tugas aa

177
DEMAM BERDARAH DENGUE: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA 1. Klinis Gejala klinis berikut harus ada, yaitu: Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: o uji bendung positif o petekie, ekimosis, purpura o perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi o hematemesis dan atau melena Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah. 2. Laboratorium Trombositopenia (100 000/μl atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut: o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar o Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan o Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia. Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD. Derajat Penyakit Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) Deraj at I Demam disertai gejala tidak khas dan satu- satunya manifestasi perdarahan ialah uji

Upload: nuryadi-hermita

Post on 23-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: tugas  aa

DEMAM BERDARAH DENGUE: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

1. Klinis

Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:o uji bendung positifo petekie, ekimosis, purpurao perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusio hematemesis dan atau melena Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg),

hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.

2. Laboratorium

Trombositopenia (100 000/μl atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai

berikut:o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standaro Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairano Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia. Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan

hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.

Derajat Penyakit

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)

Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung.

Derajat II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.

Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

Page 2: tugas  aa

sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.

Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok

Anak dirawat di rumah sakit

Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.

Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.

Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:o Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetato Kebutuhan cairan parenteral Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jamo Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit, trombosit,

leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jamo Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan secara

bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian cairan.

Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi (compensated shock).

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok

Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra nasal. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya. Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya

(maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.

Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfusi darah/komponen.

Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium.

Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.

Page 3: tugas  aa

DEMAM TIFOID

Pertimbangkan demam tifoid jika anak demam dan mempunyai salah satu tanda berikut ini: diare atau konstipasi, muntah, nyeri perut, sakit kepala atau batuk, terutama jika demam telah berlangsung selama 7 hari atau lebih dan diagnosis lain sudah disisihkan.

Diagnosis

Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis kunci adalah:

Demam lebih dari tujuh hari Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi Delirium Hepatosplenomegali Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit demam

akut dengan disertai syok dan hipotermi.

Pemeriksaan penunjang

Darah tepi: leukopeni, aneosinofilia, limfositosis relatif, trombositopenia (pada demam tifoid berat).

Serologi: interpretasi harus dilakukan dengan hati-hati.

Tatalaksana

Obati dengan kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per oral atau intravena) selama 10-14 hari, namun lihat halaman 78 untuk pengobatan bagi bayi muda.

Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100 mg/kgBB/hari peroral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari.

Bila klinis tidak ada perbaikan digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau sefiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari).

Perawatan penunjang

Jika anak demam (≥ 39º C) berikan parasetamol.

Pemantauan

Awasi tanda komplikasi

.

Page 4: tugas  aa

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid termasuk kejang, ensefalopati, perdarahan dan perforasi usus, peritonitis, koma, diare, dehidrasi, syok septik, miokarditis, pneumonia, osteomielitis dan anemia. Pada bayi muda, dapat pula terjadi syok dan hipotermia.

Page 5: tugas  aa

KEJANG DEMAM

DEFINISI:Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

PENYEBAB:Belum jelas, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor keturunan/genetikGEJALA: Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu:1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut:

Kejang berlangsung singkat, < 15 menit  Kejang umum tonik dan atau klonik  Umumnya berhenti sendiri  Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam 

2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut:

Kejang lama, > 15 menit  Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial  Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam 

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Keluhan: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (ayah, ibu atau saudara kandung).

Pemeriksaan saraf(neurologis): Tidak didapatkan kelainan Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah) 

Pemeriksaan Rongent/X Ray(Radiologi): X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi 

Pemeriksaan cairan otak(cairan serebrospinal (CSS)): Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis(infeksi otak). Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bayi < 12 bulan: diharuskan 2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan 3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis 

Page 6: tugas  aa

Pemeriksaan rekam otak (elektroensefalografi (EEG)): Tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal) 

PENGOBATAN/PENATALAKSANAANPenatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan kejang.1. Penanganan Pada Saat Kejanga. Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-0,6mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudianb. Turunkan demam: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali perhari Kompres: suhu > 39C: air hangat; suhu >38C: air biasac. Pengobatan penyebab: antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnyad. Penanganan suportif lainnya meliputi: 

Bebaskan jalan nafas  Pemberian oksigen  Menjaga keseimbangan air dan elektrolit  Pertahankan keseimbangan tekanan darah 

2. Pencegahan Kejanga. Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demamb. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis

PROGNOSISApabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:

1. Kejang demam berulang 2. Epilepsi 3. Kelainan motorik 4. Gangguan mental dan belajar 

Page 7: tugas  aa

KRISIS HIPERTENSI

Defenisi

KR HT adalah naiknya TD yang mendadak :

-          TS >180 mmHg dan atau

-          TD > 120 mmHg

Pada penderita hipertensi yang memerlukan penanggulangan segera

Klasifikasi

1.       Hipertensi emergensi

Naiknya TD secara mendadak yang disertai kerusakan organ target yang progresif.

Pada keadaan ini memerlukan penurunan TD yang segera dalam kurun waktu menit atau jam.

2.       Hipertensi urgensi

Naiknya TD secara mendadak yang tidak disertai kerusakan organ target.

Penurunan TD pada keadaan ini harus dilaksanakan dalam kurun waktu 24-48 jam.

Kedua KR HT ini perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisis karena baik factor resiko dan penanggulangannya berbeda.

Manifestasi klinis KR HT:

a.       Neurologi

          Sakit kepala

          Penglihatan kabur

          Kejang-kejang

          Deficit neurologis fokal

          Somnolen

          Spoor

d.      Ginjal

          Azotemia

          Proteinuri

          Oliguri

e.      Obstetric

Preeclampsia dengan gejala berupa

          Gangguan penglihatan

Page 8: tugas  aa

          Koma

b.      Mata

          Perdarahan retina

          Eksudat retina

          Edema pupil

c.       Kardiologi

          Nyeri dada

          Edema paru

          Sakit kepala yang berat

          Kejang-kejang

          Nyeri abdomen  kuadran atas

          Gangguan jantung kongesif

          Oliguri

          Gangguan kesadaran

          Gangguan serebrovaskuler

Pemeriksaan fisis:

-          Sasaran pada organ target yang dicurigai terganggu

-          Mengukur TD teratur

-          Konsultasi kardiologi

-          Konsultasi neurologi

-          Konsultasi mata

Pemeriksaan penunjang

-          Urinalisis

-          Kimia darah

-          ECG

-          Foto thoraks

-          CT scan kepala

-          Ekokardiografi

-          USG

-          Cito uro

Penatalaksanaan HT emergensi:

-          Penaggulangan harus di RS karena memerlukan peralatan observasi yang memadai

Page 9: tugas  aa

-          Obat parenteral diberikan secara bolus atau infuse

-          TD diturunkan dalam waktu hitungan menit atau jam sbb:

-          5 menit s/d 120 menit pertama TD diturunkan 20-50%

-          2-6 jam kemudian TD diturunkan sampai 160/100 mmHg

-          6 s/d 24 jam berikutnya TD diturunkan sampai <140/90 mmHg (kalau tidak ada iskemik organ) 

Obat-obatan yang digunakan pada hipertensi emergensi:

1.       Clonidin (catapres) IV (150 mcg/ampul)

-          Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infuse glukosa 5% 500cc dalam cairan infuse glukosa 5% 500cc dan diberikan dengan mikrodrip, 12 tetes/menit, setiap 15 menit dapat dinaikkan 4 tetes sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.

-          Bila tekanan mencapai target, pasien diobservasi selama 4 jam kemudian diganti dengan tablet clonidin oral sesuai kebutuhan.

-          Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan-lahan oleh karena bahaya rebound phenomen, dimana tekanan darah naik secara cepat bila obat dihentikan.

2.       Diltiazem (Herbeser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)

-          Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3 menit kemudian diteruskan dengan infuse 50 mg/jam selama 20 menit.

-          Bila tekanan darah telah turun >20% dari awal, dosis diberikan 30 mg/menit sampai target tercapai.

-          Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10 mg/jam dengan observasi 4 jam diganti dengan tablet oral.

Perlu perhatian khusus pada penderita dengan gangguan konduksi jantung dan gagal jantung

3.       Nicardipin (perdipin) IV (2 mg dan 10 mg/ampul)

-          Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgbb bolus

-          Bila tekanan darah tetap stabil diteruskan dengan 0,5-6 mcg/kgbb/menit sampai target tekanan darah tercapai.

4.       Labetalol (normodyne) IV *

Page 10: tugas  aa

-          Labetalol diberikan 20-80 mg, IV bolus setiap 10 menit atau dapat diberikan dalam cairan infuse dengan dosis 2 mg/menit

5.       Nitroprusside (nitropress, nipride) IV*

-          Nitroprusside diberikan dalam cairan infuse dengan dosis 0,25-10,00 mcg/kg/menit.

6.       Sodium nitroprusside

-          Dosis 0,25-10 μg/kgbb/IV

-          Onset segera

-          Durasi 1-2 menit

7.       Nicardipine hydrochloride

          Dosis 5-15 mg/jam IV

          Onset 5-10 menit

          Durasi 15-30 menit

8.       Fenoldopam mesylate

          Dosis 0,1-0,3 μg/kgbb/menit IV

          Onset <5menit

          Durasi 30 menit

9.       Nitroglycerin

          Dosis 5-100 μg/menit IV

          Onset 2-5 menit

          Durasi 5-10 menit

10.   Enalaprilat

11.   Hydralazine hydrochloride

          Dosis 10-20 mg IV

          Onset 10-20 menit

          Durasi 1-4 jam

12.   Labetalol hydrochloride

          Dosis 20-80 mg bolus setiap 10 menit IV

          Onset 5-10 menit

          Durasi 3-6 jam

13.   Esmolol hydrochloride

          Dosis 20-500 μg/kgbb/menit IV

          Onset 1-2 menit

          Durasi 10-30 menit

14.   Phentolamine

Page 11: tugas  aa

          Dosis 1,25-5mg setiap 6 jam IV

          Onset 15-30 menit

          Durasi 6-12 jam

          Dosis 5-15 mg/menit bolus IV

          Onset 1-2 menit

          Durasi 10-30 menit

 

Krisis hipertensi pada keadaan khusus:

1.       Stroke

a.       Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar

-          Tekanan darah sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg, pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.

-          Tidak ada tanda0tanda lain yang meningkatkan tekanan darah seperti nyeri kepala/artikular, kandung kemih penuh.

-          Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari mean arterial blood pressure.

-          Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan diastolic 105-120 mmHg, dilakukan penatalaksanaan seperti terapi pada hipertensi urgensi

b.      Perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, pecahnya arteriovenosus malformation (AVM)

-          Tekanan darah sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.

-          Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD

-          Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedua tatalaksana KR HT dengan batas penurunan TD 20-25% dari mean arterial blood pressure.

-          Target TD adalah sistolik 160 mmHg dan diastolic 90 mmHg.

c.       Ensefalopati hipertensi

-          TD sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.

-          Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papil edeme, peningkatan TIK sampai kejang.

-          Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD

Page 12: tugas  aa

-          Obat anti-hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur tatalaksana krisis hipertensi dengan batas penurunan TD 20-25% dari mean arterial pressure

d.      Trauma kepala dan tumor intracranial

-          Pada kasusu trauma kepala, tumor intracranial terdapat gejala tekanan intracranial yang meningkat seperti:

-          Sakit kepala hebat

-          Muntah proyektil/tanpa penyebab gastrointestinal

-          Papil edema (sembab papil)

-          Kesadaran menurun/berubah

-          TD sistolik >220 mmHg dan diastolic >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit

-          Tidak ada tanda-tanda lain yang meningkatkan TD.

-          Obat antihipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur tatalaksana krisis hipertensi dengan batas penurunan TD 20-25% dari mean arterial blood pressure.

-          Khusus untuk tumor intracranial, hipofisis perlu dilakukan pemeriksaan hormonal dan penatalaksanaan sesuai dengan krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.

2.       Krisis hipertensi pada penyakit ginjal

Hipertensi pada penyakit ginjal umumnya sekunder dan paling banyak ditemukan adalah penyakit renovaskular. Pada krisis hipertensi, angka kejadian bisa 10% sampai 45%. Untuk itu diperlukan deteksi dini dari stenosis arteri renalis yang berkaitan dengan hipertensi.

Dicurigai stenosis arteri renalis bila ditemukan:

a.       Ditemukan hipertensi sebelum usia 30 tahun khususnya jika tidak ada riwayat hipertensi di keluarga.

b.      Ditemukan hipertensi berat (hipertensi stadium II dengan TD >160/100 mmHg) setelah usia diatas 50.

c.       Ditemukan hipertensi yang refrakter dan sulit dikendalikan dengan obat kombinasi lebih dari 3 macam (termasuk diuretic)

d.      Terjadinya peningkatan TD tiba-tiba pada keadaan pasien hipertensi yang terkontrol baik sebelumnya.

Page 13: tugas  aa

e.      Hipertensi malignan (hipertensi dengan keterlibatan gangguan organ lain seperti gagal ginjal akut, perdarahan retina, gagal jantung dan kelainan neurologis)

f.        Peningkatan plasma kreatinin dalam waktu singkat setelah pemberian golongan obat ACEI/ARB.

Pemeriksaan penunjang diagnostic

a.       Arteriografi ginjal (pemeriksaan baku emas)

b.      Magnetic resonance angiography

c.       Computed tomography

d.      Duplex Doppler ultrasonography

Page 14: tugas  aa

DIABETES MILITUS

Pada awalnya, pasien sering kali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap diabetes melitus, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami keluhan klasik DM berupa:

poliuria (banyak berkemih) polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum) polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus) penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang, untuk memperkuat diagnosis dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa:

lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal penglihatan kabur penyembuhan luka yang buruk disfungsi ereksi pada pasien pria gatal pada kelamin pasien wanita

Diagnosis DM tidak boleh didasarkan atas ditemukannya glukosa pada urin saja. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dari pembuluh darah vena. Sedangkan untuk melihat dan mengontrol hasil terapi dapat dilakukan dengan memeriksa kadar glukosa darah kapiler dengan glukometer.Seseorang didiagnosis menderita DM jika ia mengalami satu atau lebih kriteria di bawah ini:

Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu  ≥200 mg/dL Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa  ≥126 mg/dL Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200 mg/dL Pemeriksaan HbA1C ≥ 6.5%

Keterangan: Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir pasien. Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan minimal selama 8 jam. TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan glukosa khusus untuk

diminum. Sebelum meminum larutan tersebut akan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, lalu akan diperiksa kembali 1 jam dan 2 jam setelah meminum larutan tersebut. Pemeriksaan ini sudah jarang dipraktekkan.Jika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari nilai normal tetapi tidak masuk ke dalam kriteria DM, maka dia termasuk dalam kategori prediabetes. Yang termasuk ke dalamnya adalah

Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT), yang ditegakkan bila hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan  kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO < 140 mg/dL

Page 15: tugas  aa

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yang ditegakkan bila kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO antara 140 – 199 mg/dLTabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM:    Bukan DM Belum Pasti DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)

Plasma vena <100 100-199 ≥200

Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)

Plasma vena <100 100-125 ≥126

Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia – PERKENI tahun 2011

Referensi: http://diabetesmelitus.org/gejala-diabetes-melitus/DiabetesMelitus.org

Page 16: tugas  aa

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar di dunia.

Prevalensi kasus TB ini seperti yang telah dicatat oleh WHO pada tahun 2009 mencapai 14 juta,

dengan insidensi mencapai 9,4 juta orang. Saat ini yang menjadi masalah besar adalah pasien

dengan TB dapat mendapat koinfeksi dengan HIV dan telah banyak berkembang TB menjadi

resisten terhadap pengobatan yang diberikan yang disebut dengan TB multidrug-resistant (TB-

MDR).1

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis

complex. Pasien dapat dikatakan suspek TB jika terdapat gejala atau tanda TB yang meliputi

batuk produktif lebih dari 2 minggu dan disertai dengan gejala pernapasan (sesak napas, nyeri

dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan meliputi tidak nafsu makan, penurunan berat badan,

keringat malam, dan mudah lelah). Sedangkan yang dimaksud dengan kasus TB pasti adalah

pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari

spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok,dll) dan kultur. Pada negara dengan

keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M. Tuberculosis maka kasus TB

paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif. Definisi lainnya

yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kasus TB adalah seorang pasien yang setelah

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun

petugas kesehatan dan diobati dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.1

Patogenesis

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga

akan terbentuk sarang pneumonik, yang disebut dengan sarang primer atau afek primer. Sarang

primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi.

Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis

lokal). Perdangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai komplek

primer. Kompleks primer akan mengalami salah satu hal di bawah ini:

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas3. Menyebar dengan cara: perkontinuitatum menyebar ke sekitarnya, penyebaran secara bronkogen,

secara hematogen atau limfogen.1

Klasifikasi Kasus TB1. Letak anatomis penyakit

Page 17: tugas  aa

Tuberkulosis paru, yaitu kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak di dalam paru.

Tuberkulosis ekstraparu, yaitu kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.1,2

2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi Tuberkulosis paru BTA positif, yaitu apabila : Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali

pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini di Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang memenuhi syarat EQA.Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah: Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif.

Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV> 1% atau pasien TB dengan kehamilan ≥ 5%ATAU

Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis

Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu di bawah ini: Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV, atau Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalens HIV rendah), tidak

menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida).

Kasus Bekas TBHasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.1,2

3. Riwayat pengobatan sebelumnya

Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau MDR.

Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

Page 18: tugas  aa

Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun.

Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau

negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun, terdiri dari

Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif satu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan

Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya.

Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.1,2

Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan

bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala Klinis

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila

organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai

organ yang terlibat). Gejala respiratori terdiri dari batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas,

dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik terdiri dari demam, malaise, keringat malam,

anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB ekstraparu gejala tergantung dari organ yang

terlibat, misalnya limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada

pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya

terdapat cairan.1,2

Pemeriksaan Fisis

Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan

(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan

paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen

posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat

Page 19: tugas  aa

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik suara napas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.1,2

Pemeriksaan Bakteriologi

Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah dahak, cairan pleura,liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar

lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Untuk

pemeriksaan dahak dilakukan pengambila dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.

Pemeriksaan mikroskopis biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan mikroskopis

fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin.1,2

Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan

skalaInternational Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

Pemeriksaan identifikasi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan cara biakan (pada egg

basemedia, yaitu Lowenstein-Jensen, Ogawa, dan Kudoh; pada agar base media yaitu Middle

Brook, Mycobacterium growth indicator tube test, BACTEC), melalui uji molekular seperti PCR-

Based Methods of IS6110 Genotyping. Uji kepekaaan yang dapat digunakan antara lainhain

test (uji kepekaan terhadap R dan H), molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R),

dan gene x-pert (uji kepekaan untuk R).1,2

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi

yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai

lesi TB aktif adalah:

Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)1,2

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:

Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan paru.1,2

Luluh paru (destroyed lung):

Page 20: tugas  aa

Terdapatnya gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut dengan luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.

Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas proses penyakit.1,2

Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan sebagai berikut ini:

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostenal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas.

Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.1,2

Pemeriksaan Penunjang Lain Analisa cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien

efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung

diagnosis TB adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura

terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.1,2

Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksan

yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi

atau autopsi.1,2

Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk TB. Laju endap

darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.

LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak

menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang spesifik.1,2

Page 21: tugas  aa

Terapi Tuberkulosis

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya lama

pengobatan adalah 6-8 bulan. Obat lini pertama adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan obat lini kedua adalah

kanamisin, kapreomisin,  amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, para-amino salisilat (PAS).

Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB mulidrug

resistant(MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum

tersedia di pasaran Indonesia tetpi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.1,2

Page 22: tugas  aa

Pengobatan TB standar dibagi menjadi:

Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)

Kategori 1 ini dapat diberikan pada pasien TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif foto

toraks positif dan TB ekstra paru.

Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)

Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pada

pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Pada

pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji

kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji kepekaan diberikan panduan pengobatan

2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE merupakan obat sisipan tahap intensif yang diberikan selama satu

bulan.

Pasien multi-drug resistant (MDR)

Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah:

6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/ 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs

Z: Pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs:

Sikloserin.1,2

Page 23: tugas  aa

Efek Samping Obat

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.1,2

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat serta

evaluasi keteraturan berobat.

Page 24: tugas  aa

Evaluasi klinis Pasien dievaluasi secara periodik Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya

komplikasi penyakit Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)

Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi

pemeriksaan mikroskopis yaitu pada:

Sebelum pengobatan dimulai Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) Pada akhir pengobatan

Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan

Page 25: tugas  aa

Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

Sebelum pengobatan Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan

dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) Pada akhir pengobatan

Evaluasi pada pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun

pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang

dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila ada gejala).

 

Referensi1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di

Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. h.2-30.

Page 26: tugas  aa

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Bakti Husada; 2011. h.11-37.

Page 27: tugas  aa

ASMA BRONKIAL

Asma adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan meningkatnya respon dari saluran trakeo-bronkial terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa penyempitan jalan nafas yang luas, dan beratnya serangan dapat berubah-ubah yang bersifat refersibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. (American Thoracic Society).Penyempitan jalan nafas yang terjadi akibat infeksi (misalnya bronchitis akut atau kronis), emfisema, atau karena penyakit kardiovaskular tidak termasuk asma.

Patogenesis penyempitan jalan nafas pada serangan asma disebabkan oleh :

1. Gangguan Imunologis (Faktor Ekstrinsik) :

Pada sebagian orang bila kontak dengan zat tertentu akan terjadi reaksi imunologi yang berlebihan, yang sering disebut sebagai reaksi alergi atau reaksi atopik, dengan salah satu akibatnya adalah penyempitan saluran nafas. Dalam hal ini sering didapat riwayat keluarga yang positip menderita penyakit yang serupa atau penyakit alergi lainnya, seperti rinitis alergika atau eksim (dermatitis atopik).

Berdasarkan cara masuknya, bahan yang menyebabkan alergi (alergen) dibagi menjadi :

a. Inhalan : masuk ke tubuh melalui saluran nafas, seperti : debu rumah, serpihan kulit binatang (anjing, kucing, kuda), dan spora jamur.b. Ingestan : masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan, seperti : susu, telur, ikan, obat-obatan dll.c. Kontaktan : masuk ke tubuh melalui kontak dengan kulit, seperti : obat salep kulit, berbagai logam dalam bentuk perhiasan.

