tipus +kasus ponari
DESCRIPTION
ponariTRANSCRIPT
Kasus Ponari
Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu dunia informasi gempar dengan
munculnya cara pengobatan alternative baru yang dapat dikatakan “ajaib”. Pengobatan ponari ini
termasuk dalam pengobatan tradisional. Metode pengobatannya adalah dengan mencelupkan
batu ke dalam air, kemudian pasien disuruh meminum air celupan batu tersebut.
Menanggapi hal ini, menurut kelompok kami, sebagai seorang dokter kita berhati-hati dalam
menanggapinya terutama apabila pasien bertanya tentang pengobatan tersebut. Pada pengobatan
sebaiknya dinelaah lebih lanjut teknik pengobatan ini dapat dibuktikan secara biomedis atau
tidak. Selain itu, harus diperhatikaan juga kelegalan dari tempat praktek pengobatan ini. Selain
itu perlu juga ditelaah apakah ilmu yang dipraktekan oleh Ponari ini berasal dari suatu pelatihan
khusus serta melalui pendidikan terstruktur. Karena menurut kelompok kami, sebagai seorang
dokter, kita harus melindungi pasien dari hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari.
Tinjauan Pustaka
1. Kanker Paru
2. Perawatan paliatif
a. Perawatan Paliatif Dari Segi Etika dan Moral
Menurut etika , tindakan perawatan paliatif menjunjung prinsip
beneficence dan nonmaleficence . Prinsip beneficence yaitu prinsip berbuat baik
yang wajib dilakukan oleh dokter kepada pasiennya, tindakan dokter semata-mata
hanya untuk kepentingan terbaik pasien. Prinsip berbuat baik dalam praktik
kedokteran diwujudkan dalam hubungan dokter – pasien yang menganut sistem
paternalistik. Prinsip non maleficence atau tidak merugikan , ditujukan terhadap
kerugian fisik maupun kepentingan orang lain. Dalam bidang medis sering kita
menghadapi situasi dimana tindakan medis yang dilakukan , baik kepentingan
diagnosis atau terapi menimbulkan efek lain yang tidak menyenangkan .
Menyuntikkan obat misalnya, dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan
bagi pasien , tetapi hal itu perlu dilakukan untuk memperoleh kesembuhan.1
Dalam pertolongan paliatif , yang harus diberi prioritas tertinggi adalah
pain control, penatalaksanaan nyeri. Kita dapat mengatakan , penatalaksanaan
nyeri merupakan suatu tujuan ilmu kedokteran yang semakin penting dan
akibatnya merupakan kewajiban para professional medis juga. Kadang – kadang
bisa terjadi perawatan paliatif yang mempercepat kematian pasien , misalnya
pemberian obat sedative ( ex : morfin ) berdosis besar . Kenyataan itu mungkin
meresahkan para dokter. Namun tidak perlu timbul keraguan moral disini. Dalam
pemikiran etika yang klasik kasus seperti itu sudah lama dipikirkan dalam ajaran
tentang ” efek ganda ” ( the doctrine of double effect ). Tercapai persetujuan
bahwa mempercepat kematian pasien terminal dalam usaha menghilangkan nyeri
bisa diterima sebagai efek samping yang tidak diakibatkan dengan sengaja.
Dalam konteks pertolongan paliatif kepada pasien terminal , masih ada
masalah etis lain yang bisa menimbulkan keraguan bagi para dokter. Kadang –
kadang dokter segan memberikan obat adiktif seperti morfin dan meningkatkan
dosisnya karena membawa resiko pasien bisa menjadi ketagihan. Namun ,
keraguan seperti itu tidak perlu terjadi . Bila obat adiktif dipakai dalam rangka
penatalaksanaan nyeri bagi pasien biasa (yang bisa dismebuhkan) , tentu
kemungkinan ketagihan harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Dalam
konteks pasien terminal , pertolongan paliatif akan dilanjutkan sampai saat
kematiannya ,sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadi masalah adiksi yang
serius. 2
Sumber :
b. Wiradharma D. Penuntun Kuliah Etika Profesi Medis . Jakarta : Penerbit
Universitas Trisakti. 2008.p.80.
c. Bertens K. Keprihatinan Moral , Telaah atas Masalah Etika . Jogjakarta :
Kanisius . 2003.p. 133-4.
3. Sakit parah, kematian dan pengobatan sia-sia
a. Menurut pandangan agama
i. Islam
Sakit parah menurut Islam
Sakit sebagai salah satu ciptaan Allah SWT yang ditimpakan
kepada manusia juga pasti ada maksudnya. Salah satu hikmah Allah SWT
kepada hamba-Nya adalah sebagai ujian dan cobaan untuk membuktikan
siapa-siapa saja yang benar-benar beriman. Firman Allah SWT : Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya
pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat. (Q.S. Al Baqarah : 214)
Demikianlah Allah SWT akan menguji hamba-hamba-Nya dengan
kebaikan dan keburukan. Dia menguji manusia berupa kesehatan, agar
mereka bersyukur dan mengetahui keutamaan Allah SWT serta kebaikan-
Nya kepada mereka. Kemudian Allah SWT juga akan menguji manusia
dengan keburukan seperti sakit dan miskin, agar mereka bersabar dan
memohon perlindungan serta berdo'a kepada-Nya.
