tinjauan yuridis terhadap akta ppat yang tidak...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PPAT YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR (STUDI KASUS AKTA JUAL BELI TANGGAL 14 MARET 2012 NOMOR 07/2012 YANG
DIBUAT DI HADAPAN PPAT TH DENGAN WILAYAH KERJA DI KOTAMADYA JAKARTA SELATAN)
TESIS
ANINDHITA PRAMESWARI
1006827650
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
iv
UNIVERSITAS INDONESIA
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya hingga pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan Tesis dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Akta
PPAT Yang Tidak Sesuai Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14
Maret 2012 Nomor 07/2012 Yang Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan
Wilayah Kerja Di Kotamadya Jakarta Selatan).
Penulisan Tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
guna meraih gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Besar harapan penulis agar tesis ini dapat diterima sebagai sumbangsih
penulis kepada almamater agar nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan
bacaan atau referensi bagi siapa saja yang sedang belajar di Universitas
Indonesia.
Dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu selayaknya penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
proses penyusunan dan penyelesian tesis ini. Antara lain kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia beserta segenap jajarannya,
2. Dr. Drs. Widodo Suryandono, SH. MH., selaku Ketua Studi Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, SH., Mkn., selaku dosen pembimbing
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing
dan memberikan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini,
4. Seluruh Dosen Pengajar Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah membimbing dan meberikan banyak
ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan Magister ini,
5. Orang Tua penulis, Drs. Soeprijanto dan Ibu Ulvanoem yang telah
memberikan doa, kasih sayang, dan dengan sabar membimbing dan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
v
UNIVERSITAS INDONESIA
mendidik penulis dari kecil hingga kini serta selalu memberikan
dukungan baik materil maupun moril,
6. Suami penulis tercinta, Fahmi Arfian dan juga anak-anak penulis,
Khairani Syafina, Raditya Danuadji dan Khairuna Alishya atas segala
dukungannya.
7. Seluruh sahabat di Magister Kenotariatan Salemba Universitas Indonesia
angkatan 2010, Esti Purnami, Fauzi Rivayanti, Kurnia Fajar, Puty Arfina,
Mba Egi Anggiawati, dan lain-lain yang telah memberikan banyak suka
duka, terlebih kenangan manis selama 2 tahun ini,
8. Dan kepada seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah membantu terselesaikannya penulisan tesis ini.
Depok, 21 Januari 2013
Anindhita Prameswari
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
vii
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK
Nama : Anindhita PrameswariProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai
Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14 Maret 2012Nomor07/2012)
PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentikmengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak MilikAtas Satuan Rumah Susun. Sebagai akta otentik, akta PPAT haruslah memenuhitata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuaidengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat menimbulkan risiko bagi kepastianhak atas tanah yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut. Berdasarkan halini, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan memahami lebih dalammengenai tata cara dan prosedur pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT dalampembuatan Akta Jual Beli Tanah dan penulis untuk menyusun tesis ini akanmelakukan analisa mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual BeliTanah yang dilakukan oleh PPAT TH. Penelitian ini menggunakan pendekatanyuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian data-datasekunder atas data hukum yaitu norma hukum tertulis. Berdasarkan data hasilpenelitian yang diperoleh, didapati akibat hukum dari pembuatan akta jual belitanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta dapat mengakibatkanakta tersebut tergredasikan menjadi akta di bawah tangan, batal demi hukum ataudapat dibatalkan.
Kata Kunci: PPAT, Akta Jual Beli, Prosedur
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
viii
UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRACT
Name : Anindhita PrameswariStudy Program : Master of NotaryTitle : Juridical Review of PPAT’s Deeds That Does Not
Comply With The Procedure (Case Study of Sales DeedDated March 14, 2012 Number 07 2012 Made In Front of
With PPAT TH )
Officials land Deed Maker (PPAT) is as a general officer who is authorized tomake an authentic deed of land in accordance with the applicable regulation. Asan authentic deed, PPAT’s deeds should cater to all terms and conditions ofPPAT certificate as prescribed by laws and other regulations. The PPAT’s deedsthat does not comply with the terms and conditions can pose a risk to theuncertainty of land rights that are recorded on the basis of the certificate. Basedon this, the author is interested and intends to examine and understand moreabout the standard procedures of making deeds made by PPAT in themanufacture of the deed of sale and purchase of land and in order to compose thisthesis, the author will do an analysis regarding the Ordinance and procedures ofmaking the deed of sale and purchase of Land by PPAT TH. This research usesthe normative juridical approach, which focuses on the research of secondarydata for data law that focuses on i.e. written legal norms. Based on the dataobtained, the research results found that as a result of the law of creation of thedeed of sale and purchase of land that is not in accordance with an applicableregulations, the deed will be degraded a certificate under the hand, annulled bylaw or may be cancelled.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
ix
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL iHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iiLEMBAR PENGESAHAN iiiKATA PENGANTAR ivLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH viABSTRAK viiDAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 11.2 Pokok Permasalahan 101.3 Tujuan Penelitian 101.4 Metode Penelitian 111.5 Sistematika Penulisan 13
BAB II PROSEDUR AKTA JUAL BELI TANAH 142.1 Pengertian Hak Atas Tanah 14
2.1.1 Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah 192.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 23
2.2 Tinjauan Umum Mengenai PPAT 342.2.1 Pengertian PPAT 342.2.2 Syarat-Syarat Untuk Diangkat Menjadi PPAT 392.2.3 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT 402.2.4 Wilayah Kerja PPAT 432.2.5 Kewajiban PPAT 442.2.6 Pemberhentian PPAT 462.2.7 Kode Etik PPAT 482.2.8 Peranan PPAT Dalam Pelayanan Masyarakat 55
2.3 Keabsahan Dan Otentitas Akta PPAT 562.4 Prosedur/Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli 60
2.4.1 Pengertian Akta Jual Beli 602.4.2 Objek Akta Jual Beli 612.4.3 Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli Oleh PPAT 61
2.5. Analisis Kasus 712.5.1 Posisi Kasus 712.5.2 Analisis Kasus 73
BAB III PENUTUP 833.1 Simpulan 833.2 Saran 86
DAFTAR REFERENSI 88LAMPIRAN 91
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
1
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia
hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga
setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua
kegiatan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah.
Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat
meninggal pun manusia membutuhkan tanah guna tempat penguburannya. Hal ini
memberikan pengertian bahwa pentingnya tanah bagi kehidupan di mana
manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah.
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai capital asset.
Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial
dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan
tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
2
UNIVERSITAS INDONESIA
di sisi lain harus dijaga kelestariannya.1 Tanah mempunyai nilai yang sangat
penting karena mempunyai 3 komponen yang melekat, yaitu2 :
1. Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya, sumber daya
tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan
dan kepuasan serta mempunyai produksi dan jasa.
2. Komponen penting kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu
pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tetapi di lain
pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya.
3. Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomis, suatu barang
(dalam hal ini adalah tanah) harus layak untuk dimiliki dan ditransfer.
Menyadari pentingnya tanah bagi manusia sebagai individu maupun
negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, para pendiri bangsa telah
menuangkannya dalam konstitusi tertinggi bangsa Indonesia yaitu pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33
ayat 93) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi dan tanah,
maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan
UUPA. Tujuan pokok dari UUPA adalah3:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan
makmur
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
1 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang:Bayumedia,2007), hal. 1.
2 Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, cet 1, ( Yogjakarta: Liberty, 1983), hal. 16.3 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, cet.1, (Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri, 2012),
hal. 27-28
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
3
UNIVERSITAS INDONESIA
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Berbagai upaya dilakukan oleh
manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankan juga dari
pihak lain, karena itu penguasaan tanah harus dilandasi atas hak yang sah dan
oleh karena itu dibutuhkan suatu status hukum. Kepastian hukum dari tanah
tersebut serta kepemilikan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19
UUPA ayat 1 yaitu bahwa4:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftarantanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuanyang diatur dengan Peraturan Pemerintah. “
Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat 2 sub b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (selanjutnya disebut UUPA), merupakan
sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Di
bidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan 2
tugas, yaitu5:
1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama
kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.
Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
menurut Pasal 3, Peraturan Pemerintah nomor: 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah , tujuan diadakan pendaftaran tanah adalah6 :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah,satuan rumah susun dan hak-
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA danPelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 555.
5 Ibid., hal 3
6 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaTentang Pendaftaran Tanah, UUNo. 24 tahun 1997, LN. No. 59, TLN. No. 3696
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
4
UNIVERSITAS INDONESIA
hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
yang sudah terdaftar.
3. Untuk tertib administrasi pertanahan.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh PPAT
(selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sesuai dengan ketentuan tentang
Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT, yang pada Pasal 2 menyatakan7 :
1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
PPAT diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan
Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani
7 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AktaTanah, PP No. 37 tahun 1998, LN. No 52, ps.2.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
5
UNIVERSITAS INDONESIA
kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping untuk kepastian hukum bagi status tanah tersebut, pendaftaran tanah
juga untuk melindungi para pemegang hak atas tanah agar kepemilikan haknya
tidak terganggu oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanahnya.Untuk
itu ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA, bahwa : “Pendaftaran tanah
dalam Pasal ini meliputi : c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.” 8
Alat pembuktian diberikan berupa sertipikat sebagaimana disebutkan pada
Pasal 1 point 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997,
yaitu9 :
“Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaantanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yangmasing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”
Dalam perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia, kedudukan PPAT
sebagai pejabat umum dikukuhkan melalui berbagai peraturan perundang-
undangan yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengertian PPAT
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4) adalah: “Pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa PPAT adalah: “Pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tersebut”.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT, secara khusus diatur dalam Pasal 1 butir 1, yang berbunyi:
8 Ibid., hal 5589 BPN, Pendaftaran Tanah di Indonesia,( Jakarta: Koperasi Bumi Bhakti BPN, 1998),
hal.5.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
6
UNIVERSITAS INDONESIA
“Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi
wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka
pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Untuk
menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan
pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna
yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Hal ini dimaksud untuk menjamin
hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para
pihak.
Dalam pembuatan akta, PPAT diharuskan untuk menggunakan blanko
akta PPAT seperti yang diatur oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional melalui
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 yang menyatakan
bahwa akta-akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blangko akta PPAT
yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang
ditunjuk. Hal ini berarti bahwa tanpa blangko akta PPAT yang dicetak, PPAT
tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT.
Selanjutnya, PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum
lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja
karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan
penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam
berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah,
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
7
UNIVERSITAS INDONESIA
kegiatan sosial, dan lain-lain kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta
otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian
hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,
regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak
dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat
dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari,
dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat
bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian
perkara secara murah dan cepat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan
apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai
kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT
sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni
dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta
memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan
demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau
tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.
Tugas dari PPAT adalah membuat akta dari perjanjian-perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas
tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah
sebagai jaminan. Bila dilihat dari tugas PPAT tersebut, nampak bahwa tugas
PPAT adalah pembuatan akta dalam kaitannya dengan kepastian dan
perlindungan hukum terhadap pensertipikatan atas tanah hak milik. Misalnya
dalam kasus jual beli tanah, perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan
hak atas tanah atau memberikan sesuatu hak baru atas tanah, harus dilakukan
dihadapan PPAT.
Selanjutnya, akta PPAT adalah akta otentik dan sebagai sebuah akta
otentik terdapat persyaratan ketat dalam hal prosedur pembuatan, bentuk dan
formalitas yang harus dilakukan sehingga akta tersebut berhak disebut sebagai
akta otentik. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 1868 KUHPerdata : ”Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
8
UNIVERSITAS INDONESIA
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat
akta itu dibuat”. Jadi syarat otentisitas suatu akta yaitu :
1. dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. oleh atau dihadapan Pejabat Umum
3. pejabat tersebut harus berwenang di tempat di mana akta tersebut dibuat.
Mengenai jenis dan bentuk akta PPAT, pelaksanaan dan prosedur
pembuatannya, diatur oleh Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pada
Pasal 95 sampai dengan Pasal 102.
Selain itu, Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah
merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur
pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa boleh menyimpang
sedikitpun. Penyimpangan dari tata cara dan prosedur pembuatan akta otentik
akan membawa akibat hukum kepada kekuatan pembuktian akta itu. Meskipun
peralihan hak atas tanah tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap
terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini baik
yang disebabkan oleh adanya pihak ketiga yang merasa mempunyai hak atau
yang disebabkan oleh adanya kesalahan pada PPAT yang membuat aktanya atau
adanya cacat hukum pada aktanya baik yang disebabkan oleh karena adanya
penyimpangan atau kesalahan pada pembuatan aktanya ataupun karena adanya
kesalahan pada prosedur penandatanganan aktanya.
