tipus +kasus ponari

36
Kasus Ponari Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu dunia informasi gempar dengan munculnya cara pengobatan alternative baru yang dapat dikatakan “ajaib”. Pengobatan ponari ini termasuk dalam pengobatan tradisional. Metode pengobatannya adalah dengan mencelupkan batu ke dalam air, kemudian pasien disuruh meminum air celupan batu tersebut. Menanggapi hal ini, menurut kelompok kami, sebagai seorang dokter kita berhati-hati dalam menanggapinya terutama apabila pasien bertanya tentang pengobatan tersebut. Pada pengobatan sebaiknya dinelaah lebih lanjut teknik pengobatan ini dapat dibuktikan secara biomedis atau tidak. Selain itu, harus diperhatikaan juga kelegalan dari tempat praktek pengobatan ini. Selain itu perlu juga ditelaah apakah ilmu yang dipraktekan oleh Ponari ini berasal dari suatu pelatihan khusus serta melalui pendidikan terstruktur. Karena menurut kelompok kami, sebagai seorang dokter, kita harus melindungi pasien dari hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Paru 2. Perawatan paliatif a. Perawatan Paliatif Dari Segi Etika dan Moral

Upload: utami-ningsih

Post on 23-Oct-2015

45 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ponari

TRANSCRIPT

Kasus Ponari

Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu dunia informasi gempar dengan

munculnya cara pengobatan alternative baru yang dapat dikatakan “ajaib”. Pengobatan ponari ini

termasuk dalam pengobatan tradisional. Metode pengobatannya adalah dengan mencelupkan

batu ke dalam air, kemudian pasien disuruh meminum air celupan batu tersebut.

Menanggapi hal ini, menurut kelompok kami, sebagai seorang dokter kita berhati-hati dalam

menanggapinya terutama apabila pasien bertanya tentang pengobatan tersebut. Pada pengobatan

sebaiknya dinelaah lebih lanjut teknik pengobatan ini dapat dibuktikan secara biomedis atau

tidak. Selain itu, harus diperhatikaan juga kelegalan dari tempat praktek pengobatan ini. Selain

itu perlu juga ditelaah apakah ilmu yang dipraktekan oleh Ponari ini berasal dari suatu pelatihan

khusus serta melalui pendidikan terstruktur. Karena menurut kelompok kami, sebagai seorang

dokter, kita harus melindungi pasien dari hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari.

Tinjauan Pustaka

1. Kanker Paru

2. Perawatan paliatif

a. Perawatan Paliatif Dari Segi Etika dan Moral

Menurut etika , tindakan perawatan paliatif menjunjung prinsip

beneficence dan nonmaleficence . Prinsip beneficence yaitu prinsip berbuat baik

yang wajib dilakukan oleh dokter kepada pasiennya, tindakan dokter semata-mata

hanya untuk kepentingan terbaik pasien. Prinsip berbuat baik dalam praktik

kedokteran diwujudkan dalam hubungan dokter – pasien yang menganut sistem

paternalistik. Prinsip non maleficence atau tidak merugikan , ditujukan terhadap

kerugian fisik maupun kepentingan orang lain. Dalam bidang medis sering kita

menghadapi situasi dimana tindakan medis yang dilakukan , baik kepentingan

diagnosis atau terapi menimbulkan efek lain yang tidak menyenangkan .

Menyuntikkan obat misalnya, dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan

bagi pasien , tetapi hal itu perlu dilakukan untuk memperoleh kesembuhan.1

Dalam pertolongan paliatif , yang harus diberi prioritas tertinggi adalah

pain control, penatalaksanaan nyeri. Kita dapat mengatakan , penatalaksanaan

nyeri merupakan suatu tujuan ilmu kedokteran yang semakin penting dan

akibatnya merupakan kewajiban para professional medis juga. Kadang – kadang

bisa terjadi perawatan paliatif yang mempercepat kematian pasien , misalnya

pemberian obat sedative ( ex : morfin ) berdosis besar . Kenyataan itu mungkin

meresahkan para dokter. Namun tidak perlu timbul keraguan moral disini. Dalam

pemikiran etika yang klasik kasus seperti itu sudah lama dipikirkan dalam ajaran

tentang ” efek ganda ” ( the doctrine of double effect ). Tercapai persetujuan

bahwa mempercepat kematian pasien terminal dalam usaha menghilangkan nyeri

bisa diterima sebagai efek samping yang tidak diakibatkan dengan sengaja.

Dalam konteks pertolongan paliatif kepada pasien terminal , masih ada

masalah etis lain yang bisa menimbulkan keraguan bagi para dokter. Kadang –

kadang dokter segan memberikan obat adiktif seperti morfin dan meningkatkan

dosisnya karena membawa resiko pasien bisa menjadi ketagihan. Namun ,

keraguan seperti itu tidak perlu terjadi . Bila obat adiktif dipakai dalam rangka

penatalaksanaan nyeri bagi pasien biasa (yang bisa dismebuhkan) , tentu

kemungkinan ketagihan harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Dalam

konteks pasien terminal , pertolongan paliatif akan dilanjutkan sampai saat

kematiannya ,sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadi masalah adiksi yang

serius. 2

Sumber :

b. Wiradharma D. Penuntun Kuliah Etika Profesi Medis . Jakarta : Penerbit

Universitas Trisakti. 2008.p.80.

c. Bertens K. Keprihatinan Moral , Telaah atas Masalah Etika . Jogjakarta :

Kanisius . 2003.p. 133-4.

