tradisi konflik antara kelompok perguruan silat …
TRANSCRIPT
TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
SKRIPSI
Oleh :
ZULI HENDRAWAN
No. Mahasiswa : 04410474
Program Studi : Ilmu Hukum
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat yang berkembang di Indonesia ini adalah masyarakat yang
bersifat multikultur, suatu masyarakat yang mempunyai keberanekaragaman
suku, budaya, agama dan karakter dengan perspektifnya masing-masing. Di
dalam keadaan bangsa yang multikultur ini tentunya tidaklah mudah dalam
mengupayakan dan mewujudkan menjadi bangsa yang selalu dapat hidup
berdampingan, selaras, serasi dan seimbang. Keberanekaragaman bangsa
Indonesia yang terkadung didalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika dapat kita
katakan sebagai satu kelebihan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya
didunia. Keberanekaragaman tersebut akan memberikan dampak yang positif
bagi perkembangan terhadap lingkungan, atau bahkan akan menjadi salah satu
faktor penting pemicu terjadinya disintegrasi bangsa jika perbedaan itu tidak
dapat dikelola secara baik.
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia adalah mahluk sosial atau sering
disebut sebagai zonpolitkon yang di dalam menjalankan aktivitasnya
membutuhkan sinergisitas antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya dan upaya-upaya itu hanyalah semata-mata untuk menuju ke suatu
peradaban yang acap kali sering disebut sebagai kehidupan masyarakat yang
2
madani. Namun demikian tidak juga hal ini kemudian mengesampingkan dan
membantahakan permasalahan yang lahir dari lingkungan itu tidak akan terjadi
dan setiap manusia tentunya tidak dapat hidup dengan aman dan tentram
apabila didalam kehidupannya selalu dipenuhi dengan konflik.
Realitas sosial adalah merupakan suatu kenyatan sejarah, antara kehendak
normatif dan realitas sosial terdapat suatu ketegangan yang diselesaikan dalam
perilaku konkret, sesuai atau tidak sesuai dengan ekspektasi lingkungan.
Disinilah lingkungan sekaligus menunjuk pada suatu budaya atau pun
kebiasaannya. Cara-cara hidup dan berinteraksi setiap lingkungan dengan
konsep pemahamannya pasti berbeda.
Dalam berbagai pandangan juga tidak dapat diklaim bahwa semua perilaku
yang diikuti oleh suatu kumpulan masyarakat itu pasti baik, karena jika kita
berbicara persoalan baik atau tidaknya sebuah nilai adalah tergantung dari segi
ruang dan waktu. Mungkin saat ini baik dan mungkin esok hari akan berubah
menjadi tidak baik untuk diterapkan. Oleh karena itu, berangkat dari
masyarakat, masyarakat juga mempunyai penilaian sendiri tentang apa yang
dianggapnya sebagai sebuah kebenaran dan masyarakat pun mempunyai daya
saring terhadap suatu perilaku masyarakatnya itu apakah benar sesuai dengan
lingkungannya ataukah tidak, yang jika didalam kutipan perkataan Ir. Soekarno
adalah kita tidak lagi akan membiarkan diri kita setjara patuh mengikuti tjara
3
hidup jang akan membawa kita kepada kehantjuran kita sendiri1. Di dalam
buku ilmu sosial, Karl marx melihat seluruh struktur sebagai lapisan-lapisan
yang penuh dengan kontradiksi dan merupakan proses yang terus menerus
sebagai perubahan dialektika masyarakat.2 Dialektika-dialektika kehidupan
tersebut tetap hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat
itu sendiri, berkembang dan akan terus berubah dari bentuk yang satu ke bentuk
yang lain.
Bahwa manusia diciptakan dengan dianugerahi budi dan nurani, yang
memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, yang akan juga mengarahkan dan membimbing sikap dan
prilaku dalam menjalani kehidupan. Dengan nuraninya itu, maka manusia
diberikan kebebasan untuk menentukan prilakunya, disamping itu manusia juga
dibekali kemampuan untuk menanggung semua resiko atas tindakan yang telah
ia lakukan. Kebebasan inilah yang kemudian dimaksud dengan hak asasi
manusia yang tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap kebebasan manusia,
maka pada hakikatnya adalah pengingkaran terhadap martabat manusia.
Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara
mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
1Cindy Adam, Bung Karno; Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1966,
hlmn 96-97. 2M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar; Teori Dan Konsep Ilmu Sosial, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2008, hlmn 26.
4
dengan menyandang dua aspek yaitu aspek individual dan aspek sosial. Oleh
karena itu kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Pandangan atas suatu dialektika sosial tentunya sangat memungkinkan
untuk dapat menyebabkan gesekan antar kepentingan dan pemahaman yang
berbeda, dan konflik adalah menggambarkan bahwa manusia tidak lepas
sosiobilitas, membutuhkan keberadaan orang lain, tetapi ia juga perlu
beraktivitas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada dilingkungan
dimana ia tinggal. Dinamika konflik tentunya akan menjadi suatu realitas yang
tidak mungkin terhindarkan, namun demikian tidak semua konflik juga dapat
kita simpulkan sebagai sesuatu yang sangat merugikan bagi yang terlibat atau
lingkungan masyarakat, hanya mungkin saja perlu disaring dan diminimalisir
konflik yang sekiranya kurang diperlukan.
Pertentangan diantara masyarakat sangat dimungkinkan pula untuk
memberikan pengaruh kepada perubahan sosial dan kebudayaan. Percikan-
percikan diantaranya adalah merupakan suatu indikasi awal ketidaksepakatan
antar pihak yang berpotensi terhadap perkembangan pemahaman masyarakat
disekitarnya. Dua atau lebih kebiasaan masyarakat tidak selalu dapat berjalan
bersamaan didalam sebuah interaksi. Kadangkala akan terjadi interaksi saling
tolak menolak. Keadaan semacam ini dinamakan dengan cultural animosity3,
sedangkan yang keadaan yang saling menerima disebut juga dengan
3Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlmn 282.
5
demonstration effect atau disebut juga sebagai akulturasi jika dalam bahasa
antopologi budaya.4
Tujuan manusia yang hidup bardampingan secara harmonis dan berimbang
adalah merupakan impian setiap manusia. Konflik haruslah diakhiri dengan
suatu ketegasan dan proses hukum. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini
yang menghendaki keadaan dirinya dalam keadaan terancam, yang selalu di
selimuti oleh rasa takut atas tekanan psikologis, keselamatan diri dan keluarga,
harta, hak-hak anak dan hak-hak yang lainnya. Setiap orang tetap
menginginkan dirinya mendapatkan kebebasan dari rasa takut yang tercipta
sebagai resiko hidup bermasyarakat.
Maka dilihat dari perkembangan manusia, terjadinya hukum itu di mulai
dari pribadi manusia yang diberikan akal pikiran dan tingkahlaku. Perilaku
yang terus menerus di lakukan perorangan akan menimbulkan kebiasaan
pribadi. Apabila kebiasaan itu ditiru oleh orang lain maka ia juga akan
menjadi kebiasaan orang tersebut. Lambat laun diantara orang yang satu
dengan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan
kebiasaan itu maka akan menjadi adat dari masyarakat itu.5
Berlakunya aturan hukum dalam masyarakat tidak dengan sendirinya akan
membentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideal dari
keinginan luhur para pembentuk Undang-undang Dasar 1945. Keberadaan
4Ibid. 5Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Makmur Maju, Bandung, 2003, halmn
1
6
berbagai macam aturan perundangan di dalam masyarakat secara kuantitas
tidak otomatis mewujudkan tata hubungan dan kehidupan masyarakat yang
berkeadilan. Perlu beberapa syarat penopang agar tata hubungan masyarakat
yang berkeadilan, selain dari pada faktor regulasi perundang-undangan
dibutuhkan juga peran serta elemen yang lainnya yang tidak kalah pentingnya,
yaitu peran serta masyarakat itu sendiri. Kesadaran dalam berhukum guna
terciptanya keteraturan adalah menjadi faktor utama dalam mewujudkannya
yang didalamnya terdapat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan.
Perbincangan mengenai hukum yang adil adalah tela’ah hukum yang
menyangkut muatan nilai, spirit, sukma dan pada gilirannya mengait dengan
etos penegakan hukumnya. Hukum tanpa spirit, akan menjadikan alat untuk
melegitimasikan penyalahgunaan kekuasaan dan membenarkan pemerkosaan
hak-hak warga masyarakatnya. Secara substansial, hukum tidak pernah lepas
dari struktur ruhaniyah masyarakat yang bersangkutan atau masyarakat yang
mendukung hukum tersebut. Karena, hukum mempunyai korelasi dengan
kebudayaan, struktur berfikir, dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian,
sifat, dan corak masyarakatnya6. Dan ditambahkan juga bahwa hukum adalah
suatu kehendak yang bersifat normatif, yang merupakan manifestasi ide-ide 7.
Pada wilayah kajian yang sosial budaya, hukum nasional pada hakikatnya
adalah merupakan pernyataan budaya bangsa. Artinya bahwa tujuan hukum
6 Universitas Islam Indonesia editing Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, Pustaka Pelajar
offset, Yogyakarta, 1997, halm ix 7Ibid, hlmn xii.
7
nasional kita ini harus dilekatkan pada kebudayaan nasional sehingga sifat dan
bentuk hukum nasional kita ini dapat berjalan sesuai dengan karakter bangsa
ini. Persoalan titik singgung antara tingkah laku masyarakat dan hukum
nasional ini akan menjadi sangat menarik jika dikaitkan dengan realitas sosial
dewasa ini. Perlu ditekankan, pembangunan adalah merupakan fakta perubahan
sosial, yaitu suatu kenyataan yang dengan kehadirannya akan membawa
dampak dan pengaruh terhadap hukum kita ke depan. Perubahan yang sifatnya
menjangkau keberbagai dimensi kehidupan masyarakat kita saat ini, tidak
mustahil, akan dapat mempengaruhi tangkapan makna terhadap nilai dasar,
sukma, materi, dan wujud hukum nasional.
Sebuah fenomena yang sangat menarik, tepatnya di Kota Madiun, terdapat
suatu tradisi interaksi yang setiap bulan suro selalu dilakukan yaitu berupa
konflik antara anggota kelompok perguruan silat Setia Hati Terate dan Setia
Hati Tunas Muda Winongo yang berujung pada jatuhnya korban. Tradisi ini
konon katanya telah dilakukan secara turun temurun hingga saat ini tanpa
terputus. Tradisi ini konon katanya bahwa disetiap bulan suro, Kota Madiun
menjadi sangat mencekam dan jarang warga yang berani keluar rumah. Imbas
kerusakan fasilitas publik, rumah warga dan baku hantam adalah sudah menjadi
resiko yang lumrah dan tidak menjadi suatu beban yang harus diperjuangkan
untuk mencari dan mendapatkan ganti kerugian karena keadaan yang akan
8
terjadi ini sudah dipahami oleh mayoritas bahkan oleh keseluruhan warga
masyarakat Madiun.
Kasus perkelahian antar perguruan silat8 yang di motori oleh
Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda
Winongo di Karesidenan Madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan
masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta
jatuhnya korban jiwa. Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan
klaim kebenaran tentang ideoligi Persaudaraan Setia Hati yang merambat
hampir ke seluruh Karisedanan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga
menimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat,
bukan hanya masa lalu tetapi hingga tahun 2011 ini tradisi itu masih terus
berjalan.
Keadaan penegakan hukum disana dikota tersebut dapat dikatakan
sangatlah lemah atau tidak jarang hukum yang berlaku tidak dapat
diaplikasikan disana sekali pun telah ada jatuh korban. Pihak Institusi
kepolisian pun mengalami kesulitan di dalam pengusutannya atau bahkan tidak
berani untuk melakukan apa-apa untuk mencegah atau menghentikan pertikaian
yang sudah menjadi sebuah tradisi itu.
Semangat jiwa muda pemuda memang adalah merupakan puncak klimaks
dimasa usia keremajaan. Generasi muda dalam masyarakat dan bangsa secara
singkat mempunyai peranan yang sangat krusial yaitu terkait dengan
8 detiksurabaya.com, tanggal 29/12/2008.
9
pengembangan generasi muda, pengembangan wadah generasi muda, dan
mempunyai kewajiban dalam bentuk mengeluarkan suatu kebijakan nasional
atas suatu peran pemuda terhadap bangsa dan negara. Dalam hal peranan
kepemudaan, sudah menjadi kelaziman untuk meneruskan tradisi yaitu dengan
jalan mengikuti tradisi yang berlaku. Nilai-nilai kebenaran dalam kebudayaan
diwujudkan dalam tingkah lakunya masing-masing. Usaha penyesuaian diri
terhadap suatu tradisi ini mungkin dilakukan terhadap orang-orang atau
golongan-golongan yang sebenarnya justru ingin merubah suatu tradisi.9
Mengacu kepada apa yang telah dikutip diatas, maka sesungguhnya
pergolakan-pergolakan yang dilakukan itu akan melahirkan perubahan dalam
tradisi dan dapat terjadi perubahan dalam masyarakat. Paling tidak terdapat
empat faktor penting yang dapat mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu:
Keturunan, lingkungan tempat, tempat fisik kehidupan sosialnya, dan
lingkungan sosial dan budayanya. Dari faktor-faktor tersebut didalam interaksi
social akan melekat kepada diri setiap individu, bersatu padu membentuk
sebuah karakter. Oleh sebab itu, beberapa pernyataan penting tentang filosofi,
sejarah, aspek sosial dan aspek juridis harus menjadi dasar pertimbangan dalam
merancang sebuah kebijakan publik yang mana itu sesuai dengan filosofi
kehidupan masyarakat dimana konflik itu terjadi.
9 Dr. M. Munandar Soelaeman, opcit, hlmn 165.
10
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan hukum tradisi konflik dalam hukum positif
Indonesia?
2. Apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam mengatasi tradisi konflik
antar perguruan silat tersebut?
3. Adakah upaya-upaya lain yang dilakukan untuk menghentikan tradisi
konflik tersebut?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari
penyusunan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh akan keberadaan hukum tradisi
tersebut.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang telah dilakukan oleh aparat
kepolisian dalam upaya penyelesaian masalah hukum.
3. Untuk mengetahui sudah sejauh manakah upaya yang telah dilakukan oleh
aparat kepolisian untuk menghentikan tradisi konflik tersebut.
11
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai khazanah kepustakaan bagi para peminat studi tentang
perkembangan sosiologi hukum, khususnya di Indonesia.
2. Sebagai rujukan dalam pengkajian persoalan konflik sosial di tinjau dari
aspek sosiologi hukum.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam ilmu sosiologi hukum, terbentuknya hukum adalah berangkat dari
perilaku manusia dan tata nilai yang terkandung didalamnya. Didalam
berkehidupan bermasyarakat tentunya tidaklah lepas dari sebuah interaksi
sosial. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, perilaku manusia
dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu perilaku-perilaku mana saja yang
dapat dikatakan sebagai perilaku belaka dan mana saja yang dapat dikatakan
sebagai perilaku etis10
. Perilaku antar individu-individu ini didalam lingkungan
masyarakat adalah mempunyai tingkat pengaruh dalam skala tertentu. Interaksi
sosial antara pribadi-pribadi, kadang-kadang juga disebut juga sebagai
hubungan interpersonal yang berarti bahwa terciptanya hubungan-hubungan
tersebut dikarenakan oleh adanya faktor kebutuhan tertentu. Oleh karena
adanya suatu kebutuhan, maka terjadinya hubungan individu-individu pasti
10Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlmn 62-63.
12
terjalin, yang apabila tidak terlakasana maka akan menghasilkan gangguan atau
keadaan yang tidak menyenangkan.
Pada setiap manusia, terdapat tiga kebutuhan interpersonal, yang
mencakup kebutuhan akaninklusif, kontrol, dan afeksi.11
Dari ketiga kebutuhan
tersebut dapat dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan kebutuhan inklusif
adalah merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan
hubungan yang memuaskan dengan pihak lain. Sedangkan kebutuhan akan
kontrol adalah suatu kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan
hubungan dengan pihak lain untuk memperoleh pengawasan atau kekuasaan.
Dan yang terakhir adalah kebutuhan afeksi adalah segala kebutuhan untuk
mengadakan serta mempertahankan hubungan dengan pihak lain untuk
memperoleh dan memberikan cinta, kasih sayang serta afeksi.
Dari masing-masing kebutuhan tersebut akan menghasilkan pola perilaku
tertentu. Kebutuhan inklusif akan menghasilkan perilaku yang cenderung
menyesuaikan diri dengan pihak lain, sehingga ada rasa kebersamaan atau
menjadi bagian dari suatu kelompok. Begitu juga dengan kebutuhan akan
kontrol, akan menghasilkan perilaku yang bersifat provokatif yang kemudian
berujung pada suatu penguasaan terhadap golongan yang ia jadikan sasaran.
Sedangkan kebutuhan afeksi cenderung akan menghasilkan perilaku seperti
saling mencintai dan menyayangi dan seterusnya.
11Ibid, hlmn 64.
13
Sebuah keteraturan dalam hidup tentunya menjadi harapan yang selalu
dipanjatkan oleh setiap manusia. Berangkat dari interaksi-interaksi tersebut
diperlukan pedoman atau patokan, yang memberikan wadah bagi aneka
pandangan mengenai keteraturan yang semula merupakan pandangan pribadi.
Patokan tersebut itulah yang kemudian dinamakan sebagai norma atau kaidah.
Di dalam buku mengenal hukum suatu pengantar karya Prof. DR. Sudikno
Mertokusumo, jika ditinjau dari segi bentuknya, kaedah hukum ada yang
berbentuk tertulis dan ada juga yang berbentuk tidak tertulis12
. Kaedah hukum
tidak tertulis itu tumbuh di dalam dan bersama masyarakat secara spontan dan
mudah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Karena tidak
dituangkan di dalam bentuk tulisan, maka seringkali tidak mudah untuk
diketahui. Kaedah hukum tertulis yaitu kaedah hukum yang dituangkan ke
dalam bentuk tulisan, baik pada daun lontar, dalam bentuk undang-undang dan
sebagainya, lebih mudah untuk diketahui dan lebih menjamin kepastian hukum.
Selain dari segi bentuk, jika dilihat dari segi sifat, maka hukum tersebut
paling tidak ia mempunyai dua sifat, yaitu sifat imperatif a priori dan
fakultatif.13
Secara definisi, hukum yang bersifat imperatif adalah hukum yang
mana keberlakuannya bersifat apriori harus ditaati, bersifat mengikat atau
memaksa. Sedangkan hukum yang bersifat fakultatif adalah hukum yang di
dalam keberlakuannya tidak secara a priori bersifat mengikat. Kaedah hukum
12 Prof. DR. Sudikno Mertokusumo SH, Mengenal Hukum Suatu pengentar, Liberty, Yogyakarta,
hlmn 33. 13Ibid, hlmn 32
14
fakultatif ini bersifat melangkapi atau bersifat tambahan saja dan yang menjadi
pembeda diantara ciri kedua sifat ini adalah terletak pada isinya, jika hukum itu
isinya adalah perintah dan larangan, maka hukum tersebut bersifat imperatif
dan apabila ditinjau dari isi hukumnya adalah merupakan perkenaan maka
hukum tersebut bersifat fakultatif.
Pada sisi empiris, suatu perilaku yang dilakukan secara terus menerus oleh
perorangan akan menimbulkan kebiasaan pribadi, begitu juga jika kebiasaan itu
ditiru dan dilakukan oleh orang lain, maka kebiasaan tersebut akan menjadi
kebiasaan yang melekat bagi orang tersebut. Apabila secara bertahap kebiasaan
tersebut kian hari kian banyak atau keseluruhan anggota masyarakat yang
mengikuti kebiasaan tersebut, maka lambat laun kebiasaan tersebut akan
berubah menjadi apa yang dinamakan dengan adat atau kebiasaan.
Berubahnya suatu kebiasaan pribadi seseorang kearah kebiasaan yang
diikuti oleh suatu masyarakat tidak berarti bahwa kebiasaan tersebut dapat kita
katakan sebagai hukum adat, tetapi masih dalam bentuk adat saja. Pendapat
yang demikian ini juga disampaikan oleh Soerjono Soekanto, sebuah interaksi
yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan pola-pola tertentu,
yang disebut dengan “cara”, dan cara-cara yang diterapkan tersebut dapat
menimbulkan kebiasaan.14
Jadi dengan singkat kata bahwa adat atau kebiasaan
adalah suatu perilaku yang dilakukan secara terus menerus oleh sekelompok
14Ibid, hlmn 67-68
15
masyarakat dengan tujuan tertentu dan tidak bersanksi.15
Adat tersebut
hanyalah bersifat kebiasaan yang normatif, dan jika mencoba untuk
dibandingkan dengan pendapat-pendapat lain tentang apa itu adat maka, yang
dimaksud dengan tidak bersanksi dalam kutipan diatas adalah sanksi secara
institusional. Di dalam bukunya yang berjudul Beginselen En Stelsel Van Best
Adatrecht, Ter Haar merumuskan masyarakat hukum adat sebagai:
.........geordende groepen van blijkvend karakter met eigen bewind en eigen
materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: “........ kelompok-
kelompok teratur yang sifatnya ajek dan pemerintahan sendiri yang
memiliki benda-benda materiil maupun immateriil”)16
Adat tersebut akan berubah menjadi hukum adat ketika kelompok-
kelompok masyarakat tersebut lambat laun menjadikan kebiasaan tersebut
sebagai suatu hukum adat yang pemberlakuannya dipaksakan berserta sanksi
bagi yang semua anggota masyarakatnya yang melanggar17
. Pemaknaan akan
pengertian hukum adat ini diperkuat dengan kutipan yang dimaksud dengan
hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi,18
dan Soerjono Soekanto
dalam bukunya kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi
15Hilman Hadikusuma, opcit, halmn9 16Soerjono Soekanto, opcit (Hukum Adat Indonesia), hlmn 93. 17Hilman Hadikusuma, opcit, hlmn 1 18Hilman Hadikusuma, opcit, hlmn 9
16
mempunyai akibat hukum, kompleks ini disebut hukum adat.19
Jadi dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai macam
konsekuensi didalamnya, meskipun secara empiris cukup sulit bagi kita untuk
membedakan mana tradisi dan mana hukum adat.
Hukum adat atau hukum kebiasaan didalam perkembangannya, hukum
kebiasaan mengalami pasang surut eksistensinya di Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini. Ada paling tidak diambil tujuh fase eksistensi hukum kebiasaan
dalam perkembangannya, yaitu fase pertama adalah keberlakuan hukum pada
zaman kompeni.
Pada masa ini hukum kebiasaan tidak begitu bebas dilaksanakan, hal ini
dibuktikan dengan adanya resolusi yang dikeluarkan oleh VOC pada tanggal 24
juni 1620 dibentuk college van schepenen (CvS) yaitu urusan yang berkaitan
dengan pemerintahan umum dan peradilan. Dalam tugasnya, badan peradilan
tersebut dinamakan Scheppenbank. Schepenbank itu mengadili perkara perdata
dan pidana dari para warga kota yang bukan budak, sedangkan untuk perkara
khusus pegawai VOC dan militer oleh ordinaris luyden van de gerecte in het
casteel, yang sejak 1626 disebut ordinaris Raad van justitie binnen het casteel
batavia (Rvj). Pada fase ini tidak semua hukum perdata yang dikehendaki
berlaku oleh VOC dapat dilaksanakan di Jayakarta. Misalnya sejak tanggal 4
maret 1621 pengurus VOC di Negeri Belanda telah menginstruksikan agar
19Soerjono Soekanto, opcit (Hukum Adat Indonesia), hlmn18.
17
hukum sipil Belanda diterapkan didaerah-daerah yang dikuasai oleh VOC,
antara lain hukum waris tanpa wasiat, namun pada kenyataannnya hukum itu
tidak berlaku karena tidak sesuai dengan hukum waris yang berlaku
dimasyarakat, demikian juga yang dipaparkan didalam buku Asas-asas Hukum
Adat Bekal Pengantar karangan Imam Sudiyat. Di sana, pendapat yang serupa
dinyatakan juga bahwa dalam kenyataannya membuktikan hukum yang berlaku
bagi orang Indonesia asli di wilayah yang dikuasai oleh VOC pada umumnya
adalah hukum adat.20
Fase kedua, yaitu pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811). Setelah
masa VOC dibubarkan, dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam
pasal 86 dari Charter (peraturan Pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang
disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804.
Pasal itu menyebutkan “susunan pengadilan untuk golongan bumi putera akan
tetap tinggal menurut hukum dan adat mereka”. Namun dilain sisi hukum adat
juga tidak boleh diberlakukan apabila didalamnya bertentangan dengan
pemerintah kemudian dan pemerintah umum dari penguasa atau dengan asas-
asas keadilan serta kepatutan, atau pun bila karenanya dalam perkara-perkara
pidana kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara.
20Di kutip dari buku Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar karya Imam Sudiyat pada BAB V
tentang sejarah politik Hukum Adat, halaman 77. Di jelaskan bahwa pada awalnya memang penerapan
hukum bagi masyarakat jajahan VOC adalah hukum Belanda. Namun didalam kenyataannya
menyimpang dari prinsip karena tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat indonesia pada saat itu.
18
Fase ketiga, yaitu pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816). Pada masa
ini, pada perkara antar orang Indonesia pada umumnya berlaku hukum adat,
namun dengan syarat, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan kodrat yang universal dan diakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan
hakiki yang diakui. Menurutnya hukum adat haruslah dibedakan menjadi dua
bidang, yaitu hukum pidana dan perdata. Pada bidang hukum pidana, Raffles
mencela sanksi pidana yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman21
.
Di bidang hukum perdata juga demikian. Raffles menetapkan jika salah satu
orang yang bersengketa adalah orang eropa maka harus diadili di court of
justice yang menerapkan hukum eropa. Yang artinya secara tersirat dapat
disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat pada masa Raffles masih dipandang
lebih rendah jika dibandingkan dengan hukum eropa.
Fase ke-empat, yaitu pada masa tahun 1816-1848.Di masa ini adalah masa
transisi bagi Indonesia, maka selama itu juga masih diberlakukan hukum
Nederland sambil menunggu kodifikasi di Nederland berlaku dahulu disana.
Fase ke lima yaitu masa ditahun 1848-1928. Pada tahun 1838 hasil
kodifikasi di Nederland telah menjadi hukum positif disana. Artinya bahwa,
tahun ini adalah masanya penguasa Hindia-Belanda untuk memulai berusaha
membuat peraturan tetap, konkordant dengan kodifikasi di Nederland. namun
perlu disimpulkan bahwa pada masa ini asas unifikasi hukum telah bergulir dan
21Di dalam buku Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, mengemukakan bahwa pada masa itu,
Rafles mencela hukum adat yang bersifat pidana yang berbentuk bakar hidup-hidup dan pidana tikam
dengan menggunakan keris.
19
nampak dalam sejarah politik hukum Belanda yang menyadari betapa
pentingnya arti hukum adat. Oleh karena itu, untuk dapat memberlakukan
kodifikasi tahun 1848, Wichers membuat ketentuan-ketentuan tentang
Penerapan dan Peralihan kepada Perundang-undangan baru. Yang terkenal
dengan singkatannya yaitu Ketentuan-ketentuan Penerapan atau Ketentuan-
ketentuan Peralihan. Pada saat kodifikasi Belanda tertanggal 1 Mei 1838,
hukum adat masih merupakan suatu gejala yang tidak dikenal dan oleh karena
itu tidak disukai. Pengetahuan hukum adat baru timbul dan berkembang pada
awal abad ke 20, yaitu dengan lahirnya Ilmu Hukum Adat kerena penelitian
yang dilakukan oleh Mr. Cornelis van Vollenhoven yang menemukan hukum
adat untuk pertama kali dan mengangkatnya kederajat ilmu.
Ditahun 1848 adalah merupakan tahun yang sangat penting bagi sejarah
perundang-undangan Indonesia. Oleh karena sejak tahun ini dimulai
pengkodifikasian hukum, pembukuan hukum kedalam kitab perundangan yang
disusun secara sistematis. Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata
yang berlaku untuk bangsa eropa dengan mempertahankan asas konkordansi.
Oleh karena ada pengecualian bagi golongan eropa, maka untuk
menyesuaikannya dengan keadaan di Indonesia, pada masa raja Belanda
membentuk panitia yang membuat beberapa rencana peraturan perundangan,
antara lain: a. Algemene Bepalingen an Wetgeving Voor Nederlands Indie
(AB) yaitu ketentuan-ketentuan umum tentang perundangan di Indonesia, b.
20
Burgerlijk Wetboek (BW) atau kitab perundang-undangan hukum perdata, c.
Wetboek van Koophandel (WvK) atau kitab Undang-undang Hukum Dagang,
d. Regelement op de Rechterlijk organisatie en het beleid der justitie (RO) atau
peraturan susunan pengadilan dan kebijaksanaan justitie. Keempat kitab
Undang-undangtersebut kemudian diundangkan dimasukkan dalam Staatsblat
(lembar Negara) tahun 1847 Nr. 23. Kitab Undang-undang hukum pidana baru
dirancang dan muncul pada tahun 1915 yang bersifat unifikasi, dan baru
berlaku tiga tahun kemuadian yaitu pada tahun 1918.
Fase ke enam yaitu pada tahun 1928-1945. Pada fase ini kedudukan hukum
adat atau hukum kebiasaan hanya bersifat sebagai ruh dari hukum nasional.
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah berdasarkan
hukum adat, demikian karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (hukum
rakyat) dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pada tanggal 18 Agustus 1945
PPPK mengadakan rapat yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta dengan ke-16
anggotanya, ketika itu diumumkan berlakunya Undang-undang Dasar 1945.
Dan yang terakhir yaitu fase ke tujuh, yaitu fase tahun 1945 sampai sekarang.
Fase terakhir yaitu pada fase pasca kemerdekaan, mengenai pengertian
hukum adat, simposium UUPA dan kedudukan Tanah Adat dewasa ini
memberikan penilaian, hukum adat didalam UUPA bukan lagi Hukum adat
yang selama ini dikenalkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar. Hukum adat
21
itu yang oleh Saleh Adiwinata disebut hukum adat baru, atau hukum adat yang
sudah dihilangkan sifat daerahnya dan diberi sifat nasional.
Di dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, negara ini memang
mengakui akan keberadaan hukum-hukum yang hidup dimasyarakat, namun,
terkait dengan negara sebagai subyek hukum internasional yang
bertanggungjawab atas segala persoalan rakyatnya dan pemerintah sebagai
pelaksana konstitusi mempunyai ketentuan unifikasi hukum yang jelas, yaitu
suatu prosedur hukum tetap dan bersifat universal yang harus ditaati oleh
seluruh rakyat Indonesia, yaitu yang dikeluarkan oleh tata sistem pemerintahan
yang dibenarkan oleh perundang-undangan yang berlaku, demikianlah yang
sebenarnya dimaksudkan didalam aliran positivism yuridis dan pemberlakuan
hukum ini adalah baik sebagai pengaturan maupun penyelesai suatu
permasalahan hukum.
Di dalam perspektif sosiologi hukum, wilayah empiris, penegakan hukum
tidak sebagaimana yang digambarkan oleh pendekatan positivistik seperti yang
telah diulas diatas, hal ini karena dipengaruhi oleh permasalahan dilapangan
yang begitu kompleks sehingga dapat memunculkan alternatif-alternatif
jawaban lain atas suatu persoalan tersebut. Das sein dan das sollen adalah dua
hal yang mungkin jarang bisa mengalami titik temu. Diantara konseptual dan
realita terkadang berbanding terbalik sama sekali. Realitas dilapangan belum
tentu bisa diselesaikan secara sempurna seperti apa yang ada didalam kerangka
22
teori, namun secara substansial, dalam hukum yang paling penting bukanlah
apa yang terjadi tetapi apa yang seharusnya terjadi. Oleh karenanya dipaparkan
oleh Dr. Suparman Marzuki SH., M. Si, bahwa menerima Undang-undang atau
aturan hukum begitu saja tanpa mengamati kenyataan tentang bagaimana
sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum itu
dijalankan sama artinya dengan membuat mitos hukum22
, demikian juga
pendapat yang serupa menjelaskan bahwa penegakan hukum secara formal dan
rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan masyarakat, penegakan
hukum formil hanya akan membentuk anggapan dari para penegak hukum
bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah
dilaksanakan, tapi juah dari itu, keadilan yang diinginkan oleh seseorang
adalah keadilan substantif, bukan keadilan prosedural seperti apa yang tertulis
didalam undang-undang23
. Setidaknya, dapat diartikan hukum itu adalah
sebagai alat, dan tidak lebih, ia hanyalah sebagai cara untuk membahagiakan
masyarakat. Persoalan mengenai keberlakuan untuk merapkan hukum
dimasyarakat tentunya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya yang
terpenting yaitu manusianya. Hukum tidak lain hanya bersifat aturan semata
yang tentunya tidak bisa dijalankan tanpa membutuhkan bantuan dari manusia
sebagai pelaksana.
22Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan; Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM-UII,
Yogyakarta, 2011, hlmn 40 23Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, cet. III, Jakarta, 2008,
hlm. 10.
23
Bagir Manan, dalam pelaksanaan undang-undang mengemukakan bahwa
pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut Undang-undang, tapi juga harus
menggunakan asas-asas dan kaidah Undang-undang sebagai dasar untuk
menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu
negara yang berdaulat.24
Menurutnya, ketentuan hukum sejauh mungkin
bersifat akomodatif dengan budaya hukum masyarakat dan para pelaksana
hukum harus pula berdasar pada rasa keadilan masyarakat. Pada dasarnya,
sebuah keputusan hukum yang tidak berdasar pada rasa keadilan masyarakat
akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana hukum25
.
Penyelenggaraan penegakan hukum yang didasarkan pada faham
positivistik yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini kepolisian tentunya sebagai
pelaksana undang-undang mempunyai aturan dasar tersendiri dan juga prosedur
tetap yang dimiliki sebagai panduan mekanisme formil yang wajib diikuti.
Undang-undang kepolisian no. 22 tahun 2002 dan prosedur tetap yang dimiliki
oleh aparat kepolisian ini pada dasarnya jika ditela’ah lebih dalam, adalah
bertujuan untuk menjamin bekerjanya suatu kegiatan-kegiatan institusional atau
yang berkaitan dengan hukum secara lancar, mengurangi tingkat kesulitan
bekerjanya aparat kepolisian dalam menjalankan tugas, fungsi dan
wewenangnya.
24Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlmn 264. 25Bagir Manan, Kompas, 06 Mei 2001.
24
Berangkat dari undang-undang no. 10 tahun 2004 dan undang-undang no. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mana
didalamnya tersirat asas legalitas, Undang-undang ini yang dijadikan rujukan
bagi para penegak hukum, terutama kepolisian dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Penanganan perkara tindak pidana dirujuk dan diselesaikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk suatu
perkara pidana yang belum ada dasar hukumnya. Di dalam pasal 5 ayat (1)
huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diatur bahwa penyelidik
dalam arti disini adalah polisi menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana.26
Dengan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-undang tersebut,
sudah sangat memungkinkan bagi aparat kepolisian untuk menarik paksa suatu
permasalahan hukum untuk diproses. Demikian disebutkan didalam pasal 4, 6
(1), 7 (1), (2), dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang
penyelidik dan penyidik. Di dalam pasal 4 dinyatakan bahwa penyelidik adalah
setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 6 ayat (1) menerangkan
Penyidik adalah: a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia, b. Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang. Kemudian dijabarkan lagi didalam pasal 7 ayat (1) yaitu: Penyelidik
yang dimaksud didalam pasal 6 ayat (1) huruf (a) karena kewajibannya
mempunyai wewenang: a). Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
26Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
25
tentang adanya tindak pidana, b). Melakukan tindakan pertama pada saat
ditempat kejadian, c). Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka, d). Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, e). Pemeriksaan dan
penyitaan surat, f). Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g).
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagaimana tersangka atau
saksi, h). Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara, i). Mengadakan penghentian penyidikan, j).
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Pasal 7
ayat (2) menegaskan penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum, dan yang terakhir adalah pasal 7 ayat (3) yaitu: a). Pada tahap pertama
penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, b). Dalam hal penyidikan sudah
dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum.
Dasar-dasar hukum ini adalah merupakan dasar hukum bagi kepolisian
untuk menyelesaikan kewajibannya diwilayah litigasi. Namun disisi lain, selain
mengetahui akan kewenangan-kewenangan apa saja yang timbul atas amanah
undang-undang, dalam hal ini juga perlu kiranya untuk diungkap lebih jauh
tentang bagaimana fungsi kepolisian. Secara universal, kepolisian mempunyai
fungsi sebagai institusi eksekutif dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
26
kepada masyarakat, yang kemudian dapat diperjelas lagi didalamnya bahwa
pengembangannya yang dimaksud dengan Keamanan dan ketertiban
masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu
prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka
tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang
mengandung kemampuan dalam peran membina serta mengembangkan potensi
dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang
dapat meresahkan masyarakat. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan
yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Hukum tentunya tidak akan menjadi terlihat berwibawa apabila didalam
penerapannya masih tidak tegas atau bahkan tebang pilih. Pemberlakuan hukum
positif ditengah masyarakat haruslah tetap menjadi kewajiban. Falsafah
meskipun bumi ini runtuh, hukum harus tetap ditegakkan adalah falsafah yang
menegaskan betapa pentingnya hukum sebagai pondasi pengaturan untuk
mewujudkan keteraturan bagi masyarakat. Sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang ada, mengamanahkan untuk menjalankan peraturan hukum
yang semestinya, yang berarti bahwa mengutamakan pelaksanaan hukum formil
27
atau hukum perundang-undangan dalam setiap penyelesaian suatu
permasalahan hukum adalah merupakan kewajiban yang tidak bisa disimpangi,
kendati pasti terdapat tarik menarik antara hukum kebiasaan masyarakat adat
dan hukum positif namun hal ini dilakukan karena bukan hanya semata-mata
terjadinya unifikasi hukum ditengah masyarakat yang multikultural, tetapi juga
untuk menjamin asas kepastian hukum yang diberikan oleh negara selaku
pelindung dan pengayom masyarakat.
Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui
penegakkan hukum ini, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam penegakkan
hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (
Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian ( Gerechtigkeit
).27
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum harus
dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang
harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang (fiat justitia et
pereat mundus). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian
hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
27Html/ Blog Archive » Sudikno Mertokusumo, Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat
Penggal Kepala Manusia Suku Naulu.
28
Penegakan hukum adalah merupakan proses upaya untuk tegak dan
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata, sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk
penanggulangan kejahatan memang bukan merupakan satu-satunya harapan
untuk dapat menanggulangi dan menyelesaikan kejahatan secara tuntas. Dilihat
dari segi bentuk penyelesaian suatu konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu: a. Litigasi (peradilan), b. Non litigasi (alternatif dispute
resolution). Hal yang serupa juga diutarakan oleh D.Y Witanto SH didalam
bukunya, ia berpendapat, pada dasarnya penyelesaian konflik mengandung 2
(dua) prinsip yaitu, ajudikasi dan non ajudikasi.28
Di paparkan selanjutnya
bahwa, prinsip ajudikasi dikenal didalam sistem penyelesaian sengketa secara
litigasi dan arbitrase. Pada sistem penyelesaian sengketa tersebut para pihak
akan dihadapkan pada kewajiban untuk saling membuktikan bukti-bukti secara
legal yang akan dinilai berdasarkan asumsi-asumsi yuridis dan pada akhirnya
akan ditentukan hasil akhirnya dengan sebuah putusan. Mengacu kepada
pemaparan tersebut, dapat diketahui atas akan adanya salah satu pihak yang
kalah dan ada yang menang.
Sedangkan pada konsep penyelesaian non ajudikasi, para pihak yang
berkonflik akan diberikan ruang yang lebih luas untuk menyampaikan usulan-
usulan berdasarkan kepentingannya. Di dalam konsep non ajudikasi, para pihak
28D.Y Witanto SH, Hukum Acara Mediasi, CV. Alfabeta, Bandung, 2011, hlmn 6-7.
29
tidak diwajibkan untuk membandingkan alat bukti, bahkan dengan kesepakatan
bersama karena pada substansi konsep ini adalah untuk menemukan
kemenangan bersama dalam bentuk penyelesaian win-win solution. Untuk
penyelesaian suatu perkara, dikutip dari pendapat Gary Goodpaster yaitu setiap
masyarakat mempunyai berbagai macam cara untuk menyelesaikan suatu
konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki
konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat
dalam arti yang seluas-luasnya. Karena konsekuensi itu, maka diperlukan
penyaluran sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian
sengketa yang tepat untuk mereka.29
F. METODE PENELITIAN
Metode penulisan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Obyek Penelitian
Tradisi perang antar kelompok perguruan pencak silat di Madiun
2. Subyek Penelitian
a. Perguruan silat Tunas Muda Setia Hati Winongo dan Setia Hati Terate.
b. Kepolisian
3. Sumber Data
a. Data Primer
29Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi,terjemahan Nogar Simanjuntak, Elips, Jakarta,
1999, hlmn 12
30
Yaitu data yang diperoleh secara langsung pada lokasi penelitian yaitu
di Perguruan silat dan Kepolisian wilayah Kota Madiun.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Dalam hal ini
diperoleh beberapa literatur, hasil-hasil penelitian, peraturan
perundang-undangan serta buku-buku ilmiah.
c. Teknik Pengumpulan Data
1) Data Primer
i. Wawancara
Yaitu suatu tekhnik pengumpulan data dengan cara
mendapatkan keterangan atau informasi melalui proses
tanya jawab secara langsung dari responden, yaitu pihak-
pihak yang terkait langsung dengan obyek yang diteliti yaitu
Kepolisian Resort Kota Madiun, perguruan, tokoh
masyarakat, dan pakar akademisi. Jenis wawancara yang
akan dilakukan oleh penulis adalah wawancara bebas
terpimpin, yaitu dengan menggunakan catatan-catatan dan
31
kerangka-kerangka pertanyaan yang telah ditentukan pokok
permasalahannya.
2) Data Sekunder
Yaitu membaca dokumen-dokumen dan ketentuan-ketentuan yang
relevan dan mendukung dengan permasalahan penelitian.
d. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan
sosiologi hukum, yaitu pendekatan yang melihat dan menjelaskan
bagaimana prilaku dalam hukum dan bagaimana hukum (undang-
undang) dan bekerjanya apaat penegak hukum dalam masyarakat.
e. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang di
peroleh disajikan deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1). Data penelitian dikualifikasikan sesuai dengan permasalahan
penelitian
2). Hasil kualifikasi data selanjutnya disistematisasikan.
3). Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk
dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.