Dalam pandangan Islam, penyakit merupakan cobaan yang
diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.
Ketika seseorang sakit disana terkandung pahala, ampunan dan akan
mengingatkan orang sakit kepada Allah SWT. Aisyah pernah
meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : 'Tidak ada musibah
yang menimpa diri seorang muslim, kecuali Allah mengampuni dosa-
dosanya, sampai-sampai sakitnya karena tertusuk duri sekalipun" (H.R.
Buchari)
Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum,
dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka
dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka
(tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT. (H.R. Ibnu
Majah dan At Turmudzi)
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW. Bersabda :
Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kesusahan, kesedihan,
penyakit, gangguan menumpuk pada dirinya kecuali Allah SWT hapuskan
akan dosa-dosanya (H.R. Bukhari dan Muslim).
Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan
manusia terhadap rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT
memberikan penyakit agar setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini
dia telah diberi rahmat sehat yang begitu banyak. Namun kesehatan yang
dimilikinya itu sering kali di abaikan, bahkan mungkin disia-siakan.
Padahal ia mempunyai harga yang sangat bernilai tiada tolak ukur dan
bandingannya.
Disamping itu, sakit juga digunakan oleh Allah SWT untuk
memperingatkan manusia atas segala dosa-dosa dan perbuatan jahatnya
selama hidup di dunia. Kalau dahulu seorang insan yang banyak berbuat
kesalahan tidak berfikir tentang dosa dan pahala, maka disaat sakit
biasanya manusia teringat akan dosa-dosanya sehingga ia berusaha untuk
bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. sebab Allah SWT
selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada
hambanya pasti ada hikmah / pelajaran dibalik itu semua. (Q.S. Shaad :
27)
Kematian menurut islam :
Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari
jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika
jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah
terpisahnya Ruh dari jasad. “Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya
ruh dari badan, merupakansebab yang mengantarkan manus ia menuju
kenikmatan abadi.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Menurut Ar-Raghib al-Isfahani:
“sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi,tetapi kalian harus
berpindah dari satu negeri ke negeri (yang lain) sehingga kalian menetap
di satu tempat.” al-Qur’an menilai kematian sebagai jalan menuju
perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik
dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat
yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (disisi-Nya)?
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa kematian untuk menguraikan nikmat-
nikmat-Nya kepada manusia. Dalam Surah al-Baqarah/ 2: 28 Allah
berfirman, yang artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu
tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan
dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.
Al-Quran juga menggunakan istilah wafat untuk menunjuk makna
mati. Murtadha Muthahhari membuat sebuah analisis menarik tentang kata
tawaffa (mati) yang berakar pada kata yang sama dengan wafat lewat
pembandingannya dengan suatu kata dalam bahasa Persia yang memiliki
bunyi hampir sama, yakni maut. Menurut Muthahhari, sebagian orang
persia mengira bahwa kedua istilah ini berasal dari kata yang sama.
Mereka mengira bahwa wafat kard kata kerja bentukan dalam bahasa
Persia yang berarti meninggal- sama dengan faut kard. Faut berarti hilang,
atau lepas dari pegangan. Jika istilah wafat bermakna sama dengan faut
maka kematian akan memiliki konotasi hilang, musnah. Kenyataannya,
makna istilah faut malah berkebalikan dengan makna istilah wafat yang
dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan kematian. Sebaliknya dari
lepas dari pegangan, istilah tawaffa berarti mengambil sesuatu dan
menerimanya secara sempurna. Contohnya, jika Anda mendapatkan
kembali seluruh piutang Anda, dan bukan hanya sebagiannya, maka itu
disebut sebagai tawaffa atau istifa. Al-Quran senantiasa mengaitkan
kematian dengan menerima secara sempurna.
Di dalam surat al-Sajdah disebutkan: Dan mereka berkata, Apakah
ketika kami telah lenyap (musnah) di dalam tanah, kami akan benar-benar
menjadi ciptaan yang baru Katakanlah: Malaikat maut ditugasi untuk
menerimamu dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.
Terapi yang sia-sia menurut pandangan islam :
Pengobatan atau terapi yang sia – sia menurut pandangan agama
islam tidak dibenarkan, berdasarkan :
1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan
keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat baginya’.
2. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: Berkemauan keraslah
kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu, dan minta tolonglah kepada
Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah
Maksud dari hadist ini adalah jangan melakukan suatu perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain seperti pengobatan atau
tindakan yang sia-sia.
ii. Pandangan Kristen terhadap kematian, menghadapi kematian, dan
pengobatan sia-sia
1. Kematian dan menghadapi kematian
Karya penciptaan Allah atas dunia ini menyatakan adanya
perbedaaan antara Pencipta dan yang dicipta. Allah sebagai pencipta
merupakan Allah yang absolut, dan tidak bergantung pada hal lain di
luar diri-Nya sendiri. Manusia yang dicipta merupakan manusia yang
terbatas, dan bergantung sepenuhnya kepada Allah sebagai Pencipta.
Pemberontakan manusia terhadap Allah menyebabkan keterpisahan
antara Allah dan manusia. Keterpisahan ini menyebabkan kematian
karena lepasnya manusia dari Allah sebagai sumber hidup ini. Hal ini
jelas menyatakan bahwa kematian bukanlah dicipta dan berasal dari
Allah. Kekristenan mengenal dua macam kematian yaitu kematian
secara spiritual, dan kematian secara fisik. Saat manusia pertama
(Adam) memberontak terhadapa Allah, terjadi kematian spiritual pada
saat itu juga dan kematian secara fisik yang terjadi secara gradual.
Kematian fisik seharusnya sudah terjadi saat itu juga namun karena
adanya topangan Allah, manusia bisa hidup lebih lama. Topangan ini
bersifat terbatas, dan karena itu usia manusiapun bersifat terbatas. 1
Dalam pandangan kristen, kematian fisik bukanlah sesuatu
yang harus ditakutkan. Yang harus ditakutkan adalah kematian
spiritual yang berakhir dengan kematian kekal (keterpisahan manusia
dengan Allah selama-lamanya). Manusia berdosa harus kembali
kepada Allah sebagai Sumber Hidup melalui Yesus kristus sebagai
tuhan dan juru Selamat. Tanpa hal ini, manusia akan menghadapi
kematian kekal pada hari penghakiman nanti. 1
Pengobatan menurut Kristen bukanlah berfokus pada
kesembuhan fisik pasien itu saja, namun terfokus pada pemulihan
relasi antara manusia dengan Allah. Menghadapi pasien yang berada
dalam stadium terminal/sakit parah, yang harus dilakukan adalah
mempersiapkan orang tersebut untuk menghadap Penciptanya dengan
memulihkan kembali relasi antara Tuhan dan Manusia.
2. Pengobatan sia-sia
Pengobatan sia-sia merupakan pengobatan yang tidak
diperlukan karena tidak berguna lagi untuk menolong pasien. Prinsip
pengobatan ini dipengaruhi oleh konsep post-modernisme yang lebih
mementingkan relasi yang horisontal (antara sesama manusia) tanpa
mementingkan kebenaran didalamnya. Konsep post-modernisme ini
tidak sesuai dengan prinsip alkitabiah. Kekristenan mengajarkan
bahwa relasi antara manusia dengan Penciptanya (vertikal) harus
menjadi dasar relasi manusia secara horisontal. Kekristenan
menentang prinsip post-modernisme yang merelatifkan segala sesuatu,
mementingkan relasi dan perasaan. Sebaliknya kekristenan
mengajarkan bahwa ada kebenaran yang absolut yang harus
dinyatakan. 2
Dapus:
Schwertley B. A Sumarry of christian worldview. Available from:
http://www.reformedonline.com/view/reformedonline/wrldview.htm .
Accessed january 25, 2012
ApologeticsIndex. Postmodernism. Available from:
http://www.apologeticsindex.org/p02.html . Accessed january 25, 2012
iii. Menurut agama Katolik
Menurut agama Katolik, sakit tidak berasal dari Allah. Allah
Mahabaik, yang tidak baik bukan berasal dari Allah. Sakit itu sendiri karena
manusia memiliki tubuh. Akibat kelalaian manusia dalam menjaga tubuh,
maka sakit itu dapat muncul.
Sakit parah bisa terjadi, karena keadaan sakitnya lebih kuat daripada
kemampuan fisik pasien. Orang yang mengalami sakit terus-menerus
dipandang oleh gereja Katolik sebagai MISTERI. Disebut misteri, karena
menderita sakit parah tidak bisa dimengerti sebagai kutukan dari Tuhan.
Sebuah misteri juga, mengapa orang baik bisa mengalami sakit parah,
sedangkan orang jahat tidak.
Sebagai orang Katolik wajib menjaga kesehatan, karena kehidupan
merupakan hal yang bernilai yang dipercayakan Tuhan kepada manusia.
Dan terlampir dalam KGK 2291 berisikan, kebajikan penguasaan diri
menjauhkan segala bentuk yang berlebihan terhadap makanan, minuman,
rokok, dan obat-obatan.
Menghentikan tindakan medis yang luar biasa yang tidak setimpal
dengan hasil yang diharapkan dapat dibenarkan (KGK 2278). Tetapi,
keputusan harus dilakukan oleh pasien itu sendiri. Meskipun kematian sudah
dekat, khususnya pada pasien terminal, perawatan terhadap pasien itu
sendiri tidak boleh dihentikan. Perawatan yang diberikan dapat berupa
mengurasi rasa sakit, untuk mengurangi penderitaan orang yang sakit parah
(KGK 2279).
