tp asma

28
1. Pendahuluan Asma merupakan suatu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada masa anak 1 , dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir tingkat prevalensi asma meningkat baik pada anak maupun dewasa serta merupakan masalah serius di bidang kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan dapat mengenai setiap individu segala usia. Kondisi asma dapat menjadi berat bahkan kadang menjadi fatal 2 . Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak) 1 . Sebuah penelitian besar untuk prevalensi asma pada anak di 56 negara yaitu International Study of Asthma and Allergies in Childhood ( ISSAC ) mendapatkan prevalensi sebesar 1,6% - 36,8% 2 . Untuk anak pra sekolah jumlah kasus baru antara 70 per 100.000 dan 50 per 100.000 untuk anak yang lebih besar 3 . Di Amerika asma mengenai 9 juta anak (12,7% ) {CDC,2003} 4 . Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat pendidikan terutama di pulau Jawa antara tahun 1991 - 2002 antar lain oleh Djajanto B (Jakarta, 1991), Arifin (Palembang, 1996), Kartasasmita CB (Bandung, 2002) dan beberapa penelitian lainnya terlihat pada menunjukkan hasil prevalensi dengan rentang antara 2,6% - 17,4% 2 . Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat hingga mengancam kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain latihan fisik, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan pernapasan seperti asap rokok dan lain sebagainya 1 . Penanganan terbaik asma pada anak tidak hanya memberi obat-obatan yang sesuai tetapi juga mengurangi obat sesegera mungkin setelah asma tersebut terkendali. Obat anti inflamasi yang sering digunakan adalah kortikosteroid yang dianggap sebagai terapi lini pertama dalam penggendalian pengobatan asma. 1

Upload: adhi-wiratma

Post on 13-Nov-2015

223 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

tp asma

TRANSCRIPT

Ringkasan cerita:

1. PendahuluanAsma merupakan suatu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada masa anak1, dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir tingkat prevalensi asma meningkat baik pada anak maupun dewasa serta merupakan masalah serius di bidang kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan dapat mengenai setiap individu segala usia. Kondisi asma dapat menjadi berat bahkan kadang menjadi fatal2. Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak)1.Sebuah penelitian besar untuk prevalensi asma pada anak di 56 negara yaitu International Study of Asthma and Allergies in Childhood ( ISSAC ) mendapatkan prevalensi sebesar 1,6% - 36,8%2. Untuk anak pra sekolah jumlah kasus baru antara 70 per 100.000 dan 50 per 100.000 untuk anak yang lebih besar3. Di Amerika asma mengenai 9 juta anak (12,7% ) {CDC,2003}4.

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat pendidikan terutama di pulau Jawa antara tahun 1991 - 2002 antar lain

oleh Djajanto B (Jakarta, 1991), Arifin (Palembang, 1996), Kartasasmita CB (Bandung, 2002) dan beberapa penelitian lainnya terlihat pada menunjukkan hasil prevalensi dengan rentang antara 2,6% - 17,4%2.Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat hingga mengancam kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain latihan fisik, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan pernapasan seperti asap rokok dan lain sebagainya1. Penanganan terbaik asma pada anak tidak hanya memberi obat-obatan yang sesuai tetapi juga mengurangi obat sesegera mungkin setelah asma tersebut terkendali. Obat anti inflamasi yang sering digunakan adalah kortikosteroid yang dianggap sebagai terapi lini pertama dalam penggendalian pengobatan asma.

