tr jadi
TRANSCRIPT
Respiratory Distress Syndrome
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM
Definisi
Respirastory Distress Syndrome adalah suatu keadaan darurat medis yang
dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan secara langsung maupun tidak
langsung dengan kerusakan paru. RDS itu sendiri diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu Acute Respirastory Distress Sindrom (ARDS) dan Idiophatic Respirastory
Distress Sindrom (IRDS).
A. Acute Respiratory Distress Syndrome
Acute Respirastory Distress Syndrome atau Sindrom gawat nafas akut (ARDS)
menurut Elizabeth J. Corwin adalah bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional.
Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Tabrani Rab dalam bukunya Ilmu Penyakit Paru,
ARDS adalah perburukan paru yang akut oleh karena infeksi, infiltrasi pada
seluruh lapang bparu dan hipoksemia. Istilah ini di perkenalkan oleh Petty dan
Ashbaugh pada tahun 1971 setelah mengamati gawat nafas akut dan mengancam
nyawa pasien-pasien yang tidak menderita penyakit paru sebelumnya. Meskipun
sindrom ini sebelumnya dikenal dengan banyak nama lainnya (shock lung, wet
lung, adult hyaline membrane disease, stiff lung syndrom), istilah adult respiratory
distress syndrom lebih banyak diterima.
Epidemiologi
Asosiasi paru Amerika memperkirakan ada 27.000 orang menderita ARDS tiap
tahunnya dan 2-8 kasus per 100.000 populasi per tahun, tetapi ALI sebagai
prekursornya jauh lebih sering. Mortalitas ARDS biasanya tinggi (>50%) tetapi
1
Respiratory Distress Syndrome
ditentukan oleh keadaan pencetus (35% untuk trauma, 60% untuk sepsis, dan 80%
untuk pneumonia aspirasi).
Etiologi
Sekalipun sebab utama dari kerusakan ini adalah inhalasi atau intoksikasi, akan
tetapi ada juga bentuk penyebab yang dikaitkan dengan kerusakan yang luas ini,
yakni :
Infeksi akut yang mengenai seluruh bagian paru, sehingga fungsi paru
memburuk dengan cepat
Istilah ini lebih banyak digunakan pada bayi prematur, akan tetapi sejak
tahun 1960 kerusakan paru yang terjadi secara cepat, walaupun terjadi pada
orang dewasa, juga digolongkan ke dalam “acute respirastory distress
syndrome”.
ARDS terjadi jika paru terkena cedera baik langsung maupun tidak langsung oleh
berbagai proses. Beberapa keadaan yang sering menyebabkan ARDS yaitu :
1. Syok karena berbagai penyebab terutama hemoragik, pankreatitis akut
hemoragik, sepsis gram negatif.
2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular diseminata.
3. Pneumonia virus yang berat
4. Trauma yang berat
5. Cedera kepala
6. Cedera dada yang langsung
7. Trauma pada berbagai organ dengan syok hemoragik
8. Emboli lemak( berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur
2
Respiratory Distress Syndrome
9. Cedera aspirasi/inhalasi
10. Aspirasi isi lambung
11. Hampir tenggelam
12. Inhalasi asap
13. Inhalasi gas iritan( klor, amonia, sulfur dioksida)
14. Overdosis narkotik
Patofisiologi
Mekanisme mengapa ARDS mempunyai penyebab bermacam-macam dapat
berkembang menjadi sindroma klinis dan patofisologis yang sama masih belum
jelas diketahui. Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya
berupa cedera membran kapiler alveolar yang menyebabkan kebocoran kapiler.
Membran kapiler dalam keadaan normal tidak mudah ditembus oleh partikel-
partikel. Tetapi dengan adanya cedera maka terjadi perubahan pada
permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui cairan , sel darah merah, sel darah putih
dan protein darah.
Mula-mula ciran akan berkumpul pada interstisium dan jika melebihi
kapasitas dari interstisium, cairan akan berkumpul pada alveolus, sehingga
mengakibatkan atelektaksis kongestif. Tempat-tempat lemah tampaknya pada
interdigitasi (ruang-ruang kecil selebar kira-kira 60 A) antara sel kapiler yang
melebar, sehingga partikel-partikel kecil dapat masuk dan akan terjadi perubahan
dalam tekanan onkonotik. Sehingga terjadinya edema paru tergantung pada
gangguan hubungan normal antara daya-daya starling, tekanan hidrostatik,
tekanan onkonotik dan tekanan jaringan.
