tm antro indv-haura
DESCRIPTION
antropologi dental smt 3 2012TRANSCRIPT
![Page 1: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/1.jpg)
TM ANTROPOLOGI DENTAL
PENGGUNAAN X-RAY ( RADIOGRAFI ) DALAM
ANTROPOLOGI DENTAL
HAURA NADYA AMALIA
NIM. 021111135
DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA2012
![Page 2: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/2.jpg)
Makin dekat obyek terhadap mesin, makin besar kemungkinan obyeknya
terdistorsi, tetapi obyek kelihatan lebih besar. Selalu posisikan obyek yg akan di X-
ray sedekat mungkin terhadap film, sehingga fitur-nya bisa kelihatan jelas.
Penggunaan X-ray :
1. Untuk hewan dan manusia yg hidup, gunakan kecepatan tinggi, film -nya
pakai yg bisa kecepatan tinggi.
2. Untuk obyek yg tidak bergerak, gunakan film yg memungkinkan radiasi
lebih banyak, agar detail kelihatan jelas. ( Artaria , 2008 )
Kegunaan X-ray:
1. Untuk meneliti jaringan yg tersembunyi di da lam alveolar, periodontal,
dan pulpa.
2. Meneliti ukuran dan bentuk akar gigi, ada tidaknya bicusphid canine
(bicusphid=2 akar gigi), atau molar dengan 3 akar gigi. Selain Untuk melihat jumlah
akar gigi, juga Untuk melihat “root fusion”.
3. Melihat pola internal. Misalnya ukuran ruang pulpa, perubahan ruang
pulpa sejalan dengan bertambahnya umur. (Anak punya ruang pulpa lebih besar).
4. membedakan antara gigi molar yg belum erupsi ataukah memang tidak
bakalan muncul (congenitally absent)
5. Untuk melihat supernumerary teeth, dan gigi yg malposisi 6. diagnosis
kondisi2 patologis: fraktur, karies, reabsorpsi akar gigi, kista, neoplasma, tumor,
hypercementosis, dilaceration (akar gigi bengkok ke arah yg abnormal) abses akan
kelihatan sebagai lubang hitam. Jangan dikelirukan dengan foramen (mental foramen
atau palatine foramen). ( Artaria , 2008 )
1.2.1. Aplikasi radiology dalam proses identifikasi gigi
Pemeriksaan radiologist untuk tujuan identifikasi dapat dibagi dalam 3
kelompok :
1. Untuk memeriksa sturuktur anotomis dari tulang mayat,apakah mayat yang
ditemui itu adalah manusia atau binatang dan selanjutnya perkiraan umur dan
kelamin dari mayat tersebut.
![Page 3: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/3.jpg)
2. Untuk perbandingan ‘comparison radiography’ apabila kita telah
mendapatkan set dokumen foto rongen dari korban yang dibuat dahulu untuk
kepntingan diagnose.
3. Untuk mengetahui kelainan struktur individual dari mayat misalnya bekas
trauma dan kelainan congenital atau suatu proses penyakit.
Untuk tujuan ‘comparison radiography’ bagian kepala dari korban merupakan
bagian yang dapat menentukan dalam proses identifikasi karena bagian-bagian
tertentu menunjukkan cirri-ciri khas untuk setiap individu seperti gigi geligi,sinus
frontalis,beberapa indeks sefalometriks dari kepala dan sebagainya. Karena
keakuratannya foto rongen gigi merupakan data antemortem yang paling dapat
diharapkan untuk dipakai dalam identifikasi gigi. data yang paling berharga yang
mendasari identifikasi gigi tersebut dapat berasal dari perbandingan foto rontgen
antemortem dan post mortem. ( Artaria, 2008 )
1.2.2. Macam foto rontgen yang dipakai
Pada umunya ada empat macam foto rongen yang digunakan dalam bidang
odontologi forensic:
1. Foto Panoramik
Foto panoramik digunakan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari
rahang atas dan rahang bawah,seluruh gigi berserta struktur-struktur disekitarnya.