3. Sakit parah, kematian dan pengobatan sia-sia

a. Menurut pandangan agama

i. Islam

Sakit parah menurut Islam

Sakit sebagai salah satu ciptaan Allah SWT yang ditimpakan

kepada manusia juga pasti ada maksudnya. Salah satu hikmah Allah SWT

kepada hamba-Nya adalah sebagai ujian dan cobaan untuk membuktikan

siapa-siapa saja yang benar-benar beriman. Firman Allah SWT : Apakah

kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang

kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum

kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta

diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah

Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya

pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat

dekat. (Q.S. Al Baqarah : 214)

Demikianlah Allah SWT akan menguji hamba-hamba-Nya dengan

kebaikan dan keburukan. Dia menguji manusia berupa kesehatan, agar

mereka bersyukur dan mengetahui keutamaan Allah SWT serta kebaikan-

Nya kepada mereka. Kemudian Allah SWT juga akan menguji manusia

dengan keburukan seperti sakit dan miskin, agar mereka bersabar dan

memohon perlindungan serta berdo'a kepada-Nya.

Dalam pandangan Islam, penyakit merupakan cobaan yang

diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.

Ketika seseorang sakit disana terkandung pahala, ampunan dan akan

mengingatkan orang sakit kepada Allah SWT. Aisyah pernah

meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : 'Tidak ada musibah

yang menimpa diri seorang muslim, kecuali Allah mengampuni dosa-

dosanya, sampai-sampai sakitnya karena tertusuk duri sekalipun" (H.R.

Buchari)

Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum,

dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka

dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka

(tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT. (H.R. Ibnu

Majah dan At Turmudzi)

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW. Bersabda :

Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kesusahan, kesedihan,

penyakit, gangguan menumpuk pada dirinya kecuali Allah SWT hapuskan

akan dosa-dosanya (H.R. Bukhari dan Muslim).

Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan

manusia terhadap rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT

memberikan penyakit agar setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini

dia telah diberi rahmat sehat yang begitu banyak. Namun kesehatan yang

dimilikinya itu sering kali di abaikan, bahkan mungkin disia-siakan.

Padahal ia mempunyai harga yang sangat bernilai tiada tolak ukur dan

bandingannya.

Disamping itu, sakit juga digunakan oleh Allah SWT untuk

memperingatkan manusia atas segala dosa-dosa dan perbuatan jahatnya

selama hidup di dunia. Kalau dahulu seorang insan yang banyak berbuat

kesalahan tidak berfikir tentang dosa dan pahala, maka disaat sakit

biasanya manusia teringat akan dosa-dosanya sehingga ia berusaha untuk

bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. sebab Allah SWT

selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada

hambanya pasti ada hikmah / pelajaran dibalik itu semua. (Q.S. Shaad :

27)

Kematian menurut islam :

Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari

jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika

jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah

terpisahnya Ruh dari jasad. “Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya

ruh dari badan, merupakansebab yang mengantarkan manus ia menuju

kenikmatan abadi.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa Menurut Ar-Raghib al-Isfahani:

“sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi,tetapi kalian harus

berpindah dari satu negeri ke negeri (yang lain) sehingga kalian menetap

di satu tempat.” al-Qur’an menilai kematian sebagai jalan menuju

perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik

dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat

yang berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (disisi-Nya)?

Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa kematian untuk menguraikan nikmat-

nikmat-Nya kepada manusia. Dalam Surah al-Baqarah/ 2: 28 Allah

berfirman, yang artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu

tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan

dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu

dikembalikan.

Al-Quran juga menggunakan istilah wafat untuk menunjuk makna

mati. Murtadha Muthahhari membuat sebuah analisis menarik tentang kata

tawaffa (mati) yang berakar pada kata yang sama dengan wafat lewat

pembandingannya dengan suatu kata dalam bahasa Persia yang memiliki

bunyi hampir sama, yakni maut. Menurut Muthahhari, sebagian orang

persia mengira bahwa kedua istilah ini berasal dari kata yang sama.

Mereka mengira bahwa wafat kard kata kerja bentukan dalam bahasa

Persia yang berarti meninggal- sama dengan faut kard. Faut berarti hilang,

atau lepas dari pegangan. Jika istilah wafat bermakna sama dengan faut

maka kematian akan memiliki konotasi hilang, musnah. Kenyataannya,

makna istilah faut malah berkebalikan dengan makna istilah wafat yang

dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan kematian. Sebaliknya dari

lepas dari pegangan, istilah tawaffa berarti mengambil sesuatu dan

menerimanya secara sempurna. Contohnya, jika Anda mendapatkan

kembali seluruh piutang Anda, dan bukan hanya sebagiannya, maka itu

disebut sebagai tawaffa atau istifa. Al-Quran senantiasa mengaitkan

kematian dengan menerima secara sempurna.

