transfusi darah di bidang obstetri

Upload: etika-rahmi

Post on 06-Jul-2015

632 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

TRANSFUSI DARAH DI BIDANG OBSTETRI

Usi Sukorini, Teguh Triyono, Titien Budhiaty Bagian Patologi Klinik FK UGM/Unit Pelayanan Transfusi Darah Instalasi Laboratorium Klinik RSUP DR. Sardjito Yogyakarta

Pasien-pasien di bidang obstetri dan ginekologi banyak yang berpotensi memerlukan transfusi darah. Seksio cesaria (SC) dan histerektomi adalah dua tindakan bedah yang sering dan berpotensi terjadi perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Kondisi lainnya adalah perdarahan postpartum, placenta previa, dan ruptur kehamilan ektopik. Perdarahan di bidang obstetri masih merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi di Indonesia. Para ahli kebidanan dan kandungan perlu mengetahui aspek-aspek transfusi darah dan mengaplikasikannya dalam praktik klinis.1 Makalah ini akan mengupas tentang skrining golongan darah saat prenatal care, indikasi transfusi darah, jenis komponen darah, efek samping/risiko transfusi darah, serta pengadaan darah emergency.

Skrining golongan darah Salah satu pemeriksaan laboratorium rutin untuk setiap wanita hamil saat kunjungan pertama prenatal care adalah pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta skrining antibodi untuk mendeteksi antibodi yang berpotensi menyebabkan hemolytic disease of the newborn (HDN). Keuntungan dari pemeriksaan ini antara lain dapat mempersiapkan donor darah sesuai golongan darah dan jika wanita hamil tersebut bergolongan darah Rh(D) negatif maka dapat diberikan anti(D) immuneglobulin sesuai indikasi.2,3,5 Pemberian anti(D) immune-globulin dosis 500mg/IM kepada semua ibu dengan Rh(D) negatif dalam 72 jam setelah persalinan jika bayi Rh(D) positif, ini merupakan upaya yang umumnya dilakukan untuk mencegah HDN.3 Hal ini dapat memberikan perlindungan sampai 4mL sel darah merah bayi. Upaya tersebut penting mengingat prevalensi populasi dengan Rh(D) negatif di Indonesia sangat rendah (kurang dari 1%). Tetapi, berdasarkan survei di beberapa rumah sakit besar dan klinik bersalin di Yogyakarta, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan skrining antibodi tidak dapat dilakukan oleh setiap rumah sakit di Indonesia dan biayanya relatif mahal.

Indikasi transfusi darah Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II. Diagnosis dan terapi yang efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan merupakan tindakan yang penting untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya berdasar kadar Hb saja, tetapi juga berdasar indikasi

klinis pasien. Perdarahan yang terjadi pada persalinan normal atau seksio cesaria sebenarnya tidak membutuhkan transfusi darah jika kadar Hb ibu sebelum persalinan di atas 10,0 11,0 g/dL.3 Sebaliknya, transfusi darah hampir selalu diindikasikan jika Hb 35 detik dengan perdarahan atau untuk mengantisipasi tindakan invasif.

Fresh Frozen Plasma berisi semua faktor pembekuan, AT III, protein C dan S, albumin serta imunoglobulin. Dosis awal biasanya 2-6 unit.7 Kadar faktor koagulasi labil akan menurun dengan cepat sehingga harus ditransfusikan dalam 6 jam setelah dicairkan. Plasma golongan A dapat diberikan pada pasien golongan A atau O; plasma golongan B dapat diberikan pada pasien golongan B atau O; plasma golongan O hanya dapat diberikan pada pasien golongan O; dan plasma golongan AB dapat diberikan pada semua pasien. Reaksi transfusi yang sering terjadi pada transfusi FFP berupa reaksi alergi akut sampai anafilaksis terutama dengan kecepatan infus cepat.