Foto panoramik lebih mudah dianalisa sehingga lebih sering digunakan. Kerugian
dari foto panoramik adalah kenyataan bahwa rahang atas dan bawah harus dilepas
dari mayat saat otopsi sebelum pemotretan dilakukan. ( Sholikhah, 2010 )
Gambar 1. Foto Dental Panoramik
![Page 4: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/4.jpg)
2. Foto Sefalometrik
Foto jenis ininjarang dipakai di bidang forensic karena untuk menghasilkanya
diperlukan pesawat rontgen khusus yang disebut cephalostat dan jenasah sudah harus
tinggal kerangka. Untuk menganalisis foto ini lebih baik jika meminta bantuan
seorang ortodontis karena analiss film ini agak rumit. Foto ini kemudian
dibandingkan dengan foto antemortem. ( Sholikhah, 2010 )
Gambar 2. Foto Sefalometrik
3. Foto periapikal
Foto ini merupakan foto rongen standar yang paling sering digunakan dalam
bidang kedokteran gigi. Jenis foto ini sering dilakukan pada kasus identifikaso
apabila masih terdapat rahang,gigi maupun hanya tinggal fragment gigi. Apabila
ditemukan fragment gigi atau bagian gigi seperti pada kasusu kebakarab,fragmen ini
mungkin dapat diletakkan pada periapikal film untuk kemudian difoto rontgen secara
tersendiri. Dapat terlihat adanya pengisian saluran akar pada fragment tersebut
maupun keadaan lain seperti preparasi kavitas,mahkota yang overhanging atau bentuk
anatomi yang abnormal dan yidak dapat segera terlihat dengan pemeriksaan visual.
( Sholikhah, 2010 )
![Page 5: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/5.jpg)
Gambar 3. Foto Periapikal
4. Foto bitewing
Foto jenis ini merupakan salah satu alat diagnosa yang paling umum pada
banyak praktek dokter gigi,seharusnya dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan
postmortem.pada penyinaran tunggal tiap sisi mulut bitewing menghasilkan sebuah
gambaran yang memperlihatkan karies dan restorasi-restorasi yang umumnya pada
gigi posterior. ( Sholikhah, 2010 )
Gambar 4. Foto Bitewing
1.2.3. Pengambilan Foto Dental postmortem
Jika terdapat foto rontgen antemortem, pemotretan foto rontgen postmortem
harus dilakukan semirip mungkin dengan foto rontgen antemortem tersebut, baik
dalam sudut pengambilan maupun rehio yang difoto. Jika foto rontgen antemortem
tidak dapat digunakan atau sama sekali tidak ada, maka pemotretan foto rontgen
periapikal dan bite wing sebaiknya dilakukan. ( Artaria, 2008 )
![Page 6: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/6.jpg)
Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan pada teknik yang
dipergunakan dalam pemotretan foto rontgen postmortem dengan teknik yang biasa
dipakai pada pemotretan foto rontgen untuk keperluan diagnosa pada pasien hidup.
