tuberkulosis
DESCRIPTION
TB AnakTRANSCRIPT
BAB 1PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara
berkembang maupun di negara maju (Rahajoe, dkk, 2008).
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus
TB anak per tahun adalah 5 - 6% dari total kasus TB. Pada tahun 1989, WHO
memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak dan
450.000 anak usia < 15 tahun meninggal dunia karena TB(Rahajoe, dkk, 2008).
Di Asia tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan bahwa jumlah jumlah
kasus baru adalah 35,1 juta, 8% diantaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus
baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta
kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia < 15 tahun
(Rahajoe, dkk, 2010).
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu: 1) diagnosis tidak tepat, 2) pengobatan tidak adekuat,
3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, 4) infeksi endemik
HIV, 5) migrasi penduduk, 6) mengobati sendiri (self treatment), 7) meningkatnya
kemiskinan dan 8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai (Rahajoe, dkk,
2010).
Salah satu masalah yang selalu terkait erat dengan TB yaitu masalah gizi
yang dalam hal ini adalah malnutrisi (Kekurangan Energi Protein/KEP).
1
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak dibawah usia 5 tahun. KEP
diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan (gizi kurang) dan KEP derajat berat
(gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala yang khas dan kelainan
biokimia, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan. Telah lama diketahui adanya
hubungan sinergis antara KEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan status gizi (Hillaliah, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Dudeng (2005), diketahui bahwa anak yang
mempunyai status gizi tidak baik memiliki risiko 3,28 kali lebih besar menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan anak yang mempunyai status gizi baik.
Demikian pula dengan hasil penelitian Haryani (2007), yang menyimpulkan
bahwa status gizi kurang merupakan faktor yang paling dominan dalam kejadian
tuberkulosis pada anak dengan risiko sebesar 7,02 kali dibandingkan dengan anak
yang mempunyai status gizi yang baik.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus pediatri pada seorang anak laki-
laki yang dirawat di Badan Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara
dengan Tuberkulosis Paru, Limfadenitis Tuberkulosis, bronchitis, dan distonia e.c
obat.
2
BAB 2LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : BJ
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 14 tahun
Berat Badan : 31 kg
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Syamtalira Aron
Tanggal Masuk : 1 Juli 2015
No. MR : 06.59.40
B. Identitas Orang Tua
Ayah
Nama : Tn. I
Umur : 51 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Ibu
Nama : Ny. A
Umur : 47 tahun
Pendidikan : SMA
3
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
2.2. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan orang tua pasien, tanggal 2 Juli 2015 pukul 08.30 WIB
a. Keluhan Utama
Demam 15 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan
Kaku, mual, muntah, menggigil, sakit perut, batuk, mencret, nyeri saat
kencing, BAB hitam, benjolan di leher.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan
keluhan demam sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Kaku pada
leher dirasakan setelah meminum obat muntah yang diberikan mantri. Demam
terjadi terus menerus dan disertai menggigil pada malam hari, pasien merasa
kondisi semakin memberat dan tampak lemah. Pasien mengeluhkan mual,
muntah, sakit perut, nyeri saat kencing, dan BAB hitam sejak 3 hari SMRS.
Pasien sering batuk selama 1 bulan terakhir. Pasien mengeluh terdapat benjolan
pada leher sebelah kiri yang sudah muncul 6 bulan SMRS.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada bulan Februari 2015 pasien pernah dirawat di RS dengan diagnosa
Demam Tifoid.
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat antenatal
Selama kehamilan ibu memeriksa kehamilan ke bidan
4
Frekuensi : Trimester 1 : 1 kali
Trimester II : 1 kali
Trimester III : 2 kali
Riwayat natal
Lahir secara : spontan pervaginam
Berat badan lahir : 2900 gram
Panjang badan lahir : ibu lupa
Lingkar kepala lahir : ibu lupa
Tempat : Di rumah dengan pertolongan bidan
f. Riwayat Imunisasi
Tidak pernah.
g. Riwayat Makanan
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pasien mulai
diberi makan pisang sejak usia 4 bulan. Makanan teratus hingga usia 6 tahun.