Dalam menjalankan jabatannya, PPAT harus memegang teguh pada kode
etik akan tetapi saat ini seringkali dalam prakteknya PPAT membuat akta jual
beli yang dilakukan dihadapan PPAT tetapi tidak sesuai dengan tata cara menurut
ketentuan peraturan yang berlaku, sehingga hal tersebut akan menimbulkan
kerugian bagi para pihak yang berkepentingan. Contoh-contoh pelanggaran yang
sering terjadi dalam praktek pembuatan akta PPAT adalah:
1. Akta jual beli tidak dibacakan oleh PPAT secara rinci namun hanya
menerangkan isi akta secara garis besar.
2. Menandatangani akta jual beli sebelum dilakukan cek bersih sertifikat dan
hanya melakukan cek lisan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
9
UNIVERSITAS INDONESIA
3. Penandatanganan terhadap akta jual beli dilakukan oleh para pihak tidak
secara bersamaan.
4. Saksi-saksi tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu proses
penandatanganan akta.
5. Menerima pekerjaan dari rekan sejawat, akan tetapi terhadap akta yang
akan dibuat telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak.
6. Akta jual beli ditandatangani sebelum ada pembayaran BPHTB dan PPh
sehinggal akta jual beli belum bisa diberi tanggal dan nomor.
7. PPAT tidak mau memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal tertentu
yang ditanyakan oleh penghadap
8. Dan lain-lain
Hal-hal seperti inilah yang harus dihindari oleh seorang PPAT karena
menyangkut kode etik dan tanggung jawab moral PPAT itu sendiri sebagai
pejabat umum.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Akta PPAT merupakan salah satu
sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT
bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum
yang bersangkutan, antara lain adalah melakukan pengecekan/pemeriksaan
keabsahan sertipikan dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat10.
Sebagai akta otentik akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan
akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan-
peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan
akta PPAT dapat membuat suatu akta batal demi hukum, terdegradasikan menjadi
akta di bawah tangan yang akan mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak
dalam akta tersebut. Dari uraian di atas, penulis tertarik dan bermaksud untuk
mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai tata cara dan prosedur
pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT terlebih dalam pembuatan Akta Jual Beli
Tanah Bersertipikat dan penulis untuk menyusun tesis ini akan melakukan analisa
mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat
10 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 507
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
10
UNIVERSITAS INDONESIA
yang dilakukan oleh PPAT TH untuk para penghadap Tuan FX selaku penjual
dan Tuan FA selaku pembeli untuk sebidang tanah Hak Guna Bangunan di
daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan .
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tesis ini penulis memberi judul
Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur
(Studi Kasus Jual Beli Tanah Tanggal 14 Maret 2012 nomor 07/2012 Yang
Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan Wilaya Kerja Di Kotamadya Jakarta
Selatan).
1.2. POKOK PERMASALAHAN
Adapun Pokok Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan peralihan hak atas tanah oleh PPAT
menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?
2. Bagaimanakah proses peralihan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang
dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT?
3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan
prosedur baik terhadap PPAT maupun akta yang dibuatnya ?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pembuatan akta jual
beli oleh PPAT yang dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan lain yang
bersangkutan dalam prosedur pembuatan suatu akta PPAT.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui akibat hukum baik
terhadap PPAT maupun Akta PPAT yang dibuatnya dengan mengenyampingkan
prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
11
UNIVERSITAS INDONESIA
1.4. METODE PENELITIAN
Dalam rangka penulisan tesis harus diperhatikan bahwa tesis merupakan
karya ilmiah yang harus disusun secara tegas, jelas, dan sistematis berdasarkan
fakta-fakta yang dapat dipercaya kebenarannya dan data-data yang diperoleh,
sehingga sebelum memulai suatu penulisan diperlukan adanya penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari permasalahan
yang diajukan dan untuk mencapai tujuan tersebut maka penulis memilih metode
Penelitian ini bersifat deskritif analitis dimana penulis bermaksud untuk
memberikan gambaran mengenai suatu keadaan berdasarkan analisa-analisa yang
dilakukan oleh penulis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
yang menitikberatkan pada penelitian data-data sekunder berupa norma hukum
tertulis. Penulis menggunakan metode ini karena untuk mengetahui mengenai
suatu permasalahan hukum, maka harus menggunakan analisa yang didasari
dengan norma-norma hukum yang berlaku dengan memperhatikan sumber-
sumber hukum yang berlaku juga. Selanjutnya, dilakukan juga analisis mengenai
tata cara PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli atas tanah.
Dalam rangka menganalisa masalah yang penulis kemukakan, diperlukan
data yang akurat dan mutakhir oleh karenanya digunakan teknik pengumpulan
data melalui Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder
melalui berbagai literatur baik Peraturan perundang undangan, buku-buku, media
cetak, atau pelaporan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Penelitian
kepustakaan tersebut diperlukan untuk mempertajam konsep dan teori yang
berguna untuk menganalisa permasalahan secara mendalam yang meliputi11:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini peneliti
menggunakan :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. cet ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986),
hal. 29.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
12
UNIVERSITAS INDONESIA
b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Undang-
Undang Pokok Agraria
c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
d) Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
e) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan PPAT
f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
g) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah
2. Bahan hukum sekunder, misalnya buku-buku, hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum, artikel dari surat kabar dan
internet.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer
dan sekunder seperti kamus hukum.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif
yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara deskritif analitis mengenai
prosedur pelaksanaan pembuatan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli
tanah. Analisis yang digunakan sesuai dengan tipe dan sifat pembuatan dari
penelitian adalah dengan jalan melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan dari
data sekunder yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang
Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan PPAT. Data tersebut kemudian akan diinventarisasi,
diklasifikasi, diolah dan dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
13
UNIVERSITAS INDONESIA
pengolahan data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan semua
data yang diperoleh dalam kata-kata sehingga merupakan susunan kalimat yang
mudah dimengerti.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan latar belakang pemilihan judul serta pokok
permasalahannya serta metode penelitian yang digunakan.
BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
Menguraikan pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual
Beli, pengertian jual beli tanah sebelum dan sesudah UUPA,
syarat-syarat jual beli tanah, pengertian PPAT, tugas dan
wewenang PPAT, wilayah kerja PPAT, Kode Etik PPAT, Akta
PPAT serta prosedur pembuatan Akta yang harus dilakukan oleh
PPAT dalam jual beli tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor
24 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998.
Selanjutnya penulis akan membahas kasus Akta Jual Beli dengan
menguraikan dan menjelaskan proses pelaksanaan pembuatan akta
yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT di dalam kasus
pembuatan Akta Jual Beli tanggal 14 Maret 2012 Nomor 07/2012.
BAB III PENUTUP
Menguraikan kesimpulan dari penelitian berdasarkan analisa hasil
penelitian penulis.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
14
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB II
PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
2.1 Pengertian Hak Atas Tanah
Kata “tanah” dalam tata bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka
dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah
tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti
yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.
Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa12:
Atas dasar hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam Pasal 2ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebuttanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baiksendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badanhukum.
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang
dan lebar.
Dalam Pasal 2 UUPA, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara
tersebut memberi wewenang untuk:
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
12 Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria, UU No.5tahun 1960, LN. No. 104, TLN. No. 2043, ps. 4
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
15
UNIVERSITAS INDONESIA
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya
dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika
penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk
keperluan apapun tidak bisa tidak pasti diperlukan juga penggunaan sebagian
tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa13:
Hak-hak atas tanah bukan hanya memberi wewenang untukmempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan,yang disebut “tanah” tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya danair serta ruang yang ada di atasnya.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka hak-hak atas tanah
bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh
bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Sehingga
dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya,
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi tetapi wewenang menggunakan
yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada
diatasnya.14
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan melainkan ia hanya diperbolehkan
menggunakannya dengan batasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 2
UUPA bahwa “Sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
13 Ibid. ps. 4 ayat 2
14 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 18.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
16
UNIVERSITAS INDONESIA
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-
undang ini (yaitu UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam
berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada
diatasnya boleh digunakan,ditentukan oleh tujuan penggunaanya, dalam batas-
batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri,
kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.15
Hak-hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.16 Dengan
diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu
telah terjalin suatu hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan.
Adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh
yang mempunyai hak itu terhadap tanah dengan pihak lain seperti jual beli, tukar
menukar, hibah, dan lain sebagainya.
Seeorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah, oleh
UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara
aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan
mencegah kerusakan tanah tersebut.
UUPA menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang
atau badan hukum tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat
ataupun dengan menelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.
Dalam Pasal 16 UUPA telah menentukan beberapa macam hak-hak atas
tanah yaitu17:
a) hak milik
b) hak guna usaha
c) hak guna bangunan
d) hak pakai
15 Boedi Harsono, Op. cit., hal. 1916 Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1994 ), hal. 10
17 Indonesia, UUPA, Op.Cit., ps. 16
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
17
UNIVERSITAS INDONESIA
e) hak sewa
f) hak membuka tanah
g) hak memungut hasil hutan
h) dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
a) Hak Milik
Diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Pengertian hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial.
Yang boleh mempunyai hak milik adalah:
1) hanya warga negara Indonesia
2) oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya
3) orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung
4) selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
b) Hak Guna Usaha
Diatur dalam Pasal 28-34 UUPA. Pengertian hak guna usaha adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan.
Yang dapat memiliki hak guna usaha adalah:
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
18
UNIVERSITAS INDONESIA
1) Warga negara Indonesia
2) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
c) Hak Guna Bangunan
Diatur dalam Pasal 35-40 UUPA. Pengertian hak guna bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Yang dapat memiliki hak guna bangunan adalah:
1) Warga negara Indonesia
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
d) Hak Pakai
Diatur dalam Pasal 41-43 UUPA. Pengertian hak pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
Yang dapat memiliki hak pakai adalah:
1) Warga negara Indonesia
2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
e) Hak Sewa
Diatur dalam Pasal 44-45 UUPA. Seseorang atau badan hukum
mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar sewa kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
19
UNIVERSITAS INDONESIA
1) Warga negara Indonesia
2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
f) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Diatur dalam Pasal 46 UUPA. Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan ini hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara
sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu..
2.1.1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan
suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John
Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah
adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak
atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau
mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima
pengalihan.18
Menurut Effendi Perangin-Angin, pemindahan hak atas tanah
menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi
pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan
tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang
menerima pengalihan, dimana perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual beli,
tukar menukar, hibah, atau dengan pemberian dengan wasiat.19
18 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Grafija, 1993),hal.37.
19 Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari PandanganPraktisi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa, 1986), hal. 1
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
20
UNIVERSITAS INDONESIA
Sebagaimana dimaksud menurut Pasal 26 UUPA dan Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dengan cara
pemindahan hak dapat terjadi karena beberapa perbuatan hukum, yaitu :
a. Jual beli
Jual beli tanah diartikan sebagai suatu perbuatan yang merupakan
penyerahan hak milik dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan
pembeli berkewajiban memberikan uang harga yang telah disepakati oleh
penjual.
Penyerahan hak yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli tersebut
mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari penjual kepada
pembeli sebagai pemilik hak baru; supaya perbuatan jual beli tersebut
memperoleh bukti yang kuat menurut hukum maka penjual dan pembeli harus
datang kepada PPAT untuk membuat akta jual belinya, karena hanya PPAT yang
berhak untuk membuat akta jual beli tanah, sedangkan mengenai permohonan
balik nama sertipikat berdasarkan Akta Jual Beli harus dilaksanakan paling
lambat tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli tersebut
b. Tukar menukar
Tukar menukar tanah bukan diartikan sebagai perjanjian, tetapi suatu
perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik atas tanah yang bersangkutan
kepada pihak yang menukarnya. Tukar menukar tanah ini juga harus dilakukan
dengan akta PPAT. Peralihan hak atas tanah disini terjadi karena ditukarnya
tanah kepunyaan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain.
c. Hibah
Hibah tanah seperti halnya jual beli dan tukar menukar, merupakan
perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang
bersangkutan kepada yang menerima hibah. Beda hibah dengan jual beli adalah
bahwa dalam hibah pemilik tidak menerima imbalan sebagai ganti dari tanah
yang dihibahkannya tersebut, dan hibah ini juga harus dibuktikan dengan akta
PPAT.
d. Pemberian dengan wasiat
Pemberian dengan wasiat ini dilakukan pada saat pemiliknya masih
hidup, tetapi haknya baru beralih setelah ia meninggal dunia. Selama ia masih
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
21
UNIVERSITAS INDONESIA
hidup, maka apa yang diwasiatkan tersebut masih dapat diubah atau ditarik
kembali.
e. Pemasukan Dalam Perusahaan/Inbreng
Dalam hal ini pihak yang memasukan tanah kedalam perusahaan akan
mendapat imbalan berupa saham dalam perusahaan bersangkutan.
Selanjutnya, peralihan hak atas tanah tanah juga dapat terjadi karena
peristiwa hukum; misalnya pewarisan, karena hukum pula segala harta kekayaan
seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal
dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi
hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum)
atau peristiwa hukum dan bukan karena perbuatan hukum.
