tjpusk kinorg462 2 bab2

35
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Pada bab ini, penulis melakukan peninjauan atas berbagai literatur-literatur berupa jurnal-jurnal penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh para profesional akuntansi, buku-buku dan sumber-sumber lainnya. Hasil dari peninjauan ini, akan menjadi dasar dalam menganilisa hasil penelitian dan pengambilan kesimpulan pada akhir penelitian. Penyusunan bab ini terbagi secara garis besar ke dalam kelompok teori kinerja organisasi yang menjelaskan mengenai faktor- faktor rasional dalam pengukuran kinerja dan pemanfaatan informasi kinerja serta keterkaitan antara faktor-faktor rasional dalam pengukuran kinerja dengan pemanfaatan informasi kinerja. 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Faktor-Faktor Rasional Kinerja Organisasi 9

Upload: danususanto

Post on 11-Nov-2015

219 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skenario

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

28

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESISPada bab ini, penulis melakukan peninjauan atas berbagai literatur-literatur berupa jurnal-jurnal penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh para profesional akuntansi, buku-buku dan sumber-sumber lainnya. Hasil dari peninjauan ini, akan menjadi dasar dalam menganilisa hasil penelitian dan pengambilan kesimpulan pada akhir penelitian. Penyusunan bab ini terbagi secara garis besar ke dalam kelompok teori kinerja organisasi yang menjelaskan mengenai faktor-faktor rasional dalam pengukuran kinerja dan pemanfaatan informasi kinerja serta keterkaitan antara faktor-faktor rasional dalam pengukuran kinerja dengan pemanfaatan informasi kinerja.2.1 Kajian Pustaka2.1.1 Faktor-Faktor Rasional Kinerja OrganisasiKinerja organisasi memiliki banyak macam pengertian, namun penulis mengadaptasi salah satu teori kinerja organisasi dari Ghosh dan Mukherjee (2006: 1) yang mendefinisikan kinerja organisasi, sebagai berikut:

Corporate performance is the final result of all activities. In evaluating performance the emphasis is on assessing the current behavior of the organization in respect to its efficiency and effectiveness. The appropriate performance measurement tool should be: Relevant to the strategic goals of the organization and accountable to the individuals concerned, focus on measurable outputs, verifiable.

Kinerja organisasi ini menjelaskan bahwa kinerja ditekankan pada hasil akhir dari keseluruhan proses aktivitas. Kinerja organisasi diarahkan pada kondisi terkini dari sebuah organisasi untuk mengetahui sejauhmana organisasi telah berada pada tataran yang efektif dan efisien. Untuk itu, apabila organisasi melakukan pengukuran kinerja, maka hal itu seharusnya mengedepankan terpenuhinya aspek relevansi ukuran kinerja dengan strategi organisasi, fokus terhadap output dan dapat diferivikasi. Relevansi kinerja dengan strategis organisasi menurut Lijan Poltak Sinambela (2006:6) berkaitan dengan segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).Instansi pemerintah yang bertujuan memberikan pelayanan publik pada dasarnya berupa pemberian kepuasan pada masyarakat. Pencapaian kepuasan masyarakat ini menuntut kinerja instansi pemerintah berupa kualitas pelayanan (Lijan Poltak Sinambela, 2006:6) yang tercermin dari;1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secana memadai serta mudah dimengerti;2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas;4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat;5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain;6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Jika dihubungkan dengan akuntansi pelayanan publik, kinerja instansi pemerintah merupakan kualitas pelayanan birokrat yang diberikan kepada masyarakat. Pengukuran kinerja organisasi perlu dipersiapkan secara tepat dengan memperhatikan segala dimensi baik finansial maupun non finansial. Pertimbangannya adalah bahwa masalah yang dihadapi organisasi sangat kompleks.

Pengelolaan kinerja tidak sebatas alat untuk mengevaluasi kinerja organisasi tetapi sebagai strategi untuk menilai dan memotivasi peningkatan kinerja. Keberhasilan pengelolaan kinerja ditentukan oleh sistem penilaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan organisasi dalam menciptakan keunggulan kompetitif. Melalui sistem penilaian yang efisien orgnisasi dapat meminimalkan kesalahan, seperti : halo effect, stereotyping, attributions, recency effects, central tendency errors, leniency errors atau strictnes errors (Anthony, Perrewe dan Kacmar; dalam Nuringsih, 2002: 3).