Pasien muali sering jajan dan malas makan sejak masuk sekolah, dan hingga kini
pasien makan tidak teratur, jarang sarapan, dan suka makan somay dan minum
minuman berpengawet.
h. Riwayat Keluarga
Dirumah tidak ada yang mengalami hal yang sama. ayah pasien merokok 1
bungkus per hari.
i. Riwayat Psikososial
Pasien adalah anak ke 5 dari 5 bersaudara. Anak tinggal serumah dengan ayah, ibu
dan 3 orang abang dalam rumah semi permanen, ventilasinya baik, air minum,
5
mandi, cuci dan minum sehari-hari berasal dari sumur. Keluarga termasuk ke
dalam golongan sosio-ekonomi sedang. Pasien bersekolah di Pesantren dengan 1
kamar diisi oleh 20 orang, menurut keterangan pasien ada teman yang sudah batuk
lama.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : lemah
b. Kesadaran : compos mentis
c. Tanda Vital
Nadi : 100 kali/menit
Respirasi : 32 kali/menit
Suhu : 39,2 oC
Tekanan darah : Tidak dievaluasi
d. Data Antropometri
Berat Badan : 31 kg
Tinggi badan : 153 cm
e. Status Gizi
Berdasarkan Rumus Status Gizi menurut Waterlow (1972)
BB/TB % = BB Aktual x 100%
BB Baku untuk TB actual
= (31 x 100%) / 44 = 70,45
= Interpretasi Gizi Kurang
j. Status General
Kulit
6
Kulit berwarna sawo matang, efloresensi primer (Nodul), eflurosensi
skunder (-), Jaringan parut (-), Pigmentasi normal, Keringat (umum),
Turgor (menurun), Ikterus (-), Pertumbuhan rambut normal, pembuluh
darah normal, lapisan lemak (menurun), edema (-), suhu raba (lembab).
Pembesaran KGB
Submandibula (-), region coli (-/+) 3 nodul ukuran 2 dan 1 cm,
supraklavikula (-), aksila (-), inguinal (-).
Kepala
Ekspresi wajah tampak lemah, wajah simetri, deformitas (-), rambut hitam
tidak mudah dicabut, pembuluh darah temporal tampak normal, nyeri
tekan sinus (-), noktah nyeri (-)
Mata
Defrmitas (-), gerakan (normal), kelopak (normal), mata cekung (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),pupil bulat, isokor, refleks
cahaya (+/+)
Telinga
Deformita (-), tanda radang (-/-), tofi (-/-), serumen (-/-)
membran timpani utuh.
Hidung
Bentuk normal, konka hiperemis (-/-), pernapasan cuping hidung (-/-),
abses (-)
Mulut dan Tenggrokan
Bibir sianosis (-), mukosa (basah), faring (normal), tonsil (T1/T1), gigi dan
gusi (normal), lidah (normal), bau pernapasan (+).
7
Leher
Trakea (normal), kaku kuduk (-)
Toraks : tulang rusuk tampak jelas
Pulmo
Inspeksi : Retraksi didi dada (+), pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-).
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simestris
Palpasi : Hepar terasa nyeri saat palpasi dalam, limpa tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), asices (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas atas : Akral dingin (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Ekstremitas bawah : Akral dingin (+/+),sianosis (-/-), edema (-/-)
Anggota gerak : Tidak ditemukan kelainan
Otot : Tidak ditemukan kelainan
8
2.4 DIAGNOSA
Diagnosa Kerja : Tuberkulosis paru
2.5 PENATALAKSAAN
IVFD RL 18 gtt/ menit (makro)
IVFD dextrose 5% NaCl 0,45 18 gtt/ menit (makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
Inj/ Ceftriakson 750 mg/ 12 jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12 jam
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Inj/ Omeprazole 40 mg/ 12 jam
Oral/ Parasetamol tab 500 mg (3x1)
Oral/ Ambroksol Syr 30 mg/ 5ml C 1 (2x1)
Oral/ B complex tab 500 mg (1x1)
Oral/ Citirizin tab 10 mg (1x1)
Oral/ Rimcure tab (1x4)
Oral/ Ferlin Syr C 1 (1x1)
Oral/ Cefotaxime Tab (3x1)
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin
2. Tes Widal
3. Pemeriksaan rontgen
2.7 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan
keluhan demam sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Kaku pada
9
leher dirasakan setelah meminum obat muntah yang diberikan mantri. Demam
terjadi terus menerus dan disertai menggigil pada malam hari, pasien merasa
kondisi semakin memberat dan tampak lemah. Pasien mengeluhkan mual,
muntah, sakit perut, nyeri saat kencing, dan BAB hitam sejak 3 hari SMRS.