2. Gangguan keseimbangan sistem saraf otonom (Faktor Intrinsik) :

Terjadi karena peningkatan reaksi parasimpatis akibat reseptor kolinergik yang sensitif sehingga sedikit rangsangan sudah bisa menimbulkan konstriksi bronkus melalui refleks vagus.Rangsangan dapat berupa : udara dingin, asap rokok, partikel dalam udara, gerakan respirasi yang kuat (pada waktu tertawa atau olah raga) atau emosi jiwa.

Apapun penyebabnya akibat yang ditimbulkan oleh serangan asma adalah sama yaitu konstriksi bronkus, edema mukosa bronkus dan produksi mukus yang berlebihan dan bersifat kental, yang kesemuanya menyebabkan penyempitan saluran nafas.

Hiperaktivitas Bronkus.

Dewasa ini hiperaktivasi bronkus yang berhubungan erat dengan inflamasi dianggap memegang peranan lebih penting dalam serangan asma dibanding dengan reaksi alergi. Manifestasi klinik sangat jelas dilihat dengan begitu mudahnya timbul serangan asma bila dirangsang, baik fisik, metabolik, kimia dan lain-lain.Hiperaktivitas bronkus bersifat menetap dan sangat variabel pada masing-masing penderita.

Page 28: tugas  aa

Derajat hiperaktivitas bronkus diukur dari :

- Tingkat keparahan serangan asma.- Lama serangan asma.- Kecepatan perbaikan.

Variasi diurnal.

Adalah merupakan gambaran klinis asma yang sangat penting dalam penegakan diagnosa, yaitu adanya serangan pada malam hari menjelang subuh dan membaik sepanjang siang hari.Pada kasus lain mungkin didapat riwayat penderita terbangun di malam hari akibat batuk yang disertai sesak nafas dan mengi, atau penderita dengan batuk-batuk yang persisten atau berulang dan memburuk pada malam hari.

Diagnosa Asma Bronkial ditegakkan dengan :

1. Anamnesa :- Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.- Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal.- Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

2. Pemeriksaan Fisik :- Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk.- Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.- Paru :• Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah.• Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.- Pada serangan berat :• tampak sianosis• N > 120 X/menit• “Silent Chest” : suara mengi melemah

Status Asmatikus

Page 29: tugas  aa

Adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.

Gambaran klinis Status Asmatikus :

- Penderita tampak sakit berat dan sianosis.- Sesak nafas, bicara terputus-putus.- Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.- Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.

TATALAKSANA

A. PENDIDIKAN / EDUKASI KEPADA PENDERITA DAN KELUARGA

Pengobatan yang efektif hanya mungkin berhasil dengan penatalaksanaan yang komprehensif, dimana melibatkan kemampuan diagnostik dan terapi dari seorang dokter Puskesmas di satu pihak dan adanya pengertian serta kerjasama penderita dan keluarganya di pihak lain. Pendidikan kepada penderita dan keluarganya adalah menjadi tanggung jawab dokter Puskesmas, sehingga dicapai hasil pengobatan yang memuaskan bagi semua pihak.

Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah :

1. Memahami sifat-sifat dari penyakit asma :- Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.- Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa kambuh lagi.- Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka panjang secara teratur.

2. Memahami faktor yang menyebabkan serangan atau memperberat serangan, seperti :

- Inhalan : debu rumah, bulu atau serpihan kulit binatang anjing, kucing, kuda dan spora jamur.- Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu.- Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.- Keadaan udara : polusi, perubahan hawa mendadak, dan hawa yang lembab.- Infeksi saluran pernafasan.- Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.- Stres psikis termasuk emosi yang berlebihan.

Page 30: tugas  aa

- Stres fisik atau kelelahan.

3. Memahami faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan mengurangi serangan :

- Menghindari makanan yang diketahui menjadi penyebab serangan (bersifat individual).- Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.- Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.- Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan.- Berusaha menghindari polusi udara (memakai masker), udara dingin dan lembab.- Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.- Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.- Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, baik obat simptomatis maupun obat profilaksis.- Pada waktu serangan berusaha untuk makan cukup kalori dan banyak minum air hangat guna membantu pengenceran dahak.- Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan dengan temperatur hangat.

4. Memahami kegunaan dan cara kerja dan cara pemakaian obat – obatan yang diberikan oleh dokter :

- Bronkodilator : untuk mengatasi spasme bronkus.- Steroid : untuk menghilangkan atau mengurangi peradangan.- Ekspektoran : untuk mengencerkan dan mengeluarkan dahak.- Antibiotika : untuk mengatasi infeksi, bila serangan asma dipicu adanya infeksi saluran nafas.

5. Mampu menilai kemajuan dan kemunduran dari penyakit dan hasil pengobatan.

6. Mengetahui kapan “self treatment” atau pengobatan mandiri harus diakhiri dan segera mencari pertolongan dokter.

Penderita dan keluarganya juga harus mengetahui beberapa pandangan yang salah tentang asma, seperti : 

Page 31: tugas  aa

1. Bahwa asma semata-mata timbul karena alergi, kecemasan atau stres, padahal keadaan bronkus yang hiperaktif merupakan faktor utama.2. Tidak ada sesak bukan berarti tidak ada serangan.3. Baru berobat atau minum obat bila sesak nafas saja dan segera berhenti minum obat bila sesak nafas berkurang atau hilang.

B. PENGOBATAN

1. PENGOBATAN SIMPTOMATIK

Tujuan Pengobatan Simpatomimetik adalah :

a. Mengatasi serangan asma dengan segera.b. Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.c. Mencegah serangan berikutnya.

Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah :

a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)

– Adrenalin (Epinefrin) injeksi.Obat ini tersedia di Puskesmas dalam kemasan ampul 2 ccDosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi subcutan.Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc.Bila belum ada perbaikan, bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.

– EfedrinObat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg.Aktif dan efektif diberikan peroral.Dosis :

– SalbutamolObat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan 4 mg.Bersama Terbutalin (tidak tersedia di Puskesmas) Salbutamol merupakan bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat dengan efek samping minimal.Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB

b. Bronkodilator golongan teofilin

– TeofilinObat ini tidak tersedia di Puskesmas.Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari oral atau IV.

– AminofilinObat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi 240 mg/ampul.

Page 32: tugas  aa

Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan. Dapat diulang 6-8 jam kemudian , bila tidak ada perbaikan.Dosis : 3-4 X 3-5 mg/kg BBc. Kortikosteroid

Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai dalam keadaan :

– Pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut maupun kronis tidak memberikan hasil yang memuaskan.– Keadaan asma yang membahayakan jiwa penderita (contoh : status asmatikus)

Dalam pemakaian jangka pendek (2-5 hari) kortikosteroid dapat diberikan dalam dosis besar baik oral maupun parenteral, tanpa perlu tapering off.Obat pilihan :

– Hidrocortison Dosis : 4 X 4-5 mg/kg BB– DexamethasonDosis :

d. Ekspektoran

Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan.Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas adalah :

– Obat Batuk Hitam (OBH)– Obat Batuk Putih (OBP)– Glicseril guaiakolat (GG)

e. Antibiotik

Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.Antibiotika yang efektif untuk saluran pernafasan dan ada di Puskesmas adalah :

2. PENGOBATAN PROFILAKSIS

Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.

Page 33: tugas  aa

Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat sebagai berikut :

a. Menghambat pelepasan mediator.b. Menekan hiperaktivitas bronkus.

Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :

a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan meringankan beratnya serangan.

Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :

a. Steroid dalam bentuk aerosol.b. Disodium Cromolyn.c. Ketotifen.d. Tranilast.

Sangat disayangkan hingga saat ini obat-obatan tersebut belum tersedia di Puskesmas, sehingga untuk memenuhi terapi tersebut dokter Puskesmas harus memberikan resep luar (ke Apotik), di mana hal ini akan menjadi problem tersendiri bagi penderita dari keluarga miskin.

3. TATALAKSANA KASUS DI PUSKESMAS :

Dengan segala keterbatasan yang ada dokter Puskesmas harus bisa memberikan pertolongan kepada penderita serangan asma. Penegakkan diagnosa yang tepat dengan tindakan yang benar, cepat dan akurat akan sangat menolong penderita.

a. TATALAKSANA ASMA AKUT INTERMITEN

1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau2. Salbutamol : 3 X3. Bila ada batuk berikan ekspectoran4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika

b. TATALAKSANA ASMA BERAT DAN STATUS ASMATIKUS

1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau Aminofilin bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan.Catatan : pemberian Adrenalin pada orang tua harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi dan pnyakit jantung.2. Dexametason 5 mg IV.3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.

Page 34: tugas  aa

4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus :– Pasang infus Glukosa 5% atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam.– Rujuk segera ke Rumah Sakit. 

KOMPLIKASI

Komplikasi terjadi akibat :1. Keterlambatan penanganan.2. Penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

1. Akut :- Dehidrasi- Gagal nafas- Infeksi saluran nafas

2. Kronis :- Kor-pulmonale- PPO kronis- Pneumotorak.

PROGNOSIS- Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.

KEPUSTAKAAN1. Halim Mubin A. : Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosis dan Terapi, EGC, Jakarta 2001, 471-474.2. Kusnan B.U. : Patogenesis dan Patofisiologi Asma Bronkial, Buku Makalah Simposium Terapi Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 9-16.3. Mangunnegoro H. : Gambaran Klinik dan Terapi Rasional pada Asma Bronkial, Majalah Dokter Keluarga, Vol 4/10, Sept 1985 : 495-200.4. Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta 1982, 208-211.5. Subroto H., Suradi : Penatalaksanaan Status Asmatikus, Buku Makalah Simposium Terapi Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 39-45.6. Soeria S. : Pengelolaan Asma Bronkial Dalam Praktek, Majalah Dokter Keluarga, V0l 4/8, Juli 1985 : 386-390.

Page 35: tugas  aa

7. Sundaru H., Bratawijaya K.G. : Asma Bronkiale : Gambaran Klinis dan Terapi Mutakhir, Majalah Dokter Keluarga, V0l 6/1, Desember 1986 : 9-19.

Page 36: tugas  aa

PNEUMONIA (BRONKOPNEUMONIA)

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :

1.      Pneumonia lobaris

2.      Pneumonia interstisial (bronkiolitis)

3.      Bronkopneumonia

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian anak (Bennete, 2013).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013).Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat(Bradley et.al., 2011)

EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia

Page 37: tugas  aa

menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun(Bradley et.al., 2011)

ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah(Bradley et.al., 2011) :

1.      Faktor Infeksi

a.    Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

b.    Pada bayi :

1)   Virus: Virus parainfluensa, virus influenza,Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

2)   Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis.

3)   Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetellapertusis.

c.    Pada anak-anak :

1)   Virus : Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV

2)   Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

3)   Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis

d.   Pada anak besar – dewasa muda :

1)   Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

2)   Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis

2.      Faktor Non Infeksi.Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi

a.     Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b.    Bronkopneumonia lipoid :

Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.

Page 38: tugas  aa

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).

1.    Berdasarkan lokasi lesi di paru

a.     Pneumonia lobaris

b.    Pneumonia interstitialis

c.     Bronkopneumonia

2.    Berdasarkan asal infeksi

a.    Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)

b.    Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3.    Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a.    Pneumonia bakteri

b.    Pneumonia virus

c.    Pneumonia mikoplasma

d.   Pneumonia jamur

4.    Berdasarkan karakteristik penyakit

a.    Pneumonia tipikal

b.    Pneumonia atipikal

5.    Berdasarkan lama penyakit

a.    Pneumonia akut

b.    Pneumonia persisten

PATOGENESIS

Page 39: tugas  aa

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan

Page 40: tugas  aa

gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.    Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

MANIFESTASI KLINIK

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnyabronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

1.    Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat

Page 41: tugas  aa

apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.    

2.    Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3.    Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4.    Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau

Page 42: tugas  aa

meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et.al., 2011):

1.    Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2.    Panas badan

3.    Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4.    Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5.    Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)

1.    Penatalaksaan Umum

a.    Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis

gas darah ≥ 60 torr.

b.    Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c.    Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2.    Penatalaksanaan Khusus

a.    Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

Page 43: tugas  aa

b.    Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung

c.    Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi  penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1.    Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

2.    Berat ringan penyakit

3.    Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4.    Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.

1.    Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

ampicillin + aminoglikosid

 - asam klavulanat

amoksisillin + aminoglikosid

sefalosporin generasi ke-3

2.    Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

beta laktam amoksisillin

 - asam klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

makrolid (eritromisin)

3.    Anak usia sekolah (> 5 thn)

 amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

  tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

              Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang

Page 44: tugas  aa

menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

DAFTAR PUSTAKABennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.

(9 Marert 2013)

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

Page 45: tugas  aa

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan

hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan

aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru

terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronkitis

kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis

patologi.

Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,

b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat

c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan

dan tempat kerja)

d. Sesak pada saat melakukan aktivitas

e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis.

Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan

diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, sedang dan berat)

Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:

1. Anamnesis:

a. Ada faktor risiko

– Usia (pertengahan)

– Riwayat pajanan

§ Asap rokok

§ Polusi udara

§ Polusi tempat kerja

b. Gejala:

Page 46: tugas  aa

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi

ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai

gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.

– Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak

hilang dengan pengobatan yang diberikan

– Berdahak kronik

Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus

tanpa disertai batuk

– Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas

yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak

napas sesuai skala sesak

Skala Sesak

Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas

0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

2. Pemeriksaan fisik:

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas

terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat

hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK

derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan

bentuk anatomi toraks.

Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai

berikut:

Inspeksi

– Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)

– Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)

– Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

– Pelebaran sela iga

Perkusi

– Hipersonor

Page 47: tugas  aa

Auskultasi

– Fremitus melemah,

– Suara nafas vesikuler melemah atau normal

– Ekspirasi memanjang

– Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

– Ronki

3. Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara

lain :

– Radiologi (foto toraks)

– Spirometri

– Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah

terjadi hipoksia kronik)

– Analisa gas darah

– Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi

eksaserbasi)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada

PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk

menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan

diagnosis banding dari keluhan pasien.

Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :

– Paru hiperinflasi atau hiperlusen

– Diafragma mendatar

– Corakan bronkovaskuler meningkat

– Bulla

– Jantung pendulum

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis

ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan

berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada

seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

Catatan:

Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya

asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrome obstruktif

pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di

puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan

diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan

Page 48: tugas  aa

Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005, dilaksanakan

di rumah sakit / fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.

b. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan

Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai

berikut :

1. PPOK Ringan

Gejala klinis:

– Dengan atau tanpa batuk

– Dengan atau tanpa produksi sputum.

– Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Spirometri:

– VEP1 • 80% prediksi (normal spirometri) atau

– VEP1 / KVP < 70%

2. PPOK Sedang

Gejala klinis:

– Dengan atau tanpa batuk

– Dengan atau tanpa produksi sputum.

– Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Spirometri:

– VEP1 / KVP < 70% atau

– 50% < VEP1 < 80% prediksi.

3. PPOK Berat

Gejala klinis:

– Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.

– Eksaserbasi lebih sering terjadi

– Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Spirometri:

– VEP1 / KVP < 70%,

– VEP1 30% dengan gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa

gas darah, dengan kriteria:

– Hipoksemia dengan normokapnia atau

– Hipoksemia dengan hiperkapnia

Page 49: tugas  aa

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana

eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat

Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK)

Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

1. Pemberian obat obatan

a. Bronkodilator

Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi

digunakan oral atau sistemik

b. Anti inflamasi

Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan

jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada

eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik

c. Antibiotik

Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.

Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.

d. Mukolitik

Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan

simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.

e. Antitusif

Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan

secara rutin merupakan kontraindikasi.

2. Pengobatan penunjang

a. Rehabilitasi

b. Edukasi

c. Berhenti merokok

d. Latihan fisik dan respirasi

e. Nutrisi

3. Terapi oksigen

Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang

atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan

hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada

PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup

4. Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi

mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan

Page 50: tugas  aa

lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat

5. Operasi paru

Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru

(masih dalam proses penelitian di negara maju)

6. Vaksinasi influensa

Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa

diberikan pada:

a. Usia di atas 60 tahun

b. PPOK sedang dan berat

Page 51: tugas  aa

BRONKHITIS

A.    PENATALAKSANAAN BRONKHITIS

Pengelolaan pasien bronchitis terdiri atas dua kelompok :

1.    Pengobatan konservatif, terdiri atas :

a.    Pengelolaan umum

Pengelolaan umum ditujukan untuk semua pasien bronchitis, meliputi :

1)    Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat untuk pasien :

Contoh :

•    Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering.

•    Mencegah / menghentikan rokok.

•    Mencegah / menghindari debu,asap dan sebagainya.

2)    Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik untuk dikerjakan adalah sebagai

berikut :

•    Melakukan drainase postural

Pasien dilelatakan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum

secara maksimum. Tiap kali melakukan drainase postural dilakukan selama 10 – 20 menit, tiap

hari dilakukan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum (

secret bronkus ) dengan bantuan gaya gravitasi. Posisi tubuh saat dilakukan drainase postural

harus disesuaikan dengan letak kelainan bronchitisnya, dan dapat dibantu dengan tindakan

memberikan ketukan pada pada punggung pasien dengan punggung jari.

•    Mencairkan sputum yang kental

Dapat dilakukan dengan jalan, misalnya inhalasi uap air panas, mengguanakan obat-obat

mukolitik dan sebagainya.

•    Mengatur posisi tepat tidur pasien 

Sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.

•    Mengontrol infeksi saluran nafas.

Adanya infeksi saluran nafas akut ( ISPA ) harus diperkecil dengan jalan mencegah penyebaran

kuman, apabila telah ada infeksi perlu adanya antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak

berkelanjutan.

•    Pengelolaan khusus.

Kemotherapi Bronkhitis, dapat digunakan :

Secara continue untuk mengontrol infeksi bronkus ( ISPA ) untuk pengobatan aksaserbasi infeksi

akut pada bronkus/paru atau kedua-duanya digunakan Kemotherapi menggunakan obat-obat

antibiotic terpilih, pemkaian antibiotic antibiotic sebaikya harus berdasarkan hasil uji sensivitas

kuman terhadap antibiotic secara empiric.

Walaupun kemotherapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronchitis, tidak pada setiap pasien

Page 52: tugas  aa

harus diberikan antibiotic. Antibiotik diberikan jika terdapat aksaserbasi infeki akut, antibiotic

diberikan selama 7-10 hari dengan therapy tunggal atau dengan beberapa antibiotic, sampai

terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid ( putih jernih

).

Kemotherapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah

sputum dan gejala lainnya terutama pada saat terjadi aksaserbasi infeksi akut, tetapi keadaan ini

hanya bersifat sementara.

Drainase secret dengan bronkoskop

Cara ini penting dikerjakan terutama pada saat permulaan perawatan pasien. Keperluannya

antara lain :

a)    Menentukan dari mana asal secret

b)    Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus

c)    Menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi.

•    Pengobatan simtomatik

Pengobatan ini diberikan jika timbul simtom yang mungkin mengganggu atau mebahayakan

pasien.

•    Pengobatan obstruksi bronkus

Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal paru (%FEV 1 <

70% ) dapat diberikan obat bronkodilator.

•    Pengobatan hipoksia.

Pada pasien yang mengalami hipoksia perlu diberikan oksigen.

•    Pengobatan haemaptoe.

Tindakan yang perlu segera dilakukan adalah upaya menghentikan perdarahan. Dari berbagai

penelitian pemberian obat-obatan hemostatik dilaporkan hasilnya memuaskan walau sulit

diketahui mekanisme kerja obat tersebut untuk menghentikan perdarahan.

•    Pengobatan demam.

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi inhalasi akut sering terdapat demam, lebih-lebih kalau

terjadi septikemi. Pada kasus ini selain diberikan antibiotic perlu juga diberikan obat antipiretik.

•    Pengobatan pembedahan

Tujuan pembedahan : mengangkat ( reseksi ) segmen/ lobus paru yang terkena.

Indikasi pembedahan :

Pasien bronchitis yang yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon yang tidak berespon

terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat. Pasien perlu dipertimbangkan untuk

operasi.

Pasien bronchitis yang terbatas tetapi sering mengaami infeksi berulang atau haemaptoe dari

daerakh tersebut. Pasien dengan haemaptoe massif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.

Kontra indikasi

a)    Pasien bronchitis dengan COPD

Page 53: tugas  aa

b)    Pasien bronchitis berat

c)    Pasien bronchitis dengan koplikasi kor pulmonal kronik dekompensasi.

Syarat-ayarat operasi.

a)    Kelainan ( bronchitis ) harus terbatas dan resektabel

b)    Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel

c)    Bagian paru yang lain harus masih baik misalnya tidak ada bronchitis atau bronchitis kronik.

Cara operasi.

Operasi elektif : pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak terdaat kontra indikasi, yang

gagal dalam pengobatan konservatif dipersiapkan secara baik utuk operasi. Umumnya operasi

berhasil baik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.

Operasi paliatif : ditujukan pada pasien bronchitis yang mengalami keadaan gawat darurat paru,

misalnya terjadi haemaptoe masif ( perdarahan arterial ) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak

terdapat kontra indikasi operasi.

Persiapan operasi :

Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri,analisis gas darah, pemeriksaan

broncospirometri ( uji fungsi paru regional ), Scanning dan USG , Meneliti ada atau tidaknya

kontra indikasi operasi pada pasien, memperbaiki keadaan umum pasien.

B.    PENCEGAHAN

Timbulnya bronchitis sebenarnya dapat dicegah, kecuali dalam bentuk congenital tidak dapat

dicegah. Menurut beberapa literature untuk mencegah terjadinya bronchitis ada beberapa cara :

Pengobatan dengan antibiotic atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua bentuk pneumonia

yang timbul pada anak akan dapat mencegah ( mengurangi ) timbulnya bronchitis.

Page 54: tugas  aa

REUMATOID ARTRITIS

DEFINISI

Artritis reumatoid (RA) merupakan penyakit inflamasi kronik, sistemik, dengan etiologi yang tidak diketahui, yang terutama menyerang sendi.

Inflamasi sendi dapat mengalami remisi, tetapi bila berlangsung terus akan terjadi destruksi sendi yang progresif deformitas, dan berakibat ketidakmampuan dalam berbagai tingkat. Dapat ditemukan manifestasi ekstraartikuler seperti nodul reumatoid, arteritis, neuropati, skleritis, perikarditis, limfadenopati dan splenomegali.

Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada rawan sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul oleh proses kerusakan sendi yang disebabkan oleb 2 hal yaitu :

1. Akibat proses inflamasi sinovia, akan dikeluarkan komponen destruktif kedalam cairan sinovia yang akan merusak rawan sendi.