Efisiensi yang dihasilkan dari penilaian kinerja merupakan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Dalam merealisasi keunggulan tersebut diperlukan sistem penilaian yang obyektif, tidak bias dan terdapat feedback sebagai dasar untuk evaluasi. Penggunaan informasi kinerja sebagai dasar dalam mengevaluasi kinerja menurut Mulyadi (2008: 3) memiliki keunggulan berikut ini:

1. Pusat pertanggungjawaban ditetapkan perannya jauh lebih luas daripada sekadar untuk mewujudkan kinerja keuangan. Mission center ditetapkan perannya dalam penyediaan produk dan jasa untuk memuasi kebutuhan customer. Service center ditetapkan perannya dalam memberikan layanan bagi mission center untuk memampukan mission center dalam menyediakan produk dan jasa bagi customer. Dengan demikian, baik mission center maupun service center diberi peran untuk memuasi kebutuhan customer. Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif3, penetapan peran pusat pertanggungjawaban seperti itu menjanjikan peningkatan daya saing perusahaan dalam memenangkan pilihan customer.

2. Baik mission center maupun service center dituntut untuk mengidentifikasi kebutuhan yang dipenuhi oleh pusat pertanggungjawaban yang bersangkutan dan mengidentifikasi customer yang dilayani. Mission center berperan untuk memenuhi kebutuhan customer luar dan service center berperan untuk memenuhi kebutuhan customer internal (mission center). Identifikasi kebutuhan yang dipenuhi dan identifikasi customer yang bersangkutan menjadi basis bagi mission center dan service center untuk membangun kompetensi inti dalam penyediaan produk dan jasa bagi customer. Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif4, pembangunan kompetensi inti pusat pertanggungjawaban ini menjanjikan meningkatnya daya saing perusahaan dalam memenangkan pilihan customer.

3. Pengelompokan pusat pertanggungjawaban ke dalam mission center mendorong kerja sama lintas fungsional dalam memenuhi kebutuhan customer, sehingga customer dapat memperoleh layanan kompleks dalam waktu yang cepat. Dalam perusahaan manufaktur, pusat pertanggungjawaban yang termasuk dalam kelompok mission center adalah departemen pemasaran dan departemen produksi. Dalam manajemen modern, kedua departemen tersebut dikelompokkan ke dalam mission center untuk bekerja sama lintas fungsi dalam memenuhi kebutuhan customer. Kerja sama lintas fungsi inilah yang menjadikan organisasi kohesif dalam menyediakan value bagi customer. Dalam manajemen tradisional, kedua departemen tersebut dipisahkan ke dalam pusat biaya (departemen produksi) dan pusat pendapatan (departemen pemasaran).

Kinerja anggota organisasi ditentukan oleh 3 (tiga) faktor: Bakat dan kemampuan, Persepsi tentang peran, Usaha. Usaha (effort) untuk menghasilkan kinerja ditentukan oleh apakah kinerja personel akan digunakan sebagai basis untuk memberikan penghargaan. Oleh karena itu garis yang menghubungkan antara kinerja dan penghargaan berupa garis bergelombang (wavy line), bukan garis lurus (straight line), karena belum tentu kinerja akan diberi penghargaan (Mulyadi, 2008: 3). Berdasarkan model Porter-Lawler (dalam Mulyadi, 2008: 3), pengelolaan kinerja terpadu dilaksanakan melalui lima tahap berikut ini:

1. Penetapan kinerja yang hendak dicapai;

2. Penetapan peran dan penentuan kompetensi inti untuk mewujudkan peran;

3. Peningkatan usaha dengan pendesainan sistem penghargaan berbasis kinerja untuk meningkatkan kepastian bahwa kinerja akan diberi penghargaan;

4. Pengukuran dan penilaian kinerja;

5. Pendistribusian penghargaan berbasis kinerja untuk meningkatkan nilai penghargaan bagi personel melalui kepuasan personel terhadap penghargaan dan penilaian personel atas kepantasan penghargaan yang mereka terima.

Tahap pengelolaan kinerja personel dilakukan dengan penetapan kinerja yang hendak dicapai. Kinerja yang hendak dicapai oleh anggota organisasi ditetapkan berdasarkan sasaran strategik yang hendak dicapai oleh organisasi. Ketercapaian sasaran strategik merupakan kinerja yang dihasilkan oleh anggota organisasi. Oleh karena itu, ketercapaian sasaran strategik perlu ditentukan ukurannya dan ditentukan targetnya. Sasaran strategik dirumuskan melalui penerjemahan misi, visi, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi perusahaan ke dalam ukuran kinerja. Ukuran kinerja anggota organisasi ini merupakan sumber informasi dalam pemanfaatan informasi kinerja organisasi.