Selanjutnya, peralihan Hak atas Tanah itu berkaitan erat dengan kegiatan
pendaftaran tanah yaitu termasuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah
yang mewajibkan kepada pemegang haknya untuk mendaftarkan haknya kepada
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam daftar Buku
Tanah.
Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dibagi
menjadi dua kegiatan, yaitu Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
(Opzet atau Initial Registration) dan Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran
tanah (Bijhouding atau Maintenance). Yang dimaksud dengan pendaftaran untuk
pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak-hak tertentu
yang membebaninya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997,
sedangkan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
22
UNIVERSITAS INDONESIA
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.20
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik dan/ data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan fisik dan atau/
data yuridis kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat. Perubahan
data yuridis yang dimaksud dapat berupa21 :
a) Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
b) Peralihan hak karena pewarisan;
c) Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau
koperasi;
d) Pembebanan Hak Tanggungan;
e) Peralihan Hak Tanggungan;
f) Hapusnya hak atas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun, dan Hak Tanggungan;
g) Pembagian hak bersama;
h) Perubahan dan pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau
penetapan Ketua Pengadilan;
i) Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;
j) Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.
Sedangkan perubahan data fisik dapat berupa ;
a) Pemecahan bidang tanah;
b) Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;
c) Penggabungan dua atau lebih bidang tanah.
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peralihan hak atas
tanah adalah termasuk dalam kegiatan pemeliharaan data dalam pendaftaran
tanah.
20 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentangPendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 1997, Nomor 59, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3696, Pasal 1 angka 12.
21 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan ke-2. (Jakarta:Kencana, 2011), hal. 309-310.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
23
UNIVERSITAS INDONESIA
2.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu peralihan hak
atas tanah dapat melalui jual beli. Sebelum penulis membahas mengenai
peralihan hak atas tanah melalui jual beli, maka penulis akan menjelaskan
mengenai pengertian jual beli menurut KUHPerdata, jual beli menurut hukum
adat dan jual beli menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah “suatu
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan”. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian
yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang
dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh
penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.22
Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu
pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan
membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang
bertimbal balik.23
Jual-beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah pihak
telah terjadi kesepakatan mengenai benda tersebut dan harganya, walaupun
kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Untuk
pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa
penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.
Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische
Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan dengan akta
dimuka dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama stbld
No.27 Tahun 1834.24
22 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 7.23 Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.24 K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hal. 31.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
24
UNIVERSITAS INDONESIA
Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah pihak
sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual mempunyai dua
kewajiban pokok, yaitu :
a. Pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat
memiliki barang itu dengan tentram.
b. Kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah
ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli
ditutup dan di tempat barang itu berada.
Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko
mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu
rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap
membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus
merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya
pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai
saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk
memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan
perjanjian.
Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu
yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan
dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan
perjanjian dengan pemberian kerugian; juga barang yang belum dibayar itu dapat
diminta kembali.
Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini
bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak
dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu
meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas
barangyang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat
pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban
kepada pembeli untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk
menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
25
UNIVERSITAS INDONESIA
perkataan lain, bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum
memindahkan hak milik.25
Sedangkan pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya
kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga
(walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah
telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dari sini dapat disimpulkan pembeli
telah mendapat hak milik atas tanah, sejak saat, terjadi jual beli. Jadi jual beli
menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual
kepada pembeli.
Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar
sebagian), sisa harganya itu merupakan hutang pembeli kepada penjual, jika
pembeli tidak membayarnya, penjual dapat menuntut berdasarkan hutang piutang
dan tidak mempengaruhi jual beli yang dianggap telah selesai itu, maka biasa
dikatakan bahwa jual beli menurut hukum adat itu bersifat "tunai" (kontan) dan
"nyata" (konkrit).
Selanjutnya suatu jual beli dalam hukum adat dilakukan di muka Kepala
Adat (Desa). Kepala Adat (Desa) ini, bertindak sebagai penjamin tidak adanya
suatu pelanggaran, hukum dalam jual beli itu, jadi bukan sekedar sebagai saksi
saja. Sehingga jual beli itu bisa dianggap "terang" dan masyarakat mengakui
sahnya.
Jadi jual beli tanah menurut hukum adat adalah perbuatan hukum dimana
pihak penjual menyerahkan tanahnya kepada pembeli untuk selama-lamanya
pada saat pembeli membayar harga tanah tersebut kepada penjual (walaupun
separuh dari harga yang telah ditentukan). Jual beli menurut hukum adat
dilakukan dimuka kepala adat yang bertindak sebagai saksi dan menjamin jual
beli sah.26
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bangsa
Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang bersifat nasional. Undang-
25 Sodaryo Soimin, Status Tanah dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika,1994),hal.94-95
26 Bachtiar Effendi, Kumpulan tulisan tentang hukum tanah, (Bandung: Alumni, 1982),hal.30.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
26
UNIVERSITAS INDONESIA
Undang tersebut lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Dalam Pasal 5 UUPA disebutkan :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialahhukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasionaldan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialismeIndonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalamundang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar hukumagama.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas dengan tegas dinyatakan bahwa hukum
agraria yang baru didasarkan atas hukum adat yang disesuaikan dengan asas-asas
yang ada dalam UUPA, karena dalam UUPA menganut sistem dan asas hukum
adat maka perbuatan jual beli tersebut adalah merupakan jual beli yang riil yang
tunai.
Akan tetapi pelaksanaan dari jual beli itu sendiri sudah tidak lagi
dihadapan Kepala Desa karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria seperti dalam Pasal 37
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melaluijual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan danperbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hakmelalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yangdibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan.”
Dibuatnya akta jual beli tanah dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agraria tersebut, maka jual beli itu selesai, dan selanjutnya peralihan hak
atas tanah itu oleh pembeli didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Pendaftaran
peralihan hak atas-tanah tersebut untuk menjamin kepastian hukum. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUPA yang menyebutkan :
a. Hak atas tanah demikian pula setiap peralihan hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
b. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat hak atas tanah serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut
mengenai hapusnya.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
27
UNIVERSITAS INDONESIA
Pada dasarnya peralihan hak atas tanah melalui jual beli dapat dibedakan
dalam dua masa, yaitu masa sebelum berlakunya UUPA dan masa setelah
berlakunya UUPA yaitu:
1. Jual Beli Tanah Sebelum Berlakunya UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, terdapat dualisme dan pluralisme
maksudnya, berlaku hukum tanah barat, hukum tanah adat, hukum tanah antar
golongan yakni hukum tanah yang memberikan pengaturan atau pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah hukum antar golongan yang mengenai tanah,
hukum tanah administratif yakni hukum tanah yang beraspek yuridis
administratif, hukum tanah swapraja yakni hukum tanah di daerah-daerah
Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan struktur
pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah lanjutan sistem
feodal) dalam hukum tanah Indonesia27.
Pada saat itu telah dilangsungkan pendaftaran tanah yang berdasarkan
Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) yang termuat dalam Stb.
1834 Nomor 27. Peralihan hak berdasarkan Ordonansi Balik Nama
(Overschrijvings Ordonnantie) ini dilakukan untuk tanah-tanah dengan hak barat
dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan pendaftarannya
dilakukan berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut Pasal 1457 KHUPerdata
apa yang disebut ”jual beli tanah” adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang
mempunyai tanah, yang disebut ”penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk
menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang
disebut pembeli. Sedang pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk
membayar harga yang telah disetujui.
Yang dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang
disebut ”tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht,
Opstal dan lain-lain28. Biasanya jual belinya dilakukan di hadapan notaris, yang
membuat aktanya.
27 Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 12.
28 Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 28.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
28
UNIVERSITAS INDONESIA
Sebelum berlakunya Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings
Ordonnantie), peralihan hak dari penjual kepada pembeli terjadi sebelum
peralihan hak itu didaftar pada dua orang saksi dari Dewan Schepen. Pendaftaran
hanya merupakan syarat bagi berlakunya sesuatu peralihan hak yang telah terjadi
terhadap pihak ketiga29.
Dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ordonansi Balik Nama
(Overschrijvings Ordonnantie), maka jual beli tidak lagi merupakan salah satu
sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum (titel,
causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran
dilaksanakan30.
Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual
sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi
kewajiban hukumnya (Pasal 1459 KUHPerdata). Untuk itu wajib dilakukan
perbuatan hukum lain, yang disebut ”penyerahan yuridis” (juridische levering),
yang diatur dalam Pasal 616 dan 620 KUHPerdata. Menurut Pasal-Pasal tersebut,
penyerahan yuridis itu juga dilakukan di hadapan notaris, yang membuat aktanya,
yang disebut dalam bahasa Belanda ”transport acte” (akta transport). Akta
transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut ”penyimpan
hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran itu hak atas tanah yang
bersangkutan berpindah kepada pembeli31.
Untuk tanah-tanah dengan hak adat, peralihan haknya dilakukan
berdasarkan hukum adat. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu
perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang
berarti perbuatan pemindahan hak itu harus dilakukan di hadapan kepala adat,
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh
umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran
harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu , maka tunai mungkin berarti
29 Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah,( Bandung:Mandar Maju, 2008), hal. 75.
30 Ibid., hal.76.31 Boedi Harsono, Op. Cit., hal.28
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
29
UNIVERSITAS INDONESIA
harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai).
Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut
atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang
piutang32.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara
calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak
milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di
antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya
sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak
diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu.
Dengan demikian panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda
jadi akan dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya panjer, para pihak akan
merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila
telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi
panjer, panjer menjadi milik penerima panjer.
Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer,
panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak
menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli
tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa
(Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan
terang.
Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan
bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada
pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut
turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah
ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli
kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya
adalah surat jual beli tersebut33.
2. Jual Beli Tanah Setelah berlakunya UUPA
32 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 211.33 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 73.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
30
UNIVERSITAS INDONESIA
Setelah berlakunya UUPA, terjadilah unifikasi hukum tanah Indonesia
sehingga hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah nasional dan
sudah tidak dikenal lagi tanah yang tunduk kepada KUHPerdata atau tanah hak
barat dan tanah yang tunduk kepada hukum adat atau tanah hak adat.
Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang dulunya
terdapat dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan
pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Hukum Adat adalah hukum yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum rakyat
Indonesia yang asli34.
Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional
kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga
hukum dan sistem hukum adat. Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum
Adat yang telah di- saneer yang dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi
pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian
jual beli tanah menurut Hukum Adat.35
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam Pasal- Pasal lainnya, tidak ada
kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian
dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar
menukar dan hibah wasiat.
Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah
satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa
yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara
jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum
Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi,
asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat36.
34 B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,(Jakarta: Toko Gunung Agung, 2004), hal 63.
35 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 71
36 Ibid., hal 76.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
31
UNIVERSITAS INDONESIA
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat
riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah
terjadi jual beli. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual
beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun
tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual37.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap pemindahan hak atas tanah kecuali yang
melalui lelang hanya bisa didaftarkan apabila perbuatan hukum pemindahan hak
atas tanah tersebut didasarkan pada akta PPAT.
Notaris dan PPAT sangat berperan dalam persentuhan antara perundang-
undangan dan dunia hukum, sosial dan ekonomi praktikal. Notaris adalah pejabat
umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat
keterangan tertulis yang dimaksudkan sebagai alat bukti dari perbuatan-perbuatan
hukum38.
Dengan berlakunya UUPA, dan atas dasar Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997) maka setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas
tanah, pemberian hak baru atas tanah, penjaminan tanah atau peminjaman uang
dengan hak atas tanah sebagai jaminan, harus dilakukan dengan suatu akta. Akta
demikian harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk
itu, yakni PPAT sehingga dengan demikian setelah notaris PPAT juga adalah
pejabat umum39.
Pada tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum untuk
melakukan pembuatan akta jual beli, harus dipenuhi. Sehingga pengalihan ini
menjadi sah adanya dan dan dapat didaftarkan balik namanya. Dengan adanya
37 Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 77.
38 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia HukumPerjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2006),hal. 256.
39 Ibid., hal. 48
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
32
UNIVERSITAS INDONESIA
akta PPAT inilah nanti akan kembali diberikan status baru dari permohonan balik
nama yang dimohon oleh pihak yang menerima pengalihan haknya40.
Pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT tersebut dilakukan bagi
keabsahan dari perjanjian-perjanjian berkenaan dengan hak atas tanah, maka
disyaratkan akta yang dibuat dengan oleh PPAT tetapi apabila tidak dilakukan di
hadapan PPAT bukan berarti mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut karena
pembuatan akta tersebut semata-mata merupakan syarat administratif.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah secara jelas menentukan bahwa akta PPAT
hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah suatu syarat
mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah41.
Adapun syarat-syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan
syarat formil42 yaitu :
a.Syarat Materiil.