2. Kerusakan pada rawan sendi akibat proliferasi dan jaringan granulasi yang disebut pannus.

Destruksi terjadi pada rawan sendi, ligamen tendon dan tulang. (1,2,3)

INSIDENS

Artritis reumatoid kira-kira 2 ½ kali lebih sering menyerang wanita daripada pria. Insidens meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada wanita. Insidens puncak adalah antara usia 40 – 60 tahun. (3)

ETIOLOGI

Walaupun telah dilakukan penelitian yang intersif, etiologi dari RA hingga saat ini masih belum dapat dipastikan. Penelitian mencoba menghubungkan dengan faktor endokrin, metabolik, faktor nutrisi, geografi, pekerjaan, faktor psikososial, infeksi bakteri, spirokaeta, virus dan imunologik. (1,2,3)

GAMBARAN KLINIS

Page 55: tugas  aa

Gambaran klinik artritis reumatoid sangat bervariasi tergantung dari saat kita memeriksa penderita. Variasi sangat luas, mulai dari gejala klinik yang ringan sampai ke tingkat yang sangat berat dimana penderita dalam keadaan cacat dan tidak lagi mampu untuk bergerak.

Perjalanan penyakit juga sangat bervariasi ada penderita yang dalam waktu singkat menderita penyakit yang berat, tetapi ada pula penderita yang menderita sejak puluhan tahun tetapi tidak menderita cacat yang berat. Pada sebagian besar penderita maka awal penyakit berlangsung secara bertahap selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, disertai dengan gejala kelemahan dan kelelahan dan nyeri pada otot dan tulang. (1)

1. Gejala pada sendi meliputi:

1. Poliartritis yang nyata pada sendi tertentu yang akan mengalami pembengkakan, nyeri, panas dan kemerahan, serta gangguan fungsi.

2. Simetris, sendi sisi kiri dan kanan terserang serentak atau berturut-turut.

3. Sendi yang terserang ialah : tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, panggul, lutut, pergelangan kaki, kaki dan vertebra cervical, temporomandibular dan sendi cricoaritenoid. Sendi tangan yang terserang ialah sendi carpalis, sendi metakarpofalangeal (MCP) dan sendi proksimal interfalang (PIP), sedangkan yang tidak pernah terserang ialah sendi distal interfalang (DIP). Tidak terserangnya sendi DIP ini penting untuk membedakan dengan artritis lainnya (misalnya terhadap osteoartritis).

4. Kaku pagi (morning stiffness) merupakan ciri khas dan penyakit ini, biasanya berlangsung panjang (lebih dari 1 jam). Makin berat penyakit makin bertambah panjang pula waktu kaku pagi. Setelah masa istirahat lama seperti tidur atau duduk lama selalu diikuti dengan kaku sendi.

5. Deformitas sendi yang khas dapat ditemukan pada berbagai sendi. (1)

RA Tangan

Gejala awal yang khas dan RA pada tangan ialah pembengkakan sendi PIP yang membentuk gambaran fusiform atau spindle-shape. Keadaan ini kemudian diikuti dengan pembengkakan sendi metakarpofalangeal (MCP) yang simetrik. Proses peradangan yang lama akan menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi falang proksimal sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar aeviation). Deviasi ulnar ini selalu disertai dengan deviasi radial dan sendi radiocarpalis, sehingga akan memberikan gambaran deformitas zig-zag .

Pada kasus lanjut dapat terjadi deformitas leher angsa (swan-neck) , sebagai akibat kombinasi dan hiper ekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP. Kombinasi dari fleksi sendi PIP dan ekstensi

Page 56: tugas  aa

sendi DIP akan menyebabkan deformitas boutonniere. Akibat dan semua ini akan mengakibatkan tangan tidak dapat berfungsi dengan sempurna.

RA Pergelangan tangan

RA hampir selalu menyerang pengelangan tangan, pada awalnya berupa sinovitis yang dapat diraba, dan pada keadaan lanjut terjadi deformitas sehingga gerakan dorsofleksi pergelangan tangan terbatas (kurang dan 180o). Proliferasi sinovia kearah palmar akan menyebabkan penekanan pada nervus medianus sehingga mengakibatkan terjadinya sindrom carpal-tunnel, berupa parestesi pada aspek palmar ibujari, jari kedua dan ketiga dan aspek radial jari keempat.

RA Siku

RA siku menyebabkan pembengkakan dan kontraktur fleksi. Keadaan ini sering dijumpai dan menyebabkan kerusanan melakukan aktivitas sehari-hari.

RA Bahu

RA bahu biasanya terjadi pada tahap lanjut penyakit ini, akibatnya terjadi keterbatasan gerak dan rasa nyeri pada prosesus coracoid bagian bawah dan lateral.

RA Cervikal

RA cervical menyebabkan nyeri dan kaku tengkuk. Biasanya sendi yang terserang ialah Cl dan C2. Pada keadaan lanjut dapat terjadi subluksasi atlanto-oksipital yang mengakibatkan penekanan pada syaraf spinal dan menyebabkan gangguan neurologik.

RA Panggul

Gejala RA panggul yang dapat dilihat ialah gangguan jalan dan keterbatasan gerakan sendi, sedangkan pembengkakan dan nyeri sendi sulit diobservasi, penderita hanya merasa tidak enak di lipat paha yang menjalar ke pantat, pinggang bawah dan lutut.

RA Lutut

Gejala yang sering terlihat ialah hipertrofi sinovia dan efusi sendi.

RA Pergelangan kaki dan kaki

RA didaerah ini memberikan gambaran yang tidak berbeda dengan RA tangan. Subluksasi dari ibu jari kaki menyebabkan terjadinya deformitas hammer toe. Disertai dengan deformitas lainnya

Page 57: tugas  aa

akan menyebabkan kesukaran dalam menggunakan sepatu normal, sehingga diperlukan sepatu khusus. (1)

2. Manifestasi ekstra artikuler:

1. Kulit : nodul subkutan, vaskulitis

2. Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup jantung.

3. Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis interstitiel difusi

4. Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi medula spinalis.

5. Mata : sindrom Sjogren.

6. Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia, trombositopenia, dan neutropenia. (1)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Amenia nonmokrom normisitik

2. Laju endap darah meningkat, sesuai dengan aktifitas penyakit, makin aktif penyakit makin tinggi LED.

3. Faktor reumatoid (RF) penting, tetapi bukan penentu diagnosis. Walaupun RF negatif, diagnosis RA tetap dapat ditegakkan secara klinik dan radiologik. Penderita dengan titer RF yang tinggi cenderung menunjukkan gejala sistemik, artritis erosif dan destruktif.

4. Anti Nuclear Antibody (ANA) dan antigen lainnya dapat ditemukan pada sebagian kecil penderita ,umumnya dengan titer yang rendah.

5. HLA-DR4 positif pada sebagian pasien. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis.

6. Cairan sinovia : Jumlah sel antara 5.000-20.000 mm3, titer komplemen rendah, RF positif dan bekuan mucin jelek.

7. Pemeriksaan radiologik yang terbaik ialah melihat pada sendi pengelangan dan jari-jari tangan. Pada awal penyakit menunjukkan gambaran pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis juxtaartikuler. Pada stadium lebih lanjut ditemukan gambaran permukaan sendi yang tidak rata akibat erosi sendi, penyempitan celah sendi, subluksasi dan akhinrnya ankilosis sendi. (1,2)

Page 58: tugas  aa

KRITERIA DIAGNOSTIK

Pada tahun 1987, ARA membuat kriteria diagnostik baru sebagai pengganti kriteria diagnostik yang lama.

Kriteria Diagnostik untuk Artritis Reumatoid :

1. Kaku pagi minimal 1 jam yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu

2. Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu

3. Pembengkakan pada sendi pergelangan tangan, metakarpofalangeal (MCP) atau proksimal interfalang (PIP) selama 6 minggu atau lebih

4. Pembengkakan sendi yang simetrik

5. Gambanan radiologik pada tangan menunjukkan perubahan khas untuk artritis reumatoid dan harus disertai erosi dan dekalsifikasi tulang yang tidak rata

6. Nodul reumatoid

7. Faktor reumatoid positif dengan menggunakan metode pemeriksaan yang pada orang normal hasil positifnya tidak lebih dari 5%.

Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria atau lebih. (1)

Kriteria Remisi Klinik pada Artritis Reumatoid:

1. Lama kaku pagi tidak lebih dari 15 menit

2. Tidak ada rasa lemah

3. Tidak ada nyeri sendi (dari riwayat penyakit)

4. Tidak ada nyeri gerakan atau bengkak sendi

5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi atau sekitar sarung tendon.

6. Laju endap darah kurang dan 30 mm/jam pada wanita dan 20 mm/jam pada pria (cara Westengren).

Page 59: tugas  aa

Dinyatakan remisi bila ditemukan 5 kriteria atau lebih selama 2 bulan berturut-turut. (1)

KLASIFIKASI PROGRESIVITAS

Derajat I, Awal

1. Pada pemeriksaan radiologik tidak ditemukan perubahan destruktif.

2. Pada pemeriksaan radiologik dapat ditemukan gambaran osteoporosis.

Derajat II, Sedang

1. Pada pemeriksaan radiologik ditemui gambaran osteoporosis, dengan atau tanpa destruksi ringan tulang subkondral dapat ditemukan destruksi ringan rawan sendi.

2. Tidak ditemukan deformitas, walaupun dapat ditemukan keterbatasan gerak sendi.

3. Atrofi otot disekitarnya

4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuler, seperti nodul atau tenosivitis.

Derajat III, Berat

1. Pada pemeriksaan radiologik selain osteoporosis dapat ditemukan destruksi rawan sendi dan tulang.

2. Deformitas sendi, seperti subluksasi, deviasi ulnar, hiperekstensi tanpa disertai fibrosis atau ankilosis sendi.

3. Atrofi otot yang nyata.

4. Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuter, seperti nodul atau tenosivitis.

Derajat IV, Terminal

1. Fibrosis atau ankilosis sendi

2. Kriteria dari derajat III (1)

PENATALAKSANAAN

Page 60: tugas  aa

Dokter harus menyadari bahwa RA merupakan penyakit sistemik dengan onset, perjalanan penyakit dan hasil akhir yang sangat bervariasi. Dokter perlu memberi penerangan pada penderita dan keluarga tentang penyakit ini dan mengajaknya berperan serta dalam penatalaksaan utntuk penyakit ini. Tujuan utama penatalaksanaan penyakit ini ialah menghilangkan rasa nyeri, mengurangi dan menekan inflamasi, mengurangi sekecil mungkin efek samping yang tidak diharapkan, memelihara fungsi otot serta sendi dan akhirnya penderita dapat kembali kepada kehidupan yang diinginkan dan tetap produktif. Penatalaksanaan yang dianjurkan ialah mengikuti piramid pengobatan yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. (1,2)

1. Terapi Obat

a. Obat antinflamasi non steroid (OAINS)

Sudah menjadi perjanjian bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru, pengobatannya harus dimulai dengan OAINS, kecuali ada kontra indikasi tertentu. OAINS ini merupakan obat tahap pertama (first line) dan dikenal berbagai jenis yang mempunyai efek analgesik dan antiflamasi yang baik. Obat golongan ini tidak dapat menghentikan/mempengaruhi perjalanan penyakit artritis reumatoid.

Dikenal 6 golongan OAINS, yaitu:

1. Golongan salisilat.

Sailsilat merupakan obat pilihan pertama karena cukup efektif dan harganya cukup murah. kekurangannya ialah efek samping pada gasrointestinal yang cukup besar. Efek samping ini dicoba dikurangi dengan membuatnya dalam berbagai bentuk seperti bentuk buffer, bentuk tablet bersalut (enteric coated) dan bentuk nonasetilik misalnya diflusinal. Efek samping lainnya seperti gangguan pendengaran, gangguan susunan syaraf pusat, inhibisi agregrasi trombosit dan gangguan test faal hati. Untuk hal ini bila sarana memungkinkan perlu memonitor terus kadar salisilat darah, sehingga tetap pada kadar yang aman.

2. Golongan indol: a.l indometasin (beredar di Indonesia), sulindak dan tolmetin (tidak beredar di Indonesia)

3. Golongan turunan asam propionat: a.l. ibuprofen, naproksen, ketoprofen, diklofenak (beredar di Indonesia), suprofen dan fenoprofen (tidak beredar di Indonesia)

4. Golongan asam antranilik: a.l. natrium meklofenamat (beredar di Indonesia).

5. Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam (beredar di Indonesia)

Page 61: tugas  aa

6. Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon (beredar di Indonesia). Hanya dapat digunakan untuk jangka pendek, tidak lebih dan 2 minggu, karena mempunyai efek penekanan pada sumsum tulang.

b. Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs

Obat golongan ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis reumatoid, karena itu disebut sebagai obat remitif atau disease-modifying antirheumatic drugs/DMRD. Karena efek kerjanya lambat maka disebut sebagai slowacting-antirheumatic drugs/SAARD. Obat golongan ini baru memberikan efek setelah pemakaian selama minimal 6 bulan dan tidak mempunyai efek langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi, oleh karena itu sambil menunggu efek obat ini terbentuk, maka biasanya pada awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan OAINS untuk mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat SAARD telah terbentuk maka OAINS dapat dikurangi, bahkan dihentikan bila pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan demikian SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-line drug). Indikasi pemberian SAARD terutama ditujukan pada penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti radiologik adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat golongan ini sangat toksik dan mempunyai efek samping yang besar, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat, maka sebaiknya pemberian obat ini dilakukan oleh seorang dokter spesialis.

Obat yang termasuk golongan ini ialah:

1. Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin.

2. Garam emas

3. Penisilamin

4. Sulfasalasin

5. Obat imunosupresif.

c. Kortikosterioid

Penelitian membuktikan bahwa kortikosteroid tidak dapat menghambat progresifitas penyakit artritis reumatoid, sehingga penggunaan kortikosteroid harus dibatasi. Memang pada awalnya penderita merasa tertolong dengan menggunakan kortikosteroid karena gejala nyeri dan inflamasi berkurang, tetapi ternyata perjalanan penyakit berlangsung terus, erosi dan destruksi sendi berjalan terus, sehingga deformitas yang terjadipun tidak dapat dihindan. Dengan kata lain kortikosteroid hanya bersifat simptomatik dan tidak menyembuhkan (not curative). Kortikosteroid perlu segera diberikan pada keadaan penyakit yang berat yang ditandai dengan panas, anemia, berat badan menurun, neuropati, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleritis dan

Page 62: tugas  aa

sindroma Felty. Pada keadaan ini diberikan dosis tinggi, yang segera dilakukan penurunan dosis bertahap (tapering) bila gejala sudah

berkurang. Pada penderita RA yang tidak responsif dengan OAINS atau mempunyai kontradikasi mutlak terhadap OAINS, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (5-7,5 mg/hari) dalam jangka pendek dan diberikan selang-seling (alternate day), sambil menunggu kerja obat SAARD menjadi efektif. Pada keadaan vaskulitis sangat berat maka untuk keselamatan hidup perlu diberikan kortikosteroid megadose. Pemberian suntikan kortikosteroid intraartikuler dapat dipertimbangkan pada pasien RA yang pada 1-2 sendinya masih tetap meradang, pemberian hanya boleh beberapa kali dalam 1 tahun (kira-kira 4x/tahun), dengan jarak waktu 1 suntikan dengan suntikan yang lain tidak boleh terlalu dekat.

2. Terapi Fisik

Terapi fisik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam penatalaksanaan RA. Terapi fisik yang tepat dan dengan ketrampilan yang tinggi sangat membantu mengatasi problema pasien. Pada fase akut terapi fisik bertujuan mengurangi rasa nyeri dan inflamasi, memelihara fungsi otot dan luas gerak sendi. Bila masa akut sudah terlewati, maka perlu evaluasi terhadap keadaan otot, membentuk kembali kekuatan otot, dan tindakan proteksi sendi mulai diprogramkan, dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan fisioterapist. Penderita dan keluarga perlu diberikan penjelasan tentang kegunaan berbagai modalitas yang digunakan untuk mencapai hasil yang baik (misalnya penggunaan param cair, pemanasan dengan, gelombang sinar atau suara, kolam renang dsb), serta kegunaan berbagai alat bantu (tongkat, walker, kursi noda dsb)

3. Aspek Psikososial

Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering menyebabkan gangguan psikis dan keputusasaan penderita. Hal ini perlu diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi pengobatan yang diberikan, baik obat-obatan maupun terapi fisik. Aspek sosial perlu pula diperhatikan, karena penderita harus menyesuaikan pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya dengan penyakit yang dideritanya, mungkin sekali penderita perlu mengganti jenis pekerjaannya atau merubah kebiasaan hidupnya.

4. Pembedahan

Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan preventif antara lain dengan melakukan sinovektomi untuk mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang. Pembedahan reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas yang terjadi antara lain dengan melakukan artroplasti. (1)

DAFTAR RUJUKAN

1. http://www.idionline.org/l-pkb/Penyakit%20Reumatik%201.pdf.

Page 63: tugas  aa

2. Rizazyah Daud, Adnan HM. Artritis Reumatoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2003: 62 – 70.

3. Michael AC. Artritis Reumatoid. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku 2. EGC. Jakarta. 1995; 1223 – 31.

Page 64: tugas  aa

OSTEOPOROSIS

DefinisiPenyakit pada tulang yang ditandai oleh penurunan pembentukan matriks dan peningkatan resorpsi tulang sehingga terjadi penurunan jumlah total tulang.

EpidemiologiPada usia lanjut, terutama pada wanita dengan faktor resiko rendahnya asupan kalsium dalam makanan dan pengeluaran kalsium yang berlebihan akibat masa menyusui anak yang terlalu lama serta jumlah paritas yang terlalu banyak.

EtiologiAktivitas osteoklas > osteoblas

1. Menopause

Pada menopause terjadi penurunan estrogen padahal estrogen berguna untuk mencegah resorpsi tulang, selain itu juga terjadi penurunan aktivitas tubuh dan penurunan sekresi parathormon.

2. Penurunan kadar kalsitonin

Kalsitonin berguna untuk menekan aktivitas osteoklas. Pada usia lanjut terjadi penurunan kadar kalsitonin.

3. Penurunan kadar androgen adrenal

4. Aktivitas fisik

Adanya imobilisasi lama yang mengakibatkan penurunan masa tulang.

5. Penurunan absorpsi kalsium

Seiring pertambahan usia terjadi penurunan penyerapan kalsium tubuh.

Faktor Resiko

Page 65: tugas  aa

1. Umur (manula)2. Etnis (kulit putih mempunyai resiko paling tinggi)3. Keturunan4. Kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis5. Kurangnya kegiatan fisik6. Tidak pernah melahirkan7. Menopause dini mulai 46 tahun8. Gizi.

Protein yang berlebihan akan menurunkan kadar kalsium dalam plasma, diet garam, perokok, peminum aklohol, dan kopi yang berat.

1. Endokrin, kadar estrogen plasma yang kurang2. Obat, misalnya corticosteroid,dll3. Fatique damage atau kerusakan tulang karena keletihan4. Jenis kelamin. Osteoporosis pada perempuan lebih sering daripada laki-laki dengan

perbandingan 3:1Klasifikasi1. Osteoporosis Primer (80%)

Terutama pada tulang belakang, femur dan pergelangan tangan

Tipe I sering pada wanita pascamenopause

Tipe II sering pada usia senile >75 tahun baik pada laki-laki dan perempuan

2. Osteoporosis Sekunder

Sering akibat penyakit lain. Contoh : akromegali, hiperparatiroidisme primer, DM tipe I, Corticosteroid jangka lama, keganasan misalnya: myeloma multipel.

3. Osteoporosis Idiopathic

Penyebab tidak diketahui, jarang, sering pada anak – anak, remaja, wanita pramenopause dan laki – laki usia pertengahan.

Diagnosis-Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik– nyeri tulang terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya meningkat pada malam hari.

Page 66: tugas  aa

– deformitas tulang.

Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler yang dapat menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis

-Pemeriksaan LaborPemeriksaan kadar osteokalsin dan alkali fosfatase untuk menilai proses osteoblastik dan pemeriksaan piridinolin crosslink (Pyd) dan deoksipiridinolin crosslink (Dpd) pada proses osteoklastik.

Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui osteoporosis sekunder seperti hiperparatiroidisme (kadar TSH dan FT4), hiperparatiroidisme primer (kadar iPTH dan mmPTH), sindrom Cushing (kortisol) dan myeloma (SPE dan hematologi rutin).

Kadar Ca, Fosfat, Kalsitonin dan vitamin D juga dapat turut diperiksa.

-PencitraanRadiografi = codfish deformity/fish mouth pada vertebra setelah penurunan masa tulang >30%

CT Scan bila dicurigai adanya keganasan

DEXA (Dual X-Ray Absorptiometry) yang paling sensitif dan akurat. Setiap pengurangan massa tulang 1 SD meningkatkan kemungkinan patah tulang 2 – 2,5 kali.

Berdasarkan densitas mineral tulang (bone mass density=BMD) menurut WHO :

BMD normal <-1SD

BMD rendah/osteopenia -1SD sampai -2,5SD

Osteoporosis <-2,5 SD

Osteoporosis berat <-2,5SD + fraktur

Tata Laksana Komprehensif-Preventif : dengan menjaga asupan kalsium dan vitamin D, berjemur di sinar matahari pagi, senam osteoporosis-Kuratif

farmakologi :

Page 67: tugas  aa

terapi sulih hormon (gold standard) namun perlu pengawasan dokter ahli karena kemungkinan terjadinya keganasan

kalsitonin bifosfonat garam florida steroid anabolic vitamin D dan turunannya Kalsium (1000 mg/hr untuk pria dan 1500 mg/hr untuk wanita) Non farmakologi

Terapi fisik Terapi psikis Senam osteoporosis Perbaikan gizi Perbaikan gaya hidup Mengurangi obat yang mempengaruhi timbulnya osteoporosis Rehabilitasi

KomplikasiFraktur patologis pada:

–          Tulang belakang

–          Kolumna femoris

–          Pergelangan tangan = tersering

PrognosisSemakin tinggi derajat BMD prognosis semakin baik karena semakin rendah juga resiko menderita fraktur.

 sumberBedah De Jong edisi IIIPengantar ilmu bedah ortopedi prof chairuddin rasjad

STROKE NON HEMORAGIC

I. Pendahuluan

Page 68: tugas  aa

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologik fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.

Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam (kebanyakan 10-20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemik otak sepintas (Transient Ischemic Attack = TIA).

Stroke merupakan mekanisme gangguan vaskular susunan saraf penyakit-penyakit dengan lesi vaskuler dikenal sebagai penyakit serebrovaskular atau disingkat dengan CVID (“Cerebro Vascular Disease”), dan penyakit akibat lesi vaskular di medulla spinalis bisa disebut juga penyakit spinovaskular.

“Stroke” atau manifestasi CVD mempunyai etiologi dan patogenesis yang multi kompleks.Rumitnya mekanisme CVD disebabkan oleh adanya integritas tubuh yang sempurna.Otak tidak berdiri sendiri diluar jangkauan unsur-unsur kimia dan selular darah yang memperdarahi seluruh tubuh. Jika integritas itu diputuskan sehingga sebagian dari otak berdiri sendiri di luar lingkup kerja organ-organ tubuh sebagai suatu keseluruhan, maka dalam keadaan terisolisasi itulah timbul kekacauan dalam ekspresi (gerakan) dan persepsi (sensorik dan fungsi luhur),suatu keadaan yang kita jumpai pada penderita yang mengidap “Stroke”.Etiologi1. Infark otak (80 %)

Embolia. Emboli kardiogenik

§ Fibrilasi atrium atau aritmia lain § Trombus mural ventrikel kiri § Penyakit katup mitral atau aorta § Endokarditis (infeksi atau non infeksi)

b. Emboli paradoksal

c. Emboli arkus aorta

Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang besar)a. Penyakit eksterakranial

§ Arteri karotis interna § Arteri vertebralis

b. Penyakit intrakranial

§ Arteri karotis interna § Arteri serebri media

Page 69: tugas  aa

§ Arteri Basilaris § Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)

2. Pendarahan intraserebral (15 %)

Hipertensi Malformasi arteri-vena Angiopati amiloid1. Perdarahan Subarakhnoid (5 %)2. Penyebab lain (yang dapat menimbulkan infark atau perdarahan )

1. Trombosis sinus dura2. Diseksi arteri karotis atau arteri vertebralis3. Vaskulitis sistem saraf pusat4. Oklusi arteri besar intra kranial yang progresif5. Migren6. Kondisi hiperkoagulasi7. Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)8. Kelainan Hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, atau leukemia)9. Miksoma atrium

Faktor Resiko Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga dengan stroke atau

penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium,heterozigot atau homozigot untuk homosistinure.

Yang dapat dirubah : hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, hematokrit meningkat, bruit karotis asimptomatis, hiperurisemia dan dislipidemi.

Klasifikasi Stroke menurut WHO Berdasarkan perubahan patologik pada otak :

PSA (Perubahan Sub arachnoid) PIS (Pendarahan Intraserebral) Nekrosis iskemik serebral

Berdasarkan stadium klinik : TIA (Transient Iskhemic Attack) SIE (Stroke in Evolution) CS (Completed Stroke) RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

II. PembahasanMengapa Stroke dapat terjadi ?Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2 1/2 % dari berat badan seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkannya hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya. Oksigen ini diperoleh dari darah. Di otak sendiri hampir tidak ada cadangan oksigen. Dengan demikian otak sangat bergantung kepada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplai oksigen terputus selama 8-10 detik, maka terjadi gangguan fungsi otak.Bila lebih lama dari 6-8 menit, terjadi jejas (lesi) yang tidak pulih lagi(irreversible) dan kemudian kematian.Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa penghentian aliran darah ke otak selama lebih dari 3 menit menyebabkan kerusakan yang menetap.

Page 70: tugas  aa

Beberapa daerah di otak lebih peka terhadap iskemia (berkurang aliran darah). Daerah dengan aktivitas metabolik yang lebih tinggi membutuhkan makanan yang lebih banyak untuk mempertahankan integritas strukturalnya. Dengan demikian masa kelabu yang mempunyai aktivitas metabolik yang lebih tinggi lebih sensitive terhadap iskemia.

Kelainan yang terjadi akibat gangguan peredaran darah di otak dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu :

1. Infark Iskemik, disebut juga sebagai Stroke Non-Hemoragik2. Perdarahan, disebut sebagai Stroke Hemoragik.

Perlu diingat bahwa kedua keadaan ini dapat terjadi bersamaan. Hemoragi dapat meninggikan tekanan di rongga tenggkorak dan menyebabkan iskemia di daerah lain yang  tidak terlibat hemoragi. Sebaliknya di daerah iskemia dapat pula terjadi hemoragi.Iskemia otak merupakan akibat berkurangnya aliran darah di otak, baik secara umum maupun secara lokal.

Kata iskemia berasal dari kata Yunani, “ischein” (menghentikan) dan “haima” (darah).

Stroke iskemik, atau stroke non-hemoragik, pada kelompok usia di atas 45 tahun, paling banyak disebabkan atau ada kaitannya dengan aterosklerosis.

Untuk mengetahui diagnosa stroke non hemoragik atau stroke hemoragik, dapat digunakan Skor Stroke Siriraj (SSS) yaitu :SSS : (2,5 x derajat kesadaran) + (2x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (10% x tekanan diastolik) – (-3x petanda ateroma) – 12

Penilaian :  Skor  >  1:  Stroke Hemoragik

Skor  < -1 : Stroke non Hemoragik (stroke iskemik)

Selain itu dapat digunakan CT Scan atau MRI.

Stroke Non Hemoragik (Iskemik) mencakup : TIA (Transient Iskemik Attack) SIE  (Stroke in Evolution) CS   (Completed Stroke) RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

Manifestasi klinis : Penyumbatan salah satu aliran darah karena vasospasme langsung dapat menimbulkan

gejala defisit atau perangsangan sesuai dengan fungsi daerah otak yang terkena.Setelah vasospasme hilang, gejala-gejala itu akan hilang juga dan keadaan akan sehat seperti pulih kembali (TIA).

Page 71: tugas  aa

Gejala defisit itu bisa berupa monoparesis atau hemiparesis dengan hemiparastesia ataupun afasia.

Vasospasme regional bisa terjadi sehubungan dengan melonjaknya tekanan darah sistemik, sebagai suatu reaksi vasokonstriksi yang berlebihan. Pada tekanan intralumenal yang membahayakan memang autoregulasi vaskuler sewajarnya mengadakan vasokonstriksi.Padaorang sehat, vasokonstriksi itu berlangsung sejenak, karena lonjakan tekanan darahnyapun tidak berlangsung lama, tetapi pada orang dengan hipertensi lonjakan hipertensi dapat melewati batas kritis atas dan bisa berlangsung agak lama.

Gangguan mekanisme autoregulasi regional itu terdapat pada tempat-tempat arteri yang mengandung “plaque”

Arteri karotis dan arteri vertebralis,keduanya  memperdarahi kedua belah belah otak secara sendiri-sendiri, namun bekerja sama secara integral apabila kerja sama itu diperlukan.Apabila salah satu diantara mereka tidak mampu memberikan jatah darah yang biasa  dibebankan atas dirinya, maka yang lainnya akan mengambil alih tugas itu. Pengambil alihan tugas itu tidak selamanya berlangsung lancar.Sehingga pada masa tertentu, pertolongan kompensatorik itu masih belum terlaksana .Karena terlambatnya sirkulasi kompensatorik itu, maka daerah tertentu menjadi iskemik.

III. PenatalaksanaanPrinsip Penatalaksanaan Stroke Iskemik

1. Membatasi atau memulihkan iskemia akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-plasminogen activator). Pengobatan ini hanya boleh diberikan pada stroke iskemik dengan waktu onset < 3 jam dan hasil CT Scannormal. Obat ini sangat mahal dan hanya dapat dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap.

2. Mencegah perburukan neurologis yang behubungan dengan stroke yang masih berkembang (‘jendela terapi’ sampai dengan 72 jam).

Progresivitas stroke terjadi pada 20-40 % pasien stroke iskemik yang dirawat, dengan risiko terbesar dalam 24 jam pertama sejak onset gejala. Perburukan klinis dapat disebabkan oleh salah satu mekanisme berikut ini:

Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark :Masalah ini umumnya terjadi pada infark luas. Edema otak umumnya mencapai puncaknya pada hari ke-3 sampai hari ke-5 setelah onset stroke dan jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam pertama. Terapi dengan manitol bermanfaat, hindari cairan hipotonik. Steroid tidak efektif.

Ekstensi teritori infark :Ini dapat disebabkan oleh trombosis yang progresif dalam sebuah pembuluh darah yang tersumbat (misalnya infark batang otak yang progresif pada seorang pasien dengan trombosis arteri basilaris) atau kegagalan difusi distal yang berhubungan dengan stenosis atau oklusi yang lebih proksimal (misalnya : perluasan infark zona perbatasan internal pada seorang pasien dengan oklusi arteri karotis interna). Heparin dapat mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi status volume dan tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.

Page 72: tugas  aa

Konversi hemoragis  :Masalah ini diketahui dari hasil radiologis tetapi jarang menimbulkan gejala klinis. Tiga faktor risiko utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut. Jangan memberikan antikoagulan pada pasien dengan risiko tinggi selama 48-72 jam pertama setelah onset stroke. Bila ada hipertensi berat obati pasien dengan obat antihipertensi.

1. Mencegah stroke berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok).Sekitar 5 % pasien yang dirawat dengan stroke iskemik mengalami serangan stroke kedua dalam 30 hari pertama. Resiko ini paling tinggi (lebih besar dari 10%) pada pasien dengan stenosis karotis yang berat dan kardioemboli serta paling rendah (1 %) pada pasien dengan infark lakuner. Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko stroke berulang dini pada pasien dengan kardioemboli.

Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut1. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). 10%

diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset gejala stroke dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan  otak tidak memperlihatkan infark dini yang luas.

1. Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.

2. Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh terlalu cepat diturunkan.Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat tekanan perfusi otak yang meningkat ‘bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi marginal (Penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat salah satu hal berikut ;

Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi non neurologis :

1. Iskemia miokard akut2. Edema paru kardiogenik3. Hipertensi maligna (retinopati)4. Neuropati hipertensif5. Diseksi aorta Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15

menit :1. Sistolik > 220 mmHg2. Distolik > 120 mmHg3. Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah sistolik

> 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg.Dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetolol), penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh maksimal 20 % dari

Page 73: tugas  aa

tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinus sebab dapat terjadi penurunan tekanan darah secara drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 5 mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10 mg tergantung respons sebelumnya.

Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas atau bila diastolik > 140 mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10-20 ug/menit.Tekanan darah yang rendah pada stroke  akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus dinaikkan dengan dopamine atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.

1. Pertimbangan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau radiologis adanya infark hemisfer atau serebellum yang massif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan, atau stroke dalam evaluasi.

2. Pertimbangkan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien dengan infark serebellum yang luas.

3. Pertimbangkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada pasien dengan stroke vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata pada CT Scan.

4. Pertimbangkan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi berikut ini :

Kemungkinan besar stroke kardioemboli Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri karotis Stroke dalam evolusi Diseksi arteri Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas yang berhubungan dengan efek massa atau konversi/transformasi hemoragik.

Pasien stroke dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardia harus diberi antikoagulan oral (warfarin) minimal 1 tahun dengan mempertahankan masa protrombin 1,5-2,5 kali kontrol atau INR 2-3.

1. Pemeriksaan penunjang neurovaskular diutamakan dengan noninvasive. Pemeriksaan berikut ini dianjurkan pada pasien infark serebri bila alat tersedia dan biaya terjangkau :

Ekokardiografi untuk mendeteksi adanya sumber emboli dari jantung. Pada banyak pasien, ekokardiografi transthorakal sudah memadai. Ekokardiografi transesofageal memberikan hasil yang lebih mendetail terutama kondisi atrium kiri dan arkus aorta serta lebih sensitif untuk mendeteksi trombus mural atau vegetasi katup.

Ultrasonografi  Doppler karotis diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang simtomatis serta lebih dari 70 % merupakan indikasi untuk enerterektomi karotis.

1. Pemeriksaan berikut ini dilakukan selektif pada pasien tertentu :

Page 74: tugas  aa

Ultrasonografi Doppler transkranial dapat dipakai untuk mendiagnosis oklusi atau stenosis arteri intrakranial besar. Gelombang intrakranial yang abnormal dan pola aliran kolateral dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada leher menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna.

Angiografi resonansi magnetik dapat dipakai untuk mendiagnosis stenosis atau oklusi arteri ekstrakranial atau intrakranial.

Pemantauan Holter dapat dipakai untuk mendeteksi fibrilasi atrium intermitten.10. Pertimbangkan pemeriksaan darah berikut ini pada kasus-kasus penyebab stroke yang tidak lazim, terutama pada usia muda :

Kultur darah jika dicurigai endokarditis.. Pemeriksaan prokoagulan : aktivitas protein C, aktivitas protein S, aktivitas antitrombin

III, antikoagulan lupus, antibody antikardiolipin. Pemeriksaan untuk vaskulitis : antibody antinuklear (ANA), factor rheumatoid, regain

plasma cepat (RPR), serologi virus hepatitis, laju endap darah, elektroforesis protein serum, krioglobulin, dan serologi virus herpes simpleks.

Profil koagulasi untuk menyingkirkan koagulasi intravaskular disseminata (DIC). Beta gonadotropin khorionik manusia (b-HCG) untuk menyingkirkan kehamilan pada

wanita muda dengan stroke.IV. Terapi Medik Stroke Iskemik.Pada stroke iskemik didapatkan gangguan pemasokan darah ke sebagian jaringan otak. Ini disebabkan karena aliran darah berkurang atau berhenti. Bila gangguan cukup berat, akan ada sel saraf yang mati. Disamping sel yang mati didapatkan pula sel otak yang sekarat.

Sel yang sudah mati tidak dapat ditolong lagi. Yang kita lakukan ialah usaha agar sel yang sekarat jangan sampai mati. Setelah terjadi iskemia, di otak terjadi berbagai macam reaksi lanjutan, misalnya pembentukan edema (sembab) di sebagian  otak, perubahan susunan neurotransmitter, perubahan vaskularisasi regional, perubahan tingkat metabolisme.

Tujuan terapi ialah agar reaksi lanjutan ini jangan sampai merugikan penderita. Kita berusaha agar sel otak yang belum mati  tetap berada dalam keadaan gawat, jangan sampai menjadi mati. Diupayakan agar aliran darah di daerah yang iskemik dapat dipulihkan kembali. Demikian juga metabolismenya.

Banyak macam tindakan serta macam obat yang telah diselidiki, namun banyak yang hasilnya belum meyakinkan, masih kontroversial. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Perlu disadari bahwa untuk meneliti khasiat terapi pada stroke bukanlah hal yang mudah. Antara lain disebabkan karena perjalanan penyakit stroke beragam, penyebab dan faktor resikonya juga bermacam-macam. Demikian juga daerah yang mengalami iskemia serta beratnya iskemia berbeda-beda. Semua hal ini ikut mempengaruhi perjalanan penyakit. Hal ini menyulitkan peneliti untuk memastikan apakah terapi yang diberikan ada manfaatnya.

Sekiranya terjadi perbaikan, sulit memastikan apakah perbaikan tersebut diakibatkan oleh obat atau tindakan yang diberikan. Mungkin saja perbaikan tersebut akan terjadi tanpa terapi yang

Page 75: tugas  aa

diberikan. Untuk memastikan hal yang demikian dibutuhkan penelitian terhadap sangat banyak jumlah pasien. Mencapai ratusan jumlahnya, hal yang sulit dilakukan dengan mengingat fasilitas yang tersedia.

Berikut ini beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik :

1. Obat untuk sembab otak (edema otak)Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan herniasi (peranjakan) jaringan otak. Herniasi ini dapat mengakibatkan keadaan lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian.

Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan Manitol 20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga membantu mencegah bertambahnya edema di otak. Obat dexametasone, suatu kortikosteroid, dapat pula digunakan.

1. Obat antiagregasi trombositAda obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan dengan demikian mencegah terbentuknya thrombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat pembuluh darah. Obat demikian dapat digunakan pada stroke iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (Aspirin). Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250 mg atau Klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1 – 2 tahun atau lebih.

Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan baik.

1. AntikoagulansiaAntikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi thrombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah heparin, kumarin, sintrom.

1. Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan thrombus)Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila sumbatan oleh thrombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi), maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong.

Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan rt-PA pada stroke iskemik, ialah penelitian HINDS, yang melibatkan 624 penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukup tinggi (6,4 % dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo). Namun demikian, pasien yang dapat pergi pulang ke rumah lebih banyak pada kelompok yang mendapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.

Page 76: tugas  aa

1. Obat atau tindakan lainBerbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan dengan tujuan memperbaiki atau mengoptimalisasi keadaan otak, metabolisme dan sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Obat-obat ini misalnya : kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin (Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin).

Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah : hemodilusi (mengencerkan darah). Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke. Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44 – 50 %, maka darah dikeluarkan sebanyak 250 cc, diganti dengan larutan dekstran 40 atau larutan lainnya. Bila masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250 cc keesokan harinya.

DAFTAR PUSTAKA1. Maharmarjuna, DR. Prof ; Neurologi Klinik Dasar.2. Kapita Selekta Kedokteran Bagian llmu Penyakit Syaraf : Media Aesculapius; Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia 2000.3. Prof. DR.dr. S.M. Lumbantobing : Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak : Fakultas

Keodkteran Universitas Indonesia.

Page 77: tugas  aa

KUSTA

Menurut WHO (2005), penyakit kusta merupakan salah satu penyakit kronik yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, khususnya di negara berkembang. Indonesia menduduki peringkat terbesar ketiga penderita kusta setelah India dan Brazil. Menurut Depkes RI (2005), Indonesia merupakan salah satu negara endemis kusta di dunia. Pada tahun 2003-2005 tercatat jumlah penderita kusta di Indonesia mengalami peningkatan (Tahun 2003 tercatat 15.549, tahun 2004 sebanyak 16.572, tahun 2005 meningkat 18.735 penderita). Sementara data WHO tahun 2010, walaupun mengalami penurunan jumlah, Indonesia masih menempati urutan ke tiga terbanyak di dunia dengan sejumlah 17.012 kasus. Sedangkan peringkat pertama India dengan 126.800 kasus, dan Brasil dengan 34.894 kasus kusta.

Walaupun secara nasional tahun 2000 Indonesia berhasil mencapai eliminasi kusta,  namun sampai akhir tahun 2004 masih terdapat 12 provinsi dan 140 kabupaten yang belum mencapai eliminasi kusta. Prevalence rate (1/10.000) pada 12 provinsi sebesar 1-2, yang berarti diantara 10.000 orang penduduk terdapat satu atau dua orang penderita kusta (Depkes, 2004).

Pengertian dan Klasifikasi KustaPenyakit kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya. Sedangkan klasifikasi kusta, dibedakan menjadi kelompok-kelompok, untuk membantu pengobatan dan penyembuhan.

Terdapat tiga tipe utama penyakit kusta yaitu lepromatous, boderline, dan tuberkuloid. Namun di Indonesia klasifikasi di atas tidak digunakan dalam penanganan penyakit kusta di lapangan.

1. Tipe  lepromatous terdapat pada orang yang tidak mempunyai daya tahan tubuh dan  mycobacterium leprae berkembangbiak di tubuhnya dalam jumlah tidak terhitung.

2. Tipe borderline berkembang pada penderita dengan daya tahan tubuh sedang, daya tahan yang sedang ini dapat mengurangi jumlah mycobacterium leprae tidak begitu banyak, namun masih cukup banyak yang tinggal dan berkembangbiak dalam tubuh, juga berarti

Page 78: tugas  aa

bahwa suatu pertempuran sedang terjadi antara mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh. Tipe borderline dapat dibagi menjadi tiga yaitu borderline tuberkuloid, boderline borderline dan borderline lepromatous.

3. Tipe tuberkuloid terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan sedikit mycobacterium leprae untuk berkembangbiak menjadi banyak. Tipe indeterminate yang berarti bahwa tipenya tidak dapat diketahui pada saat sekarang. Kusta indeterminate terjadi pada seseorang dengan daya tahan tubuh sedemikian tinggi sehingga tubuh bisa segera menyembuhkan penyakitnya tanpa suatu pengobatan. Atau pada orang dengan daya tahan tubuh yang kurang maka tanda indeterminatenya menjadi lebih jelas.

Sementara di lapangan, klasifikasi yang digunakan bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multi Drug Therapy (MDT), dengan menggabungkan  rifampisin, lamprene, dan DDS. Berdasarkan hal ini klasifikasi penyakit kusta di Indonesia dibagi menjadi dua tipe yaitu PB dan tipe MB. Beberapa karakteristik tipe kusta ini antara lain :

1. Kusta tipe PB jika jumlah bercak pada kulit berjumlah 1-5, bulu pada bercak rontok, ukuran bercak kecil dan besar, bercak terdistribusi secara asimetris, bercak biasanya kering dan kasar, batas bercak tegas, kehilangan rasa pada bercak selalu ada dan jelas, terdapat central healing (penyembuhan di tengah), cacat biasanya terjadi dini dan asimetris, penebalan syaraf terjadi dini, infiltrat, nodulus dan perdarahan hidung tidak ada dan BTA negatif.

2. Kusta tipe MB memiliki karakteristik jumlah bercak banyak, ukuran bercak kecil-kecil, bercak terdistribusi simetris, bercak biasanya halus dan berkilat, batas bercak kurang tegas, kehilangan rasa pada bercak biasanya tidak jelas dan terjadi pada stadium lanjut, bulu pada bercak tidak rontok, infiltrat, perdarahan hidung ada dan kadang-kadang tidak ada, ciri khusus terdapat punced out lesion (lesi berbentuk seperti kue donat), madarosis, ginecomastia, hidung pelana, suara parau, penebalan syaraf pada tahap lanjut, cacat terjadi pada stadium lanjut dan BTA positif.

