tugas eropa.doc

21
Jerman adalah negara yang paling padat penduduknya di Uni Eropa. Sekitar 82 juta warga tinggal di wilayah Jerman, seperenam di antaranya di Jerman bagian timur, yaitu di wilayah bekas RDJ. Terutama di kawasan utara dan timur Jerman terdapat daerah yang dihuni minoritas nasional Denmark dan Frisia, orang Sinti dan Roma (gipsi Jerman), serta suku bangsa Sorbia. Mereka masing-masing memiliki budaya, bahasa, sejarah dan identitas sendiri. Sejak terjadinya boom di era pascaperang pada tahun 1950-an, perekonomian Jerman memerlukan pekerja migran. Sebagian besar pendatang yang dinamakan “pekerja tamu” pada waktu itu telah kembali ke negara- negara asal mereka di Eropa Selatan atau Tenggara, namun tidak sedikit yang menetap di Jerman. Banyak di antara migran Turki yang datang kemudian menetap pula. Lambat laun Jerman berubah dari negara penerima pekerja tamu menjadi negara dengan arus imigrasi terkendali. Kelompok imigran kedua yang besar adalah para transmigran keturunan Jerman yang telah bermukim sejak beberapa generasi di negara-negara bekas Uni Sovyet, di Rumania dan di Polandia. Mereka kembali ke Jerman, dan arusnya bertambah kuat setelah runtuhnya sistem komunis di negara-negara itu. Dengan adanya kedua kelompok pendatang itu, angka arus imigrasi per kapita di Jerman pada tahun 1980-an 1

Upload: ganda

Post on 13-Aug-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Eropa Barat Multikultur

TRANSCRIPT

Page 1: TUGAS EROPA.doc

Jerman adalah negara yang paling padat penduduknya di Uni Eropa.

Sekitar 82 juta warga tinggal di wilayah Jerman, seperenam di antaranya di

Jerman bagian timur, yaitu di wilayah bekas RDJ. Terutama di kawasan utara dan

timur Jerman terdapat daerah yang dihuni minoritas nasional Denmark dan Frisia,

orang Sinti dan Roma (gipsi Jerman), serta suku bangsa Sorbia. Mereka masing-

masing memiliki budaya, bahasa, sejarah dan identitas sendiri.

Sejak terjadinya boom di era pascaperang pada tahun 1950-an,

perekonomian Jerman memerlukan pekerja migran. Sebagian besar pendatang

yang dinamakan “pekerja tamu” pada waktu itu telah kembali ke negara-negara

asal mereka di Eropa Selatan atau Tenggara, namun tidak sedikit yang menetap di

Jerman. Banyak di antara migran Turki yang datang kemudian menetap pula.

Lambat laun Jerman berubah dari negara penerima pekerja tamu menjadi negara

dengan arus imigrasi terkendali. Kelompok imigran kedua yang besar adalah para

transmigran keturunan Jerman yang telah bermukim sejak beberapa generasi di

negara-negara bekas Uni Sovyet, di Rumania dan di Polandia. Mereka kembali ke

Jerman, dan arusnya bertambah kuat setelah runtuhnya sistem komunis di negara-

negara itu.

Dengan adanya kedua kelompok pendatang itu, angka arus imigrasi per

kapita di Jerman pada tahun 1980-an bahkan jauh lebih tinggi daripada angka

tersebut di negara-negara imigrasi klasik seperti Amerika Serikat, Kanada atau

Australia. Dewasa ini ada lebih dari 15 juta orang dengan apa yang disebut “latar

belakang imigrasi“ yang tinggal di Jerman. Menurut definisi Badan Statistik

Federal, kelompok itu mencakup semua orang yang berimigrasi di Jerman, serta

orang yang lahir di Jerman dari orang tua yang paling sedikit satu orangnya

adalah imigran. Sekitar 7 juta orang di antara mereka adalah warga negara asing,

dan 8 juta orang telah memperoleh kewarganegaraan Jerman – atau melalui

naturalisasi, atau karena mereka tergolong ke-4 juta transmigran keturunan

Jerman. Di samping kelompok tersebut terakhir, para imigran dari Turki yang

jumlahnya 2,5 juta orang merupakan kelompok terbesar kedua. Selanjutnya ada

1,5 juta orang yang berasal dari bekas Yugoslavia atau negara-negara

1

Page 2: TUGAS EROPA.doc

penggantinya. Jumlah penganut agama Islam yang tinggal di Jerman diperkirakan

sebesar 4 juta jiwa.