Syarat materiil sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut, antara
lain sebagai berikut:
1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah
pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki
tanah yang dibelinya.
2. Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan yang berhak
menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang sah atas tanah
tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu
orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi,
apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah
itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang
bertindak sebagai penjual.43
40 Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung:Mandar Maju, 2008), hal. 121.
41 Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 79.
42 Ibid., hal. 77-79
43 Effendi Perangin-angin, Praktik Jual Beli Tanah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada),hal 2.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
33
UNIVERSITAS INDONESIA
3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang
dalam keadaan sengketa.
Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual bukan
merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak
memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang
diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh
diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah
yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak
semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.44
b. Syarat Formil
Setelah semua persyaratan materiil tersebut terpenuhi, maka dilakukan
jual beli dihadapan PPAT. Dalam pelaksanaan jual beli yang dibuat oleh PPAT
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
jual beli atau kuasa yang sah dari penjual dan pembeli serta disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi-saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi.
2. Akta dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu lembar
pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang
bersangkutan dan lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap disampaikan
kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran dan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya .
3. Setelah akta tersebut dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya
akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan.
44 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
34
UNIVERSITAS INDONESIA
2.2. TINJAUAN UMUM MENGENAI PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH
2.2.1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai
peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, walaupun tidak disebutkan
secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut sebagai Pejabat. Namun
jika melihat cakupan kewangan dari pejabat yang ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah,
sehingga dapat ditafsirkan bahwa pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang
bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu
mengenai tanah yang bersangkutan45.
Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan
blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan
pendaftaran tanah sebagaimana sejak semula telah ditentukan dalam PP Nomor
10 Tahun 1961. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikenal dengan istilah
“Pejabat” dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 19.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No. 10 Tahun 1961) yang
mengatur mengenai pejabat, yaitu:
1. Pasal 19: “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas
tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat
yang ditunjuk Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah
ini desebut sebagai Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh
Menteri.
45 Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan “Undang-Undang PertanahanNasional Sebagai Sarana Untuk Menyelesaikan Permasalahan Pertanahan di Indonesia”, yangdilaksanakan oleh PP Ikatan Pejabat PPAT bekerja sama dengan Program Magister kenotariatanFakulas Hukum Universitas Jayabaya dan Majalah Infoland, bertempat di Krakatau Room, HotelMercure Ancol, Jakarta, 14 Juli, 2012.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
35
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Pasal 38: “Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib
menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut
bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan
asli akta-akta yang dibuatnya.
Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun
1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria
Nomor 10 Tahun 1961 (TLN 2344). Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan menteri
tersebut disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:
a) Notaris;
b) Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen
Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya
yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c) Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang
Pejabat;
d) Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh
Menteri Agraria.
Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai pejabat
umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Sususn, memuat
ketentuan tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 10
ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak sebagaimana ditentukan dalam
ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor
Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan. Penjelasan ayat
(1) tersebut menyatakan “Sebagai bukti bahwa telah dilakukan
pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah,
sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peralihan hak dalam pewarisan
cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris atau surat
wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
36
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris
hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan
bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan
siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: “Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat
umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas
tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai Pejabat Umum. Pasal
1 angka 5 menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga
menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 24: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut
PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu.”
6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai
pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa
yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikn
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
37
UNIVERSITAS INDONESIA
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas
menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya
dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu; “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas
kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam
UU tersebut tidak dijelaskan, Istilah pejabat umum diterjemahkan dalam istilah
“Openbare Ambtenaren” yang terdapat dalam pasal 1 Peraturan jabatan Notaris
di Indonesia (Reglement op het Notaris-Ambt in Indonesie) S.1860-3
sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara tahun 1945 Nomor
101 dan Pasal 1868 BW.
Menurut E. Uttrecht, jabatan (Ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan
tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna
kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “lingkungan pekerjaan tetap” ialah suatu lingkungan pekerjaan
yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat/seakurat mungkin
(zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak
dapat diubah begitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek
hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada seorang penjabat,
tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak
dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan
kewajiban, walaupun penjabatnya berganti-ganti46.
Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang
Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan PPAT jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal
7 ayat (3) PP N0.24 Tahun 1997, yang berinduk UUPA, bahwa: “Peraturan
Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
46 E. Uttrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Djakarta: Balai Buku Ikhtiar,1963), hal. 159
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
38
UNIVERSITAS INDONESIA
Pada konsideran menimbang huruf “b” PP No.37 tahun 1998 tersebut
secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah
tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan
jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat
alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
Dengan demikian, maka pembetukan PP No.37 Tahun 1998 tersebut
adalah memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT
unutk membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu:
“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftarantanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atasSatuan Rumah Susun yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaranperubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukumitu.”
Selanjutnya, menurut Effendi Perangin, PPAT adalah pejabat yang
berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan47.
Sedangkan menurut Prof. Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat
umum adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan
kewenangan memberikan pelayanan kepada umum dibidang tertentu.48
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia. Seperti ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No.
24 Tahun 1997 yaitu : “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain
yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut
peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”
47 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 3.
48 Boedi Harsono, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangan”, hal.11.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
39
UNIVERSITAS INDONESIA
Kata “dibantu” dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1997 disini tidak berarti bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan
bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota yang dapat diperintah olehnya,
akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kemandirian dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Di samping PPAT umum sebagaimana disebutkan di atas, ada pula PPAT
Sementara dan PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT Sementara adalah
pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas
PPAT dengan membuat Akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
Akta PPAT tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu.
Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran
tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaaan
atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang
menyangkut data fisik bidang tanah tersebut maupun hubungan hukum yang
menyangkut bidang tanah itu atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan
tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis ini, diperlukan Petugas Pembuat
Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta tanah. Dengan demikian,
peran PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan maksud memudahkan
pendataan, pendaftaran, memberikan hak baru, dan/atau membebankan hak atas
tanah.
2.2.2. Syarat-Syarat Untuk Diangkat Menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah
Syarat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Pasal 6
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 ; untuk dapat diangkat menjadi
PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Berkewarganegaraan Indonesia;
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun;
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
40
UNIVERSITAS INDONESIA
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat
oleh instansi kepolisian setempat;
4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan
Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional.49
2.2.3. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:
1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan tertentu;
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan. 50
49 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 650 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 2 ayat 1.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
41
UNIVERSITAS INDONESIA
Jadi, menurut pernyataan yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas,
tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran tentang perubahan data pendaftaran tanah yang
meliputi: jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan
tertentu, pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
Tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian Kuasa
memberikan Hak Tanggungan.
PPAT adalah pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan
sebagai akta otentik. PPAT dapat melaksanakan tugas pembuatan akta tanah baik
di dalam maupun di luar kantornya. Hal ini diatur dalam Pasal 52 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:
1. PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan
dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau
kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.
2. PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu
pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor
PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan
aktanya para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat pembuatan
akta yang disepakati.51
Agar para PPAT mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan
jabatannya sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada
pembinaan dan pengawasan terhadap mereka. Hal itu telah diatur dalam Pasal 65
sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006, yakni sebagai berikut:
Pasal 65 menyebutkan bahwa:
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan
oleh Kepala Badan.
51 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 52.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
42
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan
Kepala Kantor Pertanahan.52
Pasal 66 menyebutkan bahwa:
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala
Badan sebagai berikut:
a) memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan
PPAT;
b) memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang
berkaitan dengan ke-PPAT-an;
c) melakukan, pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi
PPAT agar tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya;
d) menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk
memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana
mestinya;
e) melakukan pemninaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT
Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.
2. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala
Kantor Wilayah sebagai berikut:
a) menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas
PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b) membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan
peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis;
c) secara periodik melakukan pengawasan Kantor PPAT guna
memastikan kertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
ke-PPAT-an.
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan sebagai berikut:
52 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 65.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
43
UNIVERSITAS INDONESIA
a) membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan
peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan
tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan
peraturan perundang-undangan;
b) memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara
tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta
yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar
pendaftaran haknya;
c) melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban
operasional PPAT.53
Kewenangan PPAT terdapat dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah
nomor 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa: “PPAT mempunyai
kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana telah disebutkan diatas mengenai hak atas tanah dan hak atas satuan
rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.”
Konsekuensi dari pasal tersebut, bahwa tidak dibenarkan pejabat lain
membuat akta selain daripada yang disebutkan oleh ketentuan-ketentuan diatas
kecuali mengenai pemindahan hak melalui lelang. Dalam UUHT, PPAT secara
tegas disebutkan sebagai Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat
akta :
1. Pemindahan Hak atas tanah;
2. Pembebanan Hak atas tanah;
3. Pemberian Kuasa membebankan hak Tanggungan.
2.2.4. Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta tanah
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dapat
penulis jelaskan bahwa wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT Sementara
dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai Pejabat Pemerintah yang
menjadi dasar penunjukkannya. Apabila sebelum berlakunya Peraturan
53 Ibid., Pasal 66
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
44
UNIVERSITAS INDONESIA
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 ini, seseorang PPAT mempunyai wilayah
kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 1998 (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja kantor
pertanahan), maka PPAT tersebut harus memilih salah satu dari wilayah kerja
tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja PPAT tersebut sesuai denah
tempat kantor PPAT tersebut berada.
Di dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah kerja PPAT adalah
satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Selain itu juga diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
adalah sebagai berikut :
1. Pasal 6 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi
dua atau lebih wilayah Kabupaten atau Kota, maka dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan
Kabupaten/Kota sebagai daerah kerja dengan ketentuan bahwa apabila
pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu)
tahun sejak adanya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota baru
tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.
2. Pasal 6 ayat (2): Pemilihan Daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlakunya dengan sendirinya mulai 1(satu) tahun sejak di undang-
undangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah
Tingkat I yang baru.
2.2.5. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah
Berkaitan dengan kewajiban PPAT, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, PPAT
mempunyai kewajiban54 :
1. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
54 Ibid., pasal 45
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
45
UNIVERSITAS INDONESIA
2. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya;
3. menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
a. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau
kepada Kepala Kantor Pertanahan;
b. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada
PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala
Kantor Pertanahan;
c. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT
Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
4. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang
dibuktikan secara sah;
5. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti
atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam
kerja Kantor Pertanahan setempat;
6. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
7. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan
teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/
Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu
1(satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
8. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
9. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
10. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
46
UNIVERSITAS INDONESIA
Berdasarkan Pasal 26 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu buku
daftar untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap hari
kerja PPAT dan ditutup setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf
oleh PPAT yang bersangkutan.
PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang
dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor
Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya.
PPAT harus dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-
baiknya. Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT
dan tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah
di Kantor Pertanahan setempat.
2.2.6. Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor : 37 tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai berikut55 :
1. PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena :
a. Meninggal Dunia ; atau
b. Telah mencapai usia 65 tahun ; atau
c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan
tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten
atau Kotamadya daerah tingkat II yang lain daripada daerah
kerjanya sebagai PPAT atau
d. Diberhentikan oleh Menteri.
2. PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT
apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
55 Ibid., Pasal 8
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
47
UNIVERSITAS INDONESIA
Pemberhentian PPAT tersebut dari jabatannya dapat dilakukan baik
secara hormat ataupun tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan
Pasal 11 antara lain sebagai berikut :
PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. Permintaan sendiri ;
b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan
kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh
tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk ;
c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT ;
d. Diangkat sebagai pegawai Negeri sipil atau ABRI.
3. PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena :
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT.
b. Dijatuhi hukuman kurungan/Penjara karena melakukan kejahatan/
perbuatan pidana yang diancan dengan hukuman kurungan atau
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat
berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
4. Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
huruf c dan ayat 2 dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
5. PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali
menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula,
apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.
Ketentuan Pasal 11 mengatur sebagai berikut :
1. PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagai PPAT
karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu
perbuatan pidana yang diancan dengan hukuman kurungan/penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
48
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku
sampai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.56
2.2.7. Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi
dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya
akan terjamin. Kode etik profesi juga penting sebagai sarana control social. Kode
etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan
dijalankan oleh profesional hukum.
Agar kode etik profesi dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka
paling tidak ada dua syarat yang mesti dipenuhi, yaitu:
1. Pertama, kode etik itu harus dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik
tidak akan efektif, kalau diterima begitu saja dari atas, dari instansi
pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan
nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
2. Kedua, agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya
diawasi terus menerus.57
Organisasi profesi mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan
perilaku anggotanya untuk mematuhi nilai-nilai etis oleh karena itu Iakatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) telah menetapkan Kode Etik Pejabat
Pembuat Akta Tanah mengenai kewajiban, larangan, pengecualian, dan sanksi
bagi PPAT yang berbunyi sebagai berikut:
A. Kewajiban PPAT
Baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta
PPAT Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT
diwajibkan untuk :
56 Boedi, Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan peraturan-peraturanHukumTanah), (Jakarta : PT. djambatan, 2002), Hal, 678.