Refference, antara lain : WHO. 2005.     Global Leprosy Situation, 2005;  Depkes. 2005. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas. Roos,W. F. 1989. Penyakit Kusta. PT Gramedia

Page 79: tugas  aa

DERMATITIS ATOPIKAL

Pengertian

Dermatitis Atopika Adalah penyakit inflamasi yang ditandai dengan erupsi kulit makulo papuler dengan kemerahan, memberi keluhan gatal yang sangat dengan penyebaran yang khas, berkembang menjadi lesi kulit dengan likenifikasi kering, ekskoriasi dan eksudasi. Sifatnya menurun ( heriditer ), ditandai dengan riwayat keluarga dengan asma, rinitis alergika atau dermatitis atopika.

Patofisiologi :

1. Gangguan pada Cell Mediated Immunity.

Secara in vitro dapat dibuktikan adanya :

Penurunan proliferasi limfosit terhadap mitogen. Penurunan kemotaksis terhadap sel monosit dan polimorfonuklear. Gangguan ini hilang pada waktu remisi, menunjukkan bahwa sifatnya adalah sementara. Penurunan jumlah sel T8 ( suppresor T cell ) Penurunan regulasi IgE oleh sel T8.

2. IgE.80 – 90 % dari penderita Dermatitis Atopik menunjukkan kadar IgE yang tinggi. Proses patologinya melalui IgE dependent late phase response. Dua molekul IgE pada FcI reseptor pada sel Mast atau basofil setelah dijembatani oleh antigen akan mengaktifkan sel mengeluarkan isi granulanya berupa histamin, heparin dan tryptase P ( preformed mediator ). Sementara itu Phospholipase dan metiltransferase dari membran mengkatalisa phospholipid menjadi asam arachidonat, selanjutnya dioksidasi menjadi leukotrien, prostaglandin. Mediator-mediator ini menyebabkan kelainan pada kulit.

3. Hipersensitifitas terhadap makanan.

Makanan sebagai alergen mengaktifasi reaksi imunologis yang melibatkan IgE.

4. Respons reseptor beta adrenergik yang tidak normal.5. Produksi keringat yang meningkat.

Pada penderita Dermatitis Atopik ada kecenderungan peningkatan produksi keringat sehubungan dengan rangsangan udara panas, latihan dan emosi. Berkeringat menimbulkan rasa gatal sehingga penderita menggaruk, meningkatkan terjadinya dermatitis dan ekskoriasi.

Page 80: tugas  aa

6. Produksi sebum menurun, menyebabkan meningkatnya kehilangan air menimbulkan xerosis.

Gejala Klinis / Symptom :Ada 4 stadium gejala klinis :1. Infantil Atopic dermatitis2. Childhood Atopic dermatitis3. Adolescence Atopic dermatitis4.Adult Atopic dermatitis

1. Stadium Infantil Atopic dermatitis :

Gejala mulai lebih awal dari usia 8 bulan dengan tanda-tanda dermatitis seboroika dan eritema mulai pada pipi, dahi, kepala, tangan, kaki, badan, telinga dan daerah anorektal. Lesi berupa eritema yang kasar dan kering. Rasa gatal menyebabkan bayi menjadi mudah terangsang ( iritable ) dan tidurnya terganggu. Pada 18 bulan lesi bisa meliputi seluruh ekstremitas terutama daerah fleksor.

2. Stadium Childhood Atopic dermatitis :

Merupakan lanjutan dari stadium Infantil Atopic dermatitis dengan ada periode sembuh diantaranya. Gambaran yang khas adalah kulit yang kering ( xerosis ) terutama pada lipatan antekubiti dan lipatan poplitea daerah fleksor, sudut mulut dan daun telinga. Lesi bersifat kurang eksematis tapi lebih kering disertai papula dengan diameter antara 0,5 – 1 mm.

3 & 4 . Stadium Adolescence dan Adult :

Lesi terutama berupa bercak luas likenifikasi dikelilingi papula yang mengalami krustasi. Lokasi terutama pada lipatan antekubiti dan lipatan poplitea, muka, leher, kelopak mata, pergelangan tangan/kaki.

Cara Pemeriksaan :

Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa meliputi :1. Anamnesa :

Riwayat penyakit Riwayat pengobatan Hubungan dengan makanan Masalah yang dihadapi misalnya infeksi kulit Riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik :

Sifat lesi Distribusi dari lesi Derajat kekeringan/inflamasi

Page 81: tugas  aa

Respon terhadap tekanan benda tumpul Tanda-tanda alergi lain misalnya rinitis alergika, asma bronkiale.

3. Pemeriksaan Laboratorium :

Hitung Eosinofil : untuk mengetahui adanya atopi Hematokrit Hapusan mukosa hidung Kultur kuman L untuk mengetahui adanya komplikasi infeksi dan menentukan

pengobatan. Uji kulit : untuk mengetahui adanya IgE spesifik pada sel Mast pada kulit. IgE total dan spesifik.

Diagnosa Banding :Beberapa penyakit kulit menyerupai dermatitis atopik :1. Dermatitis Seboroika :

Terjadi terutama pada bayi, sangat menyerupai Dermatitis Atopik. Mulai pada minggu 2 – 10 setelah lahir, seringkali menghilang 3 – 4 minggu. Gambaran kelainan kulit terutama eritema dan pembentukan sisik berbatas jelas berbentuk bulat atau oval melebar, ada kemungkinan menyatu. Sisik berwarna kecoklatan berminyak terutama daerah kepala dan fleksor. Infeksi sekunder sering oleh kandida albikan.

2. Leiner’s disease ( Erythroderms desquamativa ) :

Adalah dermatitis eksfoliativa pada bayi. Biasanya disertai pembesaran kelenjar regional dan diare yang berkepanjangan. Satu bentuk familial dari penyakit ini adalah defisiensi komplemen 5. Tanda-tandanya adalah kegagalan pertumbuhan, diare dan sepsis berulang.

3. Kandidiasis kulit.

Lokasi biasanya pada daerah sela-sela yang basah. Lesi berupa eritema dengan batas tajam disertai sisik dikelilingi oleh vesikula atau pustula.

4. Lichen simplex chronicus5. Dermatitis kontak6. Reaksi obat7. Chronic Exfoliative Dermatitis8. Psoriasis

Komplikasi :1. Infeksi kulit dengan bakteri dan virus :

Impetigo Folikulitis Abses Vaccinia Moluskum kontagiosum

Page 82: tugas  aa

Herpes.

2. Pada mata :

Keratoconus Katarak.

3. Nefritis.

Penatalaksanaan Medik :Penatalaksanaan meliputi 2 bagian :1. Perawatan kulit.2. Perawatan umum.

Perawatan Kulit :Fase akut : jika dalam keadaan inflamasi : oozing dan krustasi sebaiknya diberi antibiotika. Wet dressing dengan solusio Burowi selama 15 – 30 menit 4 kali sehari membantu mengurangi inflamasi dan menghilangkan krusta dan eksudat. Dilakukan tidak lebih dari 3 hari.Fase sub akut dan kronis : cuci dengan air dan penggunaan emolient dan kortikosteroid.

Perawatan Umum :

Mengatasi infeksi Antihistamin : Hydroxizin ( Atarax ) dimulai dengan 10 mg tiap 6 jam naikkan 5 mg tiap

3 – 5 hari sampai gatal dihilangkan. Bisa juga diberi Diphenhydramin (Benadryl). Diet. Kontrol lingkungan pada penderita yang sensitif terhadap debu kapuk, bulu kucing, bulu

anjing. Konsultasi psikologi pada penderita dengan pencetus emosi. Imunoterapi : merupakan bagian dari desensitisasi terhadap alergi debu rumah pada

penderita atopik dermatitis yang menyertai Asma bronkiale.

Page 83: tugas  aa

KARSINOMA SERVIKS

Karsinoma serviks merupakan salah satu kanker yang paling sering pada wanita di

seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa invasif mencakup 80% keganasan serviks. Tidak seperti

kanker saluran reproduksi lainnya yang lebih banyak terjadi di negara industri, kanker serviks

merupakan kanker pembunuh nomer satu pada wanita di dunia ketiga. Epidemiologi menunjukan

bahwa kanker seviks merupakan penyakit menular seksual. Kanker skuamosa serviks dapat

dicegah jika dilakukan skrining dan terapi yang tepat. 1  

Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN)

Hampir semua karsinoma sel skuamosa serviks invasif berkembang dari prekusor perubahan

epitel yang disebut CIN (cervical intraepithelial neoplasia). Meskipun begitu, tidak semua CIN

akan berkembang menjadi kanker. Kadangkala CIN tetap ada, tetapi tidak berubah atau

berkembang. 2

Umumnya, CIN bersifat asimptomatik dan terjadi sekitar 5-15 tahun sebelum berkembangnya

karsinoma invasif. Hampir semua kanker serviks berkembang pada zona transformasi seviks.

Lokasi sambungan skuamokolumnar tersebut dapat berubah sebagai respon serviks terhadap

berbagai faktor dan terdapat perbedaan lokasi antara anak perempuan pascapubertas, dengan

wanita menopause. Pada wanita tua, zona transformasi jauh berada di kanal endoserviks. 1

Pemeriksaan sitologis dapat mendeteksi CIN sebelum ketidaknormalan nampak secara kasar.

Perubahan prekanker berupa CIN dapat bermula dari lesi derajat ringan yang berkembang

menjadi derajat yang lebih tinggi atau bisa juga serta beberapa faktor host lainnya. Berdasarkan

penampakan histologisnya, lesi prekanker dapat digolongkan derajatnya menjadi:

CIN I: diplasia ringan CIN II: diplasia sedang CIN III: displasia berat dan karsinoma in situ2

Sementara itu, sistem Bethesda yang terbaru membedakan lesi prekanker menjadi dua kelompok

yaitu low-grade dan high-grade squamous intraepithelial lesions (SIL). Lesi derajat rendah

berkaitan dengan CIN I atau kondiloma yang rata sedangkan yang derajat tinggi identik dengan

CIN II atau III.

CIN I atau yang seringkali disebut sebagai flat condyloma ditandai dengan perubahan

koilositosis yang utamanya terjadi pada lapisan superfisial epitel. Koilositosis tersusun dari

Page 84: tugas  aa

hiperkromatik inti dan angulasi dengan vakuolisasi perinuklear yang disebabkan efek sitopatik

HPV.

Pada CIN II, displasi terjadi lebih berat dengan maturasi keratinosit yang tertunda sampai

sepertiga epitelium. CIN II berkaitan dengan beberapa variasi pada ukuran sel dan inti serta

heterogenitas kromatin inti. Sel-sel pada lapis superfisial menunjukan beberapa diferensiasi dan

pada beberapa kasus dapat menunjukan pula perubahan koilositosis.

Tingkatan selanjutnya, yang kadangkala tidak jelas perbedaannya dengan CIN II, adalah CIN III.

Biasanya CIN III ini ditandai dengan variasi ukuran sel dan inti yang semakin besar,

heterogenitas kromatin, gangguan orientasi sel dan mitosis yang normal maupun abnormal.

Perubahan tersebut terjadi pada seluruh lapisan epitel dan dikarakteristikan dengan hilangnya

maturitas. Diferensiasi sel-sel permukaan dan perubahan koilositosis biasanya sudah

menghilang. Kondisi saat terjadi perubahan displasia yang lebih atipikal dan meluas ke kelenjar

endoserviks, tetapi masih terbatas pada sel epitel dan kelenjarnya, disebut karsinoma in situ.

Page 85: tugas  aa

Berdasarkan berbagai penelitian, CIN I kemungkinan mengalami regresi sebanyak 50-60%,

persisten 30% dan progresif menjadi CIN III sebanyak 20%. CIN III mungkin mengalami regresi

sebanyak 33% dan semakin progesif sebanyak 60-74%.  Semakin tinggi derajatnya, peluang

untuk menjadi progesif semakin besar. Namun, dapat diperhatikan pula bahwa banyak kasus lesi

derajat tinggi yang tidak berkembang menjadi kanker.

Insiden CIN paling banyak adalah pada usia 30-an sedangkan karsinoma invasif lebih banyak

terjadi pada usia sekitar 45 tahun. Meskipun terkadang ditemukan kasus tumor invasif pada

wanita usia 20-an tahun, lesi prekanker membutuhkan beberapa tahun untuk berkembang

menjadi kanker.

Faktor resiko untuk progresifitas CIN dan karsinoma invasif adalah sebagai berikut.

Usia yang terlalu muda pada saat pertama kali berhubungan seksual Kegiatan seksual multipartner

Page 86: tugas  aa

Berpasangan dengan pria yang multipartner Infeksi persisten dari papilomavirus yang beresiko tinggi2

 

Karsinoma serviks invasif

Karsinoma serviks invasif merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas di seluruh dunia,

terutama pada negara berkembang. Bentuk umum dari karsinoma serviks adalah karsinoma sel

skuamosa (75%), kemudian adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa (20%) serta

karsinoma neuroendokrin sel kecil. (<5%)

Insiden puncak lesi sel skuamosa terjadi pada usia 45 tahun, sekitar 10 sampai 15 tahun sejak

terdekteksinya prekusor kanker. Pada beberapa individu dengan perubahan intraepitelial agresif,

interval tersebut mungkin menjadi lebih pendek. Ada pula CIN yang tetap persisten tetapi tidak

berkembang menjadi kanker.

Karsinoma serviks invasif berkembang pada zona transformasi. Penampakannya dapat berupa

fokus mikroskopik pada invasi stroma awal sampai tumor yang jelas terlihat. Tumor mungkin

invisible atau eksofitik.2 Tipe eksofitik merupakan yang paling umum, meluas ke vagina dan

dapat terjadi perdarahan hebat saat disentuh. (heffner )Tumor yang melingkari serviks dan

berpenetrasi ke dalam stroma di bawahnya dapat menghasilkan barrel serviksyang dapat

diidentifikasi dengan palpasi langsung. Lesi ini dapat menyebabkan gejala gangguan berkemih

atau buang air besar. Ekstensi ke jaringan lunak parametrium dapat melekatkan uterus pada

struktur pelvis. Selain itu, ada pula tipe tumor ulseratif yang mengubah serviks dan vagina

bagian atas dengan lubang purulen yang besar. 1

Penyebaran ke nodus limfe pelvis ditentukan oleh kedalaman tumor, dan adanya invasi kapiler-

limfatik. Metastasis jauh, termasuk yang melibatkan nodus para-aortic, organ yang jauh, atau

struktur sekitar seperti kandung kemih atau rektum, biasanya terjadi setelah penyakit tersebut

berlangsung lama. Pengecualian terjadi pada tumor neuroendokrin yang bersifat lebih agresif. 2

 

Patogenesis

Patogenesis penyakit ini erat kaitannya dengan pajanan karsinofen pada jaringan yang rentan,

yaitu zona transformasi. Sambungan skuamokolumnar dipengaruhi oleh perubahan hormonal dan

anatomis saat pubertas., kehamilan dan menopause. Sebelum pubertas, sambungan tersebut

terletak pada ostium sevikalis eksterna. Saat pubertas, perubahan bentuk dan volume serviks

yang diinduksi estrogen membawa sambungan skuamokolumnar ke bagian luar ektoserviks.

Pajanan lingkungan vagina yang asam pada epitel yang mensekresi musin sederhana

Page 87: tugas  aa

menginduksi denaturasi kimia pada ujung vili epitel kolumnar. Proses perbaikan yang terjadi

setelahnya menghasilkan sel skuamosa yang matur.

Tanda pertama proses perbaikan adalah terdapatnya sel cadangan yang diaktivasi di bawah epitel

kolumnar. Sel cadangan secara bertahap menjadi berlapis di bawah sel kolumnar dan

menggantikan sel tersebut, membentuk zona transformasi. Setelah menopause, sambungan

skuamokolumnar kembali naik ke posisi di dalam kanal endoserviks. 1

Agen kausatif kanker serviks yang dapat disebarkan secara seksual adalah HPV. HPV dapat

dideteksi degan metode molekular hampir pada semua lesi prekanker dan neoplasma invasif.

Dari seratus lebih tipe HPV, yang paling beresiko tinggi menyebabkan karsinoma serviks adalah

HPV tipe 16, 18, 45 dan 31. Tipe lain yang lebih jarang adalah HPV tipe 33, 35, 39, 45, 52, 56,

58, dan 59. Sementara itu, lesi ringan seperti kondiloma berkaitan dengan infeksi HPV resiko

rendah seperti tipe 6, 11, 42, dan 44. 2,3

Pada lesi ringan, DNA virus tidak berintegrasi dengan genome host dan tetap dalam bentuk

episom bebas. Sementara itu, HPV tipe 16 dan 18 biasanya akan berintegrasi ke dalam genom

host dan mengekspresikan protein E6 dan E7 dalam jumlah besar sehingga gen p53 dan RB yang

berfungsi sebagai supressor tumor akan terinaktivasi atau terhambat. Akibatnya terjadi

perubahan fenotip sel yang bertransformasi, memungkinkan pertumbuhan otonom dan bisa

terjadi mutasi lebih jauh lagi.

Walaupun banyak wanita yang memiliki virus tersebut, hanya sedikit yang berkembang menjadi

kanker. Hal tersebut berarti terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kanker.

Faktor resiko yang terdefinisikan dengan baik adalah merokok dan imunodefisiensi. 2 Terdapat

prevalensi tinggi DNA HPV pada kulit normal dari orang dewasa sehat. Kutil dapat menghilang

secara spontan seiring waktu. Namun, pada penderita imunodefisiensi seperti HIV, dapat

berkembang ke arah yang lebih berat. 3

Untuk memonitor penyakitnya, follow up serta biopsi berulang perlu dilakukan. Dalam

mencegah kanker, deteksi prekusor dengan pemeriksaan sitologis dan eradikasi dengan laser

vaporization maupun cone biopsy dapat dilakukan sebagai metode yang paling efektif.

Jika kanker sudah berkembang, 5-year survivals adalah: 2

stage 0 (preinvasive): 100% stage 1: 90% stage 2: 82% stage 3: 35% stage 4: 10%

Page 88: tugas  aa

Karena penyebaran tumor bersifat gradual, bahkan wanita dengan nodus pelvis yang positif

memiliki angka harapan hidup sebanyak 50%.  Pada kasus yang sudah berat, kemoterapi

mungkin meningkatkan harapan hidup.

Penatalaksanaan Kanker Serviks4

Penatalaksanaan utama yang paling utama adalah mencegah sel prekanker menjadi sel kanker.

Biasanya dilakukan beberapa tahapan yang melibatkan pengambilan sel atau jaringan untuk

mendiagnosis kanker dan mengetahui seberapa jauh invasinya. Jika sel yang paling dalam yang

diambil melalui biopsi dalam kondisi normal, tidak ada treatment lanjutan yang perlu dilakukan.

Jika sel terdalam merupakan sel kanker atau prekanker, berarti kanker telah menginvasi sejauh

itu. Pada kasus tersebut, treatment dimulai dengan membuang jaringan. Setelah jaringan

dibuang, perubahan diplastik perlu diperiksa untuk memastikan bahwa sel prekanker atau sel

kanker telah dibuang dari tubuh atau dihancurkan.

Perawatan di rumah

Tanpa perawatan medis, kanker akan terus tumbuh dan menyebar. Organ tubuh vital lainnya

dapat kehilangan fungsinya karena kanker mengambil oksigen dan nutrisi , mendesak, atau

menyebabkan jejas pada organ tersebut.  Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk

meringankan tekanan fisik dan mental akibat kanker.

Salah satu hal terpenting adalah menjaga nutrisi supaya tetap adekuat. Selama menjalani terapi,

pasien biasanya akan kehilangan nafsu makan. Efek samping dari kemoterapi seperti mual,

muntah, sakit di dalam mulut sehingga terjadi kesulitan makan. Namun,pasien yang

mengkonsumsi cukup kalori dan protein akan lebih mampu menjaga kekuatan dan energi selama

terapi. Juga, mereka bisa lebih mampu mentoleransi efek samping terapi.

Beberapa perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan untuk kekuatan tubuh di antaranya adalah

melakukan aktivitas fisik. Disarankan aktivitas sedang yang menyenangkan, tetapi tidak

menyebabkan kelelahan. Selain itu, istirahat juga sangat penting, terutama tidur pada tiap malam

atau istirahat sepanjang hari jika dibutuhkan. Merokok harus dihentikan, begitu juga dengan

alkohol.

Terapi medis

Terapi untuk lesi prekanker tergantung pada beberapa faktor, seperti derajat lesi, apakah ingin

memiliki anak di masa depan, usia, kesehatan secara umum, dan kecenderungan pasien untuk

memilih terapi yang cocok.

Page 89: tugas  aa

Pada lesi derajat rendah yang area abnormalnya sudah dibuang semua melalui biopsi, tidak

diperlukan terapi lanjutan. Namun, pap smear dan pemeriksaan pelvis rutin tetap perlu dilakukan

untuk memonitor. Jika lesi prekanker membutuhkan terapi, cryosurgery (pembekuan),

cauterization (pembakaran atau diatermi) atau pembedahan laser dapat digunakan untuk

menghancurkan area abnormal tanpa membahayakan jaringan yang sehat. Pembuangan jaringan

abnormal juga dapat dilakukan dengan LEEP atau conization. Terapi untuk lesi prekanker

mungkin menyebabkan kram atau nyeri lainnya, perdarahan atau keluarnya cairan vagina.

Pada beberapa kasus, biasanya dilakukan histeroktomi untuk lesi prekanker, terutama jika sel

abnormal ditemukan pada mulut serviks. Pembedahan ini dilakukan jika pasien tidak berencana

untuk memiliki anak setelah terapi.

Prosedur diagnostik, seperti LEEP dan cone biopsy, kadangkala dapat digunakan sebagai terapi

juga. Kedua prosedur tersebut mengambil beberapa jaringan serviks untuk evaluasi. Jika

diketahui terdapat sel abnormal tetapi tidak meluas sampai jaringan yang terpotong, hanya perlu

dilakukan follow up. Jika meragukan apakah semua lesi prekanker sudah terambil atau belum,

terapi lebih lanjut perlu dilakukan.

Cryocautery merupakan prosedur yang menggunakan peralatan yang didinginkan sampai suhu

di bawah 0 dengan cairan nitrogen. Peralatan tersebut nanti akan diaplikasikan pada permukaan

serviks. Sel-sel tersebut nanti akan membeku dan kemudian mati untuk digantikan dengan sel

serviks yang baru.

Jaringan juga bisa dibuang dengan ablasi dengan laser. Sinar laser dapat diaplikasikan pada area

spesifik jaringan serviks atau seluruh jaringan pada permukaan serviks. Laser akan

menghancurkan sel-sel tersebut. Kesuksesan cryocautery dan ablasi menggunakan laser

ditentukan dengan follow up dan pemeriksaan pap smear.