Banyak orang di antara migran bekerja sebagai tenaga tidak terampil,

karena Jerman dahulu merekrut buruh untuk pekerjaan sederhana. Hasil beberapa

studi menunjukkan, bahwa keluarga imigran di Jerman mengalamai kesulitan

dalam mencapai kenaikan kedudukan sosial atau memperbaiki keadaan ekonomi.

Walau begitu, dalam hal integrasi telah tercapai kemajuan selama kedua

dasawarsa terakhir ini: Kewarganegaraan Jerman dapat diperoleh dengan lebih

mudah, kontak antara para migran dan masyarakat Jerman digiatkan, dan sikap

menerima keanekaan etnobudaya telah meningkat. Dengan Undang-Undang

Urusan Migran Tetap yang mulai berlaku pada tahun 2005, untuk pertama kali

ada peraturan hukum yang mengatur semua aspek kebijakan imigrasi.

Bagi pemerintah federal, usaha integrasi susulan dari warga dengan latar

belakang imigrasi termasuk tugas yang dititikberatkan. Sasaran utama ialah

integrasi ke dalam pasaran kerja. Yang dianggap sebagai kunci dalam hal ini ialah

pendidikan dan peningkatan kemampuan berbahasa Jerman. Sejak tahun 2006,

Kanselir Angela Merkel setiap tahun menggelar Konferensi Integrasi yang

dihadiri oleh wakil semua kelompok masyarakat yang terkait, termasuk

organisasi-organisasi kaum imigran. Realisasi dari hasil konferensi puncak

pertama, yaitu “Rencana Integrasi Nasional” (2007) diperiksa secara teratur.

Rencana itu mengandung tujuan konkret serta lebih dari 400 tindakan yang akan

dilakukan oleh pelaksana di lingkungan pemerintah, ekonomi dan masyarakat.

Antara lain diciptakan jaringan orang tua-asuh yang mendukung anak dari

keluarga migran dalam pendidikan dan pelatihan kerja. Lebih dari 500 perusahaan

dan institusi publik dengan 4 juta lebih pegawai telah bergabung dengan “Piagam

Kebinekaan”. Mereka menganggap kebinekaan sebagai peluang; antara lain

mereka mewajibkan diri untuk memberi kesempatan pendidikan kerja lebih baik

kepada remaja dengan latar belakang migrasi.

2

Page 3: TUGAS EROPA.doc

Definisi Multikulturalisme

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi

Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu

kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan

manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah

membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep

multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman

secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat

majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan

dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan

mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan

demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha,

HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan

moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson

(2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan

menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena

multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan

perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah

kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti

sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-

masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih

besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian,

multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang

damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang

kebudayan

Asal Usul Imigrasi Jerman

Pasca Perang Dunia II Jerman menghadapi kekurangan tenaga kerja parah

karena dua alasan yaitu para pekerja habis oleh perang yang besar dan tawanan

3

Page 4: TUGAS EROPA.doc

perang Soviet serta perekonomian yang dimulai pada sektor industri dihidupkan

kembali pada tahun 1950. Awalnya, Jerman mampu mengimbangi dengan

mengakui diri sebagai etnis Eropa Tengah dan Komunis Jerman Timur. Tetapi

masuknya hanya membantu meredakan hilangnya populasi dari Perang Dunia II.

Jerman membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk menjalankan

perkembangan industrinya yang berbasis ekspor, dan tenaga kerja yang

mempunyai keterampilan khusus untuk manufaktur serta konstruksi dan industri

lainnya.

Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang terus-menerus, Jerman

mengubah kesepakatan perekrutan tenaga kerja secara berturut-turut, pertama

dengan Italia (1955). Setelah tenaga kerja dari Italia berkurang karena ekonomi di

Italia sendiri telah berkembang, Jerman berbalik ke Spanyol (1960), Yunani

(1960), Turki (1961) dan kemudian Yugoslavia (1968). perekrutan tenaga kerja

menyebabkan arus besar "Gastarbeiter," yaitu "pekerja tamu," dalam masyarakat

Jerman. Jerman tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang akan mengubah

masyarakat Jerman. Mereka menganggap buruh migran sebagai sementara, bukan

sebagai imigran dalam arti apapun. Sebagai istilah tersirat, para pekerja adalah

tamu dan akan kembali ke negara asal mereka ketika mereka tidak lagi dibutuhkan

(buruh dari Spanyol, Italia dan Portugis melakukan hal ini). Hal ini tidak terlalu

menjadi masalah bagi Jerman, terutama yang tertarik pada tenaga kerja.

