transfusi darah (referat anes al)
DESCRIPTION
jkTRANSCRIPT
Referat
TRANSFUSI DARAH
PEMBIMBING:
dr. Firdaus sp.An
OLEH:
Fathia Rachmatina030.08.099
Kepanitraan Klinik Ilmu Anestesi
RS TNI ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Transfusi Darah”. Referat
ini saya susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi RSU AL
MINTOHARDJO.
Saya mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Firdaus
sp.An yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan
dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui sedikit banyak tentang “Transfusi Darah”.
Jakarta, Februari 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah adalah suatu tindakan yang sering dilakukan baik dalam bidang
pembedahan maupun non pembedahan. Dalam bidang pembedahan, tindakan transfusi bisa
dilakukan pada periode pra bedah, pada saat pembedahan, dan pasca pembedahan. Sedangkan
pada kasus non bedah, bisa dilakukan setiap saat tergantung indikasi. . Transfusi darah
diperlukan saat tubuh kehilangan banyak darah, misalnya pada kecelakaan, trauma atau
operasi pembedahan yang besar, penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan misal
maag khronis dan berdarah, juga penyakit yang menyebabkan kerusakan sel darah dalam
jumlah besar, misal anemia hemolitik atau trombositopenia. Orang yang menderita hemofilia
atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering.
Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau
disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901,
Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh
(rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar
penting bagi transfusi darah modern. Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem pengorganisasian
bank darah yang terus berkembang sampai kini.
Masalah utama transfusi darah yang saat ini masih ada adalah kecelakaan akibat
ketidakcocokan golongan darah. Meskipun angka kejadiannya boleh dikatakan sangat kecil
namun inkompabilitas transfusi darah ini beresiko menyebabkan penderita mengalami reaksi
yang sangat serius dan mengancam nyawa. Beberapa penderita mendonorkan darahnya
beberapa minggu sebelum dioperasi. Jika dalam operasi dibutuhkan darah maka dia dapat
menggunakan darahnya sendiri sehingga reaksi transfusi dapat dikurangi.
Namun tranfusi bukanlah tanpa resiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk
memperlancar tindakan tranfusi, namun efek samping reaksi tranfusi atau infeksi akibat
tranfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai keamanannya,
indikasinya perlu diperketat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan)
yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh,
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh
terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang berkaitan dengan darah diawali dengan kata
hemo- atau hemato- yang berasal dari bahasa Yunani haima yang berarti darah.
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan
sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari
(1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu
materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah
putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup
dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati
jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala
pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan
sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50
volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya
terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah
albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis. (2,3)
2.2 Fungsi darah :
1. Sebagai organ transportasi, khususnya oksigen (O2), yang dibawa dari paru- paru dan
diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari
jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini
dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma
ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang
bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.(2,3)
2. Sebagai organ pertahanan tubuh (imunologik), khususnya dalam menahan invasi
berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini
dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus
(immunoglobulin).(2,3)
3. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai
upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh
darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi
aktifitas homeostasis yang berlebihan.(2,3)
2.3 Golongan Darah
Golongan darah adalah pengklasifikasian darah dari suatu individu berdasarkan ada
atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan membran sel darah merah. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran
sel darah merah tersebut. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah
penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis
antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai. Transfusi darah dari
golongan yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi imunologis yang
berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian.
Sistem ABO
Golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis antigen dan antibodi yang
terkandung dalam darahnya, sebagai berikut:
Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen A di
permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen B dalam serum
darahnya. Sehingga, orang dengan golongan darah A-negatif hanya dapat menerima
darah dari orang dengan golongan darah A-negatif atau O-negatif.
Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel darah
merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum darahnya.
Sehingga, orang dengan golongan darah B-negatif hanya dapat menerima darah dari
orang dengan dolongan darah B-negatif atau O-negatif
Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan antigen A dan B
serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A maupun B. Sehingga, orang
dengan golongan darah AB-positif dapat menerima darah dari orang dengan golongan
darah ABO apapun dan disebut resipien universal. Namun, orang dengan golongan darah
AB-positif tidak dapat mendonorkan darah kecuali pada sesama AB-positif.
Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi memproduksi
antibodi terhadap antigen A dan B. Sehingga, orang dengan golongan darah O-negatif
dapat mendonorkan darahnya kepada orang dengan golongan darah ABO apapun dan
disebut donor universal. Namun, orang dengan golongan darah O-negatif hanya dapat
menerima darah dari sesama O-negatif.