Pengelolaan sumber informasi kinerja anggota organisasi secara individual dapat dilihat berdasarkan kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran strategik organisasi secara keseluruhan yang ditetapkan dalam mewujudkan sasaran-sasaran strategik organisasi yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja suatu organisasi ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, pengelolaan organisasi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, sehingga informasi kinerja yang dihasilkan oleh suatu sistem pengukuran kinerja ditujukan pula untuk keperluan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi, yaitu stakeholder internal maupun eksternal. Menurut Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim (2005: 774) bahwa tujuan utama pengukuran kinerja instansi adalah untuk memperbaiki pengambilan keputusan internal serta alokasi sumber daya. Sistem pengukuran kinerja menjadi tidak berguna sama sekali apabila informasi kinerja yang dihasilkan tidak dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan. Organisasi perlu mempertimbangkan faktor-faktor rasional dalam pengukuran kinerja, yaitu ketersediaan sumberdaya, informasi dan orientasi pada tujuan yang dapat meningkatkan keahlian dan dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan. Hal ini berkesusaian dengan pendapat yang dikemukakan oleh Julnes dan Holzer (2001) bahwa faktor-faktor rasional adalah sumberdaya, informasi, dan orientasi tujuan (goal). 2.1.1.1 SumberdayaKegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi-fungsi manajemen ke arah tercapainya sasaran yang ditetapkan di dalam setiap rencana operasional. Sumber daya terdiri dari sumber daya material khusunya berupa sarana dan prasarana, sumber daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program dan proyek, sumber daya manusia, sumber daya teknologi dan sumber daya informasi (Nawawi, 2003:24).Sumberdaya menurut Sihalolo dan Halim (2005: 777) yaitu:

Staf dan dana yang dikhususkan untuk mengembangkan, mengumpulkan dan mengevaluasi kinerja.

Staf yang capable dan tersedianya sumberdaya keuangan sangat penting dalam mengembangkan dan memantau ukuran kinerja (Wang, 2002). Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Ferry Laurensius Sihalolo, 2006: 14) menjelaskan berkaitan dengan sumberdaya bahwa; Organisasi publik yang menerapkan pengukuran kinerja memberikan perhatian perhatian terhadap tersedianya sumberdaya, memiliki staf yang dikhususkan untuk mengevaluasi kinerja, dan mengumpulkan data yang memadai. Sumberdaya memiliki pengaruh yang kuat pada proses pemanfaatan, yaitu pada tahap adopsi dan tahap implementasi. Semakin tersedia sumberdaya maka semakin mungkin suatu instansi untuk mengembangkan ukuran kinerja yang baik dan semakin tinggi kemunginan informasi kinerja untuk diimplementasikan.

Keberadaan sumberdaya memiliki arti dan peranan yang besar dalam kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi melalui penilaian kinerja dengan cepat dan mudah disumbangkan besar dari keberadaan sumber daya. Sumber daya manusia sebagai sumber daya memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi keberhasilan pencapaian suatu tujuan organisasi. Dalam melaksanakan suatu kegiatan baik dalam organisasi publik maupun privat keberadaan sumber daya manusia sangat diperhitungkan. Dalam pelaksanan suatu kegiatan, keberadaan sumber daya manusia sebagai pelaksana kegiatan sangat menentukan keberhasilan suatu kebijakan.

Pengukuran terhadap keberadaan sumberdaya menurut Sihalolo dan Halim (2005:788) terdiri dari:1. Ketersediaan sumberdaya teknologi2. Kepemilikan staf khusus dalam menilai kinerja3. Kelengkapan pengumpulan data yang menyeluruh4. Kecukupan pengalokasian dana penilaian kinerja5. Kepemilikan staf yang kompeten dalam mengukur kinerja