Pasien sering batuk selama 1 bulan terakhir. Pasien mengeluh terdapat benjolan
pada leher sebelah kiri yang sudah muncul 6 bulan SMRS. Keadaan umum
lemah, kesadaran compos mentis, frekuensi jantung 100 kali/menit, frekuensi
nafas 32 kali/menit, temperatur 39,2 oC. Pasien pulang dengan kondisi demam (-),
muntah (-), mual (-), menggigil (-), sakit perut (-), batuk (+), dan kondisi bugar
walau benjolan pada leher belum mengecil.
10
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal SOAP Terapi
Kamis
2 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (+),
menggigil (+), mual (+),
muntah (+), batuk (+),
benjolan di leher (+)
O : T (39,2OC), RR (32
kali/menit), HR (100
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar
P : Darah rutin, urin rutin,
IVFD RL 18 gtt/i
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam (KP)
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12
jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1) KP
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Jumat
3 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (+), mual (+),
muntah (-), batuk (+),
benjolan di leher (+)
O : T (36OC), RR (21
kali/menit), HR (98
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
IVFD RL 18 gtt/i
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam (KP)
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12
jam
Oral/ Parasetamol tab
11
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar
P : Urin dan darah Rutin
500 mg (3x1) KP
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Sabtu
4 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (+), mual (+),
muntah (-), batuk (+),
benjolan di leher (+)
O : T (36,5OC), RR (21
kali/menit), HR (95
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar
P : Observasi
IVFD RL 18 gtt/i
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam (KP)
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12
jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1) KP
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Minggu
5 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (+), mual (+),
muntah (+), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (+), BAB
hitam, BAK (+),
O : T (37,9OC), RR (36
IVFD Dextrose 5%
NaCl 0,45 18 gtt/i
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam (KP)
12
kali/menit), HR (113
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar
P : Observasi
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12
jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1) KP
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Senin
6 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (-), mual (+),
muntah (-), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (+), BAB
hitam, BAK (+),
O : T (35,5OC), RR (36
kali/menit), HR (86
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar
P : observasi, Foto toraks
IVFD Dextrose 5%
NaCl 0,45 18 gtt/i
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam (KP)
Inj/ Ranitidin 50 mg/ 12
jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1) KP
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Selasa S : Demam (+), kaku (-), IVFD dextrose 5% NaCl
13
7 Juli 2015
Hasil Foto Toraks PA
Didapat infiltrat pada
kedua lapang paru
Kesan: Bronkitis,
pneumonia
menggigil (+), mual (+),
muntah (+), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (+), BAB
hitam (-), BAK (+), KU
lemah, selera makan
menurun
O : T (3,9OC), RR (36
kali/menit), HR (113
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar, Bronkitis
P : widal tes ulang
0,45 18 gtt/ menit
(makro)
Inj/ Cefotaxime 1 gr/ 12
jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam
Inj/ Omeprazole 40 mg/
12 jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1)
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Oral/ B complex tab 500
mg (1x1)
Oral/ Citirizin tab 10 mg
(1x1)
Oral/ Rimcure tab (1x4)
Rabu
8 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (+), mual (+),
muntah (+), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (+), BAB
hitam (-), BAK (+), KU
lemah, selera makan
IVFD dextrose 5% NaCl
0,45 18 gtt/ menit
(makro)
Inj/ Cftriakxon 750 mg/
12 jam
Inj/ Ondacetron 8 mg/ 12
jam
14
menurun
O : T (37,2OC), RR (37
kali/menit), HR (114
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar, Bronkitis
P : Observasi KU dan
efktivitas obat
Inj/ Omeprazole 40 mg/
12 jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1)
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Oral/ B complex tab 500
mg (1x1)
Oral/ Citirizin tab 10 mg
(1x1)
Oral/ Rimcure tab (1x4)
Kamis
9 Juli 2015
S : Demam (+), kaku (-),
menggigil (-), mual (-),
muntah (-), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (-), BAB
hitam (-), BAK (+), KU
membaik, selera makan
baik
O : T (37,2OC), RR (37
kali/menit), HR (114
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
IVFD dextrose 5% NaCl
0,45 18 gtt/ menit
(makro)
Inj/ Ceftriakson 750 mg/
12 jam
Inj/ Omeprazole 40 mg/
12 jam
Oral/ Parasetamol tab
500 mg (3x1)
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Oral/ B complex tab 500
mg (1x1)
15
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar, Bronkitis
P : Observasi KU dan
efktivitas obat
Oral/ Citirizin tab 10 mg
(1x1)
Oral/ Rimcure tab (1x4)
Jumat
10 Juli 2015
S : Demam (-), kaku (-),
menggigil (-), mual (-),
muntah (-), batuk (+),
benjolan di leher (+),
sakit kepala (-), BAB
hitam (-), BAK (+), KU
baik, selera makan baik
O : T (36,4OC), RR (37
kali/menit), HR (100
kali/menit).