Walaupun kortikosteroid dianggap sebagai dasar pengobatan asma saat ini, tetapi tidak menekan semua mediator inflamasi yang terlibat pada respon terhadap asma4. Kortikosteroid hanya mempunyai efek minimal atau bahkan tidak sama sekali dalam pelepasan leukotrin secara in vivo1.Leukotrin dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan merupakan bahan proinflamasi yang merupakan mediator sangat penting pada penderita asma kronik5. Setelah beberapa dekade penelitian, sebuah kelas baru dalam pengobatan asma telah muncul yang terfokus pada leukotrin sebagai mediator inflamasi6.Antileukotrin merupakan kelas baru dalam penanganan asma sejak inhalasi steroid diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Brown dkk, dan merupakan terapi spesifik mediator untuk asma. Hal ini telah terbukti efikasinya pada uji klinis tersamar ganda penanganan asma dewasa dan anak7.Sebab itu saatnya kita menilik peranan antileukotrin pada proses penanganan anak dengan asma1.2. Mekanisme Imunologis pada AsmaAsma merupakan suatu keadaan inflamasi kronis dari saluran napas ditandai oleh infiltrasi sel T pada saluran napas. Limfosit T diaktivasi dalam merespon stimulasi antigen atau alergen8. Terdapat 2 jenis T limfosit yaitu sel CD4+ ( T helper ) dan sel CD8+ ( T sitotoksin ). CD4+ dibagi menjadi Th1 dan Th2 bergantung dari jenis sitokin yang diproduksi8. Th1 terutama memproduksi IL2, INF dan TNF , sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma yaitu IL4, IL5, IL9, IL13 dan IL162 .Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC ( Major Histocompatibility Complex ) {MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+ }. Sel dendritik merupakan antigen presenting cells ( APC ) yang utama dalam saluran napas2. Sel ini terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang dan sel selnya saling berhubungan pada epitel saluran napas. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit dan dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cells ( APC ) yang efektif dan mendorong polarisasi sel T naive ( Th0 ) menuju Th2 yang mengkoordinasikan sekresi sitokin-sitokin seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Imunopatogenesis pada asma (dikutip dari GINA 2002)2Beberapa tahun terakhir hipotesis telah menyatakan bahwa sitokin Th2 menyumbangkan peranan pada patologi asma melalui sintesa IgE, pematangan dan aktivasi sel mast serta basofil, juga infiltrasi eosinofil melalui IL5 yang menyebabkan kerusakan epitel dan hiperresponsif saluran napas9.Peranan penting Th2 telah diterima secara luas di seluruh dunia dan telah diketahui dengan baik sintesis IgE bergantung pada sel T melalui aktivasi limfosit B dan sitokin derivat T sel seperti IL4 dan IL13. Produk produk T sel mempunyai efek langsung pada saluran napas terutama melalui eosinofil9 dan pada kenyataannya sel mast, basofil dan eosinofil merupakan sumber potensial dari sitokin sitokin Th29. Pada teori lain seperti yang terlihat pada Gambar 2, dinyatakan bahwa interaksi alergen dengan IgE spesifik secara pasif diabsorpsi menuju sel mast. Sel mast akan melepaskan histamin dan mediator lemak ( PGD2, LTC4, LTD4 dan LTE4 ). Hal ini akan menyebabkan bronkospasme akut yang timbul beberapa menit setelah terpapar dengan alergen spesifik.

Antigen presenting cells ( APC ) pada saluran napas, mempresentasikan alergen kepada sel CD4+ yang melibatkan molekul MHC kelas II melepaskan IL4 dan IL13, yang mana kedua interleukin tersebut melalui sel B terlibat dalam produksi IgE. IL4, IL13 dan TGF mempunyai efek langsung terhadap fibroblas, sel epitel dan otot polos saluran napas. Sitokin tersebut terlibat dalam proses remodeling, penyempitan dan hiperresponsif saluran napas.

IL5 yang berasal dati Th2 mepermudah perkembangan dan aktifasi sel eosinofil, yang mana sel ini mempunyai efek langsung penyempitan saluran napas melalui pelepasan mediator protein dan mediator lemak dan efek tidak langsung dalam proses remodeling saluran napas melalui pelepasan TGF , IL4 dan IL13 . Ketiga sitokin inipun dilepaskan melalui sel mast.

Semua mekanisme yang dijelaskan tadi akan memperkuat proses terjadinya asma kronik.

Gambar 2. Interaksi sel mast, sel Th2, eosinofil yang menyebabkan remodeling, hiperesponsif saluran napas, bronkospasme akut serta asma kronik.