3
Respiratory Distress Syndrome
Gambaran Klinis
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia paru yang diakibatkan karena kurangnya kerenggangan paru yang tidak dapat diatasi secara progresif selama bernapas spontan. Terjadi secara akut (kurang dari 48 jam). Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini darihipoksemia. Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
1. Dis t re s pe rna fasan aku t : t ak ipnea , d i spnea , pe rna fasan menggunakan o to t aksesor i s pernafasan dan sianosis sentral.
2. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
3. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
4. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
5. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
Gambaran-gambaran ini adalah akibat edema alveolar dan interstisial.
Gambaran klinis lengkap dapat bermanifestasi 1 sampai 2 hari setelah cedera.
Diagnostik
Anamnesa
a. Keadaan Umum:
Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan menggunakan otot
aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang cepat dan
dangkal. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa
jam sampai seharian. Kulit terlihat pucat atau biru.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
4
Respiratory Distress Syndrome
Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis hemoragik), Luka bakar hebat,
Tenggelam DIC(Dissemineted Intravaskuler Coagulation), Pankreatitis,
Uremia, Bedah Cardiobaypassyang lama, PIH (Pregnand Induced
Hipertension), Peningkatan TIK, Trauma hebat (cede ra
kepa la , cede ra dada , rudapaksa pa ru ) , Rad ias i , F rak tu r
ma jemuk (embol i lemak berkaitan dengan fraktur tulang panjang
seperti femur), riwayat merokok.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
e. Riwayat Alergi
Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Brea th ) : se sak na fas , na fas cepa t dan dangka l , ba tuk ke r ing , ronkh i basah , k reke l s halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
2. B 2 ( B l o o d ) : p u c a t , s i a n o s i s ( s t a d i u m l a n j u t ) , t e k a n a n d a r a h b i s a n o r m a l a t a u meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut(shock), takikardi biasa terjadi, bunyi jantung normal tanpa murmur ataugallop.
3. B3 (Bra in ) : kesada ran menurun ( sepe r t i b ingung dan
a t au ag i t a s i ) , t r emor .
4. B4 (Bowel ) : -
Pemeriksaan Diagnostik
1. LED : Meningkatkan pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya
Normal.
2. Tes fungsi paru : Normal atau menunjukkan defek restriktif disertai dengan
gangguan pertukaran udara.
3. BGA : Hasil BGA menunjukkan adanya hipoksemia.
5
Respiratory Distress Syndrome
4. Biopsi Darah : PaO2/FiO2<200 = ARDS
PaO2/FiO2 <300 = ALI
Foto thorax
Pada foto thorax nampak infiltrat difus bilateral yang ringan atau tebal sesuai
gambaran edema paru, interstitial atau alveolar, bercak-bercak atau konfluens.
Sulit untuk membedakan antara ARDS dan edema paru karena gagal jantung.
Pemeriksaan radiogram pada permulaan mungkin normal meskipun sudah terjadi
hipoksemia. Kemudian dengan tertimbunnya cairan pada alveolar dan interstisial
dan meluasnya atelektaksis kongestif, maka rontgen dada menunjukkan gambaran
putih yang difus, itu sebabnya nama lain ARDS adalah paru putih.
Komplikasi
Gagal nafas dapat terjadi seiring dengan perkembangan penyakit dan harus
bekerja lebih keras untuk mengatasi penurunan daya regang paru. Pada
akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Kondisi ini
menyebabkan asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan
karbondioksida di dalam darah. Pernafasan yang melambat dan penurunan
pH arteri adalah indikasi akan datangnya gagal nafas dan mungkin
kematian.
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan
di paru dan kurangnya ekspamsi paru.
Akibat hipoksia akan terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena
stres
Koagulasi intravaskular diseminata dapat terjadi akibat banyaknya jaringan
yang rusak selama ARDS.
6
Respiratory Distress Syndrome
Penatalaksanaan
Penanganan ARDS ditujukan untuk memperbaiki syok, asidosis, dan
hipoksemia yang menyertainya. Pengobatan hanya ditujukan untuk tindakan
pencegahan penyakit paru primer saja. Karena penimbunan cairan pada paru
merupakan masalah, maka pembatasan cairan dan terapi diuretik merupakan
tindakan lain yang penting dalam penanganan ARDS. Antibiotik yang tepat untuk
mengatasi infeksi. Meskipun pengggunaan kortikosteroid masih kontroversial,
tetapi banyak pusat kesehatan menggunakan kortikosteroid dalam penanganan
ARDS walaupun manfaatnya belum jelas diketahui.