Dari bahasan diatas dapat disimpulkan, orang tidak ingin
menyebabkan kematian tetapi hanya menerimanya karena tidak dapat
menghindarinya. Dan kematian itu tidak dipandang sebagai tujuan atau
sebagai sarana, tetapi hanya diterima dan ditolerir sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihindarkan.
Sakit parah yang diderita dan menyebabkan suatu kematian tetap
bukan berasal dari Allah. Allah Mahabaik, semua yang tidak baik tidak
berasal dari Allah. Kematian merupakan suatu konsekuensi logis
kepemilikan tubuh. Kematian tidak berasal dari Tuhan, Tuhan hanya meng-
acc kematian.
Arti kematian menurut agama Katolik :
KGK 1006 "Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia
mencapai puncaknya" (GS 18). Dalam arti tertentu kematian badani itu
sifatnya alami; tetapi untuk iman, itu adalah "upah dosa" (Rm 6:23). Dan
untuk mereka yang mati dalam rahmat Kristus, kematian adalah "keikut-
sertaan" dalam kematian Kristus, supaya dapat juga mengambil bagian
dalam kebangkitan-Nya.
KGK 1007 Kematian adalah akhir kehidupan duniawi. Kehidupan
kita berlangsung selama waktu tertentu, dan di dalam peredarannya kita
berubah dan menjadi tua. Kematian kita, seperti pada semua makhluk hidup
di dunia ini, adalah berakhirnya kehidupan alami. Aspek kematian ini
memberi kepada kehidupan kita sesuatu yang mendesak: keyakinan akan
kefanaan dapat mengingatkan kita bahwa untuk menjalankan kehidupan
kita, hanya tersedia bagi kita suatu jangka waktu terbatas
"Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu... sebelum debu
kembali menjadi tanah seperti semula, dan napas kembali kepada Allah,
yang mengaruniakannya" (Pkh 12:1.7).
KGK 1008 Kematian adalah akibat dosa. Sebagai penafsir otentik
atas pernyataan Kitab Suci dan tradisi, magisterium Gereja mengajarkan
bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia, karena manusia telah berdosa ..
Walaupun manusia mempunyai kodrat yang dapat mati, namun Pencipta
menentukan supaya ia tidak mati. Dengan demikian kematian bertentangan
dengan keputusan Allah Pencipta. Kematian masuk ke dunia sebagai akibat
dosa. "Kematian badan, yang dapat dihindari seandainya manusia tidak
berdosa" (GS 18), adalah "musuh terakhir" manusia yang harus dikalahkan.
KGK 1009 Kematian telah diubah Kristus. Juga Yesus, Putera
Allah, telah mengalami kematian, yang termasuk bagian dari eksistensi
manusia. Walaupun Ia merasa takut akan maut, namun Ia menerimanya
dalam ketaatan bebas kepada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan Yesus telah
mengubah kutukan kematian menjadi berkat.
Kepada orang yang sakit yang sedang menghadapi ajalnya, harus
diberikan perhatian dan perawatan, dibantu supaya hidup dengan layak dan
damai selama waktu yang tersisa. Mereka hendaknya dibantu dengan doa
oleh keluarga dan orang lain. Keluarga hendaknya mengupayakan sakramen
pada waktunya sebagai persiapan bagi mereka yang sakit untuk menghadapi
Allah Yang Hidup (KGK 2299). Sakramen yang dimaksut yaitu sakramen
pengurapan orang sakit. Dalam bahaya maut, pengurapan orang sakit
menguatkan manusia dalam menghadapi perjuangan terakhir dan
menghantarnya kepada persatuan dengan Tuhan, yang melalui kematian
telah masuk ke dalam kehidupan.
b. Katekismus Gereja Katolik . Available at http://www.ekaristi.org/kat/?q=1006-
1020 . Accessed at 26 January, 2012
c. Ajaran Gereja Katolik mengenai Kematian, Kebangkitan Badan dan Kehidupan
Kekal . Available at http://www.katedral-purwokerto.net/index.php?