57 Bertens, K, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 113.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
49
UNIVERSITAS INDONESIA
1. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan
kehormatan PPAT.
2. Senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang
berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan,
kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
3. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
negara.
4. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum.
5. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan
tidak berpihak.
6. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat
yang memerlukan jasanya.
7. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari
dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
anggota masyarakat.
8. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau
kurang mampu secara cuma-cuma.
9. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai
dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat.
10. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT
atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara
konstruktif.
11. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada
hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya.
12. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-
satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan
tugas jabatan sehari-hari.
13. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksnakan antara lain namun
tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam :
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
50
UNIVERSITAS INDONESIA
a. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
Jabatan PPAT.
b. Isi Sumpah Jabatan.
c. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun
keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
perkumpulan IPPAT, misalnya :
- membayar iuran, membayar uang duka manakala
ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal
dunia.
-Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan
yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota
Perkumpulan.
B. Larangan
Setiap PPAT, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun
dalam kehidupan sehari-hari, dilarang :
1. Membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan.
2. Secara langsung mengikut-sertakan atau menggunakan perantara-
perantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu.
3. Mempergunakan mass media yang bersifat promosi.
4. Melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya
mengiklankan diri antara lain tetapi tidak terbatas pada tindakan
berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau
propaganda, yaitu :
a. memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau
terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro
iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telpon,
maupun berupa ucapan-ucapan selamat, dukungan,
sumbangan uang atau apapun, pensponsoran kegiatan
apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam
bentuk apapun, pemuatan dalam buku-buku yang
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
51
UNIVERSITAS INDONESIA
disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi –
pemasaran.
b. mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan
kepada siapapun yang dengan itu nama anggota
terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun
umum tak terbatas.
c. mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai
tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka
pembuatan akta.
5. Memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batas-
batas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa
tempat diluar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan.
6. Baik langsung maupun tidak langsung, mengadakan usaha-usaha
yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat
dengan sesama rekan PPAT, termasuk namun tidak terbatas pada
penetapan jumlah biaya pembuatan akta.
7. Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama
rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan
usaha-usaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata.
8. Mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada
instansi-instansi, perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga
ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai PPAT dari
instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, baik tanpa apalagi
disertai pemberian insentif tertentu, termasuk namun tidak terbatas
pada penurunan tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari
tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun
perseorangan tersebut kepada PPAT tersebut.
9. Menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat
akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain.
Dalam hal demikian, anggota yang bersangkutan wajib menolak
permintaan itu, kecuali untuk keperluan tersebut telah mendapat
ijin dari PPAT pembuat rancangan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
52
UNIVERSITAS INDONESIA
10. Dengan jalan apapun berusaha atau berupaya agar seseorang
berpindah dari PPAT lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan
langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui
perantaraan orang lain.
11. Menempatkan pegawai atau pegawai-pegawai/asisten PPAT di
satu atau beberapa tempat diluar kantor PPAT yang bersangkutan,
baik di kantor cabang yang sengaja khusus dibuka untuk
keperluan itu maupun di dalam kantor instansi atau lembaga/klien
PPAT yang bersangkutan, dimana pegawai/asisten tersebut
bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta,
baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu,
kemudian pegawai/asisten tersebut membuat akta-akta itu,
membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan
menyuruh klien yang bersangkutan menandatanganinya di tempat
pegawai/asisten itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut.
Selanjutnya, akta-akta tersebut dikumpulkan untuk ditandatangani
PPAT yang bersangkutan di kantor atau di rumahnya.
12. Mengirim minuta kepada klien atau klien-klien untuk
ditandatangani oleh klien atau klien-klien tersebut.
13. Menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT atau
akta yang dibuat olehnya.Dalam hal seorang PPAT menghadapi
dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat
yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang
serius dan/atau membahayakan klien, maka PPAT tersebut wajib :
a. memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan
atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak
bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya
hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang
bersangkutan atau rekan sejawat tersebut.
b. Segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang
membuat akta tersebut, maka kepada klien yang
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
53
UNIVERSITAS INDONESIA
bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai hal-
hal yang salah dan cara memperbaikinya.
14. Menahan berkas seseorang dengan maksud untuk “memaksa”
orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas
tersebut.
15. Menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata
menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat
oleh/di hadapan PPAT yang bersangkutan.
16. Membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam
bentuk apapun untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah
dari PPAT lain.
17. Membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (jadi tidak
merupakan salah satu seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan
tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga
secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi
PPAT lain untuk berpartisipasi.
18. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain namun
tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT.
b. Isi sumpah jabatan.
c. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan
lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak
boleh dilakukan oleh anggota.
C. Pengecualian
Selain kewajiban dan larangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan
Pasal 4, maka hal-hal tersebut dibawah ini merupakan pengecualian yang
tidak termasuk pelanggaran :
1. Pengiriman kartu pribadi dari anggota yang berisi ucapan selamat
pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran anak,
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
54
UNIVERSITAS INDONESIA
keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain sebagainya
yang bersifat pribadi.
2. Pemuatan nama anggota oleh Perum Telekom atau Badan yang
ditugasinya dalam lembaran kuning dari buku telepon yang
disusun menurut kelompok-kelompok jenis usaha, tanpa pemuatan
nama anggota dalam box-box iklan lembaran kuning buku telepon
itu.
3. Pemuatan nama anggota dalam buku petunjuk facsimile dan/atau
telex.
4. Menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat
dalam akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota lain, asal
saja (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan telah
menjadi milik klien.
5. Bilamana dianggap perlu memperbincangkan pelaksanaan
tugasnya dengan rekan sejawat.
D. Sanksi
Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang
dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik
dapat berupa: teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara dari
IPPAT), Onzetting (pemecatan dari keanggotaan IPPAT), pemberhentian
dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.
Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana
terurai diatas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik
disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas pelanggaran yang dilakukan
anggota tersebut.
Sedangkan Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan
dalam Pasal 28 Ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa PPAT diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap
larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Kemudian Pasal 28 Ayat
(2)menyebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
55
UNIVERSITAS INDONESIA
jabatannya karena: (a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan
atau kewajiban sebagai PPAT; (b) dijatuhi hukuman kurungan penjara
karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan
hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih
berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap; dan (c) melanggar Kode Etik Profesi.
2.2.8. Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelayanan Masyarakat
PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dan diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah. Realisasinya, PPAT berwenang membuat akta
perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang
dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.
Terbitnya akta otentik sampai pada diterbitkannya Sertifikat Hak Atas
Tanah merupakan upaya mewujudkan kepastian dan memberikan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan. Karena, lalu lintas hukum dalam
kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan
jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.
Dalam hal ini, alat bukti yang dimaksud adalah Sertifikat Hak Atas Tanah. Akta
otentik sebagai alat bukti terkuat mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Jelaslah bahwa peran PPAT
dalam pelayanan pada masyarakat adalah memperlancar jalannya proses
pensertipikatan hingga dapat diterbitkannya akta otentik yang berupa Sertifikat
Hak Atas Tanah.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas
untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran
tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-
permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau
mengabulkan permohonan yang bersangkutan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
56
UNIVERSITAS INDONESIA
2.3. KEABSAHAN DAN OTENTITAS AKTA PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi
kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan
adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak
atas tanah dan bangunan.
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan,
setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat
dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak
yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya
tersebut dari gugatan pihak manapun.
Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut
belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak
yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak,
maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat
pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak
atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan
memperoleh hak tersebut.
Akta PPAT adalah akta otentik, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (1)
dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai akta otentik, terhadap
akta PPAT berlaku ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara
pembuatan akta otentik. Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang,
sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar
berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan
perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.58
Berkaitan dengan Pejabat Umum dan otentisitas suatu akta, harus
bersumber pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
”akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
58 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di BidangKenotariatan,(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 59
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
57
UNIVERSITAS INDONESIA
undang, dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang di tempat
dimana akta itu dibuatnya”.
Menurut pasal tersebut agar suatu akta memiliki otentisitas, maka harus
memenuhi syarat-syarat:
1. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum;
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
3. Pejabat Umum atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu di tempat di mana akta itu ditanda
tangani.
Akta PPAT sebagaimana halnya dengan akta Notaris, sama-sama sebagai
akta otentik. Akta otentik sendiri sebagaimana dikemukakan oleh C.A. Kraan di
dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984)
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:59
1. Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan
bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan dalam
tulisan, dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang.Tulisan
tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat
yang bersangkutan saja.
2. Tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang
berwenang.
3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi: ketentuan tersebut
mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu
tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data
di mana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.
4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak
memihak (onpartijdig-impartial) dalam menjalankan jabatannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata.
59 C.A. Kraan di dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984),dalam Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung,PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 214.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
58
UNIVERSITAS INDONESIA
5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
Sebagai akta otentik, akta PPAT sebagai alat bukti yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dapat terdegradasi kekuatan pembuktian
menjadi seperti akta di bawah tangan. Degradasi kekuatan bukti akta otentik
menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang
mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non
existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan
yaitu :60
1. Pasal 1869 KUH.perdata, yang berbunyi:
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawaitermaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapatdiberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatansebagai akta dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.”
Pasal ini memuat ketentuan, bahwa suatu akta tidak memiliki kekuatan
bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan dalam
hal:
a. Pejabat Umum tidak berwenang untuk membuat akta itu;
b. Pejabat umum tidak mampu (tidak cakap) untuk membuat akta itu;
c. Cacat dalam bentuknya.
2. Pasal 1320 KUHPerdata, Yang mengemukakan untuk sahnya suatu
perjanjian harus dipenuhi syarat yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan membuat suatu perjanijan;
c. suatu hal tertentu dan
d. kausa yang halal.
Syarat a dan b merupakan syarat subyektif karena mengenai
orang- orang atas subyek yang mengadakan perijanjian dan jika
syarat subyektif dilanggar mak aktanya dapat dibatalkan, sedangan
syarat c dan d merupakan syarat obyektif karena mengenai isi
60 Pieter Latumeten, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia Kebatatan dan DegradasiKekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, (Surabaya, 28 Januari 2009), hal. 2.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
59
UNIVERSITAS INDONESIA
perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka aktanya batal
demi hukum.
Sesuai dengan fungsi pembuktian dalam perkara perdata, maka akta-akta
yang dibuat dihadapan PPAT termasuk dalam lingkup bukti tulisan yang
dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata tersebut. Berdasarkan ketentuan dalam
KUHPerdata, bukti tulisan dapat dibedakan kedalam 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Bukti tulisan lainnya;
2. Bukti tulisan otentik;
3. Bukti tulisan di bawah tangan.
Menurut Pasal 1874 KUHPerdata, yang dimaksud dengan bukti tulisan
lain adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-
lainnya, yang dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan
dan tidak harus ada tanda tangannya. Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik
mengharuskan adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka
pengadilan serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan
perikatan. Bukti tulisan di bawah tangan (akta di bawah tangan) dan bukti tulisan
otentik (akta otentik) berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak
mengharuskan adanya tanda tangan.
Agar suatu akta PPAT mempunyai nilai yuridis yang mempunyai
kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka suatu akta PPAT harus
memenuhi 3 (tiga) syarat:
1. Syarat subjek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah
pihak yang berwenang atau yang berhak.
2. Syarat Objek yaitu tanah yang dijadikan sebagai objek peralihan hak atas
tanah sah menurut hukum (tidak dalam persengketaan, tidak dalam dalam
jaminan hutang dan lain-lain).
3. Syarat yuridis formal yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan
tersebut adalah pejabat yang berwenang, dihadiri dua orang saksi yang
sudah dewasa disetujui oleh ahli waris (dalam hal hibah) dan akta PPAT
merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
60
UNIVERSITAS INDONESIA
Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan,
karenanya apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat
dalam bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara
pembuatannya maka akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak
yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut.
2.4 PROSEDUR/TATA CARA PEMBUATAN AKTA JUAL BELI
2.4.1. Pengertian Akta Jual Beli
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Dalam pembuatan akta jual beli hak atas tanah, maka “suatu kebendaan” yang
dimaksud adalah hak atas tanah.
Akta Jual Beli hak atas tanah, termasuk hak milik atas satuan rumah susun
dibuat oleh PPAT manakala terjadi kesepakatan perjanjian jual beli terhadap
sebidang tanah atau hak milik atas satuan rumah susun antara Pihak Penjual dan
Pihak Pembeli.