Pengobatan lain yang diharapkan potensial adalah terapi penggantian
surfaktan untuk orang dewasa dengan sindrom. Penerapan terapi tersebut untuk
ARDS sedang menunggu hasil penelitian baru.
Manajemen ARDS
Manajemen ARDS meliputi penanganan terhadap penyakit dasarnya,
suportif untuk sistem kardiopulmonal dan terapi spesifik untuk jejas paru.
1. Pemasangan intubasi dan ventilator
2. Obat-obat tidak ada yang spesifik untuk ARDS, seperti kortikosteroid, NO
inhalasi
3. Penggunaan surfaktam aerosol, PGE1 almitrin untuk stimulasi pernafasan
4. Ketokonasol adalah obat untuk jamur yang dapat menghambat beberapa
jalur proinflamatori
Prognosis
50% pasien dengan ARDS meninggal sebelum meninggalkan rumah sakit.
Dan hanya 20% yang meninggal akibat kegagalan pernafasan. Prognosis pasien
7
Respiratory Distress Syndrome
tergantung dengan ketepatan penanganan berdasarkan etiologinya. Jika terjadi
ARDS, kemungkinan penanganan kausanya tidak berhasil.
B. Sindrom Gawat Nafas Idiopatik Pada Bayi
Definisi
Sindrom gawat nafas idiopatik (idiopatik respiratory distress syndrom,
IRDS) pada bayi baru lahir, juga di sebut penyakit membran hialin, merupakan
kondisi hipoksia dan cerdera paru yang terjadi akibat atelektasis primer yang luas.
Atelektasis primer adalah keadaan kolapsnya alveolus secara substansial yang
dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsnya alveolus, ventilasi menjadi
berkurang. Kemudian terjadi hipoksia yang menyebabkan cedera paru dan
kemudian reaksi inflamasi disertai akumulasi sel darah putih dan pelepasan
berbagai sitokin. Reaksi inflamasi menyebabkan edema dan pembengkakan ruang
interstisial, yang semakin menurunkan pertukaran gas antara kapiler dan alveolus
yang masih berfungsi. Reaksi inflamasi juga menyebabkan terbentuknya membran
hialin, yang merupakan akumulasi fibrin putih yang melapisi alveolus.
Pengendapan fibrin tersebut semakin menurunkan pertukaran gas dan daya regang
paru. Penurunan daya regang paru meningkatkan usaha untuk bernafas.
Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan rasio ventilasi,
perfusi dan vasokontriksi arteriol paru. Untuk setiap usaha ventilasi pada alveolus
yang kolaps, bayi harus mengeluarkan besar energi dalam jumlah besar.
Pengeluaran energi tersebut oleh peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin
memperparah sianosis. Pada awlnya bayi akan memperlihatkan nafas yang cepat
dan dangkal sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi,
mengakibatkan analisis gas darah pertama alkalosis respiratorik karena
karbondioksida terbuang. Akan tetapi bayi akan segera kelelahan karena kesulitan
8
Respiratory Distress Syndrome
mengembangkan alveolus dan parunya dan tidak dapat mempertahankan usaha
respirasinya. Apabila hal ini terjadi usaha bernafas melembat dan gas darah
memperlihatkan asidosis respiratorik (peningkatan karbondioksida) dan awitan
gagal nafas.
Faktor Resiko
Faktor resiko utama untuk RDS (resipiratory distress syndrom) atau gawat
nafas adalah prematuritas. Antara 5% dan 10% bayi prematur menderita sindrom
ini. Semakin prematur bayi semakin tinggi kemungkinan mengalami RDS.
Patofisiologi
Mekanisme prematuritas berkaitan dengan RDS terdiri dari tiga hal yaitu:
1. Pertama, faktor paling penting adalah sel alveolus tipe II penghasil surfaktan
belum matang sampai usia gestasi antara 28 sampai 32 minggu. Dengan
demikian, setiap bayi ynag lahir sebelum surfaktan dibentuk di alveolus
akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang sangat tinggi setiap
kali bernafas. Hal ini sangat berperan menimbulkan atelektasis primer yang
dijumpai pada RDS dan menyebabkan penurunan ventilasi alveolus dam
hipoksia.