(dikutip dari Larch M 2003 )Mekanisme terjadinya inflamasi saluran napas oleh infeksi virus yang menghasilkan endotoksin ( LPS ) melalui jalur yang berbeda dengan terjadinya inflamasi saluran napas pada penderita asma. Pada infeksi virus, endotoksin akan merangsang kekebalan innate untuk memproduksi sitokin dari makrofag yang selanjutnya merangsang respon fase akut dan menyebabkan inflamasi lokal. Salah satu sitokin yang diproduksi adalah IL8. Sitokin ini akan merekrut dan mengaktifasi sel netrofil. Enzim netrofil elastase akan merangsang pertumbuhan sel goblet, produksi mukus dan merusak elastin pada dinding alveolar seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme inflamasi saluran napas yang disebabkan infeksi virus dan alergen spesifik3. Patogenesis terbentuknya Leukotrin pada AsmaLeukotrin adalah mediator lemak yang dihasilkan dari asam arakidonat, sebuah unsur dari lapisan ganda fosfolipid yang ada di berbagai sel membran biologis. Leukotrin ini terbagi dalam dua kelompok yaitu Leukotrin B4 yang merupakan chemo-attractant netrofil dan Leukotrin C4, D4 dan E4 yang merupakan kontraktan poten otot polos dan chemo-attractant eosinofil10.Berbagai tanda tanda biologis akan mengaktifasi pelepasan fosfolipase A2 untuk melepaskan asam arakidonat dari membran fosfolipid termasuk aktifasi reseptor, interaksi antigen-antibodi, rangsangan fisik seperti dingin atau perubahan kondisi ion atau stimulus yang langsung meningkatkan Ca2+ intraselular. Segera setelah dilepaskan metabolisme asam arakidonat terpecah menjadi senyawa aktif yang disebut eicosanoids yang terdiri dari prostaglandin, tromboksan, leukotrin dan asam hidroksieikosatetraenoik10. Asam arakidonat yang terpecah dari membran bereaksi dengan 5 lipoxygenase activating protein (FLAP) yang membantu transfer FLAP dengan enzim 5 lipoxygenase ( 5-LO ) seperti yang terlihat pada Skema 1. Hasil dari interaksi ini adalah 5- asam hidroperoksieikosatetraenoid yang kemudian bertransformasi menjadi leukotrin A4 (LT A4). Dalam netrofil dan monosit manusia terjadi hidroksilasi leukotrin A4 menjadi leukotrin B4 (LT B4), sedangkan dalam eosinofil, sel mast dan basofil leukotrin A4 dikonjugasi oleh LT C4 glutatoin sintase untuk membentuk sisteinil leukotrin pertama yaitu LT C4 dan selanjutnya menghasilkan LT D4 dan LT E410.

Skema 1. Skema sintesis leukotrin.4 (dikutip dari Renzi PM, tahun 1999)Leukotrin meggunakan efek biologisnya dengan mengaktifasi reseptornya pada sel membran. Pada manusia terdapat tiga membran reseptor leukotrin yaitu non sisteinil leukotrin (LT B4), dan sisteinil leukotrin (LT C4, D4 dan E4) yang akan mengaktifkan reseptor subtipe sisteinil LT1 dan LT2. Reseptor sisteinil LT1 terdapat pada beberapa organ termasuk paru, dimana ditemukan terutama pada sel sel otot polos dan makrofag, juga berekspresi kuat pada monosit10. Sisteinil leukotrin menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, peningkatan sekresi mukus, rekrutmen dan aktifisi sel eosinofil, netrofil serta sel mast yang mana selanjutnya akan melepaskan mediator proinflamasi. Aktifasi saraf sensorik melaui peningkatan pelepasan takikinin akan menyebabkan kerusakan sel epitel saluran napas. Peningkatan sekresi mukus sendiri akan menurunkan kerja dari silia yang berada dipermukaan epitel saluran napas. Pada akhirnya proliferasi otot polos saluran napas akan menyebabkan proses remodeling pada penderita asma. Hal ini semua berkaitan dengan patofisiologi asma seperti yang terlihat pada Gambar 3.4Gambar 3. Faktor faktor yang terlibat dalam patofisiologi asma.4