Thoraks : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-)
A : Distonia e.c drug,
Susp. TB Paru, Susp. TB
Kelenjar, Bronkitis
P : Observasi KU dan
efktivitas obat
Terapi Pulang
Oral/ Ambroksol Syr 30
mg/ 5ml C 1 (2x1)
Oral/ B complex tab 500
mg (1x1)
Oral/ Citirizin tab 10 mg
(1x1)
Oral/ Rimcure tab (1x4)
Oral/ Cefotaxime tab
(3x1)
16
BAB 3PEMBAHASAN
Pada penderita ini, diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan sistem skoring
berdasarkan manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang yang mana sistem
skoring penderita berjumlah 8.
Tabel 1.1 : Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB tidak jelas - laporan
keluarga,
BTA (-)/
tidak tahu/
BTA tidak jelas
BTA
(+)
2
Uji Tuberkulin
(Mantoux)
negatif - - Positif
( ≥ 10
mm
atau
≥ 5 mm
pada
keadaan
imunos
upresif)
0
Berat badan/
keadaan gizi
- BB/TB <
90% atau
BB/U <
80%
klinis gizi
buruk atau
BB/TB < 70%
atau
- 2
17
BB/U < 60%
Demam yang
tidak
diketahui
penyebabnya
- ≥ 2 minggu - - 1
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - - 1
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
- ≥ 1 cm,
jumlah > 1,
tidak nyeri
- - 1
Pembengkaka
n tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
- ada
pembengka
kan
- - -
Foto toraks normal/
kelainan
tidak jelas
gambaran
sugestif
TB
- - 1
TOTAL
SKOR
8
Pada sistem scoring terbaru, skor tertinggi terletak pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dalam
menunjang diagnosis. Demikian pula dengan adanya kontak dengan pasien TB
dewasa BTA positif. Pasien TB dewasa dengan BTA positif dapat menjadi
18
sumber penularan yang utama karena berdasarkan penelitian akan menularkan
kepada sekitar 65% orang disekitarnya (Rahajoe, dkk, 2008).
Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kontak dengan teman satu
asrama dengan gejala yang sama dengan penderita, tetapi ini hanya berdasarkan
laporan keluarga. Laporan ini pun tidak jelas karena teman penderita tidak pernah
memeriksakan diri sehingga tidak dapat dipastikan apakah teman penderita
menderita penyakit tuberkulosis, hanya didasarkan pada adanya riwayat batuk
lama.
Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada
TB paru pada anak. Umumnya pasien TB anak mempunyai status gizi kurang atau
bahkan gizi buruk. Dengan alasan tersebut, kriteria penurunan berat badan
menjadi penting. Pada penderita terjadi penurunan berat badan dan penilaian
status gizi pada saat penderita dirawat menunjukkan hasil gizi kurang.
Penderita juga mengalami demam sumer-sumer sejak 15 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam lebih dari 2 minggu yang tidak diketahui
penyababnya merupakan salah satu gejala tuberkulosis. Demam sumer-sumer
pada tuberkulosis terjadi akibat peran dari sel makrofag dan sel dendritik yang
terinfeksi oleh kuman TB sehingga memproduksi sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-α, IL-1b, IL-6, IL-8, IL-12, IL-15 dan IFN-γ (Sumarmo, dkk, 2010).
Pada penderita ditemukan batuk sejak 1 bulan yang lalu. Sebagian besar TB
paru pada anak tidak menunjukkan manifestasi respiratorik yang menonjol. Hal
ini dikarenakan TB paru pada anak biasanya berlokasi di parenkim paru sebagai
lanjutan dari proses TB primer, yang mana pada daerah tersebut tidak terdapat
reseptor batuk. Tetapi, gejala batuk kronik pada anak dapat timbul bila
19
limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk
secara kronik. Selain itu, karena imunitas tubuh yang menurun akibat penekanan
sitokin anti-inflamasi maka anak mudah mengalami infeksi respiratorik akut
berulang (Rahajoe, dkk, 2010).
Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, umunya
terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar
limfe superfisialis terjadi akibat penyebaran limfogen dan hematogen. Pada awal
perjalanan penyakit TB, kuman TB yang mencapai aliran darah dapat bersarang di
satu kelompok atau lebih kelenjar limfe. Dalam beberapa bulan, penyebaran
hematogen dapat terlihat dengan adanya pembesaran sementara (transient).
Sebagian besar lesi di kelenjar akan sembuh total, tetapi sebagian kecil kuman TB
tetap berkembang biak. Manifestasi ini dapat terjadi bertahun-tahun kemudian
(Rahajoe, dkk, 2010).
Pada penderita ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening berupa
nodul pada regio coli sinistra dengan diameter 2 x 1 cm, mobile, berjumlah 3
nodul.
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidaklah khas, karena kelainan-
kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit-penyakit lain.
Sebaliknya foto Rontgen toraks yang normal (tidak terdeteksi secara radiologis)
tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lainnya mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto Rontgen toraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier(Sectish,
et al, 2000).
20
Pemeriksaan foto Rontgen toraks penderita menunjukkan adanya
fibroinfiltrat dengan cavitas paru di kiri dan kanan atas. Ini merupakan salah satu
gambaran sugestif TB paru. Gambaran sugestif TB paru diantaranya berupa :
- Pembesaran kelenjar limfe hilus/paratrakea dengan atau tanpa infiltrat
- Atelektasis lobus medius
- Konsolidasi lobar/segmental
- Gambaran milier
- Efusi pleura
- Kavitas
- Kalsifikasi (proses lama)
- Tuberkuloma
Dari kedelapan parameter scoring system TB paru pada anak
diatas,diperoleh total skor sepuluh, yang mana anak didiagnosis TB jika jumlah
skor ≥ 6. Diagnosis pasti TB paru pada anak ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear) dan/atau biakan
yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard) atau gambaran PA TB.
Pemeriksaan sputum BTA yang dilakukan sebanyak 2 kali menunjukkan hasil
negatif. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemeriksaan kuman
Mycobacterium tuberculosis menunjukkan hasil positif hanya pada 10 - 15%
pasien yang mana hal ini dikarenakan jumlah kuman yang sedikit pada TB anak
(paucibacillary) dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus.
Akan tetapi pemeriksaan sputum BTA atau bilas lambung tetap penting untuk
dilakukan (Mansjoer, dkk, 2000).
21
Hasil pemeriksaan penunjang lain yaitu pemeriksaan Laju Endap Darah
(LED) menunjukkan terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan adanya infeksi
kronis. Akan tetapi nilai LED dapat meningkat pada berbagai keadaan infeksi atau
inflamasi kronis sehingga LED sama sekali tidak khas untuk TB. LED
mempunyai manfaat untuk pemantauan keberhasilan terapi bila sebelum terapi
nilainya tinggi. Demikian pula dengan peningkatan nilai hitung jenis limfosit juga
tidak mempunyai nilai diagnostik untuk TB paru karena pada keadaan infeksi TB
tanpa sakit atau infeksi lainnya seperti infeksi virus, juga dapat ditemukan nilai
limfosit yang tinggi (Rahajoe, dkk, 2008).
Pengobatan
Dari scoring system yang dibuat diperoleh total skor 8 sehingga pasien harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (dua bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan fase lanjutan/sterilisasi (empat bulan atau lebih).
Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat
dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular, sedangkan pemberian
obat jangka panjang bertujuan selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.2,8
Susunan panduan OAT pada anak adalah 2RHZ/4RH yaitu pada fase
intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) yang
diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 RHZ) dan fase lanjutan yang terdiri dari
Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) yang diberikan setiap 4 hari selama 4 bulan. 1,2
22
Isoniazid (H)
Bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid, dan efek bakterisidnya hanya terlihat
pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mempunyai 2 efek toksik utama
yaituhepatotoksik dan neuritis perifer.2,9
Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid pada intra sel dan ekatra sel, dapat memasuki semua jaringan,
dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut sedang kosong. Efek sampingnya lebih sering terjadi dibanding
isoniazid yaitu perubahan warna urine, ludah, keringat, sputum, dan air mata
berwarna orange kemerahan, serta menyebabakan gangguan gastrointestinal. 2,9
Pirazinamid (Z)
Derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, bakterisid hanya pada intra selpada suasana asam,dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Pengguanaan pirazinamid aman pada anak. 2,9
Evaluasi Hasil Terapi
Penilaian hasil terapi dilakukan baik dengan evaluasi klinis, laboratorium maupun
radiologis, namun dasar utama evaluasi terapi adalah keadaan klinis pasien.
