tugas eropa.doc
DESCRIPTION
Eropa Barat MultikulturTRANSCRIPT
Jerman adalah negara yang paling padat penduduknya di Uni Eropa.
Sekitar 82 juta warga tinggal di wilayah Jerman, seperenam di antaranya di
Jerman bagian timur, yaitu di wilayah bekas RDJ. Terutama di kawasan utara dan
timur Jerman terdapat daerah yang dihuni minoritas nasional Denmark dan Frisia,
orang Sinti dan Roma (gipsi Jerman), serta suku bangsa Sorbia. Mereka masing-
masing memiliki budaya, bahasa, sejarah dan identitas sendiri.
Sejak terjadinya boom di era pascaperang pada tahun 1950-an,
perekonomian Jerman memerlukan pekerja migran. Sebagian besar pendatang
yang dinamakan “pekerja tamu” pada waktu itu telah kembali ke negara-negara
asal mereka di Eropa Selatan atau Tenggara, namun tidak sedikit yang menetap di
Jerman. Banyak di antara migran Turki yang datang kemudian menetap pula.
Lambat laun Jerman berubah dari negara penerima pekerja tamu menjadi negara
dengan arus imigrasi terkendali. Kelompok imigran kedua yang besar adalah para
transmigran keturunan Jerman yang telah bermukim sejak beberapa generasi di
negara-negara bekas Uni Sovyet, di Rumania dan di Polandia. Mereka kembali ke
Jerman, dan arusnya bertambah kuat setelah runtuhnya sistem komunis di negara-
negara itu.
Dengan adanya kedua kelompok pendatang itu, angka arus imigrasi per
kapita di Jerman pada tahun 1980-an bahkan jauh lebih tinggi daripada angka
tersebut di negara-negara imigrasi klasik seperti Amerika Serikat, Kanada atau
Australia. Dewasa ini ada lebih dari 15 juta orang dengan apa yang disebut “latar
belakang imigrasi“ yang tinggal di Jerman. Menurut definisi Badan Statistik
Federal, kelompok itu mencakup semua orang yang berimigrasi di Jerman, serta
orang yang lahir di Jerman dari orang tua yang paling sedikit satu orangnya
adalah imigran. Sekitar 7 juta orang di antara mereka adalah warga negara asing,
dan 8 juta orang telah memperoleh kewarganegaraan Jerman – atau melalui
naturalisasi, atau karena mereka tergolong ke-4 juta transmigran keturunan
Jerman. Di samping kelompok tersebut terakhir, para imigran dari Turki yang
jumlahnya 2,5 juta orang merupakan kelompok terbesar kedua. Selanjutnya ada
1,5 juta orang yang berasal dari bekas Yugoslavia atau negara-negara
1
penggantinya. Jumlah penganut agama Islam yang tinggal di Jerman diperkirakan
sebesar 4 juta jiwa.
Banyak orang di antara migran bekerja sebagai tenaga tidak terampil,
karena Jerman dahulu merekrut buruh untuk pekerjaan sederhana. Hasil beberapa
studi menunjukkan, bahwa keluarga imigran di Jerman mengalamai kesulitan
dalam mencapai kenaikan kedudukan sosial atau memperbaiki keadaan ekonomi.
Walau begitu, dalam hal integrasi telah tercapai kemajuan selama kedua
dasawarsa terakhir ini: Kewarganegaraan Jerman dapat diperoleh dengan lebih
mudah, kontak antara para migran dan masyarakat Jerman digiatkan, dan sikap
menerima keanekaan etnobudaya telah meningkat. Dengan Undang-Undang
Urusan Migran Tetap yang mulai berlaku pada tahun 2005, untuk pertama kali
ada peraturan hukum yang mengatur semua aspek kebijakan imigrasi.