2.1.1.2 Informasi

Informasi merupakan salah satu komponen utama dalam organisasi yang digunakan oleh para stakeholder untuk mengendalikan organisasi dalam mencapai tujuan. Informasi merupakan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya seperti yang dikemukakan oleh Abdul Kadir (2003:54) yang mendefinisikan informasi Sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut, di mana data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata, sedangkan kejadian (event) adalah sesuatu yang terjadi pada saat tertentu.Informasi tentang ukuran kinerja dapat diperoleh melalui media, peraturan-peraturan, buku manual, internet, pelatihan, workshop, seminar (Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim, 2005:777). Informasi ini dapat meningkatkan kemampuan teknis pelaksana program atau kegiatan. Semakin banyak informasi yang diperoleh tentang pengukuran kinerja yang benar, maka organisasi semakin memiliki kemampuan teknis untuk mengadopsi sistem pengukuran kinerja. Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Ferry Laurensius Sihalolo, 2006: 14) menjelaskan berkaitan dengan informasi bahwa;

Dalam mengadopsi dan mengimplementasikan pengukuran kinerja, karyawan staf atau non staf harus memiliki kemampuan teknis tentang bagaimana melakukan dan mengimplementasikan ukuran kinerja. Hal tersebut dapat diperoleh melalui pelatihan, seminar, workshop atau akses kepada informasi yang memadai bekaitan dengan pengukuran kinerja. Semakin tinggi akses personil program atau instansi terhadap sumber informasi, maka ukuran kinerja yang baik akan semakin mungkin dikembangkan (diadopsi) dan informasi kinerja akan diimplementasikan.Manusia membutuhkan informasi dalam menjalin komunikasi dengan sesamanya baik dalam kehidupan organisasi maupun kehidupan sosialnya. Dalam berkomunikasi pada umumnya terdapat orang yang menyampaikan pesan (komunikator), orang yang menerima pesan (komunikan) dan pesan yang disampaikan. Proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan akan berjalan dengan baik bila pesan yang disampaikan singkat, jelas dan tepat sasaran. Pengukuran terhadap keberadaan informasi menurut Sihalolo dan Halim (2005:788) terdiri dari:

1. Kelengkapan informasi yang dibutuhkan2. Kemampuan pengolahan data menjadi informasi3. Penggunaan teknologi informasi terkini4. Informasi yang diperoleh meningkatkan kemampuan teknis pelaksana5. Informasi yang ada dapat digunakan untuk penilaian2.1.1.3 Orientasi Tujuan

Orientasi tujuan (goal) merupakan konsensus terhadap tujuan dari setiap program. Kesepakatan terhadap tujuan dari setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakan akan membawa pada tujuan kinerja (Performance goal). Orientasi tujuan ini memungkinkan organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Ferry Laurensius Sihalolo, 2006: 14) mengemukakan tentang orientasi tujuan yaitu;

Konsensus terhadap tujuan dari setiap program. Kesepakatan terhadap tujuan dari setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakan akan membawa pada tujuan kinerja (performance goal).Orientasi tujuan ini memungkinkan organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Konsensus terhadap tujuan dari setiap program. Apabila setiap program memiliki tujuan, adopsi dan implementasi ukuran kinerja semakin mungkin terlaksana. Orientasi tujuan ini memiliki dimensi yang diarahkan oleh tujuan dan sasaran, strategi-strategi dikomunikasikan, perumusan misi yang mendorong efisiensi, kejelasan tujuan dan sasaran.

Pengukuran terhadap penerapan orientasi tujuan menurut Sihalolo dan Halim (2005:788) terdiri dari:

1. Kejelasan penetapan tujuan penilaian2. Pemahaman terhadap tujuan pengukuran kinerja3. Strategi yang diterapkan dalam penilaian4. Penerapan efisiensi dalam penilaian5. Ketercapaian sasaran penilaian kinerja2.1.2 Pemanfaatan Informasi KinerjaPemanfaatan informasi kinerja untuk keperluan internal tidak terlepas dari tahap adopsi ukuran kinerja dan tahap menerapkan (implementasi) informasi kinerja untuk pelaporan, alokasi anggaran dan membantu pengambilan keputusan (Julnes dan Holzer, 2001; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:774). Pengakuan terhadap kedua tahap ini diperlukan karena kesalahan mengadopsi suatu ukuran kinerja akan membuat informasi kinerja menjadi tidak valid dan tidak dapat diandalkan. Jika tidak mencerminkan kinerja sebenarnya maka informasi kinerja tidak dapat diimplementasikan dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan dan evaluasi, serta pengalokasian anggaran. Keputusan mengadopsi suatu ukuran kinerja memerlukan perencanaan yang matang berkaitan dengan kesiapan organisasi dan personel-personel pelaksana program untuk merencanakan ukuran kinerja, melaksanakan kegiatan dan mengumpulkan data kinerja. Tahap adopsi merupakan tahap pengembangan kapasitas organisasi dalam mengembangkan ukuran kinerja dan pengambilan keputusan tentang ukuran kinerja yang akan dipakai atau diadopsi. Sedangkan tahap implementasi, hasil pengukuran dan pengumpulan data atau informasi kinerja dievaluasi dan diterapkan dalam alokasi anggaran, perencanaan kinerja dan perencanaan strategis, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan.

