trauma kapitis dan trauma spinal

Upload: diwiasti-firdausi-yasmin

Post on 07-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    1/14

    TUGAS NEUROLOGI

    TRAUMA KAPITIS DAN TRAUMA SPINAL

    Disusun Oleh :

    Diwiasti Firdausi Yasmin

    G 99131034

    KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

    2014

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    2/14

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    3/14

    BAB II

    CEDERA KEPALA

    A. Pengertian

    Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak

    yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang

    dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat

    menyebabkan kematian.Sebagian besar kasus cedera yang mengenai otak

    adalah cedera tertutup akibat kecelakaan lalulintas. 84% yang mendapat terapi

    konservatif, dan hanya 16% yang mendapat terapi operatif.

    B. Klasifikasi

    Berdasarkan klinis, terbagi menjadi:

    1. Simple Head Injury

    GCS 15, composmentis, no amnesia.

    2. Cedera Otak Ringan

    GCS 14, atau

    GCS 15 dengan kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.

    Dapat disertai nyeri kepala, mual, muntah dan vertigo.

    3. Cedera Otak Sedang

    GCS 9-13

    Kehilangan kesadaran antara 30 menit-24 jam, dapat mengalami fraktur

    tengkirak dan disorientasi ringan (bingung).

    Defisit neurologis bisa (+) atau (-)

    4. Cedera Otak Berat

    GCS 3-8

    Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio cerebri,

    laserasi, hematoma dan edema cerebri.

    Defisit neurologis (+)

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    4/14

    Berdasarkan tempat fraktur:

    1. Fraktur Cranium

    a. Fraktur linier

    Selalu tertutup

    Bila ada lukajahit

    b. Fraktur impresi

    Fragmen tulang masuk melebihi satu tebal tulang

    Terbuka: cito operasi

    Tertutup: konservatif, kecuali bila ada: indikasi kosmetik, kejang,

    defisit neurologis.

    2. Fraktur Basis Cranii

    a. Anterior, gejala:

    Rinorrhea

    Brill hematom

    Lesi N. I & II

    b. Media, gejala:

    Otorrhea

    Battle sign (hematom retroaurikuler)

    Lesi N. VII & VIII

    Berdasarkan patofisiologinya:

    1. Cedera Otak Primer

    Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan

    mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi. Cedera ini dapat

    berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    5/14

    kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi (gerakan cepat yang terjadi

    mendadak) atau deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak).

    Tekanan itu dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus.

    Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh

    darah. Cedera parenkim berupa comosio, kontusio, laserasi atau diffuse

    axonal injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan

    epidural, subdural, dan intraserebral, yang dapat dilihat pada CT-Scan.

    a. Comosio cerebri

    Gangguan fungsi otak sementara

    Gaya akselerasi-deselerasi

    Tanpa kerusakan struktur otak

    b. Contusio cerebri

    Kerusakan struktur otak

    Gangguan tergantung luas-lokasi otak yang rusak

    c. Laserasi cerebri

    Contusio+robeknya piamater

    d. Hematom intracranial

    EDH (Epidural Hematom)

    - Perdarahan ini dakibatkan oleh cedera pada arteri atau vena

    meningea. Yang paling sering cedera adalah arteri meningea

    media.

    - Jika tidak terdapat fraktur tengkorak , perdarahan epidural akan

    cepat menimbulkan gejala. Sesuai dengan sifat dari tengkorak

    yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa

    fraktur menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat

    meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan

    membentuk hematom subperiostal dan sifat tengkorak sebagai

    kotak tertutup sudah tidak berlaku lagi.

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    6/14

    - Lucid interval (+).

    SDH (Subdural Hematom)

    - Terjadi perdarahan antara lapisan meningeal duramater dan

    arachnoidea mater. Diakibatkan oleh robeknya vena cerebri superior

    (bridging veins) pada tempat masuknya vena ke dalam sinus sagittalis

    superior.

    -

    Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan

    atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan

    distribusi bridging veins. Lucid interval (+).

    ICH (Intracerebral Hematom)

    -

    Umumnya disebabkan oleh ruptur arteri ateromatosa dan paling sering

    terjadi pada pasien hipertensi, yang menyebabkan rusaknya serabut-

    serabut kortikobulbaris dan kortikospinalis dalam kapsula interna dan

    menimbulkan hemiplegi pada sisi tubuh kontralateral. Perdarahan ini

    juga dapat terjadi ke dalam batang otak dan serebellum.

    - Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,

    perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    7/14

    kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai

    dengan fungsi bagian otak yang terkena.

    2. Cedera Otak sekunder

    Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer

    yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh

    neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi

    bakteri.

    Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder

    adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan

    tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan

    Tinggi Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang.

    Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan

    istilah nine deadly Hs adalah hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia (depresi

    nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (respon stres),

    hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan

    hemostasis. Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek

    terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder.