Bagi pemerintah federal, usaha integrasi susulan dari warga dengan latar
belakang imigrasi termasuk tugas yang dititikberatkan. Sasaran utama ialah
integrasi ke dalam pasaran kerja. Yang dianggap sebagai kunci dalam hal ini ialah
pendidikan dan peningkatan kemampuan berbahasa Jerman. Sejak tahun 2006,
Kanselir Angela Merkel setiap tahun menggelar Konferensi Integrasi yang
dihadiri oleh wakil semua kelompok masyarakat yang terkait, termasuk
organisasi-organisasi kaum imigran. Realisasi dari hasil konferensi puncak
pertama, yaitu “Rencana Integrasi Nasional” (2007) diperiksa secara teratur.
Rencana itu mengandung tujuan konkret serta lebih dari 400 tindakan yang akan
dilakukan oleh pelaksana di lingkungan pemerintah, ekonomi dan masyarakat.
Antara lain diciptakan jaringan orang tua-asuh yang mendukung anak dari
keluarga migran dalam pendidikan dan pelatihan kerja. Lebih dari 500 perusahaan
dan institusi publik dengan 4 juta lebih pegawai telah bergabung dengan “Piagam
Kebinekaan”. Mereka menganggap kebinekaan sebagai peluang; antara lain
mereka mewajibkan diri untuk memberi kesempatan pendidikan kerja lebih baik
kepada remaja dengan latar belakang migrasi.
2
Definisi Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi
Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu
kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah
membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat
majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan
mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha,
HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson
(2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan
menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti
sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-
masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih
besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian,
multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang
kebudayan
Asal Usul Imigrasi Jerman
Pasca Perang Dunia II Jerman menghadapi kekurangan tenaga kerja parah
karena dua alasan yaitu para pekerja habis oleh perang yang besar dan tawanan
3
perang Soviet serta perekonomian yang dimulai pada sektor industri dihidupkan
kembali pada tahun 1950. Awalnya, Jerman mampu mengimbangi dengan
mengakui diri sebagai etnis Eropa Tengah dan Komunis Jerman Timur. Tetapi
masuknya hanya membantu meredakan hilangnya populasi dari Perang Dunia II.
Jerman membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk menjalankan
perkembangan industrinya yang berbasis ekspor, dan tenaga kerja yang
mempunyai keterampilan khusus untuk manufaktur serta konstruksi dan industri
lainnya.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang terus-menerus, Jerman
mengubah kesepakatan perekrutan tenaga kerja secara berturut-turut, pertama
dengan Italia (1955). Setelah tenaga kerja dari Italia berkurang karena ekonomi di
Italia sendiri telah berkembang, Jerman berbalik ke Spanyol (1960), Yunani
(1960), Turki (1961) dan kemudian Yugoslavia (1968). perekrutan tenaga kerja
menyebabkan arus besar "Gastarbeiter," yaitu "pekerja tamu," dalam masyarakat
Jerman. Jerman tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang akan mengubah
masyarakat Jerman. Mereka menganggap buruh migran sebagai sementara, bukan
sebagai imigran dalam arti apapun. Sebagai istilah tersirat, para pekerja adalah
tamu dan akan kembali ke negara asal mereka ketika mereka tidak lagi dibutuhkan
(buruh dari Spanyol, Italia dan Portugis melakukan hal ini). Hal ini tidak terlalu
menjadi masalah bagi Jerman, terutama yang tertarik pada tenaga kerja.
Jerman benar-benar tidak mengharapkan hal ini menjadi masalah jangka
panjang. Mereka tidak mempertimbangkan bagaimana untuk mengasimilasi
migran, topik tersebut jarang muncul dalam diskusi kebijakan. Sementara itu,
kehadiran tenaga kerja migran memungkinkan jutaan tenaga kerja Jerman untuk
berpindah dari tenaga kerja tidak terampil untuk pekerjaan kerah putih selama
1960-an.
