tradisionalisme dan modern is me

19

Click here to load reader

Upload: nurkilat

Post on 02-Jul-2015

180 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Tradisionalisme dan Modernisme Islam

dalam Perspektif Sosiologis

Oleh Hammis Syafaq

Pendahuluan

Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini

sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah,

akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan

penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda.

Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat

kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan,

dan nasionalis-sekuler.1

Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan

filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran

ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan dan kondisi

sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.2

Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya,

akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat

perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang

berbeda-beda.3 Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa

kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri,

akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan

sosial,4 antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for

reality,5sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara

1 Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), 57.2 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.3 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), 11.4 Andrew Rippin, Muslim, 35.5 Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.

1

Page 2: Tradisionalisme Dan Modern is Me

folk variant dan scholarly veriant,6 yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam

bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim

sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang

masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa

budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara

kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal

di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya

praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang

pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam

Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat varian

masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang

toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis

(kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS,

Muhammadiyah-Nasionalis).7

Dari temuan itu muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang disebut sebagai

kelompok tradisionalis dan siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis?

Apa ciri-ciri dari masing-masing tipe tersebut?

Maka di bawah ini penulis akan mencoba memahami konsep tradisionalisme dan

modernisme Islam di Indonesia dari perspektif sosiologis.

1. Tradisionalisme Islam

Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah

sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot,

masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid

approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan

belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-

tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.8

6 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.7 Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).8 Ibid., 2.

2

Page 3: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan

dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme

dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui

penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.9

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu

yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas

dari segala bentuk yang telah mapan.10 Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis

adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta

kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta

praktik Islam.11

Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.

Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.12

Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah

bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah

diperaktekkan oleh komunitas Agama.13

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang

pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah

diperaktekkan oleh komunitas Muslim.14

Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang

teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku

keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik

madzhab empat.15

Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan

dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa

madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami

9 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.10 Andrew Rippin, Muslim, 6.11 Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.12 Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.13 Ibid.14 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.15 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.

3

Page 4: Tradisionalisme Dan Modern is Me

syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.16 Mereka

menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum

tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.17

Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari

ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk

dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang

disampaikan oleh al-Ghazali.18

Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham

yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut

madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai

perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis

menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk

Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang

menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam

melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.19

Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional

Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang

sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada

umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan

kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam

pedesaan.20

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,

secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.21 Meskipun untuk

saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan

tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.22

16 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.17 Ibid.18 Ibid.19 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad 125-126.20 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.21 Ibid.22 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.

4

Page 5: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan

terbesar23 bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di

Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari

(Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).24

Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka

Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan

menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta, sebab imam

madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti

itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai

dianggap mutlak, final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.25

2. Modernisme Islam

Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan

dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan

problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap

kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.26

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang

terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan

makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang

kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari

kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut

modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan

memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang

lain.

Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut

sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan

23 Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.24 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124.25 Deliar Noer, Gerakan Modern, 320-321.26 Ibid., 12.

5

Page 6: Tradisionalisme Dan Modern is Me

perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang

disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang

kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh

karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah

terlihat kuno.

Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan

perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20

tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari

penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari

kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana

mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah

bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk

bisa memahami ajaran agama secara mandiri.27

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan

manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai

dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap

muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata.

Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran

yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua

dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual

maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek

pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik

maupun geografis.

Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk

melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada

seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi

sepanjang masa.28

Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-

Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang

luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan 27 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.28 Ibid., 127.

6

Page 7: Tradisionalisme Dan Modern is Me

pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia

sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah,

PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.29

Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan

nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat

kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan

ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.30

Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah

kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah

fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada

akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program

yang paling utama.31

Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua

aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran

Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka

modernisme Islam memiliki pola pikir rasional,32 memiliki sikap untuk mengikuti model

Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus

modernisasi.33 Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi

ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang

bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh

wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang

memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam

kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan

ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan.

Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu

Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi kelompok

29 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.30 Ibid., 97.31 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996).32 Kacung Marijan, Quo Vadis NU.33 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.

7

Page 8: Tradisionalisme Dan Modern is Me

tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis.34

Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan

selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.35 Bahkan dalam sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah

termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah

tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al

Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok

tradisonalis.36

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut

Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang

mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih

perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi

masalah-masalah akidah.37

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa

dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern ketimbang

Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR

Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.38 Nurcholish Madjid,

tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-

modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik,

ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam

Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam di

Indonesia

Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional dengan

modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan beberapa praktek ritual

keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu sama lainnya.

34 Ibid., 125.35 Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.36 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.37 Ibid., 183.38 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.

8

Page 9: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan,

ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan,

dan mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk,

kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana

layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan,

tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji

dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak

qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah adzan, serta bentuk

masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar khotib yang lebih

modern dan tanpa tongkat.39

Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah

adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional

(dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan

ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif

dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,40 tidak menolak beberapa praktek

ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran

modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam

hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah

akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al

wujdân.41

Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang

sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi,

dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif,

menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai

sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan

berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.42

Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU

menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk

39 Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.40 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.41 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.42 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

9

Page 10: Tradisionalisme Dan Modern is Me

mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara

Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.43

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan

hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan

awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara

Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok

NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada

jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid,

sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.44

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab

kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir

lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.45 Sementara dalam pendidikan yang

dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih

sebagai ganti dari kitab kuning.46 Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu

interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa kesempatan

untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.47

Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi

bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki

kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam

kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak

dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama warga NU,

maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif. Demikian pula

sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan

sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa

berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.

Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang

Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan historis

yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan ini.

43 Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.44 Ibid.45 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 126.46 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.47 Andrew Rippin, Muslim, 127.

10

Page 11: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan

NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi lokalnya.

Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam kategori furu'iyat,

sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan

teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah.

Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan 'urf, sementara orang

Muhammadiyah menggapnya sebagai penyimpangan dari genuinitas Islam.

4. Gejala Sosial yang Terjadi dalam Masyarakat Muslim Indonesia

Dari paparan di atas, ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan

dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional

dan lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal,

apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi oleh

situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta kecenderungan doktrin

dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis bisa mempengaruhi

perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.

Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa

dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi

penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan

mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system

makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang

secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya. Perubahan sosial-ekonomi dapat

merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap

doktrin yang utuh itu.48

Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan

pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap

perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap

struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka yang

melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa pula terjadi.49

48 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 10.49 Ibid., 11.

11

Page 12: Tradisionalisme Dan Modern is Me

Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan

politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap

suatu ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu

mengalami perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya

(pendidikan), perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau

ekonomi yang dialaminya.

Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam

masyarakat petani, yang menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah

berdasarkan pada aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni

(kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai

Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam

neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).50

Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat

bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni.

Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.

Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat

Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian

mengenai masyarakat NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang

digambarkan oleh Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh

Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh

kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern.

50 Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

12