Cryoprecipitate/AHF Indikasi: 1. 2. 3. 4. Isolated Factor VIII, Factor IX, Factor XIII deficiency or von Willebrands disease Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen 1000 mL; perdarahan obstetri masif yaitu kehilangan 50% volume darah sirkulasi 150 mL/menit. Transfusi masif dengan darah (WB) simpan akan memperberat trombopati dan koagulopati disebabkan karena trombositopenia dilusional, deplesi faktor koagulasi, asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, setiap transfusi 5-10 unit darah simpan diberikan 1 unit darah segar, setiap 1 liter transfusi citrated blood diberikan 10 mL 10% calcium gluconate IV untuk mencegah toksisitas sitrat, darah ditransfusikan dengan alat penghangat darah, dan menggunakan set transfusi yang dilengkapi filter mikroagregat.8 Toksisitas sitrat mungkin akan terlihat jika kecepatan transfusi melebihi 1 unit darah dalam 5 menit (1 mL/kgBB/menit). Tandanya antara lain adanya perubahan EKG (QT memanjang, QRS melebar, gelombang T mendatar sampai henti jantung), hipotensi, dan nadi cepat. Jika koreksi dengan kalsium gagal dapat diberikan magnesium IV.4

Efek samping/reaksi transfusi Transfusi darah mungkin merupakan sutu tindakan yang menyelamatkan hidup tetapi bukan tanpa risiko. Sebelum dokter memutuskan transfusi darah bagi pasien, ia harus harus selalu mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Risiko terbesar transfusi darah adalah jika pasien ditransfusi dengan darah yang salah (terbanyak disebabkan clerical error). Oleh karena itu prosedur baku untuk mendapatkan sampel yang tepat, crossmatch, skrining infeksi menular lewat transfusi darah dan pemberian transfusi harus dilakukan secara ketat bahkan untuk kasus emergency.5 Berikut ini adalah efek samping/reaksi dari transfusi darah, yaitu3,8: I. Komplikasi akut, yaitu reaksi transfusi yang terjadi selama dan segera setelah transfusi (dalam 24 jam): o Hipersensitif o Febrile non hemolytic reaction o Overload cairan o Anafilaksis o Hemolisis intravaskuler akut o Kontaminasi bakteri dan syok septik o TRALI (transfusion-associated acute lung injury)

o

Komplikasi metabolik (hiperkalemia, toksisitas sitrat dan hipokalsemia)

II. Komplikasi lambat, yaitu reaksi transfusi dengan tanda dan gejala yang muncul 5-10 hari setelah transfusi : o Reaksi hemolitik lambat o Post-transfusion purpura o Graft versus host disease (GvHD) o Overload besi khususnya pada transfusion-dependent patient o Penularan infeksi menular lewat transfusi darah seperti HIV, HBV, HCV, sifilis, malaria, CMV, atau lainnya (toxoplasmosis, Epstein-Barr virus, chagas disease, brucellosis, human parvovirus B19, infectious mononucleosis, dan Lymes disease)

Simpulan Skrining golongan darah ABO dan Rh merupakan langkah pertama yang harus diperiksa sehubungan dengan kemungkinan kebutuhan transfusi darah selama kehamilan, saat atau sesudah persalinan. Jika wanita hamil bergolongan darah Rh(D) negatif maka perlu mempersiapkan calon donor darah dan mengantisipasi kemungkinan kejadian HDN. Pada kasus perdarahan masif, diberikan PRC O atau WB/PRC sesuai golongan darah pasien tanpa crossmatch maksimal dalam waktu 15 menit setelah surat permintaan komponen darah diterima oleh UPTD. Diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik oleh semua pihak yang terkait dengan pelayanan darah bagi ibu hamil dan bersalin.

Referensi 1. Santoso J. T., Lin D. W., and Miller D. S., 1995. Transfusion Medicine in Obstetric and Gynecology, CME Review Articles, 50(6):470-481. 2. Lockwood C. J and Magriples U., 2009. The Initial Prenatal Assessment and Routine Prenatal Care, www.uptodate.com 3. WHO, 2002. The Clinical Use of Blood, Geneva 4. Anonim, 2009. Blood Usage in Obstetric Hemorrhage, www.lancastergeneralcollege.edu 5. Anonim, 2008. Royal College of Obstetrician and Gynaecologists, Blood Transfusion in Obstetrics, Green-top Guideline 2008. 6. Anonim, 2010. Laporan Pengeluaran Darah UPTD RSUP DR. Sardjito Januari-April 2010. 7. Martel M. J., 2002. Hemorrhagic Shock, SOGC Clinical Practice Guideline . 8. Shroff M., Component Therapy in Massive Obstetric Haemorrhage, www.obgyntoday.info