Proses pemanfaatan (Utilization process) merupakan suatu proses perubahan dan proses keperilakuan dalam pengambilan keputusan yang meliputi tahap-tahap adopsi dan implementasi (Beyer dan Trice, 1982; Cronbach, dkk, 1980; Stehr, 1992; Julnes dan Holzer, 2001; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776). Pemanfaatan informasi kinerja juga dapat dibagi dalam dua tahap tersebut, yaitu tahap adopsi dan tahap implementasi hasil pengukuran kinerja (Julnes dan Holzer, 2001; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776). Tahap adopsi ukuran kinerja merupakan tahap pengembangan ukuran-ukuran kinerja dengan mempertimbangkan kapasitas dan sumberdaya yang ada di organisasi. Tahap implementasi merupakan tahap menggunakan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja alokasi anggaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Pembagian proses pemanfaatan informasi kinerja menjadi dua tahap disebabkan oleh pengguna dan kepentingan yang berbeda dalam kedua tahap tersebut. 2.1.2.1 Adopsi Ukuran Kinerja

Proses pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu keputusan yang didasarkan pada faktor-faktor rasional (Julnes dan Holzer, 2001; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776), dimana organisasi menilai kemampuannya untuk melaksanakan suatu ukuran kinerja. Keseluruhan Faktor-faktor rasional itu diprediksi mempengaruhi organisasi dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer 2001 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776) menemukan bahwa faktor-faktor rasional mempengaruhi organisasi Pemerintah dalam keputusan mengadopsi ukuran kinerja. Penelitian Wang 2002 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:777) juga mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya, dan kesepakatan akan tujuan memungkinkan organisasi untuk mengembangkan ukuran kinerja dan memantau kinerja. Meskipun faktor rasional merupakan hal yang pertama dipertimbangkan dalam membuat keputusan, namun perlu disadari bahwa organisasi, terutama organisasi sektor publik beroperasi dan berinteraksi dalam lingkungan dimana banyak pihak yang terlibat. Pembuatan keputusan dalam organisasi tidak terlepas dari pengaruh politik organisasi (Morrow dan Hitt, 2000; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776) yang berasal dari luar dan dalam organisasi. Selanjutnya, Fisher 1986 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:777) menyatakan bahwa kerangka rasional harus juga ditempatkan juga dalam kerangka politik.

Politik dalam organisasi muncul dari tidak tercapainya kesepakatan dari unsur-unsur yang ada dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan konflik (Morrow dan Hitt, 2000; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:777). Konflik ini biasanya diselesaikan dengan proses politik internal seperti koalisi dan bargaining dan memberikan insentif dan penghargaan. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (power) dalam organisasi, seperti pimpinan organisasi dan manajemen lainnya, berkesempatan mengumpulkan simpati untuk mempertahankan keyakinannya. Dalam konteks pengukuran kinerja, peran pimpinan dan level manajemen sangat penting dalam meraih kesepakatan internal organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu proses internal dalam organisasi. Meskipun stakeholder eksternal juga berpengaruh terhadap instansi pemerintah, namun dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja stakeholder eksternal kurang berperan. Penelitian Wang, 2002 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:776) menunjukkan bahwa komunikasi dengan stakeholder eksternal, yaitu legislatif dan warga negara, terjadi ketika proses dengar pendapat dalam proses penetapan anggaran, perencanaan strategis dan lainnya dimana instansi pemerintah mengkomunikasikan informasi hasil pengukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:777) juga menemukan bahwa pengaruh kelompok eksternal tidak signifikan dalam pengadopsian suatu ukuran kinerja.Kultur organisasi merupakan sekumpulan nilai yang melekat dalam organisasi dan menjadi dasar bagi personil organisasi dalam menghadapi permasalahan yang timbul. Beberapa asersi menyatakan bahwa kultur organisasi dalam birokrasi pemerintah cenderung resisten terhadap perubahan (resistance to change) dan lambat menerima inovasi (Rainey, 1999; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778). Persepsi personil terhadap suatu ukuran kinerja akan mempengaruhi apakah ukuran tersebut akan diadopsi. Sikap menolak terhadap suatu ukuran kinerja cenderung menghambat pengadopsian sedangkan sikap yang tidak resisten cenderung membuat pengadopsian suatu ukuran kinerja terlaksana.