Di dalam surat al-Sajdah disebutkan: Dan mereka berkata, Apakah

ketika kami telah lenyap (musnah) di dalam tanah, kami akan benar-benar

menjadi ciptaan yang baru Katakanlah: Malaikat maut ditugasi untuk

menerimamu dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.

Terapi yang sia-sia menurut pandangan islam :

Pengobatan atau terapi yang sia – sia menurut pandangan agama

islam tidak dibenarkan, berdasarkan :

1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan

keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak

bermanfaat baginya’.

2. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: Berkemauan keraslah

kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu, dan minta tolonglah kepada

Allâh Ta'ala

dan janganlah bersikap lemah

Maksud dari hadist ini adalah jangan melakukan suatu perbuatan

yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain seperti pengobatan atau

tindakan yang sia-sia.

ii. Pandangan Kristen terhadap kematian, menghadapi kematian, dan

pengobatan sia-sia

1. Kematian dan menghadapi kematian

Karya penciptaan Allah atas dunia ini menyatakan adanya

perbedaaan antara Pencipta dan yang dicipta. Allah sebagai pencipta

merupakan Allah yang absolut, dan tidak bergantung pada hal lain di

luar diri-Nya sendiri. Manusia yang dicipta merupakan manusia yang

terbatas, dan bergantung sepenuhnya kepada Allah sebagai Pencipta.

Pemberontakan manusia terhadap Allah menyebabkan keterpisahan

antara Allah dan manusia. Keterpisahan ini menyebabkan kematian

karena lepasnya manusia dari Allah sebagai sumber hidup ini. Hal ini

jelas menyatakan bahwa kematian bukanlah dicipta dan berasal dari

Allah. Kekristenan mengenal dua macam kematian yaitu kematian

secara spiritual, dan kematian secara fisik. Saat manusia pertama

(Adam) memberontak terhadapa Allah, terjadi kematian spiritual pada

saat itu juga dan kematian secara fisik yang terjadi secara gradual.

Kematian fisik seharusnya sudah terjadi saat itu juga namun karena

adanya topangan Allah, manusia bisa hidup lebih lama. Topangan ini

bersifat terbatas, dan karena itu usia manusiapun bersifat terbatas. 1

Dalam pandangan kristen, kematian fisik bukanlah sesuatu

yang harus ditakutkan. Yang harus ditakutkan adalah kematian

spiritual yang berakhir dengan kematian kekal (keterpisahan manusia

dengan Allah selama-lamanya). Manusia berdosa harus kembali

kepada Allah sebagai Sumber Hidup melalui Yesus kristus sebagai

tuhan dan juru Selamat. Tanpa hal ini, manusia akan menghadapi

kematian kekal pada hari penghakiman nanti. 1

Pengobatan menurut Kristen bukanlah berfokus pada

kesembuhan fisik pasien itu saja, namun terfokus pada pemulihan

relasi antara manusia dengan Allah. Menghadapi pasien yang berada

dalam stadium terminal/sakit parah, yang harus dilakukan adalah

mempersiapkan orang tersebut untuk menghadap Penciptanya dengan

memulihkan kembali relasi antara Tuhan dan Manusia.

2. Pengobatan sia-sia

Pengobatan sia-sia merupakan pengobatan yang tidak

diperlukan karena tidak berguna lagi untuk menolong pasien. Prinsip

pengobatan ini dipengaruhi oleh konsep post-modernisme yang lebih

mementingkan relasi yang horisontal (antara sesama manusia) tanpa

mementingkan kebenaran didalamnya. Konsep post-modernisme ini

tidak sesuai dengan prinsip alkitabiah. Kekristenan mengajarkan

bahwa relasi antara manusia dengan Penciptanya (vertikal) harus

menjadi dasar relasi manusia secara horisontal. Kekristenan

menentang prinsip post-modernisme yang merelatifkan segala sesuatu,

mementingkan relasi dan perasaan. Sebaliknya kekristenan

mengajarkan bahwa ada kebenaran yang absolut yang harus

dinyatakan. 2

Dapus:

Schwertley B. A Sumarry of christian worldview. Available from:

http://www.reformedonline.com/view/reformedonline/wrldview.htm .

Accessed january 25, 2012

ApologeticsIndex. Postmodernism. Available from:

http://www.apologeticsindex.org/p02.html . Accessed january 25, 2012

iii. Menurut agama Katolik

Menurut agama Katolik, sakit tidak berasal dari Allah. Allah

Mahabaik, yang tidak baik bukan berasal dari Allah. Sakit itu sendiri karena

manusia memiliki tubuh. Akibat kelalaian manusia dalam menjaga tubuh,

maka sakit itu dapat muncul.

Sakit parah bisa terjadi, karena keadaan sakitnya lebih kuat daripada

kemampuan fisik pasien. Orang yang mengalami sakit terus-menerus

dipandang oleh gereja Katolik sebagai MISTERI. Disebut misteri, karena

menderita sakit parah tidak bisa dimengerti sebagai kutukan dari Tuhan.

Sebuah misteri juga, mengapa orang baik bisa mengalami sakit parah,

sedangkan orang jahat tidak.