Sebuah perlambatan ekonomi pada tahun 1966 dan full-on resesi setelah
guncangan minyak tahun 1973 kondisi tenaga kerja berubah di Jerman. Jerman
tidak lagi membutuhkan aliran tenaga kerja yang tidak terampil yang kemudian
mengakibatkan adanya peningkatan pengangguran di kalangan migran di
4
negaranya, yang mengarah ke "Anwerbestopp," yaitu "menghentikan perekrutan
tenaga kerja," pada tahun 1973.
Meskipun demikian, menghentikan migrasi tidak mengatasi kenyataan
bahwa pekerja tamu sudah berada di Jerman dalam jumlah yang cukup besar,
bahkan banyak migran yang sekarang ingin membawa anggota keluarga. Pada
tahun 1970-an migrasi beralih menjadi "reuni keluarga" ketika pemerintah Jerman
memutuskan untuk menutup celah tersebut. Sebagaian orang Italia, Spanyol dan
Portugis cenderung kembali ke negara mereka sendiri. Muslim Turki menjadi
mayoritas imigran di Jerman, khususnya sebagai pencari suaka berduyun-duyun
ke Jerman, sebagian besar dari mereka tidak melarikan diri oleh apapun retribusi
yang diberikan pemerintah Jerman. Hal itu tidak membantu bahwa Jerman telah
suaka hukum terbuka terutama di sebagian besar rakyat Turki karena rasa bersalah
atas bencana tersebut, celah ini dimanfaatkan imigran Turki secara massal setelah
kudeta 1980 di Turki.
Para pendatang berubah dari urgensi sementara menjadi komunitas
multigenerasi. Pada dasarnya, mereka tidak ingin para imigran menjadi bagian
dari Jerman. Tetapi jika mereka tetap di negara itu, Berlin ingin memastikan para
imigran menjadi setia ke Jerman. Tanggung jawab pada asimilasi imigran ke
masyarakat yang lebih luas meningkatkan ketidakpuasan muslim terhadap
guncangan Eropa pada 1980-an. Saat para imigran itu ternyata tetap tinggal
hingga turun-temurun, solusi yang ditawarkan Pemerintah Jerman pada
pertengahan tahun 1980-an adalah konsep multikulti atau multikulturalisme. Para
imigran boleh mempertahankan cara hidup sesuai kultur asli mereka (termasuk
bahasa dan pola hidup beragama), tetapi harus menyatakan kesetiaan kepada
negara Jerman. Dua budaya yang berbeda diharapkan bisa hidup berdampingan
secara damai dengan sendirinya.
Meski sekilas terlihat seperti konsep liberal, manusiawi, dan menghargai
kebhinekaan, kebijakan ini sebenarnya adalah sebuah transaksi untuk ”membeli”
kesetiaan para imigran, tidak kepada negara asal mereka lagi, tetapi kepada
Jerman, negara baru mereka. ”Orang Jerman sebenarnya tidak ingin dan tidak tahu
5
bagaimana caranya berasimilasi dengan orang yang berbeda budaya, bahasa,
agama, dan moral,”
Kegagalan Multikulturalisme di Jerman
Kanselir Jerman, Angela Merkel, baru-baru ini menyatakan bahwa
multikulturalisme telah “mati”. Pernyataan ini tidak sesuai kenyataan, karena kata
“multikulturalisme” berarti berfungsinya keeksistensi berbagai budaya dalam
sebuah komunitas. Itu artinya multikulturalisme adalah konsep yang universal dan
tak dibatasi waktu. Dan di dunia yang semakin mengglobal, konsep ini lebih
absah lagi dibandingkan sebelumnya karena tidak ada lagi yang namanya
masyarakat atau negara yang homogen secara etnis.
Komentar Merkel lebih dimaksudkan untuk “menyenangkan” kalangan
konservatif di akar rumput partainya sendiri. Yang tak kalah pentingnya, suara-
suara anti-Islam dan kebencian terhadap imigran tengah meningkat di kalangan
rakyat pemilih. Dalam bukunya, Germany is Doing Away with Itself, yang
diterbitkan musim panas lalu, mantan politisi dan anggota dewan Deutsche Bank,
Thilo Sarrazin, membuka perdebatan publik tentang multikulturalisme ketika ia
menyatakan bahwa tingginya angka imigrasi ke Jerman mengarah pada
kemunduran peradaban yang berbahaya, dan dapat merusak gen orang Jerman
yang berkualitas tinggi.