Tabel 1. Daftar Golongan Darah
Golongan Antigen di RBC Antibodi dalam plasma Golongan donor yang kompatibel
A Antigen A Anti-B A, O
B Antigen B Anti-A B, O
AB Antigen A & B Tidak ada A, B, AB, O
O Tidak ada Anti- A & B O
Sistem Rh
Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan memanfaatkan faktor
Rhesus atau faktor Rh. Nama ini diperoleh dari monyet jenis Rhesus yang diketahui memiliki
faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner. Seseorang yang tidak memiliki faktor Rh di
permukaan sel darah merahnya memiliki golongan darah Rh-. Mereka yang memiliki faktor
Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut memiliki golongan darah Rh+. Jenis
penggolongan ini seringkali digabungkan dengan penggolongan ABO. Golongan darah O+
adalah yang paling umum dijumpai, meskipun pada daerah tertentu golongan A lebih
dominan, dan ada pula beberapa daerah dengan 80% populasi dengan golongan darah B.
Kecocokan faktor Rhesus amat penting. Misalnya donor dengan Rh+ sedangkan
resipiennya Rh- dapat menyebabkan produksi antibodi terhadap antigen Rh(D) yang
mengakibatkan hemolisis. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang pada atau di bawah
usia melahirkan karena faktor Rh dapat memengaruhi janin pada saat kehamilan.
2.4 Tes Kompatibilitas
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-
antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di
periksa adanya antibody yang tidak baik.(4)
Tes ABO-Rh
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO. Antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen
dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular.
Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A
dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO
alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel
darah merah dengan antigen yang dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika
hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah
paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.
2.5 Definisi dan tujuan tranfusi darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke
sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.(1) Berdasarkan sumber darah atau
komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Homologous atau allogenictransfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari
orang lain;
2. Autologoustransfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu
sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.
Tujuan tranfusi darah adalah :
a. Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah
b. Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah
c. Meningkatkan oksigenasi jaringan
d. Memperbaiki fungsi homeostasis
e. Tindakan terapi khusus
2.6 Indikasi Tranfusi darah
Secara garis besar Indikasi Tranfusi darah adalah :
a. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah
yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau
luka bakar luas.
b. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya
pada anemia, trombositopenia, hipotrombinemia, dan lain-lain.
Indikasi transfusi darah ialah: (3)
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht <30%
Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <10% g/dl.
2. Bedah mayor kehilangan darah >20% volum darah.
3. Pada bayi anak yang kehilangan darah >15%, dengan kadar Hb yang normal. Pada bayi dan
anak, jika kehilangan darah hanya 10-15% dengan kadar Hb normal tidak perlu
transfusi darah, cukup dengan diberi cairan kristaloid atau koloid, sedang >15%perlu
transfusi karena terdapat gangguan pengangkutan oksigen.
4. Pada orang dewasa yang kehilangan darah sebanyak 20%, dengan kadar Hb normal. Kehilangan
darah sampai 20% dapat menyebabkan gangguan faktor pembekuan.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai hematokrit
dan EBV.
Estimated Blood Volume (EBV)
EBV= BB (kg) x average blood volume
Average Blood Volume
Usia Volume Darah
Premature neonatus 95 ml/kg
Fullterm 85 ml/kg
Infants 80 ml/kg
Adult Men 75 ml/kg
Adult Women 65 ml/kg
Tabel 4: Average Blood Volume
Allowable Blood Loss (ABL)
EBV x (Hi – Hf)
Hi
Hi= initial Hct
Hf= final lowest acceptable Hct
Normal Hct Value
Men = 42-52%
Women = 37-47%
2.7 Sediaan Darah untuk Transfusi
Macam-macam komponen darah:
2.7.1 Darah Lengkap (Whole blood)
Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan bedah
mayor dengan perdarahan >1500 mL.(3) Volume darah sesuai kantong darah yang dipakai
yaitu antara lain 250 ml, 350 ml, 450 ml. Dapat bertahan dalam suhu 4°±2°C. Darah lengkap
berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma secara bersamaan. Hb meningkat
0,9±0,12 g/dl dan Ht meningkat 3-4 % post transfusi 450 ml darah lengkap.(5)
Darah lengkap ada 3 macam, yaitu:
a) Darah segar
Yaitu darah yang baru diambil dari donor sampai <48 jam sesudah pengambilan.(3) Keuntungan pemakaian darah segar ialah faktor pembekuannya masih lengkap
termasuk faktor labil (V dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik. Kerugiannya
sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena untuk pemeriksaan golongan, reaksi
silang dan transportasi diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan resiko penularan
penyakit relatif banyak.