Jerman benar-benar tidak mengharapkan hal ini menjadi masalah jangka

panjang. Mereka tidak mempertimbangkan bagaimana untuk mengasimilasi

migran, topik tersebut jarang muncul dalam diskusi kebijakan. Sementara itu,

kehadiran tenaga kerja migran memungkinkan jutaan tenaga kerja Jerman untuk

berpindah dari tenaga kerja tidak terampil untuk pekerjaan kerah putih selama

1960-an.

Sebuah perlambatan ekonomi pada tahun 1966 dan full-on resesi setelah

guncangan minyak tahun 1973 kondisi tenaga kerja berubah di Jerman. Jerman

tidak lagi membutuhkan aliran tenaga kerja yang tidak terampil yang kemudian

mengakibatkan adanya peningkatan pengangguran di kalangan migran di

4

Page 5: TUGAS EROPA.doc

negaranya, yang mengarah ke "Anwerbestopp," yaitu "menghentikan perekrutan

tenaga kerja," pada tahun 1973.

Meskipun demikian, menghentikan migrasi tidak mengatasi kenyataan

bahwa pekerja tamu sudah berada di Jerman dalam jumlah yang cukup besar,

bahkan banyak migran yang sekarang ingin membawa anggota keluarga. Pada

tahun 1970-an migrasi beralih menjadi "reuni keluarga" ketika pemerintah Jerman

memutuskan untuk menutup celah tersebut. Sebagaian orang Italia, Spanyol dan

Portugis cenderung kembali ke negara mereka sendiri. Muslim Turki menjadi

mayoritas imigran di Jerman, khususnya sebagai pencari suaka berduyun-duyun

ke Jerman, sebagian besar dari mereka tidak melarikan diri oleh apapun retribusi

yang diberikan pemerintah Jerman. Hal itu tidak membantu bahwa Jerman telah

suaka hukum terbuka terutama di sebagian besar rakyat Turki karena rasa bersalah

atas bencana tersebut, celah ini dimanfaatkan imigran Turki secara massal setelah

kudeta 1980 di Turki.

Para pendatang berubah dari urgensi sementara menjadi komunitas

multigenerasi. Pada dasarnya, mereka tidak ingin para imigran menjadi bagian

dari Jerman. Tetapi jika mereka tetap di negara itu, Berlin ingin memastikan para

imigran menjadi setia ke Jerman. Tanggung jawab pada asimilasi imigran ke

masyarakat yang lebih luas meningkatkan ketidakpuasan muslim terhadap

guncangan Eropa pada 1980-an. Saat para imigran itu ternyata tetap tinggal

hingga turun-temurun, solusi yang ditawarkan Pemerintah Jerman pada

pertengahan tahun 1980-an adalah konsep multikulti atau multikulturalisme. Para

imigran boleh mempertahankan cara hidup sesuai kultur asli mereka (termasuk

bahasa dan pola hidup beragama), tetapi harus menyatakan kesetiaan kepada

negara Jerman. Dua budaya yang berbeda diharapkan bisa hidup berdampingan

secara damai dengan sendirinya.

Meski sekilas terlihat seperti konsep liberal, manusiawi, dan menghargai

kebhinekaan, kebijakan ini sebenarnya adalah sebuah transaksi untuk ”membeli”

kesetiaan para imigran, tidak kepada negara asal mereka lagi, tetapi kepada

Jerman, negara baru mereka. ”Orang Jerman sebenarnya tidak ingin dan tidak tahu

5

Page 6: TUGAS EROPA.doc

bagaimana caranya berasimilasi dengan orang yang berbeda budaya, bahasa,

agama, dan moral,”

Kegagalan Multikulturalisme di Jerman

Kanselir Jerman, Angela Merkel, baru-baru ini menyatakan bahwa

multikulturalisme telah “mati”. Pernyataan ini tidak sesuai kenyataan, karena kata

“multikulturalisme” berarti berfungsinya keeksistensi berbagai budaya dalam

sebuah komunitas. Itu artinya multikulturalisme adalah konsep yang universal dan

tak dibatasi waktu. Dan di dunia yang semakin mengglobal, konsep ini lebih

absah lagi dibandingkan sebelumnya karena tidak ada lagi yang namanya

masyarakat atau negara yang homogen secara etnis.