Perbedaan-perbedaan tersebut terdapat pada aspek-aspek berikut :
1. Waktu penyinaran
Untuk melakukan foto rontgen pada orang yang sudah meninggal biasanya
waktu penyinaran dikurangi sepertiga sampai setengah dari waktu penyinaran pada
pasien hidup tergantung kondisi rahang mayat tersebut sesuai dengan ketebalan
jaringan yang tersisa ada mayat tersebut. ( Sholikhah, 2010 )
Sebelum melakukan foto rontgen yang sebenarnya, sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu penyinaran percobaan sebagai pedoman waktu penyinaran. Film
tersebut harus segera diproses, dan hasil yang didapat dijadikan sebaai pedoman
untuk melakukan penyesuaian dengan menambah atau engurangi waktu penyinaran
apabila diperlukan. Pada rahang yang tinggal kerangka yang tidak terdapat lagi sisa-
sisa jaringan lunak, waktu penyinaran yang diperlukan untuk pengambilan foto
rontgen dental adalah setengah dari waktu penyinaran yang dibutuhkan pada
pemotretan foto rontgen pasien hidup. ( Sholikhah, 2010 )
Sedangkan untuk rahang yang kehilangan sebagian jaringan lunaknya,
misalnya setelah mengalami pembusukan atau terbakar. Pada keadaan ini waktu
penyinaran yang diperluka untuk melakukan foto rontgen post mortem adalah lebih
kurang dua pertiga dari waktu penyinaran yang diperlukan untuk mebuat foto rontgen
pada pasien hidup. Untuk menghasilkan kontras yang baik antara gigi dengan bahan
pengisi saluran akar, harus dilakukan pengurangan pada besarnya mili ampere
sedangkan waktu penyinaran sedikit diperbesar. ( Sholikhah, 2010 )
2. Posisi kepala, rahang atau gigi
Pada pengambilan foto rontgen postmortem, terdapat perbedaan dalam posisi
kepala, rahang atau gigi, hal ini disebabkan karena keadaan mayat yang kaku
seringkali sulit untuk diletakkan pada posisi yang ideal. Tidak seperti pengambilan
foto rontgen pada pasien hidup, kita tidak dapat mengharapkan sifat kooperatif dari
mayat atau subyek untuk mendapatkan posisi yang ideal. ( Sholikhah, 2010 )
![Page 7: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/7.jpg)
Untuk melakukan pengamblan foto rotgen postmortem harus dilakukan
sehati-hati mungkin, sehingga posisi kepala, rahang atau gigi-gigi dapat diletakkan
pada posisi yang paling mendekati dengan posisi pada saat antemortem atau pada
pasien hidup. Pada rahang yang tinggal kerangka atau rahang yang sudah lepas,
angulasi yang digunakan pada pasien hidup dapat digunakan, asalkan rahang dapat
diletakkan sedemikian rupa, sehingga posisinya mendekati keadaan normal pada
pasien yang hidup yaitu dataran oklusal sejajar dengan lantai. Untuk membantu
menahan rahang pada posisi yang tepat, dapat digunakan tanah liat maupun lilin
model yang lunak sebagai penahan atau pengganjal. ( Sholikhah, 2010 )
Pada rahang yang masih terdapat jaringan lunak dan masih terpasang pada
tubuh mayat, harus benar-benar diperhatikan posisinya. Pada keadaan ini karena
mayat biasanya sukar diletakkan pada posisi tegak atau duduk, penyinaran harus
dilakukan pada posisi mayat yang berbaring. Hal ini berarti posisi gigi mayat
berlawanan dengan posisi pada pasien hidup. Jika pada pasien hidup dataran oklusal
sejajar lantai maka pada posisi mayat berbaring dataran oklusal justru membentuk
sudut dengan lantai, untuk itu angulasi tabung sinar rontgen harus disesuaikan dengan
pedoman, film harus tegak lurus dengan arah datang sinar. Mungkin juga perlu
diperlukan beberapa kali pemotretan dengan angulasi tabung yang berbeda, sehingga
dapat diperoleh sudut yang sama dengan yang dipergunakan pada foto rontgen
antemortem. ( Sholikhah, 2010 )
Untuk menghindari bahaya radiasi dokter gigi atau operator dilarang
memegang film untuk itu diperlukan alat pembantu pemegang film seperti :
1. Snap A ray Film holder
2. Sta-put-bite wing tabs
3. Stabe film holder
4. Premier angulator
5. Tanah liat atau lilin model lunak ( Sholikhah, 2010 )
![Page 8: Tm Antro Indv-haura](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022082401/54a23ff1ac795900328b4577/html5/thumbnails/8.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Artaria, Myrta D. 2008. Handout Antropologi Ragawi untuk Mahasiswa
Antropologi. Surabaya : Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Sholikhah, Mar’atus. 2010. Tinjauan Pustaka : Peran Radiografi pada
Identifikasi Manusia. Surabaya : Fak. Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.