b) Darah Baru
Yaitu darah yang disimpan < 6 hari sesudah diambil dari donor. Faktor
pembekuan disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi peningkatan kadar
kalium, amonia,dan asam laktat.
c) Darah Simpan
Darah yang disimpan antara 6-35 hari. Keuntungannya mudah tersedia setiap
saat, bahaya penularan Lues dan Citomegalovirus hilang. Sedang kerugiaannya ialah
faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis. Kemampuan transportasi
oksigen oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas Hb terhadap oksigen
yang tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan kadar 2,3 DPG. Kadar kalium, amonia, dan asam laktat tinggi.
Darah donor sebelum disimpan untuk diberikan pada resipien harus dibebaskan
dari pelbagai macam penyakit yang mungkin dapat menulari resipien seperti hepatitis
B atau C, sifilis, malarian, HIV-1 atau HIV-2 virus human T-cell lymphotropic
(HTLV-1 dan HTLV-2). Darah simpan supaya awet dan tidak membeku perlu
disimpan dalam suatu tempat dengan suhu sekitar 1oC-6oC diberi pengawet.
Umumnya digunakan pengawet campuran sitrat untuk mengikat kalsium supaya tidak
terjadi pembekuan, fosfat sebagai penyangga (buffer), dekstrosa sebagai sumber
energi sel darah merah, dan adenin membantu resintesis adenosintrifosfat dan
menjaga supaya 2,3 DPG tidak cepat rusak. Campuran ini dikenal dengan sebutan
pengawet ACD (acid citrate dextrose), CPD (citrate phospate dextrose) dan CPDA
(citrate phospate dextrose adenine). Ketiga pengawet tersebut yang paling sering
digunakan untuk kepentingan klinik, terutama CPDA-1. Pengawet jenis lain ialah AS-
1 Adsol, AS-2 Nutrice, SAGM dan heparin. (3)
Darah lengkap (whole blood) biasanya disediakan hanya untuk transfusi pada
perdarahan masif. Satu unit darah lengkap (450-540 ml) mengandung pengawet 60 ml
CPDA-1 atau CP2D dengan kadar hematrokit 30-40% dapat menaikkan kadar Hb
resipien 1 gr%. Bank darah modern jarang menyediakan darah lengkap, tetapi
menyediakan komponen darah seperti eritrosit dimampatkankan (red blood cell
concentrate, packed red cells, packed cells), plasma, dan faktor pembekuan, misalnya
Unit Transfusi Darah Daerah PMI DKI Jakarta menyediakan darah dengan pengawet
CPDA-1. (3)
Tabel 3: Macam pengawet darah dan perubahan dalam penyimpanan
Pengawet Usia Eritrosit pH 2,3 DPG K+ Zat Pembeku Darah
Segar
ACD 21 hari >> > <6 jam
CPD 28 hari > >> < 24 jam
CPDA 35 hari > >> <48 jam
Heparin 24 jam
2.7.2 Sel Darah Merah
Packed Red Cell (PRC) berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama
penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3) dari plasma
dibuang. Satu unit PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml dengan kadar
hematokrit 70-80%, volume plasma 15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml.
Mempunyai daya pembawa oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu
penyimpanan sama dengan darah lengkap. (6)
Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai
penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia
hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal
ginjal kronis, dan perdarahan- perdarahan kronis yang ada tanda “oksigen need” (rasa sesak,
mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oksigenneed
hilang. Biasanya pada Hb 8-10 gr/dl. (6)
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit
dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 %.(6)
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap: (6)
1. Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal
2. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.
3. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.
4. Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal.
5. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat dibuat menjadi komponen-
komponen yang lain.
Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit yang tertinggal
sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu timbulnya pembentukan antibodi
terhadap darah donor. Untuk mengurangi efek samping komponen non eritrosit maka dibuat
PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline
sebanyak tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat disimpan selama 4
jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera diberikan.