Komentar Merkel lebih dimaksudkan untuk “menyenangkan” kalangan

konservatif di akar rumput partainya sendiri. Yang tak kalah pentingnya, suara-

suara anti-Islam dan kebencian terhadap imigran tengah meningkat di kalangan

rakyat pemilih. Dalam bukunya, Germany is Doing Away with Itself, yang

diterbitkan musim panas lalu, mantan politisi dan anggota dewan Deutsche Bank,

Thilo Sarrazin, membuka perdebatan publik tentang multikulturalisme ketika ia

menyatakan bahwa tingginya angka imigrasi ke Jerman mengarah pada

kemunduran peradaban yang berbahaya, dan dapat merusak gen orang Jerman

yang berkualitas tinggi.

Memang mustahil untuk menyangkal bahwa imigrasi yang tak terkendali

telah menciptakan masalah-masalah integrasi di Eropa di masa lalu. Jerman, dan

Eropa pada umumnya, mempunyai masalah-masalah integrasi yang

mengkhawatirkan. Banyak komunitas imigran, misalnya, memisahkan diri dari

masyarakat arus utama, merasa terkucil dalam banyak hal lantaran penguasaan

bahasa Jerman yang sangat lemah. Karena masalah besar bahasa ini, para guru di

sebagian sekolah tidak bisa lagi mengatur kelas karena para siswa tidak mengerti

apa yang disampaikan.

Ada banyak pemuda imigran yang tinggal di Jerman yang menjauhkan diri

dari masyarakat karena merasa diasingkan dan menjadi lebih rentan pada

pemikiran ekstremis. Ini mungkin bisa menjelaskan rencana pemboman kereta api

6

Page 7: TUGAS EROPA.doc

yang gagal pada 2006 yang melibatkan dua pemuda Lebanon yang telah tinggal di

Jerman selama beberapa tahun. Meskipun perlu juga untuk dicatat bahwa hanya

segelintir imigran yang bersedia melakukan aksi-aksi teror.

Debat ini memalukan, mengingat Jerman bisa menjadi salah satu negara

termakmur di dunia terutama justru karena para imigran Turki yang merupakan

para pekerja keras, yang ditarik ke Jerman sejak 1960-an. Tanpa mereka, Jerman

tidak akan menjadi negara sekaya sekarang. Para pembuat kebijakan di Berlin

sadar akan masalah-masalah ini, dan tak ada yang bisa mengklaim sekarang

bahwa koeksistensi dalam sebuah masyarakat yang pluralistik bisa terwujud tanpa

nilai-nilai dasar yang berlaku untuk semua orang.

Lembaga-lembaga politik sadar bahwa masalah-masalah integrasi yang

kita hadapi sekarang bisa dijelaskan secara sosial-politik dan bukanlah masalah

genetika atau agama. Pandangan menggelikan yang disampaikan Sarrazin bisa

langsung ditolak hanya dengan melihat sekilas ke seberang Atlantik: menurut

sebuah survei Pew Survey pada 2007, di Amerika Serikat para imigran Muslim

(dua pertiga Muslim Amerika dilahirkan di luar negeri) lebih terintegrasi dan

secara ekonomi lebih berhasil ketimbang para imigran lainnya, dan mereka pun

mengenyam tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Faktor lain yang mungkin memicu pernyataan Merkel adalah bahwa krisis

ekonomi di Jerman, seperti halnya di Eropa secara lebih luas, telah menebarkan

iklim ketidakpastian. Pada masa-masa yang tak menentu, orang menjadi panik –

dan orang-orang panik cenderung berperilaku lebih agresif.

Namun, tatanan demokrasi tidaklah berakar pada kemakmuran ekonomi

melainkan pada ide. Ide-ide seperti hak-hak yang setara dan kebebasan beragama.