 

Terapi pada kanker invasif

Jika biopsi menunjukan bahwa sel kanker telah menginvasi membran basal, dibutuhkan

pembedahan. Luasnya pembedahan tersebut tergantung dengan derajat kanker. Terapi radiasi

menggunakan sinar energi tinggi untuk menghancurkan sel kanker dan menghentikan

pertumbuhannya. Sebagaimana pembedahan, terapi radiasi merupakan terapi lokal yang hanya

melibatkan sel-sel kanker pada area tersebut. Radiasi bisa dilakukan baik secara eksternal

maupun internal.

Page 90: tugas  aa

Kemoterapi merupakan pengobatan yang adekuat untuk membunuh sel kanker terutama

digunakan pada kanker yang sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Obat antikanker bisa

diberikan secara IV maupun oral dan bisa membunuh sel kanker pada aliran darah secara

sistemik. Kemoterapi diberikan sesuai dengan siklus yang berupa masa pengobatan secara

intensif diikuti masa masa instirahat. Terapi biasanya dilakukan selama beberapa siklus.

Beberapa obay yang digunakan pada kemoterapi di antaranya adalah carboplatin, cisplatin,

paclitaxel, fluorouracil, cyclophosphamide dan ifosfamide.5

Pembedahan

Pembedahan berguna untuk membuang jaringan kanker di dalam maupun di sekitar serviks. Jika

kanker hanya pada permukaan, pembuangan lesi mirip seperti pada lesi prekanker. Jika kanker

sudah menginvasi lapisan yang lebih dalam tetapi belum menyebar melebihi serviks, operasi

dilakukan untuk membuang tumor tetapi menyisakan uterus dan ovarium. Jika sudah sampai ke

uterus, perlu dilakukan histeroktomi. Histeroktomi juga seringkali dilakukan untuk mencegah

penyebaran kanker.

Histeroktomi merupakan pembedahan untuk membuang seluruh uterus termasuk serviks.

Seringkali ovarium dan tuba fallopi juga dibuang. Untuk mencegah penyebaran secara limfogen,

nodus limfe di dekat uterus juga dibuang.

Mengingat histeroktomi adalah pembedahan yang mayor, keputusan untuk melakukan

histeroktomi harus dibuat oleh wanita tersebut, pasangannya, serta penyedia layanan

kesehatannya. Beberapa wanita yang tidak berencana untuk memiliki anak di kemudian hari

mungkin memilih histeroktomi sebagai upaya pencegahan, tetapi ada pula mereka yang

berencana untuk memiliki anak dan berharap bisa mempertahankan organ reproduksinya

meskipun resikonya berat.

Wanita yang sudah diangkat uterusnya tidak lagi memiliki siklus menstruasi. Namun,

kemampuan untuk bersenggama biasanya tidak terpengaruh oleh operasi ini. Aktivitas seksual

dapat dilakukan setelah sekitar 4-8 minggu. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah

wanita dapat mengalami kesulitan secara emosional terutama karena ketidakmampuan untuk

menghasilkan anak. Pada kondisi ini, dukungan dari pasangan sangat penting diberikan.4

 

Daftar Pustaka1                   Haffner LJ, Schust DJ. At a Glance Sistem Reproduksi: Kanker Serviks. 2nded.

Jakarta:Erlangga; 2008. P.94-5.

Page 91: tugas  aa

2                   Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Female Genital System

and Breast. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. P. 717-20.3                   Brooks GF, dkk. Mikrobiologi Kedokteran: Virus Kanker Manusia. Jakarta: EGC; 2004.

P. 610-2.4                   Ware CJ. Cervical Cancer. Diunduh

darihttp://www.emedicinehealth.com/cervical_cancer/page8_em.htm. Diakses 21 November

2011.

TUMOR ADNEKSA (KISTA OVARIUM)

Definisi

Kista ovarium adalah tumor kistik pada ovarium (asal dan jenis bermacam-macam).

Dapat menyebabkan nyeri perut akut karena terpuntir atau ruptur, terutama pada kehamilan

trimester pertama.

Page 92: tugas  aa

Diagnosis

Nyeri perut

Teraba massa pada pemeriksaan dalam

Diagnosis ditegakkan dengan USG

Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

Pasien dengan kecurigaan tumor adneksa harus dirujuk ke rumah sakit.

b. Tatalaksana Khusus

Dalam kehamilan, neoplasma ovarium yang berukuran lebih besar dari telur angsa harus

dikeluarkan.

Bila tumor diketahui ganas atau disertai gejala akut, pasien harus dirujuk segera untuk

pengangkatan tumor (tanpa menghiraukan usia kehamilan).

Bila tumor menghalangi jalan lahir, lakukan seksio sesarea sekaligus pengangkatan tumor.

Bila tumor yang tidak ganas diketahui pada usia kehamilan muda, pengangkatan tumor

sebaiknya ditunda sampai kehamilan usia 16 minggu. Pengangkatan sebaiknya dilakukan di usia

kehamilan antara 16-20 minggu. Bila pengangkatan terpaksa dilakukan sebelum 16

minggu, setelah dilakukan pengangkatan, berikan suntikan progestin sampai usia kehamilan

melewati 16 minggu.

Bila tumor diketahui pada usia kehamilan tua dan tidak menyebabkan penyulit obstetri atau tidak

mencurigakan akan mengganas, maka kehamilan dapat dibiarkan sampai berlangsung partus

spontan. Pengangkatan dilakukan di masa nifas.

Kista ovarium dapat terpuntir:

Biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan

Berupa masa nyeri tekan pada abdomen bawah

Sering asimptomatik

Page 93: tugas  aa

Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

Segera rujuk ibu ke rumah sakit.

b. Tatalaksana Khusus

Pada kista ovarium terpuntir disertai nyeri perut dilakukan laparotomi.

Pada kista ovarium asimptomatik:

o Bila kista berukuran > 10 cm, dilakukan laparatomi pada trimester kedua kehamilan.

o Bila kista berukuran < 5 cm, tidak perlu dioperasi.

o Bila kista berukuran 5 – 10 cm, lakukan observasi: jika menetap atau membesar, lakukan

laparotomi pada trimester kedua kehamilan.

Jika dicurigai keganasan, pasien dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap.

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIABPH

Page 94: tugas  aa

DEFINISIBenign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas4. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun2.

ETIOLOGIBPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya4:1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

PATOLOGIPerubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum4.Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa.Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan.Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil.

PATOFISIOLOGIBPH adalah perbesaran kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi dengan pertambahan umur. Perubahan yang terjadi berjalan lambat dan perbesaran ini bersifat lunak dan tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial ataupun komplit3.

GEJALA DAN TANDAGejala KlinisGejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, gejala iritatif, terdiri

Page 95: tugas  aa

dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow4.

Tanda KlinisTanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal4.

DIAGNOSISDiagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat.

PENATALAKSANAANPenatalaksanaan BPH berupa4 :Watchful WaitingWatchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.Terapi MedikamentosaPilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).Terapi Bedah KonvensionalOpen simple prostatectomyIndikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100g, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.Terapi Invasif Minimal1. Transurethral resection of the prostate (TUR-P)Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter.2. Transurethral incision of the prostate (TUIP)Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat kecil.Terapi laserTekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy.

Page 96: tugas  aa

F. Terapi alat1. Microwave hyperthermiaMemanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.2. Trans urethral needle ablation (TUNA)Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.3. High intensity focused ultrasound (HIFU)Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus.4. Intraurethral stentAdalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan lumen uretra tetap terbuka.5. Transurethral baloon dilatationDilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung kemih.

PROGNOSISPrognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

PENCEGAHANKini, sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.

Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya adalah :1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi kanker prostat.2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke susunan syaraf pusat.5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.

Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:

Page 97: tugas  aa

1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut), vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari4. Berolahraga secara rutin5. Pertahankan berat badan ideal

DAFTAR PUSTAKA1. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC2. Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC

HERNIA INKARSERATA

 

Hernia inkarserata timbul karena usus yang masuk ke dalam kantung hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga timbul gejala obstruksi dan strangulasi usus.

Page 98: tugas  aa

Diagnosis

Bengkak yang menetap pada wilayah inguinal atau umbilikus disertai tanda peradangan (merah, nyeri, panas, sembab).

Terdapat tanda obstruksi usus (muntah hijau dan perut kembung, tidakbisa defekasi).

Tatalaksana

Rujuk kepada dokter bedah untuk operasi darurat Puasakan Beri cairan intravena Pasang NGT jika pasien muntah atau mengalami distensi abdomen Beri antibiotik jika dicurigai

terjadi kerusakan usus: berikan ampisilin (25–50 mg/kgBB IV/IM empat kali sehari), gentamisin (7.5 mg/kgBB IV/IM sekali sehari) dan metronidazol (7.5 mg/kgBB/dosis tiga kali sehari).

Kurangi tekanan intra-abdomen dengan mencegah bayi menangis dengan memberi obat penenang.SEGERA PERIKSA ULANG oleh dokter ahli bedah anak yang berpengalaman.

GIZI BURUK

DIAGNOSIS

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:

Page 99: tugas  aa

BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus) Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >-3SD atau

marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihatjelas, dengan atau tanpa adanya edema (lihat gambar).

Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.

TATALAKSANA PERAWATAN

Pada saat masuk rumah sakit:

anak dipisahkan dari pasien infeksi ditempatkan di ruangan yang hangat (25–30°C, bebas dari angin) dipantau secara rutin memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan.

Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:

Fasilitas dan staf yang profesional (Tim Asuhan Gizi) Timbangan badan yang akurat Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar

Page 100: tugas  aa

Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama perawatan dapat dievaluasi

Keterlibatan orang tua.

TATALAKSANA UMUM

Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada anak dengan gizi buruk, lihatbab 1.

Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata kloramfenikol/ tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang telah dibasahi dengan larutan garam normal, dan balutlah. Jangan beri obat mata yang mengandung steroid.

Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera (lihat bagian 7.5.2)

Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.

7.4.1. Hipoglikemia7.4.2. Hipotermia7.4.3. Dehidrasi7.4.4. Gangguan keseimbangan elektrolit7.4.5. Infeksi7.4.6. Defisiensi zat gizi mikro7.4.7. Pemberian makan awal (initial feeding)7.4.8. Tumbuh kejar7.4.9. Stimulasi sensorik dan emosional7.4.10. Malnutrisi pada bayi <6 bulan

Page 101: tugas  aa

ABORTUS

Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar

kandungan. WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilankurang dari 22 minggu, namun

Page 102: tugas  aa

beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 mingguatau berat janin

kurang dari 500 gram.

Diagnosis

Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah banyak

Perut nyeri dan kaku

Pengeluaran sebagian produk konsepsi

Serviks dapat tertutup maupun terbuka

Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

Diagnosis ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan ultrasonografi.

Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi abortus mencakup beberapa faktor, antara lain:

Faktor dari janin (fetal),yang terdiri dari: kelainan genetik (kromosom)

Faktor dari ibu (maternal), yang terdiri dari: infeksi, kelainan hormonal seperti

hipotiroidisme, diabetes mellitus, malnutrisi, penggunaan obatobatan, merokok, konsumsi

alkohol, faktor immunologis dan defek anatomis seperti uterus didelfis,inkompetensia

serviks (penipisan dan pembukaan serviks sebelum waktu in partu, umumnya pada

trimester kedua) dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman.

Faktor dari ayah (paternal): kelainan sperma

Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda vital

(nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).

Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg). Jika

terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok (lihat bab 3.2). Jika tidak terlihat tanda-tanda

syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai

kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.

Page 103: tugas  aa

Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan kombinasi

antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:

o Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam

o Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam

o Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

Segera rujuk ibu ke rumah sakit .

Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling

kontrasepsi pasca keguguran.

Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.

Page 104: tugas  aa

b. Tatalaksana KhususABORTUS IMINENS

Pertahankan kehamilan.

Tidak perlu pengobatan khusus.

Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual.

Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal

termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan

penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.

Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya

penyebab lain.

ABORTUS INSIPIENS

Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama

tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai kontrasepsi pascakeguguran.

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu:lakukan evakuasi isi uterus  (lihat lampiran

A.3). Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:

o Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)

o Rencanakan evakuasi segera.

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:

Page 105: tugas  aa

o Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi

dari dalam uterus (lihat lampiran A.3).

o Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat

dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi

Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik,

pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan

patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi

urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil

pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

ABORTUS INKOMPLIT

Lakukan konseling.

Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16

minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat

dari serviks.

Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi

isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan (lihat lampiran

A.3). Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia (lihat lampiran

A.4).Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat

diulang 15 menit kemudian bila perlu).

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl

0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran

hasil konsepsi.

Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu

baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan

patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi

urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil

pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

Page 106: tugas  aa

Waspadalah bila tidak ditemukan adanya jaringan hasil konsepsi pada sampel kuretase!

Lakukan evaluasi ulang atau rujuk untuk memeriksa kemungkinan adanya kehamilan

ektopik.

ABORTUS KOMPLIT

Tidak diperlukan evakuasi lagi.

Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan kontrasepsi

pasca keguguran.

Observasi keadaan ibu.

Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2

minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.

Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.

MISSED ABORTION

Lakukan konseling.

Jika usia kehamilan <12 minggu: evakuasi dengan AVM atau sendok kuret.

Jika usia kehamilan >12 minggu namun <16 minggu: pastikan serviks terbuka, bila

perlu lakukan pematangan serviks sebelum dilakukan dilatasi dan kuretase. Lakukan

evakuasi dengan tang abortus dan sendok kuret.

Jika usia kehamilan 16-22 minggu: lakukan pematangan serviks. Lakukan evakuasi

dengan infus oksitosin 20 unitdalam 500 ml NaCl 0,9%/Ringer laktat dengan kecepatan 40

tetes/menit hingga terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Bila dalam 24 jam evakuasi tidak terjadi,

evaluasi kembali sebelum merencanakan evakuasi lebih lanjut.

Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu

baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.

Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan

patologi ke laboratorium.

Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi

urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil

pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.

Page 107: tugas  aa

Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) Pasca Keguguran

Kesuburan dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran. Untuk mencegah kehamilan,

AKDR umumnya dapat dipasang secara aman setelah aborsi spontan atau diinduksi.

Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca keguguran antara lain infeksi pelvik, abortus septik,

atau komplikasi serius lain dari abortus. Teknik pemasangan AKDR masa interval digunakan

untuk abortus trimester pertama. Jika abortus terjadi di atas usia kehamilan 16 minggu,

pemasangan AKDR harus dilakukan oleh tenaga yang mendapat pelatihan khusus.

Keterangan lainnya

Aspirasi Vakum Manual (AVM)

Aspirasi VakumManual (AVM) merupakansalah satu cara efektif evakuasi sisa

konsepsi pada abortus inkomplit. Evakuasi dilakukan dengan mengisap sisa konsepsi dari kavum

uteri dengan tekanan negatif (vakum) sebesar 1 atm atau 660 mmHg.

Persiapan untuk prosedur AVM

Perlengkapan

Instrumen yang disiapkan antara lain:

Tabung dengan volume 60 mL

Pengatur katup (1 atau 2 buah)

Toraks dan tangkai penarik/pendorong

Penahan toraks (collar stop) di pangkal tabung

Silikon pelumas cincin karet

Kanula steril dengan 2 lobang di ujungnya. Kanula terdapat dalam ukuran kecil (4,5, dan 6

mm) dan besar (6, 7, 8, 9, 10 dan 12 mm)

Persiapan

Upaya pencegahan infeksi : cuci tangan dengan sabun atau air mengalir (sebelum dan

setelah prosedur), gunakan peralatan steril atau DTT, usap vagina dan serviks dengan

antiseptik serta gunakan teknik tanpa sentuh.

Periksa fungsi isap (tekanan negatif) tabung AVM

Pastikan kesiapan tindakan gawatdarurat

Buat tekanan negatif (vakum) di dalam tabung AVM

Page 108: tugas  aa

Langkah-langkah

Masukkan spekulum secara halus, perhatikan serviks, apakah ditemui robekan atau jaringan

yang terjepit di ostium. Apabila terdapat jaringan atau bekuan darah di vagina atau serviks,

keluarkan dengan klem  ovum. Bila tampak benang AKDR, bersihkan dulu serviks dengan

kapas yang telah dibasahi larutan antiseptik, baru tarik benangnya untuk mengeluarkan

AKDR.

Bersihkan serviks, usapkan larutan antiseptik

Lakukan blok paraservikal (bila diperlukan)

Pegang bibir atas serviks (dengan tenakulum atau klem ovum), tegangkan lalu ukur bukaan

ostium serviks dengan kanula.

Setelah diperoleh ukuran yang sesuai, dengan hati-hati, masukkan (rotasikan dan dorong)

kanula ke dalam kavum uteri

Sambil memasukkan ujung kanula hingga fundus uteri, perhatikan titik-titik pada alat yang

sama dengan lobang kannula. Titik dekat ujung kannula menunjukkan ukuran 6 cm dan

setiap titik berikutnya menunjukkan tambahan 1 cm. Dengan memperhatikan skala pada

titiktitik tersebut dapat dilakukan pendugaan yang akurat tentang kedalaman dan besar

kavum uteri. Setelah pengukuran selesai, tarik sedikit ujung kannula dari fundus uteri.

Hubungkan pangkal kannula (dipegang sambil memegang tenakulum) dengan tabung AVM

(melalui adaptor)

Buka pengatur katup untuk menjalankan tekanan negatif (vakum) ke dalam kavum uteri.

Bila tekanan tersebut bekerja, tampak cairan darah dan busa memasuki tabung AVM.

Evakuasi sisa konsepsi dengan menggerakkan kannula maju-mundur sambil dirotasikan ke

kanan-kiri secara sistematik. Gerakan rotasi tersebut jangan melebihi

180<sup>0</sup> pada satu sisi (depan atau belakang) Penting untuk menjaga agar kannula

tidak tertarik keluar dari ostium (kavum) uteri karena akan menghilangkan tekanan negatif

(vakum) dalam tabung. Hal yang sama juga terjadi apabila tabung AVM penuh.

Apabila tekanan tersebut hilang, maka lepaskan sambungan kannula dan tabung, kemudian

keluarkan isi tabung. Siapkan kembali tekanan negatif dengan jalan menutup kembali

pengatur katup, tarik tangkai pendorong hingga ganjal terkait pada pangkal tabung.

Perhatikan

Jangan memegang tabung pada tangkai pendorong karena dapat melepaskan kait

atau ganjal sehingga tekanan negatifnya hilang. Hal demikian tidak boleh terjadi

Page 109: tugas  aa

pada keadaan kannula sudah dihubungkan dengan tabung karena akan mendorong

udara (atau isi tabung) ke dalam kavum uteri

Periksa kebersihan kavum uteri atau kelengkapan hasil evakuasi. Kavum uteri diduga

cukup bersih jika dilihat dari temuan berikut:

Busa-busa merah (merah jambu) atau tidak terlihat lagi massa kehamilan terhisap ke dalam

tabung AVM

Mulut kannula melewati bagian-bagian bersabut/kasar (gritty sensation) pada saat

digerakkan melalui dinding kavum uteri

Uterus berkontraksi atau seperti memegang bambu

Keluarkan kannula, lepaskan sambungannya dengan tabung AVM dan masukkan ke dalam

wadah yang berisi larutan dekontaminasi. Buka pengatur katup, keluarkan isis tabung AVM

(dengan menekan pendorong toraks) ke dalam wadah khusus.

Periksa jaringan hasil evakuasi, antara lain:

o Jumlah dan adanya massa kehamilan

o Memastikan kebersihan evakuasi

o Adanya kelainan-kelainan di luar massa kehamilan (misalnya gelembung mola)

Setelah dipastikan kavum uteri bersih dari sisa konsepsi, lepaskan tenakulum dan

spekulum. Lakukan dekontaminasi pada peralatan bekas pakai

Sementara masih menggunakan sarung tangan, kumpulkan bahan habis pakai (kapas, kasa

dsb) ke dalam tempat sampah yang telah disediakan. Amankan benda tajam pada tempat

yang sesuai. Buang massa/jaringan atau hasil evakuasi ke dalam saluran pembuangan

khusus.

Masukkan kedua sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, bersihkan cemaran kemudian

lepaskan sarung tangan secara terbalik ke dalam wadah dekontaminasi.

Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir hingga bersih

Page 110: tugas  aa

KATARAK 

Definisi

Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies, Inggris cataract dan Latin cataracta yang berarti air terjun1. Dalam bahasa indonesia disebut bular, dimana penglihatan seperti tertutup air tejun. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama. Katarak yang terjadi akibat proses penuaan dan bertambahnya umur disebut katarak senilis.1,2. Katarak senilis adalah kekeruhan lensa baik di korteks, nuklearis tanpa diketahui penyebabnya dengan jelas, dan muncul mulai usia 40 tahun. Beberapa penelitian mengatakan, bahwa katarak senilis dipercepat oleh beberapa faktor antara lain: penyakit diabetes melitus, hipertensi dengan sistole naik 20 mmHg, paparan sinar ultra violet B dengan panjang gelombang antara 280-315 µm lebih dari 12 jam, indeks masa badan lebih dari 27, asap rokok lebih dari 10 batang/hari baik perokok aktif maupun pasif.9,10,11

Epidemiologi

Katarak senilis terjadi pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Insidensi katarak di dunia mencapai 5-10 juta kasus baru tiap tahunnya. Di Afrika katarak senile merupakan penyebab utama kebutaan. Katarak senilis sangat sering ditemukan pada manusia, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dapat dipastikan timbulnya dengan bertambahnya usia penderita. Horlacher mendapatkan bahwa 65% dari seluruh individu antara usia 51-60 tahun menderita katarak, sedangkan Barth menemukan bahwa 96% dari individu di atas usia 60 tahun mempunyai kekeruhan lensa yang dapat terlihat jelas pada pemeriksaan dengan slit lamp.12Di negara berkembang katarak merupakan 50-70% dari seluruh penyebab kebutaan, selain kasusnya banyak dan munculnya lebih awal. Di Indonesia tahun 1991 didapatkan prevalensi kebutaan 1,2% dengan kebutaan katarak sebesar 0,67%, dan tahun 1996 angka kebutaan meningkat 1,47%.3,4

Etiologi dan Patofisiologi

Kekeruhan pada lensa dapat disebkan oleh kelainan kongenital mata (kelainan genetik, infeksi virus,dll), trauma, penyakit mata (glaukoma, uveitis,dll), proses usia atau degenerasi lensa, kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat-obatan steroid, dll.1 Kerusakan oksidatif oleh paparan sinar ultraviolet, rokok, alkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. 11Penyebab katarak senil sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa konsep penuaan yang mengarah pada proses terbentuknya katarak senil: Jaringan embrio manusia dapat membelah 50 kali kemudian akan mati. Teori cross-link yang menjelaskan terjadinya pengikatan bersilang asam nukleat dan molekul protein sehingga mengganggu fungsi. Imunologis; dengan bertambahnya usia menyebabkan bertambahnya cacat imunologis sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Teori mutasi spontan dan teori radikal bebas.1

Page 111: tugas  aa

Pada dasarnya, semua sinar yang masuk ke mata harus terlebih dahulu melewati lensa. Karena itu setiap bagian lensa yang menghalangi, membelokkan atau menyebarkan sinar bisa menyebabkan gangguan penglihatan. Pada katarak terjadi kekeruhan pada lensa, sehingga sinar yang masuk tidak terfokuskan pada retina, maka bayangan benda yang dilihat akan tampak kabur.1,2

Gambaran Klinis

Seorang penderita katarak mungkin tidak menyadari telah mengalami gangguan katarak. Katarak terjadi secara perlahan-perlahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur. karena umumnya katarak tumbuh sangat lambat dan tidak mempengaruhi daya penglihatan sejak awal. Daya penglihatan baru terpengaruh setelah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun. Karena itu, pasien katarak biasanya menyadari penyakitnya setelah memasuki stadium kritis.Gejala umum gangguan katarak meliputi : • Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek. • Peka terhadap sinar atau cahaya. • Dapat melihat ganda pada satu mata. • Kesulitan untuk dapat membaca. • Lensa mata berubah menjadi buram. 