(dikutip dari Salvi SS, 2001)Produk utama eosinofil dan sel mast paru adalah LT C4 sedangkan LT B4 merupakan produk utama dari alveolar makrofag dan netrofil. Pada penelitian yang dilakukan oleh Silberstein DS dkk tahun 1986, produksi leukotrin meningkat pada penderita asma dan eosinofil darah memproduksi 5 -10 x lebih besar jumlah sisteinil leukotrin dibanding dari orang sehat, hal ini secara in vitro dapat disamakan dengan cara mereaksikan eosinofil normal dengan eosinophilopoeitic cytokines IL3, IL5, dan GM-CSF . Reaksi ini akan memperbanyak produksi 5-LO dan messenger FLAP RNA seperti pada yang kita amati pada pasien pasien asma10. Pada penelitian oleh Cowborne AS dkk tahun 1999 menyatakan pada eosinofil, IL5 secara signifikan meningkatkan ekspresi FLAP dan translokasi 5-LO ke inti sel serta diikuti dengan peningkatan 4x lebih banyak produksi dari sisteinil leukotrin10.Studi studi besar yang dilakukan oleh Wenzel SE dkk tahun 1990, Kumlin M dkk tahun 1997, Taylor GW dkk tahun 1989 dan Smith CM dkk tahun 1991 telah menunjukkan peningkatan level dari sisteinil leukotrin saat dilakukan pemeriksaan broncho-alveolarlavage dan urin penderita asma setelah dilakukan uji provokasi alergen pada bronkus10.

Penelitian Drozen JM dkk tahun 1990 pada serangan asma eksaserbasi akut, didalam urin didapatkan peningkatan metabolit LT E4 yang bermakna. Peningkatan ini akan menurun saat diobati dan bronkokonstriksi membaik. Temuan ini menyatakan bahwa leukotrin terlibat langsung dalam timbulnya serangan asma eksaserbasi akut10.4. Farmakologi dan Farmakokinetik Antileukotrin

Hampir dalam dua dekade terakhir antileukotrin merupakan obat baru dalam pengobatan asma. Produk produk antileukotrin dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan reseptor antagonis seperti montelukast, zafirlukast dan pranlukast. Golongan yang lainnya adalah inhibitor sistesis leukotrin seperti zileuton. Satu per satu farmakokinetik, farmakodinamik dan peranan antileukotrin tersebut dalam asma akan diulas secara rinci dan jelas. Pada Skema 2 dibawah diperlihatkan tempat kerja dari golongan reseptor antagonis leukotrin dan golongan inhibitor sistesis leukotrin.

Skema 2. Tempat kerja dari golongan reseptor antagonis leukotrin dan

golongan inhibitor sistesis leukotrin.(dikutip dari Drazen JM, 1998)4.1 Montelukast

C35H35ClNNaO3S

Montelukast sodium adalah bahan aktif secara oral dan reseptor selektif antagonis sisteinil leukotrin seperti yang terlihat pada Skema 2, larut secara bebas pada etanol, metanol dan air.Montelukast merupakan suatu zat aktif secara oral yang berikatan kuat dan selektif pada reseptor sisteinil LT1. Montelukast menghambat aktivitas dari LTD4 pada reseptor sisteinil LT tanpa aktivitas penghambatan lainnya11.Pada penderita dewasa, dalam keadaan puasa pemberian Montelukast oral 10 mg dapat dengan cepat diserap. Rerata puncak konsentrasi plasma (Cmax) dicapai dalam 3 - 4 jam ( Tmax ), bioavabilitas rerata oral 64% .

Bioavabilitas rerata oral dan Cmax tidak dipengaruhi oleh makanan.