option=com_content&task=view&id=752&Itemid=84 . Accessed at 26 January,
2012
d. Kematian dalam Pandangan Katolik . Available at
http://www.carmelia.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=1420:kematian-dalam-pandangan-
katolik&catid=41:tulisan-lepas&Itemid=98 . Accessed at 26 January, 2012
e. Makna Kematian Bagi Kita Orang Percaya . Available at
http://katolisitas.org/3119/makna-kematian-bagi-kita-orang-percaya . Accessed at
26 January, 2012
f. Sakramen Pengurapan Orang Sakit . Available at
http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id258.htm . Accessed at 26 January,
2012
\
iv. Hindu
Kematian
Ketika kita mendengar kata “mati” yang dihubungkan dengan
manusia, maka dalam benak kita terbayang sosok (jasad) terbujur kaku tak
bernafas yang jika dibiarkan akan rusak/membusuk, karena itu jasad harus
diurus selayaknya (dikubur atau dibakar). Bayangan mengenai definisi
“mati” seperti itu tidak salah. Kematian adalah perpisahan jasad dengan
Roh. Mati menurut pandangan Hindu hanyalah berlaku bagi jasad, bukan
untuk Roh. Kematian hanyalah sebuah fenomena saja, tak lebih
Bagi Roh, jasad tak lebih dari sekedar baju yang jika sudah usang
mesti dilepas/dibuang untuk diganti dengan yang baru sebelum mendapat
“selimut keabadian” di alam Moksa. Baik buruknya kualitas baju yang
diperoleh kemudian bergantung dari daya beli “uang kebajikan” yang
telah ditabungnya. Baju baru si Roh akan disandang pada reinkarnasinya.
Baju yang paling mahal adalah bermerek “Manusia”, merek ini pun ada
bermacam tingkatan, ada yang asli (kualitas utama), yang sedang, rendah
bahkan yang imitasi juga banyak.
Gambaran perjalanan sang Roh antara kematian dan kelahiran
kembali sebagai berikut : Roh berpindah dengan badan astral atau suksma
sarira. Badan astral ini terjadi dan 19 tattwa atau prinsip, yaitu; 5 organ
penggerak, 5 organ pengetahuan, 5 prana, pikiran, kecerdasan dan citta
(bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan (ego). Badan halus ini
membawa segala jenis samskara atau kesan, serta wawasan atau
kecenderungan-kecenderungan dan Roh pribadi. Bila buah dan karma-
karma baik telah dihabiskan. Ta menggabungkan dirinya dengan badan
fisik yang baru dan berinkarnai pada tempat di bumi ini. Yang
penilakunya sudah baik mencapai kelahiran baik, dan yang perilakunya
jahat ditanik ke dalam kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang
lebih rendah.
Hindu mengenal konsep Purusa Pradhana, Brahman-Atman,
Bhuana Agung-Bhuana Alit. Pada peristiwa “kematian”, Atman
diharapkan kembali kepada Brahman, dan jasad (Bhuana Alit) kembali
kepada alam (Ehuana Agung). Untuk proses kembalinya Bhuana alit ke
Bhuana Agung, cara yang terbaik adalah dengan membakar (kremasi).
Mengapa kremasi yang terbaik? Menurut Sri Swami Sivananda, kremasi
memberikan manfaat yang tertinggi bagi Roh. Bila badan tidak dibakar,
sang Roh/Jiwa masih dihubungkan dengan bumi. Roh terkatung-katung
mengitari badan yang sudah mati disebabkan oleh moha atau keterikatan
pada badan fisik. Perjalanannya ke alarn surgawi terhalang karenanya.
Jika dibakar, getaran-getaran yang dihasilkan dari penguncaran mantra
dan persembahan sesajian air mampu memberikan hiburan dan
menyenangkan Roh yang meninggal.
Upacara sapindikarana membantu jiwa melewati Preta Loka
menuju Pitri Loka. Ia lalu diakui di antara para Pitri atau leluhur. Si anak
mengelilingi jasad ayahnya tiga kali sebelum api dinyalakan pada
tumpukan kayu bakar dan memercikkan air sekali, penguncaran mantra,
“Pergilah! Menyingkir dan berangkat dari sini.” Tulang-tulangnya
dikumpulkan pada hari berikutnya dan dibuang ke dalam sungai. Mereka
yang mampu akan membawanya ke Banares atau Hardwar dan
membuangnya ke sungai Gangga. Menjadi kepercayaan bahwa Roh yang
fana, tinggal disampaikan ke sungai Gangga yang suci maka Roh akan
mencapai wilayah yang lebih tinggi dari kecemerlangan dan sinar spiritual
yang akhirnya bebas. Lewat kremasi unsur-unsur penyusun jasad
dikembalikan ke asalnya, unsur air kembali ke air, api kembali ke api dan
seterusnya.
Timbul pertanyaan, “Apakah semua harus dibakar?” Hindu adalah
agama yang fleksibel sekali, di beberapa daerah ada larangan untuk
membakar mayat dengan pertimbangan yang masuk akal, itu tak masalah.
Mayat dikubur (beya tanem) juga boleh bahkan kalau tak memungkinkan
untuk dikubur, ditenggelamkan di laut pun mungkin. Anjuran ngaben
hanya bila memungkinkan dari aspek desa, kala, patra dan tattwa.
v. Seperti yang sudah diungkapkan di depan, masih begitu banyak umat kita
yang tidak mengerti hakekat (tattwa), ada satu cerita yang menurut saya
cukup menyentuh perasaan. Dulu di desa saya ada seorang juragan yang
meninggal dunia. Karena urang kaya, tentu kerabat yang menghadiri
prosesi ngabennya juga banyak dari kalangan berada. Nah, pada saat
pembakaran mayatnya, orang-orang kaya itu ramai-ramai melemparkan
sesuatu ke dalam kobaran api. Apa yang dilemparkan? Ternyata uang dan
perhiasan yang cukup banyak, kalau dikumpulkan mungkin mencapai
jutaan rupiah. Sambil melemparkan uang, seseorang ada yang berkata,
“Bli Made, tiang sing side ngemaang Bli ape-ape, tuah ene ade pipis
abedik, pang ada anggon Beli bekel dikedituan, selamat jalan Bli...”