Klasifikasi

Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan dalam:1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahunBerdasarkan letaknya dikenal ada 3 bentuk katarak senilis, yaitu : katarak nuklear, kortikal dan subkapsularis posterior.6

1. Katarak Nuklear

Katarak yang lokasinya terletak pada bagian tengah lensa atau nukleus. Nukleus cenderung menjadi gelap dan keras (sklerosis), berubah dari jernih menjadi kuning sampai coklat. Biasanya mulai timbul sekitar usia 60-70 tahun dan progresivitasnya lambat. Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak terjadi. Pandangan jauh lebih dipengaruhi daripada pandangan dekat (pandangan baca), bahkan pandangan baca dapat menjadi lebih baik, suli menyetir pada malam hari . Penderita juga mengalami kesulitan membedakan warna, terutama warna biru dan ungu. 

2. Katarak Kortikal

Katarak menyerang lapisan yang mengelilingi nukleus atau korteks. Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat. Terdapat wedge-shape opacities/cortical spokes atau gambaran seperti ruji. Banyak pada penderita DM. Keluhan yang biasa terjadi yaitu

Page 112: tugas  aa

penglihatan jauh dan dekat terganggu, penglihatan merasa silau

3. Katarak Subkapsularis Posterior atau kupuliformis

Bentuk ini terletak pada bagian belakang dari kapsul lensa. Katarak subkapsularis posterior lebih sering pada kelompok usia lebih muda daripada katarak kortikal dan katarak nuklear. Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya cepat. Bentuk ini lebih sering menyerang orang dengan diabetes, obesitas atau pemakaian steroid jangka panjang. Katarak ini menyebabkan kesulitan membaca, silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang.

Berdasarkan stadium perjalanan penyakitnya, katarak senilis digolongkan menjadi 4 stadium: Katarak insipien, katarak imatur, katarak matur,dan katarak hipermatur.1,2,

1. Katarak Insipien

Pada stadium ini kekeruhan lensa tidak teratur, tampak seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dangan dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan biasanya terletak di korteks anterior dan posterior. Kekeruhan ini pada awalnya hanya nampak jika pupil dilebarkan.Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia yang disebabkan oleh indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap untuk waktu yang lama. 1,2

2. Katarak Imatur

Pada katarak imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal, tetapi belum mengenai seluruh lapisan lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Terjadi penambahan volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif. Pada keadaan lensa yang mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, mendorong iris ke depan, mengakibatkan bilik mata dangkal sehingga terjadi glaukoma sekunder. Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau shadow test, maka akan terlihat bayangan iris pada lensa, sehingga hasil uji shadow test (+).1,2

3. Stadium Intumesen

Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif menyerap air. Masuknya air ke dalam lensa menyebabkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibandingkan dalam keadaan normal. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan menyebabkan miopia lentikular.

4. Katarak Matur

Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi yang berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegrasi melalui kapsul, sehingga lensa kembali ke ukuran normal. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif. 1,2

Page 113: tugas  aa

5. Katarak Hipermatur

Merupakan proses degenerasi lanjut lensa, sehingga masa lensa yang mengalami degenerasi akan mencair dan keluar melalui kapsul lensa. Lensa menjadi mengecil dan berwarna kuning. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai kapsul yang tebal, maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan sekantong susu dengan nukleus yang terbenam di korteks lensa. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni. Uji bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif. Cairan / protein lensa yang keluar dari lensa tersebut menimbulkan reaksi inflamasi dalam bola mata karena di anggap sebagai benda asing. Akibatnya dapat timbul komplikasi uveitis dan glaukoma karena aliran melalui COA kembali terhambat akibat terdapatnya sel-sel radang dan cairan / protein lensa itu sendiri yang menghalangi aliran cairan bola mata. 1,2

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk katarak senilis dapat berupa katarak diabetik, katarak komplikata dan katarak traumatik. 

a. Katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes mellitus. Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan sistemik, seperti salah satunya pada penyakit diabetes mellitus. Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam 3 bentuk:- Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata, pada lensa akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila tejadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali. - Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, dimana terjadi katarak serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau bentuk piring subkapsular.- Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara histopatologi dan biokimia sama dengan katarak pasien nondiabetik. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keaaan hiperglikemia terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. 1Pada mata terlihat peningkatkan insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes. Jarang ditemukan “true diabetic” katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Diperlukan pemeriksaan tes urine dan pengukuran darah gula puasa. Galaktosemia pada bayi akan memperlihatkan kekeruhan anterior dan subkapsular posterior. Bila dilakukan tes galaktosa akan terlihat meningkat di dalam darah dan urin.

b. Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang, dan proses degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaucoma, tumor intraocular, iskemia ocular, nekrosis anterior segmen, buftalmos,akibat suatu trauma dan pasca bedah mata.

Katarak komplikata dapat juga disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin(diabetes melitus, hipoparatiroid,galaktosemia,dan miotonia distrofi) dan keracunan obat ( tiotepa intravena, steroid local lama, steroid sistemik, oral kontraseptik dan miotika antikolinesterase ). Katarak komplikata memberikan tanda khusus dimana mulai katarak selamanya didaerah bawah kapsul atau pada lapis korteks, kekeruhan dapay difus, pungtata, linear, rosete, reticulum dan biasanya

Page 114: tugas  aa

terlihat vakuol. 

Dikenal 2 bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior mata dan akibat kelainan pada polus anterior bola mata. Katarak pada polus posterior terjadi akibat penyakit koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi retina, kontusio retina dan myopia tinggi yang mengakibatkan kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial dan tidak berjalan cepat didalam nucleus, sehingga sering terlihat nucleus lensa tetap jernih. Katarak akibat miopia tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan. Katarak akibat kelainan polus anterior bola mata biasanya diakibatkan oleh kelainan kornea berat, iridoksiklitis, kelainan neoplasma dan glaukoma. Pada iridoksiklitis akan mengakibatkan katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaucoma akan terlihat katarak disiminata pungtata subkapsular anterior (katarak Vogt). Katarak komplikata akibat hipokalsemia berkaitan dengan tetani infantile, hipoparatiroidisma. Pada lensa terlihat kekeruhan titik subkapsular yang sewaktu – waktu menjadi katarak lamellar. Pada pemeriksaan darah terlihat kadar kalsium turun. 

c. Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Sebagian besar katarak traumatik dapat dicegah.

Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing, karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang korpus vitreum masuk dalam struktur lensa. Pasien mengeluh penglihatan kabur secara mendadak. Mata jadi merah, lensa opak, dan mungkin disertai terjadinya perdarahan intraokular. Apabila humor aqueus atau korpus vitreum keluar dari mata, mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis, ablasio retina dan glaukoma.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada katarak adalah tindakan pembedahan. Pengobatan yang diberikan biasanya hanya memperlambat proses, tetapi tidak menghentikan proses degenerasi lensa. Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk menghambat proses katarak adalah vitamin dosis tinggi, kalsium sistein, iodium tetes. 

Tindakan pembedahan dilakukan dengan indikasi: 1. Indikasi optik : pasien mengeluh gangguan penglihatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari , dapat dilakukan operasi katarak.2. Indikasi medis : Kondisi katark harus dioperasi diantaranya katarak hipermatur, lensa yang menginduksi glaukoma, lensa yang menginduksi uveitis, dislokasi/subluksasi lensa, benda asing intraretikuler, retinopati diabetik, ablasio retina atau patologi segmen posterior lainnya.3. Indikasi kosmetik : Jika kehilangan penglihatan bersifat permanen karena kelainan retina atau saraf optik, tetapi leukokoria yang diakibatkan katarak tidak dapat diterima pasien, operasi dapat dilkukan meskipun tidak dapat mengembalikan penglihatan.

Pembedahan katarak dapat dilakukan dengan beberapa cara:1,12

a. EKIK (Ekstraksi Katarak Intrakapsular)

Ekstraksi katarak intrakapsular, yaitu mengeluarkan lensa bersama dengan kapsul lensa.. ICCE

Page 115: tugas  aa

masih sangat bermanfaat pada kasus-kasus yang tidak stabil, katarak intumesen, hipermatur dan katarak luksasi. ICCE juga masih lebih dipilih pada kasus dimana zonula zini tidak cukup kuat sehingga tidak memungkinkan menggunakan ECCE. Kontraindikasi absolut ICCE adalah katarak pada anak-anak dan dewasa muda dan ruptur kapsul akibat trauma. Kontraindikasi relatif adalah miopia tinggi, sindrom Marfan dan katarak morgagni. Keuntungan pembedahan ICCE ini adalah: tidak akan terjadi katarak sekunder, karena lensa seluruhnya sudah diangkat. Kerugian ICCE dibanding ECCE sangat signifikan. Insisi ICCE yang lebih luas yaitu 160-180o (12-14 mm), berhubungan dengan beberapa resiko, seperti: penyembuhan yang lama, cenderung menimbulkan astigmatisme, kebocoran luka pos operasi, inkarserasi iris dan vitreus. Komplikasi selama operasi dapat terjadi trauma pada endotel kornea. Komplikasi pasca operaasi adalah cystoid macular edema (CME), edema kornea, vitreus prolaps dan endoftalmitis. 1,12

b. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK)

Ekstraksi katarak ekstrakapsular, yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nukleus) melalui kapsul anterior yang dirobek (kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior. Operasi katarak ini adalah merupakan tehnik operasi untuk katarak Imatur/matur yang nukleus atau intinya keras sehingga tidak memungkinkan dioperasi dengan tehnik fakoemulsifikasi. Insisi kornea lebih kecil daripada ICCE (kira-kira 5-6mm) sehingga proses penyembuhan lebih cepat sekitar seminggu. Karena kapsul posterior yang utuh, sehingga dapat dilakukan penanaman lensa intraokular (IOL). Mengurangi resiko CME dan edema kornea. Kerugiannya berupa membutuhkan alat yang lebih sukar dibandingkan ICCE. Penyulit pada teknik ini berupa adanya ruptur kapsul posterior, prolaps badan kaca, hifema, peningkatan tekanan intraokular, endofthalmitis, katarak sekunder. 1,12

c. Fakoemulsifikasi

Ekstraksi lensa dengan fakoemulsifikasi, yaitu teknik operasi katarak modern menggunakan gel, suara berfrekuensi tinggi, dengan sayatan 3 mm pada sisi kornea. Fakoemulsifikasi adalah tehnik operasi katarak terkini. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3 mm) di kornea. Getaran ultrasonik akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin phaco akan menyedot massa katarak yang telah hancur tersebut sampai bersih. Sebuah lensa Intra Ocular (IOL) yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Untuk lensa lipat (foldable lens) membutuhkan insisi sekitar 2.8 mm, sedangkan untuk lensa tidak lipat insisi sekitar 6 mm. Karena insisi yang kecil untuk foldable lens, maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan dengan cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari.1,12

Indikasi teknik fakoemulsifikasi berupa calon terbaik pasien muda dibawah 40-50 tahun, tidak mempunyai penyakit endotel, bilik mata dalam, pupil dapat dilebarkan hingga 7 mm. Kontraindikasinya berupa tidak terdapat hal – hal salah satu diatas, luksasi atau subluksasi lensa. Prosedurnya dengan getaran yang terkendali sehingga insiden prolaps menurun. Insisi yang dilakukan kecil sehingga insiden terjadinya astigmat berkurang dan edema dapat terlokalisasi, rehabilitasi pasca bedahnya cepat, waktu operasi yang relatif labih cepat, mudah dilakukan pada katarak hipermatur. Tekanan intraokuler yang terkontrol sehingga prolaps iris, perdarahan ekspulsif jarang. Kerugiannya berupa dapat terjadinya katarak sekunder sama seperti pada teknik

Page 116: tugas  aa

EKEK, sukar dipelajari oleh pemula, alat yang mahal, pupil harus terus dipertahankan lebar, endotel ’loss’ yang besar. Penyulit berat saat melatih keterampilan berupa trauma kornea, trauma iris, dislokasi lensa kebelakang, prolaps badan kaca. Penyulit pasca bedah berupa edema kornea, katarak sekunder, sinekia posterior, ablasio retina.

Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang sekali terjadi infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan yang serius. Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan, selama beberapa minggu setelah pembedahan diberikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan pelindung mata sampai luka pembedahan sembuh.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada katarak tergantung stadiumnya. Pada stadium imatur dapat terjadi glaukoma sekunder akibat lensa yang mencembung, sehinnga mendorong iris dan terjadi blokade aliran aqueus humor. Sedangkan pada stadium hipermatur dapat terjadi glaukoma sekunder akibat penymbatan kanal aliran aquous humor oleh masa lensa yang lisis, dan dapat juga terjadi uveitis fakotoksi.Komplikasi juga dapat diakibatkan pasca operasi katarak, seperti ablasio retina, astigmatisma, uveitis, endoftalmitis, glaukoma, perdarahan, dan lainnya. 1,2

DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007. Hlm 172-3, 199, 200-13. 2. Ilyas Sidarta; Taim Hilman; et al. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan Mahasiswa kedokteran, edisi kedua. Jakarta: Sagung seto, 2002. Hlm 143-55, 159-653. Javitt JC. Health Sector Priorities Review: Cataract. Suggeted citation: Jamiston DT, & Mosley WH (ed), Disease Control Priorities in Developing Countries. New York : August, 1991.4. Inovatif Kebutaan Departemen Kesehatan. Pengembangan Fungsi RS Mata Cicendo Sebagai Rujukan Nasional. IGP. RS. Mata Cicendo Bandung, 1996. 5. Daniel. Suspensi Oftalmik untuk Katarak Senilis. Artikel dalam Majalah Farmasia. Edisi Juni 2008. Vol.7 No.11. dapat diakses elalui:http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp6. Schlote T. Pocket Atlas of Ophthalmology.Stuttgart New-York: 2006.p 126-337. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council. Support for vision research, 1976; 20-22. 8. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye health worldwide, issue no 7 19919. Glynn RJ, Christen W, Manson JE, Bernheimer J, Hennekens CH. Body Mass Index. An Independent Predictor of Cataract. Arch Ophthalmol 1995; 113 : 1131-7. 10. Hiller R, Sperduto RD, Ederer F. Epidemiologic Associations With Cataract in The 1971-1972 National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Epidemiol 1983; 118 : 239-49. 11. Sheila W, Beatrize M, Oliver DS, Susan V, Maureen M, Hugh RT, Neil RT. Cigarette

Page 117: tugas  aa

smoking ang Risk for Progression of Neclear Opacities. Arch Ophthalmol 1995.12. Azhar Z, Akmam SM. Katarak dan Perkembangan Operasinya. Cermin Dunia Kedokteran No. 21, 1981. Hal 26-713. Vaugan daniel, Taylor asbury, Paul riordan-eva; Alih bahasa Jan Tamboyang, Braham U Pendit; Editor, Y. Joko suyono. Oftalmologi Umum. Ed 14. Jakarta: Widya Medika.2000.hal 175-8314. Wong tien YN, ” Uvetis Systemic and Tumots” , The Opthlmolgy Examinations Review, Wrld Scientific, Singapura:2001. P321-32315. Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLA-B27, Lancet 1973; 2: 41-5.

Page 118: tugas  aa

HEPATITIS

(A, B, C, D, E)

Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis adalah penyakit berbahaya karena menyerang hati, yang merupakan organ penting dengan ratusan fungsi.

Ada lima virus penyebab hepatitis, yang diberi nama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Walaupun kelima virus tersebut dapat menghasilkan gejala yang mirip dan memiliki efek yang sama, masing-masing memiliki keunikan dalam cara penularan dan dampaknya terhadap kesehatan. Di Indonesia penderita penyakit Hepatitis umumnya cenderung lebih banyak mengalami golongan hepatitis B dan hepatitis C.

Berdasarkan waktu perlangsungan penyakit, hepatitis dibagi menjadi dua, yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Hepatitis akut mempengaruhi seseorang untuk waktu yang singkat (kurang dari 6 bulan) dan bisa sembuh dalam beberapa minggu tanpa efek berkelanjutan. Hepatitis kronis berlangsung lama (lebih dari 6 bulan), kadang-kadang berlangsung seumur hidup.

1.  Hepatitis A

Definisi

Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran/tinja penderita biasanya melalui makanan (fecal - oral), bukan melalui aktivitas seksual atau melalui darah. Hepatitis A paling ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan C) dan dapat sembuh secara spontan tanpa meninggalkan gejala sisa. Penyakit ini bersifat akut, hanya menimbulkan gejala sekitar 1 sampai 2 minggu.

Etiologi (Penyebab)

Virus Hepatitis A (HAV). Virus ini sangat mudah menular, terutama melalui makanan dan air yang terkontaminasi oleh tinja orang yang terinfeksi. Kebersihan yang buruk pada saat menyiapkan dan menyantap makanan memudahkan penularan virus ini. Karena itu, penyakit ini hanya berjangkit di masyarakat yang kesadaran kebersihannya rendah.

Page 119: tugas  aa

Manifestasi Klinis (Gejala)

Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak penularan terjadi, barulah kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda dan gejala terserang penyakit Hepatitis A, antara lain:

-       Demam, demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll

-       Ikterus (mata/kulit berwarna kuning, tinja berwarna pucat dan urin berwarna gelap)

-       Keletihan, mudah lelah, pusing

-       Nyeri perut, hilang selera makan, muntah-muntah

-       Dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), tetapi jarang menyebabkan kerusakan permanen

-       Atau dapat pula tidak merasakan gejala sama sekali

Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium:

     1.       Stadium pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan selera makan dan mual;

     2.       Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik);

     3.       Stadium kesembuhan (konvalesensi).

Diagnosis

-       Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah terhadap fungsi hati.

-       Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.

-       Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT, SGOT.

-       Tes serologi untuk mengetahui adanya immunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A digunakan untuk mendiagnosa hepatitis A akut.

Penatalaksanaan

Virus hepatitis A biasanya menghilang sendiri setelah beberapa minggu. Namun, untuk mempercepat proses penyembuhan, diperlukan penatalaksanaan sebagai berikut:

1.    Istirahat

Page 120: tugas  aa

Bed rest pada fase akut, untuk kembali bekerja perlu waktu berangsur-angsur.

2.    Diet

-       Makanan disesuaikan dengan selera penderita

-       Diberikan sedikit-sedikit

-       Dihindari makanan yang mengandung alkohol atau hepatotoksik

3.    Medikamentosa (simtomatik)

-       Analgetik – antipiretik, bila demam, sakit kepala atau pusing

-       Antiemesis, bila terjadi mual/muntah

-       Vitamin, untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan

Pencegahan

-       Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan teliti.

-       Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin hepatitis B (Twinrix). Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan booster yang dilakukan 6-12 bulan kemudian, sementara imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang yang potensial terinfeksi seperti penghuni asrama dan mereka yang sering jajan di luar rumah.

Prognosis

Perawatan yang legeartis prognosis baik.

2.  Hepatitis B

Definisi

Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Penyakit ini dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.

Page 121: tugas  aa

Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain penularan dari ibu ke bayi saat melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, maupun penggunaan alat kebersihan diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama.

Etiologi (Penyebab)

Virus Hepatitis B (VHB)

Manifestasi Klinis (Gejala)

-       Gejala hepatitis B akut: demam, sakit perut, mual, muntah dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera), hepatomegali.

-       Gejala hepatitis B kronik: cenderung tidak tampak tanda-tanda seperti pada hepatitis B akut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.

Diagnosis

-       Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan pemeriksaan fisik.

-       Diagnosis pasti hepatatitis B dapat diketahui melalui pemeriksaan: HBsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B)

Penatalaksanaan

Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan periksaan darah (HbsAg positif). Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka pengobatan untuk hepatitis B yaitu pengobatan oral dan injeksi.

a.    Obat Oral

-       Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.

-       Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.

-       Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.

Page 122: tugas  aa

b.    Injeksi/Suntikan

Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

Pencegahan

-       Tidak berganti-ganti pasangan sex

-       Penggunaan jarum suntik hanya untuk sekali pakai

-       Vaksin Hepatitis B, terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi terkena virus ini, seperti mereka yang berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti pasangan/homosexual), pekerja kesehatan (perawat dan dokter) dan mereka yang berada didaerah rentan banyak kasus Hepatitis B.

Prognosis

Hepatitis B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.

3.  Hepatitis C

Definisi

Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (VHC). Proses penularannya melalui kontak darah seperti transfusi, penggunaan jarum suntik tidak steril untuk menyuntikkan obat-obatan, pembuatan tato dan body piercing yang dilakukan dalam kondisi tidak higienis. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual.

