transfer kemiskinan antargenerasi: pengaruh nilai anak dan ... · menempuh pendidikan formal yang...
TRANSCRIPT
TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK
DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug,
Kabupaten Sukabumi)
AGUS SURACHMAN
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Transfer Kemiskinan
Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus
Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi) adalah karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Agus Surachman
NIM I24070026
ABSTRACT
AGUS SURACHMAN. Intergenerational Transfer of Poverty: Influence of Value of Children and Parental Investment Behavior on Child (Case in Pasawahan Village, Cicurug Subdistrict, District of Sukabumi). Under supervision of HARTOYO.
This research aimed to analyze intergenerational transfer of poverty in two generation of family and it interplay with value of children and parental investment behavior on child. Design of this research combined cross sectional and retrospective study; involved 60 families (as the second generation family) that dwelled in Pasawahan village with the last child was under five years old, split into two social economic status: poor (30 families) and not poor (30 families), base on BKKBN’s family welfare phasing. Both husband and wife were interviewed by using structure questionnaire to obtain the information of both generations of families. This research revealed that value of children affected parental investment on child, while both variables were affected by family social economic status. Parental investment on child was the determinant factor of children welfare in the future. This research estimated that chance of family with husband came from poor family was 38 times higher to be poor also. Some samples experienced status mobility from poor to be not poor, because of education factor (for husband) and also marital factor (for wife).
Keywords: intergenerational transfer of poverty, value of children, parental investment behavior on child
ABSTRAK
AGUS SURACHMAN. Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak dan perilaku investasi pada anak. Desain penelitian ini merupakan kombinasi dari cross sectional dan retrospective; melibatkan 60 keluarga (sebagai keluarga generasi kedua) yang tinggal di Desa Pasawahan dan memiliki anak terakhir berusia di bawah lima tahun, dikelompokan menjadi dua status sosial ekonomi: miskin (30 keluarga) dan tidak miskin (30 keluarga) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Suami dan istri diwawancarai dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk menggali informasi mengenai kedua generasi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak, sementara kedua variabel tersebut sama-sama dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Perilaku investasi pada anak merupakan faktor determinan yang menentukan kesejahteraan anak di masa depan. Hasil penelitian memperkirakan peluang keluarga dengan suami berasal dari keluarga miskin 38 kali lebih besar untuk miskin juga. Beberapa contoh dalam penelitian ini mengalami mobilitas status dari miskin menjadi tidak miskin, baik karena faktor pendidikan (suami) dan juga faktor perkawinan (istri). Kata kunci: transfer kemiskinan antar generasi, nilai anak, perilaku investasi pada anak
RINGKASAN AGUS SURACHMAN. Kajian Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga serta menganalisis pengaruh dari persepsi orang tua terkait nilai anak dan investasi orang tua pada anak terkait fenomena tersebut. Lebih lanjut tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis dinamika kemiskinan di antara dua generasi keluarga untuk melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga; 2) menganalisis hubungan antarvariabel transfer kemiskinan antargenerasi, persepsi orang tua terkait nilai anak, dan investasi orang tua pada anak; 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan investasi orang tua pada anak. Penelitian ini menggabungkan desain cross sectional dengan retrospective study. Penelitian di lakukan di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang dipilih secara purposive berdasarkan perbandingan keluarga miskin dan tidak miskin di wilayah tersebut. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia balita yang dipilih dengan teknik stratified random sampling dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga berdasarkan pentahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin). Dipilih 30 keluarga contoh berstatus miskin dan 30 keluarga contoh lainnya berstatus tidak miskin. Responden dalam penelitian ini adalah ayah dan ibu dari keluarga contoh yang diwawancarai untuk menggali informasi terkait informasi dari keluarga contoh dan keluarga asalnya masing-masing. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi dan ekonomi keluarga contoh serta keluarga asal ayah dan ibu, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi saat suami dan istri berusia dini, lama pendidikan formal suami dan istri, dan warisan yang diterima suami ayah dan ibu. Investasi orang tua terhadap anak pada generasi kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anaknya saat ini yang berusia di bawah lima tahun. Sementara itu, status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan menggunakan metode Family Life History yang telah dimodifikasi. Sedangkan data kesejahteraan keluarga contoh didapatkan dari data sekunder pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu), dan 0,889 (perilaku investasi ayah dan ibu pada anak). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata usia ayah dan ibu dalam penelitian ini berada pada rentang usia dewasa muda (antara 18-40 tahun). Rata-rata usia suami (M=35,7 tahun; sd=6,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia istri (M=32 tahun; sd=5,7 tahun), dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Secara umum, suami menempuh pendidikan formal yang lebih lama (M=9,7 tahun; sd=3,8 tahun) bila dibandingkan dengan istri (M=8,4 tahun; sd=2,7 tahun) dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Suami maupun istri yang saat ini tidak miskin menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan suami dan istri yang saat ini berstatus miskin (secara statistik berbeda nyata). Pekerjaan ayah pada keluarga contoh lebih didominasi oleh buruh pabrik (46,7%). Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan sejumlah industri di wilayah tempat penelitian dilakukan. Berbeda dengan orang tua pada keluarga asal ayah maupun ibu yang sebagian besar bekerja di bidang pertanian. Sementara itu, sebagian besar ibu (86,7%) tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Jumlah anak keluarga contoh adalah 2,4 anak (sd=1,3 anak), hampir setengah dari rata-rata jumlah anak keluarga asal ayah maupun ibu. Keluarga contoh yang berstatus miskin memiliki rata-rata jumlah anak
yang lebih rendah (M=2,2 anak; sd=1,3 anak) dibandingkan keluarga tidak miskin (M=2,6 anak; sd=1,4 anak). Namun secara statistik keduanya tidak berbeda nyata (p>0,05). Hampir setengah keluarga contoh berstatus miskin memiliki total pendapatan keluarga per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 sementara pada kelompok keluarga tidak miskin berada pada rentang Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00. Rata-rata pendapatan total per bulan kedua kelompok keluarga secara statistik berbeda nyata (p<0,01). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), sementara keluarga tidak miskin adalah Rp582.182,5 (sd=Rp321.579,40). Lebih dari setengah keluarga asal ayah dan ibu memiliki status kesejahteraan tidak miskin dengan persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya masing-masing 93,3% dan 86,7%). Begitu pula sebaliknya, ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%). Dilihat dari status dinamika yang dialami ayah dan ibu, sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sisanya, 3,3 persen ayah mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari kemiskinan. Secara umum anak dipersepsikan bernilai tinggi dalam aspek psikologis dan secara umum persepsi orang tua terkait nilai anak berada pada kategori sedang. Skor persepsi nilai anak ayah dan ibu dari keluarga berstatus miskin dan tidak miskin berbeda nyata. Selain itu, skor persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak secara statistik tidak berbeda dengan skor persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu. Dalam hal perilaku investasi terhadap anak, ibu secara umum memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi (M=48,4; sd= 4,1) bila dibandingkan dengan ayah (M=43,2; sd=4,8). Sebaran tertinggi skor perilaku investasi ayah dan ibu berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 78,3 persen untuk kelompok ayah dan 53,3 persen untuk kelompok ibu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa skor perilaku investasi ayah dan ibu secara statistik berbeda nyata. Dilihat dari skor perilaku investasi terhadapa anak, ayah dan ibu melakukan hal yang lebih baik bila dibandingkan orang tua masing-masing terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia balita. Hasil uji regresi menunjukkan beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Perilaku investasi ayah terhadap anak dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01), perilaku investasi orang tua terhadap ayah (p<0,1), perilaku investasi ibu terhadap anak (p<0,01), dan persepsi ayah terkait nilai anak (p<0,01). Sementara itu perilaku investasi ibu terhadap anak dipengaruhi oleh variabel status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01) dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Analisis dengan menggunakan uji regresi logistik menunjukkan terdapat tiga variabel yang secara statistik mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh. Ketiga variabel tersebut adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,1), lama pendidikan ayah (p<0,1), dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga miskin memiliki peluang 38 kali lebih besar untuk berstatus miskin juga saat ini dibandingkan keluaga contoh dengan ayah dari keluarga asal tidak miskin. Lebih lanjut, pendapatan keluarga contoh secara statistik dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,05) dan lama pendidikan ayah (p<0,01). Penelitian ini dilakukan dengan menggali informasi dari dua generasi keluarga yang ditanyakan kepada ayah dan ibu (generasi kedua). Hal tersebut bisa menimbulkan bias terkait penggalian informasi keluarga asal masing-masing. Selain itu, penelitian ini juga melakukan simplifikasi terkait status kesejahteraan keluarga asal yang dianggap konstan sepanjang waktu serta dalam hal transfer kapital antargenerasi dalam keluarga. Hal-hal tersebut yang menjadi keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK
DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug,
Kabupaten Sukabumi)
AGUS SURACHMAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Judul : Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)
Nama : Agus Surachman NIM : I24070026
Tanggal Lulus:
Disetujui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
PRAKATA
Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transfer
Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak
(Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi)” ini.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang
telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya:
1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
dan juga dosen pembimbing skripsi atas arahan, masukan, serta saran yang
diberikan dalam penyusunan skripsi
2. Ibu Alfiasari, S.P., M.Si. selaku dosen pemadu seminar serta Dr. Lilik Noor
Yuliati, MFSA dan Dr. Istiqlaliyah Muflikahti, M.Si. selaku dosen penguji
skripsi atas masukan untuk penyempurnaan skripsi
3. Dr. Ir. Diah Krisnatuti P., MS. atas bimbingan dan dorongan kepada penulis
selama menjadi dosen pembimbing akademik
4. Kader beserta jajaran pemerintahan Desa Pasawahan dan Kecamatan
Cicurug atas bantuan dan kerjasamanya
5. Yayasan Karya Salemba Empat beserta donatur untuk bantuan beasiswa dan
dana penelitian sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan studi dan
skripsi ini, serta pihak Eka Tjipta Foundation untuk bantuan beasiswa bagi
penulis
6. Bapak, Ibu (almarhum), Teteh, Aa, dan seluruh keluarga atas doa serta
dukungan yang tak pernah terhenti untuk penulis
7. Teman-teman IKK 44 atas kebersamaan yang telah dibangun selama lebih
dari tiga tahun, terima kasih karena telah membangun lingkungan yang
bersahabat dan saling mendukung; teman-teman pondok de Netto (Panji, Zul,
dan Heriana) atas bantuan dan dukungan, juga kepada Bapak Suratman
beserta keluarga untuk segala kemurahan hatinya bagi penulis; teman-teman
di Koran Kampus IPB, Himaiko, Forces, grantee IELSP batch 7 University of
Arizona untuk semua kebersamaan dan pengalaman luar biasa dalam rangka
bersama-sama mengembangkan diri
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
menantikan kritik serta saran untuk perbaikan ke arah yang lebih baik.
Bogor, Desember 2011
Penulis
17
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 Rumusan Masalah ................................................................................ 3 Tujuan ................................................................................................... 4 Kegunaan ............................................................................................. 5 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7 Kemiskinan ........................................................................................... 7 Nilai Anak ............................................................................................. 14 Investasi Orang Tua pada Anak ............................................................ 17 Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Penelitian Empiris ................. 21 KERANGKA PENELITIAN ........................................................................... 23 METODE PENELITIAN ................................................................................ 27
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ................................................. 27 Contoh dan Metode Penarikan Contoh ................................................. 27 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 28 Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 29 Definisi Operasional ............................................................................. 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 37 Hasil ...................................................................................................... 37 Pembahasan ......................................................................................... 77 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 87 Simpulan ............................................................................................... 87 Saran .................................................................................................... 87 DATAR PUSTAKA ....................................................................................... 89 LAMPIRAN .................................................................................................. 95 Kuisioner Penelitian .............................................................................. 97 Riwayat Hidup ....................................................................................... 101
18
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS ...................... 10
2 Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa di Kecamatan Cicurug ......................................................................... 38
3 Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ............................................................ 39
4 Sebaran lama pendidikan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ............................................................ 40
5 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ....................................................................... 41
6 Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua pada keluarga asal .............................................................................. 42
7 Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ........................................................................... 42
8 Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ...................................................... 43
9 Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ............ 44
10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 45
11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh ............. 46
12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................... 47
13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................... 47
14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta status kesejahteraan keluarga contoh ................................................. 48
15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 49
16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan saat ini .................................. 50
17 Persentase status kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu ................................ 51
18 Sebaran lama pendidikan formal contoh berdasarkan status dinamika kemiskinan ........................................................................... 52
19 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan status kesejahteraan keluarga ....................................................................... 53
20 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan dinamika kemiskinan yang dialami ..................................................................... 54
21 Sebaran contoh berdaarkan kategori skor nilai anak per dimensi
19
dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 55
22 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak keseluruhan dan status kesejahteraan keluarga contoh .................................................................................. 56
23 Sebaran contoh berdasarkan persepsi orang tua mengenai nilai Ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh ................... 56
24 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta persepsi ayah dan ibu mengenai nilia anak ............................................................................ 57
25 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak dan status dinamika kemiskinan ............................. 58
26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua Terkait nilai ayah dan ibu serta status dinamika kemiskinan contoh .... 59
27 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi untuk tiap dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh ...................... 59
28 Sebaran perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak Berdasarkan status kesejahteraan ...................................................... 60
29 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh .................................................................................. 61
30 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak ................................................. 62
31 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status dinamika kemiskinan ................................................................ 62
32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu dan status dinamika kemiskinan ...... 63
33 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ayah, persepsi orang tua terkait nilai ayah, dan perilaku investasi orang tua terhadap ayah ..................................................................... 64
34 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ibu, persepsi orang tua terkait nilai ibu, dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu ........................................................................................ 65
35 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga contoh, persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak, dan perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak ................................................................ 67
36 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal dan keluarga contoh, nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada dua generasi keluarga ................................................................ 70
37 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak ........................ 72
38 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak ........................... 74
20
39 Ringkasan analisis regresi logistik untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh ................................... 75
40 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan keluarga .................................................. 76
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Perangkap kemiskinan ........................................................................ 11
2 Alur transfer kemiskinan antar generasi ............................................... 13
3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya Dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak ............................ 16
4 Kerangka berpikir penelitian ................................................................ 25
5 Skema cara penarikan contoh .............................................................. 28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Daftar pertanyaan kuisioner ................................................................ 94
2 Riwayat hidup .................................................................................... 101
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan dianggap sebagai permasalahan sosial dan ekonomi yang
paling sulit untuk diselesaikan pada abad ini (Wagle 2008). Sekitar 320 hingga
433 juta penduduk dunia terjebak dalam perangkap kemiskinan (CPRC 2008).
Mereka mengalami kemiskinan kronis (chronic poverty), yaitu suatu deprivasi
untuk jangka waktu yang panjang, bahkan seringkali seumur hidup mereka
(Moore 2005).
Masalah kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang mendapat
prioritas utama di Indonesia. Untuk memenuhi target yang tercantum dalam
Millenium Declaration, Indonesia dituntut untuk mengurangi setengah dari angka
kemiskinan pada tahun 1990 (sekitar 15%) menjadi sekitar 7,5 persen pada
tahun 2015. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia
adalah sekitar 31,02 juta penduduk (13,33%), masih jauh dari target yang harus
dicapai.
Angka kemiskinan pada tahun 2010 merupakan yang terendah sejak
2004. Walaupun terjadi penurunan sejak 2006, namun angka penduduk miskin
masih tergolong tinggi. Terlebih bila jumlah penduduk miskin dihitung dengan
menggunakan standar kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia
(penghasilan per kapita per hari minimal $2), angkanya akan semakin besar yaitu
42 persen (World Bank 2006). Hal tersebut disebabkan oleh besarnya proporsi
penduduk Indonesia yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.
Penelitian Widyanti et al. (2009) mengenai dinamika kemiskinan di
Indonesia dengan menggunakan data panel IFLS (Indonesian Family Life
Survey) dari tahun 1993 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa 14 persen
rumah tangga yang menjadi sampel mengalami kemiskinan kronis (selalu
miskin). Sementara itu hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) memperlihatkan bahwa selama periode Maret 2006 hingga Maret
2007, jumlah penduduk Indonesia yang selalu miskin adalah sebesar 18,6 juta
orang (Urip 2008). Hal tersebut mengindikasikan proporsi penduduk Indonesia
yang mengalami kemiskinan kronis tergolong tinggi.
Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin kronis,
memiliki kemungkinan 35 persen lebih tinggi untuk tetap miskin saat dewasa
dibandingkan anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak
2
miskin kronis (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan kronis menyebabkan individu
dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sehingga investasi
sumberdaya manusia yang dilakukan kurang. Kemiskinan tersebut akhirnya
diturunkan kepada generasi selanjutnya karena rendahnya kualitas sumberdaya
manusia yang dihasilkan dalam keluarga pada generasi berikutnya (CPRC
2008).
Investasi terhadap sumberdaya manusia, terutama dalam hal pendidikan,
akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (Schultz 1981). Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan
(necessary condition) bagi pengurangan angka kemiskinan (Siregar 2006).
Selain itu, investasi terhadap sumberdaya manusia juga dapat menurunkan
ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga berpotensi untuk menurunkan
tingkat kemiskinan (Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007). Dengan demikian,
investasi sumberdaya manusia merupakan salah satu determinan tingkat
kesejahteraan.
Hasil penelitian Cho (2005) terkait program pengentasan kemiskinan
Progressa di Meksiko menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan rata-
rata lama sekolah dan akumulasi sumberdaya manusia sehingga meningkatkan
pendapatan seumur hidup sebesar 12 persen. Secara makro, tingkat pendidikan
penduduk yang semakin tinggi terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat
kemiskinan (Siregar & Widyanti 2008; Chaudry et al. 2010). Bukti empiris
tersebut memperlihatkan bahwa akumulasi modal sosial (human capital) yang
lebih besar, terutama pendidikan, berdampak pada peningkatan penghasilan
sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan.
Penelitian Leibowitz (1982) dan Hartoyo (1998) memperlihatkan
pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas individu melalui
investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Keluarga, dalam hal ini orang
tua, termotivasi untuk melakukan investasi terhadap anak mereka melalui
sumberdaya yang dimilikinya dengan harapan anak-anak tersebut akan menjadi
lebih sukses di masa depan (Hample 2010).
Investasi orang tua terhadap anak dalam keluarga merupakan suatu hal
yang bersifat krusial, terutama pada saat usia dini. Hal tersebut berkaitan dengan
peran investasi sumberdaya manusia sebagai salah satu determinan tingkat
kesejahteraan individu di masa depan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
akibat kurangnya investasi akan menyebabkan individu terperangkap dalam
3
kemiskinan. Perangkap kemiskinan tersebut seringkali menyebabkan adanya
transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku investasi orang tua
terhadap anak pada dua generasi keluarga dan hubungannya dengan
kemiskinan keluarga. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh investasi
sumberdaya manusia terhadap transfer kemiskinan antargenerasi dalam
keluarga.
Rumusan Masalah
Data BPS pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa 41,67 persen kepala
rumah tangga miskin di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD,
diikuti oleh tamat SD sebesar 38,36 persen (Rusastra & Napitupulu 2008). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa angka partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga miskin
lebih rendah dari anak-anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, baik pada
tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sebaliknya, angka
putus sekolah anak-anak dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan anak-
anak dari keluarga tidak miskin untuk kedua jenjang pendidikan tersebut.
Fenomena tersebut menunjukkan dua hal penting; pertama, kualitas
sumberdaya manusia sangat menentukan status sosial ekonomi, salah satunya
dilihat dari tingkat pendidikan; kedua, kesadaran pendudukan miskin untuk
memperbaiki nasib keturunannya melalui investasi sumberdaya manusia
(misalnya di bidang pendidikan) lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok
tidak miskin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai nilai seorang
anak belum dipahami sepenuhnya oleh lapisan masyarakat berpenghasilan
rendah dan miskin.
Ciri yang menonjol dari keluarga miskin adalah jumlah anak yang banyak
(ukuran keluarga yang besar), karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi)
melainkan sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan
keluarga (Rusastra & Napitupulu 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian
Puspitawati et al. (2008) di Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa
55,7 persen orang tua atau wali menyetujui bahwa anak adalah tenaga kerja
keluarga. Akibatnya orang tua cenderung kurang mementingkan pendidikan anak
dan memilih untuk menjadikannya sebagai pekerja untuk membantu
perekonomian keluarga (Puspitawati et al. 2009).
4
Orang tua yang mendapatkan sedikit investasi dari orang tuanya –
terutama dalam hal pendidikan – kurang termotivasi untuk melakukan investasi
pada anaknya. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Puspitawati et al.
lainnya yang memperlihatkan bahwa sekitar 62,9 persen ayah dan 64,1 persen
ibu dengan anak yang mengalami drop out dari sekolah mempunyai tingkat
pendidikan sampai dengan tamat SD. Didukung dengan beberapa hasil
penelitian lain (misal Hartoyo et al. 2003; Simanjuntak 2010) yang
memperlihatkan rendahnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk investasi
terhadap anak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan.
Investasi sumberdaya manusia, terutama yang dilakukan oleh keluarga
telah terbukti menjadi determinan tingkat kesejahteraan dan dapat mengurangi
tingkat kemiskinan (Cho 2005; Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007; Sitepu
2007; Siregar & Wahyuniarti 2008; Chaudry et al. 2010). Kurangnya investasi
sumberdaya manusia berpotensi menyebabkan individu dan keluarga terjebak
dalam lingkaran kemiskinan. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam
keluarga miskin cenderung akan tumbuh menjadi individu yang juga miskin saat
dewasa. Inilah gambaran transfer kemiskinan yang terjadi antargenerasi dalam
keluarga.
Berkaca pada fakta-fakta tersebut, penelitian ini berupaya untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah terjadi transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga yang
dilihat dari dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga?
2. Adakah hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua
generasi keluarga dengan nilai anak serta perilaku investasi orang tua
pada anak, serta adakah hubungan antara persepsi orang tua tentang
nilai anak dengan perilaku investasi orang tua pada anak pada dua
generasi keluarga?
3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga
dan perilaku investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan
interaksi dua generasi keluarga?
Tujuan
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer
kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga, serta pengaruh nilai anak
5
dan investasi pada anak terhadap transfer kemiskinan tersebut. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga untuk
melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga,
2. Menganalisis hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada
dua generasi keluarga dengan nilai anak, serta perilaku investasi orang
tua pada anak,
3. Menganalisis hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak
dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi
keluarga,
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan
keluarga dan investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan
interaksi dua generasi keluarga.
Kegunaan
Dengan dilakukannya penelitian mengenai transfer kemiskinan
antargenerasi pada dua generasi keluarga serta keterkaitannya dengan nilai
anak dan investasi orang tua pada anak, diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan keilmuan di bidang ekonomi keluarga,
terutama berkaitan dengan pembahasan terkait masalah kemiskinan dan
investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan
untuk perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan
Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar
makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut
Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam
miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk
dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.
Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi
yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf
hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk
kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko
kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri
yang kurang) (Syafrian 2009).
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di
Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud
yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya
produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan
kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi
tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan
bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak
aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006).
Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),
kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup
kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun
perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin
dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka
(Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu
permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi
kehidupan.
Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah
konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2)
ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadap situasi darurat (state of
8
emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation)
baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan
enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan
perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5)
kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006).
Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1) rata-
rata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja,
dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan
bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal),
setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada
di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5)
kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan
kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum,
pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.
Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab
terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang
menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan
dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi
sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua
melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted
opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan
dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih
relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota
dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan.
Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh
kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view).
Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak
pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan
kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin
(terkait sikap dan karakter mereka).
Standar Kemiskinan
Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang
dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa
konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka
9
kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum
needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008).
Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar
penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis
kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk
miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan
nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan
makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang
dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100
kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah
nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain
makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya
(Urip 2008).
Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan
dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan
jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang
merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller
2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar
kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di
bawah $2 per hari.
Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan
terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu
keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai
hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar
manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang
berkebalikan dengan kemiskinan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap
menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera
tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus.
Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera
adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan
sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial.
Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan,
digunakan indikator kesejahteraan keluarga (IKS). Definisi keluarga sejahtera
10
menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1.
Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti
2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka
keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga
sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada
tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun
juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan,
dan makanan yang bergizi.
Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan
yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran
subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah
kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan
dengan cepat dapat mengklasifikasikan keluarga miskin. Namun, IKS
memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis
seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).
Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS
Tahap Definisi
Pra KS Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
KS I Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
KS II Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya.
KS III Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.
KS Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.
Sumber: BKKBN (2004)
Kemiskinan Kronis
Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty)
dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan
tersebut. Istilah kemiskinan kronis digunakan untuk menggambarkan kemiskinan
11
yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang – bertahun-
tahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu
atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam
perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga
mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok
yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi,
mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan
termarjinalkan secara sosial politik.
Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan
disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan
(Dharmawan et al. 2010). Rendahnya pendapatan penduduk miskin
menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan
dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada
rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya
tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada
rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya
kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan
pendapatan. Fenomena tersebut seringkali disebut sebagai perangkap
kemiskinan (Gambar 1).
Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)
Dinamika Kemiskinan
Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan
tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang
Penduduk miskin
pendapatan rendah
Daya beli rendah Rendahnya kualitas: Pangan
Kesehatan Perumahan/ lingkungan
Pendidikan
Status kesehatan dan gizi rendah
Morbiditas dan mortalitas tinggi
Partisipasi pendidikan rendah
Absensi meningkat
Kecerdasan dan keterampilan rendah
Produktivitas masyarakat dan Negara rendah
Prestasi sekolah rendah
12
dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh
kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga,
hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika
kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke
dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara
(transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al.
2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status
dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin
kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of
poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah
miskin (non-poor).
Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan
dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu
(intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk
menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga
bisa diamati dinamika diantara keduanya. Pembagian status dinamika
kemiskinan berdasakan Moore (2005) dianggap lebih tepat untuk
menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan
ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi
keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan.
Transfer Kemiskinan antar Generasi
Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya
sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif
yang mempengaruhi kemungkinan seorang individu untuk mengalami
kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk
memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of
poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara
fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang
berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital
(human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan
natural capital) (Moore 2005).
13
Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat
sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting
dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah:
1. Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga
dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan
dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan
pasar.
2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua
kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait
dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟,
misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya.
3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami
dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer,
dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital
(manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan
lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan
multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit.
4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah
atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.
Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)
Hal-hal yang ditransfer antargenerasi, sehingga kurangnya atau
ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari
modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau
lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian
selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi
investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan
Orang tua miskin Dewasa miskin
Anak miskin
Anak
Orang tua tidak miskin
Dewasa tidak misin
Anak Tidak miskin
Life course effect Transfer kapital
14
sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan
dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001).
Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan,
keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu
yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi
(OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari
individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada
satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan
penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada
dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang
menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial.
Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988)
adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya
yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material
keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi.
Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui
pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial
dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di
suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah
menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos
dari modal material (Moore 2001).
Nilai Anak
Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan
objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau
berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna
(utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan
penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988)
menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap
berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan
keberlanjutan seluruh keputusan dan tindakan.
15
Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan
bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang
tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai
anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan
normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas.
Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi
psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak
dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai
refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam
motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi
orang tua (Sam 2001).
Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki
tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga
tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan
untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia
yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya
yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas,
salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik,
dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak.
Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi,
yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai
sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak
tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan,
kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang
orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai
sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang
dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial
dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan).
Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki
anak secara ekonomi.
Transfer nilai anak antargenerasi
Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi
menjadi suatu mekanisme utama untuk keberlanjutan suatu komunitas. Lebih
16
lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai
dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan
enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya
dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini
pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.
Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan
perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)
Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan
bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi
terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang
diharapkan pada diri anak. Lebih lanjut Kuczynski et al. dalam Trommsdroff
(2002) menjelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada satu
Variabel personal
Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
- Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi
Variabel personal
Variabel hubungan
Generasi I
Generasi II Variabel personal
Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
- Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi
Generasi III
Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
- Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi
Variabel hubungan
Variabel hubungan
17
generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-
masing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi
selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil
dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak
pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu).
Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang tua-
anak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), anak (ayah dan
ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang
sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut
diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat
dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang
anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff
2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi
dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak.
Investasi Orang Tua pada Anak
Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah
untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan
melalui investasi sumberdaya manusia.
Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal
manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu
cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak
sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman
1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang
signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara
sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang
menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu
akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti
halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi
besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan
institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia.
Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai
segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumberdaya keluarga yang bertujuan untuk
18
meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang
produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap
anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human
capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk
berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal
selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak.
Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa
besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu
yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas
modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas
yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat
dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki
produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak
(Hartoyo & Hastuti 2003).
Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua
pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara
kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas
dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental
care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan
intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya
digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a)
aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas
bermain dan companionship seperti bermain aktif dan pasif serta aktivitas waktu
luang lainnya bersama anak, (c) aktivitas terkait prestasi seperti menemani
belajar, mengerjakan tugas, membaca bersama, dan aktivitas edukatif lainnya,
serta (d) aktivitas sosial seperti mengunjungi tetangga, pembicaraan keluarga,
aktivitas religius, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya (Stafferd &
Yeung 2005 dalam Bonke & Andersen 2008).
Pengeluaran Orang tua untuk Investasi pada Anak
Investasi terhadap anak meliputi waktu yang dimiliki orang tua (parental
time) dan pengeluaran yang dilakukan orang tua (parental expenditures) baik
berupa barang ataupun jasa yang digunakan oleh anak. Pengeluaran dalam
bentuk barang dan jasa yang dikonsumsi oleh anak meliputi perawatan
19
kesehatan, makanan yang sehat, pendidikan, pakaian anak, mainan anak, dan
lain sebagainya (Bryant & Zick 2006).
Hasil penelitian Haveman dan Wolfe (1995) memperkirakan bahwa orang
tua di Amerika Serikat mengeluarkan setiap tahunnya $7.579 per satu anak
berusia antara 0 hingga 18 tahun (berdasarkan dolar tahun 1992) untuk
kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, dan barang serta jasa lainnya.
Temuan Shukul (2007) di India menunjukkan bahwa orang tua menghabiskan
rata-rata Rs12,939 per anak tiap tahun untuk biaya pendidikan sebagai bentuk
investasi pada anak. Temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH
di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa
sekitar 55,3% dana bantuan digunakan untuk keperluan pendidikan, 15,5% untuk
kebutuhan makanan, dan hanya 0.5% yang digunakan untuk keperluan
kesehatan. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2009) di Kabupaten Indramayu
mengkalkulasikan bahwa rata-rata pengeluaran orang tua untuk pendidikan
adalah sebesar Rp260.962,33 per bulan atau sekitar Rp3.131.547,90 per tahun.
Investasi Waktu Orang tua pada Anak
Menurut Guhardja et al. (1989) hubungan alokasi waktu rumah tangga
dengan lingkungan dipengaruhi oleh empat sistem, yaitu sistem ekonomi, sistem
politik, sistem teknologi, dan sistem sosial budaya. Terdapat tiga kategori
penggunaan waktu rumah tangga, yaitu: (a) waktu untuk aktivitas pasar, baik
untuk upah maupun usaha sendiri, (b) waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dan
(c) waktu santai.
Investasi waktu orang tua pada anak bukan hanya meliputi kegiatan
merawat anak yang utama seperti memberi makan, memandikan, memakaikan
baju, mengajarkan membaca, dan bermain bersama anak. Hal tersebut juga
meliputi kegiatan merawat anak sekunder seperti menjaga anak sambil
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam kegiatan tersebut, biasanya orang
tua mengajarkan anak kemampuan tertentu (Bryant & Zick 2006).
Data tren penggunaan waktu oleh ibu di Amerika Serikat dari tahun 2003
hingga 2008 menunjukkan bahwa dalam satu minggu, sekitar 13,8 jam
dihabiskan untuk kegiatan merawat anak. Angka tersebut meningkat dari data
pada tahun 1965 sebesar 10,2 jam dalam satu minggu. Sementara ayah
menghabiskan waktu yang lebih sedikit dalam merawat anak, yaitu sekitar 7 jam
dalam satu minggu (Bianchi 2010).
20
Investasi pada Anak Usia Dini
Kualitas seorang individu pada usia dini sangat penting, bukan hanya
untuk alasan apa yang terjadi pada usia tersebut namun juga untuk alasan masa
depan. Kapabilitas yang dimiliki oleh individu dewasa sangat dipengaruhi oleh
pengalaman yang dirasakan pada saat usia dini. Investasi dalam pendidikan dan
bentuk lainnya yang didapatkan pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan
kapabilitas seseorang di masa depan melalui dua cara. Pertama, hal tersebut
secara langsung dapat membuat individu hidup lebih kaya dan memiliki lebih
sedikit permasalah. Persiapan yang baik pada saat usia dini dapat meningkatkan
kecakapan hidup seseorang. Kedua, individu yang dipersiapkan dengan baik
saat usia dini akan lebih produktif secara ekonomi dan menghasilkan pendapatan
yang lebih baik (Sen 1999).
Meyers (1992) dalam Sunarti (2008) menekankan beberpa alasan
pentingnya investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini. Hal tersebut
merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang sampai
potensi optimal. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga
berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta memberikan sumbangan ekonomi
bila ditinjau dari produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan.
Sejumlah penelitian membandingkan tingkat pengembalian dari investasi
sumberdaya manusia pada tahapan umur yang berbeda dari perkembangan
anak. Mayoritas menyimpulkan bahwa investasi pada anak usia dini menjamin
keuntungan perkembangan secara kumulatif dimana sebaliknya – bila tidak
dilakukan atau terjadi kekurangan – bisa menyebabkan kehilangan yang bersifat
irretrievable (tidak bisa dilakukan kompensasi pada tahapan usia-usia
selanjutnya) seperti dalam hal status gizi. Defisiensi pada usia dini akan
menyebabkan kerusakan atau cacat (defect) secara fisik dan kognitif yang tidak
dapat diperbaiki atau dikompensasi di tahapan usia selanjutnya (irreversible)
yang berdampak pada produktivitas anak saat dewasa. Hal tersebut yang
menyebabkan tingginya tingkat pengembalian investasi pada anak usia dini
(Anderson & Hague 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sedini mungkin pada anak
dalam hal kesehatan dan asupan gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat pengembalian jangka panjang (Alderman & King 2006). Laporan Bank
Dunia pada tahun 2006 menyoroti masalah tingkat pengembalian yang tinggi dari
investasi pada anak usia dini. Dijelaskan bahwa ketidakberuntungan dalam hal
21
kesempatan akan menurunkan akses bagi anak terhadap barang dan jasa yang
dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut akan
berdampak pada produktivitasnya dimasa yang akan datang dan turut
mempengaruhi kemajuan negara yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan
ekonomi (World Bank 2005).
Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan
Antargenerasi: Bukti Empiris
Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa anak
merupakan jaminan hari tua bagi orang tua (Hartoyo & Hastuti 2003; Kartino
2005; Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010; Mulyani 2010). Orang tua juga
setuju bahwa mereka harus menyediakan pendidikan setinggi-tingginya bagi
anak mereka agar kelak bisa menjadi individu yang berkualitas (Hartoyo &
Hastuti 2003). Namun, hal tersebut berkebalikan dengan sebagian orang tua
yang menyatakan bahwa anak merupakan tenaga kerja bagi keluarga yang
diharapkan memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi keluarga
(Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010).
Perbedaan orang tua dalam mempersepsikan nilai anak dipengaruhi oleh
perbedaan status sosial ekonomi. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2003)
menyimpulkan bahwa persepsi orang tua tentang nilai anak berbeda antara
keluarga buruh dengan keluarga juragan meskipun secara statistik tidak berbeda
nyata. Keluarga juragan memberikan penilaian lebih tinggi dalam hal nilai sosial
dan psikologis, sementara keluarga buruh menilai anak sebagai faktor produksi
yang diharapkan memberi kontribusi ekonomi pada keluarga (nilai ekonomi)
(Hartoyo 2003).
Hartoyo dan Hastuti (2003) menambahkan bahwa perbedaan dalam
mempersepsikan nilai anak diduga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perbedaan dalam hal pengeluaran keluarga untuk anak. Dengan
demikian, persepsi orang tua tentang nilai anak menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Persepsi orang tua
mengenai nilai anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tipe keluarga,
status pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua (Kartino 2005; Mulyani
2010).
Selain nilai anak, investasi orang tua pada anak dalam bentuk uang dan
waktu dipengaruhi secara positif oleh pengeluaran keluarga dan dipengaruhi
22
secara negatif oleh ukuran keluarga (Hartoyo 1998). Penelitian Puspitawati et al.
(2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua akan
meningkatkan persepsi mereka terhadap pendidikan dasar sembilan tahun,
meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dasar anaknya, dan
memperhatikan serta memprioritaskan pola asuh dan fasilitas belajar anak. Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Leibowitz (1982) yang menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan ibu berkorelasi positif dengan kualitas anak yang
diukur dengan IQ.
Kualitas anak akan semakin tinggi dengan meningkatnya investasi yang
dilakukan orang tua terhadap anak (Leibowitz 1982; Hartoyo 1998). Lebih lanjut
disimpulkan bahwa investasi orang tua dalam bentuk waktu berdampak positif
terhadap kualitas anak yang diukur dari status gizi anak (Hartoyo 1998). Artinya,
semakin banyak waktu yang dicurahkan orang tua untuk anak, terutama yang
mendukung tumbuh kembangnya, akan semakin meningkatkan status gizi anak.
Selain itu, investasi waktu orang tua pada anak juga diindikasikan memiliki
pengaruh yang negatif terhadap investasi orang tua dalam bentuk uang kepada
anak (Hartoyo 1998; Hartoyo & Hastuti 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pengembangan
sumberdaya manusia. Untuk menjalankan perannya tersebut, keluarga harus
berfungsi dengan baik. Keberfungsian keluarga dipengaruhi oleh tingkat
kesejahteraan (miskin atau tidak miskin). Pengembangan sumber daya manusia
dalam keluarga dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya, terutama uang
dan waktu yang dimiliki orang tua, untuk diinvestasikan pada diri anak dalam
rangka meningkatkan produktivitasnya di masa depan. Dengan demikian,
perbedaan tingkat kesejahteraan akan mempengaruhi besar sumberdaya yang
dialokasikan untuk investasi pada diri anak.
Gambar 4 menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dalam diri
ayah dan ibu, yang dapat dilihat dari karakteristik keduanya, dipengaruhi oleh
upaya orang tuanya masing-masing untuk melakukan investasi sumberdaya
manusia pada diri mereka. Investasi yang paling berpengaruh terutama adalah
perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu saat keduanya berusia dini dan
lama pendidikan formal yang ditempuh. Kualitas sumberdaya manusia pada diri
ayah dan ibu pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yang
dibentuk (keluarga contoh), selain juga pengaruh faktor eksternal lainnya seperti
pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dalam keluarga.
Orang tua ayah dan ibu sebenarnya memiliki dua pilihan dalam
melakukan investasi dalam rangka memaksimalkan sumberdaya yang
dimilikinya, yaitu investasi sumberdaya manusia pada diri anak atau investasi
dalam bentuk aset material. Keputusan orang tua untuk berinvestasi pada diri
anak dipengaruhi oleh adanya persepsi orang tua mengenai nilai anak, yaitu
pemahaman orang tua mengenai manfaat dan risiko dari kehadiran anak seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, nilai sosial, dan
nilai ekonomi. Orang tua biasanya memiliki persepsi bahwa anak adalah sumber
kebahagiaan dan jaminan bagi hari tua. Hal tersebut yang memotivasi orang tua
untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya pada diri anak. Selain
tingkat kesejahteraan dan persepsi mengenai nilai anak, karakteristik keluarga
lainnya seperti jumlah anak yang dimiliki keluarga juga turut mempengaruhi
besarnya alokasi sumberdaya yang diinvestasikan pada anak.
24
Bagi ayah dan ibu ada dua hal yang didapatkan dari interaksi antara
keduanya dengan orang tua masing-masing, terutama melalui kegiatan investasi
yang dilakukan orang tua saat ayah dan ibu berusia dini. Pertama, menjamin
pertumbuhan keduanya untuk menjadi individu yang produktif di masa depan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, sebagai sarana bagi ayah dan
ibu untuk mengembangkan nilai yang akan mempengaruhi perilakunya di masa
depan. Termasuk di dalamnya pengembangan nilai anak yang akan
mempengaruhi interaksi ayah dan ibu dengan anaknya seperti perilaku investasi
ayah dan ibu terhadap anak.
Nilai, termasuk di dalamnya nilai anak, ditransfer dari satu generasi ke
generasi berikutnya dalam keluarga. Nilai anak mempengaruhi investasi orang
tua terhadap anak. Sementara investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak
mempengaruhi kualitas sumber daya anak yang akan menentukan status
kesejahteraan anak di masa depan. Investasi yang dilakukan orang tua terhadap
anak juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dalam keluarga atau status
kesejahteraan keluarga. Artinya bagi keluarga miskin, alokasi sumberdaya yang
dilakukan akan lebih terbatas dibandingkan keluarga dengan status
kesejahteraan tidak miskin. Sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin
kemungkinan akan memiliki status kesejahteraan yang sama dengan orang
tuanya di masa depan. Demikian gambaran fenomena transfer kemiskinan
antargenerasi dalam keluarga.
25
Gambar 4 Kerangka berpikir penelitian
Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
Keluarga Contoh
Perilaku Investasi Orang Tua pada
Ayah
Persepsi Orang Tua terkait Nilai Ayah
Persepsi Orang Tua terkait
Nilai Ibu
Perilaku Investasi Orang Tua pada
Ibu
Keluarga Asal Ayah
Tingkat Kesejahteraan
Miskin Tidak Miskin
Karakteristik Kakek
Karakteristik Nenek
Faktor Lainnya
Keluarga Asal Ibu
Tingkat Kesejahteraan
Miskin Tidak Miskin
Karakteristik Kakek
Karakteristik Nenek
Faktor Lainnya
Warisan
Kualitas Ayah Kualitas Ibu
Tingkat Kesejahteraan
Miskin Tidak Miskin
Faktor Lainnya
Perilaku Investasi Ayah dan Ibu
pada anak
Persepsi Ayah dan Ibu tentang
nilai anak
Kualitas Anak
26
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara
cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu
waktu yang bersamaan, dengan retrospective study, menggali informasi masa
lalu contoh. Sementara metode yang digunakan adalah survei dengan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama.
Kabupaten Sukabumi dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive,
dengan pertimbangan kemiskinan masih menjadi permasalah utama di wilayah
ini. Penentuan lokasi penelitian selanjutnya dipilih dengan pertimbangan
kecamatan dengan persentase keluarga miskin dan tidak miskin yang cukup
berimbang. Alasannya, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara
keluarga miskin dan tidak miskin. Dipilih Kecamatan Cicurug dengan
pertimbangan rasio penduduk miskin dan tidak miskin di wilayah ini sekitar 0,6.
Selanjutnya dipilih kelurahan atau desa di Kecamatan Cicurug yang juga
memiliki jumlah penduduk miskin dan tidak miskin yang hampir berimbang, dan
Desa Pasawahan dipilih sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian (meliputi
persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penulisan
laporan) adalah sembilan bulan, dimulai dari Maret 2011 hingga November 2011.
Contoh dan Metode Penarikan Contoh
Populasi penelitian ini adalah 894 keluarga yang bertempat tinggal di
Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang mempunyai
anak terakhir berusia balita. Contoh dalam penelitian ini adalah 60 keluarga
terpilih yang dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan status sosial
ekonomi, yaitu 30 keluarga miskin dan 30 keluarga tidak miskin. Penggolongan
dilakukan berdasarkan data tahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS
I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin).
Penarikan contoh dilakukan dengan metode stratified random sampling
dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga, setelah sebelumnya
dipilih dua RW secara purposive dengan syarat jumlah keluarga yang memiliki
balita tertinggi (terpilih RW 3 = 139 keluarga dengan balita dan RW 4=117
keluarga yang memiliki balita). Pemilihan contoh kemudian dilakukan dengan
mengacak keluarga yang memenuhi kriteria di dua RW terpilih dengan proporsi
28
masing-masing 15 keluarga untuk setiap kriteria (15 keluarga miskin dengan
anak balita dan 15 keluarga tidak miskin dengan anak balita untuk masing-
masing RW), sehingga didapatkan total seluruh contoh penelitian adalah 60
keluarga.
Gambar 5 Skema cara penarikan contoh
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi
dan ekonomi keluarga contoh, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga
menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan
investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi
keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek)
terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi terhadap ayah dan ibu
saat keduanya berusia dini, lama pendidikan formal ayah dan ibu, dan warisan
yang diterima ayah dan ibu. Investasi orang tua terhadap anak pada generasi
Pemilihan Kab. Sukabumi
Kec. Cicurug
purposive
Stratified
random
sampling
n = 15 keluarga
Desa Pasawahan (keluarga dengan
balita = 894)
RW 3 (keluarga yang
memiliki balita = 139)
purposive
purposive
purposive
RW 4 (keluarga yang
memiliki balita = 117)
n = 15 keluarga
n = 15 keluarga
n = 15 keluarga
Keluarga miskin yang mempunyai
anak terakhir balita
Keluarga tidak miskin yang
mempunyai anak terakhir balita
Keluarga miskin yang mempunyai
anak terakhir balita
Keluarga tidak miskin yang
mempunyai anak terakhir balita
29
kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak saat ini yang
berusia di bawah lima tahun.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini
telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang
tua mengenai nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu tentang nilai
anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu), dan 0,889
(perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak). Data primer diperoleh dengan
melakukan wawancara terhadap ayah dan ibu. Sementara itu, data sekunder
yang meliputi gambaran umum wilayah dan data kependudukan didapatkan dari
dokumen yang dimiliki pemerintah setempat.
Tingkat kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada ayah dan ibu mengenai kondisi sosial
ekonomi keluarganya pada saat mereka masih kanak-kanak. Indikator yang
digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut dipilih berdasarkan tingkat
keterhandalannya terhadap variabel waktu karena tidak terpengaruh atau hanya
sedikit terpengaruh oleh inflasi. Dengan demikian, bias waktu dalam hal
penentuan kesejahteraan keluarga asal yang ditanyakan pada ayah dan ibu bisa
diminimalisir.