Pengukuran terhadap adopsi ukuran kinerja menurut Sihalolo dan Halim (2005:788) terdiri dari:1. Memanfaatkan informasi yang diperoleh dari luar organisasi2. Memanfaatkan informasi dari peraturan-peraturan3. Memanfaatkn informasi dari hasil pelatihan yang dilakukan4. Adanya pembiayaan khusus dalam pemanfaatan informasi5. Adanya kesepakatan dalam penetapan tujuan kegiatan

2.1.2.2 Implementasi Informasi KinerjaPengukuran kinerja tidaklah berhenti hanya ketika organisasi telah mengadopsi ukuran kinerja. Pengukuran kinerja tidak memiliki manfaat apabila informasi kinerja yang dihasilkan tidak dimanfaatkan atau diimplementasikan. Tahap berikutnya setelah ukuran kinerja diadopsi adalah memanfaatkan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja tahunan, alokasi anggaran, monitoring, evaluasi dan pemantauan serta melaporkan informasi tersebut kepada pihak-pihak baik secara vertikal (kepada atasan) maupun secara horizontal (parlemen).Implementasi ukuran kinerja dipengaruhi oleh faktor politik dan kultur organisasi (Julnes dan Holzer, 2001; Wang, 2002; Behn, 2002; Rainey, 1999; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778). Faktor politik dalam organisasi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, berpengaruh terhadap implementasi informasi pengukuran kinerja. Dukungan dari stakeholder internal dan pihak legislatif dan masyarakat agar informasi kinerja dimanfaatkan untuk perencanaan strategis, alokasi anggaran, pengendalian dan pemantauan serta pelaporan akan semakin meningkatkan pemanfaatan informasi pengukuran kinerja.

Pemanfaatan ukuran kinerja juga dipengaruhi oleh sikap pelaksana program terhadap ukuran kinerja. Pemanfaatan informasi kinerja akan dapat berjalan dengan baik apabila pelaksana program atau personil program merasa bahwa informasi kinerja tersebut dapat memperbaiki kinerja organisasi dan tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa personil organisasi akan mendukung implementasi ukuran kinerja apabila tidak berdampak buruk terhadap karir mereka, misalnya pemberian hukuman atau sanksi, dan sebaliknya apabila berakibat buruk terhadap karirnya (Behn, 2002; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778)

Dalam tahap implementasi, penelitian Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778) menemukan bahwa tidak semua faktor rasional berpengaruh dalam implementasi kinerja. Faktor sumberdaya dan informasi merupakan dua faktor yang berpengaruh dalam tahap implementasi. Hal ini dikarenakan organisasi masih memerlukan informasi dan sumberdaya untuk mengevaluasi dan menganalisa kinerja agar dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Selain faktor-faktor rasional tersebut, tujuan yang telah disepakati merupakan prasyarat utama untuk menggunakan informasi kinerja (Wholey, 1999; dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778). Pendapat ini didukung penelitian Wang, 2002 (dalam Sihalolo dan Halim, 2005:778) bahwa performance goal berdampak pada proses perencanaan strategik dan proses manajemen dan proses evaluasi kinerja karyawan. Dengan demikian, selain faktor informasi dan faktor sumberdaya, orientasi tujuan juga berpengaruh terhadap implementasi informasi kinerja. Pengukuran terhadap implementasi informasi kinerja menurut Sihalolo dan Halim (2005:788) terdiri dari:

1. Memanfaatkan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis

2. Memanfaatkan ukuran kinerja untuk perencanaan kinerja tahunan3. Memanfaatkan ukuran kinerja untuk alokasi anggaran4. Memanfaatkan ukuran kinerja untuk monitoring, evaluasi dan pemantauan5. Melaporkan ukuran kinerja kepada berbagai pihak