Sebagai orang Katolik wajib menjaga kesehatan, karena kehidupan

merupakan hal yang bernilai yang dipercayakan Tuhan kepada manusia.

Dan terlampir dalam KGK 2291 berisikan, kebajikan penguasaan diri

menjauhkan segala bentuk yang berlebihan terhadap makanan, minuman,

rokok, dan obat-obatan.

Menghentikan tindakan medis yang luar biasa yang tidak setimpal

dengan hasil yang diharapkan dapat dibenarkan (KGK 2278). Tetapi,

keputusan harus dilakukan oleh pasien itu sendiri. Meskipun kematian sudah

dekat, khususnya pada pasien terminal, perawatan terhadap pasien itu

sendiri tidak boleh dihentikan. Perawatan yang diberikan dapat berupa

mengurasi rasa sakit, untuk mengurangi penderitaan orang yang sakit parah

(KGK 2279).

Dari bahasan diatas dapat disimpulkan, orang tidak ingin

menyebabkan kematian tetapi hanya menerimanya karena tidak dapat

menghindarinya. Dan kematian itu tidak dipandang sebagai tujuan atau

sebagai sarana, tetapi hanya diterima dan ditolerir sebagai sesuatu yang

tidak dapat dihindarkan.

Sakit parah yang diderita dan menyebabkan suatu kematian tetap

bukan berasal dari Allah. Allah Mahabaik, semua yang tidak baik tidak

berasal dari Allah. Kematian merupakan suatu konsekuensi logis

kepemilikan tubuh. Kematian tidak berasal dari Tuhan, Tuhan hanya meng-

acc kematian.

Arti kematian menurut agama Katolik :

KGK 1006 "Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia

mencapai puncaknya" (GS 18). Dalam arti tertentu kematian badani itu

sifatnya alami; tetapi untuk iman, itu adalah "upah dosa" (Rm 6:23). Dan

untuk mereka yang mati dalam rahmat Kristus, kematian adalah "keikut-

sertaan" dalam kematian Kristus, supaya dapat juga mengambil bagian

dalam kebangkitan-Nya.

KGK 1007 Kematian adalah akhir kehidupan duniawi. Kehidupan

kita berlangsung selama waktu tertentu, dan di dalam peredarannya kita

berubah dan menjadi tua. Kematian kita, seperti pada semua makhluk hidup

di dunia ini, adalah berakhirnya kehidupan alami. Aspek kematian ini

memberi kepada kehidupan kita sesuatu yang mendesak: keyakinan akan

kefanaan dapat mengingatkan kita bahwa untuk menjalankan kehidupan

kita, hanya tersedia bagi kita suatu jangka waktu terbatas

"Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu... sebelum debu

kembali menjadi tanah seperti semula, dan napas kembali kepada Allah,

yang mengaruniakannya" (Pkh 12:1.7).

KGK 1008 Kematian adalah akibat dosa. Sebagai penafsir otentik

atas pernyataan Kitab Suci dan tradisi, magisterium Gereja mengajarkan

bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia, karena manusia telah berdosa ..

Walaupun manusia mempunyai kodrat yang dapat mati, namun Pencipta

menentukan supaya ia tidak mati. Dengan demikian kematian bertentangan

dengan keputusan Allah Pencipta. Kematian masuk ke dunia sebagai akibat

dosa. "Kematian badan, yang dapat dihindari seandainya manusia tidak

berdosa" (GS 18), adalah "musuh terakhir" manusia yang harus dikalahkan.

KGK 1009 Kematian telah diubah Kristus. Juga Yesus, Putera

Allah, telah mengalami kematian, yang termasuk bagian dari eksistensi

manusia. Walaupun Ia merasa takut akan maut, namun Ia menerimanya

dalam ketaatan bebas kepada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan Yesus telah

mengubah kutukan kematian menjadi berkat.

Kepada orang yang sakit yang sedang menghadapi ajalnya, harus

diberikan perhatian dan perawatan, dibantu supaya hidup dengan layak dan

damai selama waktu yang tersisa. Mereka hendaknya dibantu dengan doa

oleh keluarga dan orang lain. Keluarga hendaknya mengupayakan sakramen

pada waktunya sebagai persiapan bagi mereka yang sakit untuk menghadapi

Allah Yang Hidup (KGK 2299). Sakramen yang dimaksut yaitu sakramen

pengurapan orang sakit. Dalam bahaya maut, pengurapan orang sakit

menguatkan manusia dalam menghadapi perjuangan terakhir dan

menghantarnya kepada persatuan dengan Tuhan, yang melalui kematian

telah masuk ke dalam kehidupan.

b. Katekismus Gereja Katolik . Available at http://www.ekaristi.org/kat/?q=1006-

1020 . Accessed at 26 January, 2012

c. Ajaran Gereja Katolik mengenai Kematian, Kebangkitan Badan dan Kehidupan

Kekal . Available at http://www.katedral-purwokerto.net/index.php?

option=com_content&task=view&id=752&Itemid=84 . Accessed at 26 January,

2012

d. Kematian dalam Pandangan Katolik . Available at

http://www.carmelia.net/index.php?