Indikator yang digunakan mengacu pada metode Family Life History yang
dilakukan oleh Bottema, Siregar, dan Madiadipura (2008). Indikator-indikator
tersebut adalah pekerjaan dan pendapatan kakek serta nenek yang dilihat dari
tingkat stabilitasnya, kepemilikan serta kondisi rumah, kepemilikan tanah,
kepemilikan ternak, dan pendidikan (kemampuan baca tulis). Sementara itu,
tingkat kesejahteraan keluarga contoh dilihat dari data pentahapan Keluarga
Sejahtera hasil pengukuran dengan Indikator Kesejahteraan Keluarga oleh
BKKBN.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer
yang sesuai. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melakukan tabulasi
data yang diperoleh dan analisis statistik inferensia melalui uji hubungan antar
variabel yang ditentukan serta analisis regresi. Tahapan analisis data yang
dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi individu serta keluarga
dianalisis secara deskriptif. Jumlah anak pada kedua generasi keluarga
30
dikelompokan menjadi tiga kelompok (kategori keluarga asal ayah dan
ibu: 2-4 anak, 5-7 anak, dan ≥8 anak; kategori keluarga contoh: >2 anak,
2-3 anak, dan 4-5 anak); usia ayah dan ibu dibagi menjadi empat kategori
(<21 tahun, 21-30 tahun, 31-40 tahun, dan >40 tahun). Lama pendidikan
ayah dan ibu dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu: ≤6 tahun, 7-9
tahun, 10-12 tahun, dan >12 tahun. Sementara itu, pendapatan keluarga
contoh per bulan dibagi menjadi lima kategori, yaitu >500 ribu, 500-999
ribu, satu juta-1999 ribu rupiah, 2000-2999 ribu rupiah, dan diatas tiga
juta rupiah; sedangkan pendapatan per kapita per orang per bulan dibagi
menjadi lima kategori yaitu >100 ribu, 100-199 ribu, 200-299 ribu, 300-
399 ribu, dan ≥400 ribu rupiah. Status kesejahteraan keluarga generasi I
dikelompokan menjadi miskin dan tidak miskin (diukur dengan metode
Family Life Hystory/FLH, skor FLH <4=miskin, skor FLH ≥4= tidak miskin).
Status dinamika kemiskinan dibedakan menjadi empat, yaitu selalu miskin
(keluarga asal dan keluarga contoh miskin), tidak pernah miskin (keluarga
asal dan keluarga contoh tidak miskin), terjerumus miskin (keluarga asal
tidak miskin, keluarga contoh miskin), dan keluar dari miskin (keluarga
asal miskin, keluarga contoh tidak miskin).
2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu (STATUS1A dan
STATUS1B) dan keluarga contoh (STATUS2) dibedakan menjadi miskin
dan tidak miskin, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat
status dinamika kemiskinan (DINAMIKA) diantara kedua generasi
keluarga tersebut. Status kesejahteraan keluarga orang tua dari ayah
(STATUS1A) dan keluarga dari ibu (STATUS1B), diasumsikan mewakili
status kesejahteraan keluarga saat ibu atau ayah berusia balita hingga
saat ini. Dinamika kemiskinan antar kedua generasi keluarga tersebut
dikategorikan berdasarkan Moore (2008), yaitu:
a. Selalu miskin bila kedua generasi keluarga selalu berada dalam
kondisi miskin
b. Terjerumus ke dalam kemiskinan bila keluarga asal contoh tidak
miskin namun keluarga contoh berstatus miskin
c. Keluar dari kemiskinan bila keluarga asal contoh berstatus miskin
namun keluarga contoh tidak miskin
d. Tidak pernah miskin bila kedua generasi keluarga tidak pernah
miskin
31
Transfer kemiskinan (TRANSFER) terjadi bila dinamika kemiskinan yang
terjadi antar dua generasi keluarga adalah selalu miskin atau terjerumus
ke dalam kemiskinan.
3. Terdapat dua nilai anak yang diukur dalam penelitian ini, yaitu persepsi
ayah dan ibu mengenai nilai anaknya, dibedakan menjadi VOC2A yaitu
nilai anak dimata ayah dan VOC2B yaitu nilai anak dimata ibu. Nilai anak
diukur berdasarkan tiga aspek, yaitu psikologis, sosial, dan ekonomi.
Hasil pengamatan terhadap nilai anak dikelompokan menjadi tiga
kategori, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%)
seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2009). Diamati
pula persepsi orang tua (kakek dan nenek) tentang nilai ayah dan ibu
yang diukur dari persepsi ayah atau ibu tentang nilai dirinya (VOC1)
dimata orang tua (nenek dan kakek), yang dibedakan menjadi VOC1A
yaitu nilai ayah dimata orang tuanya dan VOC1B yaitu nilai ibu dimata
orang tuanya.
4. Investasi orang tua terhadap anak yang diamati adalah perilaku investasi
ayah dan ibu terhadap anak. Dibedakan menjadi perilaku investasi ayah
terhadap anak (INVEST2A) dan perilaku investasi ibu terhadap anak
(INVEST2B). Data INVEST2A dan INVEST2B kemudian diolah secara
deskriptif (kategori seperti pada varaibel nilai anak). Selain itu, diamati
pula investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap ayah dan ibu saat
keduanya berusia dini. Investasi tersebut diukur dengan melihat lama
pendidikan ayah (EDUA) atau ibu (EDUB), warisan yang diberikan
kepada ayah (BEQUESTA) dan ibu (BEQUESTB), serta perilaku investasi
orang tua terhadap ayah (INVEST1A) dan ibu (INVEST1B). Data
investasi orang tua terhadap ayah dan ibu kemudian diolah secara
deskriptif. Skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu
dikelompokan dengan kategori yang sama seperti nilai anak.
5. Analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang digunakan untuk
melihat keterkaitan antar variabel penelitian, yaitu karakteristik keluarga,
nilai anak, dan investasi orang tua pada anak. Uji beda juga dilakukan
untuk melihat perbedaan diantara kelompok contoh.
6. Hubungan antara VOC1A dengan VOC2A, VOC1B dengan VOC2B, dan
VOC2A dengan VOC2B dianalisis dengan menggunakan uji korelasi
untuk membuktikan terjadinya transfer nilai antargenerasi. Selain itu
32
variabel nilai anak juga dilihat hubungannya dengan status kesejahteraan
dengan uji korelasi.
7. Hubungan antara variabel INVEST1A dengan INVEST2A, INVETS1B,
dengan INVEST2B, INVEST2A dengan INVEST2B dianalisis dengan
menggunakan uji korelasi. Selain itu, variabel perilaku investasi juga
dihubungkan dengan status kesejahteraan dengan menggunakan uji
korelasi.
8. Hubungan antarvariabel nilai anak dengan perilaku investasi serta status
kesejahteraan diuji dengan menggunakan uji korelasi untuk melihat
keterkaitan diantara variabel-variabel tersebut.
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh
diuji dengan menggunakan regresi logistik, adapun persamaannya
sebagai berikut:
a + γ1STATUS1 + β1EDUA + β2INVEST1A + β3INVEST1B +
γ2BEQUESTA + γ2BEQUESTB + β4AGE2A + ε
Keterangan:
a=konstanta, p=peluang untuk sejahtera (0=miskin, 1=tidak miskin)
β=koefisien regresi, γ=koefisien dummy
11. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga contoh
(INCOME) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.
Persamaan regresinya adalah:
INCOME = a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUA
+ b5EDUA + b6EDUB + b7BEQUESTA + b8BEQUESTB
Keterangan:
a=konstanta, b=koefisien regresi
12. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak
(INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.
Persamaan regresinya adalah:
INVEST2A = a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUB
+ b5INCOME + b6INVEST2B + b7VOC1A + b8VOC2A +
b9CHILD2 + b10AGEA
Keterangan:
a=konstanta
b=koefisien regresi
33
13. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak
(INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.
Persamaan regresinya adalah:
INVEST2B = a + b1STATUS1B + b2STATUS2 + b3INVEST1B + b4EDUB
+ b5INCOME + b7VOC1B + b8VOC2B + b9CHILD2 +
b10AGEB
Keterangan:
a=konstanta, b=koefisien regresi
Definisi Operasional
Keluarga contoh (FAMILY2) adalah keluarga yang menjadi fokus analisis utama
penelitian ini, yaitu keluarga generasi kedua dari unit analisis yang
memiliki anak terakhir berusia balita dan dibedakan berdasarkan status
kesejahteraan (miskin dan tidak miskin)
Keluarga asal atau origin family (FAMILY1) adalah keluarga tempat ayah dan
ibu dari keluarga contoh berasal, sehingga terdapat dua keluarga asal
yaitu keluarga asal ayah dan keluarga asal ibu
Transfer kemiskinan (TRANSFER) adalah suatu fenomena terkait penurunan
status kemiskinan antargenerasi keluarga yang disebabkan oleh tidak
adanya atau kurangnya transfer modal (capital) antargenerasi keluarga
tersebut yang diukur dengan pendekatan status dinamikan kemiskinan
(DINAMIKA)
Status dinamika kemsikinan (DINAMIKA) adalah komparasi status
kesejahteraan dua generasi keuarga yang dibedakan menjadi empat,
yaitu selalu miskin (kedua generasi keluarga miskin), tidak pernah
miskin (kedua generasi keluarga tidak miskin), terjerumus miskin
(keluarga saat ini miskin, keluarga generasi sebelumnya tidak miskin),
dan keluar dari kemiskinan (keluarga saat ini tidak miskin, keluarga
generasi sebelumnya miskin). Transfer kemiskinan terjadi ketika status
dinamika kemiskinan yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus
miskin
Jumlah anak keluarga ayah (CHILD1A) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh
orang tua ayah atau jumlah saudara kandung yang dimiliki ayah
Jumlah anak keluarga ibu (CHILD1B) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh
orang tua ibu atau jumlah saudara kandung yang dimiliki ibu
34
Usia ayah (AGEA) adalah usia ayah saat dilakukan wawancara dalam satuan
tahun
Usia ibu (AGEB) adalah usia ibu saat dilakukan wawancara dalam satuan tahun
Usia anak (AGE3) adalah usia anak terakhir keluarga contoh saat dilakukan
wawancara dalam satuan tahun
Kemampuan baca tulis (LITERACY1) adalah kemampuan literasi atau baca
tulis orang tua ayah (LITERACY1A) dan ibu (LITERACY1B)
Lama pendidikan ayah (EDUA) adalah lama pendidikan formal yang ditamatkan
oleh ayah dalam satuan tahun
Lama pendidikan ibu (EDUB) adalah lama pendidikan formal yang ditamatkan
oleh ibu dalam satuan tahun
Pekerjaan orang tua ayah (WORK1A) adalah aktivitas orang tua ayah yang
menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga yang
dibedakan menjadi bidang pertanian dan non pertanian dan dianggap
konstan sepanjang waktu
Pekerjaan orang tua ibu (WORK1B) adalah aktivitas orang tua ibu yang
menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga yang
dibedakan menjadi bidang pertanian dan non pertanian dan dianggap
konstan sepanjang waktu
Pekerjaan ayah (WORK2A) adalah aktivitas ayah yang menghasilkan uang
sebagai sumber pendapatan keluarga
Pekerjaan ibu (WORK2B) adalah aktivitas ibu yang menghasilkan uang sebagai
sumber pendapatan keluarga
Stabilitas pendapatan orang tua ayah (INCOME1A) adalah persepsi ayah
terkait ketetapan nilai nominal pendapatan yang dihasilkan oleh orang
tua setiap bulan saat ayah berusia dini dan dianggap konstan sepanjang
waktu
Stabilitas pendapatan orang tua ibu (INCOME1B) adalah persepsi ibu terkait
ketetapan nilai nominal pendapatan yang dihasilkan oleh orang tua
setiap bulan saat ibu berusia dini dan dianggap konstan sepanjang
waktu
Pendapatan keluarga (INCOME2) adalah total pendapatan yang diterima
keluarga contoh setiap bulan dalam satuan Rupiah saat ibu berusia dini
Status kesejahteraan keluarga asal ayah (STATUS1A) adalah persepsi ayah
terkait tingkat kesejahteraan keluarga orang tuanya saat dirinya berusia
35
dini dan dianggap konstan sepanjang waktu. Diukur dengan kriteria
family life history (FLH), dibedakan menjadi miskin dan tidak miskin
Status kesejahteraan keluarga asal ibu (STATUS1B) adalah persepsi ibu
terkait tingkat kesejahteraan keluarga orang tuanya saat dirinya berusia
dini dan dianggap konstan sepanjang waktu. Diukur dengan kriteria
family life history (FLH), dibedakan menjadi miskin dan tidak miskin
Warisan yang diterima ayah (BEQUESTA) adalah aset material yang diberikan
orang tua kepada ayah yang diukur berdasarkan ada atau tidaknya aset
material yang diberikan tersebut
Warisan yang diterima ibu (BEQUESTB) adalah aset material yang diberikan
orang tua kepada ibu yang diukur berdasarkan ada atau tidaknya aset
material yang diberikan tersebut
Persepsi orang tua tentang nilai ayah (VOC1A) adalah persepsi orang tua
tentang manfaat dan risiko dari kehadiran ayah dalam keluarga yang
diukur dengan melihat persepsi ayah terkait nilai dirinya dimata orang
tua
Persepsi orang tua tentang nilai ibu (VOC1B) adalah persepsi orang tua
tentang manfaat dan risiko dari kehadiran ibu dalam keluarga yang
diukur dengan melihat persepsi ibu terkait nilai dirinya dimata orang tua
Persepsi ayah tentang nilai anak (VOC2A) adalah persepsi ayah terkait
manfaat dan risiko dari kehadiran anak dalam keluarga contoh
Persepsi ibu tentang nilai anak (VOC2B) adalah persepsi ayah terkait manfaat
dan risiko dari kehadiran anak dalam keluarga contoh
Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (INVEST1A) adalah persepsi ayah
terkait manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan orang tua
terhadap ayah saat dirinya berusia dini
Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (INVEST1B) adalah persepsi ibu
terkait manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan orang tua
terhadap ibu saat dirinya berusia dini
Perilaku investasi ayah terhadap anak (INVEST2A) adalah manifestasi dari
alokasi uang dan waktu yang dilakukan ayah terhadap anak saat ini
Perilaku investasi ibu terhadap anak (INVEST2B) adalah manifestasi dari
alokasi uang dan waktu yang dilakukan ibu terhadap anak saat ini
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji transfer kemiskinan
yang terjadi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak
serta perilaku investasi pada anak. Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua
generasi keluarga dan penggalian informasi dilakukan kepada ayah dan ibu yang
merupakan responden dalam penelitian ini. Dalam pembahasan, contoh
seringkali berdasakan status kesejahteraan keluarganya, miskin dan tidak miskin.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Cicurug merupakan wilayah paling utara dari Kabupaten
Sukabumi dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bogor. Dengan
luas wilayah 4544 Ha, Kecamatan Cicurug dihuni oleh 116.210 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga sekitar 31.324 atau rata-rata setiap rumah tangga terdiri
dari empat orang. Berdasarkan data pentahapan kesejahteraan keluarga tahun
2010, terdapat 10.320 keluarga yang tergolong ke dalam keluarga miskin (pra KS
dan KS-1), sisanya sekitar 18.027 tergolong tidak miskin (KS-2, KS-3 dan KS-3
plus). Distribusi status kesejahteraan keluarga berdasarkan desa di Kecamatan
Cicurug ditunjukkan oleh Tabel 3.
Desa Pasawahan merupakan salah satu wilayah yang secara
administratif tergabung dalam wilayah Kecamatan Cicurug. Wilayah Desa
Pasawahan memiliki luas 625 Ha (13,75% dari wilayah Kecamatan Cicurug) dan
menjadi tempat tinggal bagi 9.235 jiwa penduduk yang terdiri dari 4.499 laki-laki
dan 4.736 perempuan. Terdapat 2.241 keluarga yang hidup di wilayah ini, 1.065
diantaranya tergolong ke dalam keluarga miskin (pra-KS dan KS-1) berdasarkan
data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN tahun 2010.
Hampir setengah kepala keluarga di Desa Pasawahan menamatkan
pendidikan Sekolah Dasar. Kepala keluarga yang menamatkan pendidikan
hingga sekolah menengah pertama dan atas masing-masing berjumlah sekitar
seperempat dari total keseluruhan. Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian
besar kepala keluarga (35,21%) di wilayah Desa Pasawahan bekerja sebagai
buruh. Hanya 5,64 persen kepala keluarga yang bekerja sebagai petani.
Sejumlah industri makanan dan minuman serta garmen telah didirikan di
wilayah Desa Pasawahan, seiring dengan keberadaan industri serupa di
38
beberapa wilayah lain di Kecamatan Cicurug. Hal tersebut membuka lapangan
kerja baru bagi penduduk di Desa Pasawahan dan sekitarnya. Selain itu, fasilitas
pendidikan yang didirikan di wilayah Desa Pasawahan dan Kecamatan Cicurug
semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk yang
tinggal di wilayah ini.
Tabel 2 Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa di Kecamatan Cicurug
No Desa Status Kesejahteraan Rasio miskin-
tidak miskin Miskin Tidak miskin
1 Cicurug 1.051 1.599 0,66
2 Nyangkowek 601 1.131 0,53
3 Benda 1.068 2.584 0,41
4 Pasawahan 1.065 1.356 0,79
5 Purwasari 849 1.311 0,65
6 Tenjoayu 607 1.243 0,49
7 Kutajaya 738 2.871 0,26
8 Nanggerang 654 768 0,85
9 Cisaat 1.046 1.156 0,90
10 Caringin 906 469 1,93
11 Tenjolaya 837 913 0,92
12 Bangbayang 527 850 0,62
13 Mekarsari 403 1.776 0,22
Total 10.320 18.027 0,57
Sumber: diolah dari data Kecamatan Cicurug dalam Angka
Karakteristik Keluarga
Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia
balita. Fokus pembahasan terkait variabel yang diteliti dilakukan terhadap
keluarga contoh yang merupakan keluarga generasi kedua dari unit analisis
penelitia ini. Pembahasan tersebut diperkaya dengan informasi yang didapatkan
dari keluarga generasi sebelumnya atau keluarga asal dari ayah dan ibu terkait
dengan variabel yang diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai fenomena transfer kemiskinan antargenerasi pada dua
generasi keluarga secara lebih jelas.
Usia ayah dan ibu. Rata-rata usia ayah yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah 35,7 tahun (sd=6,6 tahun), sedangkan rata-rata usia ibu
adalah 32 tahun (sd=5,7 tahun). Informasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
39
lebih dari setengah ayah (53,3%) berusia antara 31 hingga 40 tahun, sehingga
sebagian besar ayah dari keluarga contoh berada pada tahapan usia dewasa
muda (18-40 tahun). Begitu pula dengan ibu, 48,3 persennya berada pada
rentang kategori usia tersebut. Sementara itu, sekitar 23,3 persen ayah dan 5
persen ibu berada pada rentang usia lebih dari 40 tahun, yang berarti telah
memasuki tahapan dewasa madya. Usia ibu dan ayah secara statistik berbeda
nyata (t=-3,322; p<0,01).
Tabel 3 Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Kelompok Usia (tahun)
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah <21 1 3,3 0 0 1 1,7 21-30 10 33,3 3 10 13 21,7 31-40 15 50 17 56,7 32 53,3 >40 4 13,3 10 33,3 14 23,3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 33,7 37,7 35,7
Sd 6,6 6,1 6,6
Ibu <21 1 3,3 0 0 1 1,7 21-30 16 53,3 11 36,7 27 45 31-40 12 40 17 56,7 29 48,3 >40 1 3,3 2 6,6 3 5
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 30,8 33,2 32
Sd 5,7 5,4 5,7
Usia ayah dari keluarga miskin memiliki rata-rata 33,7 tahun (sd=6,6
tahun), lebih muda dari rata-rata usia ayah dari keluarga tidak miskin (37,7 tahun;
sd=6,1 tahun). Hasil uji beda menunjukkan usia ayah dari kedua kelompok
kesejahteraan keluarga berbeda nyata (t=-2,458; p<0,05). Sementara itu, tidak
terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu dari kelompok miskin dengan
tidak miskin (t=-1.694; p>0.05). Ibu dari keluarga miskin memiliki rata-rata usia
30,8 tahun (sd=5,7 tahun) dan ibu dari keluarga tidak miskin berusia rata-rata
33,2 tahun (sd=5,4 tahun).
Pendidikan ayah dan ibu. Secara umum, ayah menempuh pendidikan
formal yang lebih lama dibandingkan ibu. Ayah rata-rata menempuh 9,7 tahun
pendidikan formal (sd=3,8), sementara ibu lebih rendah yaitu 8,4 tahun (sd=2,7).
Sebesar 38,3 persen ayah pernah mengenyam atau menamatkan pendidikan di
tingkat menengah atas, sementara pada kelompok ibu hanya 23,3 persen yang
40
mengalami hal tersebut. Hampir setengah ibu (46,7%) hanya menempuh atau
menyelesaikan pendidikan formal setara sekolah dasar (Tabel 4).
Tabel 4 Sebaran lama pendidikan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Lama Sekolah (tahun)
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah ≤6 14 46,7 2 6,7 16 26,7 7-9 10 33,3 7 23,3 17 28,3 10-12 6 20 17 56,7 23 38,3 >12 0 0 4 13,3 4 6,7
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 8 11,4 9,7
Sd 2,7 2,5 3,1
Ibu ≤6 18 60 10 33,3 28 46,7 7-9 8 26,7 8 26,7 16 26,7 10-12 4 13,3 10 33,3 14 23,3 >12 0 0 2 6,7 2 3,3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 7,5 9,3 8,4
Sd 2,3 2,8 2,7
Baik ayah maupun ibu dari keluarga tidak miskin menempuh pendidikan
formal yang lebih lama bila dibandingkan dengan ayah dan ibu dari kelompok
miskin. Ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata pendidikan
formal berturut-turut selama 11,4 tahun (sd=2,5 tahun) dan 9,3 tahun (sd=2,8
tahun). Sementara ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata
pendidikan formal berturut-turut selama 8 tahun (sd=2,7 tahun) dan 7,5 tahun
(sd=2,3 tahun). Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal
lama pendidikan formal yang ditempuh ayah dari keluarga miskin dengan
keluarga tidak miskin (t=-5,746; p<0,01) dan juga ibu dari keluarga miskin
dengan ibu dari keluarga tidak miskin (t=-2,752; p<0,01).
Pekerjaan ayah dan ibu. Hampir setengah ayah (46,7%) dalam
penelitian ini bekerja sebagai buruh pabrik, sementara sebagian besar ibu
(86,7%) tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 5).
Walaupun karakteristik wilayah tempat penelitian adalah pedesaan, namun
hanya sekitar seperempat responden ayah yang bekerja di bidang pertanian,
baik sebagai petani maupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan keberadaan
industri yang telah menjangkau wilayah tempat penelitian dilakukan. Baik ayah
dari kelompok keluarga yang berstatus miskin maupun tidak miskin, sebagian
besar bekerja sebagai buruh pabrik (53,3% dan 40%). Sementara itu, ibu yang
41
bekerja dalam penelitian ini jumlahnya masih sedikit (sekitar 13%). Sehingga
sebagian besar ibu kegiatannya lebih fokus pada kegiatan domestik keluarga.
Tabel 5 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Pekerjaan Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Petani/ buruh tani 11 36.7 5 16.7 16 26,7 Buruh pabrik 16 53.3 12 40 28 46,7 Wiraswasta 0 0 11 36.7 11 18,3 Lainnya 3 10 2 6.7 5 8,3
Total 30 100 30 100 60 100
Ibu IRT 28 93,3 24 80 52 86,7 Buruh pabrik 1 3,3 0 0 1 1,7 Wiraswasta 1 3,3 4 13,3 5 8,3 Lainnya 0 0 2 6,7 2 3,3
Total 30 100 30 100 60 100
Karakteristik lokasi penelitian tengah mengalami kecenderungan
perubahan dari wilayah dengan ciri pedesaan ke arah industri seperti dapat
dilihat dari jenis pekerjaan ayah yang telah mengalami perubahan. Perubahan
tersebut terlihat jelas bila pekerjaan ayah dibandingkan dengan pekerjaan orang
tuanya pada keluarga generasi sebelumnya. Sebagian besar orang tua ayah dan
ibu menggantungkan hidup pada pekerjaan di bidang pertanian. Lebih dari tiga
perempat orang tua ayah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian,
sementara itu pada keluarga ibu jumlahnya mencapai 61,7 persen (Tabel 6).