Dan, di bawah Merkel, pemerintah Jerman telah berbuat banyak untuk mendorong

nilai-nilai ini. Pada periode legislatif terakhir misalnya, Menteri Dalam Negeri

Wolfgang Schäuble dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah bagian dari

Jerman. Dan presiden Jerman yang baru, Christian Wulff, menegaskan kembali

pesan ini dalam pidatonya pada 3 Oktober di Hari Jerman Bersatu, yang

memperingati saat bersatu kembalinya Jerman pada 1990.

7

Page 8: TUGAS EROPA.doc

Namun, kritik yang Wulff terima dari partainya dan masyarakat umum ternyata

cukup kuat, dan ini memperlihatkan adanya anggapan masyarakat luas bahwa ia

telah mengecilkan nilai-nilai budaya Barat.

Yang terjadi sebetulnya adalah sebaliknya. Melalui pesan ini, Wulff juga

menekankan bahwa orang Kristen di Turki, seperti orang Muslim di Jerman,

berhak mendapat perlakuan yang sama. Dan mereka yang mengklaim bahwa

dunia Barat harus tetap berdiri di atas akar-akar Kristennya, dan menolak

mengakui Islam, pada kenyataannya justru mengingkari demokrasi dan kebebasan

beragama.

Jadi, multikulturalisme tidak mati. Karena sebuah negara yang didasarkan

pada nilai-nilai demokrasi yang fundamental seperti kebebasan beribadah,

menunjukkan kekuatan sejatinya bukan dengan menolak melainkan dengan

meneguhkan keragaman budayanya.

Dua Macam Bangsa yang Berbeda

Kembali ke gagasan bangsa Eropa, yang secara substansial berbeda

dengan gagasan Amerika. Sebagian besar dari sejarahnya, Amerika Serikat

menganggap dirinya sebagai bangsa imigran, tetapi imigran harus menerima

budaya inti dalam proses multikultural. Siapa saja bisa menjadi orang (berbangsa)

Amerika selama mereka bersedia menerima bahasa dan budaya dominan bangsa

tersebut, yang disepakati bersama sebagai budaya inti. Dengan cara demikian,

masih tersedia banyak ruang bagi setiap imigran untuk mempraktikkan keunikan

budaya asal masing-masing, tetapi mereka juga berbagi satu nilai inti yang sama.

Di AS, kewarganegaraan kemudian menjadi konsep legal, yang membutuhkan

proses jelas, janji setia, dan nilai-nilai bersama. Kebangsaan bisa diusahakan, ada

”harga” pasti yang harus ”dibayar”. Hal ini berbeda berlaku di Eropa. Untuk

menjadi orang (bangsa) Perancis, Polandia, atau Yunani, seseorang tidak cukup

hanya dengan mempelajari bahasa atau nilai-nilai budaya setempat, tetapi dia

harus menjadi orang Perancis, Polandia, atau Yunani tulen secara keturunan.

”Mereka harus berbagi sejarah penderitaan dan kejayaan yang sama. Hal ini tidak

bisa diusahakan,”

8

Page 9: TUGAS EROPA.doc

Multikulturalisme Eropa bukan menghormati liberal dan manusiawi untuk

budaya lain yang pura-pura melainkan adalah cara untuk menghadapi kenyataan

bahwa sebuah kolam besar imigran telah diundang sebagai pekerja ke negara itu.

Tawaran multikulturalisme adalah tawaran besar yang dimaksudkan untuk

mengunci loyalitas imigran dalam pertukaran yang memungkinkan mereka untuk

menjaga budayanya dan untuk melindungi budaya Eropa dari pengaruh asing oleh

eksekusi imigran. Jerman mencoba untuk memiliki pekerja dan identitas Jerman

secara bersamaan akan tetapi tidak berhasil.

Multikulturalisme sangat memecah belah, khususnya di negara-negara

yang mendefinisikan sebagai bangsa Eropa. Hal yang menarik adalah bahwa

kanselir Jerman telah memilih untuk menjadi pemimpin paling agresif di Eropa

untuk berbicara menentang multikulturalisme. Alasannya yaitu politik dan sosial

yang jelas. Tetapi juga harus diingat bahwa ini adalah Jerman, yang sebelumnya

membahas masalah bangsa Jerman melalui bencana. Dalam 65 tahun sejak akhir

Perang Dunia II, Jerman telah berhati-hati untuk menghindari diskusi tentang

masalah ini, para pemimpin Jerman tidak ingin mengatakan hal-hal yang

berkomitmen pada budaya Jerman yang dominan. Oleh karena itu, kita perlu

melihat kegagalan multikulturalisme di Jerman dalam arti lain, yaitu berkenaan

dengan apa yang terjadi di Jerman.