option=com_content&view=article&id=1420:kematian-dalam-pandangan-

katolik&catid=41:tulisan-lepas&Itemid=98 . Accessed at 26 January, 2012

e. Makna Kematian Bagi Kita Orang Percaya . Available at

http://katolisitas.org/3119/makna-kematian-bagi-kita-orang-percaya . Accessed at

26 January, 2012

f. Sakramen Pengurapan Orang Sakit . Available at

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id258.htm . Accessed at 26 January,

2012

\

iv. Hindu

Kematian

Ketika kita mendengar kata “mati” yang dihubungkan dengan

manusia, maka dalam benak kita terbayang sosok (jasad) terbujur kaku tak

bernafas yang jika dibiarkan akan rusak/membusuk, karena itu jasad harus

diurus selayaknya (dikubur atau dibakar). Bayangan mengenai definisi

“mati” seperti itu tidak salah. Kematian adalah perpisahan jasad dengan

Roh. Mati menurut pandangan Hindu hanyalah berlaku bagi jasad, bukan

untuk Roh. Kematian hanyalah sebuah fenomena saja, tak lebih

Bagi Roh, jasad tak lebih dari sekedar baju yang jika sudah usang

mesti dilepas/dibuang untuk diganti dengan yang baru sebelum mendapat

“selimut keabadian” di alam Moksa. Baik buruknya kualitas baju yang

diperoleh kemudian bergantung dari daya beli “uang kebajikan” yang

telah ditabungnya. Baju baru si Roh akan disandang pada reinkarnasinya.

Baju yang paling mahal adalah bermerek “Manusia”, merek ini pun ada

bermacam tingkatan, ada yang asli (kualitas utama), yang sedang, rendah

bahkan yang imitasi juga banyak.

Gambaran perjalanan sang Roh antara kematian dan kelahiran

kembali sebagai berikut : Roh berpindah dengan badan astral atau suksma

sarira. Badan astral ini terjadi dan 19 tattwa atau prinsip, yaitu; 5 organ

penggerak, 5 organ pengetahuan, 5 prana, pikiran, kecerdasan dan citta

(bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan (ego). Badan halus ini

membawa segala jenis samskara atau kesan, serta wawasan atau

kecenderungan-kecenderungan dan Roh pribadi. Bila buah dan karma-

karma baik telah dihabiskan. Ta menggabungkan dirinya dengan badan

fisik yang baru dan berinkarnai pada tempat di bumi ini. Yang

penilakunya sudah baik mencapai kelahiran baik, dan yang perilakunya

jahat ditanik ke dalam kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang

lebih rendah.

Hindu mengenal konsep Purusa Pradhana, Brahman-Atman,

Bhuana Agung-Bhuana Alit. Pada peristiwa “kematian”, Atman

diharapkan kembali kepada Brahman, dan jasad (Bhuana Alit) kembali

kepada alam (Ehuana Agung). Untuk proses kembalinya Bhuana alit ke

Bhuana Agung, cara yang terbaik adalah dengan membakar (kremasi).

Mengapa kremasi yang terbaik? Menurut Sri Swami Sivananda, kremasi

memberikan manfaat yang tertinggi bagi Roh. Bila badan tidak dibakar,

sang Roh/Jiwa masih dihubungkan dengan bumi. Roh terkatung-katung

mengitari badan yang sudah mati disebabkan oleh moha atau keterikatan

pada badan fisik. Perjalanannya ke alarn surgawi terhalang karenanya.

Jika dibakar, getaran-getaran yang dihasilkan dari penguncaran mantra

dan persembahan sesajian air mampu memberikan hiburan dan

menyenangkan Roh yang meninggal.

Upacara sapindikarana membantu jiwa melewati Preta Loka

menuju Pitri Loka. Ia lalu diakui di antara para Pitri atau leluhur. Si anak

mengelilingi jasad ayahnya tiga kali sebelum api dinyalakan pada

tumpukan kayu bakar dan memercikkan air sekali, penguncaran mantra,

“Pergilah! Menyingkir dan berangkat dari sini.” Tulang-tulangnya

dikumpulkan pada hari berikutnya dan dibuang ke dalam sungai. Mereka

yang mampu akan membawanya ke Banares atau Hardwar dan

membuangnya ke sungai Gangga. Menjadi kepercayaan bahwa Roh yang

fana, tinggal disampaikan ke sungai Gangga yang suci maka Roh akan

mencapai wilayah yang lebih tinggi dari kecemerlangan dan sinar spiritual

yang akhirnya bebas. Lewat kremasi unsur-unsur penyusun jasad

dikembalikan ke asalnya, unsur air kembali ke air, api kembali ke api dan

seterusnya.

Timbul pertanyaan, “Apakah semua harus dibakar?” Hindu adalah

agama yang fleksibel sekali, di beberapa daerah ada larangan untuk

membakar mayat dengan pertimbangan yang masuk akal, itu tak masalah.