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua pada keluarga asal (n=60 keluarga)
Bidang Pekerjaan Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Pertanian 26 86,7 20 66,7 46 76,7 Nonpertanian 4 13,3 10 33,3 14 23,3
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Pertanian 24 80 13 43,3 37 61,7
Nonpertanian 6 20 17 56,7 23 38,3
Total 30 100 30 100 60 100
Jumlah anak. Sekitar 43,3 persen keluarga contoh memiliki dua hingga
tiga anak. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh adalah 2,4 anak
(sd=1,3 anak). Pada keluarga contoh yang tergolong miskin, sebagian besar
memiliki satu atau dua hingga tiga anak. Begitu pula pada keluarga contoh yang
42
tidak miskin, sekitar 43,3 persen diantaranya memiliki dua hingga tiga orang
anak. Informasi mengenai jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh disajikan
pada Tabel 7. Rata-rata jumlah anak keluarga miskin lebih rendah (M=2,2 anak;
sd=1,3 anak) dibandingkan jumlah anak keluarga tidak miskin (M=2,6 anak;
sd=1,4 anak). Hasil uji beda menunjukkan rata-rata jumlah anak keluarga miskin
dengan tidak miskin tidak berbeda nyata (t=-1,160; p>0,05).
Tabel 7 Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Jumlah Anak
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
<2 13 43,3 9 30 22 36,7 2-3 13 43,3 13 43,3 26 43,3 4-5 4 13,3 8 26,7 12 20
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 2,2 2,6 2,4
Sd 1,3 1,4 1,3
Rata-rata jumlah anak keluarga contoh mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan keluarga generasi sebelumnya, baik dari pihak ayah
maupun ibu. Keluarga asal ayah memiliki rata-rata jumlah anak sebanyak 5,2
orang (sd=2 orang), sementara pada keluarga asal ibu, rata-ratanya adalah 4,8
orang (sd=1,9 orang). Penurunan jumlah anak pada keluarga contoh saat ini bila
dibandingkan dengan keluarga orang tuanya diduga disebabkan oleh pergeseran
paradigma diantara dua generasi keluarga dalam hal jumlah anak dalam
keluarga. Selain itu, keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program
keluarga berencana dapat menjadi faktor penyebab lainnya. Namun yang perlu
digarisbawahi adalah siklus keluarga yang masih akan dijalani oleh keluarga
contoh memberikan kemungkinan bertambahnya jumlah anak.
Usia dan jenis kelamin anak. Perbandingan jenis kelamin anak terakhir
dari keluarga contoh sama besar antara laki-laki dan perempuan. Usia anak juga
beragam antara satu hingga empat tahun. Persentase terbesar usia anak (30%)
berada pada rentang dua hingga kurang dari tiga tahun (Tabel 8). Rata-rata usia
anak terakhir dari keluarga contoh yang tergolong miskin adalah 2,7 tahun
(sd=0,9 tahun). Sementara rata-rata usia anak terakhir dari keluarga contoh yang
tidak miskin lebih tinggi yaitu 2,9 tahun (sd=1,2 tahun). Tidak terdapat perbedaan
nyata antara rata-rata usia anak terakhir antara keluarga miskin dengan tidak
miskin (t = -0,481; p>0,05).
43
Tabel 8 Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Kelompok Usia (tahun) dan
Jenis Kelamin
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Usia 1-<2 5 16,7 7 23,3 12 20 2-<3 10 33,3 8 26,7 18 30 3-<4 10 33,3 5 13,7 15 25 ≥4 5 13,7 10 33,3 15 25
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 2,7 2,9 2,7
Sd 0,9 1,2 1,1
Jenis Kelamin Laki-laki 15 50 15 50 30 50 Perempuan 15 50 15 50 30 50
Total 30 100 30 100 60 100
Pendapatan keluarga dan pendapatan per kapita. Istilah pendapatan
mengacu pada aliran kompensasi ekonomi yang diterima dalam suatu periode
tertentu (Schiller 2008). Dalam penelitian ini yang diamati adalah pendapatan per
bulan keluarga, yaitu total keseluruhan pemasukan yang diterima keluarga baik
melalui ayah, ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Secara keseluruhan, rata-
rata pendapatan per bulan keluarga contoh adalah Rp1.650.500,00
(sd=Rp1.149.253,90). Lebih dari sepertiga keluarga contoh berpenghasilan
antara Rp1.000.000,00 hingga Rp1.999.999,00 per bulan. Sementara itu, hanya
6,7 persen keluarga contoh yang berpenghasilan dibawah lima ratus ribu rupiah
per bulan (Tabel 9).
Rata-rata pendapatan per bulan keluarga miskin (M=Rp 849.333,30; sd=
Rp237.209,80) lebih rendah bila dibandingkan pendapatan rata-rata keluarga
tidak miskin (M=Rp2.451.666,70; sd=Rp1.141.421,00). Pengujian lebih lanjut
menunjukkan rata-rata pendapatan kedua keluarga berbeda nyata (t=-7,528,
p<0,01). Sebanyak 46,7 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki
penghasilan total per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00. Dengan
persentase yang sama, keluarga contoh yang tidak miskin berpenghasilan antara
Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00 per bulan.
Sementara itu, pendapatan per kapita merupakan hasil pembagian total
pendapatan keluarga per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Sebanyak 41
persen keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita lebih dari sama dengan
Rp400.000,00. Rata-rata pendapatan per kapita keseluruhan keluarga contoh
adalah Rp400.244,00 per bulan (sd=Rp297.606,50). Angka tersebut lebih tinggi
dari garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 yaitu sebesar
44
Rp201.138,00 per kapita per bulan. Informasi mengenai hal tersebut terangkum
pada Tabel 9.
Tabel 9 Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Pendapatan (ribu rupiah)
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Pendapatan keluarga (dalam ribu rupiah) >500 4 13,3 0 0 4 6.7 500-999 14 46,7 0 0 14 23,3 1000-1999 12 40 10 33,3 22 36,7 2000-2999 0 0 14 46,7 14 23,3 ≥3000 0 0 6 20 6 10
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 849.333,3 2.451.666,7 1.650.500
Sd 237.209,8 1.141.421 1.149.253,9
Pendapatan per kapita (dalam ribu rupiah) >100 1 3,3 0 0 1 1.6
100-199 13 43,3 0 0 13 21.7 200-299 8 26,7 3 10 11 18.3 300-399 6 20 4 13.3 10 16.7 ≥400 2 6,7 23 76.7 25 41.7
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 218.305,6 582.182,5 400.244
Sd 91.071,27 321.579,4 297.606,5
Sebanyak 43.3 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki
pendapatan per kapita antara Rp 100.000,00 hingga Rp 199.999,00. Sementara
itu, lebih dari tiga perempat keluarga contoh yang tidak miskin memiliki
pendapatan per kapita lebih dari Rp 400.000,00. Rata-rata pendapatan per
kapita keluarga contoh miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), lebih
rendah bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita keluarga contoh tidak
miskin (M=Rp582.182,5; sd=Rp321.579,40). Rata-rata pendapatan per kapita
kedua kelompok keluarga juga berada di atas garis kemiskinan Jawa Barat.
Rata-rata pendapatan per kapita kedua kelompok keluarga contoh secara
statistik berbeda nyata (t=-5,963; p<0,01).
Status Kesejahteraan Keluarga
Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan
menggunakan metode Family Life History yang diadopsi dari Bottema et al.
(2008). Terdapat enam indikator yang digunakan, yaitu stabilitas pendapatan,
kepemilikan rumah, kondisi rumah, kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan
hewan ternak, dan kemampuan baca tulis.
45
Stabilitas pendapatan. Informasi mengenai stabilitas pendapatan orang
tua ayah dan ibu dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kakek dan atau
nenek. Karena sebagian besar pekerjaan orang tua contoh bergerak di bidang
pertanian, stabilitas akan bergantung pada kepemilkan lahan pertanian. Lebih
dari setengah orang tua ayah memiliki pendapatan yang stabil, sementara 60
persen orang tua ibu memiliki pendapatan yang tidak stabil (Tabel 10). Orang tua
ayah dan ibu yang tergolong tidak miskin cenderung memiliki pendapatan
keluarga yang stabil (persentasenya masing-masing 86,7% dan 70%).
Sebaliknya, sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu yang tergolong miskin
memiliki pendapatan yang tidak stabil (persentasenya berturut-turut sebesar
83,3% dan 90%).
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Stabilitas pendapatan
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Tidak stabil 25 83,3 4 13,3 29 48,3 Stabil 5 16,7 26 86,7 31 51,7
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Tidak stabil 27 90 9 30 36 60
Stabil 3 10 21 70 24 40
Total 30 100 30 100 60 100
Kepemilikan dan kondisi rumah. Hampir seluruh orang tua ayah dan
ibu menempati rumah dengan status kepemilikan milik pribadi. Hanya terdapat
6,7 persen orang tua ayah dan ibu yang menempati rumah dengan status
kepemilikan bukan milik pribadi, seluruhnya merupakan orang tua dari ibu yang
dikategorikan miskin (Tabel 11).
Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu
yang tergolong miskin memiliki kondisi yang lebih buruk bila dibandingkan kondisi
rumah lain di lingkungan sekitar (persentasenya berturut-turut adalah 80% dan
90%). Sebaliknya, keluarga orang tua dari ayah dan ibu yang berstatus tidak
miskin sebagian besar memiliki kondisi rumah yang lebih baik atau sama saja
bila dibandingkan dengan kondisi rumah lain di lingkungan sekitarnya
(persentasenya masing-masing 80% dan 63,3%).
46
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Kepemilikan Rumah dan
Kondisi Rumah
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Kepemilikan Rumah Keluarga Asal Ayah Bukan milik pribadi 0 0 0 0 0 0 Milik pribadi 30 100 30 100 60 100
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Asal Ibu Bukan milik pribadi 4 13,3 0 0 4 6,7
Milik pribadi 26 86,7 30 100 56 93,3
Total 30 100 30 100 60 100
Kondisi Rumah Keluarga Asal Ayah Lebih buruk 24 80 6 20 30 50 Sama saja/ lebih baik 6 20 24 80 30 50
Total
Keluarga Asal Ibu Lebih buruk 27 90 11 36,7 38 63,3 Sama saja/ lebih baik 3 10 19 63,3 22 36,7
Total 30 100 30 100 60 100
Kepemilikan lahan pertanian. Wilayah pedesaan dicirikan dengan
pertanian sebagai sumber penghasilan sehingga kepemilikan lahan pertanian
dapat menentukan status sosial dan tingkat kesejahteraan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam hal kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah
orang tua ayah tidak memiliki lahan pertanian, begitu pula pada keluarga ibu.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Kepemilikan Lahan Pertanian
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Tidak memiliki 25 83,3 8 26,7 33 55 Memiliki 5 16,7 22 73,3 27 45
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Tidak memiliki 23 76,7 16 53,3 39 65
Memiliki 7 23,3 14 46,7 21 35
Total 30 100 30 100 60 100
Bla dibandingkan antara keluarga orang tua ayah dan ibu berdasarkan
status kesejahteraan keluarga contoh, akan terlihat perbedaan yang cukup nyata
dalam hal kepemilikan lahan pertanian. Persentase orang tua ayah dan ibu
berstatus tidak miskin dalam hal kepemilikan lahan pertanian lebih tinggi
(berturut-turut 73,3% dan 46,7%) bila dibandingkan orang tua ayah dan ibu yang
47
berstatus miskin (persentasenya masing-masing 16,7% dan 23,3%). Informasi
mengenai hal tersebut disajikan pada Tabel 12.
Kepemilikan ternak. Selain kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan
hewan ternak juga dianggap turut menentukan status sosial suatu keluarga di
wilayah pedesaan. Kepemilikan ternak yang diidentifikasi dalam penelitian ini
adalah ternak dengan nilai ekonomi yang tinggi seperti kambing, domba, sapi,
atau kerbau. Seperti halnya kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah
orang tua ayah dan ibu dalam penelitian ini tidak memiliki hewan ternak (Tabel
13). Persentase kepemilikan ternak tertinggi ada pada orang tua ayah yang
berstatus tidak miskin (56,7%). Sementara itu, persentase orang tua ibu miskin
dalam hal kepemilikan ternak lebih tinggi bila dibandingkan orang tua dari ibu
yang tidak miskin (persentasenya berturut-turut 50% dan 46,7%).
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Kepemilikan Ternak
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Tidak memiliki 22 73,3 13 43,3 35 58,3 Memiliki 8 26,7 17 56,7 25 41,7
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Tidak memiliki 15 50 16 53,3 31 51,6
Memiliki 15 50 14 46,7 29 48,3
Total 30 100 30 100 60 100
Kemampuan literasi. Kemampuan membaca dan menulis orang tua
ayah dan ibu menunjukkan akses keluarga pendahulunya terhadap pendidikan.
Berbeda dengan kondisi saat ini, pendidikan – bahkan pendidikan dasar
sekalipun – pada masa tersebut (sekitar 40 hingga 60 tahun yang lalu)
merupakan sesuatu yang tidak setiap orang bisa dapatkan. Bergantung pada
status sosial ekonomi keluarga pada masa tersebut.
Sebagian besar orang tua ayah dan ibu memiliki kemampuan untuk
membaca dan menulis (Tabel 14). Walau begitu, persentase orang tua ayah dan
ibu yang tidak bisa membaca dan menulis angkanya masih cukup signifikan
(masing-masing 18,3% dan 15%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan
pada masa tersebut merupakan suatu hal yang sulit untuk diakses, terutama oleh
kelompok miskin. Persentase orang tua yang mampu membaca dan menulis
lebih tinggi pada orang tua ayah dan ibu tidak miskin (masing-masing 90% dan
48
93,3%) bila dibandingkan dengan orang tua ayah dan ibu miskin (berturut-turut
73,3% dan 76,7%).
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Kemampuan Baca Tulis
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Tidak Bisa 8 26,7 3 10 11 18,3 Bisa 22 73,3 27 90 49 82,7
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Tidak Bisa 7 23,3 2 6,7 9 15
Bisa 23 76,7 28 93,3 51 85
Total 30 100 30 100 60 100
Dinamika Kemiskinan dan Transfer Kemiskinan
Dari hasil pengukuran dengan menggunakan metode Family Life Hsitory,
didapatkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu. Secara umum, lebih
dari setengah keluarga asal ayah dan ibu berstatus tidak miskin dengan
persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Semenetara sisanya
(45% keluarga asal ayah dan 48,3% keluarga asal ibu) digolongkan sebagai
keluarga miskin. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu selanjutnya
akan dibandingkan dengan status kesejahteraan keluarga contoh untuk dilihat
kecenderungan terjadinya transfer kemiskinan pada dua generasi tersebut.
Ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari
keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%).
Sebaliknya pada ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian
besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya
masing-masing 93,3% dan 86,7%). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan
terjadinya transfer kemiskinan dalam keluarga diantara dua generasi keluarga
yang diamati dalam penelitian ini (Tabel 15).
Pengamatan terhadap fenomena transfer kemiskinan antargenerasi
dilakukan melalui pendekatan dinamika kemiskinan yang dialami oleh ayah dan
ibu. Status dinamika kemiskinan dibagi menjadi empat, yaitu tidak pernah miskin,
selalu miskin, terjerumus miskin, dan keluar dari kemiskinan. Tidak pernah miskin
artinya pada dua generasi keluarga, status kesejahteraan contoh selalu tergolong
tidak miskin. Sementara sebaliknya, selalu miskin artinya pada dua generasi
keluarga contoh mengalami status yang sama yaitu miskin. Terjerumus miskin
artinya ayah atau ibu mengalami perubahan status dari tidak miskin saat tinggal
49
bersama orang tua, menjadi miskin pada saat ini. Sebaliknya, keluar dari
kemiskinan artinya berubah dari miskin saat tinggal bersama orang tua, menjadi
tidak miskin saat membentuk keluarga baru di masa sekarang.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Status Kesejahteraan
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Keluarga Ayah Miskin 25 83,3 2 6,7 27 45 Tidak Miskin 5 16,7 28 93,3 33 55
Total 30 100 30 100 60 100
Keluarga Ibu Miskin 25 83,3 4 13,3 29 48,3
Tidak Miskin 5 16,7 26 86,7 31 51,7
Total 30 100 30 100 60 100
Sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu
miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sekitar 3,3 persen ayah
mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami
kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga
mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah
miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke
dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari
kemiskinan.
Transfer kemiskinan terjadi ketika status dinamika kemiskinan antara dua
generasi keluarga yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus menjadi
miskin. Sebaliknya, bila status dinamika kemiskinan yang dialami adalah keluar
dari kemiskinan dan tidak pernah miskin maka dapat disimpulkan transfer
kemiskinan tidak terjadi. Dalam penelitian ini, jumlah contoh yang mengalami
transfer kemiskinan dan tidak mengalami transfer kemiskinan sama besar baik
pada keluarga ayah (masing-masing 30 keluarga) maupun pada keluarga ibu
(masing-masing 30 keluarga). Hal tersebut disebabkan karena keluarga contoh
dalam penelitian ini telah didesain berstatus miskin dan tidak miskin dengan
proporsi sama besar.
Dinamika kemiskinan dan perkawinan. Perkawinan bisa menjadi jalan
bagi seorang individu untuk meningkatkan status sosialnya ataupun sebaliknya.
Untuk mengamati fenomena tersebut, dapat dilakukan dengan membandingkan
status kesejahteraan keluarga asal setiap pasangan (ayah dan ibu) dengan
status kesejahteraan keluarga yang dibentuk saat ini (Tabel 16).
50
Keluarga contoh yang dibentuk dari ayah dan ibu yang sama-sama
berasal dari keluarga miskin, seluruhnya juga berstatus miskin. Artinya, ayah dan
ibu dari kelompok keluarga tersebut selalu berada dalam kondisi miskin (status
dinamika kemiskinannya selalu miskin). Sementara itu, keluarga contoh yang
dibentuk dari ayah yang berasal dari keluarga tidak miskin sementara ibu berasal
dari keluarga miskin setengahnya berstatus miskin dan setengah lainnya
berstatus tidak miskin. Dengan demikian, perkawinan justru menjerumuskan
sebagian ayah dari keluarga yang tidak miskin ke dalam kemiskinan. Di lain
pihak, perkawinan juga menjadi jalan bagi sebagian ibu untuk keluar dari
kemiskinan.
Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan saat ini (n=60 keluarga)
STATUS1
Ibu Total
Miskin Tidak Miskin
STATUS2 n STATUS2 n STATUS2 n
Ayah
Miskin
Miskin 21 Miskin 4 Miskin 25
Tidak miskin 0 Tidak miskin 2 Tidak miskin 2
Sub Total 21 Sub Total 6 Sub Total 27
Tidak Miskin
Miskin 4 Miskin 1 Miskin 5
Tidak miskin 4 Tidak miskin 24 Tidak miskin 28
Sub Total 8 Sub Total 25 Sub Total 33
Miskin 25 Miskin 5 Miskin 30 Tidak miskin 4 Tidak miksin 26 Tidak miskin 30
Total 29 Total 31 Total 60
Keluarga contoh yang dibentuk dari pernkawinan ibu yang berasal dari
keluarga tidak miskin dengan ayah dari keluarga miskin, sebagian besar (67%)
berstatus miskin. Keputusan menikah dengan ayah yang berstatus miskin,
menyebabkan sebagian besar ibu terjerumus ke dalam kemiskinan. Namun ada
pula ayah yang mengalami kenaikan status kesejahteraan karena menikah
dengan ibu yang berasal dari keluarga tidak miskin. Sementara itu, keluarga
contoh yang dibentuk dari pasangan ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin,
hampir seluruhnya berstatus tidak miskin.
Menarik untuk dianalisis lebih lanjut, terdapat satu keluarga contoh yang
dibentuk dari ayah dan ibu yang berasal dari keluarga tidak miskin namun saat ini
statusnya berubah menjadi miskin. Ayah dari keluarga tersebut menempuh lama
pendidikan formal selama sembilan tahun, beberapa tahun di bawah rata-rata
lama pendidikan ayah dari keluarga tidak miskin (11,4 tahun). Sama halnya
dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ibu dari keluarga contoh tersebut.
51
Ayah dari keluarga contoh tersebut bekerja sebagai sopir, sementara ibu tidak
bekerja dan keduanya tidak atau belum mendapatkan warisan dari orang tuanya.
Informasi pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa status kesejahteraan
keluarga asal ayah lebih banyak menentukan kesejahteraan keluarga contoh
saat ini. Persentase keluarga contoh yang tidak miskin lebih tinggi saat ayah
berasal dari keluarga tidak miskin dibandingkan dengan keluarga yang dibentuk
dari ayah yang berasal dari keluarga miskin. Bila dianalisis kembali karakteristik
keluarga contoh dalam penelitian ini, sebagian besar keluarga menggantungkan
penghidupan hanya kepada ayah saja. Dengan demikian, kualitas (human
capital) dalam diri ayah akan sangat menentukan status kesejahteraan keluarga
contoh. Kualitas ayah sangat bergantung pada investasi yang dilakukan oleh
orang tua kepada dirinya. Sehingga status kesejahteraan keluarga asal ayah
akan sangat berperan dalam menentukan status kesejahteraan keluarga contoh.
Namun, diperlukan analisis lebih lanjut untuk lebih mendukung kesimpulan
tersebut
Tabel 17 Persentase status kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu (n=60 keluarga)
Keluarga Asal Keluarga Contoh
Ayah Ibu Miskin (%) Tidak Miskin (%)
Miskin Miskin 100 0 Tidak miskin Miskin 50 50 Miskin Tidak miskin 67 33 Tidak miskin Tidak miskin 4 96
Dinamika kemiskinan dan lama pendidikan ayah serta ibu. Hal yang
menarik untuk diperhatikan adalah lebih dari seperempat ibu yang tidak pernah
miskin (30,8%) berpendidikan hingga tamat sekolah dasar. Sedangkan setengah
dari ibu yang mengalami kondisi keluar dari kemiskinan menempuh pendidikan
hingga pendidikan dasar dan setengahnya hingga tingkat menengah pertama
(Tabel 18).
Sementara itu, masing-masing setengah ayah yang mengalami kondisi
keluar dari kemiskinan menempuh pendidikan hingga tingkat menengah pertama
dan menengah atas. Artinya, tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat
menjadi jalan untuk meningkatkan status kesejahteraan. Hampir setengah ayah
yang terjerumus ke dalam kemiskinan menyelesaikan pendidikan formal hingga
tingkat menengah atas, pada kelompok ibu jumlahnya mencapai seperlima.
52
Fakta tersebut berkebalikan dengan pendugaan sebelumnya, pendidikan yang
lebih tinggi tidak selalu berkaitan dengan status kesejahteraan yang lebih baik.