2. Kedua, alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-
lipat. Berdasarkan hukum Laplace faktor ini juga berperan dalam
meningkatkan tekanan yang harus dilakukan untuk mengatasi tegangan
permukaan.
3. Ketiga, bayi prematur yang memiliki otot dada yang lemah dan belum
berkembang sehingga hampir mustahil bayi tanpa surfaktan berhasil
mengembangkan alveolusnya setiap kali bernafas selama berjam-jam.
9
Respiratory Distress Syndrome
Kelompok lain bayi prematur yang beresiko mengalami RDS adalah bayi
yang lahir dari ibu bayi diabetes dependen insulin. Tampaknya insulin
disuntikan menghambat pembentukan sel alveolus tipe II.
Manifestasi Klinis
Peningkatan frekuensi pernafasan
Kulit kehitaman akibat hipoksia
Retraksi antar iga atau dada stiap kali bernafas
Nafas cuping hidung setiap kali bernafas
Banyak bayi selamat dari RDS, pada kasus ini gejala mereda dan
menghilang biasanya dalam 3 hari.
Diagnosis
Dianosis biasanya dibuat berdasarkan penampilan klinis bayi pada saat lahir
disertai riwayat kehamilan.
Gas darah arteri mungkin diambil untuk membantu penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan.
Radiografi dada biasanya memperlihatkan kerapatan granural dalam
beberapa jam setelah lahir.
Komplikasi
Untuk sebagian bayi yang selamat dari RDS kemudian mengidap displasi
bronkopulmonalis. Yaitu suatu penyakit pernafasan kronis yang ditandai
pembentukan jaringan parut di alveolus, inflamasi alveolus dan kapiler dan
hipertensi paru.
10
Respiratory Distress Syndrome
Tanda-tanda dispnea dan hipoksia dapat berlanjut menyebabkan kelelahan,
gagal nafas, kematian bayi, biasanya dalam 3 hari.
Penatalaksanaan
1) Pencegahan adalah pengobatan utama untuk RDS. Tindakan pencegahan ini
mencangkup intervensi prilaku dan terapi farmakologi untuk menunda atau
menghentikan persalinan, dan penentuan usia kehamilan dengan tepat untuk
memperkecil persalinan bayi prematur melalui operasi sesar.
2) Penundaan persalinan dalam 24-48 jam terbukti dapat mengurangi insiden
dan keparahan RDS. Hal ini dikarenakan stres persalinan meningkatkan
pelepasan kortisol dari korteks adrenal ibu dan janinnya. Peningkatan
kortisol terjadi secara alamiah dapat menstimulasi sel alveolus tipe II untuk
memproduksi surfaktan.
3) Penyuntikan kortikosteroid pada ibu paling tidak 24 jam sebelum persalinan
bayi prematur secara bermakna dapat menurunkan insiden RDS. Akan tetapi
ada pertimbangan untuk jangka panjang bayi terpajan dengan kadar steroid
yang tinggi.
4) Apabila bayi lahir dengan RDS, pengobatan yang diberikan bersifat suportif
dan berupa terapi oksigen, lingkungan yang tenang dan hangat untuk
menurunkan kebutuhan oksigen, dukungan nutrisi dan evaluasi berulang gas
darah serta status asam basa.
5) Kemajuan besar dalam pengobatan adalah pengembangan surfaktan buatan.
Surfaktan dapat dialirkan langsung kesaluran nafas bawah bayi yang
memperlihatkan tanda-tanda RDS, dan telah dibuktikan berhasil mengurangi
manifestasi klinis penyakit.
11
Respiratory Distress Syndrome
Pengobatan ini dikombinasikan dengan penyuntikan steroid pada ibu
memberikan harapan terbaik untuk mengurangi angka kesakitan dan
kematian akibat RDS. Terapi surfaktan telah diberikan pada bayi dengan
sindrom gawat nafas dan hasilnya sangat baik dalam menurunkan morbiditas
dan mortalitas.
12
Respiratory Distress Syndrome
Daftar Pustaka
H. Tabrani Rab, Prof. Dr. 2002. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
Jusuf,Wibisono,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: FKUNAIR
Jeremy, Richard,dkk. 2007. The Respirastory System at a Glance. Jakarta:
Penerbit Erlangga
J.Corwin, Elizabeth. 2008. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
edisi 6. Penerbit EGC : Jakarta
13