2.7.3 Plasma
Ada beberapa macam plasma. PBS (plasma beku segar/ fresh frozen plasma)
didapatkan dari sentrifugasi darah donor yang cepat dibekukan sampai -20oC. Faktor
pembekuan terpelihara baik, tetapi relatif terlalu encer. PBS dipakai sebagai sumber albumin
dan tidak bebas sama sekali dari kemungkinan pencemaran virus hepatitis. PBS biasanya
dipakai pada terapi defisiensi koagulasi multipel seperti penyakit hati, pemulihan warfarin
dan KIT.(8)
Transfusi darah simpan dalam jumlah besar, biasanya menyebabkan defisiensi faktor
koagulasi. Oleh karena itu pada pemberian 4-6 unit darah simpan hendaknya diberikan 1 unit
PBS. (8)
Pada plasma biasa, satu unit biasa berisi 200 ml diperoleh dari mengendapkan darah
lengkap selama 72 jam. Semua faktor pembekuan ada kecuali faktor V dan faktor VIII.
2.7.4 Trombosit
Diberikan pada penderita yang mengalami gangguan jumlah atau fungsi trombosit.
Komponen ini didapat dari darah segar dengan metode pemutaran dengan waktu tertentu,
sehingga akhirnya didapat konsentrat platelet yang volumenya 25-40 ml/unit yang berisi
minimal 5,5×1010 platelet dan beberapa sel darah merah yang tercampur di dalamnya bersama
plasma untuk mempertahankan pH di atas 6 selama waktu penyimpanan. Dengan satu unit
konsentrat platelet biasanya akan menaikkan jumlah platelet sebesar 9.000-11.000 /m3 luas
badan. Sehingga untuk keadaan trombositopenia yang berat dibutuhkan sampai 8-10 unit.
Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang disebabkan
oleh kekurangan trombosit. Pemberian trombosit yang berulang-ulang dapat menyebabkan
pembentukan thrombocyte antibody pada penderita.(9)
Transfusi trombosit terbukti bermanfaat menghentikan perdarahan karena
trombositopenia. Indikasi pemberian komponen trombosit ialah setiap perdarahan spontan
atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang dari 50.000/mm3, misalnya
perdarahan pada trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik, demam berdarah, DIC
dan aplasia sumsum tulang karena pemberian sitostatika terhadap tumor ganas.
2.7.5 Cryoprecipitated AHF
Didapatkan dengan mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Plasma yang dibekukan cepat
sampai 40oC. Kaya akan faktor VIII dan fibrinogen. Indikasi primer untuk terapi hemofilia
dan penyakit Von Willebrand Disease.(8)
2.7.6 Granulosit
Diberikan pada penderita yang jumlah leukositnya turun berat, infeksi yang
tidak membaik/ berat yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik, kualitas leukosit
menurun. Komponen ini dibuat dari seorang donor dengan metode pemutaran melalui
hemonetic – 30. Dengan alat ini darah dari donor dilakukan pemutaran terus-menerus,
memisahkan dan mengumpulkan buffy coat yang banyak mengandung granulosit limfosit dan
platelet kemudian dicampur dengan larutan sitrat sebagai antikoagulan yang akhirnya
dilarutkan dalam plasma.(6)
Indikasi :
1. Penderita neutropenia dengan febris yang tinggi yang gagal dengan antibiotik
2. Anemia aplastik dengan lekosit kurang dari 2000/ml
3. Penyakit-penyakit keganasan lainnya.
Kapan saat yang tepat untuk pemberian transfusi granulosit, masih belum pasti.
Umumnya para klinisi menganjurkan pemberian transfusi granulosit pada
penderitaneutropenia dengan panas yang tinggi dan gagal diobati dengan antibiotik yang
adekuatlebih dari 48 jam. Efek pemberian transfusi granulosit tampak dari penurunan
suhubadan penderita terjadi pada 1-2 jam setelah transfusi.
2.8 Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah(10)
2.8.1 Transfusi Autologus
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan
tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama
operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien
diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih
34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara
mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi
besi dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit
pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi.
Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek
tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker.
Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi,
mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi
yang berhubungan dengan kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label,
pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam
kaitan dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous
dilakukan dengan frekuensi berkurang.
2.8.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang
Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah tulang.
Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah
(heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang
merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian
di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai
hematokrit 50-60%.Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah
lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk
dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel
malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan
reinfusion darah tanpa centrifuge.
2.8.3 Normovolemik Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi
sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah
dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume
intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter
intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap
normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam
kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di
transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.
2.8.4 Donor – Transfusi Langsung
Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang
mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan
umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah
dan mengkonfirmasikan kompatibilitas. Studi yang membandingkan keamanan dari
pendonor-langsung dengan donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah
lebih aman.