Tabel 18 Sebaran lama pendidikan formal contoh berdasarkan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga)
Lama Sekolah (tahun)
Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah ≤6 12 48 2 40 0 0 2 7,1 16 26,7 7-9 9 36 1 20 1 50 6 21,4 17 28,3 10-12 4 16 2 40 1 50 16 57,2 23 38,3 >12 0 0 0 0 0 0 4 14,3 4 6,7
Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100
Ibu ≤6 14 56 4 80 2 50 8 30,8 28 46,7 7-9 8 32 0 0 2 50 6 23 16 26,7 10-12 3 12 1 20 0 0 10 38,5 14 23,3 >12 0 0 0 0 0 0 2 7,7 2 3,3
Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100
Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Warisan
Sekitar 56,7 persen ayah dan 26,7 persen ibu mengaku mendapatkan
warisan dari orang tuanya masing-masing. Sisanya ada yang memang tidak
mendapatkan warisan dan ada juga yang belum mendapatkan warisan karena
orang tuanya masih hidup. Tiga perempat warisan yang diterima ayah berupa
tanah atau sawah, sementara pada ibu persentasenya mencapai setengahnya.
Pada kelompok ayah, jumlah penerima warisan lebih banyak pada contoh
dengan status kesejahteraan saat ini tidak miskin (76,5%). Sementara pada
kelompok ibu, perbandingan penerima warisan sama besar antara contoh pada
kategori miskin dan tidak miskin.
Warisan dan dinamika kemiskinan. Bila dikaitkan dengan status
dinamika kemiskinan contoh, sebagian besar warisan diberikan kepada contoh
yang mengalami status tidak pernah miskin, baik pada kelompok ayah (76,5%)
maupun ibu (50%). Warisan merupakan salah satu transfer capital yang dapat
menghindakan kemiskinan dari satu generasi ke generasi sebelumnya.
Tabel 19 memperlihatkan bahwa jumlah ayah yang mendapatkan warisan
(n=17 atau 23,3%) lebih banyak bila dibandingkan dengan ibu (n=8 atau 13.3%)).
Dari jumlah tersebut, sebaran terbanyak penerima warisan berada pada kategori
dinamika kemiskinan tidak pernah miskin, baik untuk kelompok ayah (76.5%)
53
maupun kelompok ibu (50%). Sementara itu, 11,8 persen ayah dan seperempat
ibu yang mendapatkan warisan ternyata mengalami kondisi terjerumus ke dalam
kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya jaminan bahwa warisan
akan mampu meningkatkan status kesejahteraan. Namun perlu digarisbawahi
bahwa dalam penelitian ini tidak dianalisis besarnya warisan yang diterima.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Warisan Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Rumah 2 11,8 2 11,8 4 23,5 Tanah/sawah 2 11,8 10 58,8 12 70,6 Uang tunai 0 0 1 5,9 1 5,9
Total 4 23,5 13 76,5 17 100
Ibu Rumah 1 12,5 1 12,5 2 25
Tanah/sawah 3 37,5 1 12,5 4 50 Uang tunai 0 0 2 25 2 25
Total 4 50 4 50 8 100
Menarik untuk diperhatikan, tidak ada satupun contoh yang mengalami
status dinamika kemiskinan keluarga keluar dari kemiskinan yang menerima
warisan, baik pada kelompok ayah maupun ibu. Hal tersebut meperlihatkan
bahwa kondisi keluar dari kemiskinan yang dialami bukan disebabkan karena
adanya warisan.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterimadan dinamika kemiskinan yang dialami (n=60 keluarga)
Warisan Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah Rumah 1 5,9 1 5,9 0 0 2 11,8 4 23,5 Tanah/sawah 1 5,9 1 5,9 0 0 10 58,8 12 70,6 Uang tunai 0 0 0 0 0 0 1 5,9 1 11,8
Total 2 11,8 2 11,8 0 0 13 76,5 17 100
Ibu Rumah 0 0 1 12,5 0 0 1 12,5 2 25 Tanah/sawah 2 25 1 12,5 0 0 1 12,5 4 50 Uang tunai 0 0 0 0 0 0 2 25 2 25
Total 2 25 2 25 0 0 4 50 8 100
Keterangan:
SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah
miskin
54
Nilai Anak
Konsep nilai anak mengacu pada persepsi orang tua mengenai manfaat
dan kerugian memiliki anak. Nilai anak yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari
tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, sosial, dan ekonomi. Sebagian besar ayah dan
ibu pada semua kelompok keluarga contoh (miskin dan tidak miskin)
mempersepsikan nilai anak pada kategori yang tinggi untuk dimensi psikologis.
Persentase terbesar pada dua dimensi lainnya, dimensi sosial dan dimensi
ekonomi, adalah kategori sedang hampir pada semua kelompok contoh. Hanya
pada dimensi ekonomi, lebih dari setengah contoh ayah yang tidak miskin
mempersepsikan nilai ekonomi anak yang tinggi (Tabel 21).
Hasli uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
diantara keempat kelompok contoh dalam hal dimensi psikologis dan sosial
(p>0,05). Sementara itu pada dimensi nilai ekonomi, tedapat perbedaan diantara
keempat kelompok responden (p<0,01). Hasil uji lebih lanjut menunjukkan nilai
ekonomi anak antara ayah yang tidak miskin dengan ibu yang tidak miskin
berbeda nyata (p<0,05).
Tabel 21 Sebaran contoh berdaarkan kategori skor nilai anak per dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Contoh Dimensi Kategori Miskin Tidak Miskin Total
n % N % n %
Ayah
Nilai Psikologis
Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 8 26,7 3 10 11 18,3
Tinggi 22 73,3 27 90 49 81,7
Total 30 100 30 100 60 100
Nilai Sosial
Rendah 1 3,3 0 0 1 1,7
Sedang 26 86,7 23 76,7 49 81,7
Tinggi 3 10 7 23,3 10 16,7
Total 30 100 30 100 60 100
Nilai Ekonomi
Rendah 0 0 1 3,3 1 1,7
Sedang 23 76,7 12 40 35 58,3
Tinggi 7 23,3 17 56,7 24 40
Total 30 100 30 100 60 100
Ibu
Nilai Psikologis
Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 7 23,3 5 16,7 12 20
Tinggi 23 76,7 25 83,3 48 80
Total 30 100 30 100 60 100
Nilai Sosial
Rendah 1 3,3 0 0 1 1,7
Sedang 23 76,7 24 80 47 78,3
Tinggi 6 20 6 20 12 20
Total 30 100 30 100 60 100
Nilai Ekonomi
Rendah 2 6,7 4 13,3 6 10 Sedang 25 83,3 21 70 46 76,7 Tinggi 3 10 5 16,7 8 13,3
Total 30 100 30 100 60 100
55
Secara keseluruhan lebih dari setengah ayah (51,7%) mempersepsikan
nilai anak pada kategori tinggi, sementara 68,3 persen ibu mempersepsikan nilai
anak pada kategori sedang. Pada kedua kelompok, ayah dan ibu, tidak terdapat
responden yang mempersepsikan nilai anak pada kategori rendah. Rata-rata
skor persepsi ayah mengenai nilai anak (M=36,4; sd=3,3) lebih tinggi dari rata-
rata skor nilai persepsi ibu mengenai nilai anak (M=35,5; sd=2,3). Walau begitu,
hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara skor
persepsi nilai anak ibu dan ayah (t=-1,840; p>0,05).
Skor persepsi nilai anak contoh yang berstatus tidak miskin, baik ayah
maupun ibu, lebih tinggi daripada contoh yang berstatus miskin (Tabel 22). Pada
kategori ayah, rata-rata skor persepsi nilai anak ayah berstatus miskin adalah
35,2 (sd=3), sementara pada kelompok ayah tidak miskin rata-ratanya lebih
tinggi yaitu sebesar 37,6 (sd=3,1). Rata-rata skor persepsi nilai anak ibu pada
kelompok miskin adalah 34,7 (sd=2,5), lebih rendah dari rata-rata kelompok
contoh ibu yang tidak miskin (M=36,2; sd=1,9). Hasil uji beda menunjukkan rata-
rata skor nilai anak ayah yang berstatus miskin dan tidak miskin berbeda nyata
(t=-3,052; p<0,01), begitu pula pada kelompok contoh ibu (t = -2,491; p<0,05).
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak keseluruhan dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Nilai Anak Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 Sedang 17 56,7 12 40 29 48,3 Tinggi 13 43,3 18 60 31 51,7
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 35,2 37,6 36,4
Sd 3 3,1 3,3
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 24 80 17 56,7 41 68,3 Tinggi 6 20 13 43,3 19 31,7
Total 30 100 30 100 60 100
Rat-rata 34,7 36,2 35,5
Sd 2,5 1,9 2,3
Keterangan: Rendah = 15-26; sedang =27-36; tinggi = 37-45
Sementara itu, ayah dan ibu secara umum dipersepsikan memiliki nilai
yang sedang di mata orang tuanya masing-masing. Hal tersebut terlihat dari skor
rata-rata persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu (Tabel 23). Bila
dibandingkan, skor rata-rata persepsi orang tua mengenai nilai ayah (M=36,3;
56
sd=3,5) lebih tinggi daripada persepsi orang tua mengenai nilai ibu (M=34,7;
sd=3,2). Hasil uji beda menunjukkan rata-rata persepsi orang tua tentang nilai ibu
dan ayah secara statistik berbeda nyata (t=-2,586; p<0,05).
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Persepsi orang tua tentang nilai
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 Sedang 21 70 10 33,3 31 51,7 Tinggi 9 30 20 66,7 29 48,3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 35 37,5 36,3
Sd 3,8 2,8 3,5
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 23 76,7 17 56.7 40 66.7 Tinggi 7 23,3 13 43.3 20 33.3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 33,8 35,5 34,7
Sd 3,3 2,9 3,2
Keterangan: Rendah = 15-26; sedang =27-36; tinggi = 37-45
Hasil analisis menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat ayah yang
mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang, dipersepsikan bernilai sedang
pula oleh orang tuanya. Begitu pula ayah dengan persepsi nilai anak pada
kategori tinggi, sebesar 74,2 persen diantaranya juga dipersepsikan pada
kategori tinggi oleh orang tuanya (Tabel 24). Hal senada juga terjadi pada
kelompok ibu, 82,9 persen ibu yang mempersepsikan nilai anak pada kategori
sedang, dipersepsikan oleh orang tuanya memiliki nilai anak pada kategori
sedang pula. Sementara itu, lebih dari setengah ibu (68.4%) yang
mempersepsikan tinggi nilai anak dipersepsikan memiliki nilai yang tinggi pula
oleh orangtuanya.
Bila dibandingkan skor antara persepsi orang tua mengenai nilai ayah
dan ibu dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak, tidak terdapat
perbedaan yang nyata diantara keduanya (t=-1,559; p>0,05). Lebih jauh lagi, bila
dibandingkan skor rata-rata antara persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu
dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak berdasarkan status
kesejahteraan keluarga contoh, tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05).
Terdapat kecenderungan, baik orang tua ayah dan ibu maupun ayah dan ibu
mempersepsikan hal yang sama dalam hal nilai anak.
57
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta persepsi ayah dan ibu mengenai nilia anak (n=60 keluarga)
Persepsi Orang Tua Terkait Nilai
Ayah dan Ibu
Persepsi Ayah dan Ibu Tentang Nilai Anak Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 0 0 23 79,3 8 25,8 31 51,7 Tinggi 0 0 6 20,7 23 74,2 29 48,3
Total 0 0 29 100 31 100 60 100
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 0 0 34 82,9 6 31,6 40 66,7 Tinggi 0 0 7 17,1 13 68,4 20 33,3
Total 0 0 41 100 19 100 60 100
Nilai anak dan dinamika kemiskinan. Lebih dari setengah ayah yang
berstatus tidak pernah miskin (60,7%) mempersepsikan nilai anak pada kategori
tinggi, sama halnya dengan ayah yang berstatus selalu miskin (52%). Sementara
itu, 42,3 persen ibu yang berstatus tidak pernah miskin dan 24 persen ibu yang
berstatus selalu miskin juga mempersepsikan anak pada kategori tinggi. Jumlah
tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan ibu yang mempersepsikan anak
pada kategori sedang di masing-masing status dinamika kemiskinan (selalu
miskin = 76%, tidak pernah miskin 57,7%). Informasi mengenai sebaran contoh
berdasarkan kategori skor nilai anak dan status dinamika kemiskinan disajikan
pada Tabel 25.
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak dan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga)
Nilai Anak
Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 12 48 5 100 1 50 11 39,3 29 48,3 Tinggi 13 52 0 0 1 50 17 60,7 31 51,7
Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 19 76 5 100 2 50 15 57,7 41 68,3 Tinggi 6 24 0 0 2 50 11 42,3 19 31,7
Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100
Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
58
Seluruh ayah dan ibu yang mengalami kondisi terjerumus ke dalam
kemiskinan mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang. Untuk contoh
dengan status dinamika kemiskinan keluar dari kemiskinan, persentase contoh
yang berada pada kategori sedang dan tinggi sama besar, baik pada kelompok
ayah (masing-masing 50%) maupun ibu (masing-masing 50%). Terlihat bahwa
tidak terdapat kecenderungan hubungan antara persepsi ayah dan ibu mengenai
nilai anak dengan status dinamika kemiskinan yang dialami oleh keduanya.
Sekitar 67,9 persen orang tua ayah yang mengalami kondisi tidak pernah
miskin, mempersepsikan nilai ayah pada kategori tinggi. Dengan jumlah yang
hampir sama, 68 persen orang tua ayah yang mengalami kondisi selalu miskin
mempersepsikan nilai ayah pada kategori sedang. Pada kelompok ibu, proporsi
terbesar persepsi orang tua mengenai nilai ibu berada pada kategori sedang baik
pada kelompok ibu yang selalu miskin (76%) maupun tidak pernah miskin
(57,7%). Hal tersebut menunjukan tidak adanya kecenderungan hubungan
antara persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu dengan status dinamika
kemiskinan yang dialami oleh ayah dan ibu (Tabel 26).
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu serta status dinamika kemiskinan contoh (n=60 keluarga)
Persepsi orang tua
tentang nilai
Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 17 68 4 80 1 50 9 32,1 31 51,7 Tinggi 8 32 1 20 1 50 19 67,9 29 48,3
Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 19 76 4 80 2 50 15 57,7 40 66,7 Tinggi 6 24 1 20 2 50 11 42,3 20 33,3
Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100
Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Perilaku Investasi Orang Tua terhadap Anak
Perilaku investasi yang diukur terdiri dari alokasi waktu orang tua
terhadap anak serta alokasi uang orang tua terhadap anak yang
dimanifestasikan dalam perilaku investasi yang dilakukan orang tua dalam
aktivitas sehari-hari terkait interaksinya dengan anak. Perilaku aloksi waktu ayah
dan ibu untuk anak pada umumnya berada pada kategori sedang. Kecuali pada
59
kelompok ibu tidak miskin, lebih dari setengah contoh pada kelompok tersebut
memiliki skor perilaku investasi kategori alokasi waktu pada kategori tinggi (Tabel
27).
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi untuk tiap dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Contoh Dimensi Kategori Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah
Alokasi Waktu
Rendah 15 50 3 10 18 30
Sedang 15 50 26 86,7 41 68,3
Tinggi 0 0 1 3,3 1 1,7
Total 30 100 30 100 60 100
Alokasi Uang
Rendah 2 6,7 0 0 2 3,3
Sedang 20 66,7 9 30 29 48,3
Tinggi 8 26,7 21 70 29 48,3
Total 30 100 30 100 60 100
Ibu
Alokasi Waktu
Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 23 76,7 12 40 35 58,3
Tinggi 7 23,3 18 60 25 41,7
Total 30 100 30 100 60 100
Alokasi Uang
Rendah 1 3,3 0 0 1 1,7
Sedang 20 66,7 8 26,7 28 46,7
Tinggi 9 30 22 73,3 31 51,7
Total 30 100 30 100 60 100
Pada dimensi perilaku alokasi uang, sebaran paling tinggi untuk kelompok
contoh berstatus miskin berada pada kategori sedang, baik untuk contoh ibu
maupun ayah (masing-masing 66,7%). Sementara untuk kelompok berstatus
tidak miskin, sebaran paling tinggi berada pada kategori tinggi dengan
persentase masing-masing untuk ayah dan ibu adalah 70 persen dan 73,3
persen (Tabel 27). Hasil uji beda menunjukkan skor perilaku investasi untuk
dimensi alokasi waktu dan uang pada seluruh kelompok contoh berbeda nyata
(p<0,01).
Skor perilaku investasi ibu secara umum memiliki rata-rata yang lebih
tinggi (M=48,4; sd= 4,1) bila dibandingkan dengan skor rata-rata ayah (M=43,2;
sd=4,8). Sebaran tertinggi pada kedua kelompok berada pada kategori sedang
dengan persentase masing-masing 78,3 persen untuk kelompok ayah dan 53,3
persen untuk kelompok ibu (Tabel 28). Hasil uji beda menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang nyata antara skor perilaku investasi ibu dan ayah
(t=6,472; p<0,01)
60
Tabel 28 Sebaran perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Perilaku Investasi Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Rendah 4 13.3 0 0 4 6.7 Sedang 26 86.7 21 70 47 78.3 Tinggi 0 0 9 30 9 15 Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 39.9 46.4 43.2
Sd 3.4 3.7 4.8
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 24 80 8 26.7 32 53.3 Tinggi 6 20 22 73.3 28 46.7 Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 46 50.8 48.4
Sd 3.4 3.2 4.1
Keterangan: Rendah = 20-35; Sedang =36-48; Tinggi = 49-60
Bila dibandingkan berdasarkan status kesejahteraan keluarga contoh,
ayah dan ibu yang tidak miskin memiliki rata-rata skor perilaku investasi yang
lebih baik daripada kelompok contoh ayah dan ibu dengan status miskin. Hasil uji
beda menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal skor rata-rata perilaku
investasi ayah miskin dengan tidak miskin (t=-7,077; p<0,01) serta ibu miskin
dengan tidak miskin (t=-5,576; p<0,01).
Penelitian ini juga turut menganalisis perilaku investasi orang tua
terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia dini (hasil ditunjukkan pada Tabel
29). Hasil analisis menunjukkan bahwa orang tua ayah memiliki rata-rata skor
perilaku investasi yang lebih rendah (M=40,9; sd=5) bila dibandingkan dengan
skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu (M=43,6; sd=4,4). Baik pada
kelompok ayah maupun ibu, skor rata-rata perilaku investasi orang tua terhadap
keduanya secara umum berada pada kategori sedang (persentasenya masing-
masing 76,7% dan 83,3%). Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata
antara skor rata-rata perilaku investasi orang tua terhadap ibu dan ayah (t=-
3,962; p<0,01).
61
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Kategori Skor Perilaku Investasi
orang tua terhadap Ayah dan Ibu
Miskin Tidak Miskin Total
n % n % n %
Ayah Rendah 8 26,7 1 3,3 9 15 Sedang 21 70 25 83,3 46 76,7 Tinggi 1 3,3 4 13,3 5 8,3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 38,1 43,7 40,9
Sd 4,5 3,9 5
Ibu Rendah 1 3,3 1 3,3 2 3,3
Sedang 28 93,3 22 73,3 50 83,3 Tinggi 1 3,3 7 23,3 8 13,3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata 41,6 45,6 43,6
Sd 3,1 4,6 4,4
Keterangan: Rendah = 20-35; sedang =36-48; tinggi = 49-60
Ayah dan ibu memiliki skor perilaku investasi yang lebih baik
dibandingkan orang tuanya masing-masing. Bila dibandingkan antara skor
perilaku investasi orang tua terhadap ibu dengan skor perilaku investasi ibu
terhadap anak, dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor keduanya secara statistik
berbeda nyata (t=-6.292; p<0.01). Begitu pula dengan rata-rata skor perilaku
investasi orang tua terhadap ayah dengan rata-rata skor perilaku investasi ayah
terhadap anak, keduanya juga berbeda nyata (t=-2.512; p<0.05).
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak (n=60 keluarga)
Perilaku Investasi
Perilaku Investasi Ayah dan Ibu Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Orang tua Ayah Rendah 3 5 6 10 0 0 9 15 Sedang 1 1,7 38 63,3 7 11,7 46 76,7 Tinggi 0 0 3 5 2 3,3 5 8,3
Total 4 6,7 47 78,3 9 15 60 100
Orang tua Ibu Rendah 0 0 1 1,7 1 1,7 2 3,3 Sedang 0 0 30 50 20 33,3 50 83,3 Tinggi 0 0 1 1,7 7 11,7 8 13,3
Total 0 0 32 53,3 28 46,7 60 100
62
Perilaku investasi dan dinamika kemiskinan. Lebih dari sepertiga ayah
yang mengalami kondisi tidak pernah miskin memiliki skor perilaku investasi
terhadap anak pada kategori tinggi. Sementara ayah dengan status dinamika
kemiskinan lainnya tidak ada yang memiliki skor perilaku investasi pada kategori
tinggi. Hampir tiga perempat ibu dengan status tidak pernah miskin memiliki skor
perilaku investasi terhadap anak pada kategori tinggi. Sedangkan pada kelompok
contoh ibu dengan status dinamika kemiskinan selalu miskin, persentasenya
hanya sebesar 20 persen (Tabel 31). Hal tersebut menunjukan kecenderungan
hubungan antara skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak dengan
status dinamika kemiskinan yang dialami keduanya.
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga)
Perilaku Investasi
Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah Rendah 3 12 1 20 0 0 0 0 4 6,7 Sedang 22 88 4 80 2 100 19 67,9 47 78,3 Tinggi 0 0 0 0 0 0 9 32,1 9 15
Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100
Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 20 80 4 80 1 25 7 26.9 32 53.3 Tinggi 5 20 1 20 3 75 19 73.1 28 46.7
Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100
Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Sebanyak 14,3 persen ayah yang berstatus tidak pernah miskin
mendapatkan investasi pada kategori tinggi dari orang tuanya dilihat dari skor
perilaku investasi orang tua terhadap ayah. Tidak ada satupun ayah dengan
status selalu miskin yang mendapatkan investasi pada kategori tinggi dari orang
tuannya. Sebagian besar skor perilaku investasi orang tua ayah yang berstatus
selalu miskin (68%) tergolong sedang (Tabel 32).
Sementara itu, lebih dari seperempat ibu dengan status tidak pernah
miskin mendapatkan investasi yang tergolong tinggi dari orangtuanya,
sedangkan pada kelompok ibu yang selalu miskin persentasenya hanya sebesar
empat persen. Terdapat kecenderungan hubungan antara skor perilaku investasi
63
yang dilakukan oleh orang tua terhadap ayah dan ibu dengan status dinamika
kemiskinan yang dialami keduanya.
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu dan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga)
Perilaku Investasi
Orang Tua terhadap Ayah
dan Ibu
Status Dinamika Kemiskinan Total
SM TM KM TPM
n % n % n % n % n %
Ayah Rendah 8 32 0 0 0 0 1 3,6 9 15 Sedang 17 68 4 80 2 100 23 82,1 46 76,7
Tinggi 0 0 1 20 0 0 4 14,3 5 8,3
Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100
Ibu Rendah 1 4 0 0 0 0 1 3,8 2 3,3 Sedang 23 92 5 100 4 100 18 69,2 50 83,3
Tinggi 1 4 0 0 0 0 7 27 8 13,3
Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100
Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Asal Ayah dan Ibu,
Persepsi Orang Tua Mengenai Nilai Ayah dan Ibu, serta Perilaku Investasi
Orang Tua terhadap Ayah dan Ibu
Variabel-variabel yang berkaitan dengan karakteristik keluarga orang tua
ayah dan ibu dianalisis dengan menggunakan uji korelasi untuk melihat
keterkaitannya dengan variabel nilai anak dan perilaku investasi yang melibatkan
ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing (Tabel 33 dan Tabel 34).