Kebangkitan Nasionalisme Jerman Karena Gagalnya Multikulturalisme

Ketika seorang pemimpin dunia mengatakan terang-terangan bahwa

multikulturalisme telah gagal di negerinya, pasti ada sesuatu yang luar biasa

sedang terjadi. Apalagi, saat pemimpin itu adalah pemimpin Jerman, negeri yang

menyimpan trauma dan segunung rasa bersalah akibat politik ”pemurnian ras”

Nazi Jerman yang memicu Perang Dunia II.

Yang kemudian menarik dari analisis George Friedman, pendiri dan CEO

Stratfor Global Intelligence, adalah apa yang membuat pemimpin Jerman justru

mengeluarkan pernyataan paling lugas dan agresif, tanpa tedeng aling-aling,

tentang gagalnya multikulturalisme di Eropa itu, dibandingkan dengan pemimpin

Eropa lainnya.

9

Page 10: TUGAS EROPA.doc

Menurut Friedman, sanggahan terhadap multikulturalisme dengan

sendirinya berarti pengakuan terhadap pentingnya identitas nasional Jerman.

Jerman dalam proses kembali ke dalam sejarah dunia. Selama 65 tahun, Jerman

cenderung meleburkan diri dalam kelompok-kelompok multinasional, seperti UE

(Uni Eropa) dan NATO, demi menghindari topik yang sederhana, tetapi sangat

dalam, yakni nasionalisme. Pernyataan Merkel oleh Friedman dibaca sebagai

tanda bahwa masa-masa ”diam” Jerman telah usai.

Friedman memandang, kebangkitan kembali kesadaran nasional Jerman

tersebut lebih dipicu oleh masalah yang lebih konkret, seperti masalah-masalah

sosial yang disebabkan imigran, dan mulai munculnya keraguan Jerman terhadap

masa depan organisasi multinasional yang ia ikuti. NATO, persekutuan militer

yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara yang tidak memiliki

kekuatan militer berarti, mulai dirasakan sebagai beban karena Jerman termasuk

negara yang harus ikut bertanggung jawab terhadap keamanan negara-negara

tersebut.

Krisis ekonomi yang melanda UE, terutama kasus hampir bangkrutnya

Yunani beberapa bulan lalu, yang harus ditanggung negara-negara anggota UE

lainnnya, membuat Jerman juga meragukan masa depan konsep Eropa bersatu ini.

Jerman, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama di Eropa, tak mau terpaksa

menjadi penjamin utama finansial UE jika terjadi masalah lagi pada masa depan.

Jerman pun mulai memikirkan masa depannya sendiri dengan mulai berpikir di

luar konteks UE. Salah satu skenario yang diajukan Friedman adalah jalinan kerja

sama Jerman dengan Rusia. Rusia bisa menjadi jawaban atas kebutuhan 400.000

tenaga terampil yang sangat dibutuhkan Jerman untuk menggerakkan

ekonominya.

Jerman saat ini sudah bergantung pada Rusia dalam hal pasokan energi.

Jika Jerman kemudian juga bergantung pada Rusia dalam hal tenaga kerja dan

Rusia bergantung pada Jerman dalam hal investasi, peta Eropa bisa berubah lagi.

Oleh sebab itu, pernyataan Merkel memiliki dua sisi yang sama-sama memiliki

makna penting. Di satu sisi dia mengingatkan ancaman serius multikulturalisme

dan menekankan pentingnya proses integrasi imigran ke dalam masyarakat

10

Page 11: TUGAS EROPA.doc

Jerman. Di sisi lain, melalui peringatan itu, Merkel juga memulai sebuah proses

yang bisa berdampak besar, tak hanya bagi Jerman sendiri ataupun Eropa, tetapi

juga pada keseimbangan kekuatan global. Sejarah yang akan membuktikan.

Dalam pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen

(CDU) di Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang yang sebagian

besar berasal dari Turki atau negara-negara Arab yang beragama Islam, harus

memulai proses integrasi dengan masyarakat asli Jerman, menguasai bahasa

Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat setempat.

