tuga pbl s2.docx
TRANSCRIPT
Nama : Mohammad Rivaldi
NPM : 1102014159
LI 1. Memahami dan menjelaskan KODEKI
LO 1.1 Definisi
1.2 Hukum dan Etik
LI 2. Memahami dan menjelaskan Kaidah Dasar Bioetik
LO 2.1 Definisi
2.2 Jenis-jenis
2.3 Hukum dan Etik
LI 3. Memahami dan menjelaskan Euthanasia
LO 3.1 Definisi
3.2 Jenis-jenis
3.3 Hukum dan Etik
LI 4. Memahami dan menjelaskan Sudut Pandang Islam tentang Euthanasia
LI 1.1 Dr. Dedi Afandi menjelaskan bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
merupakan acuan moralitas dokter Indonesia dalam menjalankan praktek kedokteran
sehari-hari
1.2 Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa beru paya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokter annya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
LI 2.1 Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik
2.2
Prinsip Bioetik Benefience
Prinsip berbuat baik “Beneficence” Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan
tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat).Prinsip berbuat baik (beneficence), merupakan segi positif dari prinsip non
maleficence. Tapi kewajiban berbuat baik ini bukan tanpa batas. Ada 4 (empat) langkah sebagai
proses untuk menilai risiko, sehingga kita bisa memperkirakan sejauh mana suatu kewajiban
bersifat mengikat :
1. Orang yang perlu bantuan itu mengalami suatu bahaya besar atau risiko kehilangan
sesuatu yang penting
2. penolong sanggup melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya bahaya atau kehilangan
itu
3. tindakan penolong agaknya dapat mencegah terjadinya kerugian itu, dan
4. manfaat yang diterima orang itu melebihi kerugian bagi penolong dan membawa risiko
minimal.
Ciri-ciri Prinsip Bioetik Benefience, antara lain :
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Prinsip Bioetik Non-Malefience
Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih
pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Misalnya segera
melakukan pemeriksaan kerana kecurigaan. Kaidah ini pula penting terutama sekali ketika
waktu-waktu emergensi atau gawat darurat. Kaidah ini bermaksud tidak menimbulkan bahaya
atau kecederaan kepada pasien dari segi fizikal atau psikologis. Prinsip non-maleficence ini
boleh digambarkan dengan kata ini yaitu “primum non nocere” iaitu pertama jangan menyakiti.
Prinsipo ini menjadi suatu kewajipan apabila:
Pasien berada dalam keadaan yang sangat berbahaya atau berisiko kehilangan sesuatu
yang sangat penting seperti nyawa atau anggota badan.
Tindakan dokter tadi ialah yang paling efektif pada waktu itu.
Manfaat bagi pasien adalah lebih berbanding manfaat kepada dokter.
Prinsip tidak merugikan (non maleficence), merupakan prinsip dasar menurut tradisi
Hipocrates, primum non nocere. Jika kita tidak bisa berbuat baik kepada seseorang, paling tidak
kita tidak merugikan orang itu. Dalam bidang medis, seringkali kita menghadapi situasi dimana
tindakan medis yang dilakukan, baik untuk diagnosis atau terapi, menimbulkan efek yang tidak
menyenangkan.
Ciri-ciri Prinsip Bioetik Non-Maleficence ialah:
Menolong pasien yang emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak menghina atau memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien sebagai obyek
Tidak membahayakan kehidupan pasien kerana kelalaian
Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan atau kerumahsakitan yang
merugikan pihak pasien atau keluarganya
Memberikan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Futility
Futility berarti tidak ada keuntungan. Digunakan untuk menggambarkan ketidak bergunaan atau
tidak adanya efek seperti yang diinginkan. Kesia-siaan terdiri dari pertimbangan antara lain
kualitatif dan kuantitatif . Masing masing memiliki pengertian yang berbeda, dimana kuantitatif
adalah dimana kualitas hidup pasien jatuh sedangkan kuantitatif adalah gagal dalam jumlah yang
ditentukan terakhir kali mencoba.
Prinsip Bioetik Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan (justice), berupa perlakuan yang sama untuk orang-orang dalam situasi
yang sama, artinya menekankan persamaan dan kebutuhan, bukannya kekayaan dan kedudukan
sosial. Dalam rangka memberikan kepastian dan pelayanan yang standar dalam bidang
kedokteran, buku ini telah disusun bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita luhur mewujudkan
masyarakat Indonesia sejahtera seutuhnya. Namun, tentunya tak ada gading yang tak retak. Di
sana-sini tentunya masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun akan
sangat kami hargai.