Status kesejahteraan keluarga orang tua ayah berhubungan positif dan nyata
dengan perilaku investasi orang tua terhadap ayah (r=0,645; p<0,01). Artinya,
semakin sejahtera keluarga, semakin baik skor perilaku investasi orang tua
terhadap ayah. Selain itu, status kesejahteraan keluarga ayah berhubungan
positif nyata dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ayah (r=0,545;
p<0,01). Status kesejahteraan keluarga ayah juga berkaitan positif nyata dengan
warisan yang diberikan kepada dirinya (r=0,420; p<0,01). Sedangkan jumlah
anak yang dimiliki oleh keluarga ayah (jumlah saudara kandung ayah)
berhubungan posistif nyata dengan skor persepsi orang tua terkait nilai ayah
(r=0,469; p<0,01).
64
Tabel 33 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ayah, persepsi orang tua terkait nilai ayah, dan perilaku investasi orang tua terhadap ayah
Variabel Status
kesejahteraan keluarga ayah
Jumlah saudara kandung
ayah
Persepsi orang tua
terkait nilai ayah
Perilaku investasi orang tua terhadap
ayah
Warisan yang
diterima ayah
1. Status kesejahteraan keluarga asal ayah
1
2. Jumlah saudara kandung ayah
-0,053 1
3. Persepsi orang tua terkait nilai ayah
0,253 0,469** 1
4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah
0,645** -0,010 0,358
** 1
5. Warisan yang diterima ayah
0,420** 0,093 0,084 -0,018 1
6. Lama pendidikan ayah
0,545** 0,081 0,456
** 0,766
** 0,024
Sementara itu, persepsi orang tua mengenai nilai ayah berhubungan
positif nyata dengan perilaku investasi orang tua terhadap ayah (r=0,358;
p<0,01). Semakin tinggi skor persepsi orang tua terkait nilai ayah, maka skor
perilaku investasi orang tua terhadap ayah akan semakin tinggi pula. Persepsi
orang tua terkait nilai ayah juga berhubungan positif dan nyata dengan lama
pendidikan formal yang ditempuh ayah (r=0,456; p<0,01). Ini menunjukkan
bahwa persepsi yang semakin baik dari orang tua mengenai nilai anak,
mendorong orang tua untuk berinvestasi lebih banyak pada diri ayah. Baik dilihat
dari skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah maupun alokasi sumberdaya
untuk pendidikan yang dilihat dari lama pendidikan formal yang ditempuh oleh
ayah.
Sama halnya seperti pada kasus ayah, perilaku investasi orang tua
terhadap ibu berhubungan nyata positif dengan status kesejahteraan keluarga
orang tua ibu (r=0,307; p<0,05). Begitu pula dengan lama pendidikan formal yang
ditempuh ibu, hubungannya nyata positif dengan status kesejahteraan keluarga
orang tuanya (r=0,257; p<0,05). Investasi orang tua terhadap ibu, baik dalam
bentuk perilaku maupun lama pendidikan, akan meningkat seiring dengan
semakin sejahteranya keluarga asal ibu. Berbeda dengan hasil pada kasus ayah,
warisan yang diterima ibu tidak berhubungan nyata dengan status kesejahteraan
keluarga orang tua ibu (r=0,183; p>0,05). Walau begitu, arah hubungan
keduanya positif seperti halnya pada kasus ayah.
65
Tabel 34 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ibu, persepsi orang tua terkait nilai ibu, dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu
Variabel
Status kesejahteraan keluarga asal
ibu
Jumlah saudara kandung
ibu
Persepsi orang tua
terkait nilai ibu
Perilaku investasi orang tua terhadap
ibu
Warisan yang
diterima ibu
1. Status kesejahteraan keluarga asal ibu
1
2. Jumlah saudara kandung ibu
0,053 1
3. Persepsi orang tua terkait nilai ibu
0,172 -0,190 1
4. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu
0,307* -0,273* 0,206 1
5. Warisan yang diterima ibu
0,183 0,068 -0,064 -0,029 1
6. Lama pendidikan ibu
0,257* -0,310* 0,320* 0,653** -0,188
Hasil pegujian menunjukkan bahwa jumlah anak yang dimiliki orang tua
ibu atau jumlah saudara kandung ibu, berhubungan nyata negatif dengan
perilaku investasi orang tua terhadap ibu (r=0,273; p<0,05) dan pendidikan
formal yang ditempuh ibu (r=-0,310; p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
dibandingkan kondisi ayah, persaingan ibu dalam keluarga untuk mendapatakan
investasi dari orang tua lebih berat ketika dikaitkan dengan jumlah anak dalam
keluarga. Mengingat rata-rata jumlah saudara kandung yang dimiliki oleh
kelompok contoh ayah lebih tinggi bila dibandingkan dengan ibu, dugaan
selanjutnya mengarah pada ketimpangan nilai gender dalam keluarga antara
anak perempuan dengan laki-laki. Ditambah dengan fakta bahwa pada keluarga
ayah, hubungan antara jumlah anak dengan pendidikan formal yang ditempuh
bersifat positif sementara sebaliknya pada keluarga ibu hubungannya negatif.
Persepsi orang tua mengenai nilai ibu berhubungan nyata positif dengan
pendidikan formal yang ditempuh ibu (r=0,320; p<0,05). Artinya semakin tinggi
skor persepsi nilai ibu dimata orang tuanya, semakin lama pendidikan formal
yang dijalani oleh ibu. Walaupun tidak nyata seperti pada kasus ayah, persepsi
orang tua terkait nilai ibu dengan perilaku investasi berhubungan positif (r=0,206;
p>0,05). Berbeda dengan hasil pada keluarga ayah, pada keluarga ibu skor
persepsi orang tua tentang nilai ibu mempunyai hubungan yang negatif dengan
jumlah anak atau jumlah saudara kandung ibu. Dua variabel yang merupakan
66
bagian dari investasi orang tua terhadap anak, yaitu lama pendidikan formal yang
ditempuh oleh ibu dan perilaku investasi yang dilakukan orang tua terhadap ibu,
memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,653; p<0,01). Semakin tinggi skor
perilaku investasi orang tua terhadap ibu, semakin lama pendidikan formal yang
ditempuh oleh ibu.
Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Contoh, Persepsi Ayah dan
Ibu Mengenai Nilai Anak, dan Perilaku Investasi Ayah dan Ibu terhadap
Anak
Hasil pengujian varibel-varibel yang berkaitan dengan keluarga contoh
menunjukkan beberapa variabel yang berhubungan nyata dengan status
kesejahteraan keluarga contoh (Tabel 36). Variabel-variabel tersebut yaitu,
pendidikan ayah (r=0,608; p<0,01), pendidikan ibu (r=0,331; p<0,01), skor
persepsi ayah tentang nilai anak (r=0,320; p<0,05), skor persepsi ibu tentang
nilai anak (r=0,282; p<0,05), skor perilaku investasu ayah terhadap anak
(r=0,693; p<0,01), skor perilaku investasi ibu terhadap anak (r=0,597; p<0,01),
dan warisan yang diterima ayah (r=0,333; p<0,01).
Bila variabel-variabel tersebut dibagi berdasarkan interaksi antara ayah
dan ibu dengan generasi sebelumnya (kakek dan nenek) atau sesudahnya
(anak), maka didapatkan dua kelompok variabel. Pertama adalah variabel yang
melibatkan interaksi langsung antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-
masing, yaitu lama pendidikan formal ayah dan ibu serta warisan yang diterima
oleh ayah. Kedua adalah variabel yang melibatkan interaksi antara ayah dan ibu
dengan anaknya, yaitu persepsi keduanya terkait nilai anak dan perilaku
investasi ayah dan ibu terhadap anak. Bila dianalisis lebih lanjut dan dikaitkan
dengan status kesejahteraan keluarga contoh, kelompok variabel pertama dapat
diduga hubungannya sebagai variabel yang mempengaruhi kesejahteraan
keluarga generasi contoh. Sementara kelompok variabel kedua, hubungannya
dapat diduga sebagai akibat atau efek dari kondisi kesejahteraan keluarga
contoh sehingga mempengaruhi interaksinya dengan anak. Namun dugaan
tersebut harus dibuktikan dengan melakukan pengujian lebih lanjut.
Jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga contoh berhubungan negatif
dengan pendidikan ayah (r=-0,210; p<0,05) dan pendidikan ibu (r=-0,270;
p>0,05). Semakin lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah dan ibu,
semakin sedikit jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga. Jumlah anak juga
67
berhubungan negatif – walaupun tidak nyata dan magnitudnya kecil – dengan
perilaku investasi, baik ayah (r=-0,080; p>0,05) maupun ibu (r=-0,069; p>0,05).
Terdapat perbedaan antara ayah dan ibu dalam hal persepsi keduanya tentang
nilai anak dengan variabel jumlah anak keluarga contoh. Dalam kasus ayah,
hubungan kedua variabel positif (r=0,075; p>0,05) sementara pada kasus ibu,
keduanya berhubungan negatif (r=-0,016; p>0,05). Hasil ini mengarahkan pada
pendugaan adanya perbedaan paradigma antara ayah dan ibu mengenai jumlah
anak.
Tabel 35 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga contoh, persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak, dan perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak
Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Status
kesejahteraan 1
Jumlah anak 0,160 1
Pendidikan ayah
0,608** -0,210 1
Pendidikan ibu
0,331** -0,270* 0,644** 1
Umur ayah 0.300* 0,702** -0,032 -0,177 1
Umur ibu 0.220 0,739** -0,099 -0,196 0,906** 1
Persepsi ayah tentang nilai anak
0,320* 0,075 0,421** 0,333** 0,033 0.039 1
Persepsi ibu tentang nilai anak
0,282* -0,016 0,453** 0,332** 0,076 0.010 0,594** 1
Perilaku investasi ayah terhadap anak
0,693** -0,080 0,693** 0,527** 0,060 -0.004 0,550** 0,427** 1
Perilaku investasi ibu terhadap anak
0,597** -0,069 0,582** 0,482** 0,015 -0.043 0,344** 0,317* 0,764** 1
Warisan yang diterima ayah
0,333** 0,224 0,020 0,011 0,410* 0,407** 0,059 0,150 0,256* 0,132 1
Warisan yang diterima ibu
0,000 0,285* -0,147 -0,199 0,152 0,295* -0,003 -0,147 -0,145 -0,303* 0,080
Keterangan: 1: status kesejahteraan 2: jumlah anak 3: pendidikan ayah 4: pendidikan ibu 5: umur ayah 6: umir ibu
7: persepsi ayah tentang nilai anak 8: persepsi ibu tentang nilaia anak 9: perilaku investasi ayah terhadap anak
10: perilaku investasi ibu terhadap anak 11: warisan yang diterima ayah
Sementara itu, lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah ataupun
ibu berhubungan nyata dan positif dengan persepsi ayah tentang nilai anak
(r=0,421; p<0,01), persepsi ibu tentang nilai anak (r=0,332; p<0,01), perilaku
investasi ayah terhadap anak (r=0,693; p<0,01), dan perilaku investasi ibu
terhadap anak (r=0,482; p<0,01). Persepsi orang tua terkait nilai anak
68
berhubungan positif dan nyata dengan perilaku investasi, baik pada kelompok
ayah (r=0,550; p<0,05) maupun ibu (r=0,317; p<0,01). Pendidikan formal yang
semakin tinggi yang ditempuh oleh ayah dan ibu semakin meningkatkan skor
persepsi nilai anak dan perilaku investasi orang tua terhadap anak. Skor persepsi
nilai anak ayah dan ibu yang semakin tinggi juga akan meningkatkan skor
perilaku investasi keduanya terhadapa anak. Masing-masing persepsi nilai anak
ayah dan ibu, serta perilaku investasi ayah dan ibu saling berhubungan nyata
positif.
Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah adanya hubungan
yang nyata positif antara lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah dan
ibu (r=0,644; p<0,01). Hal ini semakin memperkuat dugaan sebelumnya yang
mengarah pada kesetaraan status sosial antara ayah dan ibu. Terlebih lagi pada
pembahasan sebelumnya didapatkan hasil bahwa lama pendidikan formal yang
ditempuh oleh ayah dan ibu berhubungan erat dengan status kesejahteraan
keluarga asal ayah dan ibu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga
contoh dibentuk dari pasangan ayah dan ibu dengan status sosial ekonomi yang
sama.
Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Asal Contoh dan Keluarga
Contoh, Persepsi Nilai Anak serta Perilaku Investasi pada Dua Generasi
Keluarga
Status kesejahteraan keluarga asal ayah berhubungan erat dengan status
kesejahteraan keluarga contoh (r=0,771; P<0,01). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kemiskinan yang dialami oleh keluarga asal ayah dialami juga oleh
keluarga contoh. Hasil tersebut semakin menguatkan fakta terjadinya transfer
kemiskinan pada dua generasi keluarga, dalam hal ini dialami ayah. Sementara
itu, ayah yang saat ini berstatus tidak miskin juga memiliki keluarga asal yang
tidak miskin. Menunjukkan kondisi sebaliknya dari transfer kemiskinan (Tabel
37).
Transfer kemiskinan berkaitan dengan ada atau tidak adanya transfer
capital dari satu generasi keluarga ke generasi selanjutnya, baik dalam bentuk
material maupun investasi sumberdaya manusia. Selain transfer capital, hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat transfer hal lain diantara dua
generasi keluarga, yaitu nilai. Nilai anak – yang merupakan persepsi orang tua
mengenai manfaat dan kerugian memiliki anak – dipersepsikan sama oleh orang
69
tua pada dua generasi keluarga. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil korelasi
antara persepsi orang tua tentang nilai ayah dan persepsi ayah tentang nilai anak
yang berhubungan nyata positif (r=0,788; p<0,01).
Selain itu, skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah juga
berhubungan nyata dan positif dengan skor perilaku investasi ayah terhadap
anak (r=0,595; p<0,01). Berkaitan dengan adanya transfer nilai yang terjadi
diantara dua generasi keluarga dari garis keturunan ayah, berdampak pula pada
kesamaan perilaku diantara kedua generasi tersebut. Artinya, apa yang ayah
pelajari saat kecil dari perilaku investasi orang tua terhadap dirinya, turut
dipraktekan oleh ayah kepada anaknya. Walaupun data sebelumnya
menyebutkan bahwa rata-rata skor perilaku investasi ayah terhadap anak lebih
tinggi dibandingkan perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan keduanya
berbeda nyata.
Dalam hal jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga asal ayah dan juga
keluarga contoh, keduanya tidak berhubungan nyata (r=0,098; p>0,05). Telah
disinggung sebelumnya mengenai adanya program pemerintah mengenai
keluarga berencana dan perbedaan paradigma diantara kedua generasi keluarga
mengenai jumlah anak, diduga sebagai penyebab perbedaan jumlah anak yang
dimiliki oleh kedua generasi keluarga.
Seperti halnya pada kasus ayah, status kesejahteraan dua generasi
keluarga dari garis keturunan ibu juga berhubungan nyata positif (r=0,700;
p<0,01). Hasil tersebut juga semakin menguatkan fakta terjadinya transfer
kemiskinan di antara dua generasi keluarga tersebut. Transfer nilai – dalam hal
ini nilai anak – juga terjadi di antara dua generasi keluarga dari garis keturunan
ibu. Dilihat dari adanya hubungan nyata positif antara persepsi orang tua tentang
nilai ibu dengan persepsi ibu tentang nilai anak (r=0,609; p<0,01). Skor perilaku
investasi pada dua generasi keluarga dari garis keturunan ibu juga saling
berhubungan nyata positif (r=0,265; p<0,01).
Hal yang berbeda pada kasus ibu dibandingkan dengan kasus ayah
adalah dalam hal hubungan jumlah anak pada dua generasi keluarga.
Sebelumnya telah dibahas bahwa pada keluarga dari garis keturunan ayah,
kedua variabel tidak berhubungan nyata. Sebaliknya, pada keluarga dari garis
keturunan ibu keduanya berhubungan nyata positif (r=0,265; p<0,05). Artinya
semakin banyak jumlah anak pada keluarga asal ibu, semakin banyak pula anak
yang dimiliki pada contoh.
70
Tabel 36 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal dan keluarga contoh, nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada dua generasi keluarga
Kel. Contoh Kel. Asal
Status kesejah- teraan
Persepsi ayah
tentang nilai anak
Persepsi ibu
tentang nilai anak
Perilaku investasi
ayah terhadap
anak
Perilaku investasi
ibu terhadap
anak
Jumlah anak
Ayah 1. Status
kesejahteraan 0,771** 0,320* 0,512** 0,068
2. Persepsi orang tua tentang nilai ayah
0,329* 0,788** 0,521** 0,020
3. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah
0,584** 0,339** 0,595** 0,240
4. Jumlah anak -0,030 0,140 0,202 0,098 Ibu 1. Status
kesejahteraan 0,700** 0,031 0,347** 0,186
2. Persepsi orang tua tentang nilai ibu
0,238 0,609** 0,279* -0,099
3. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu
0,478** 0,225 0,481** -0,273*
4. Jumlah anak 0,045 -0,102 -0,004 0,265*
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Investasi Ayah dan Ibu
terhadap Anak
Pengujian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi
keluarga contoh dibagi menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku investasi ayah terhadap anak dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku investasi ibu terhadap anak. Disetiap analisis terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi variabel dependen dengan menggunakan regresi linear
bergeanda, dibangun dua model yaitu model unrestricted dan restricted.
Model unrestricted dibangun dengan memasukan seluruh variabel
independen yang secara teoritis mempengaruhi variabel dependen dengan
mengabaikan aspek koreksi terhadap model regresi seperti multikolinearitas.
Dalam membangun model restricted, beberapa variabel kemudian dikeluarkan
dengan mempertimbangkan aspek koreksi yang telah dibahas sebelumnya. Nilai
R-square dari kedua model kemudian dibandingkan untuk melihat kehandalan
dari model yang dibangun.
71
Model pertama dibangun untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku investasi ayah terhadap anak. Untuk unrestricted model, terdapat
sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap
anak, diantaranya status kesejahteraan keluarga asal ayah, status kesejahteraan
keluarga contoh, perilaku investasi orang tua terhadap ayah, lama pendidikan
ayah, pendapatan keluarga contoh, persepsi orang tua tentang nilai ayah,
persepsi ayah tentang nilai anak, jumlah anak keluarga contoh, dan usia ayah.
Didapatkan nilai R-square untuk unrestricted model adalah 0,783 dan model
secara statistik signifikan pada level 0,01. Artinya seluruh variabel menjelaskan
78,3 persen varian dari perilaku investasi ayah terhadap anak. Terdapat tiga
variabel yang secara nyata mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak
pada model unrestricted, yaitu status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,05),
pendapatan keluarga contoh (p<0,1), dan perilaku investasi ibu terhadap anak
(p<0,01).
Dalam membangun model regresi perlu dipertimbangkan keterpenuhan
asumsi-asumsi model regresi, terutama berkaitan dengan multikolinearitas antar
variabel dependen yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap
anak. Untuk itu, model awal yang telah dibangun dikoreksi sehingga
menghasilkan model kedua yang disebut restricted model. Koreksi dilakukan
dengan mengeluarkan enam variabel independen dari model dan tersisa empat
variabel, yaitu status kesejahteraan keluarga generasi contoh, perilaku investasi
orang tua terhadap ayah, perilaku investasi ibu terhadap anak, dan persepsi
ayah tentang nilai anak. Keenam variabel yang dikeluarkan memiliki hubungan
yang kuat dengan empat variabel tersisa, sehingga tidak perlu dimaukkan lagi ke
dalam model karena telah terwakili oleh empat variabel tersisa.
Didapatkan nilai R-square sebesar 0,740 untuk model kedua dan model
secara statistik signifikan pada level 0,01. Perubahan R-square diantara kedua
model kecil yang menunjukkan bahwa model restricted yang dibangun sama
baiknya dengan model unrestricted dalam menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak walaupun beberapa
variabel telah dikeluarkan dari model restricted.
Keempat variabel independen yang diuji ke dalam model restricted
mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak secara nyata dan positif.
Beberapa variabel seperti perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan
persepsi ayah terkait nilai anak pengaruhnya menjadi signifikan pada model
72
kedua setelah sebelumnya tidak berpengaruh signifikan pada model pertama.
Beberpa variabel yang dikeluarkan saat membangun model kedua diduga
memiliki pengaruh yang terlalu kuat terhadap variabel independen sehingga
pengaruh variabel independen lainnya menjadi tidak terlihat (tidak signifikan).
Tabel 37 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak (n=60 keluarga)
Variabel
Model
Unrestricted Restricted
B Β B β
1. Konstanta -0,831 (7,365)
-6,440 (5,337)
2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin)
-1,587 (1,115)
-0,165
3. Status kesejahteraan keluarga contoh (0=miskin, 1=tidak miskin)
2,251 (1,243)
0,236* 2,172
(0,889) 0,475**
4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (skor)
0,68 (0,114)
0,071 0,141
(0,083) 0,147*
5. Lama pendidikan ayah (tahun)
0,104 (0,156)
0,082
6. Pendapatan keluarga (Rp)
0,196x10-7
(0,000)
0,196*
7. Perilaku investasi ibu terhadap anak (skor)
0,520 (0,106)
0,440*** 0,555
(0,105) 0,469***
8. Persepsi orang tua tentang nilai ayah (skor)
0,216 (0,155)
0,159
9. Persepsi ayah tentang nilai anak (skor)
0,111 (0,177)
0,075 0,377
(0,112) 0,254***
10. Jumlah anak (anak) -0,436 (0,359)
-0,121
11. Usia ayah (tahun) 0,051
(0,074) 0,070
F 17,726*** 39,169***
R-Square 0,783 0,740
Adjusted R-Square 0,739 0,721
Keterangan: B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Interaksi orang tua dengan ayah saat dirinya berusia dini mempengaruhi
interaksi ayah dengan anaknya saat ini terkait dengan perilaku investasi
sumberdaya manusia. Semakin baik perlakuan yang diterima ayah saat kecil,
maka perlakuan ayah terhadap anak juga akan semakin baik. Begitu pula
dengan variabel persepsi ayah mengenai nilai anak; semakin baik persepsi ayah
tentang nilai anak, maka semakin baik pula perilaku investasi ayah terhadap
anak. Perilaku investasi pasangan atau ibu juga turut mempengaruhi perilaku
73
investasi ayah terhadap anak. Hal tersebut menunjukkan adanya konsensus
yang berlaku diantara ayah dan ibu, salah satunya dalam hal alokasi
sumberdaya untuk investasi sumberdaya manusia. Hasil lainnya menunjukkan
bahwa pada keluarga yang lebih sejahtera, perilaku investasi ayah terhadap
anak lebih baik. Semakin menguatkan hasil analisis sebelumnya mengenai
adanya pengaruh status kesejahteraan terhadap perilaku investasi terhadap
anak.
Model kedua dibangun untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak. Terdapat sembilan variabel
yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak (unrestricted
model). Variabel-variabel tersebut adalah: status kesejahteraan keluarga asal
ibu, status kesejahteraan keluarga contoh, perilaku investasi orang tua terhadap
ibu, lama pendidikan ibu, pendapatan keluarga, persepsi orang tua tentang nilai
ibu, persepsi ibu tentang nilai anak, jumlah anak keluarga contoh, dan usia ibu.
Model ini memiliki nilai R-square sebesar 0,475 dan model secara statistik
signifikan pada level 0,01, bermakna 47,5 persen varian perilaku investasi ibu
terhadap anak dijelaskan oleh variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model.