2.9 Komplikasi Transfusi Darah(3)
1. Reaksi transfusi darah secara umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu
yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun
demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap
reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan
gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu,
apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali dilakukan
adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian cairan
NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah.6,9
2. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena
ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan
sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau
unit darah yang akan diberikan.2,3
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau
tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine
berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat
terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal
ginjal akut yang dapat berakibat kematian.2,3
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:
(a) meningkatkan perfusi ginjal,
(b) mempertahankan volume intravaskuler,
(c) mencegah timbulnya DIC.2,3
3. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya
antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan
karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu
untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya
ekstravaskuler.2,9
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus,
dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu
dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi
dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa
pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya
sama seperti pada RTHA.6,
4. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik
a. Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya
ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien
bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen
dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian
merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam
hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-
6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan
sendirinya.
b. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul,
yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus
menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan
terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di
permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin.
Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan
menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi.
Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut.
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul
pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti
IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit
setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada
saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik
biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat
pernapasan, hipotensi, dan renjatan.
Penatalaksanaannya adalah :
(1) menghentikan transfusi dengan segera,
(2) tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
(3) berikan antihistamin dan epinefrin.
Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi
hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu
melalui intubasi.2,3
5. Efek samping lain dan resiko lain transfusi
a. Komplikasi dari transfusi massif
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan,
dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam
waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang
digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan
koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor
pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan
jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.3,5
b. Penularan penyakit Infeksi
1) Hepatitis virus
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar
pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah
menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti
infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi
disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian
besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang
baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih
tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000
dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 2,3
2) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi
darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan
donor yang baik dan ketat.
3) Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir
premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap
di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif
mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel
darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini.2,3
4) Penyakit infeksi lain yang jarang
Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui
transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis
infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan
penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).
Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah
yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami
reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu
ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang
adekuat.
5) GVHD(Graft versus Host disease)
GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi
pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi
oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan
bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan
pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.7,8
2.10 Penanggulangan Reaksi Transfusi : (3)
1. Stop transfusi
2. Naikkan tekanan darah dengan koloid , kristaloid , jika perlu tambah
vasokonstriktor, inotropik
3. Berikan oksigen 100%
4. Diuretika manitol 50mg atau furosemide (Lasix) 10-20mg
5. Antihistamin
6. Steroid dosis tinggi
7. Jika perlu ‘exchange transfusion’
8. Periksa analisa gas dan pH darah
BAB III
KESIMPULAN
Transfusi darah merupakan pemberian infuse seluruh darah atau suatu komponen darah
dari suatu individu (donor) ke individu lain (resipien). Sistem golongan darah yang diperiksa
dalam pelaksanaan transfuse darah secara rutin adalah system ABO dan Rhesus. Berbagai
macam komponen darah yaitu darah lengkap, PRC, trombosit, dan Granulosit.
Tujuan transfusi darah adalah meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen, memperbaiki volume darah tubuh, memperbaiki kekebalan, memperbaiki masalah
pembekuan.
Transfusi darah diperlukan saat tubuh kehilangan banyak darah, misalnya pada
kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar, penyakit yang menyebabkan terjadinya
perdarahan, juga penyakit yang menyebabkan kerusakan sel darah dalam jumlah besar, misal
anemia hemolitik atau trombositopenia.
Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam
banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam
pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan
massif.
Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat
dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat
terjadi dalam reaksi transfusi darah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital
2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80;
1-6.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Transfusi Darah pada Pembedahan. Dalam:
Anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2010; pg.141- 5
4. McClelland, DBL. Handbook of transfusion medicine ed. 4. 2007. United kingdom
blood service.
5. Pelatihan Teknologi Transfusi Darah Bagi Dokter Unit Transfusi Darah, Angkatan
XX, Jakarta 2005.
6. Hewitt PE, Wagstaff W. Donor darah dan Uji Donor darah. Dalam : Contreras M,Ed.
Petunjuk Penting Transfusi (ABC of Transfusion). Edisi ke-2; alih bahasa: Oswari J.
Jakarta : EGC,1995;1-4
7. Davies SC, brozovic M. Transfusi Sel darah Merah. Dalam Contreras M, Ed.
Petunjuk Penting transfusi (ABS of Transfusion) Edisi ke-2. Alih Bahasa Oswari.
Jakarta: EGC, 9-14
8. Transfusi Darah pada Pembedahan. Dalam: Anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI;
2004; pg.201-4
9. Rustam, M., Almanak Transfusi Darah, Lembaga Pusat Transfusi Darah Palang
Merah Indonesia, Jakarta 1977 Hal : 65- 69.
10. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical
Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family
Physicians.