Unsur esensial yang ada dalam perjanjian jual beli hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun adalah adanya pertukaran antara uang dengan
barang yang dalam hal ini adalah hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun.61
Akta Jual Beli termasuk dalam jenis Partij Acte (Partai Akta), bukan
Ambtelijk Acte (Akta Pejabat), artinya bahwa akta tersebut dibuat oleh para
pihak di hadapan PPAT, bukan PPAT yang membuat akta berdasarkan
kewenangan yang ada padanya, oleh karena itu PPAT hanya menuangkan apa
yang dijelaskan dan diakui oleh para pihak ke dalam akta. Kebenaran atas apa
yang disampaikan oleh para pihak adalah tanggung jawab para pihak, bukan
tanggung jawab PPAT, namun PPAT harus melakukan penghati-hatian dalam
pembuatan akta, termasuk dalam menerima keterangan-keterangan para pihak.
61 Mustofa, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, (Yogyakarta: Karya Media, 2010),hal. 47
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
61
UNIVERSITAS INDONESIA
PPAT tidak boleh menerima mentah-mentah apa yang dinyatakan oleh penjual
dan pembeli, PPAT harus tetap melakukan penelitian akan kebenaran apa yang
disampaikan
2.4.2. Obyek Akta Jual Beli
Obyek Akta Jual Beli adalah hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun. Hak atas tanah yang dimaksud dapat berupa sebidang tanah kosong
namun dapat juga berikut dengan bangunan yang berdiri di atasnya.
Jenis hak atas tanah yang dapat dibuatkan Akta Jual Beli oleh PPAT
adalah sebagai berikut:62
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Bangunan;
3. Hak Pakai;
4. Hak Guna Usaha.
Jual Beli mengenai Hak Pakai harus mengikuti ketentuan Pasal 43 UUPA
yang pada intinya:
1. Hak Pakai atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara hanya dapat
dialihkan (dijual) dengan mendapat ijin dari pejabat yang berwenang,
dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan setempat. Ijin yang
dimaksud harus didapatkan terlebih dahulu sebelum Akta Jual Beli
ditandatangani maka PPAT dilarang membuatkan aktanya sebelum ijin
didapatkan.
2. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan jika hal itu
diperjanjikan pemberian hak pakai.
2.4.3. Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli Oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998, ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata
62 Ibid., hal. 48-49
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
62
UNIVERSITAS INDONESIA
cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan
mengenai pendaftaran tanah”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 Peraturan
Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,
disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai
dengan bentuk yang telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan 23 peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang
mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya
berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu
blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi
dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah
tersebut berada, serta telah nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan
dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta
tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya
setelah para pihak telah mengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para
pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-saksi dan
PPAT.
Selain itu, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli
tanah, yaitu subyek dan obyek. Untuk subyek, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan jual beli tanah yaitu:
1. Yang harus jelas dalam melakukan jual beli tanah adalah calon penjual
harus berhak menjual tanah tersebut, atau dengan kata lain si penjual
adalah pemegang hak yang sah dari hak atas tanah itu ; kalau pemegang
hak hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu,
tetapi jika pemegang hak atas tanah tersebut terdiri dari dua orang atau
lebih, maka yang berhak menjual tanah itu adalah semua pemegang hak
itu secara bersama-sama, tidak boleh hanya seorang saja yang bertindak
sebagai penjual. Jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
63
UNIVERSITAS INDONESIA
berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula menurut hukum
tidak pernah terjadi jual beli. Dalam hal demikian maka kepentingan
pembeli sangat dirugikan.
2. Apakah penjual berwenang untuk menjual, mungkin terjadi bahwa
seseorang berhak atas suatu hak atas tanah akan tetapi orang itu tidak
berwenang menjualnya kalau tidak dipenuhi syarat tertentu, misalnya
tanah tersebut milik anak di bawah umur atau milik seseorang yang
berada di bawah pengampuan. Jika suatu jual beli tanah dilakukan, tetapi
ternyata yang menjual tidak berwenang menjual atau si pembeli tidak
berwenang membeli, walaupun si penjual adalah berhak atas tanah itu
atau si pembeli berhak membeli, maka akibatnya jual beli itu dapat
dibatalkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, lagipula Kantor
Pendaftaran Tanah akan menolak pendaftaran jual beli itu.63
3. Apakah penjual boleh menjual tanah yang akan dijadikan obyek jual beli.
Seseorang mungkin berhak menjual sebidang tanah; juga orang tersebut
berwenang melakukan penjualan, tetapi dia tidak atau belum boleh
menjual tanah itu. Misalnya seseorang mempunyai tanah bekas Hak Barat
atau tanah bekas Hak Indonesia yang pernah didaftar atau milik menurut
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi belum terdaftar pada
Kantor Pertanahan atau sertifikatnya hilang, maka orang tersebut belum
boleh menjual tanah itu, ia harus mengurus dan memperoleh sertifikatnya
terlebih dahulu setelah itu baru boleh dijual.
4. Apakah penjual atau pembeli bertindak untuk dirinya sendiri atau sebagai
kuasa. Penjual / Pembeli mungkin bertindak untuk dirinya sendiri atau
selaku kuasa. Baik penjual/pembeli bertindak sendiri maupun melalui
kuasa, identitasnya harus jelas. Kalau penjual/pembeli adalah orang
(manusia), maka identitas itu adalah nama, umur (tanggal lahir),
kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Semua itu dapat dibaca
dalam Kartu Tanda Penduduk atau Passport. Bila penjual/pembeli adalah
badan hukum, maka identitasnya adalah nama, bentuk badan hukumnya,
kedudukan badan hukum, pengurus pengurusnya. Semua itu dapat
63 Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 4.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
64
UNIVERSITAS INDONESIA
diketahui dari akta pendirian/anggaran dasar/peraturan perundangan
pembentukannya. Dalam hal penjual/pembeli bertindak melalui kuasa,
maka surat kuasa khusus untuk menjual harus ada (akta otentik atau yang
dilegalisir). Kuasa hukum yang menurut lazimnya hanya untuk
melakukan pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas
untuk menjual tanah yang akan dijual itu.
5. Apakah pembeli boleh membeli. Misalnya suatu perseroan terbatas (PT)
tidak boleh menjadi subyek hak milik atas tanah. Berarti perseroan
terbatas (PT) itu tidak boleh membeli tanah yang berstatus Hak Milik,
kecuali yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah nomor : 38 tahun
1963.
Sedangkan hal yang lain harus diperhatikan dalam jual beli tanah adalah
objek dari jual beli itu. Jual beli terkadang tidak hanya meliputi tanah hak
sebagaimana disebutkan di atas melainkan dapat pula meliputi bangunan
permanen yang didirikan diatasnya, atau tanaman keras (yang berumur panjang),
apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bahwa bangunan tersebut menurut sifatnya menjadi satu kesatuan dengan
tanahnya.
2. Bahwa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan adalah juga pemilik
bangunan tersebut.
3. Dalam akta jual belinya disebutkan secara tegas bahwa obyek jual belinya
meliputi tanah hak dan bangunan.
Ketiga syarat di atas merupakan penerapan asas pemisahan horizontal
dalam praktek di kalangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang membuat
akta jual beli. Syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual beli tanah
dan bangunan, meliputi:
1. Surat bukti kepemilikan obyek jual beli berupa sertifikat hak atas tanah
atau surat-surat lain, untuk hak milik yaitu bekas Hak Milik Adat yang
belum bersertipikat berupa girik, pipil, petuk. Dan jika dipandang perlu
dapat pula dilengkapi dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah
(SKPT) dari Kantor Pertanahan (Kabupaten/Kota) setempat.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
65
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Surat-surat tentang orangnya, yaitu data diri tiap pihak penjual dan
pembeli yang bisa berupa:
a. KTP/Surat Ijin Mengemudi/Passport
b. Kartu Keluarga
c. Surat Nikah
d. Akta Kelahiran
3. Surat tanda bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) menurut UU No. 21 Tahun 1997. Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) wajib dibayar sebelum Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) membuat akta jual beli dan bangunan,
sebesar 5% setelah harga tanah dan bangunan dikurangi yang bebas dari
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Berdasarkan perubahan Undang-
Undang tersebut ditetapkan yang bebas maksimal Rp. 80.000.000,-
(delapan puluh juta rupiah) dan ditetapkan secara regional ; berikut
pembayaran pajak penghasilan (PPh).
Sebelum datang ke PPAT, pihak penjual dan pembeli harus melakukan
persiapan-persiapan yang dilakukan dalam jual beli tanah, yaitu berupa :
1. Melakukan penelitian terhadap surat-surat yang menyangkut tanah yang
akan menjadi obyek jual beli.
2. Melakukan kesepakatan tentang tanah dan harga.
3. Pelaksanaan pemindahan hak atas tanah dengan akta jual beli dilakukan
dihadapan PPAT.
4. Melakukan pendaftaran hak untuk memperoleh sertifikat dari pejabat
yang berwenang.
Sedangkan dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan
PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum
dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang
berkepentingan. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah:
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
66
UNIVERSITAS INDONESIA
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor
Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang
ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
2. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin
tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon
penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a) Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan
maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b) Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka
tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek
landreform;
d) Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan
b tidak benar.
5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa
tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu
perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
67
UNIVERSITAS INDONESIA
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang
ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
7. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan
prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai
ketentuan yang berlaku.
8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang
dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada
Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan
rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang
bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-
daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau
surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau
untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan
Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
68
UNIVERSITAS INDONESIA
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat
kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum
pemindahan hak; atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin
Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut
diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Atas penolakan itu PPAT harus menyampaikan secara tertulis kepada para
pihak dengan disertai alasan-alasannya.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya
sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan
ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta
jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari
identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena
jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Objek jual beli harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang
bersangkutan.
Berikut adalah proses pembuatan akta jual beli di Kantor PPAT hingga
pendaftaran:
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
69
UNIVERSITAS INDONESIA
1. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.
a. Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah
melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor
Pertanahan.
b. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5% dari
HargaTransaksi, di bayarkan di Bank atau Kantor Pos.
c. Pembeli harus membayar Pajak berupa BPHTB dihitung dari nilai
transaksi.
d. Calon pembeli membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah
tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi
ketentuan batas luas maksimum penguasaan tanah.
e. Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak
dalam sengketa.
f. PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan
dijual sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank.
2. Pembuatan Akta Jual Beli
a. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan pembeli atau
orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika
dikuasakan.
b. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang
saksi biasanya dari perangkat desa jika melalui PPAT Sementara
(camat/lurah) dan kedua pegawai Notaris jika melalui NOTARIS/
PPAT.
c. Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan
mengenai isi dan maksud pembuatan akta, termasuk juga sudah
lunas transaksinya.
d. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan pembeli maka akta
ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan Pejabat
Pembuat Akte Tanah.
e. Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT
dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk
keperluan pendaftaran peralihan hak (balik nama/pemecahan).
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
70
UNIVERSITAS INDONESIA
f. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
3. Langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli
a. Sebelum Akta Jual beli didaftarkan atau diserahkan ke kantor
Pertanahan setempat maka harus dilakukan validasi SSB dikantor
PBB.
b. PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor
Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat atau pemecahan
sertifikat.
c. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari
kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
4. Berkas yang diserahkan ke Kantor Pertanahan
a. Sertifikat Asli, dan PPAT yang bersangkutan telah mendaftarkan
proses pengecekan.
b. Surat Permohonan dari PPAT yang bersangkutan.
c. Surat pernyataan keterlambatan dari PPAT, apabila pendaftaran
melewati dari 7 (tujuh) hari.
d. Akta Jual Beli (AJB) yang dikeluarkan oleh PPAT yang
bersangkutan (lembar kedua).
e. Surat Pernyataan dari Penjual apabila belum Menikah.
f. Persetujuan Suami/Istri Penjual.
g. Fotocopy identitas :
-Jika Perorangan :
untuk Penjual yaitu KTP/Paspor dan Kartu Keluarga,
apabila penjual sudah menikah KTP suami/istri dan surat
Nikah.
untuk Pembeli yaitu KTP/Paspor.
-Jika Badan Hukum :
Akta Pendirian Badan Hukum sesuai dengan UU No.40
tahun 2007
Pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia
RI
KTP/Paspor Penanggung jawab ( Direktur)
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
71
UNIVERSITAS INDONESIA
Akta Kuasa bila dikuasakan.
h. Fotocopy ijin peralihan jika itu diharuskan.
i. Fotocopy tanda pelunasan PBB tahun berjalan
j. Fotocopy SSP apabila diperlukan
k. Asli SSB Lembar ke-3 yang sudah divalidasi
l. Surat Kuasa Pengurusan dari Pemohon kepada PPAT
Dengan ketentuan semua fotocopy harus dilegalisir oleh Notaris
5. Prosesnya di Kantor Pertanahan
a. Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor
Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan
balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti
penerimaan ini diserahkan kepada Pembeli.
b. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan
sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala
Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.
c. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman
dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan
dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala
d. KantorPertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
e. Setelah selesai maka sertifikat hak yang dialihkan diserahkan
kepada pemegang hak baru atau kuasanya.