Seperti halnya pada analisis regresi sebelumnya, model unrestricted yang
telah dibangun dikoreksi agar memenuhi asumsi model regresi. Beberapa
variabel dependen dikeluarkan karena mengalami multikolinearitas, sehingga
pada model kedua atau model restricted yang dibangun tersisa empat variabel
independen, yaitu status kesejahteraan keluarga contoh, perilaku investasi orang
tua terhadap ibu, dan persepsi ibu terkait nilai anak, dan jumlah anak pada
keluarga contoh. Nilai R-square pada model ini adalah 0,429 (signifikan pada
level 0,01). Perubahan nilai R-square pada kedua model kecil sehingga dapat
disimpulkan bahwa model kedua mampu menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak sebaik model unrestricted
walaupun beberapa variabel dikeluarkan dari model tersebut.
Variabel yang secara signifikan mempengaruhi perilkau investasi ibu
terhadapa anak adalah status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01) dan
perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Hasil tersebut semakin
menguatkan fakta mengenai transfer nilai antargenerasi yang akhirnya
mempengaruhi perilaku investasi terhadap anak. Pengalaman yang dirasakan
ibu saat kecil dari interaksi yang dibangun dengan orang tuanya turut
mempengaruhi interaksi ibu dengan anak dalam hal ini berkaitan dengan perilaku
74
investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, didapatkan pula fakta bahwa status
kesejahteraan keluarga contoh berpengaruh signifikan terhadap perilaku
investasi yang dilakukan ibu terhadap anak.
Tabel 38 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak (n=60 keluarga)
Variabel
Model
Unrestricted Restricted
B Β B β
1. Konstanta 35,437 (9,807)
26,989 (7,451)
2. Status kesejahteraan keluarga asal ibu (0=miskin, 1=tidak miskin)
-0,965 (1,415)
-0,119 3,758
(0,983) 0,466***
3. Status kesejahteraan keluarga contoh (0=miskin, 1=tidak miskin)
3,744 (1,963)
0,464
4. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (skor)
0,088 (0,139)
0,094 0,210
(0,110) 0,226*
5. Lama pendidikan ibu (tahun) 0,303
(0,240) 0,203
6. Pendapatan keluarga (Rp) 4,792x10
-7
(0,000) 0,135
7. Persepsi orang tua tentang nilai ibu (skor)
0,075 (0,175)
0,059
8. Persepsi ibu tentang nilai anak (skor)
0,034 (0,253)
0,019 0,209
(0,189) 0,119
9. Jumlah anak (anak) 0,042
(0,494) 0,014
-0,332 (0,321)
-0,109
10. Usia ibu (tahun) -0,070 (0,116)
-0,097
F 5,032*** 10,343***
R-Square 0,475 0,429
Adjusted R-Square 0,381 0,388
Keterangan: B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Contoh
Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh, yang diukur berdasarkan status
tahapan keluarga sejahtera BKKBN. Keluarga yang termasuk dalam kategroi pra-
KS dan KS I dikategorikan sebagai keluarga miskin, sedangkan keluarga pada
kategori lainnya digolongkan sebagai keluarga tidak miskin. Variabel-variabel
yang dimasukan ke dalam model dan diduga mempengaruhi kesejahteraan
keluarga contoh adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (untuk melihat
bukti terjadinya transfer kemiskinan), pendidikan ayah, warisan yang diterima
75
ayah, warisan yang diterima ibu, perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan
ibu, serta usia ayah.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa model tersebut secara statistik
signifikan (chi square=62,791; p<0,000, df=7). Didapatkan nilai Nagelkerke R
Square sebesar 0,862 yang menunjukan hubungan yang kuat antara prediksi
dan pengelompokan yang dilakukan. Keberhasilan prediski secara umum sekitar
91,7 persen (90% untuk menjadi miskin dan 93,3% untuk menjadi tidak miskin).
Kriteria Wald menunjukkan bahwa variabel yang secara signifikan mempengaruhi
status kesejahteraan keluarga contoh adalah status kesejahteraan keluarga asal
ayah (p<0,05), lama pendidikan formal yang ditempuh ayah (p<0,05), dan
perilaku investasi yang dilakukan orang tua terhadap ibu (p<0,05).
Tabel 39 Ringkasan analisis regresi logistik untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)
Variabel Independen Kesejahteraan Keluarga (0=miskin, 1=tidak miskin)
B Exp (B)
1. Konstanta -43,767 0,000 2. Status kesejahteraan keluarga
asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin)
3,639 38,052*
3. Lama pendidikan ayah (tahun) 0,728 2,071* 4. Perilaku investasi orang tua
terhadap ayah (skor) 0,070 1,073
5. Perilaku invetsasi orang tua terhadap ibu (skor)
0,419 1,521*
6. Warisan yang diterima ayah (0=tidak, 1=ya)
3,222 25,088
7. Warisan yang diterima ibu (0=tidak, 1=ya)
1,252 3,499
8. Umur ayah (tahun) 0,223 1,249
Chi-square 62,791
Nagelkerke R2 0,862
Keterangan: *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99%
Keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga miskin, memiliki
peluang 38 kali lebih besar untuk juga berstatus miskin. Sementara itu, semakin
lama pendidikan formal yang ditempuh ayah, keluarga contoh akan lebih
berpeluang untuk lebih sejahtera. Setiap kenaikan 1 tahun lama pendidikan
formal ayah, keluarga contoh berpeluang dua kali lebih besar untuk tidak miskin.
Terakhir, variabel yang juga berpengaruh signifikan terhadap status
kesejahteraan keluarga contoh adalah perilaku investasi orang tua terhadap ibu.
76
Setiap kenaikan satu skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu, keluarga
contoh berpeluang 1,5 kali lebih besar untuk tidak miskin.
Analisis regresi linear berganda juga dilakukan untuk melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan total keluarga contoh yang juga
merepersentasekan kesejahteraan keluarga contoh. Terdapat dua model yang
dibangun, yaitu unrestricted dan restricted model. Pada model unrestricted,
terdapat delapan variabel yang diduga mempengaruhi pendapatan keluarga
contoh, yaitu status kesejahteraan keluarga asal ayah, status kesejahteraan
keluarga asal ibu, perilaku investasi orang tua terhadap ayah, perilaku investasi
orang tua terhadap ibu, lama pendidikan ayah, lama pendidikan ibu, warisan
yang diterima ayah, dan warisan yang diterima ibu. Model yang dibangun secara
statistik signifikan pada level 0,01 dan memiliki nila R-square sebesar 0,476.
Seperti halnya pada model regresi linear berganda lainnya, dilakukan
koreksi terhadap model unrestricted agar model yang dibangun memenuhi
asumsi model regresi. Karena terjadi multikolinearitas diantara beberapa variabel
dependen, maka sebanyak tiga variabel diantaranya dikeluarkan dan tersisa
empat variabel pada model restricted. Variabel-variabel yang tersisa adalah:
status kesejahteraan keluarga ayah, perilaku investasi orang tua terhadap ibu,
lama pendidikan formal yang ditempuh ayah, dan warisan yang diterima ayah.
Model restricted yang dibangun juga secara statistik signifikan pada level 0,01
dengan nilai R-square sebesar 0,471. Perubahan nilai R-square yang kecil dan
secara statistik tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa model restricted yang
dibangun sama baiknya dengan model unrestricted dalam menjelaskan faktor-
faktor yang memepengaruhi pendapatan keluarga contoh, walaupun beberapa
variabel telah dikeluarkan.
Lama pendidikan formal yang ditempuh ayah berpengaruh positif nyata
terhadap total pendapatan keluarga contoh (p<0,001). Setiap kenaikan satu
tahun pendidikan formal yang dijalani ayah, meningkatkan total pendapatan
keluarga sebesar Rp122.205,072. Selain lama pendidikan, status kesejahteraan
keluarga asal ayah juga berpengaruh positif nyata terhadap total pendapatan
keluarga (p<0,05).
77
Tabel 40 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan keluarga (n=60 keluarga)
Variabel
Model
Unrestricted Restricted
B β B β
1. Konstanta -2,060E6 (1,645E6)
-1,665E6 (1,170E6)
2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin)
688109,993 (416970,744)
0,300 774714,618
(307503,228) 0,338**
3. Status kesejahteraan keluarga asal ibu (0=miskin, 1=tidak miskin)
69997,437 (297444,070)
0,031
4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (skor)
5690,236 (42706,095)
0,025
5. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (skor)
30236,625 (36533,157)
0,115 19984,965
(29337,312) 0,076
6. Lama pendidikan ayah (tahun)
133425,559 (53596,244)
0,441 122205,072 (39359,094)
0,404***
7. Lama pendidikan ibu (tahun)
-43589,364 (68367,484)
-0,103
8. Warisan yang diterima ayah (0=ya, 1=tidak)
3634,324 (317092,161)
0,001 -38124,194
(284951,679) -0,015
9. Warisan yang diterima ibu (0=ya, 1=tidak)
-123212,328 (367178,559)
-0,037
F 5,782*** 12,241***
R-square 0,476 0,471
Adjusted R-square 0,393 0,432
Keterangan: B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Pembahasan
Dalam tulisan yang berjudul “Konteks dan Sifat/Arah Perubahan di
Indonesia Memasuki Transisi Industrial”, dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia
dipersepsikan sedang mengalami perubahan dari mayarakat yang bercorak
pertanian mengarah kepada masyarakat yang lebih industrial (Tjondronegoro
1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut akan berimplikasi pada
berubahnya sumber penghasilan penduduk dan kegiatan anggota keluaga dalam
mencari nafkah.
Menurut Hasansulama (1983), masyarakat desa di Indonesia pada
umumnya bercorak pertanian sebagai basis ekonomi utamanya. Hal tersebut
78
didukung dengan data mata pencaharian kepala keluarga asal ayah dan ibu
dalam penelitian ini yang didominasi oleh pekerjaan di bidang pertanian. Namun
pada keluarga contoh, jenis pekerjaan kepala keluarga di bidang pertanian
berkurang hingga lebih dari setengahnya. Pekerjaan kepala keluarga pada
keluarga contoh didominasi oleh profesi sebagai buruh pabrik, seiring dengan
menjamurnya keberadaan industri di wilayah tempat penelitian di lakukan.
Selain merubah jenis pekerjaan, perubahan sosial yang terjadi di tengah
masyarakat juga berimplikasi pada perubahan peran masing-masing anggota
keluarga serta turut mempengaruhi besarnya ukuran keluarga (Soediono 1991).
Meskipun dalam penelitian ini angka ibu yang bekerja di sektor publik tidak terlalu
signifikan, namun perubahan ukuran keluarga jelas terlihat bila dibandingkan
antara besar keluarga asal contoh dengan keluarga contoh. Rata-rata jumlah
anak yang dimiliki oleh keluarga contoh hampir setengah dari jumlah yang dimiliki
oleh keluarga asal ayah maupun ibu. Hal tersebut diduga disebabkan oleh
keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan oleh pemerintah
selama kurun waktu tiga dekade. Menurut Herarti (2004), keberhasilan program
KB di Indonesia disebabkan oleh faktor komitmen politik yang kuat dan struktur
administrtif yang baik dari pusat hingga level pedesaan.
Berkaitan dengan jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga, perlu
mempertimbangkan aspek nilai anak (Herarti 2004), yaitu persepsi orang tua
mengenai manfaat dan biaya (benefit and cost) dari kehadiran anak dalam
keluarga. Menurut Zhang dan Polachek (2007), kebijakan terkait dengan maslah
populasi (seperti halnya Keluarga Berencana di Indonesia) dapat mempengaruhi
persepsi masyarakat tentang nilai anak. Penelitian Herarti (2004) di Sumedang
dan Subang menunjukkan bahwa norma keluarga kecil dengan dua anak
sebagai bagian dari program KB telah diadopsi oleh keluarga. Fakta tersebut
didukung dengan data dalam penelitian ini terkait dengan rata-rata jumlah anak
yang dimiliki oleh keluarga contoh.
Berkaitan dengan nilai anak, dalam penelitian ini dimensi nilai psikologis
anak paling menonjol bila dibandingkan dengan dimensi lainnya seperti nilai
sosial dan ekonomi baik yang dipersepsikan oleh contoh maupun orang tua
contoh. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1975
pada orang Sunda, yang juga lebih menekankan pada aspek psikologis atau
emosi dari persepsi tentang nilai anak, seperti kebahagiaan dan mempererat
hubungan suami istri (Darroch, Meyer, & Singarimbun 1981).
79
Bila dibandingkan, skor persepsi ayah terkait nilai anak lebih tinggi bila
dibandingkan dengan skor ibu (walaupun secara statistik skor keduanya tidak
berbeda nyata). Menurut Thomson dan Sanchez (1988), perbedaan nilai anak
antara ayah dan ibu bisa dianalisis dari perbedaan manfaat dan biaya dari
hadirnya seorang anak bagi masing-masing pihak. Dalam penelitian ini, sebagian
besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga yang setiap harinya
berkonsentrasi mengurusi ranah domestik seperti mengurus anak. Sementara itu
ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Ketidak seimbangan
pembagian peran untuk mengurus anak tersebut diduga menyebabkan ibu lebih
banyak merasakan biaya dari kehadiran anak dibandingkan ayah. Sehingga skor
persepsi nilai anak ibu lebih rendah bila dibandingkan ayah.
Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan skor yang nyata diantara
kelompok contoh berstatus miskin dengan tidak miskin. Hasil korelasi
menunjukkan bahwa status kesejahteraan keluarga contoh berhubungan positif
dengan nilai anak. Temuan serupa juga dipaparkan oleh Soeparmanto (1980)
dalam penelitian mengenai nilai anak di Madura dan Hartoyo (2003) dalam
penelitian nilai anak di Indramayu antara keluarga juragan dengan keluarga
buruh (rata-rata skor nilai anak kedua kelompok berbeda namun tidak nyata).
Karakteristik keluarga lainnya yang juga berhubungan dengan nilai anak dalam
penelitian ini adalah lama pendidikan yang ditempuh baik oleh ayah maupun ibu.
Hasil serupa juga dilaporkan oleh Soeparmanto (1980), Kartino (2005), dan
Mulyani (2010).
Hal menarik lainnya berkaitan dengan nilai anak adalah tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan
ibu dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak. Selain itu, terdapat
hubungan yang nyata dan positif diantara keduanya variabel tersebut. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa kedua generasi memiliki persepsi yang sama
terhadap nilai anak. Hal tersebut membuktikan terjadinya transfer nilai anak
antargenerasi dalam keluarga contoh. Seperti yang dijelaskan oleh Trommsdroff
(2002), persepsi ayah maupun ibu mengenai nilai anak merupakan hasil dari
interaksi ayah dan ibu sebelumnya dengan orang tuanya masing-masing dalam
suatu hubungan orang tua-anak di keluarga asal.
Model nilai anak antar generasi yang dikembangkan oleh Trommsdorff
(2002) menunjukkan bahwa nilai yang dianut oleh individu – salah satunya nilai
anak – mempengaruhi bagaimana hubungan orang tua dengan anak tersebut
80
berlangsung. Salah satu dimensi yang ada dalam hubungan orang tua dengan
anak tersebut adalah investasi orang tua terhadap anak. Dengan kata lain,
persepsi orang tua mengenai nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang
tua terhadap anak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang
terjadi pada generasi sebelumnya, akan mempengaruhi hubungan orang tua-
anak pada generasi selanjutnya. Artinya, perilaku investasi yang dilakukan oleh
orang tua terhadap ayah dan ibu akan mempengaruhi perilaku investasi ayah
dan ibu terhadap anak.
Hasil penelitian ini mendukung model yang dibangun oleh Tromsdorff
(2002) mengenai transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga serta
kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak. Hasil uji regresi
menunjukkan bahwa persepsi ayah terkait nilai anak berpengaruh terhadap
perilaku investasi yang dilakukannya terhadap anak. Selain itu, perilaku investasi
ayah dan ibu terhadap anak juga dipengaruhi oleh perilaku investasi orang
tuanya masing-masing terhadap diri mereka sebelumnya.
Penelitian ini juga mencoba membandingkan proses transfer nilai yang
telah dijelaskan sebelumnya pada keluarga dengan status kesejahteraan yang
berbeda. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata dalam hal nilai anak pada keluarga contoh miskin dan tidak miskin. Namun
hasil korelasi menunjukkan bahwa hanya status kesejahteraan keluarga contoh
yang berhubungan dengan persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak. Sementara
status kesejahteraan keluarga asal masing-masing tidak berhubungan nyata
dengan persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu.
Menurut Deacon dan Firebough (1988), nilai berkaitan dengan kriteria
utama seseorang yang menentukan proses pengambilan keputusan. Sementara
itu. nilai anak merupakan konsep manfaat versus resiko yang dipersepsikan
orang tua dari kehadiran seorang anak. Lebih lanjut, Sam (2001) menyatakan
bahwa nilai anak merefleksikan motivasi orang tua untuk memiliki dan
membesarkan anak. Dengan demikian, skor nilai anak menunjukan seberapa
besar motivasi orang tua untuk mengurus dan membesarkan anak. Perilaku
investasi orang tua terhadap anak bisa menjadi suatu indikator interaksi orang
tua-anak yang dipengaruhi oleh persepsi orang tua mengenai nilai anak.
Pengujian hubungan antara skor nilai anak dengan perilaku investasi
orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga menunjukkan adanya
hubungan positif nyata diantara keduanya. Mengingat skor nilai anak berbeda
81
antara keluarga dengan status kesejahteraan yang berbeda, hal yang sama juga
terjadi pada skor perilaku investasi orang tua terhadap anak. Skor perilaku
investasi orang tua yang tidak miskin lebih tinggi bila dibandingkan dengan
contoh dari keluarga miskin. Didukung dengan hasil regresi linear yang
menunjukkan bahwa status kesejahteraan keluarga contoh mempengaruhi
perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa status kesejahteraan mempengaruhi perilaku investasi orang
tua terhadap anak.
Fakta diatas mendukung pernyataan Rahardjo (2006) mengenai
permasalahan yang dihadapi golongan miskin terkait konsep investasi
sumberdaya manusia. Penerapan konsep investasi membutuhkan adanya
sumberdaya, hal yang menjadi kekurangan pada kelompok miskin. Pada
kelompok ini, sumberdaya lebih difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar –
yang seringkali juga masih dirasakan kurang memadai.
Sebelum membahas lebih lanjut keterkaitan antara kemiskinan dengan
perilaku intervensi, akan dibahas terlebih dahulu mengenai fenomena transfer.
Dalam konsep transfer kemiskinan antar generasi, kemiskinan terjadi karena
tidak adanya atau kurangnya transfer capital dari satu generasi keluarga ke
generasi berikutnya. Salah satunya adalah kurangnya atau tidak adanya transfer
human capital melalui investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Hampir
seluruh ayah dan ibu pada keluarga contoh memiliki status kesejahteraan yang
sama dengan status keluarga asalnya.
Bila dikaitakan dengan konsep transfer capital, terlihat perbedaan yang
jelas diantara kedua kelompok tersebut. Dari segi lama pendidikan formal yang
ditempuh, contoh yang tidak pernah miskin menempuh pendidikan hingga level
menengah atas bahkan perguruan tinggi. Sementara kelompok yang selalu
miskin sebagian besar hanya menamatkan pendidikan dasar. Hasil uji regresi
menunjukkan bahwa lama pendidikan (terutama ayah) berpengaruh nyata
terhadap status kesejahteraan keluarga contoh. Hal tersebut mendukung temuan
sebelumnya dari Siregar & Wahyuniarti (2008) dan Chaudry et al. (2010)
mengenai efek negatif lama pendidikan terhadap tingkat kemiskinan.
Transfer capital juga bisa dilihat dari warisan yang diberikan oleh generasi
orang tua kepada ayah dan ibu. Walaupun penelitian ini tidak menganalisis lebih
jauh besarnya warisan dan dampaknya terhadap status kesejahteraan, namun
dari aspek ada atau tidaknya transfer capital melalui pemberian warisan, terlihat
82
kecenderungan hubungan negatif anatara warisan dengan transfer kemiskinan.
Melalui uji korelasi terlihat bahwa warisan, terutama yang diterima oleh ayah
berhubungan dengan status kesejahteraan keluarga contoh secara nyata dan
positif. Menurut Deolalikar & Singh (1990) diacu dalam Quisumbing (1995).
Transfer kekayaan melalui warisan dapat mempengaruhi ketidakmerataan pada
generasi selanjutnya, bergantung pada efek warisan tersebut terhadap akumulasi
kekayaan seumur hidup.
Fenomena menarik yang perlu juga mendapat sorotan adalah sebagian
besar keluarga contoh yang tidak mengalami perubahan status dari keluarga
pendahulunya, dibentuk dari ayah dan ibu yang memiliki status kesejahteraan
yang sama. Keluarga contoh yang saat ini miskin sebagian besar beranggotakan
ayah dan ibu yang berasal dari keluarga miskin juga. Sebaliknya, keluarga
contoh yang saat ini tidak miskin terdiri dari ayah dan ibu yang berasal dari
keluarga yang tidak miskin pula. Artinya, terjadi kecenderungan perkawinan antar
pasangan dengan status sosial ekonomi yang sama pada keluarga contoh.
Dalam ilmu Sosiologi, hal tersebut dikenal dengan istilah homogamy (Collins &
Coltrane 1996).
Hanya sebagian kecil ayah dan ibu yang mengalami perubahan status
dari generasi pendahulunya – merujuk pada konsep dalam Sosiologi mereka
mengalami apa yang disebut dengan mobilitas sosial. Mereka terbagi menjadi
dua kelompok: kelompok pertama mengalami penurunan status (terjerumus
miskin) dan yang lainnya mengalami kenaikan status (keluar dari miskin). Hal
yang menarik adalah fenomena yang menunjukkan bahwa contoh (ayah maupun
istri) yang mengalami penurunan status menempuh lama pendidikan hingga
tingkat menengah atas – sebanding dengan pendidikan contoh yang tidak
pernah miskin pda umumnya. Selain itu, kelompok ini juga mendapatkan warisan
dari keluarga pendahulunya. Tentu hal tersebut mencederai pernyataan
sebelumnya mengenai efek negatif tingkat pendidikan terhadap kemiskinan dan
pengaruh positif warisan terhadap kesejahteraan.
Untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat dari sudut pandang flawed
character atau karakter yang cacat (Schiller 2008). Sudut pandang ini melihat
individu sebagai pemegang kontrol utama status sosial ekonominya. Mengapa
mereka menjadi miskin, penyebabnya karena perilaku mereka yang tidak atau
kurang menunjukkan upaya-upaya untuk mendapatkan status sosial ekonomi
yang lebih baik. Walaupun orang tuanya telah memberikan transfer capital yang
83
baik bagi diri ayah atau ibu melalui pendidikan dan pemberian warisan, namun
bila individunya kurang mampu memanfaatkan hal tersebut dengan baik, hal
tersebut menjadi sia-sia.
Sementara itu, bukan warisan yang menyebabkan terjadinya kenaikan
status pada beberapa contoh (ayah maupun ibu), karena memang mereka
berasal dari keluarga dengan status miskin. Pada kelompok ayah yang
mengalami hal tersebut, pendidikan yang lebih tinggi terlihat sebagai faktor
penyebab keluarnya mereka dari kemiskinan. Sementara itu pada kelompok ibu
yang mengalami hal tersebut, pendidikan terlihat bukan merupakan faktor
penyebab utama. Bila ditelaah lebih lanjut, ibu yang mengalami kondisi keluar
dari kemiskinan menikah dengan ayah yang tidak pernah miskin.
