di OJK, maka
hal ini dapat diakses, maka UU dibutuhkan untuk mencakup keseluruhan
Penyelenggara P2PL baik legal dan ilegal selama bisnisnya berkaitan dengan
sistem elektronik dan ada pengaksesan data nasabah maka harus tunduk ke
perlindungan data pribadi.
83
4. Bunga 0,8% perhari yang telah ditetapkan oleh AFPI, apakah batas bunga
ini sesuai dengan Pasal 17 Ayat (1) POJK 77 Tahun 2016 yang
mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian
nasional yang diukur dengan inflasi atau kepentingan nasional?
Hitungannya terdapat kajian terdahulu yang refers terhadap praktek yang ada.
Di luar Indonesia berkaca dari P2PL yang berkembang pesat di Inggris dan U.S.
dan ternyata kondisi Indonesia lebih relate ke Inggris, akan tetapi dalam waktu
dekat akan dikaji kembali terkait dengan angka bunga ini, apakah angka ini
masih relate dengan kondisi ekonomi, inflasi, makro ekonomi, jumlah
borrowers, jumlah transaksi yang akan mempengaruhi hal ini.
5. Terkait dengan PUSDAFIL, apakah para Penyelenggara P2PL dapat
mengaksesnya sebagai langkah preventif?
Pusat Data Fintech Lending, nantinya akan dimiliki oleh OJK, server dan data
berada di OJK. Fintech Data Center akan ada di AFPI, hanya untuk BI Checking
atau SLIK terhadap transaksi Borrower, terdapat gagal bayar atau tidak dan
telah minjam berapa banyak platform. Sistemnya sama, yang berbeda hanya
aksesnya. Kalau OJK dari data yang disubmit oleh penyelenggara, maka OJK
dapat melakukan apapun dari data tersebut atau supervisi untuk melakukan
transaksi
6. Dengan dipilihnya AFPI sebagai asosiasi yang ditunjuk oleh OJK, sinergi
dalam bentuk apa diantara AFPI dan OJK?
Terkait kebijkan, kedepan OJK mengharapkan AFPI dapat mensupport update
riset terkait dengan kebutuhan industri yang hadir dengan solusi, dapat dilihat
masalah-masalah di lapangan. AFPI mensolusikan kepada OJK atau proaktif
untuk membantu OJK dalam meregulasi Fintech P2PL.
7. Terakhir, apa terobosan AFPI ke depan terhadap iklim investasi P2PL
ini?
Terbosan lebih kearah bagaimana AFPI memerangi Fintech p2pl ilegal yang
harus dilihat berbagai sisi salah satunya masyarakat. Literasi dan edukasi
masyarakat masih rendah, dan difokuskan kesana baik AFPI dan OJK untuk
melakukan literasi sosialisasi ke beberapa daerah yang telah ditunjuk yang
84
berupa informasi yang transparan. Masyarakat harus aware bahwa diplatform
tersebut berapa biaya yang dikenakan, suku bunganya dan layanan untuk apa
saja. Hal ini telah diminta oleh OJK untuk ditampilkan oleh penyelenggara.
Agar terhindar dari hidden cost yang tiba tiba setelah minjam dikenakan
bunga yang unormal. Terkait maslaah pinjaman, adakah customer service dan
adakah kantornya.
8. Adakah Penyelenggara yang mendapatkan teguran dsbnya?
Teguran pertama berupa teguran tertulis dari AFPI langsung ke Penyelenggara,
apabila telah direspon dengan itikad baikmaka sudah selesai. Dan AFPI
memberitahukan ke OJK terkait dengan putusan OJK Level 3 telah disebarkan
ke luar dan merupakan hal yang fatal. Atau dapat disebarkan ke media.
AFPI melakukan random checking dari beberapa platform atau dari pengaduan,
dan dilihat apa ada yang melanggar pedoman perilaku atau tidak. Dan apabila
ada, langsung disurati dan telah dikonfirmasi serta disesuaikan langsung oleh
P2PL, maka sudah selesai. Semua harus dikonfirmasi sebagai kesatuan asas
praduga tidak bersalah. Dan apabila tetap melanggar, maka akan diberikan
teguran. eseluruhan putusan Majelis Etika harus dinoticed ke OJK.
Untuk saat ini sudah jarang penyalahgunaan pedoman perilaku, lebih banyak
saat awal-awal yang disebabkan oleh pemahaman yang berbeda dan AFPI lebih
mengedukasi dengan seminar seperti penghitungan biaya, bunga yang
dikenakan, apa saja yang boleh dan tidak boleh. Dan seiring adanya seminar
dan sertifikasi telah menurun. apabila ada yang melanggar hanya sedikit dan
diinfokan oleh AFPI dan langsung disesuaikan.
9. Adakah rencana keikuksertaan AFPI untuk aturan p2pl?
OJK telah mendapat pandangan dari industri dan dalam pembahasan selalu
melibatkan AFPI yang awalnya oleh Asosiasi kemudian dishare keseluruh
member AFPI. Point-point yang ingin diatur selalu mendapat pandangan dari
industri kendati keputusan terdapat di OJK.