2.1.3 Pengaruh Sumberdaya, Informasi dan Orientasi Tujuan terhadap Pemanfaatan Informasi Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan suatu proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian sasaran, tujuan, misi dan visi melalui hasil-hasil yang ditampilkan baik dalam bentuk produk, jasa ataupun proses pelaksanaan suatu kegiatan. Keberhasilan instansi pemerintah (pemerintah daerah) dalam pemanfaatan informasi kinerja sering diukur dari sudut pandang masing-masing stakeholders, misalnya lembaga legislatif, instansi pemerintah, pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum. Idealnya pemanfaatan informasi kinerja instansi pemerintah berdasarkan hasil pengukuran kinerja yang dipakai oleh instansi pemerintah disusun setelah memperoleh masukan dari lembaga konstituen, sehingga diperoleh suatu konsensus atas apa yang diharapkan oleh stakeholders terhadap organisasi tersebut. Armstrong (1998: 194) menjelaskan bahwa:

Penilaian kinerja bukanlah kegiatan kontrol atau pengawasan, dan bukan pula mencari-cari kesalahan untuk menjatuhkan sangsi atau hukuman, namun kegiatannya difokuskan pada usaha mengungkapkan kekurangan dalam mempergunakan sumberdaya untuk diperbaiki dan dikembangkan, agar setiap sumberdaya yang dimiliki diketahui tingkat efisiensi dan efektivitas kontribusinya dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan organisasi yang mempekerjakannya. Oleh karena itu keberadaan sumberdaya, informasi serta orientasi tujuan merupakan faktor penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan dalam pemanfaatan informasi kinerja.

Tolok ukur penilaian kinerja merupakan tolok ukur kinerja yang mendorong organisasi mencapai tujuannya, dengan memanfaatkannya sebagai sumber informasi kinerja bagi instansi pemerintah. Organisasi dapat menggunakan penilaian kinerja untuk hasil baik yang bersifat kuantitatif, maupun berdasarkan indikator kinerja untuk keadaan yang bersifat kualitatif, yang dalam proses penilaiannya diperlukan tolok ukur sebagai pembanding sehingga pemanfaatan informasi kinerja yang dilakukan dapat digunakan dalam pelaksanaan kegiatan berikutnya. Menurut Nawawi (2003: 402);

Tolok ukur itu disebut standar pekerjaan yang harus dibuat jika hasil analisis suatu kegiatan sudah tidak sesuai lagi untuk dipergunakan, karena sebagian besar atau seluruh tugas-tugas dan cara melaksanakannya sudah mengalami perubahan atau perkembangan, sebagai wujud dari dinamika pekerjaan.Informasi kinerja yang dihasilkan oleh suatu sistem pengukuran kinerja ditujukan untuk keperluan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi, baik stakeholders internal maupun eksternal. Tujuan utama pengukuran kinerja instansi yang dilakukan dipergunakan sebagai sumber informasi pengambilan keputusan internal serta alokasi sumberdaya. Sistem pengukuran kinerja menjadi tidak berguna sama sekali apabila informasi kinerja yang dihasilkan tidak dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan.

Informasi kinerja dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan (Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim 2005; Ferry Laurensius Sihalolo, 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan informasi kinerja, dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan. Atau dengan kata lain sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan berpengaruh terhadap pemanfaatan informasi kinerja.Dalam tahap implementasi, penelitian Julnes dan Holzer (2001) menemukan bahwa tidak semua faktor rasional berpengaruh dalam implementasi kinerja. Faktor sumberdaya dan informasi merupakan dua faktor yang berpengaruh dalam tahap implementasi. Hal ini dikarenakan organisasi masih memerlukan informasi dan sumberdaya untuk mengevaluasi dan menganalisis kinerja agar dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Menurut Wholey (1999), tujuan yang telah disepakati merupakan persyaratan utama untuk menggunakan informasi kinerja. Pendapat ini didukung penelitian Wang (2002) bahwa performance goal berdampak pada proses perencanaan strategik dan proses manajemen dan proses evaluasi kinerja karyawan.

Pemanfaatan informasi meliputi tahap adopsi dan implementasi (Ferry Laurensius Sihalolo, 2006: 776). Tahap adopsi ukuran kinerja merupakan tahap pengembangan ukuran-ukuran kinerja, yaitu pengembangan ukuran-ukuran kinerja input, output, outcome dan efisiensi dengan mempertimbangkan kapasitas dan sumberdaya yang ada di organisasi. Tahap implementasi merupakan tahap menggunakan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja alokasi anggaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 2.2 Kerangka PemikiranPengukuran kinerja sektor publik mendapat perhatian besar mulai dari manfaat pengukuran kinerja, desain pengukuran kinerja yang efektif, resiko pengukuran kinerja sampai kepada hambatan psikologis terhadap pengukuran dan manajemen kinerja (Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim, 2005: 775). Perhatian besar terhadap pengukuran kinerja ini berkaitan dengan upaya-upaya dalam meningkatkan efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi-organisasi sektor publik.