Mayat dikubur (beya tanem) juga boleh bahkan kalau tak memungkinkan

untuk dikubur, ditenggelamkan di laut pun mungkin. Anjuran ngaben

hanya bila memungkinkan dari aspek desa, kala, patra dan tattwa.

v. Seperti yang sudah diungkapkan di depan, masih begitu banyak umat kita

yang tidak mengerti hakekat (tattwa), ada satu cerita yang menurut saya

cukup menyentuh perasaan. Dulu di desa saya ada seorang juragan yang

meninggal dunia. Karena urang kaya, tentu kerabat yang menghadiri

prosesi ngabennya juga banyak dari kalangan berada. Nah, pada saat

pembakaran mayatnya, orang-orang kaya itu ramai-ramai melemparkan

sesuatu ke dalam kobaran api. Apa yang dilemparkan? Ternyata uang dan

perhiasan yang cukup banyak, kalau dikumpulkan mungkin mencapai

jutaan rupiah. Sambil melemparkan uang, seseorang ada yang berkata,

“Bli Made, tiang sing side ngemaang Bli ape-ape, tuah ene ade pipis

abedik, pang ada anggon Beli bekel dikedituan, selamat jalan Bli...”

Artinya kurang lebih begini, “Kak Made, saya tidak bisa memberi Kakak

apa-apa, hanya ini ada sedikit uang, agar ada Kakak gunakan sebagai

bekal di alam sana, selamat jalan Kak...” Saya tercenung, bukan karena

kematian Pak Made itu, tetapi karena menyaksikan begitu banyak orang

kaya yang berbuat sia-sia. Tidakkah uang itu lebih baik diberikan kepada

keluarganya yang masih hidup atau kepada tetangganya yang tinggal di

gubuk-gubuk reot?

Tanpa disadari, melemparkan uang dan perhiasan ke api kremasi

dapat menghalangi perjalanan Roh yang meninggal. Roh akan teringat

akan kekayaannya di dunia dan merasa sayang untuk meninggalkannya,

karena masih terikat dengan kekayaan maka Roh akan berputar-putar tak

tentu arah (kemaya-maya/gentayangan). Nah kalau terjadi seperti itu,

tidakkah kita merasa kasihan ? Seyogyanyalah kita memanjatkan doa-doa

untuk keselamatan Roh, itu yang lebih bermanfaat, bukannya memberi

“bekal” yang tidak-tidak yang justru membebani perjalanannya.•

Sumber : http://www.parisada.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=264&Itemid=29

Sakit Parah

Bagi Manusia hendaknya memandang sakit parahnya itu ada

hubungan dengan karmaphala, bukan kutukan Tuhan. Baik para dokter,

para pakar pengobatan, manusia serta keluarga manusia agar dapat

memberikan pengertian serta berusaha untuk menimbulkan harapan yang

baik. “jangan putus asa menghadapi sakit parah”. Kalau dia seorang yang

beragam Hindu maka keluarganya akan dating memohon air suci di pura

serta membawa sesajen, memohonkan kesembuhan manusia yang parah

dan mohon maaf atas segala kesalahannya. Tirta itu dibawa ke rumah sakit

kemudian dipercikan lalu diminumkan dan diraupkan kepada manusia itu

yang sakit.

Karena tidak tahan menderita sakit parah lalu salah langkah

dengan pembunuhan diri sendiri untuk menghilangkan sakitnya, tidak

dibenarkan oleh ajaran Hindu karena perbuatan membunuh diri sendiri

termasuk dosa. Sebaiknya diusahakan pengobatan secara medis oleh

dokter dan secara rohaniah mohon kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi

Wasa) serta oda-doa dari para umat Hindu yang dapat melaksanakan

pengobatan secara semadi dari jarak dekat maupun jarak jauh.

Pengobatan Sia-Sia

Menurut pandangan Hindu ada kalanya pengobatan secara modern

mengalami bahwa segala macam pengobatan ilmiah rasional dan telah

diuji klinik sesuai dengan syarat/standar kedokteran. Belum mampu

memnyembuhkan penyakit pasien yang kena pasangan bebai atau mahluk

halus. Dalam hal ini, sebaiknya dokter memberitahukan serta

merundingkan dengan pihak keluarga pasien, bahwa penyakit pasien tidak

dapat disembuhkan dengan pengobatan modern. Sebaiknya

dipertimbangkan apakah pasien aka tetap dirawat di RS ataukah

dipulangkan ke rumah, untuk mencarikan obat alternative karena

pengobatan modern telah sia-sia untuk menyembuhkannya.

vi. Buddha

a. Menurut agama Buddha

Dukkha adalah “penderitaan” itu sendiri. Hidup ini dipenuhi oleh

realitas penderitaan sejak dari lahirnya manusia sampai pada kematian

menjemputnya.8 Bagi Budha, lahir adalah penderitaan, menjadi tua

adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan,

kesedihan, ratapan, kesakitan dan ketidakbahagiaan, semuanya itu

adalah penderitaan. Fakta penderitaan ini disadari oleh Budha sebagai

bersifat universal, artinya semua orang mengalaminya, tidak peduli

orang kaya, miskin, tua, muda.