    C. Terapi

    1. Cedera Otak Ringan

    a. Pasien datang ke IGD, stabilisasi ABC

    b. Anamnesis, fisik diagnostik

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    8/14

    c. Pemeriksaan Lab

    d. Terapi simptomatik + antibiotik sesuai indikasi

    e.

    Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi

    f.

    Lapor jaga bedah saraf

    2. Cedera Otak Sedang

    a. Pasien datang ke IGD, stabilisasi ABS, pasang collar brace.

    b.

    Lapor jaga bedah saraf

    c. Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya

    d.

    Pemeriksaan lab

    e. Alloanamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis

    f. Obat simptomatik IV + antibiotik sesuai indikasi

    g.

    Bila telah stabilCT Scan kepala, thorak foro AP, dan pemeriksaan

    radiologis lain atas indikasi.

    3. Cedera Otak Berat

    a.

    Pasien datang ke IGD, resusitasi ABC

    b.

    Intubasi + kontrol ventilasi, pasang NGT.

    c. Pasang collar brace.

    d. Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda

    pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.

    e. Bila syok, berikan cairan isotonis (RL, NaCl 0,9%), atau koloid, atau

    darah. Cari penyebabnya, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.

    f.

    Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal

    ginjal atau gagal jantungmanitol 100cc/6jam.

    g. Bila kejang: Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah dalam 15 menit

    berikutnya bila kejang belum berhenti. Awasi depresi nafas.

    Dilanjutkan fenitoin sebagai maintenance1 ampul yang diencerkan

    dalam 20cc NaCl 0,9% iv pelan.

    h.

    Pemeriksaan Lab

    i.

    Alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis.

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    9/14

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    10/14

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    11/14

    C. Etiologi

    Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

    1.

    Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal

    seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau

    kekerasan, merusak medula spinalis. Sesuai dengan American Board of

    Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal

    Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,

    dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

    2.

    Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan

    seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada

    medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang

    bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera

    medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,

    penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,

    kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan

    D. Klasifikasi

    Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian

    berikut seperti:

    Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

    Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

    Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

    Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

    Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti

    disfagia

    Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level

    dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan

    neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen

    terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    12/14

    pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini

    tidak harus sesuai dengan level fraktur.

    Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan denganadanya preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis.

    Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis

    memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit,

    kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi

    inkomplit.

    E. Penatalaksanaan

    Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera

    bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas hanya sekitar

    40% cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung

    seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi

    dan survei sekunder.

    Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang

    penting. Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensifarmakologis seperti pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian.

    Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat

    badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama

    24 - 48 jam secara drip. Berdasarkan hasil uji klinik menunjukkan kemaknaan

    statistik terhadap perbaikan neurologis jangka panjang. Metilprednisolon

    bekerja menghambat peroksidase dan akan meningkatkan asam arakidonat.

    Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya

    diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi.

    Semua pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk

    mencapai saturasi oksigen mendekati 100%.

    Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus

    diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    13/14

    Pada kasus trauma medula spinalis, pemeriksaan radiologi diawali dengan

    foto polos yang ilakukan sesuai lokasi trauma dengan proyeksi anterior,

    posterior, dan lateral, kemudian dapat dilakukan CT Scan atau MRI.

    Di samping itu kemungkinan multi trauma harus dipikirkan. Bila diagnosa

    tegak, segera berikan terapi. Kemudian diputuskan apakah perlu dilakukan

    tindakan operatif. Bila tidak adaindikasi, dianjurkan perawatan pada

    neurointensive care, karena dapat terjadi beraneka ragam komplikasi.

    F. Rehabilitasi

    Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang

    terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami

    gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial.

    Rehabilitasi untuk fraktur cervical memerlukan waktu yang lama,

    beberapa bulan sampai tahunan, tergantung kepada beratnya cedera. Terapi

    fisik dapat dilakukan seperti latihan untuk menguatkan kembali daerah leher

    dan memberikan tindakan pencegahan untuk melindungi cedera ulang. Selain

    itu dianjurkan untuk mengubah gaya hidup yang dapat menyebabkanfrakturservical.

    Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi

    spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi fisik dan

    strategi rehabilitasi yang lain juga penting untuk mempertahankan fleksibilitas

    dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi saraf. Penting juga

    memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak

  • 7/21/2019 Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

    14/14

    DAFTAR PUSTAKA

    Andrew H Kaye. 2005. Essential Neurosurgery. Department of Surgery,

    University of Melbourne.

    Perhimpunan Dokter Spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. Konsensus

    Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI.

    Peter Reilly, Ross Bullock. 2010. Head Injury: Pathophysiology and

    Management. Churchill Livingstone, Edinburgh.

    Priguna Sidharta. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta.

    Tim Neurotrauma. 2007. Pedoman Tatalaksana Cedera Kepala. Fakultas

    Kedokteran Universitas Airlangga : Surabaya.