Prinsip ini menuntut agar kita memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya. Hak orang
lain perlu dihargai dan jangan sampai dilanggar, persis seperti kita pun mengharapkan agar hak
kita dihargai dan tidak dilanggar. Prinsip ini mengatur agar kita bertindak sedemikian rupa
sehingga hak semua orang terlaksana secara kurang lebih sama sesuai dengan apa yang menjadi
haknya tanpa saling merugikan.
Ciri-ciri Prinsip Bioetik justice :
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Menghargai hak sehat pasien
4. Menghargai hak hukum pasien
5. 5 menghargai hak orang lain
6. Tidak melakukan penyalahgunaan
7. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial
8. Tidak memberbeban berat secara tidak merata tanpa lasan tepat atau sah
9. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
Prinsip Bioetik Otonomi ( Self-Determination )
Prinsip menghormati otonomi pasien (Self-Determination), merupakan suatu kebebasan
bertindak dimana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya
sendiri. Di sini terdapat 2 unsur yaitu : kemampuan untuk mengambil keputusan tentang suatu
rencana tertentu dan kemampuan mewujudkan rencananya menjadi kenyataan. Dalam hubungan
dokter-pasien ada otonomi klinik atau kebebasan professional dari dokter dan kebebasan
terapetik yang merupakan hak pasien untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, setelah
mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya.
2.3
LI 3.1 Etik (ethos; Yunani) berarti akhlak, adat kebiasaan, watak, perasaan, sikap, yang baik,
yang layak. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (purwadarminta, 1953),
etikaadalah ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika adalah :
Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral
Kumpulan atau Seperangkat asas atau nilai yg berhubungan dengan akhlak
Nilai yang benar atau salah yg dianut suatu golongan atau masyarakat
3.2 Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif adalah tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan
yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan
perundangan.
B. Euthanasia pasif adalah dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda
operasi.
C. Auto euthanasia adalah seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya.
3.3 Dalam pandangan hukum, euthanasia dapat dilakukan jika pengadilan mengijinkan. Namun
bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap
melanggar pasal 345 KUHP, yaitu Menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan
sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun
1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 Ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344,
dan pasal 359.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum.
Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana
hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat
membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural
karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal
dalam hukum pidana positif di Indonesiahanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang
dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur
dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,
dalam konteks hokum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang.
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam
keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di
lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar
yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang
sangat menderita tersebut, tanpa di jerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung
makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai
pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia
dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat
apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan
bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu
peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa
sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”.Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “ Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum ”.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun ”.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hokum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya
euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
LI 4 Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya
seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan. segala perbuatan yang
berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’
(jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu
dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman
pidana.
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti
mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat
kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya,
yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada
keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar
sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit
selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits
Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad
dan Muslim)
ف�ق�د� و�م�ا م�ظ�ل �ل� قت و�م�ن� �ح�ق� �ال ب � �ال إ الله م� ح�ر� �ي �ت ال �ف�س� الن و�ا ل �ق�ت ت � و�ال
ا �صو�ر� م�ن �ان� ك �ه �ن إ �ل� �ق�ت ال ف�ي س�ر�ف� ي � ف�ال ا ل�ط�ان س �ه� �ي �و�ل ل �ا �ن ع�ل ج�
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu alasan yang
benar. Siapa saja yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami memberikan kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
(QS al-Isra’ [17]: 33).
dalam ayat ini manusia dilarang membunuh jiwa manusia lainnya. Ada benang merah yang
menghubungkan ketiga larangan itu, yakni menjaga keberlangsungan kehidupan manusia secara
umum
Surah Al-An'am 151-160
[6:151] Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Ayat ini menjelaskan bahawa kita Tidak boleh membunuh jiwa yang di larang untuk di bunuh.
Allah telah menjaga jiwa manusia sehingga tidak boleh seorang melenyapkan nyawa orang lain
tanpa ada kebolehan dari syariat Allah.
�ص�د�قوا ي ن�� أ �ال� إ �ه� ه�ل
� أ �ى5 �ل إ �م�ة7 ل مس� �ة7 و�د�ي �ة; مؤ�م�ن �ة; ق�ب ر� �ح�ر�ير ف�ت� خ�ط�أ
“ D a n t i d a k l a y a k b a g i s e o r a n g m u ` m i n m e m b u n u h s e o r a n g m u ` m i n ( y a n g
l a i n ) , kecuali karena tersalah (tidak sengaja). (Q.S. An-Nisa 92)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif.
Sebab tidakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja yang merupakan tindak
pidana dan dosa besar.