Terapi TB yang berhasil berdampak nyata pada keadaan klinis pasien. Pasien akan
meningkat nafsu makannya, berat badan naik secara bermakna dan pasien menjadi
lebih jarang sakit. Keluhan klinis seperti demam dan batuk juga akan menghilang.
1,2
23
Sejak terdiagnosis hingga mendapatkan terapi yaitu sekitar 10 hari,
penderita memperlihatkan perbaikan secara klinis berupa hilangnya demam,
berkurangnya batuk, batuk sudah tidak disertai dengan adanya darah dan
perbaikan nafsu makan.
Prognosis
Prognosis tergantung pada faktor deteksi dini, pengobatan yang efektif dan
komplikasi yang ada. Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam karena
penderita dapat terdeteksi sebelum mengalami komplikasi berat seperti adanya
deformitas tulang, gangguan neurologis dan lain-lain. Diharapkan selain
kepatuhan pengobatan penderita, adanya penanganan gizi dapat mendukung
proses penyembuhan penderita.
PENUTUP
Kesimpulan
24
Pada penderita dapat ditegakan diagnosis Tuberkulosis Paru berdasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dasar diagnosis dari kasus ini Berdasarkan sistem skoring diagnosis TB pada
anak (kerjasama IDAI dan Depkes RI dan didukung oleh WHO) yaitu berjumlah
10. Dengan hasil tersebut, pasien ini dapat didiagnosis dengan tuberkulosis.
Pada penderita ini, tata laksana umum yaitu diberikan IVFD NaCl 0,45% in
D 5 % (1/2 HS) 34-35 cc/jam 11-12 gtt/menit, obat anti tuberkulosis (OAT)
yaitu INH 10 mg/kgBB/hari240mg, Rifampisin 10 mg/ kgBB/hari 240 mg,
Pirazinamid 20 mg/kgBB/hari500 mg hal ini sesuai dengan IDAI.
Hasil follow up yang dilakukan selama 10 hari, menunjukkan adanya
perbaikan klinis, diantaranya disebabkan karena kepatuhan minum obat dari
penderita serta adanya intervensi gizi, sehingga prognosis penyakit dari penderita
dapat dikatakan dubia ad bonam.
Saran
Disarankan penderita untuk dapat melakukan kontrol setiap bulannya di
poli tumbuh kembang untuk menilai perkembangan hasil terapi dan efek samping
obat. Evaluasi pengobatan dilakukan secara klinis yang mana tidak ada lagi
keluhan sebelumnya dan perbaikan berat badan yang signifikan. Pemantauan efek
samping obat dilakukan dengan memonitor hasil pemeriksaan laboratorium dari
efek hepatotoksik obat anti-tuberkulosis berupa pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal.
25
Pencegahan Tuberkulosis Paru dapat dilakukan dengan imunasasi BCG
segera mungkin saat bayi lahir (sebelum usia 2 bulan).
Jika ditemukan anak dengan TB, maka harus dicarisumber penularan
yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan
sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA
sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe, N., Basir D., Makmuri M.S., Kartasasmita C. (2008) Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta : UKK Respirologi PP IDAI.
2. Rahajoe N., Supriyatno B., Setyanto D. (2010) Buku Ajar Respirologi Anak,
Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Permatasari S. (2010) Skrofuloderma. Palembang : Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK UNSRI.
4. Hillaliah, R. (2010) Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis
pada Anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Tesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
27
5. Sumarmo, S., Soedarmo, P., Hadinegoro, S. R. (2010) Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Richard M, Mitchel, et al. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbin &
Cotran, Ed. 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h. 198
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 2, Ed. 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. h.
459-61.
8. Sectish, Theodore C, and Charles G, Prober. Pneumonia. Dalam: Behrman
R.E., et.al (editor). Ilmu Kesehatan Anak Nelson’s vol. 2 edisi. 15. Jakarta:
Penerbit Buku kedokteran EGC. 2000. h. 882
9. Setiabudi R. Pengantar Antimikroba . Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, editor. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI; 2008. h. 613-37.
28