2.5. ANALISIS KASUS AKTA JUAL BELI TANGGAL 14 MARET 2012
NOMOR 07/2012
2.5.1. Posisi Kasus
Pada awal bulan Desember, telah terjadi kesepakatan antara Tuan FA
selaku pembeli dan Tuan CB selaku penjual mengenai pembelian sebidang tanah
yang berstatus Sertipikat Hak Milik atas nama Tuan CB di daerah Lebak Bulus
seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi) dengan menunjuk Notaris AM sebagai
Notaris/PPAT.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
72
UNIVERSITAS INDONESIA
Pada tanggal 21 Januari 2012, Tuan FA menghadap Notaris/PPAT Tuan
AM tetapi ternyata yang hadir adalah Notaris/PPAT TH yang berperan sebagai
penerima protokol dari Tuan AM yang ternyata pada saat itu sudah pensiun
sebagai PPAT dan hal ini tidak diberitahukan kepada Tuan FA sebelumnya.
Pada saat pertemuan dengan Tuan TH untuk pembuatan Akta Jual Beli
tersebut, Tuan TH tidak ada menjelaskan sama sekali mengenai isi dari Akta Jual
Beli tersebut dan beliau terlihat seperti tergesa-gesa dengan beberapa kali
menanyakan apakah Tuan FA sudah siap untuk menandatangani Akta Jual Beli
tersebut.
Pada saat Tuan FA membaca isi dari Akta Jual Beli tersebut, beliau mulai
menyadari adanya beberapa hal yang tidak lazim dalam Akta Jual Beli dan hal-
hal tersebut antara lain adalah:
1. Pada saat negosiasi yang dilakukan oleh Tuan FA dan Tuan CB, status
hak atas tanah adalah Sertipikat Hak Milik dan ternyata yang tertera
dalam Akta Jual Beli adalah Hak Guna Bangunan. Ketika Tuan FA
menanyakan mengenai hal ini, Tuan TH dan Tuan CB hanya menjelaskan
bahwa hal ini dapat diurus dengan mudah dan Tuan CB berjanji akan
mengurus peningkatan status HGB menjadi SHM serta menanggung
biaya peningkatan status tersebut. Selanjutnya, Tuan TH hanya
menjelaskan secara singkat isi Akta Jual beli sebelum penandatanganan.
2. Tanah yang dibeli ternyata merupakan tanah yang dijual sebagian dan
pemecahan sertipikat belum dilakukan. Luas tanah yang tercantum dalam
sertipikat induk adalah sebesar kurang lebih 508 m2 (lima ratus delapan
meter persegi) sedangkan tanah yang akan dibeli adalah 200 m2 (dua
ratus meter persegi). Berkenaan dengan ini, baik Tuan CB maupun Tuan
TH tidak memberi informasi lebih lanjut kepada Tuan FA.
3. Di dalam Akta Jual Beli tersebut masih terdapat kata-kata kurang lebih
(……. yaitu seluas kurang lebih…….m2) yang seharusnya tidak boleh
digunakan karena dalam jual beli tanah yang sebagian, seharusnya ada
pengukuran sehingga luas tanah yang akan dijual tepat dan akurat
ukurannya dan tidak menggunakan kurang lebih.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
73
UNIVERSITAS INDONESIA
4. Penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di kantor Tuan TH dan
dilakukan di kantor Notaris AM dengan alasan bahwa Tuan TH adalah
penerima protokol dari Tuan AM.
5. Pada saat penandatanganan Akta Jual Beli, Akta tersebut belum diberi
nomor dan tanggal dan ketika ditanyakan kenapa belum diberi nomor dan
tanggal, Tuan TH menjelaskan bahwa pajak-pajak yang harusnya menjadi
kewajiban para pihak belum dibayarkan karena SPPT tanah tersebut
belum keluar untuk tahun 2012.
6. Nilai transaksi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan nilai transaksi
yang ada dalam Akta Jual Beli.
Selanjutnya, Tuan FA bertanya kembali kenapa prosedur pembuatan akta
jual beli terlihat berbeda dengan yang pembuatan akta jual beli yang lain dan
Tuan TH hanya menjelaskan bahwa setiap kasus dari jual beli tanah berbeda-
beda dan apa yang ada dalam teori pembuatan Akte Jual Beli sangat berbeda
dalam prakteknya dan bahwa semua yang dilakukannya dalam proses ini sudah
sering terjadi. Tuan TH juga menerangkan bahwa Akta Jual Beli yang
ditandatangani oleh Tuan FA dan Tuan Cahyo Baroto adalah akta yang otentik
dan jual beli yang dilakukan saat itu sudah sah.
Sampai saat inipun, Akta Jual Beli yang dibuat pada tanggal 21 Januari
2012 dan diberikan tanggal 14 Maret 2012 nomor 07/2012, masih belum
didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Nasional.
2.5.2. Analisis Kasus
Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, seringkali PPAT dalam
membuat akta peralihan hak atas tanah terjadi kesalahan atau kelalaian yang
mengakibatkan akta jual beli yang dibuatnya dapat dibatalkan atau dinyatakan
batal demi hukum oleh putusan Pengadilan.
Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dalam membuat akta
jual beli akan berdampak secara langsung kerugian yang akan diderita kliennya.
Secara lebih terperinci produk akta PPAT yang menimbulkan masalah atau
terjadi penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta karena menyangkut
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
74
UNIVERSITAS INDONESIA
syarat materiil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan
persyaratan)64 atau hal-hal lain dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penyimpangan terhadap syarat materiil
Penyimpangan terhadap syarat materiil dapat terjadi dikarenakan:
a. Salah satu penghadap dalam akta jual beli adalah anak di bawah
umur atau belum genap berusia 21 tahun.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ditegaskan
bahwa seseorang yang cakap melakukan tindakan menurut hukum
(bekwaam) adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau telah
pernah melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 330
KUHPerdata dan Stbl. 1931 No. 54.
b. Penghadap bertindak berdasarkan kuasa, namun pemberi kuasa
yang disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal dunia.
Berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
bahwa salah satu sebab berakhirnya suatu kuasa adalah karena
meninggalnya si pemberi kuasa sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1813 KUHPerdata, yaitu:
Pemberian kuasa berakhir:
-Dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
-Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima
kuasa;
-Dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi
kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang
memberikan atau menerima kuasa.
c. Penghadap bertindak berdasarkan kuasa subsitusi, akan tetapi
dicantumkan dalam akta pemberian kuasa mengenai hak subsitusi.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa sifat
pemberi kuasa adalah persetujuan, maka penerima kuasa tidak
dibenarkan bertindak melampaui persetujuan dalam kuasa yang
diterimanya, sebagaimana diatur Pasal 1719 KUHPerdata, yaitu:
“penerima titipan tidak boleh mengembalikan barang titipan itu
64 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 77
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
75
UNIVERSITAS INDONESIA
selain kepada orang yang menitipkan sendiri barang itu atau
kepada orang yang atas namanya menitipkan barang itu atau
kepada wakil yang ditunjuknya untuk menerima kembali barang
termaksud”.
d. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai dengan adanya
persetujuan dari pihak-pihak yang berhak memberi persetujuan
terhadap perbuatan hukum dalam suatu akta, yaitu:
1) Persetujuan isteri
2) Dalam melakukan perbuatan mengalihkan atau
menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa
persetujuan suami, demikian juga sebaliknya apabila suami
melakukan perbuatan untuk mengalihkan atau
menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa
persetujuan istri.
Berdasarkan ketentuan undang-undang dinyatakan bahwa
sejak saat dilangsungkan perkawinan tanpa ada perjanjian
kawin, maka terjadilah harta bersama, dengan demikian
antara suami dengan istri dalam melakukan perbuatan
hukum terhadap hak atas tanah harus dengan persetujuan
kedua belah pihak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
119 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menuruthukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suamiisteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Hartabersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak bolehditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antarasuami isteri.”
3) Terhadap pengurus perseroan melakukan perbuatan untuk
mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah yang
merupakan harta kekayaan perseroan tanpa adanya
persetujuan dari pesero yang ditetapkan dalam anggaran
dasar perseroan. Demikian juga terhadap salah seorang
atau beberapa orang pengurus yayasan atau koperasi dalam
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
76
UNIVERSITAS INDONESIA
melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau
menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari
pengurus yayasan dan koperasi yang ditetapkan dalam
anggaran dasar.
2. Penyimpangan terhadap syarat formil
Penyimpangan terhadap syarat formil dapat terjadi dikarenakan antara
lain:
a. PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara terperinci,
namun hanya menerangkan para pihak tentang perbuatan hukum
dalam akta tersebut.
b. Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak.
c. Penandatanganan akta jual beli tidak dihadapan PPAT.
d. Sertipikat belum diperiksa kesesuaiannya dengan buku tanah di
Kantor Pertanahan pada saat akta jual beli ditandatangani.
e. Pembuatan Akta Jual Beli dilakukan di luar wilayah daerah kerja
PPAT.
f. Nilai harga transaksi dalam akta jual beli berbeda dengan yang
sebenarnya.
Berdasarkan kasus tersebut di atas, maka Penulis dapat menyimpulkan
bahwa dalam pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Tuan TH telah terjadi
kesalahan atau kelalaian yang menyimpang dari tata cara/prosedur pembuatan
akta PPAT. Akibat hukum dari kesalahan atau kelalaian PPAT adalah sebagai
berikut:
1. PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara keseluruhan, akan tetapi
hanya menerangkan secara singkat kepada para pihak mengenai hak dan
kewajiban masing- masing pihak dalam akta jual beli tersebut. Dalam
menjalankan prakteknya sehari-hari, seringkali PPAT tidak membacakan
isi akta jual beli dihadapan para pihak, namun PPAT hanya memberi
keterangan mengenai fungsi dari akta jual beli. Sebagian PPAT
menganggap tidak dibacakannya secara menyeluruh isi akta pasal demi
pasal dikarenakan ada sebagian kliennya telah mengerti dan memahami
tentang perbuatan hukum yang dilakukannya dalam akta jual beli tersebut,
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
77
UNIVERSITAS INDONESIA
serta ada juga yang menganggap tidak harus dibacakan secara menyeluruh
namun kepada para pihak hanya diberitahukan tentang hak, kewajiban
dan akibat hukum dari masing-masing pihak. Kewajiban PPAT
membacakan isi akta diatur dalam Pasal 101 ayat 3 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: “PPAT wajib membacakan akta
kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai
isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus
dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku”. Sebagai akibat
dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan dengan tidak
hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat terhadap
kewajiban sebagai PPAT. (Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pemberhentian tidak
hormat tersebut dikarenakan perbuatan PPAT dengan tidak membacakan
isi akta jual beli termasuk dalam jenis pelanggaran berat, sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf i yang secara tegas dinyatakan
bahwa: “PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun
pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta
yang dibuatnya;.” Perbuatan PPAT yang tidak membacakan isi akta
tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat formil
dalam pembuatan akta PPAT, serta akan mengakibatkan akta PPAT dapat
kehilangan keotentikannya dan pada akhirnya membuat akta tersebut
dapat didegradasikan menjadi akta di bawah tangan. Terhadap
pelanggaran kewajiban tersebut, PPAT dapat dikenakan sanksi
administrasi yaitu pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya.
Selain itu, PPAT juga dapat dituntut oleh pihak-pihak yang merasa
dirugikan atas kelalaiannya tersebut.
2. Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak-pajak
yang menjadi kewajiban para pihak, maka PPAT tersebut jelas-jelas telah
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
78
UNIVERSITAS INDONESIA
melanggar ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara
tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak” dan tidak
memenuhi syarat formil dimana PPAT harus membayarkan pajak-pajak
yang menjadi tanggung jawab pembeli dan penjual sebelum
menandatangani akta jual beli. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut,
maka PPAT dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal
93, yaitu: Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
3. Nilai harga transaksi yang tertera dalam akta jual beli berbeda dengan
nilai transaksi yang sebenarnya. Dalam kasus ini, nilai transaksi lebih
kecil dari nilai transaksi yang sebenarnya, yaitu berdasarkan dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) bukan dari harga transaksi, sehingga pajak yang
harus dibayar lebih kecil dibandingkan apabila dibayar berdasarkan nilai
transaksi yang sebenarnya.