Montelukast 5 mg tablet kunyah rerata Cmax dicapai dalam 2-2,5 jam setelah pemberian, bioavabilitas rerata oral saat puasa adalah 73% berbanding 63% jika diberikan bersamaan dengan makanan, sedangkan untuk anak usia 2-5 tahun keadaan puasa, rerata Cmax montelukast 4 mg tablet kunyah dicapai dalam 2 jam setelah pemberian11. Montelukast 99% terikat pada protein plasma. Studi pada tikus dengan montelukast berlabel radioaktif menunjukkan distribusi minimal melewati sawar darah otak dan konsentrasi 24 jam pasca pemberian terlihat sangat minimal pada jaringan lainnya. Montelukast akan dimetabolisme menyeluruh. Studi oleh Jones dkk tahun 1995 pada orang dewasa dan anak dengan dosis terapi, konsentrasi plasma metabolit montelukast tidak terdeteksi. Pada studi in-vitro yang dilakukan oleh perusahaan farmasi Astra Zeneca tahun 1997 menggunakan mikrosom hati manusia menunjukkan bahwa sitokrom P450, 3A4 dan 2C9 terlibat dalam metabolisme montelukast. Pada individu dewasa sehat, rerata plasma klirens montelukast 45ml/min. Pada montelukast oral berlabel radioaktif didapatkan 86% radioaktivitas pada koleksi feses 5 hari dan hanya 6 tahun ) selama 12 bulan dibandingkan dengan plasebo menunjukkan anak anak yang diberikan montelukast eksaserbasi berkurang sampai 32%15.Laporan lain 2 uji klinis oleh Pearlman DS 2000 yang melibatkan 411 anak asma ringan sedang usia 5 -11 tahun dengan zafirlukast 2 x 10 mg diberikan sebagai terapi tunggal selam 6 minggu dibandingkan dengan plasebo didapatkan hasil zafirlukast secara bermakna meningkatkan nilai awal FEV1 (9,8 vs 6,2), PEFR pagi hari (8,0 vs 3,9 l/min) dan mengurangi penggunaan 2 agonis (-0,8 vs -0,4 puff/hari)1Pada uji tersamar ganda 13 minggu oleh Lockey RF tahun 1995 dengan zafirlukast pada 762 subjek ( 12 tahun dengan asma ringan sedang memperlihatkan hasil membaiknya fungsi paru FEV1 > 80% pada pasien dengan zafirlukast dibanding dengan plasebo, menurunnya penggunaan 2 agonis, menurunnya harian gejala asma dan terbangun pada pagi maupun malam hari15. Pada studi tersamar ganda terandomisasi oleh Israel E tahun 1993 dengan kontrol plasebo 139 pasien asma dimana FEV1 sekitar 40% - 75% dari nilai prediksi, pemberian zileuton 4 minggu dengan dosis 600mg, 4x/hari meningkatkan FEV1 13,4% dan mengurangi gejala dan pemakaian 2 agonis, serta penurunan ekskresi urin LTE4 sampai 34%14.Pada studi tersamar ganda terandomisasi oleh Hamilton A tahun 1998 dengan plasebo kontrol 10 pasien asma persisten ringan, tidak merokok pemberian pranlukast 450 mg 2x/hari menunjukkan hasil pranlukas melemahkan respon dini, respon lambat dan hiperresponsif saluran napas. Selama respon dini rerata maksimal penurunan FEV1 adalah 30%, sedangkan pada pemberian plasebo penurunan FEV1 sebesar 15,5%. Pada respon lambat rerata maksimal penurunan FEV1 34,7% berbanding 24% pada kelompok plasebo13. Pada studi tersamar lain yang dilakukan oleh Israel E tahun 1996 dan Liv MC zileuton digunakan selama 13 minggu dan 26 minggu, pasien mendapat plasebo atau zileuton (400mg / 600mg, 4x per hari) FEV1 nilai awal 60% dari nilai prediksi, fungsi paru menurun bermakna zileuton menunjukkan perbaikan FEV1 15-20 % dibanding perbaikan FEV1 6-7 % pada kelompok plasebo. Setelah 8 minggu pengobatan efek zileuton lebih kuat dibanding pengobatan 4-6 minggu pada pasien dengan nilai FEV1 nilai awal yang sama. Jumlah pasien yang memerlukan pertolongan kortikosteroid berkurang selama pengobatan dengan zileuton sebesar 8% dibanding dengan kelompok plasebo sebesar 35%14.11. KesimpulanAntileukotrin merupakan kelas baru dalam pengobatan asma dengan sasaran spesifik, dapat diberikan secara oral, penghantaran obat dan tingkat kepatuhan harus lebih baik dibanding dengan obat obatan inhalasi terutama pada anak anak yang mempunyai tingkat kepatuhan rendah dengan inhalasi steroid6.Antileukotrin sangat efektif dalam hal meningkatkan FEV1, PEFR pagi maupun sore hari, hari bebas serangan, menurunkan gejala asma terutama pada malam hari, berkurangnya pengunaan steroid oral, menurunkan penggunaan 2 agonis inhalasi, dan mengurangi timbulnya eksaserbasi6.Antileukotrin dapat diberikan dalam pada pasien asma persisten ringan sampai sedang dimana kortikosteroid bukan merupakan pilihan pertama, ( karena efek samping, teknik inhalasi yang buruk atau kepatuhan yang rendah, menolak atau ragu ragu untuk menggunakan kortikosteroid inhalasi ), sebagai pengobatan preventif untuk asma karena alergen, asma karena latihan jasmani dan asma terinduksi aspirin. Terapi add-on pada pasien pasien yang tidak cukup terkendali dengan kortikosteroid inhalasi dan untuk mengurangi jumlah kortikosteroid inhalasi atau dibutuhkan untuk mengontrol pasien pasien asma persisten sedang sampai berat6.DAFTAR PUSTAKA