Artinya kurang lebih begini, “Kak Made, saya tidak bisa memberi Kakak
apa-apa, hanya ini ada sedikit uang, agar ada Kakak gunakan sebagai
bekal di alam sana, selamat jalan Kak...” Saya tercenung, bukan karena
kematian Pak Made itu, tetapi karena menyaksikan begitu banyak orang
kaya yang berbuat sia-sia. Tidakkah uang itu lebih baik diberikan kepada
keluarganya yang masih hidup atau kepada tetangganya yang tinggal di
gubuk-gubuk reot?
Tanpa disadari, melemparkan uang dan perhiasan ke api kremasi
dapat menghalangi perjalanan Roh yang meninggal. Roh akan teringat
akan kekayaannya di dunia dan merasa sayang untuk meninggalkannya,
karena masih terikat dengan kekayaan maka Roh akan berputar-putar tak
tentu arah (kemaya-maya/gentayangan). Nah kalau terjadi seperti itu,
tidakkah kita merasa kasihan ? Seyogyanyalah kita memanjatkan doa-doa
untuk keselamatan Roh, itu yang lebih bermanfaat, bukannya memberi
“bekal” yang tidak-tidak yang justru membebani perjalanannya.•
Sumber : http://www.parisada.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=264&Itemid=29
Sakit Parah
Bagi Manusia hendaknya memandang sakit parahnya itu ada
hubungan dengan karmaphala, bukan kutukan Tuhan. Baik para dokter,
para pakar pengobatan, manusia serta keluarga manusia agar dapat
memberikan pengertian serta berusaha untuk menimbulkan harapan yang
baik. “jangan putus asa menghadapi sakit parah”. Kalau dia seorang yang
beragam Hindu maka keluarganya akan dating memohon air suci di pura
serta membawa sesajen, memohonkan kesembuhan manusia yang parah
dan mohon maaf atas segala kesalahannya. Tirta itu dibawa ke rumah sakit
kemudian dipercikan lalu diminumkan dan diraupkan kepada manusia itu
yang sakit.
Karena tidak tahan menderita sakit parah lalu salah langkah
dengan pembunuhan diri sendiri untuk menghilangkan sakitnya, tidak
dibenarkan oleh ajaran Hindu karena perbuatan membunuh diri sendiri
termasuk dosa. Sebaiknya diusahakan pengobatan secara medis oleh
dokter dan secara rohaniah mohon kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi
Wasa) serta oda-doa dari para umat Hindu yang dapat melaksanakan
pengobatan secara semadi dari jarak dekat maupun jarak jauh.
Pengobatan Sia-Sia
Menurut pandangan Hindu ada kalanya pengobatan secara modern
mengalami bahwa segala macam pengobatan ilmiah rasional dan telah
diuji klinik sesuai dengan syarat/standar kedokteran. Belum mampu
memnyembuhkan penyakit pasien yang kena pasangan bebai atau mahluk
halus. Dalam hal ini, sebaiknya dokter memberitahukan serta
merundingkan dengan pihak keluarga pasien, bahwa penyakit pasien tidak
dapat disembuhkan dengan pengobatan modern. Sebaiknya
dipertimbangkan apakah pasien aka tetap dirawat di RS ataukah
dipulangkan ke rumah, untuk mencarikan obat alternative karena
pengobatan modern telah sia-sia untuk menyembuhkannya.
vi. Buddha
a. Menurut agama Buddha
Dukkha adalah “penderitaan” itu sendiri. Hidup ini dipenuhi oleh
realitas penderitaan sejak dari lahirnya manusia sampai pada kematian
menjemputnya.8 Bagi Budha, lahir adalah penderitaan, menjadi tua
adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan,
kesedihan, ratapan, kesakitan dan ketidakbahagiaan, semuanya itu
adalah penderitaan. Fakta penderitaan ini disadari oleh Budha sebagai
bersifat universal, artinya semua orang mengalaminya, tidak peduli
orang kaya, miskin, tua, muda.