Menurut Pasal 87 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, dinyatakan
bahwa:
Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
a) Nilai Perolehan Objek Pajak.
b) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
dalam hal (a) jual beli adalah harga transaksi
Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan
dengan tidak hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat
terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dan akta tersebut tidak
memenuhi salah satu syarat formil dalam pembuatan akta. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
79
UNIVERSITAS INDONESIA
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Pemberhentian tidak hormat tersebut dikarenakan
perbuatan PPAT tersebut termasuk dalam jenis pelanggaran berat,
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf d yang secara tegas
dinyatakan bahwa: “memberikan keterangan yang tidak benar di dalam
akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.” Akibat
pelanggaran tersebut, maka akta PPAT dapat terdegradasi kekuatan
pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau peraturan-
peraturan lain dan selain itu, pihak-pihak yang yang berkepentingan
dalam akta tersebut dapat mengajukan gugatan karena adanya cacat
hukum dalam pembuatan akta yang dilakukan oleh PPAT. Pemberian
sanksi administrasi yang akan dikenakan kepada PPAT atas kesalahan
dalam pembuatan akta jual beli akan dilihat terlebih dahulu dari berat
ringannya pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan. Ada 4 (empat)
hukuman disiplin berupa sanksi administrasi, yaitu:
a. Teguran lisan.
b. Teguran tertulis.
c. Pemberhentian sementara dari jabatan sebagai PPAT/PPAT
Sementara, yang berkisar dari satu bulan sampai dengan enam
bulan.
d. Pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan sebagai PPAT.
4. Pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di kantor
PPAT Tuan TH tetapi dilakukan di kantor Notaris AM. Hal ini jelas
melanggar Pasal 3 Kode Etik PPAT yang berbunyi bahwa PPAT
berkewajiban menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan
satu-satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan
tugas jabatan sehari-hari. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka
PPAT dapat dikenakan sanksi berupa:
a. Teguran.
b. Peringatan.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
80
UNIVERSITAS INDONESIA
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT.
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT.
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.
5. Tanggal yang tertera dalam akta jual beli tanggal 14 Maret 2012 nomor
7/2012 tidak sama dengan tanggal ditandatanganinya akta. Tanggal yang
tertera adalah 14 Maret 2012 sedangkan tanggal penandatanganan akta
tersebut adalah 21 Januari 2012, hal ini dikarenakan belum dibayarnya
pajak-pajak yang seharusnya dibayarkan sebelum pembuatan akta.
Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan
dengan tidak hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat
terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Pemberhentian tidak hormat tersebut dikarenakan
perbuatan PPAT tersebut termasuk dalam jenis pelanggaran berat,
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf d yang secara tegas
dinyatakan bahwa: “memberikan keterangan yang tidak benar di dalam
akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.” Selanjutnya,
PPAT yang bersangkutan juga dapat dituntut oleh para pihak.
6. PPAT membuat Akta Jual Beli atas sebagian tanah yang belum dipecah
sertipikatnya. Dalam pembuatan Akta Jual Beli, harus jelas objek dari jual
beli tersebut. Jadi apabila sertipikat induk yang dijadikan sebagai
pembuktian, maka akan terjadi kerancuan di kemudian hari bagi si
pembeli karena pembeli tidak bisa menentukan bagian mana yang
merupakan haknya. Oleh karena itu, sebelum PPAT membuat Akta Jual
Beli, harus diadakan permohonan pemecahan sertipikat dan diadakan
pengukuran ulang baik oleh penjual atau PPAT yang ditunjuk oleh
penjual. Selama hal ini belum dilakukan, maka PPAT belum bisa
melakukan pendafaran tanah karena hal-hal yang mendasari tidak
terpenuhinya syarat-syarat pendaftaran tanah, antara lain adalah:
a. Harga jual beli belum dibayar lunas;
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
81
UNIVERSITAS INDONESIA
b. Objek jual beli masih dijaminkan atau sedang diagunkan;
c. Izin pengalihan hak belum dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang;
d. Pajak-pajak yang terhutang belum dibayarkan
e. Sertipikat belum di roya
f. Sertifikat belum dipecah (masih sertipikat induk).
Seharusnya dalam hal ini, PPAT tersebut menyarankan kepada Tuan FA
untuk membuat Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat oleh Notaris.
Sesudah adanya pemecahan barulah bisa dibuatkan Akta Jual Beli. Salah
satu kewajiban dari PPAT dalam Kode Etik yang diatur dalam Pasal 3
yaitu Profesi PPAT adalah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud
agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya
sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Sanksi yang dapat
dikenakan kepada PPAT yang bersangkutan adalah sanksi administratif
yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelangaran Kode Etik
yaitu berupa:
a. Teguran.
b. Peringatan.
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT.
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT.
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.
7. Tujuh hari setelah penandatanganan, PPAT tidak menyampaikan Akta
Jual Beli yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Hal
ini berkaitan erat dengan hal di angka 5 di atas karena apabila Akta Jual
Beli ini belum selesai prosesnya karena belum ada pengukuran ulang
akibat pemecahan tanah tersebut sehingga Akta Jual Beli tersebut belum
bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sebagai akibat dari perbuatan ini
maka PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan
yang ada dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi: “Selambat-lambatnya 7
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
82
UNIVERSITAS INDONESIA
(tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan,
PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-
dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar”.
PPAT yang melanggar ketentuan dalam pasal ini akan dikenakan tindakan
administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari
jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan
dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang
diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
83
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Simpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam pembuatan tesis ini
adalah:
1. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data
pendaftaran tanah maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan
pembebanan hak. Dalam pembuatan akta, PPAT harus mentaati prosedur
pembuatan akta berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan
yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan
perundangan lainnya yang bersangkutan agar akta tersebut menjadi akta
otentik dan dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban hukum dan
perlindungan hukum bagi semua pihak dan prosedur tersebut meliputi:
Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.
a. Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta
Tanah melakukan pemeriksaan mengenai keaslian
sertifikat ke kantor Pertanahan.
b. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5%
dari HargaTransaksi, di bayarkan di Bank atau Kantor Pos.
c. Pembeli harus membayar Pajak berupa BPHTB dihitung
dari nilai transaksi.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
84
UNIVERSITAS INDONESIA
d. Calon pembeli membuat pernyataan bahwa dengan
membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak
atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum
penguasaan tanah.
e. Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki
tidak dalam sengketa.
f. PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah
yang akan dijual sedang dalam sengketa atau dalam
tanggungan di bank.
Pembuatan Akta Jual Beli:
a. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan pembeli
atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis
jika dikuasakan.
b. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi biasanya dari perangkat desa jika melalui
PPAT Sementara (camat/lurah) dan kedua pegawai Notaris
jika melalui NOTARIS/ PPAT.
c. Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan
menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta,
termasuk juga sudah lunas transaksinya.
d. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan pembeli maka
akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan
Pejabat Pembuat Akte Tanah.
e. Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor
PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak
(balik nama/pemecahan).
f. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan
salinannya.
Langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli:
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
85
UNIVERSITAS INDONESIA
a. Sebelum Akta Jual beli didaftarkan atau diserahkan ke
kantor Pertanahan Setempat maka harus dilakukan validasi
SSB dikantor PBB.
b. PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke
Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat
atau pemecahan sertifikat.
c. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh
hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
2. Proses peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh Tuan TH selaku
PPAT adalah sebagai berikut:
a) PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara keseluruhan,
akan tetapi hanya menerangkan secara singkat kepada para pihak
mengenai hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam akta
jual beli tersebut.
b) Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak-
pajak yang menjadi kewajiban para pihak.
c) Nilai harga transaksi yang tertera dalam akta jual beli berbeda
dengan nilai transaksi yang sebenarnya.
d) Pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di
kantor PPAT TH melainkan di kantor Notaris/PPAT AM.
e) Tanggal yang tertera dalam akta jual beli tanggal 14 Maret 2012
nomor 7/2012 tidak sama dengan tanggal ditandatanganinya akta
yaitu tanggal 21 Januari 2012.
f) PPAT membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang belum dipecah
sertipikatnya.
g) Tujuh hari setelah penandatanganan, PPAT tidak menyampaikan
Akta Jual Beli yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftar.
3. Akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak
sesuai dengan prosedur dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi
hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat terdegradasi
kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
86
UNIVERSITAS INDONESIA
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan atau
peraturan-peraturan lain. Sedangkan sanksi yang akan dikenakan PPAT
atas kesalahan yang dilakukannya dalam pembuatan akta jual beli, PPAT
dapat dikenakan:
a) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian
dari jabatannya sebagai PPAT.
b) Sanksi pidana maupun perdata yang berasal dari tuntutan pihak-
pihak yang menderita kerugian.
c) Sanksi administratif dibidang perpajakan apabila pada saat
penandatanganan akta jual beli, PPAT belum membayarkan pajak-
pajak yang menjadi tanggung jawab para pihak. Sanksi tersebut
adalah PPAT dapat dikenakan denda sebesar Rp.7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
B. SARAN
1. Untuk PPAT
PPAT adalah pejabat umum yang melayani masyarakat sehingga dalam
menjalankan tugasnya melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya harus
selalu patuh dan selalu bersandar kepada ketentuan-ketentuan yang ada, karena
akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik yang sangat mempengaruhi
kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. PPAT juga perlu lebih memahami
ketentuan-ketentuan yang ada untuk menghindarkan PPAT dari sanksi
pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat maupun
tuntutan ganti rugi dari para pihak. PPAT dalam menjalankan tugasnya harus
selalu berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi terhadap profesi
dan jabatannya selaku PPAT.
Selain itu, diharapkan kepada PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya
selalu bertindak secara profesional dan memiliki prinsip kehati-hatian dalam
pembuatan akta PPAT. Hal tersebut diperlukan agar akta yang dibuat oleh PPAT
tidak menjadi cacat hukum dan merugikan masyarakat. Selanjutnya, PPAT juga
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
87
UNIVERSITAS INDONESIA
harus bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak
berpihak.
2. Untuk Para Pihak
Bagi para pihak sebaiknya lebih selektif dalam memilih PPAT dan
sebelum membuat akta jual beli, para pihak dianjurkan untuk:
a. menanyakan kepada PPAT mengenai prosedur pembuatan akta jual beli,
b. membaca peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan
akta jual beli tersebut,
c. melakukan penelitian lewat internet.
Hal-hal tersebut di atas perlu dilakukan agar para pihak tidak dirugikan
dan akta jual beli yang dihasilkan dapat menjamin kepastian hak atas tanah yang
diperjualbelikan.
3. Untuk Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT)
IPPAT harus memberikan penyuluhan mengenai prosedur pembuatan akta
di dalam berbagai acara seperti dalam acara seminar pertanahan atau konggres
PPAT agar PPAT selalu ingat untuk mengikuti prosedur yang tepat, benar dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
88
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR REFERENSI
A. BUKU
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia HukumPerjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya bakti, 2006.
______________.Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007
Cahyo, Bambang Tri. Ekonomi Pertanahan. cet 1. Yogjakarta: Liberty, 1983.
Effendi, Bachtiar. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni,1982.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Hukum TanahNasional Jilid 1. Jakarta : Djambatan, 2003.
_______. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Edisi Revisi Cetakanke-19. Jakarta : Djambatan, 2008.
Limbong, Bernhard. Konflik Pertanahan. cetakan ke-1. Jakarta: CV Rafi MajuMandiri, 2012.
Lubis, Mohammad dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung:Mandar Maju, 2008.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. cetakan ke-1.Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum dan Politik Agraria, Jakarta : Karunika-Universitas terbuka, 1988.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Jual Beli. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2003.
Mustofa. Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: Karya Media,2010.
Perangin-angin, Effendi. Hukum Agraria di Indonesia. cetakan ke-III. Jakarta :Rajawali. 1991.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
89
UNIVERSITAS INDONESIA
___________________. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria.Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994
_______. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandangan PraktisiHukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa, 1986.
_______. Praktak Jual Beli Tanah, Jakarta : Rajawali Pers, 1987.
Rubaie, Achmad. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang:Bayumedia,2007.
Saleh, K. Wantjik. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977.
Salindeho, John. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Jakarta: Grafija, 1993.
Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Cetakan ke-2.Jakarta:Kencana. 2011
Sihombing, B.F. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.Jakarta: Toko Gunung Agung, 2004.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. cet ke-3. Jakarta: UI Press,1986.
_______________. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1983.
Soimin, Sodaryo. Status Tanah dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika,1994.
Subekti. Aneka Perjanjian. Cetakan ke-10. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Cetakan ke-1,Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007.
Uttrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Djakarta: Balai BukuIkhtiar, 1963.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
Badan Pertanahan Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan tentangKetentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan BPN Nomor 1Tahun 2006
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
90
UNIVERSITAS INDONESIA
Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,No. 5 Tahun 1960, Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960,
Tambahan Berita Negara No.2043.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 Tahun1997, Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor3696.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pejabat Pembuat AktaTanah, UU No.37 Tahun 1998, Lembaran Negara Nomor 52 Tahun 1998,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3740.
_______. Peraturan Menteri Negara / Kepala Badan Pertanahan NasionalTentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PMNA Nomor 3 Tahun 1997.
_______. Undang-Undang Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, UUNo.28 Tahun 2009, Lembaran Negara Nomor 130 Tahun 2009,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988
C. Skripsi/Tesis/Disertasi
Kraan, C.A, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984) dalam HerlienBudiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013