Fenomena yang sama juga sebenarnya terjadi pada kelompok ayah,
namun dengan status pendidikan yang berbeda dengan ibu yang mengalami
kondisi yang sama. Bagi ayah, untuk bisa menikah dengan ibu yang memiliki
status kesejahteraan yang lebih tinggi dari dirinya, diperlukan upaya peningkatan
karkteristik sosial ekonomi seperti pendidikan. Sementara pada kelompok ibu hal
tersebut tidak terjadi. Dengan demikian, ibu cenderung lebih mudah untuk
mengalami kenaikan status sosial melalui perkawinan.
Chen et al. (2009) menjelaskan fenomena diatas disebabkan karena
adanya cinderella effect. Lebih lanjut dijelaskan bahwa psosisi wanita yang
diidamkan dalam pasar perkawinan cenderung kurang ditentukan oleh
karakteristik sosial ekonomi mereka seperti kekayaan dan pendapatan. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut yang menjadi pertimbangan bagi laki-
laki dan perempuan dalam memilih pasangan sangat berbeda. Perempuan
memberi penekanan pada pendapatan dan pendididikan. Sementara laki-laki
pada umumnya mempertimbangkan tampilan pasangannya secara fisik.
Menurut Collins dan Coltrane (1996) laki-laki cenderung bersikap dengan
berlandaskan perasaan cinta mereka yang terjadi secara spontan dalam mencari
pasangan. Sementara itu perkawinan akan sangat menentukan status sosial dan
ekonomi kebanyakan wanita, sehingga mereka akan melakukan apa yang
disebut “emotion work”. Wanita lebih “mengarahkan” dan “membentuk” perasaan
mereka terhadap laki-laki yang dinilai “tepat”.
Diluar itu semua, hal terpenting untuk mendapatkan perhatian adalah efek
interaksi orang tua-anak terhadap status kesejahteraan keluarga anak
selanjutnya. Status kesejahteraan keluarga contoh dipengaruhi oleh investasi
84
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, baik melalui pendidikan maupun
perilaku investasi orang tua saat anak berusia dini. Hasil tersebut sejalan dengan
temuan yang didapatkan oleh Leibowtz (1988), dimana pendapatan seseorang di
masa depan ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pengalaman yang
didapatkan saat kecil. Dengan demikian investasi terhadap anak menjadi
determinan status kesejahteraan anak di masa depan.
Telah disinggung sebelumnya bahwa konsep investasi sumberdaya
manusia ini menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi kelompok miskin karena
terbatasmya sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian ini membuktikan hal
tersebut, keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga asal berstatus
miskin berpeluang 38 kali lebih tinggi untuk juga berstatus miskin. Dua konsep
lain tentang kemiskinan (Schiller 2008) mengindikasikan dibutuhkannya peran
dari lingkungan luar, terutama pemerintah untuk memberikan kesempatan yang
sama kepada keluarga miskin agar mampu melakukan investasi kepada
anaknya.
Program pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia saat ini telah
mengarah pada konsep tersebut, membantu kelompok miskin untuk berinvestasi
terhadap anak dalam hal pendidikan dan kesehatan seperti Program Keluarga
Harapan (PKH). Namun yang kurang menjadi perhatian adalah tentang
kemungkinan adanya flawed character yang tercermin dari budaya kemiskinan.
Menurut Moore (2001) budaya kemiskinan tersebut juga turut mempengaruhi
terjadinya transfer kemiskinan antar generasi. Hasil temuan Simanjuntak (2010)
pada keluaraga penerima PKH di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga
2009 menunjukkan bahwa alokasi bantuan dana untuk investasi tergolong
rendah dan peningkatan justru terjadi dalam hal kepemilikan aset. Diperlukan
suatu terobosan kebijakan yang mampu mengubah hal tersebut seperti
pemberian bimbingan manajemen keuangan bagi keluarga miskin penerima
bantuan.
Keterbatasan Penelitian
Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua generasi keluarga, namun
informasi mengenai dua keluarga tersebut dalam penelitian ini hanya didapatkan
dari keluarga contoh (generasi kedua) karena alasan keterbatasan sumberdaya.
Hal tersebut memungkinkan adanya bias dari jawaban yang diberikan, terutama
mengenai informasi yang terkait dengan keluarga asal contoh. Selain itu,
penelitian ini menyederhanakan status kesejahteraan keluarga asal contoh
85
melalui pengamatan saat contoh berusia dini dan dianggap konstan dari waktu
ke waktu, mengabaikan fakta kemungkinan terjadinya dinamika kemiskinan yang
terjadi secara internal pada keluarga contoh. Hal tersebut terkait dengan
keterbatasan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini.
Selain itu, penelitian ini juga hanya menganalisis terjadinya transfer
kapital dari keluarga asal kepada ayah dan ibu dari keluarga contoh sebagai
penentu utama status kesejahteraan keluarga contoh, tanpa memperhatikan
proses lainnya yang juga turut mempengaruhi keluarga contoh. Selain itu,
beberapa proses transfer kapital mungkin masih akan terjadi dan akan
berpengaruh berbeda dengan hasil yang dipaparkan saat ini. Misalkan, beberapa
contoh yang masih memiliki orang tua memiliki peluang mendapatkan warisan di
masa yang akan datang. Karena pada dasarnya perilaku investasi sumberdaya
manusia merupakan proses yang terjadi terus menerus sepanjang hidup, dan
penelitian ini hanya memfokuskan proses tersebut pada satuan waktu tertentu
untuk mempermudah proses analisis.
86
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Analisis pada dua generasi keluarga dalam penelitian ini menunjukkan
terjadinya perubahan dalam struktur keluarga terkait dengan perubahan yang
terjadi dalam struktur masyarakat. Perubahan tersebut dapat dilihat dari jenis
mata pencaharian ayah dan jumlah anak yang dimiliki keluarga. perubahan jenis
pekerjaan disebabkan makin berkembangnya industri di lokasi penelitian,
sementara perubahan jumlah anak diduga disebabkan oleh keberhasilan
program Keluarga Berencana dan internalisasi norma program tersebut di
kalangan masyarakat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai anak berpengaruh terhadap
perilaku investasi orang tua terhadap anak. Kedua variabel tersebut juga
dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Artinya pada keluarga yang
tidak miskin, investasi yang dilakukan terhadap anak lebih baik dibandingkan
keluarga miskin. Penelitian ini menunjukkan bahwa investasi orang tua terhadap
anak (pendidikan dan perilaku investasi saat usia dini) juga merupakan
determinan status kesejahteraan keluarga anak di masa depan. Karena keluarga
miskin kurang bisa memberikan investasi yang memadai, penelitian ini
mengindikasikan keluarga contoh yang memiliki ayah dengan status keluarga
sebelumnya miskin, berpeluang 38 kali lebih besar untuk juga tetap miskin.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
keluarga yang saat ini miskin berasal terdiri dari ayah dan ibu yang berasal dari
keluarga asal yang juga miskin. Sebaliknya, sebagian besar keluarga yang saat
tidak miskin beranggotakan ayah dan ibu yang berasal dari keluarga asal yang
tidak miskin. Sementara itu, beberapa contoh mengalami mobilitas sosial karena
perubahan status kesejahteraan. Pada contoh ayah, hal tersebut lebih
disebabkan oleh lama pendidikan yang lebih tinggi. Sementara pada contoh ibu,
penyebabnya karena pernikahan dengan pasangan yang lebih sejahtera.
Saran
Investasi orang tua terhadap anak, baik melalui pendidikan maupun
perilaku investasi pada usia dini, terbukti merupakan determinan status
kesejahteraan anak di masa depan. Sementara itu keterbatasan sumberdaya
menjadikan kelompok miskin tidak mampu memberikan investasi yang memadai
88
bagi anaknya, sehingga pada kahirnya terjadi fenomena rantai kemiskinan. Oleh
karena itu, pemerintah perlu membantu sekaligus mendorong penduduk miskin
untuk melakukan investasi terhadap anak, terutama dalam bidang pendidikan
melalui pemberian kesempatan yang sama kepada semua pihak. Selain itu perlu
diperhatikan mengenai aspek budaya kemiskinan dalam pemberian bantuan agar
semakin efektif sesuai dengan tujuannya.
Sejumlah penelitian lainnya menyebutkan bahwa migrasi menjadi salah
satu upaya meningkatkan kualitas modal manusia dalam diri individu dan
variabel tersebut tidak dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya
diharapkan bisa melengkapi keterbatasan ruang lingkup analisis tersebut. Selain
itu, penelitian yang dilakukan pada latar belakang seting sosial ekonomi
masyarakat yang berbeda (misal keluarga di perkotaan) akan semakin
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terkait masalah transfer kemiskinan
antargenerasi dalam keluarga. Peningkatan juga perlu dilakukan dalam hal
perbaikan metode dan perluasan aspek pengamatan terhadap hal-hal yang
belum diamati dan dianalisis dari penelitian ini.
89
DAFTAR PUSTAKA
Anderson E, Hague S. 2007. The impact of investing in children: assesing the
cross country econometric evidance. Working Paper 280. London: Overseas Development Institute.
[BKKBN]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2004.
Pendataan keluarga: selayang pandang. http://bkkbn.go.id/Webs/DetailRubrik.php?MyID=344 [11 April 2011]
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2009. Kecamatan Cicurug dalam angka. Sukabumi:
BPS Kabupaten Sukabumi.
. 2010. Profil kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf [3 Oktober 2010]
. 2009. Statistik Kabupaten Sukabumi 2009. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. http://sukabumikab.bps.go.id/data/ksda/2009/3.1.5.pdf [18 Oktober 2010] Bonke J, Andersen GE. 2009. Parental investment in children: how educational
homogamy and bargaining affect time allocation. Odense: University Press of Southern Denmark.
Bottema T, Masdjidin S, Madiadipura H. 2009. Family life history as a tool in the
study of long-term dynamics of poverty: an exploration. Di dalam: Rusastra, Pasaribu, Yusdja Y. Editor. Land and Household Economy 1970-2005. Bogor: Indonesian Center for Agriculture Socio-Economic and Policy Studies.
Bryant WK, Zick CD. 2006. The Economic Organization of the Household,
Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Chambers R. 1996. Participatory Rural Apraisal: Memahami Desa Secara
Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Chaudhry IS, Malik S, Hassan A, Faridi MZ. 2010. Does education alleviate
poverty? Empirical evidence from Pakistan. IRJFE: Issue 52 (2010). Chen N, Concini P, Perroni C. 2009. Intergenerational mobility of migrants:
is there a gender gap? http://www.ecares.org/ecare/personal/conconi$/web/gss.pdf [4 Oktober 2011]
Cho Y. (2005). Investment in children’s human capital: implications of
PROGRESA. Soul: Korea Development Institute. http:// citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.61.3710&rep.. [26 September 2010]
Collin R, Coltrane S. 1995. Sociology of Marriage and The Family: Fourth Edition.
Chicago: Nelson-Hall Publishers.
90
[CPRC]. Chronic Poverty Research Center. 2008. Escaping poverty traps. The
Chronic Poverty Report 2008-09. http://www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/CPR2_ReportFull.pdf [1 Oktober 2010]
Darroch RK, Meyer PA, Singarimbun M. 1981. Two are not enough: The value of
children to Javanese and Sundanese parents. Papers of the East-West Population Institute, No. 60-D.
Deacon RE, Firebaugh FM. 1988. Family Resource Management: Principles and
Application. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Dharmawan et al. 2010. Rencana Riset Kemiskinan Kemiskinan 2010. Bogor:
Institut Pertanian Bogor. Guhardja S. et al. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hample K. 2010. Intergenerational transfer of human capital among immigrants
families. Illinois: Illinois Wesleyan University. www.iwu.edu/economics/PPE18/3Hample.pdf [16 Oktober 2010]
Hartoyo. 1998. Investmenting in children: study of rural families in Indonesia.
[Disertasi]. Blacksburg: Virginia Tech University. Hartoyo, Hastuti D. Perilaku investasi pada anak keluarga nelayan dan
implikasinya terhadap pengentasan kemiskinan. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hasansulama MI, Mahmudin E, Sugarda TJ. 1983. Sosiologi Pedesaan. Jakarta:
Depdikbud. Haveman R, Wolfe B. 1997. The determinants of children’s attainments: a review
of methods and findings. Journal of Economic Literature: Vol. 33 No. 4, 1829-1878.
Haynie M, Lalonde RN, Lee N. 2006. Parent-child value transmission among
Chinese immigrants to North America: the case of traditional mate preferences. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology: Vol. 12, No. 2, 230 –244.
Herarti R. 2004. Family planning decision-making: case studies in West Java,
Indonesia. The 12th Biennial Conference of the Australian Population Association.
Hulme D, Moore K, Sheperd A. 2001. Chronic poverty: meanings and analytical
frameworks. CPRC: Working Paper 2. Kartino T. 2005. Nilai anak dan kualitas pengasuhan anak usia sekolah pada
keluarga nelayan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
91
Latifah EW. 2010. Analisis persepsi, sikap, dan strategi koping keluarga miskin terkait program konversi minyak tanah ke LPG di Kota Bogor.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Leibowitz A. 1982. Home investment in children. Economics of the Family:
Marriage, Children, and Human Capital. Editor: Theodore W. Schultz. Chicago: The University of Chicago Press.
Moore K. 2001. Frameworks for understanding the intergenerational transmission
of poverty and well-being in developing countries. CPRC: Working Paper 8.
. 2005. Thinking about youth poverty through the lenses of chronic poverty, life-course poverty and intergenerational poverty. CPRC Working Paper 57. http://www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/57Moore.pdf [1 Oktober 2010]
Mulyani SR. 2010. Studi nilai anak, jumlah anak yang diinginkan, dan
keikutsertaan keluarga dalam program KB di Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Muttaqien. 2006. Paradigma baru pengentasan kemiskinan: rekonstruksi arah
pembangunan menuju masyarakat yang berkeadilan, tebebaskan, dan demokratis. Menuju Indonesia Sejahtera. Editor: Rahardjo MD. Jakarta: Khanata
Pakpahan YM, Suryadarma D, Suryahadi A. 2009. Destined for destitution:
intergenerational poverty persistence in Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute. http://www.smeru.or.id/report/workpaper/intergenpoverty/intergenpoverty.pdf [26 September 2010]
Permatasari D. 2010. Pengaruh persepsi pendidikan dan nilai anak terhadap
alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Puspitawati H, Sarma M, Hartoyo, Latifah M, Herawati T. 2009. Survei Kepuasan
Terhadap Pelayanan Pendidikan Dasar yang Disediakan Oleh Sistem Desentralisasi Sekolah. Kerjasama LPPM-IPB dan ADB-PRMAP BAPPENAS.
Quisumbing AR. 1995. The extended family and intrahousehold allocation:
Inheritance and investment in children in the rural Philippines. FCND Discussion Paper No. 3.
Rahardjo MD. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan
Kemiskinan. Jakarta: Khanata Rusastra IW, Napitupulu TA. 2008. Karakteristik wilayah dan keluarga miskin di
pedesaan: basis perumusan intervensi kebijakan. Di dalam: Yusdja et al.,
92
editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Salim E. 1974. Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE UI. Sam DL. 2001. Value of children: effects of globalization on fertility behavior and
child-rearing practices in Ghana. Research Review NS 17.2 (2001) 5-16. Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Bogor:
LPSP, IPB. Schiller BR. 2008. The Economics of Poverty and Discrimination. New Jersey:
Prantice Hall. Schultz TW. 1981. Investing in People: The Economics of Population Quality.
Berkeley: University of California Press. Sen AK. 1999. Investing in early childhood: its role in development. Breaking The
Poverty Cycle: Investing in Early Childhood. Paris: Inter-American Development Bank
Simanjuntak M. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga
dan prestasi belajar anak pada keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH). [Tesis]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Siregar H, Wahyuniarti D. 2008. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin. Di dalam: Yusdja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Siregar H. 2006. Perbaikan struktur dan pertumbuhan ekonomi: mendorong
investasi dan menciptakan lapangan kerja. Jurnal Ekonomi Politik dan Keuangan. Jakarta: INDEF.
Sitepu RK. 2007. Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer
pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soeparmanto P. 1980. Perception of the value of children by parents in relation to
fertility among the Maduran People in Kamal, Bangkalan Regency, Madura. SEAPRAP Research Report No. 78.
Suckow J, Klaus D. 2002. Value of children in six cultures.
www.iwu.edu/economics/ [4 Oktober 2010] Sunarti E. 2008. Naskah Akademik: Indikator Keluarga Sejahtera. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. Syafrian D. 2009. Kemiskinan struktural: peran dan kegagalan negara.
http://dzulfian.myblogrepublika.com/index.php/tag/standar-kemiskinan/ [21 Februari 2010]
93
Syarif H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas: Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: GMSK, IPB.
Taubman P. 1996. The roles of the family in the formation of offsprings’ earnings
and income capacity. Household And Family Economics. Editor: Menchik PL. Boston: Kluwer Academic Publisher.
Tjondronegoro SMP. 1999. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdikbud. Trommsdorff G. 2002. Value of children and intergenerational relations: A cross-
cultural study. Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia Bulletin 1 (2002). pp. 6-14.
Urip S. 2008. Perkembangan jumlah pendudk miskin dan faktor penyebabnya. Di
dalam: Yusdja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Wagle U. 2008. Multidimensional Poverty Measurement: Concepts and
Applications. New York: Springer Widyanti W, Suryahadi A, Sumarto S, Yumna A. 2009. The relationship between
chronic poverty and household dynamics: evidence from Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute.
World Bank. 2004. Reducing poverty. Jakarta: World Bank. World Bank. 2004.
Reducing poverty. Jakarta: World Bank.
. 2010. Human development index: Indonesia. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html [1 Desember 2010]
95
LAMPIRAN
96
97
Lampiran 1: Daftar pertanyaan kuisioner
KRAKTERISTIK KELUARGA CONTOH DAN KELUARGA ASAL
o Identitas keluarga (nama, hubungan antar anggota keluarga, umur, lama
pendidikan)
o Pekerjaan dan pendapatan anggota keluarga (untuk keluarga asal
pekerjaan ditanyakan berdasarkan bidang, pertanian atau non pertanian
dan pendapatan berdasarkan stabilitasnya, stabil atau tidak stabil per
bulan)
PERSEPSI ORANG TUA TERKAIT NILAI ANAK
o Nilai psikologis
- Anak memperkuat hubungan suami-istri
- Persepsi kehadiran anak sebagai beban keluarga
- Anak sebagai sumber stress
- Anak sebagai jaminan rasa aman hari tua
- Anak sebagai sumber kepuasan
o Nilai sosial
- Anak sumber penghargaan keluarga di mata masyarakat
- Keharusan dalam memiliki anak bagi keluarga
- Pendidikan anak dan penghargaan masyarakat bagi keluarga
- Perilaku anak dan nama baik keluarga
- Kekhawatiran akan perilaku anak
o Nilai ekonomi
- Kuantitas anak dan besar tanggungan keluarga
- Anak dan kontribusi ekonomi bagi keluarga
- Persepsi terkait pembiayaan anak
- Kemauan meluangkan waktu untuk mengurus anak
- Anak dan tugas rumah tangga
PERILAKU INVESTASI AYAH DAN IBU TERHADAP ANAK
o Perilaku alokasi waktu
- Memandikan anak
- Menyiapkan sarapan
- Mendampingi anak makan
98
- Mengajak anak memasak
- Mengajak anak bersosialisasi
- Membawa anak ke posyandu
- Merawat saat anak sakit
- Mengajak anak ke pengajian atau kegiatan ibadah lain
- Mengajak anak olahraga
- Mencuci rambut anak secara teratur
o Perilaku alokasi uang
- Menyediakan makanan pokok yang bergizi untuk anak
- Menyediakan buah untuk anak
- Menyediakan susu untuk anak
- Membawa anak ke dokter atau fasilitas kesehatan lain saat sakit
- Membelikan mainan sesuai umur
- Menabung untuk pendidikan anak
- Menyediakan obat di rumah
- Menyediakan kayu putih dan bedak
- Memberikan uang jajan setiap hari
- Membelikan vitamin
FAMILY LIFE HISTORY
o Jenis pekerjaan dan stabilitas pendapatan yang didapat per bulan
o Status kepemilikan rumah dan konsisi rumah dibandingkan dengan
rumah lainnya di lingkungan sekitar
o Kepemilikan lahan pertanian
o Kepemilikan hewan ternak (kerbau, sapi, kambing, atau domba)
WARISAN
o Satus penerimaan warisan oleh contoh (berupa rumah, tanah, uang, atau
hewan ternak)
PERILAKU INVESTASI ORANGTUA TERHADAP AYAH DAN IBU (SAAT
KEDUANYA BERUSIA BALITA)
o Perilaku alokasi waktu
- Memandikan ayah atau ibu
- Menyiapkan sarapan untuk ayah atau ibu
99
- Mendampingi ayah atau ibu makan
- Mengajak ayah atau ibu memasak
- Mengajak ayah atau ibu bersosialisasi
- Membawa ayah atau ibu ke posyandu
- Ada waktu khusus untuk saling bercengkrama
- Membacakan cerita sebelum tidur
- Berolahraga bersama
o Perilaku alokasi uang
- Menyediakan makanan pokok yang bergizi untuk ayah atau ibu
- Menyediakan buah untuk ayah atau ibu
- Menyediakan sandal untuk bermain
- Membelikan pakaian baru saat lebaran
- Membawa ke dokter saat sakit
- Memberi hadiah atau ucapan selamat saat ulang tahun
- Menyediakan kayu putih dan bedak
- Memberikan uang jajan setiap hari
- Membelikan vitamin
100
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 9 Agustus 1989 dari
pasangan Engkos Kosasih dan Enung Nurhayati (alm). Penulis merupakan anak
ke empat dari empat bersaudara, penulis memiliki dua orang kakak laki-laki dan
satu orang kakak perempuan. Penulis tinggal di Cicurug, Kabupaten Sukabumi,
tempat dimana penulis tumbuh dan dibesarkan.
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Cisaat 2 pada tahun
2001. Penulis kemudian mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan
pendidikan di SMP Internat Al Kausar dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan
menengah dilanjutkan di SMA Negeri 1 Cibadak hingga tahun 2007. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di jurusan Ilmu Keluarga
dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan, diantaranya: Koran Kampus IPB sebagai reporter (2007-2008),
anggota dari Forum for Scientific Study (FORCES) (2007-2008), Koran Kampus
IPB sebagai redaktur pelaksana 2 (2008-2009), staf HRD HIMAIKO (2008-2009),
Pimpinan Umum Koran Kampus IPB (2009-2010), dan sekretaris English Club
HIMAIKO (2009-2010). Penulis pernah juga menjadi asisten praktikum untuk
beberapa mata kuliah seperti Perilaku Konsumen (2009-2012), Sosiologi Umum
(2009-2010), dan Manajemen Sumberdaya Keluarga (2011-2012).
Penulis merupakan salah satu grantee dalam program Indonesian English
Language Study Program (IELSP) batch 7, program belajar intensif Bahasa
Inggris selama dua bulan di University of Arizona, Amerika Serikat pada tahun
2010. Penulis juga pernah menjadi juara I Sineaste Award, kompetisi film
domumenter pertanian pada tahun 2010. Prestasi lainnya yang pernah ditoreh
oleh penulis antara lain: Juara III essay writing competition yang diselenggarakan
Yayasan Anak Bangsa pada tahun 2009, Juara I lomba Koran kecil Journalistic
Fair 2008, Mahasiswa Berprestasi Departemen IKK tahun 2010 dan 2011,
Mahasiswa berprestasi II Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, Mahasiswa
berprestasi Karya Salemba Empat IPB 2011, dan dua kali mendapatkan
pendanaan untuk Program Kreativitas Mahasiswa (2009 dan 2011).
102