Konsep dukkha dalam pengajaran Budha dapat dibagi dalam tiga
jenis. Pertama, penderitaan sebagai rasa sakit (pain). Ini adalah “self-
evident suffering”. Ketika kita berada dalam sakit mental ataupun
fisik, jelaslah bahwa terdapat dukkha. Bahkan ketika kita sedang
menikmati sesuatu atau pada saat tidak ada sesuatu yang secara khusus
membuat kita tidak bahagia, hal-hal selalu bisa berubah: apa yang kita
nikmati dapat segera berlalu atau sesuatu yang tidak menyenangkan
dapat muncul begitu saja. Inilah yang disebut dukkha sebagai
perubahan. Selanjutnya, Budha juga berbicara mengenai dukkha
sebagai kondisi. Dalam pengertian ini, Budha berbicara mengenai
natur dari dunia yang bersifat tidak stabil dan tidak tetap. Dunia ini
pada dasarnya berisi kesakitan dan kesenangan, penderitaan dan
kebahagiaan, semuanya saling kait-mengait dan membentuk realitas.
Terapi Buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini menjadi
sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa
sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya.
Dengan begitu apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya
menyadari segala bentuk-bentuk pikiran emosi-emosi yang timbul
dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran yang menyebabkan
penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu : (1). Keserakahan,
(2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5).
Kekuatiran (Ruth Walshe, alih bahasa Upi. Ksantidewi, Terapi secara
Buddhis).
Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh penyakit, terdiri dari
tulang belulang, lemah dan perlu banyak perawatan, keadaan tidak
kekal serta tidak tetap” (Dhp. XI. 147). Dalam agama Buddha tidak
dianjurkan melekati badan jasmani karena pada hakekatnya adalah
tidak kekal, tidak menyenangkan dan tanpa inti yang kekal. Tetapi
tubuh perlu mendapatkan perawatan agar tidak mudah terserang
penyakit. Ada enam penyebab penyakit mudak muncul yaitu: 1) suatu
ketidak seimbangan dari empat unsur-unsur ( tanah, air, api, dan gas),
2) kebiasaan yang berkenaan dengan aturan makan tidak beraturan, 3)
metoda meditasi yang salah, 4) minuman keras, 5) pemilikan setan,
dan 6) kekuatan dari karma yang tidak baik.
Kersehatan meliputi kesehatan jasmani dan mental. Jasmani
memerlukan makanan materi untuk menjaga kesehatan batin
memerlukan makanan batin untuk menjaga kesehatan mental atau
jiwa.
Pada dasarnya setiap orang yang akan meninggal selalu
menginginkan suatu yang damai dalam hatinya, oleh karena itu da
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seseorang agar menghadapi
kematian dengan tenang, yaitu:
1. Melakukan perenungan terhadap kematian
2. Melepaskan kemelekatan
3. Meyakini hukum karma
4. Memiliki bekal karma baik (Mettadewi. 2001: 19-23)
Buddha mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih yang hendaknya
kita pancarkan kepada semua makhluk hidup demikian juga dengan
pasien yang selalu menderita karena penyakit yang di deritanya.
Hendaknya juga harus dirawat dengan tindakan cinta kasih dan
diberikan suatu dorongan semangat sehingga dalam hatinya tidak akan
muncul suatu ketakutan “Perbuatan jasmani yang sesuai dhamma yaitu
seseorang meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, dengan
membuang tongkat dan senapan, lemah lembut dan penyayang ia
hidup dengan cinta kasih terhadap semua makhluk” (M. I. 41)
Terapi Buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini menjadi
sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa
sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya.
Dengan begitu apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya
menyadari segala bentuk-bentuk pikiran emosi-emosi yang timbul
dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran yang menyebabkan
penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu : (1). Keserakahan,
(2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5).
Kekuatiran (Ruth Walshe, alih bahasa Upi. Ksantidewi, Terapi secara
Buddhis). S
Sang Buddha menasehati murid-muridNya tentang pentingnya
pelayanan kepada orang sakit. Beliau bersabda :”Seseorang yang
merawat orang sakit, berarti ia telah merawat Saya”. Pernyataan
terkenal ini dibuat oleh Yang Terberkati saat Beliau menemukan
seorang bhikkhu yang sedang berbaring dalam jubah kotornya.
Bhikkhu tersebut dalam keadaan sakit parah karena serangan disentri.
Dengan bantuan Ananda, Sang Buddha mencuci dan membersihkan
bhikkhu sakit itu dengan air hangat. Dalam kesempatan ini, Beliau
mengingatkan para bhikkhu bahwa mereka tidak mempunyai orang tua
maupun sanak keluarga yang menjaga mereka, maka mereka harus
menjaga satu sama lain. Jika guru sedang sakit, murid mempunyai
kewajiban untuk menjaganya, dan jika murid sakit, guru berkewajiban
menjaga murid yang sakit. Jika tidak ada guru atau murid, maka
masyarakat berkewajiban menjaga orang sakit (Vin.i,301ff.). Sang
Buddha tidak hanya mendukung pentingnya merawat orang sakit,
Beliau juga memberi contoh baik dengan diriNya sendiri memberikan
pelayanan kepada mereka yang sangat sakit, mereka yang bahkan
dianggap menjijikkan bagi orang-orang lain.