Konsep dukkha dalam pengajaran Budha dapat dibagi dalam tiga

jenis. Pertama, penderitaan sebagai rasa sakit (pain). Ini adalah “self-

evident suffering”. Ketika kita berada dalam sakit mental ataupun

fisik, jelaslah bahwa terdapat dukkha. Bahkan ketika kita sedang

menikmati sesuatu atau pada saat tidak ada sesuatu yang secara khusus

membuat kita tidak bahagia, hal-hal selalu bisa berubah: apa yang kita

nikmati dapat segera berlalu atau sesuatu yang tidak menyenangkan

dapat muncul begitu saja. Inilah yang disebut dukkha sebagai

perubahan. Selanjutnya, Budha juga berbicara mengenai dukkha

sebagai kondisi. Dalam pengertian ini, Budha berbicara mengenai

natur dari dunia yang bersifat tidak stabil dan tidak tetap. Dunia ini

pada dasarnya berisi kesakitan dan kesenangan, penderitaan dan

kebahagiaan, semuanya saling kait-mengait dan membentuk realitas.

Terapi Buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini menjadi

sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa

sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya.

Dengan begitu apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya

menyadari segala bentuk-bentuk pikiran emosi-emosi yang timbul

dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran yang menyebabkan

penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu : (1). Keserakahan,

(2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5).

Kekuatiran (Ruth Walshe, alih bahasa Upi. Ksantidewi, Terapi secara

Buddhis).

Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh penyakit, terdiri dari

tulang belulang, lemah dan perlu banyak perawatan, keadaan tidak

kekal serta tidak tetap” (Dhp. XI. 147). Dalam agama Buddha tidak

dianjurkan melekati badan jasmani karena pada hakekatnya adalah

tidak kekal, tidak menyenangkan dan tanpa inti yang kekal. Tetapi

tubuh perlu mendapatkan perawatan agar tidak mudah terserang

penyakit. Ada enam penyebab penyakit mudak muncul yaitu: 1) suatu

ketidak seimbangan dari empat unsur-unsur ( tanah, air, api, dan gas),

2) kebiasaan yang berkenaan dengan aturan makan tidak beraturan, 3)

metoda meditasi yang salah, 4) minuman keras, 5) pemilikan setan,

dan 6) kekuatan dari karma yang tidak baik.

Kersehatan meliputi kesehatan jasmani dan mental. Jasmani

memerlukan makanan materi untuk menjaga kesehatan batin

memerlukan makanan batin untuk menjaga kesehatan mental atau

jiwa.

Pada dasarnya setiap orang yang akan meninggal selalu

menginginkan suatu yang damai dalam hatinya, oleh karena itu da

beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seseorang agar menghadapi

kematian dengan tenang, yaitu:

1. Melakukan perenungan terhadap kematian

2. Melepaskan kemelekatan

3. Meyakini hukum karma

4. Memiliki bekal karma baik (Mettadewi. 2001: 19-23)

Buddha mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih yang hendaknya

kita pancarkan kepada semua makhluk hidup demikian juga dengan

pasien yang selalu menderita karena penyakit yang di deritanya.

Hendaknya juga harus dirawat dengan tindakan cinta kasih dan

diberikan suatu dorongan semangat sehingga dalam hatinya tidak akan

muncul suatu ketakutan “Perbuatan jasmani yang sesuai dhamma yaitu

seseorang meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, dengan

membuang tongkat dan senapan, lemah lembut dan penyayang ia

hidup dengan cinta kasih terhadap semua makhluk” (M. I. 41)

Terapi Buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini menjadi

sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa

sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya.

Dengan begitu apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya

menyadari segala bentuk-bentuk pikiran emosi-emosi yang timbul

dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran yang menyebabkan

penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu : (1). Keserakahan,

(2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5).

Kekuatiran (Ruth Walshe, alih bahasa Upi. Ksantidewi, Terapi secara

Buddhis). S

Sang Buddha menasehati murid-muridNya tentang pentingnya

pelayanan kepada orang sakit. Beliau bersabda :”Seseorang yang

merawat orang sakit, berarti ia telah merawat Saya”. Pernyataan

terkenal ini dibuat oleh Yang Terberkati saat Beliau menemukan

seorang bhikkhu yang sedang berbaring dalam jubah kotornya.

Bhikkhu tersebut dalam keadaan sakit parah karena serangan disentri.

Dengan bantuan Ananda, Sang Buddha mencuci dan membersihkan

bhikkhu sakit itu dengan air hangat. Dalam kesempatan ini, Beliau

mengingatkan para bhikkhu bahwa mereka tidak mempunyai orang tua

maupun sanak keluarga yang menjaga mereka, maka mereka harus

menjaga satu sama lain. Jika guru sedang sakit, murid mempunyai

kewajiban untuk menjaganya, dan jika murid sakit, guru berkewajiban

menjaga murid yang sakit. Jika tidak ada guru atau murid, maka

masyarakat berkewajiban menjaga orang sakit (Vin.i,301ff.). Sang

Buddha tidak hanya mendukung pentingnya merawat orang sakit,

Beliau juga memberi contoh baik dengan diriNya sendiri memberikan

pelayanan kepada mereka yang sangat sakit, mereka yang bahkan

dianggap menjijikkan bagi orang-orang lain.