1. Bisgaaard H. Leukotriene Modifiers in Pediatric Asthma Management. Pediatrics 2001; 107:381-90.

2. National Institutes of Health. National Heart Lung and Blood Instittute. Global Initiave for Asthma, Maryland, USA.Revised 2002. h. xi.3. Grigg J. Management of paediatric asthma. Postgrad Med J 2004; 80: 535-540.

4. Salvi SS, Krishna MT, Sampson AP, Holgate ST. The Anti-inflammatory Effects of Leukotriene-Modifying Drugs and Their Use in Asthma. Chest 2001; 119:1533-42.

5. Noenoeng R, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. 2004. Jakarta. h.1-16.

6. Renzi PM. Antileukotriene agents in asthma: The dart that kills the elephant?. CMAJ 1999; 160:217-22.

7. Banasiak NC, Oliver MM. Luekotrienes: Their Role in the Treatment of Asthma and Seasonal Allergic Rhinitis. Pediat Nurs 2005; 31:35-38.

8. Hamid Q, Tulic MK, Liu MC, Moqbel R: Inflammatory cells in asthma: Mechanics and implications for therapy. . J Allergy Clin Immunol 2003; 111:S5-17.

9. Larche M, Robinson DS, Kay B. The role of T lymphocytes in the pathogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol 2003; 111:450-63.10. O Byrne PM. Leukotrienes in the Pathogenesis of Asthma: Chest 1997; 111:S27-34.

11. Physicians Desk Reference. Edisi ke-55. Montvale; New York: Medical Economics, 2001. h. 611-613, 1823-27.12. Dubb JW, Rebuck AS. Pranlukast-The First Orally Active Cysteinyl Leukotriene Receptor Antagonist Marketed for the Treatment of Asthma.

Dalam: Drezen JM, Dahlen SE, Lee TH, penyunting. Five- Lipoxygenase Products in Asthma: Marcel Dekker, 1998. h. 347-52.13. Hamilton A, Faiferman I, Stober P, Watson RM, OByrne PM. Pranlukast a cysteinyl leukotriene receptor antagonist, attenuates allergen-induced early and late phase bronchoconstriction and airway hperresponsiveness in asthmatic subjects. J Allergy Clin Immunol 1998; 102:177-82.14. Dube LM, Swanson LJ, Awni WM, Bell RL, Carter GW, Ochs RF. Zileuton: The First Synthesis Inhibitor for Use in the Management of Chronic Asthma. Dalam: Drezen JM, Dahlen SE, Lee TH, penyunting. Five- Lipoxygenase Products in Asthma: Marcel Dekker, 1998. h. 391-98.15. Becker M. Pharmacotherapy first line maintenance therapy. CAMJ 2005; 173:S28-32.

16. Drazen J. Clinical Pharmacology of Leukotriene Receptor Antagonist and 5-Lipoxyenase Inhibitors. Am JRespir Crit Care Med 1998; 157:

S233 -37.

PAGE 1