Organisasi perlu memanfaatkan faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi maupun orientasi tujuan dalam melakukan pengevaluasian terhadap informasi kinerja. Seperti yang dinyatakan oleh Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Abdul Halim, 2005: 777) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor rasional terdiri dari 1) sumberdaya, 2) informasi, dan 3) orientasi tujuan. Julnes dan Holzer, 2001 (dalam Ferry Laurensius Sihalolo, 2006: 14) menjelaskan berkaitan dengan sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan sebagai faktor-faktor rasional tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Sumberdaya. Organisasi publik yang menerapkan pengukuran kinerja memberikan perhatian perhatian terhadap tersedianya sumberdaya, memiliki staf yang dikhususkan untuk mengevalusi kinerja, dan mengumpulkan data yang memadai. Sumberdaya memiliki pengaruh yang kuat pada proses pemanfaatan, yaitu pada tahap adopsi dan tahap implementasi. Semakin tersedia sumberdaya maka semakin mungkin suatu instansi untuk mengembangkan ukuran kinerja yang baik dan semakin tinggi kemunginan informasi kinerja untuk diimplementasikan.

2. Informasi. Dalam mengadopsi dan mengimplementasikan pengukuran kinerja, karyawan staf atau non staf harus memiliki kemampuan teknis tentang bagaimana melakukan dan mengimplementasikan ukuran kinerja. Hal tersebut dapat diperoleh melalui pelatihan, seminar, workshop atau akses kepada informasi yang memadai bekaitan dengan pengukuran kinerja. Semakin tinggi akses personil program atau instansi terhadap sumber informasi, maka ukuran kinerja yang baik akan semakin mungkin dikembangkan (diadopsi) dan informasi kinerja akan diimplementasikan.

3. Orentasi tujuan (goal). Konsensus terhadap tujuan dari setiap program memiliki tujuan, adopsi dan implementasi ukuran kinerja semakin mungkin terlaksana.Sumberdaya, berupa staf dan dana dikhususkan untuk mengembangkan, mengumpulkan dan mengevaluasi kinerja. Informasi diantaranya dapat diperoleh dari media, peraturan, buku manual, internet, dan seminar, dapat meningkatkan kemampuan teknis pelaksana program. Sedangkan orientasi tujuan berupa konsensus terhadap tujuan dari setiap program akan membawa pada tujuan kinerja. Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan tersebut berpengaruh terhadap pemanfaatan informasi kinerja instasi pemerintah.

Pemanfaatan informasi kinerja terdiri dari 2 (dua) tahap dalam prosesnya, yaitu 1) tahap adopsi ukuran kinerja; dan 2) tahap implementasi hasil pengukuran kinerja (Julnes dan Holzer, 2001; dalam Ferry Laurensius Sihalolo dan Abdul Halim, 2005). Tahap adopsi ukuran kinerja merupakan tahap pengembangan ukuran-ukuran kierja, yaitu pengembangan ukuran-ukuran kinerja input, output, outcome dan efisiensi dengan mempertimbangkan kapasitas dan sumberdaya yang ada di organisasi, sedangkan tahap implementasi merupakan tahap menggunakan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja alokasi anggaran, pemntauan, evaluasi dan pelaporan.

Penelitian ini berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferry Laurensius Sihalolo (2006) yang menyimpulkan bahwa faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap pemanfaatan informasi kinerja. Bila digambarkan, maka skema kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

Seluruh uraian berkaitan dengan kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan melihat faktor-faktor rasional yang terdiri dari sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan; merupakan bahan untuk mengevaluasi dan menganalisis kinerja sebagai pemanfaatan informasi kinerja agar dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Berdasarkan kerangka pemikiran ini, maka penulis merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemanfaatan informasi kinerja di instansi pemerintah baik secara parsial maupun simultan.PEMANFAATAN

INFORMASI KINERJA

SUMBERDAYA

INFORMASI

ORIENTASI TUJUAN

Tahap Adopsi dan

Tahap Implementasi

FAKTOR-FAKTOR RASIONAL

9