Sang Buddha menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh

seorang perawat baik. Ia harus mampu memberikan obat, ia harus

mengetahui apa yang bermanfaat untuk pasien dan apa yang tidak

bermanfaat. Ia harus menjauhkan apa yang tidak bermanfaat dan hanya

memberikan apa yang bermanfaat bagi pasien. Ia harus mempunyai

cinta kasih dan murah hati, ia harus melakukan kewajibannya atas

kesadaran untuk melayani dan bukan hanya untuk imbalan (mettacitto

gilanam upatthati no amisantaro). Ia tidak boleh merasa jijik terhadap

air liur, lendir, air kencing, tahi, luka, dll. Ia harus mampu menasehati

dan mendorong pasien dengan ide-ide mulia, dengan pembicaraan

Dhamma (A.iii,144).

Patut diperhatikan di sini bahwa perawat tidak hanya diharapkan

cakap dalam merawat badan dengan memberi makanan dan obat yang

tepat, tetapi ia juga diharapkan untuk merawat kondisi batin pasien.

Diketahui bahwa kebaikan para perawat dan dokter adalah obat yang

hampir sama effektifnya untuk semangat juang dan kesembuhan

seorang pasien. Saat seseorang sedang sakit parah dan merasa tidak

berdaya, suatu kata ramah atau suatu tindakan baik menjadi sumber

kesenangan dan harapan. Itulah sebabnya cinta kasih (metta) dan belas

kasihan (karuna), yang juga merupakan perasaan-perasaan mulia

(brahmavihara), dianggap sebagai sifat-sifat yang patut dipuji dalam

seorang perawat. Sutta-sutta menambahkan dimensi lain bagi profesi

perawatan dengan memasukkan elemen spiritual dalam pembicaraan

perawat. Keadaan sakit adalah saat seseorang sedang menghadapi

kenyataan-kenyataan hidup dan kondisi ini adalah suatu kesempatan

baik untuk menanamkan suatu kesadaran spiritual yang mendesak,

bahkan dalam batin yang paling materialistis sekalipun. Lebih lanjut

lagi, seseorang yang sedang sakit tentunya mempunyai perasaan takut

pada kematian yang lebih besar daripada saat ia sedang sehat. Cara-

cara yang paling bagus untuk menenangkan perasaan takut ini adalah

dengan mengalihkan perhatian kepada Dhamma. Dalam

pengawasannya, perawat diharapkan memberikan bimbingan spiritual

kepada pasien sebagai suatu bagian dan paket dari kewajiban seorang

perawat.

Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha menyebutkan tiga jenis

pasien (A.i,120). Terdapat pasien yang tidak akan sembuh apakah

mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan pengobatan

dan perawatan yang tepat; terdapat pasien yang akan sembuh tidak

peduli apakah mereka mendapatkan atau tidak mendapatkan pelayanan

pengobatan dan perawatan yang tepat; terdapat pasien yang akan

sembuh hanya dengan pengobatan dan perawatan yang tepat. Karena

adanya jenis pasien ke tiga inilah, maka semua yang sakit harus diberi

pengobatan tersedia yang terbaik, makanan yang bermanfaat dan

perawatan yang tepat. Selama pasien masih hidup, segala yang dapat

dilakukan harus diusahakan untuk kesembuhannya.

Menurut sutta lainnya (A.iii,56,62), penyakit adalah salah satu

yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Saat menghadapinya,

semua sumber yang tersedia bagi seseorang, bahkan mantra-mantra

gaibpun, seharusnya dimanfaatkan dengan harapan untuk

mengembalikan kesehatan.Di sini tidak akan dibahas masalah

perbuatan-perbuatan seperti itu bermanfaat atau tidak. Nampaknya inti

permasalahan adalah dalam keadaan kritis tidak ada buruknya untuk

mencoba, bahkan metode yang secara tradisi dipercaya akan

membawa hasil, walaupun orang yang bersangkutan tidak harus

mempunyai keyakinan atau kepercayaan pada metode tersebut.

Tentunya, metode-metode demikian seharusnya tidak bertentangan

dengan hati nurani seseorang.

Walaupun dengan upaya-upaya ini, jika kematian tetap datang,

maka seseorang harus menerimanya Sang Buddha mengajarkan bahwa

agar sembuh, pasien juga harus bekerja sama dengan dokter dan

perawat. Seorang pasien baik seharusnya hanya menerima dan

melakukan apa yang bermanfaat baginya. Bahkan dalam memakan

makanan yang bermanfaat sekalipun, ia harus mengetahui jumlah yang

tepat. Ia harus meminum resep obat tanpa merepotkan. Ia harus dengan

jujur memberitahu penyakit-penyakitnya kepada perawatnya yang

sadar atas kewajiban. Ia harus dengan sabar menahan rasa sakit

jasmani bahkan saat rasa sakit tersebut sangat nyeri dan menyiksa

(A.iii,144).

http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/pelayanan-kepada-orang-sakit-dan-sakit-

menjelang-kematian/

vii. Hak dan kewajiban ( menurut UU RI nomor 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran)

a. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

i. Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan

tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan

standar prosedur operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya; dan

d. menerima imbalan jasa.

ii. Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

b. Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. menolak tindakan medis; dan

e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

viii.