George Friedman menjelaskan, ada perbedaan mendasar mengenai konsep

bangsa yang dianut di Eropa dengan Amerika Serikat yang pada gilirannya

berpengaruh terhadap konsep multikulturalisme masing-masing. AS sejak awal

berdirinya sadar diri sebagai bangsa para imigran. Dari sudut pandang ini,

multikulturalisme di Eropa dapat dikatakan sekadar basa-basi, sekadar sebuah

tindakan untuk menghadapi realitas membanjirnya imigran ke negara mereka.

Maka, dengan konsep seperti itu, multikulturalisme ala Eropa justru menciptakan

alienasi permanen bagi para imigran. Dengan dibebaskan mempertahankan

identitas asli, para imigran di Jerman tak merasa perlu peduli terhadap nasib

Jerman.

Sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang diterapkan hampir di

seluruh Uni Eropa (UE), di mana para pengangguran dan fakir miskin benar-benar

bisa hidup atas tanggungan jaminan sosial dari negara, disebut Frum sebagai daya

tarik utama banjirnya imigran ke Eropa.

Melimpahnya imigran, yang rata-rata berpendidikan rendah dan tidak

berketerampilan, memicu berbagai masalah sosial, seperti pengangguran,

kecemburuan sosial, dan kriminalitas. Namun, di sisi lain, Jerman dan negara-

negara utama EU lainnya membutuhkan para imigran ini untuk menggerakkan

ekonomi mereka. Kamar Dagang dan Industri Jerman menyatakan, saat ini Jerman

masih membutuhkan sedikitnya 400.000 tenaga kerja terampil.

Islamofobia

Berbagai masalah sosial yang dipicu para imigran tersebut kemudian

menumbuhkan perasaan islamofobia, serba curiga, dan berpikir negatif terhadap

11

Page 12: TUGAS EROPA.doc

Islam secara keseluruhan, hanya karena kebetulan para imigran di Eropa sebagian

besar berasal dari latar belakang dunia Islam.

Jeane Kay menyebut perang terhadap terorisme yang dilancarkan AS dan

obsesi antiterorisme masyarakat global turut menyumbang rasa anti-Islam di

kalangan masyarakat Eropa. Beberapa kota di Eropa turut menjadi sasaran

serangan teror, seperti Madrid (2004) dan London (2005), dan baru-baru ini

terbongkar plot serangan teror Al Qaeda ke beberapa kota utama di Eropa.

Belakangan, sentimen islamofobia itu dipolitisasi oleh golongan

ultrakanan di Eropa dan memicu semacam kebangkitan kembali paham ultrakanan

hampir di seluruh Eropa. Makin menguatnya dukungan terhadap Partai

Kemerdekaan yang dipimpin Geert Wilders di Belanda, kenaikan jumlah pemilih

Front Nasional pimpinan Jean-Marie Le Pen di Prancis, dan kemenangan Liga

Utara di dua provinsi di Italia utara adalah beberapa tanda kebangkitan partai-

partai beraliran ultrakanan di Eropa. Di Swedia dan Austria, partai ultrakanan juga

mendapat suara yang signifikan dalam pemilu nasional ataupun regional dalam

kurun waktu dua bulan terakhir ini.

Menurut Frum, masalah imigran di Eropa bisa diselesaikan apabila negara-

negara UE mengadopsi kebijakan Amerika Serikat, yakni penegakan hukum yang

lebih keras, sistem jaminan sosial yang tak terlalu murah hati, dan pembangunan

identitas nasional yang lebih kuat.

Sementara itu, Kay berpendapat, masalah utamanya adalah kegagalan

model integrasi tradisional yang diterapkan negara-negara Eropa. ”Sama seperti

kegagalan mereka menawarkan alternatif terhadap hegemoni neoliberalisme

dalam kebijakan ekonomi, para penganut sosial demokrat (aliran politik yang

diterapkan rata-rata negara kesejahteraan di Eropa) tetap tak bisa merumuskan

model integrasi alternatif yang konkret, berdasarkan multikulturalisme sejati.”

DAFTAR PUSTAKA

12

Page 13: TUGAS EROPA.doc

http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/main-content-08/migrasi-dan-integrasi.html, diakses 2 April 2011.

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/24/0340268/tanda.kebangkitan.jerman, diakses 2 April 2011.

https://politikinternational.wordpress.com/2010/10/24/kebangkitan-nasionalisme-jerman-karena-gagalnya-multikulturalisme/, diakses 3 April 2011.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2801&Itemid=222, diakses 3 April 2011.

13