Etiologi (Penyebab)

Virus Hepatitis C (VHC)

Manifestasi Klinis (Gejala)

Page 123: tugas  aa

-       Sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya.

-       Beberapa gejala yang samar diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan, penurunan berat badan, nyeri otot dan sendi, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi).

Diagnosis

Ada beberapa tes diagnostik untuk hepatitis C termasuk: HCV antibodi enzyme immunoassay atau ELISA, rekombinan uji imunoblot , dan kuantitatif HCV RNA polymerase chain reaction.

Penatalaksanaan

Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti: Interferon alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati.

Pencegahan

Saat ini belum ada vaksin hepatitis C. Oleh karena itu, tindakan pencegahan sangat diperlukan untuk menghindari penularan virus tersebut. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:

-       Penggunaan jarum suntik dan alat suntik sebelum digunakan harus steril dan sekali pakai (disposable).

-       Meskipun resiko penularan melalui hubungan seksual kecil, disarankan untuk menjalani kehidupan seks yang aman (tidak berganti-ganti pasangan). Penderita Hepatitis C yang memiliki lebih dari satu pasangan atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri (misalnya dengan kondom) untuk mencegah penyebaran Hepatitis C.  

-       Tidak berbagi alat seperti jarum, alat cukur, sikat gigi, dan gunting kuku, dimana dapat menjadi tempat potensial penyebaran virus Hepatitis C.

-       Bila melakukan manicure, tato dan tindik tubuh pastikan alat yang dipakai steril dan tempat usahanya resmi.

Prognosis

Page 124: tugas  aa

-       Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.

-       Sebanyak 85% dari kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis, sekitar 20% pasien penyakitnya berkembang sehingga menyebabkan sirosis hati atau kanker hati.

4.  Hepatitis D

Definisi

Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang memerlukan pertolongan virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang terinfeksi hepatitis B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling berbahaya dari semua virus hepatitis.

Pola penularan hepatitis D mirip dengan hepatitis B. Diperkirakan sekitar 15 juta orang di dunia yang terkena hepatitis B (HBsAg +) juga terinfeksi hepatitis D. Infeksi hepatitis D dapat terjadi bersamaan (koinfeksi) atau setelah seseorang terkena hepatitis B kronis (superinfeksi).

Etiologi (Penyebab)

Virus Hepatitis D (VHD). Menular melalui hubungan intim dengan penderita dan pada homoseksual. Menggunakan jarum dan obat-obatan secara bersamaan, bayi dari wanita penderita hepatitis D.

Manifestasi Klinis (Gejala)

-       Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau amat progresif (super-infeksi).

-       Biasanya muncul secara tiba-tiba gejala seperti flu, demam, penyakit kuning, urin berwarna hitam dan feses berwarna hitam kemerahan.

-       Pembengkakan pada hati.

Diagnosis

Page 125: tugas  aa

Hepatitis D harus dipertimbangkan pada individu dengan HBsAg positif atau yang memiliki riwayat pernah terinfeksi HBV (Hepatitis B). Antibodi anti-HDV dideteksi dengan radioimmunoassay (RIA) atau enzyme immunoassay (EIA).

Penatalaksanaan

Interferon-alfa dan transplantasi hati.

Pencegahan

-       Sama dengan pencegahan pada Hepatitis B

-       Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka otomatis kita akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.

Prognosis

-       Prognosis lebih baik pada pasien dengan gejala ko-infeksi. Sebagian besar pasien ko-infeksihanya mengalami fase akut, infeksi akan hilang dari dalam tubuh dalam waktu beberapa bulan.

-       Untuk pasien dengan super-infeksi, sebesar 60% – 70% kasus hepatitis D menjadi sirosis hepatis.

5.  Hepatitis E

Definisi

Hepatitis E adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis E (HEV).

Etiologi (Penyebab)

Virus Hepatitis E (VHE). Hepatitis E mirip dengan hepatitis A. Virus hepatitis E (HEV) ditularkan melalui kotoran manusia ke mulut dan menyebar melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Tingkat tertinggi infeksi hepatitis E terjadi di daerah bersanitasi buruk yang mendukung penularan virus.

Manifestasi Klinis (Gejala)

Page 126: tugas  aa

-       Biasanya muncul tiba-tiba. Umumnya tidak ada gejala pada anak-anak.

-       Pada orang dewasa, gejala mirip hepatitis A: demam, nyeri otot, lelah, hilang nafsu makan dan sakit perut.

-        

Diagnosis

Ditanyakan gejalanya bila ternyata ditemukan hepatitis virus maka akan dilakukan tes darah untuk memastikan diagnosis dan jenis virus. Bila terjadi hepatitis kronis, maka dianjurkan dilakukan biopsi.

Penatalaksanaan

Tidak ada. Biasanya akan sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau bulan.

Pencegahan

Selalu cuci tangan dengan sabun dan air. Cuci buah dan sayuran sebelum dimakan mentah. Selalu gunakan air bersih.

Prognosis

Prognosis baik. Penyakit Hepatitis E akan sembuh sendiri (self-limited), keculai bila terjadi pada kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.

Referensi

1.    Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Ditjen Binfar & Alkes, Jakarta, 2007.

2.    http://id.wikipedia.org

3.    http://majalahkesehatan.com

4.  http://medicastore.com

5.    http://www.infokedokteran.com

6.    http://www.infopenyakit.com

Page 127: tugas  aa

MUMPS

( PAROTITIS )

I. Definisi

Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis ialah penyakit virus akut yang disebabkan oleh paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar ludahterutama kelenjar parotis. Gejala khas yang biasa terjadi yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran. Menyerang pada anak dibawah usia 2-15 tahun (sekitar 85% kasus). Pada kasus lain bisa terjadi infeksi mumps yang asimptomatis.

II. Etiologi 

Page 128: tugas  aa

Agen penyebab parotitis adalah anggota dari group paramyxovirus, yang juga termasuk didalamnya virus parainfluenza, measles, dan virus newcastle disease. Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90 – 300 mµ. Virus ini mempunyai dua komponen yang sanggup memfiksasi, yaitu : antigen S atau yang dapat larut (soluble) yang berasal dari nukleokapsid dan antigen V yang berasal dari hemaglutinin permukaan. 

Virus ini aktif dalam lingkungan yang kering tapi virus ini hanya dapat bertahan selama 4 hari pada suhu ruangan. Paramyxovirus dapat hancur pada suhu <4 ºC, oleh formalin, eter, serta pemaparan cahaya ultraviolet selama 30 detik. 

III. Epidemiologi

Parotitis merupakan penyakit endemik pada populasi penduduk urban. Virus menyebar melalui kontak langsung, air ludah, muntah yang bercampur dengan saliva, dan urin. Epidemi tampaknya terkait dengan tidak adanya imunisasi, bukan pada menyusutnya imunitas. Parotitis merupakan penyakit endemik pada komunitas besar, dan menjadi endemik setiap kurang lebih 7 tahun. Relatif jarang terjadi epidemi, terbatas pada kelompok yang berhubungan erat , yang hidup dalam rumah, perkemahan, barak-barak tentara, atau sekolah.

IV. Patogenesis 

Masa inkubasi 12 sampai 24 hari dengan rata-rata 17-18 hari, kemudian virus bereplikasi di dalam traktus respiratorius atas dan nodus limfatikus servikalis, dari sini virus menyebar melalui aliran darah ke organ-organ lain, termasuk selaput otak, gonad, pankreas, payudara, thyroidea, jantung, hati, ginjal, dan saraf otak.

Setelah masuk melalui saluran respirasi, virus mulai melakukan multiplikasi atau memperbanyak diri dalam sel epithel saluran nafas. Virus kemudian menuju ke banyak jaringan serta menuju kekelenjar ludah dan parotis.

Bila testis terkena maka terdapat perdarahan kecil dan nekrosis sel epitel tubuli seminiferus. Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi dan nekrosis jaringan. 

V. Manifestasi klinik

Masa inkubasi berkisar antara 14 - 24 hari, dengan puncak pada 17 - 18 hari dan rata-rata selama 18 hari. Batasan paling lama untuk masa inkubasi yaitu 8 sampi 30 hari. Pada anak, manifestasi prodormal jarang tetapi mungkin bersama dengan demam, nyeri otot (terutama pada leher), nyeri kepala, anorexia, dan malaise.

Page 129: tugas  aa

Suhu tubuh biasanya naik sampai 38,5 – 39,5 C, kemudian timbul pembengkakan kelenjar parotitis yang mula-mula unilateral tetapi kemudian bilateral.(2,4). Pembengkakan tersebut terasa nyeri baik spontan maupun pada perabaan, terlebih-lebih jika penderita makan atau minum sesuatu yang asam, ini merupakan gejala khas untuk penyakit parotitis epidemika. Ciri khas lain adalah kelenjar parotitis membengkak sampai kebelakang.

VI. Diagnosis 1. Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan yaitu demam, nafsu makan turun, sakit kepala, muntah, sakit waktu menelan dan nyeri otot. Kadang dengan keluhan pembengkakan pada bagian pipi yang terasa nyeri baik spontan maupun dengan perabaan , terlebih bila penderita makan atau minum sesuatu yang asam.

2. Klinik

Panas ringan sampai tinggi (38,5 – 39,5)°C 

Keluhan nyeri didaerah parotis satu atau dikedua belah fihak disertai pembesaran  Keluhan nyeri otot terutama leher, sakit kepala, muntah, anoreksia dan rasa malas. 

Kontak dengan penderita kurang lebih 2-3 minggu sebelumnya (masa inkubasi 14-24 hari). 

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum anak bervariasi dari tampak aktif sampai sakit berat. 

Pembengkakan parotis (daerah zygoma; belakang mandibula di depan mastoid)

3. Laboratorium Karena diagnosis parotitis mudah dibuat, pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan.

Amylase serum meningkat walaupun tidak ada tanda pankreatitis 

CBC / DL: gambaran infeksi virus biasa 

Pleiositiosis mononuklear (limfosit) pada liquor spinalis (bisa asimptomatik)6 

Pada darah rutin disamping leucopenia dengan limfosiotsis relative, didapatkan pula kenaikan kadar amylase dengan serum yang mencapai puncaknya setelah satu minggu dan kemudian menjadi normal kembali dalam dua minggu. 

Jika penderita tidak menampakkan pembengkakan kelenjar dibawah telinga, namun tanda dan gejala lainnya mengarah ke penyakit gondongan sehingga meragukan diagnosa. Dokter akan memberikan order untuk dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut seperti serum darah. Sekurang-kurang ada 3 uji serum (serologic) untuk membuktikan spesifik mumps antibodies: Complement fixation antibodies (CF), Hemagglutination inhibitor antibodies (HI), Virus neutralizing antibodies (NT).

Page 130: tugas  aa

VII. Komplikasi 1. Meningoensepalitis

Dapat terjadi sebelum dan sesudah atau tanpa pembengkakan kelenjar parotis. Penderita mula-mula menunjukan gejala nyeri kepala ringan, yang kemudian disusul oleh muntah-muntah, gelisah dan suhu tubuh yang tinggi (hiperpireksia). 

Komplikasi ini merupakan komplikasi yang sering pada anak-anak. Insiden yang sebenarnya sukar diperkirakan karena infeksi subklinis sistem syaraf sentral. Manifestasi klinis terjadi pada lebih dari 10% penderita patogenesis meningoensefalitis parotitis diuraikan sebagai berikut: 

a. Infeksi primer neuron : parotitis sering muncul bersamaan atau menyertai encephalitis b. Ensefalitis pasca infeksi dengan demielinasi. Ensefalitis menyertai parotitis pada sekitar 10 hari.

Meningoencepalitis parotitis secara klinis tidak dapat dibedakan dengan meningitis sebab lain, ada kekakuan leher sedang, tetapi pemeriksaan lain biasanya normal. Pemeriksaan pungsi lumbal menunjukan tekanan yang meninggi, pemeriksaan Nonne dan Pandy positif, jumlah sel terutama limfosit meningkat, kadar protein meninggi, glukosa dan Cairan cerebrospinal baisanya berisi sel kurang dari 500 sel/mm³ walaupun kadang-kadang jumlah sel dapat melebihi 2.000. Selnya hampir selalu limfosit, berbeda dengan meningitis aseptik enterovirus dimana leukosit polimorfonuklear sering mendominasi pada awal penyakit.

2. Orkitis

Komplikasi dari parotitis dapat berupa orkitis yang dapat terjadi pada masa setelah puber dengan gejala demam tinggi mendadak, menggigil mual, nyeri perut bagian bawah, gejala sistemik, dan sakit pada testis. Testis paling sering terinfeksi dengan atau tanpa epidedimitis. Bila testis terkena infeksi maka terdapat perdarahan kecil. Orkitis biasanya menyertai parotitis dalam 8 hari setelah parotitis. Keadaan ini dapat berlangsung dalam 3 – 14 hari.(1) Testis yang terkena menjadi nyeri dan bengkak dan kulit sekitarnya bengkak dan merah. Rata-rata lamanya 4 hari. Sekitar 30-40% testis yang terkena menjadi atrofi. Gangguan fertilitas diperkirakan sekitar 13%. Tetapi infertilitas absolut jarang terjadi.

3. Pankreatitis 

Nyeri perut sering ringan sampai sedang muncul tiba-tiba pada parotitis. Biasanya gejala nyeri epigastrik disertai dengan pusing, mual, muntah, demam tinggi, menggigil, lesu, merupakan tanda adanya pankreatitis akibat mumps. Manifestasi klinisnya sering menyerupai gejala-gejala gastroenteritis sehingga kadang diagnosis dikelirukan dengan gastroenteritis. Pankreatitis ringan dan asimptomatik mungkin terdapat lebih sering (sampai 40% kasus), terjadi pada akhir minggu pertama.

Page 131: tugas  aa

4. Nefritis 

Kadang-kadang kelainan fungsi ginjal terjadi pada setiap penderita dan viruria terdeteksi pada 75%. Frekuensi keterlibatan ginjal pada anak-anak belum diketahui. Nefritis yang mematikan, terjadi 10-14 hari sesudah parotitis. Nefritis ringan dapat terjadi namun jarang. Dapat sembuh sempurna tanpa meninggalkan kelainan pada ginjal. 

5. Miokarditis 

Manifestasi jantung yang serius sangat jarang terjadi, tetapi infeksi ringan miokardium mungkin lebih sering dari pada yang diketahui. Miokarditis ringan dapat terjadi dan muncul 5 – 10 hari pada parotitis. Gambaran elektrokardiografi dari miokarditis seperti depresi segmen S-T, flattening atau inversi gelombang T. Dapat disetai dengan takikardi, pembesaran jantung dan bising sistolik.

6. Artritis 

Jarang ditemukan pada anak-anak. Atralgia yang disertai dengan pembengkakan dan kemerahan sendi biasanya penyembuhannya sempurna. Manifestasi lain yang jarang tapi menarik pada parotitis adalah poliarteritis yang sering kali berpindah-pindah. Gejala sendi mulai 1 sampai 2 minggu setelah berkurangnya parotitis. Biasanya yang terkena adalah sendi besar khususnya paha atau lutut. Penyakit ini berakhir 1 sampai 12 minggu dan sembuh sempurna. 

VIII. Tatalaksana

Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus “Mumps” oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.

1. Penderita rawat jalan. Penderita baru dapat dirawat jalan bila : tidak ada komplikasi, keadaan umum cukup baik.a. Istirahat yang cukupb. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukupc. MedikamentosaAnalgetik-antipiretik bila perlu- metampiron : anak > 6 bulan 250 – 500 mg/hari maksimum 2 g/hari- parasetamol : 7,5 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis2. Penderita rawat inap.

Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala hebat, gejala saraf perlu rawat inap di ruang isolasi 

a. Diit lunak, cair dan TKTP b. Analgetik-antipiretikc. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya.3. Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi 

Page 132: tugas  aa

a. Encephalitis - simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna untuk mengurangi sakit kepala.b. Orkhitis- istrahat yang cukup- pemberian analgetik- sistemik kortikosteroid (hidrokortison, 10mg /kg/24 jam, peroral, selama 2-4 hari.(1,4,6,8)c. Pankreatitis dan ooporitis- Simptomatik saja.

IX. Pencegahan

Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara imunisasi aktif. Dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis epidemika yang hidup tapi telah dirubah sifatnya (Mumpsvax-merck, sharp and dohme) diberikan subkutan pada anak berumur 15 bulan. Vaksin ini tidak menyebabkan panas atau reaksi lain dan tidak menyebabkan ekskresi virus dan tidak menular. Menyebabkan imunitas yang lama dan dapat diberikan bersama vaksin campak dan rubella.

Pemberian vaksinasi dengan virus “mumps”, sangat efektif dalam menimbulkan peningkatan bermakna dalam antibodi “mumps” pada individu yang seronegatif sebelum vaksinasi dan telah memberikan proteksi 15 sampai 95 %. Proteksi yang baik sekurang-kurangnya selama 12 tahun dan tidak mengganggu vaksin terhadap morbili, rubella, dan poliomielitis atau vaksinasi variola yang diberikan serentak. 

Kontraindikasi: Bayi dibawah usia 1 tahun karena efek antibodi maternal; Individu dengan riwayat hipersensitivitas terhadap komponen vaksin; demam akut; selama kehamilan; leukimia dan keganasan; limfoma; sedang diberi obat-obat imunosupresif, alkilasi dan anti metabolit; sedang mendapat radiasi. 

X. Prognosis

Parotitis merupakan penyakit self-limited, dapat sembuh sendiri. Prognosis parotitis adalah baik, dapat sembuh spontan dan komplit serta jarang berlanjut menjadi kronis.(1,3,4,6) Sterilitas karena orkhitis jarang terjadi.

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, perut terasa penuh, dan sendawa. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek klinik sehari-hari dan dapat disebabkan karena gangguan patologis pada esofago-gastro-duodenum, hepato-pankrato-bilier, penyakit sistemik (diabetes mellitus, tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner, kehamilan), atau

Page 133: tugas  aa

kondisi fungsional dimana tidak ditemukan kelainan organik setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik baku. Diperkirakan 20-30% orang mengalami gejala dispepsia ini setiap tahunnya, dan sekitar 50% penderita ini akan mencari pengobatan terutama akibat rasa nyeri dan kecemasannya.1,2

Penyakit tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas dan dapat menembus sampai ke lapisan muskularis atau bahakan serosa sehingga menimbulkan perforasi. Secara klinis, tukak peptik adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan yang lebih dalam dengan diameter ≥5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Penyakit ini terdiri atas tukak lambung dan tukak duodenum. Secara umum, pathogenesis terjadinya tukak peptik adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif yang merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa infeksi H.pylori menjadi penyebab utama penyakit ini, namun peranan faktor lain tidak dapat dikesampingkan sehingga penyakit tukak peptik bersifat multifaktor.3

H.pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk spiral yang habitat utamanya terdapat di lambung manusia. Bakteri ini berperan penting dalam menimbulkan berbagai penyakit di gastroduodenal seperti ulkus peptik, primary gastric B-cell lymphoma, dan kanker lambung. Meskipun demikian, hanya sebagian kecil orang dengan infeksi H.pylori yang berkembang menjadi penyakit-penyakit diatas. Hal ini berkaitan dengan virulensi bakteri, faktor pejamu, lamanya terinfeksi, dan faktor lingkungan. Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia yang diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,9% di Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. H.pylori juga ditemukan pada kelompok dispepsia non-ulkus dengan prevalensi 20-40%.4,5

 

Page 134: tugas  aa

DISPEPSIA

Diagnosis

Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik disebabkan oleh berbagai penyakit yang menunjukkan gangguan patologis baik secara struktural atau biokimiawi. Apabila pada pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan maka termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadiEpigastric Pain Syndrom (EP) dan Postprandial Distress Syndrom (PD). Dispepsia fungsional ditegakkan dengan kriteria:1,2

1. Terdapat minimal satu dari gejala rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan rasa terbakar di epigastrium

2. Tidak ada bukti kelainan struktural, termasuk endoskopi, yang menerangkan penyebab keluhan diatas

3. Keluhan terjadi selam 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkanDispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua kriteria dibawah ini, yaitu

1. Rasa nyeri atau sensasi terbakar di daerah epigastrium dengan kualitas nyeri sedang, setidaknya sekali seminggu

2. Rasa nyeri bersifat intermitent

3. Tidak dirasakan di bagian perut atau dada yang lain

4. Tidak membaik dengan defekasi atau flatus

5. Tidak memenuhi kriteria untuk kelainan kandung empedu atau sfingter Oddi

Page 135: tugas  aa

6. Kriteria pendukung lain adalah nyeri tidak bersifat retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh makanan tapi bisa muncul juga saat puasa.

Sementara dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila memenuhi salah satu kriteria, yaitu

1. Rasa penuh yang mengganggu setelah makan dengan porsi normal, dirasakan beberapa kali seminggu

2. Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan makanannya, dirasakan beberapa kali seminggu

3. Kriteria pendukung lain adalah rasa kembung, mual, dan sendawa.Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi berdasarkan gejala yang dominan yaitu dispepsia tipe ulkus dimana rasa  nyeri epigastrik yang terutama dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang dominan adalah kembung, mual, muntah, dan rasa cepat kenyang. Dispepsia dikatakan tipe non-spesifik bila tidak ada keluhan yang dominan. Namun, pembagian ini dirasa kurang memuaskan karena definisi dispepsia fungsional menjadi tidak seragam. Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat simptomatik dan tidak mengobati sindrom secara keseluruhan.1,2

 

Penatalaksanaan2

Pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan investigasi terhadap keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi yang terdiri atas

1. Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari saluran cerna bagian atas

2. Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah berulang, disfagia yang progresif, atau perdarahan

3. Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam asetil salisilat atai OAINS

4. Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten meskipun terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD menjadi patut dipertanyakan.

5. Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif, terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan pada daerah dengan prevalensi H.pylori rendah

6. Endoskpi dapat direkomendasikan pada pasien dengan alarm symptom atau dengan usia tua (diatas 45-55tahun).

Page 136: tugas  aa

Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia fungsional, karena patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam jumlah kecil tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS yang tidak perlu memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah obat penghambat asam lambung seperti antagonis reseptor H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki manfaat bila dibandingkan dengan placebo, namun penelitian yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan anti-depresan seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki gejala.