Sang Buddha menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang perawat baik. Ia harus mampu memberikan obat, ia harus
mengetahui apa yang bermanfaat untuk pasien dan apa yang tidak
bermanfaat. Ia harus menjauhkan apa yang tidak bermanfaat dan hanya
memberikan apa yang bermanfaat bagi pasien. Ia harus mempunyai
cinta kasih dan murah hati, ia harus melakukan kewajibannya atas
kesadaran untuk melayani dan bukan hanya untuk imbalan (mettacitto
gilanam upatthati no amisantaro). Ia tidak boleh merasa jijik terhadap
air liur, lendir, air kencing, tahi, luka, dll. Ia harus mampu menasehati
dan mendorong pasien dengan ide-ide mulia, dengan pembicaraan
Dhamma (A.iii,144).
Patut diperhatikan di sini bahwa perawat tidak hanya diharapkan
cakap dalam merawat badan dengan memberi makanan dan obat yang
tepat, tetapi ia juga diharapkan untuk merawat kondisi batin pasien.
Diketahui bahwa kebaikan para perawat dan dokter adalah obat yang
hampir sama effektifnya untuk semangat juang dan kesembuhan
seorang pasien. Saat seseorang sedang sakit parah dan merasa tidak
berdaya, suatu kata ramah atau suatu tindakan baik menjadi sumber
kesenangan dan harapan. Itulah sebabnya cinta kasih (metta) dan belas
kasihan (karuna), yang juga merupakan perasaan-perasaan mulia
(brahmavihara), dianggap sebagai sifat-sifat yang patut dipuji dalam
seorang perawat. Sutta-sutta menambahkan dimensi lain bagi profesi
perawatan dengan memasukkan elemen spiritual dalam pembicaraan
perawat. Keadaan sakit adalah saat seseorang sedang menghadapi
kenyataan-kenyataan hidup dan kondisi ini adalah suatu kesempatan
baik untuk menanamkan suatu kesadaran spiritual yang mendesak,
bahkan dalam batin yang paling materialistis sekalipun. Lebih lanjut
lagi, seseorang yang sedang sakit tentunya mempunyai perasaan takut
pada kematian yang lebih besar daripada saat ia sedang sehat. Cara-
cara yang paling bagus untuk menenangkan perasaan takut ini adalah
dengan mengalihkan perhatian kepada Dhamma. Dalam
pengawasannya, perawat diharapkan memberikan bimbingan spiritual
kepada pasien sebagai suatu bagian dan paket dari kewajiban seorang
perawat.
Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha menyebutkan tiga jenis
pasien (A.i,120). Terdapat pasien yang tidak akan sembuh apakah
mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan pengobatan
dan perawatan yang tepat; terdapat pasien yang akan sembuh tidak
peduli apakah mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan
pengobatan dan perawatan yang tepat; terdapat pasien yang akan
sembuh hanya dengan pengobatan dan perawatan yang tepat. Karena
adanya jenis pasien ke tiga inilah, maka semua yang sakit harus diberi
pengobatan tersedia yang terbaik, makanan yang bermanfaat dan
perawatan yang tepat. Selama pasien masih hidup, segala yang dapat
dilakukan harus diusahakan untuk kesembuhannya.
Menurut sutta lainnya (A.iii,56,62), penyakit adalah salah satu
yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Saat menghadapinya,
semua sumber yang tersedia bagi seseorang, bahkan mantra-mantra
gaibpun, seharusnya dimanfaatkan dengan harapan untuk
mengembalikan kesehatan.Di sini tidak akan dibahas masalah
perbuatan-perbuatan seperti itu bermanfaat atau tidak. Nampaknya inti
permasalahan adalah dalam keadaan kritis tidak ada buruknya untuk
mencoba, bahkan metode yang secara tradisi dipercaya akan
membawa hasil, walaupun orang yang bersangkutan tidak harus
mempunyai keyakinan atau kepercayaan pada metode tersebut.
Tentunya, metode-metode demikian seharusnya tidak bertentangan
dengan hati nurani seseorang.
Walaupun dengan upaya-upaya ini, jika kematian tetap datang,
maka seseorang harus menerimanya Sang Buddha mengajarkan bahwa
agar sembuh, pasien juga harus bekerja sama dengan dokter dan
perawat. Seorang pasien baik seharusnya hanya menerima dan
melakukan apa yang bermanfaat baginya. Bahkan dalam memakan
makanan yang bermanfaat sekalipun, ia harus mengetahui jumlah yang
tepat. Ia harus meminum resep obat tanpa merepotkan. Ia harus dengan
jujur memberitahu penyakit-penyakitnya kepada perawatnya yang
sadar atas kewajiban. Ia harus dengan sabar menahan rasa sakit
jasmani bahkan saat rasa sakit tersebut sangat nyeri dan menyiksa
(A.iii,144).
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/pelayanan-kepada-orang-sakit-dan-sakit-
menjelang-kematian/
vii. Hak dan kewajiban ( menurut UU RI nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran)
a. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
i. Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
ii. Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
b. Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :