tradisi konflik antara kelompok perguruan silat …

32
TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM SKRIPSI Oleh : ZULI HENDRAWAN No. Mahasiswa : 04410474 Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS HUKUM YOGYAKARTA 2012

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

SKRIPSI

Oleh :

ZULI HENDRAWAN

No. Mahasiswa : 04410474

Program Studi : Ilmu Hukum

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

YOGYAKARTA

2012

Page 2: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masyarakat yang berkembang di Indonesia ini adalah masyarakat yang

bersifat multikultur, suatu masyarakat yang mempunyai keberanekaragaman

suku, budaya, agama dan karakter dengan perspektifnya masing-masing. Di

dalam keadaan bangsa yang multikultur ini tentunya tidaklah mudah dalam

mengupayakan dan mewujudkan menjadi bangsa yang selalu dapat hidup

berdampingan, selaras, serasi dan seimbang. Keberanekaragaman bangsa

Indonesia yang terkadung didalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika dapat kita

katakan sebagai satu kelebihan jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya

didunia. Keberanekaragaman tersebut akan memberikan dampak yang positif

bagi perkembangan terhadap lingkungan, atau bahkan akan menjadi salah satu

faktor penting pemicu terjadinya disintegrasi bangsa jika perbedaan itu tidak

dapat dikelola secara baik.

Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia adalah mahluk sosial atau sering

disebut sebagai zonpolitkon yang di dalam menjalankan aktivitasnya

membutuhkan sinergisitas antara manusia yang satu dengan manusia yang

lainnya dan upaya-upaya itu hanyalah semata-mata untuk menuju ke suatu

peradaban yang acap kali sering disebut sebagai kehidupan masyarakat yang

Page 3: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

2

madani. Namun demikian tidak juga hal ini kemudian mengesampingkan dan

membantahakan permasalahan yang lahir dari lingkungan itu tidak akan terjadi

dan setiap manusia tentunya tidak dapat hidup dengan aman dan tentram

apabila didalam kehidupannya selalu dipenuhi dengan konflik.

Realitas sosial adalah merupakan suatu kenyatan sejarah, antara kehendak

normatif dan realitas sosial terdapat suatu ketegangan yang diselesaikan dalam

perilaku konkret, sesuai atau tidak sesuai dengan ekspektasi lingkungan.

Disinilah lingkungan sekaligus menunjuk pada suatu budaya atau pun

kebiasaannya. Cara-cara hidup dan berinteraksi setiap lingkungan dengan

konsep pemahamannya pasti berbeda.

Dalam berbagai pandangan juga tidak dapat diklaim bahwa semua perilaku

yang diikuti oleh suatu kumpulan masyarakat itu pasti baik, karena jika kita

berbicara persoalan baik atau tidaknya sebuah nilai adalah tergantung dari segi

ruang dan waktu. Mungkin saat ini baik dan mungkin esok hari akan berubah

menjadi tidak baik untuk diterapkan. Oleh karena itu, berangkat dari

masyarakat, masyarakat juga mempunyai penilaian sendiri tentang apa yang

dianggapnya sebagai sebuah kebenaran dan masyarakat pun mempunyai daya

saring terhadap suatu perilaku masyarakatnya itu apakah benar sesuai dengan

lingkungannya ataukah tidak, yang jika didalam kutipan perkataan Ir. Soekarno

adalah kita tidak lagi akan membiarkan diri kita setjara patuh mengikuti tjara

Page 4: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

3

hidup jang akan membawa kita kepada kehantjuran kita sendiri1. Di dalam

buku ilmu sosial, Karl marx melihat seluruh struktur sebagai lapisan-lapisan

yang penuh dengan kontradiksi dan merupakan proses yang terus menerus

sebagai perubahan dialektika masyarakat.2 Dialektika-dialektika kehidupan

tersebut tetap hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat

itu sendiri, berkembang dan akan terus berubah dari bentuk yang satu ke bentuk

yang lain.

Bahwa manusia diciptakan dengan dianugerahi budi dan nurani, yang

memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan

mana yang buruk, yang akan juga mengarahkan dan membimbing sikap dan

prilaku dalam menjalani kehidupan. Dengan nuraninya itu, maka manusia

diberikan kebebasan untuk menentukan prilakunya, disamping itu manusia juga

dibekali kemampuan untuk menanggung semua resiko atas tindakan yang telah

ia lakukan. Kebebasan inilah yang kemudian dimaksud dengan hak asasi

manusia yang tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap kebebasan manusia,

maka pada hakikatnya adalah pengingkaran terhadap martabat manusia.

Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara

mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

1Cindy Adam, Bung Karno; Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1966,

hlmn 96-97. 2M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar; Teori Dan Konsep Ilmu Sosial, PT. Refika Aditama,

Bandung, 2008, hlmn 26.

Page 5: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

4

dengan menyandang dua aspek yaitu aspek individual dan aspek sosial. Oleh

karena itu kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Pandangan atas suatu dialektika sosial tentunya sangat memungkinkan

untuk dapat menyebabkan gesekan antar kepentingan dan pemahaman yang

berbeda, dan konflik adalah menggambarkan bahwa manusia tidak lepas

sosiobilitas, membutuhkan keberadaan orang lain, tetapi ia juga perlu

beraktivitas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada dilingkungan

dimana ia tinggal. Dinamika konflik tentunya akan menjadi suatu realitas yang

tidak mungkin terhindarkan, namun demikian tidak semua konflik juga dapat

kita simpulkan sebagai sesuatu yang sangat merugikan bagi yang terlibat atau

lingkungan masyarakat, hanya mungkin saja perlu disaring dan diminimalisir

konflik yang sekiranya kurang diperlukan.

Pertentangan diantara masyarakat sangat dimungkinkan pula untuk

memberikan pengaruh kepada perubahan sosial dan kebudayaan. Percikan-

percikan diantaranya adalah merupakan suatu indikasi awal ketidaksepakatan

antar pihak yang berpotensi terhadap perkembangan pemahaman masyarakat

disekitarnya. Dua atau lebih kebiasaan masyarakat tidak selalu dapat berjalan

bersamaan didalam sebuah interaksi. Kadangkala akan terjadi interaksi saling

tolak menolak. Keadaan semacam ini dinamakan dengan cultural animosity3,

sedangkan yang keadaan yang saling menerima disebut juga dengan

3Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlmn 282.

Page 6: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

5

demonstration effect atau disebut juga sebagai akulturasi jika dalam bahasa

antopologi budaya.4

Tujuan manusia yang hidup bardampingan secara harmonis dan berimbang

adalah merupakan impian setiap manusia. Konflik haruslah diakhiri dengan

suatu ketegasan dan proses hukum. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini

yang menghendaki keadaan dirinya dalam keadaan terancam, yang selalu di

selimuti oleh rasa takut atas tekanan psikologis, keselamatan diri dan keluarga,

harta, hak-hak anak dan hak-hak yang lainnya. Setiap orang tetap

menginginkan dirinya mendapatkan kebebasan dari rasa takut yang tercipta

sebagai resiko hidup bermasyarakat.

Maka dilihat dari perkembangan manusia, terjadinya hukum itu di mulai

dari pribadi manusia yang diberikan akal pikiran dan tingkahlaku. Perilaku

yang terus menerus di lakukan perorangan akan menimbulkan kebiasaan

pribadi. Apabila kebiasaan itu ditiru oleh orang lain maka ia juga akan

menjadi kebiasaan orang tersebut. Lambat laun diantara orang yang satu

dengan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan

kebiasaan itu maka akan menjadi adat dari masyarakat itu.5

Berlakunya aturan hukum dalam masyarakat tidak dengan sendirinya akan

membentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideal dari

keinginan luhur para pembentuk Undang-undang Dasar 1945. Keberadaan

4Ibid. 5Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Makmur Maju, Bandung, 2003, halmn

1

Page 7: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

6

berbagai macam aturan perundangan di dalam masyarakat secara kuantitas

tidak otomatis mewujudkan tata hubungan dan kehidupan masyarakat yang

berkeadilan. Perlu beberapa syarat penopang agar tata hubungan masyarakat

yang berkeadilan, selain dari pada faktor regulasi perundang-undangan

dibutuhkan juga peran serta elemen yang lainnya yang tidak kalah pentingnya,

yaitu peran serta masyarakat itu sendiri. Kesadaran dalam berhukum guna

terciptanya keteraturan adalah menjadi faktor utama dalam mewujudkannya

yang didalamnya terdapat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan.

Perbincangan mengenai hukum yang adil adalah tela’ah hukum yang

menyangkut muatan nilai, spirit, sukma dan pada gilirannya mengait dengan

etos penegakan hukumnya. Hukum tanpa spirit, akan menjadikan alat untuk

melegitimasikan penyalahgunaan kekuasaan dan membenarkan pemerkosaan

hak-hak warga masyarakatnya. Secara substansial, hukum tidak pernah lepas

dari struktur ruhaniyah masyarakat yang bersangkutan atau masyarakat yang

mendukung hukum tersebut. Karena, hukum mempunyai korelasi dengan

kebudayaan, struktur berfikir, dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian,

sifat, dan corak masyarakatnya6. Dan ditambahkan juga bahwa hukum adalah

suatu kehendak yang bersifat normatif, yang merupakan manifestasi ide-ide 7.

Pada wilayah kajian yang sosial budaya, hukum nasional pada hakikatnya

adalah merupakan pernyataan budaya bangsa. Artinya bahwa tujuan hukum

6 Universitas Islam Indonesia editing Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, Pustaka Pelajar

offset, Yogyakarta, 1997, halm ix 7Ibid, hlmn xii.

Page 8: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

7

nasional kita ini harus dilekatkan pada kebudayaan nasional sehingga sifat dan

bentuk hukum nasional kita ini dapat berjalan sesuai dengan karakter bangsa

ini. Persoalan titik singgung antara tingkah laku masyarakat dan hukum

nasional ini akan menjadi sangat menarik jika dikaitkan dengan realitas sosial

dewasa ini. Perlu ditekankan, pembangunan adalah merupakan fakta perubahan

sosial, yaitu suatu kenyataan yang dengan kehadirannya akan membawa

dampak dan pengaruh terhadap hukum kita ke depan. Perubahan yang sifatnya

menjangkau keberbagai dimensi kehidupan masyarakat kita saat ini, tidak

mustahil, akan dapat mempengaruhi tangkapan makna terhadap nilai dasar,

sukma, materi, dan wujud hukum nasional.

Sebuah fenomena yang sangat menarik, tepatnya di Kota Madiun, terdapat

suatu tradisi interaksi yang setiap bulan suro selalu dilakukan yaitu berupa

konflik antara anggota kelompok perguruan silat Setia Hati Terate dan Setia

Hati Tunas Muda Winongo yang berujung pada jatuhnya korban. Tradisi ini

konon katanya telah dilakukan secara turun temurun hingga saat ini tanpa

terputus. Tradisi ini konon katanya bahwa disetiap bulan suro, Kota Madiun

menjadi sangat mencekam dan jarang warga yang berani keluar rumah. Imbas

kerusakan fasilitas publik, rumah warga dan baku hantam adalah sudah menjadi

resiko yang lumrah dan tidak menjadi suatu beban yang harus diperjuangkan

untuk mencari dan mendapatkan ganti kerugian karena keadaan yang akan

Page 9: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

8

terjadi ini sudah dipahami oleh mayoritas bahkan oleh keseluruhan warga

masyarakat Madiun.

Kasus perkelahian antar perguruan silat8 yang di motori oleh

Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda

Winongo di Karesidenan Madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan

masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta

jatuhnya korban jiwa. Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan

klaim kebenaran tentang ideoligi Persaudaraan Setia Hati yang merambat

hampir ke seluruh Karisedanan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga

menimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat,

bukan hanya masa lalu tetapi hingga tahun 2011 ini tradisi itu masih terus

berjalan.

Keadaan penegakan hukum disana dikota tersebut dapat dikatakan

sangatlah lemah atau tidak jarang hukum yang berlaku tidak dapat

diaplikasikan disana sekali pun telah ada jatuh korban. Pihak Institusi

kepolisian pun mengalami kesulitan di dalam pengusutannya atau bahkan tidak

berani untuk melakukan apa-apa untuk mencegah atau menghentikan pertikaian

yang sudah menjadi sebuah tradisi itu.

Semangat jiwa muda pemuda memang adalah merupakan puncak klimaks

dimasa usia keremajaan. Generasi muda dalam masyarakat dan bangsa secara

singkat mempunyai peranan yang sangat krusial yaitu terkait dengan

8 detiksurabaya.com, tanggal 29/12/2008.

Page 10: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

9

pengembangan generasi muda, pengembangan wadah generasi muda, dan

mempunyai kewajiban dalam bentuk mengeluarkan suatu kebijakan nasional

atas suatu peran pemuda terhadap bangsa dan negara. Dalam hal peranan

kepemudaan, sudah menjadi kelaziman untuk meneruskan tradisi yaitu dengan

jalan mengikuti tradisi yang berlaku. Nilai-nilai kebenaran dalam kebudayaan

diwujudkan dalam tingkah lakunya masing-masing. Usaha penyesuaian diri

terhadap suatu tradisi ini mungkin dilakukan terhadap orang-orang atau

golongan-golongan yang sebenarnya justru ingin merubah suatu tradisi.9

Mengacu kepada apa yang telah dikutip diatas, maka sesungguhnya

pergolakan-pergolakan yang dilakukan itu akan melahirkan perubahan dalam

tradisi dan dapat terjadi perubahan dalam masyarakat. Paling tidak terdapat

empat faktor penting yang dapat mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu:

Keturunan, lingkungan tempat, tempat fisik kehidupan sosialnya, dan

lingkungan sosial dan budayanya. Dari faktor-faktor tersebut didalam interaksi

social akan melekat kepada diri setiap individu, bersatu padu membentuk

sebuah karakter. Oleh sebab itu, beberapa pernyataan penting tentang filosofi,

sejarah, aspek sosial dan aspek juridis harus menjadi dasar pertimbangan dalam

merancang sebuah kebijakan publik yang mana itu sesuai dengan filosofi

kehidupan masyarakat dimana konflik itu terjadi.

9 Dr. M. Munandar Soelaeman, opcit, hlmn 165.

Page 11: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

10

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kedudukan hukum tradisi konflik dalam hukum positif

Indonesia?

2. Apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam mengatasi tradisi konflik

antar perguruan silat tersebut?

3. Adakah upaya-upaya lain yang dilakukan untuk menghentikan tradisi

konflik tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari

penyusunan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh akan keberadaan hukum tradisi

tersebut.

2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang telah dilakukan oleh aparat

kepolisian dalam upaya penyelesaian masalah hukum.

3. Untuk mengetahui sudah sejauh manakah upaya yang telah dilakukan oleh

aparat kepolisian untuk menghentikan tradisi konflik tersebut.

Page 12: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

11

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Sebagai khazanah kepustakaan bagi para peminat studi tentang

perkembangan sosiologi hukum, khususnya di Indonesia.

2. Sebagai rujukan dalam pengkajian persoalan konflik sosial di tinjau dari

aspek sosiologi hukum.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam ilmu sosiologi hukum, terbentuknya hukum adalah berangkat dari

perilaku manusia dan tata nilai yang terkandung didalamnya. Didalam

berkehidupan bermasyarakat tentunya tidaklah lepas dari sebuah interaksi

sosial. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, perilaku manusia

dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu perilaku-perilaku mana saja yang

dapat dikatakan sebagai perilaku belaka dan mana saja yang dapat dikatakan

sebagai perilaku etis10

. Perilaku antar individu-individu ini didalam lingkungan

masyarakat adalah mempunyai tingkat pengaruh dalam skala tertentu. Interaksi

sosial antara pribadi-pribadi, kadang-kadang juga disebut juga sebagai

hubungan interpersonal yang berarti bahwa terciptanya hubungan-hubungan

tersebut dikarenakan oleh adanya faktor kebutuhan tertentu. Oleh karena

adanya suatu kebutuhan, maka terjadinya hubungan individu-individu pasti

10Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlmn 62-63.

Page 13: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

12

terjalin, yang apabila tidak terlakasana maka akan menghasilkan gangguan atau

keadaan yang tidak menyenangkan.

Pada setiap manusia, terdapat tiga kebutuhan interpersonal, yang

mencakup kebutuhan akaninklusif, kontrol, dan afeksi.11

Dari ketiga kebutuhan

tersebut dapat dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan kebutuhan inklusif

adalah merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan

hubungan yang memuaskan dengan pihak lain. Sedangkan kebutuhan akan

kontrol adalah suatu kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan

hubungan dengan pihak lain untuk memperoleh pengawasan atau kekuasaan.

Dan yang terakhir adalah kebutuhan afeksi adalah segala kebutuhan untuk

mengadakan serta mempertahankan hubungan dengan pihak lain untuk

memperoleh dan memberikan cinta, kasih sayang serta afeksi.

Dari masing-masing kebutuhan tersebut akan menghasilkan pola perilaku

tertentu. Kebutuhan inklusif akan menghasilkan perilaku yang cenderung

menyesuaikan diri dengan pihak lain, sehingga ada rasa kebersamaan atau

menjadi bagian dari suatu kelompok. Begitu juga dengan kebutuhan akan

kontrol, akan menghasilkan perilaku yang bersifat provokatif yang kemudian

berujung pada suatu penguasaan terhadap golongan yang ia jadikan sasaran.

Sedangkan kebutuhan afeksi cenderung akan menghasilkan perilaku seperti

saling mencintai dan menyayangi dan seterusnya.

11Ibid, hlmn 64.

Page 14: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

13

Sebuah keteraturan dalam hidup tentunya menjadi harapan yang selalu

dipanjatkan oleh setiap manusia. Berangkat dari interaksi-interaksi tersebut

diperlukan pedoman atau patokan, yang memberikan wadah bagi aneka

pandangan mengenai keteraturan yang semula merupakan pandangan pribadi.

Patokan tersebut itulah yang kemudian dinamakan sebagai norma atau kaidah.

Di dalam buku mengenal hukum suatu pengantar karya Prof. DR. Sudikno

Mertokusumo, jika ditinjau dari segi bentuknya, kaedah hukum ada yang

berbentuk tertulis dan ada juga yang berbentuk tidak tertulis12

. Kaedah hukum

tidak tertulis itu tumbuh di dalam dan bersama masyarakat secara spontan dan

mudah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Karena tidak

dituangkan di dalam bentuk tulisan, maka seringkali tidak mudah untuk

diketahui. Kaedah hukum tertulis yaitu kaedah hukum yang dituangkan ke

dalam bentuk tulisan, baik pada daun lontar, dalam bentuk undang-undang dan

sebagainya, lebih mudah untuk diketahui dan lebih menjamin kepastian hukum.

Selain dari segi bentuk, jika dilihat dari segi sifat, maka hukum tersebut

paling tidak ia mempunyai dua sifat, yaitu sifat imperatif a priori dan

fakultatif.13

Secara definisi, hukum yang bersifat imperatif adalah hukum yang

mana keberlakuannya bersifat apriori harus ditaati, bersifat mengikat atau

memaksa. Sedangkan hukum yang bersifat fakultatif adalah hukum yang di

dalam keberlakuannya tidak secara a priori bersifat mengikat. Kaedah hukum

12 Prof. DR. Sudikno Mertokusumo SH, Mengenal Hukum Suatu pengentar, Liberty, Yogyakarta,

hlmn 33. 13Ibid, hlmn 32

Page 15: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

14

fakultatif ini bersifat melangkapi atau bersifat tambahan saja dan yang menjadi

pembeda diantara ciri kedua sifat ini adalah terletak pada isinya, jika hukum itu

isinya adalah perintah dan larangan, maka hukum tersebut bersifat imperatif

dan apabila ditinjau dari isi hukumnya adalah merupakan perkenaan maka

hukum tersebut bersifat fakultatif.

Pada sisi empiris, suatu perilaku yang dilakukan secara terus menerus oleh

perorangan akan menimbulkan kebiasaan pribadi, begitu juga jika kebiasaan itu

ditiru dan dilakukan oleh orang lain, maka kebiasaan tersebut akan menjadi

kebiasaan yang melekat bagi orang tersebut. Apabila secara bertahap kebiasaan

tersebut kian hari kian banyak atau keseluruhan anggota masyarakat yang

mengikuti kebiasaan tersebut, maka lambat laun kebiasaan tersebut akan

berubah menjadi apa yang dinamakan dengan adat atau kebiasaan.

Berubahnya suatu kebiasaan pribadi seseorang kearah kebiasaan yang

diikuti oleh suatu masyarakat tidak berarti bahwa kebiasaan tersebut dapat kita

katakan sebagai hukum adat, tetapi masih dalam bentuk adat saja. Pendapat

yang demikian ini juga disampaikan oleh Soerjono Soekanto, sebuah interaksi

yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan pola-pola tertentu,

yang disebut dengan “cara”, dan cara-cara yang diterapkan tersebut dapat

menimbulkan kebiasaan.14

Jadi dengan singkat kata bahwa adat atau kebiasaan

adalah suatu perilaku yang dilakukan secara terus menerus oleh sekelompok

14Ibid, hlmn 67-68

Page 16: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

15

masyarakat dengan tujuan tertentu dan tidak bersanksi.15

Adat tersebut

hanyalah bersifat kebiasaan yang normatif, dan jika mencoba untuk

dibandingkan dengan pendapat-pendapat lain tentang apa itu adat maka, yang

dimaksud dengan tidak bersanksi dalam kutipan diatas adalah sanksi secara

institusional. Di dalam bukunya yang berjudul Beginselen En Stelsel Van Best

Adatrecht, Ter Haar merumuskan masyarakat hukum adat sebagai:

.........geordende groepen van blijkvend karakter met eigen bewind en eigen

materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: “........ kelompok-

kelompok teratur yang sifatnya ajek dan pemerintahan sendiri yang

memiliki benda-benda materiil maupun immateriil”)16

Adat tersebut akan berubah menjadi hukum adat ketika kelompok-

kelompok masyarakat tersebut lambat laun menjadikan kebiasaan tersebut

sebagai suatu hukum adat yang pemberlakuannya dipaksakan berserta sanksi

bagi yang semua anggota masyarakatnya yang melanggar17

. Pemaknaan akan

pengertian hukum adat ini diperkuat dengan kutipan yang dimaksud dengan

hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi,18

dan Soerjono Soekanto

dalam bukunya kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,

tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi

15Hilman Hadikusuma, opcit, halmn9 16Soerjono Soekanto, opcit (Hukum Adat Indonesia), hlmn 93. 17Hilman Hadikusuma, opcit, hlmn 1 18Hilman Hadikusuma, opcit, hlmn 9

Page 17: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

16

mempunyai akibat hukum, kompleks ini disebut hukum adat.19

Jadi dengan kata

lain dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah adat yang diterima dan harus

dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai macam

konsekuensi didalamnya, meskipun secara empiris cukup sulit bagi kita untuk

membedakan mana tradisi dan mana hukum adat.

Hukum adat atau hukum kebiasaan didalam perkembangannya, hukum

kebiasaan mengalami pasang surut eksistensinya di Negara Kesatuan Republik

Indonesia ini. Ada paling tidak diambil tujuh fase eksistensi hukum kebiasaan

dalam perkembangannya, yaitu fase pertama adalah keberlakuan hukum pada

zaman kompeni.

Pada masa ini hukum kebiasaan tidak begitu bebas dilaksanakan, hal ini

dibuktikan dengan adanya resolusi yang dikeluarkan oleh VOC pada tanggal 24

juni 1620 dibentuk college van schepenen (CvS) yaitu urusan yang berkaitan

dengan pemerintahan umum dan peradilan. Dalam tugasnya, badan peradilan

tersebut dinamakan Scheppenbank. Schepenbank itu mengadili perkara perdata

dan pidana dari para warga kota yang bukan budak, sedangkan untuk perkara

khusus pegawai VOC dan militer oleh ordinaris luyden van de gerecte in het

casteel, yang sejak 1626 disebut ordinaris Raad van justitie binnen het casteel

batavia (Rvj). Pada fase ini tidak semua hukum perdata yang dikehendaki

berlaku oleh VOC dapat dilaksanakan di Jayakarta. Misalnya sejak tanggal 4

maret 1621 pengurus VOC di Negeri Belanda telah menginstruksikan agar

19Soerjono Soekanto, opcit (Hukum Adat Indonesia), hlmn18.

Page 18: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

17

hukum sipil Belanda diterapkan didaerah-daerah yang dikuasai oleh VOC,

antara lain hukum waris tanpa wasiat, namun pada kenyataannnya hukum itu

tidak berlaku karena tidak sesuai dengan hukum waris yang berlaku

dimasyarakat, demikian juga yang dipaparkan didalam buku Asas-asas Hukum

Adat Bekal Pengantar karangan Imam Sudiyat. Di sana, pendapat yang serupa

dinyatakan juga bahwa dalam kenyataannya membuktikan hukum yang berlaku

bagi orang Indonesia asli di wilayah yang dikuasai oleh VOC pada umumnya

adalah hukum adat.20

Fase kedua, yaitu pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811). Setelah

masa VOC dibubarkan, dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam

pasal 86 dari Charter (peraturan Pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang

disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804.

Pasal itu menyebutkan “susunan pengadilan untuk golongan bumi putera akan

tetap tinggal menurut hukum dan adat mereka”. Namun dilain sisi hukum adat

juga tidak boleh diberlakukan apabila didalamnya bertentangan dengan

pemerintah kemudian dan pemerintah umum dari penguasa atau dengan asas-

asas keadilan serta kepatutan, atau pun bila karenanya dalam perkara-perkara

pidana kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara.

20Di kutip dari buku Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar karya Imam Sudiyat pada BAB V

tentang sejarah politik Hukum Adat, halaman 77. Di jelaskan bahwa pada awalnya memang penerapan

hukum bagi masyarakat jajahan VOC adalah hukum Belanda. Namun didalam kenyataannya

menyimpang dari prinsip karena tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat indonesia pada saat itu.

Page 19: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

18

Fase ketiga, yaitu pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816). Pada masa

ini, pada perkara antar orang Indonesia pada umumnya berlaku hukum adat,

namun dengan syarat, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip

keadilan kodrat yang universal dan diakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan

hakiki yang diakui. Menurutnya hukum adat haruslah dibedakan menjadi dua

bidang, yaitu hukum pidana dan perdata. Pada bidang hukum pidana, Raffles

mencela sanksi pidana yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman21

.

Di bidang hukum perdata juga demikian. Raffles menetapkan jika salah satu

orang yang bersengketa adalah orang eropa maka harus diadili di court of

justice yang menerapkan hukum eropa. Yang artinya secara tersirat dapat

disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat pada masa Raffles masih dipandang

lebih rendah jika dibandingkan dengan hukum eropa.

Fase ke-empat, yaitu pada masa tahun 1816-1848.Di masa ini adalah masa

transisi bagi Indonesia, maka selama itu juga masih diberlakukan hukum

Nederland sambil menunggu kodifikasi di Nederland berlaku dahulu disana.

Fase ke lima yaitu masa ditahun 1848-1928. Pada tahun 1838 hasil

kodifikasi di Nederland telah menjadi hukum positif disana. Artinya bahwa,

tahun ini adalah masanya penguasa Hindia-Belanda untuk memulai berusaha

membuat peraturan tetap, konkordant dengan kodifikasi di Nederland. namun

perlu disimpulkan bahwa pada masa ini asas unifikasi hukum telah bergulir dan

21Di dalam buku Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, mengemukakan bahwa pada masa itu,

Rafles mencela hukum adat yang bersifat pidana yang berbentuk bakar hidup-hidup dan pidana tikam

dengan menggunakan keris.

Page 20: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

19

nampak dalam sejarah politik hukum Belanda yang menyadari betapa

pentingnya arti hukum adat. Oleh karena itu, untuk dapat memberlakukan

kodifikasi tahun 1848, Wichers membuat ketentuan-ketentuan tentang

Penerapan dan Peralihan kepada Perundang-undangan baru. Yang terkenal

dengan singkatannya yaitu Ketentuan-ketentuan Penerapan atau Ketentuan-

ketentuan Peralihan. Pada saat kodifikasi Belanda tertanggal 1 Mei 1838,

hukum adat masih merupakan suatu gejala yang tidak dikenal dan oleh karena

itu tidak disukai. Pengetahuan hukum adat baru timbul dan berkembang pada

awal abad ke 20, yaitu dengan lahirnya Ilmu Hukum Adat kerena penelitian

yang dilakukan oleh Mr. Cornelis van Vollenhoven yang menemukan hukum

adat untuk pertama kali dan mengangkatnya kederajat ilmu.

Ditahun 1848 adalah merupakan tahun yang sangat penting bagi sejarah

perundang-undangan Indonesia. Oleh karena sejak tahun ini dimulai

pengkodifikasian hukum, pembukuan hukum kedalam kitab perundangan yang

disusun secara sistematis. Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata

yang berlaku untuk bangsa eropa dengan mempertahankan asas konkordansi.

Oleh karena ada pengecualian bagi golongan eropa, maka untuk

menyesuaikannya dengan keadaan di Indonesia, pada masa raja Belanda

membentuk panitia yang membuat beberapa rencana peraturan perundangan,

antara lain: a. Algemene Bepalingen an Wetgeving Voor Nederlands Indie

(AB) yaitu ketentuan-ketentuan umum tentang perundangan di Indonesia, b.

Page 21: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

20

Burgerlijk Wetboek (BW) atau kitab perundang-undangan hukum perdata, c.

Wetboek van Koophandel (WvK) atau kitab Undang-undang Hukum Dagang,

d. Regelement op de Rechterlijk organisatie en het beleid der justitie (RO) atau

peraturan susunan pengadilan dan kebijaksanaan justitie. Keempat kitab

Undang-undangtersebut kemudian diundangkan dimasukkan dalam Staatsblat

(lembar Negara) tahun 1847 Nr. 23. Kitab Undang-undang hukum pidana baru

dirancang dan muncul pada tahun 1915 yang bersifat unifikasi, dan baru

berlaku tiga tahun kemuadian yaitu pada tahun 1918.

Fase ke enam yaitu pada tahun 1928-1945. Pada fase ini kedudukan hukum

adat atau hukum kebiasaan hanya bersifat sebagai ruh dari hukum nasional.

Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah berdasarkan

hukum adat, demikian karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (hukum

rakyat) dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pada tanggal 18 Agustus 1945

PPPK mengadakan rapat yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta dengan ke-16

anggotanya, ketika itu diumumkan berlakunya Undang-undang Dasar 1945.

Dan yang terakhir yaitu fase ke tujuh, yaitu fase tahun 1945 sampai sekarang.

Fase terakhir yaitu pada fase pasca kemerdekaan, mengenai pengertian

hukum adat, simposium UUPA dan kedudukan Tanah Adat dewasa ini

memberikan penilaian, hukum adat didalam UUPA bukan lagi Hukum adat

yang selama ini dikenalkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar. Hukum adat

Page 22: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

21

itu yang oleh Saleh Adiwinata disebut hukum adat baru, atau hukum adat yang

sudah dihilangkan sifat daerahnya dan diberi sifat nasional.

Di dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, negara ini memang

mengakui akan keberadaan hukum-hukum yang hidup dimasyarakat, namun,

terkait dengan negara sebagai subyek hukum internasional yang

bertanggungjawab atas segala persoalan rakyatnya dan pemerintah sebagai

pelaksana konstitusi mempunyai ketentuan unifikasi hukum yang jelas, yaitu

suatu prosedur hukum tetap dan bersifat universal yang harus ditaati oleh

seluruh rakyat Indonesia, yaitu yang dikeluarkan oleh tata sistem pemerintahan

yang dibenarkan oleh perundang-undangan yang berlaku, demikianlah yang

sebenarnya dimaksudkan didalam aliran positivism yuridis dan pemberlakuan

hukum ini adalah baik sebagai pengaturan maupun penyelesai suatu

permasalahan hukum.

Di dalam perspektif sosiologi hukum, wilayah empiris, penegakan hukum

tidak sebagaimana yang digambarkan oleh pendekatan positivistik seperti yang

telah diulas diatas, hal ini karena dipengaruhi oleh permasalahan dilapangan

yang begitu kompleks sehingga dapat memunculkan alternatif-alternatif

jawaban lain atas suatu persoalan tersebut. Das sein dan das sollen adalah dua

hal yang mungkin jarang bisa mengalami titik temu. Diantara konseptual dan

realita terkadang berbanding terbalik sama sekali. Realitas dilapangan belum

tentu bisa diselesaikan secara sempurna seperti apa yang ada didalam kerangka

Page 23: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

22

teori, namun secara substansial, dalam hukum yang paling penting bukanlah

apa yang terjadi tetapi apa yang seharusnya terjadi. Oleh karenanya dipaparkan

oleh Dr. Suparman Marzuki SH., M. Si, bahwa menerima Undang-undang atau

aturan hukum begitu saja tanpa mengamati kenyataan tentang bagaimana

sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum itu

dijalankan sama artinya dengan membuat mitos hukum22

, demikian juga

pendapat yang serupa menjelaskan bahwa penegakan hukum secara formal dan

rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan masyarakat, penegakan

hukum formil hanya akan membentuk anggapan dari para penegak hukum

bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah

dilaksanakan, tapi juah dari itu, keadilan yang diinginkan oleh seseorang

adalah keadilan substantif, bukan keadilan prosedural seperti apa yang tertulis

didalam undang-undang23

. Setidaknya, dapat diartikan hukum itu adalah

sebagai alat, dan tidak lebih, ia hanyalah sebagai cara untuk membahagiakan

masyarakat. Persoalan mengenai keberlakuan untuk merapkan hukum

dimasyarakat tentunya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya yang

terpenting yaitu manusianya. Hukum tidak lain hanya bersifat aturan semata

yang tentunya tidak bisa dijalankan tanpa membutuhkan bantuan dari manusia

sebagai pelaksana.

22Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan; Politik Hukum HAM Era Reformasi, PUSHAM-UII,

Yogyakarta, 2011, hlmn 40 23Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, cet. III, Jakarta, 2008,

hlm. 10.

Page 24: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

23

Bagir Manan, dalam pelaksanaan undang-undang mengemukakan bahwa

pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut Undang-undang, tapi juga harus

menggunakan asas-asas dan kaidah Undang-undang sebagai dasar untuk

menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu

negara yang berdaulat.24

Menurutnya, ketentuan hukum sejauh mungkin

bersifat akomodatif dengan budaya hukum masyarakat dan para pelaksana

hukum harus pula berdasar pada rasa keadilan masyarakat. Pada dasarnya,

sebuah keputusan hukum yang tidak berdasar pada rasa keadilan masyarakat

akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana hukum25

.

Penyelenggaraan penegakan hukum yang didasarkan pada faham

positivistik yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini kepolisian tentunya sebagai

pelaksana undang-undang mempunyai aturan dasar tersendiri dan juga prosedur

tetap yang dimiliki sebagai panduan mekanisme formil yang wajib diikuti.

Undang-undang kepolisian no. 22 tahun 2002 dan prosedur tetap yang dimiliki

oleh aparat kepolisian ini pada dasarnya jika ditela’ah lebih dalam, adalah

bertujuan untuk menjamin bekerjanya suatu kegiatan-kegiatan institusional atau

yang berkaitan dengan hukum secara lancar, mengurangi tingkat kesulitan

bekerjanya aparat kepolisian dalam menjalankan tugas, fungsi dan

wewenangnya.

24Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlmn 264. 25Bagir Manan, Kompas, 06 Mei 2001.

Page 25: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

24

Berangkat dari undang-undang no. 10 tahun 2004 dan undang-undang no. 2

tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mana

didalamnya tersirat asas legalitas, Undang-undang ini yang dijadikan rujukan

bagi para penegak hukum, terutama kepolisian dalam melaksanakan tugas dan

fungsinya. Penanganan perkara tindak pidana dirujuk dan diselesaikan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk suatu

perkara pidana yang belum ada dasar hukumnya. Di dalam pasal 5 ayat (1)

huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diatur bahwa penyelidik

dalam arti disini adalah polisi menerima laporan atau pengaduan dari

seseorang tentang adanya tindak pidana.26

Dengan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-undang tersebut,

sudah sangat memungkinkan bagi aparat kepolisian untuk menarik paksa suatu

permasalahan hukum untuk diproses. Demikian disebutkan didalam pasal 4, 6

(1), 7 (1), (2), dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang

penyelidik dan penyidik. Di dalam pasal 4 dinyatakan bahwa penyelidik adalah

setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 6 ayat (1) menerangkan

Penyidik adalah: a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia, b. Pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-

undang. Kemudian dijabarkan lagi didalam pasal 7 ayat (1) yaitu: Penyelidik

yang dimaksud didalam pasal 6 ayat (1) huruf (a) karena kewajibannya

mempunyai wewenang: a). Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

26Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Page 26: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

25

tentang adanya tindak pidana, b). Melakukan tindakan pertama pada saat

ditempat kejadian, c). Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka, d). Melakukan

penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, e). Pemeriksaan dan

penyitaan surat, f). Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g).

Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagaimana tersangka atau

saksi, h). Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara, i). Mengadakan penghentian penyidikan, j).

Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Pasal 7

ayat (2) menegaskan penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut

umum, dan yang terakhir adalah pasal 7 ayat (3) yaitu: a). Pada tahap pertama

penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, b). Dalam hal penyidikan sudah

dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan

barang bukti kepada penuntut umum.

Dasar-dasar hukum ini adalah merupakan dasar hukum bagi kepolisian

untuk menyelesaikan kewajibannya diwilayah litigasi. Namun disisi lain, selain

mengetahui akan kewenangan-kewenangan apa saja yang timbul atas amanah

undang-undang, dalam hal ini juga perlu kiranya untuk diungkap lebih jauh

tentang bagaimana fungsi kepolisian. Secara universal, kepolisian mempunyai

fungsi sebagai institusi eksekutif dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

Page 27: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

26

kepada masyarakat, yang kemudian dapat diperjelas lagi didalamnya bahwa

pengembangannya yang dimaksud dengan Keamanan dan ketertiban

masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu

prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka

tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,

ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang

mengandung kemampuan dalam peran membina serta mengembangkan potensi

dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi

segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang

dapat meresahkan masyarakat. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan

yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib

dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat.

Hukum tentunya tidak akan menjadi terlihat berwibawa apabila didalam

penerapannya masih tidak tegas atau bahkan tebang pilih. Pemberlakuan hukum

positif ditengah masyarakat haruslah tetap menjadi kewajiban. Falsafah

meskipun bumi ini runtuh, hukum harus tetap ditegakkan adalah falsafah yang

menegaskan betapa pentingnya hukum sebagai pondasi pengaturan untuk

mewujudkan keteraturan bagi masyarakat. Sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang ada, mengamanahkan untuk menjalankan peraturan hukum

yang semestinya, yang berarti bahwa mengutamakan pelaksanaan hukum formil

Page 28: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

27

atau hukum perundang-undangan dalam setiap penyelesaian suatu

permasalahan hukum adalah merupakan kewajiban yang tidak bisa disimpangi,

kendati pasti terdapat tarik menarik antara hukum kebiasaan masyarakat adat

dan hukum positif namun hal ini dilakukan karena bukan hanya semata-mata

terjadinya unifikasi hukum ditengah masyarakat yang multikultural, tetapi juga

untuk menjamin asas kepastian hukum yang diberikan oleh negara selaku

pelindung dan pengayom masyarakat.

Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui

penegakkan hukum ini, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam penegakkan

hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (

Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian ( Gerechtigkeit

).27

Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum harus

dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya

hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang

harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang (fiat justitia et

pereat mundus). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian

hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang

berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan

dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

27Html/ Blog Archive » Sudikno Mertokusumo, Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat

Penggal Kepala Manusia Suku Naulu.

Page 29: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

28

Penegakan hukum adalah merupakan proses upaya untuk tegak dan

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata, sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk

penanggulangan kejahatan memang bukan merupakan satu-satunya harapan

untuk dapat menanggulangi dan menyelesaikan kejahatan secara tuntas. Dilihat

dari segi bentuk penyelesaian suatu konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua)

bagian, yaitu: a. Litigasi (peradilan), b. Non litigasi (alternatif dispute

resolution). Hal yang serupa juga diutarakan oleh D.Y Witanto SH didalam

bukunya, ia berpendapat, pada dasarnya penyelesaian konflik mengandung 2

(dua) prinsip yaitu, ajudikasi dan non ajudikasi.28

Di paparkan selanjutnya

bahwa, prinsip ajudikasi dikenal didalam sistem penyelesaian sengketa secara

litigasi dan arbitrase. Pada sistem penyelesaian sengketa tersebut para pihak

akan dihadapkan pada kewajiban untuk saling membuktikan bukti-bukti secara

legal yang akan dinilai berdasarkan asumsi-asumsi yuridis dan pada akhirnya

akan ditentukan hasil akhirnya dengan sebuah putusan. Mengacu kepada

pemaparan tersebut, dapat diketahui atas akan adanya salah satu pihak yang

kalah dan ada yang menang.

Sedangkan pada konsep penyelesaian non ajudikasi, para pihak yang

berkonflik akan diberikan ruang yang lebih luas untuk menyampaikan usulan-

usulan berdasarkan kepentingannya. Di dalam konsep non ajudikasi, para pihak

28D.Y Witanto SH, Hukum Acara Mediasi, CV. Alfabeta, Bandung, 2011, hlmn 6-7.

Page 30: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

29

tidak diwajibkan untuk membandingkan alat bukti, bahkan dengan kesepakatan

bersama karena pada substansi konsep ini adalah untuk menemukan

kemenangan bersama dalam bentuk penyelesaian win-win solution. Untuk

penyelesaian suatu perkara, dikutip dari pendapat Gary Goodpaster yaitu setiap

masyarakat mempunyai berbagai macam cara untuk menyelesaikan suatu

konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki

konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat

dalam arti yang seluas-luasnya. Karena konsekuensi itu, maka diperlukan

penyaluran sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian

sengketa yang tepat untuk mereka.29

F. METODE PENELITIAN

Metode penulisan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Obyek Penelitian

Tradisi perang antar kelompok perguruan pencak silat di Madiun

2. Subyek Penelitian

a. Perguruan silat Tunas Muda Setia Hati Winongo dan Setia Hati Terate.

b. Kepolisian

3. Sumber Data

a. Data Primer

29Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi,terjemahan Nogar Simanjuntak, Elips, Jakarta,

1999, hlmn 12

Page 31: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

30

Yaitu data yang diperoleh secara langsung pada lokasi penelitian yaitu

di Perguruan silat dan Kepolisian wilayah Kota Madiun.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Dalam hal ini

diperoleh beberapa literatur, hasil-hasil penelitian, peraturan

perundang-undangan serta buku-buku ilmiah.

c. Teknik Pengumpulan Data

1) Data Primer

i. Wawancara

Yaitu suatu tekhnik pengumpulan data dengan cara

mendapatkan keterangan atau informasi melalui proses

tanya jawab secara langsung dari responden, yaitu pihak-

pihak yang terkait langsung dengan obyek yang diteliti yaitu

Kepolisian Resort Kota Madiun, perguruan, tokoh

masyarakat, dan pakar akademisi. Jenis wawancara yang

akan dilakukan oleh penulis adalah wawancara bebas

terpimpin, yaitu dengan menggunakan catatan-catatan dan

Page 32: TRADISI KONFLIK ANTARA KELOMPOK PERGURUAN SILAT …

31

kerangka-kerangka pertanyaan yang telah ditentukan pokok

permasalahannya.

2) Data Sekunder

Yaitu membaca dokumen-dokumen dan ketentuan-ketentuan yang

relevan dan mendukung dengan permasalahan penelitian.

d. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan

sosiologi hukum, yaitu pendekatan yang melihat dan menjelaskan

bagaimana prilaku dalam hukum dan bagaimana hukum (undang-

undang) dan bekerjanya apaat penegak hukum dalam masyarakat.

e. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang di

peroleh disajikan deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1). Data penelitian dikualifikasikan sesuai dengan permasalahan

penelitian

2). Hasil kualifikasi data selanjutnya disistematisasikan.

3). Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk

dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.