Memang mustahil untuk menyangkal bahwa imigrasi yang tak terkendali
telah menciptakan masalah-masalah integrasi di Eropa di masa lalu. Jerman, dan
Eropa pada umumnya, mempunyai masalah-masalah integrasi yang
mengkhawatirkan. Banyak komunitas imigran, misalnya, memisahkan diri dari
masyarakat arus utama, merasa terkucil dalam banyak hal lantaran penguasaan
bahasa Jerman yang sangat lemah. Karena masalah besar bahasa ini, para guru di
sebagian sekolah tidak bisa lagi mengatur kelas karena para siswa tidak mengerti
apa yang disampaikan.
Ada banyak pemuda imigran yang tinggal di Jerman yang menjauhkan diri
dari masyarakat karena merasa diasingkan dan menjadi lebih rentan pada
pemikiran ekstremis. Ini mungkin bisa menjelaskan rencana pemboman kereta api
6
yang gagal pada 2006 yang melibatkan dua pemuda Lebanon yang telah tinggal di
Jerman selama beberapa tahun. Meskipun perlu juga untuk dicatat bahwa hanya
segelintir imigran yang bersedia melakukan aksi-aksi teror.
Debat ini memalukan, mengingat Jerman bisa menjadi salah satu negara
termakmur di dunia terutama justru karena para imigran Turki yang merupakan
para pekerja keras, yang ditarik ke Jerman sejak 1960-an. Tanpa mereka, Jerman
tidak akan menjadi negara sekaya sekarang. Para pembuat kebijakan di Berlin
sadar akan masalah-masalah ini, dan tak ada yang bisa mengklaim sekarang
bahwa koeksistensi dalam sebuah masyarakat yang pluralistik bisa terwujud tanpa
nilai-nilai dasar yang berlaku untuk semua orang.
Lembaga-lembaga politik sadar bahwa masalah-masalah integrasi yang
kita hadapi sekarang bisa dijelaskan secara sosial-politik dan bukanlah masalah
genetika atau agama. Pandangan menggelikan yang disampaikan Sarrazin bisa
langsung ditolak hanya dengan melihat sekilas ke seberang Atlantik: menurut
sebuah survei Pew Survey pada 2007, di Amerika Serikat para imigran Muslim
(dua pertiga Muslim Amerika dilahirkan di luar negeri) lebih terintegrasi dan
secara ekonomi lebih berhasil ketimbang para imigran lainnya, dan mereka pun
mengenyam tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Faktor lain yang mungkin memicu pernyataan Merkel adalah bahwa krisis
ekonomi di Jerman, seperti halnya di Eropa secara lebih luas, telah menebarkan
iklim ketidakpastian. Pada masa-masa yang tak menentu, orang menjadi panik –
dan orang-orang panik cenderung berperilaku lebih agresif.
Namun, tatanan demokrasi tidaklah berakar pada kemakmuran ekonomi
melainkan pada ide. Ide-ide seperti hak-hak yang setara dan kebebasan beragama.
Dan, di bawah Merkel, pemerintah Jerman telah berbuat banyak untuk mendorong
nilai-nilai ini. Pada periode legislatif terakhir misalnya, Menteri Dalam Negeri
Wolfgang Schäuble dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah bagian dari
Jerman. Dan presiden Jerman yang baru, Christian Wulff, menegaskan kembali
pesan ini dalam pidatonya pada 3 Oktober di Hari Jerman Bersatu, yang
memperingati saat bersatu kembalinya Jerman pada 1990.
7
Namun, kritik yang Wulff terima dari partainya dan masyarakat umum ternyata
cukup kuat, dan ini memperlihatkan adanya anggapan masyarakat luas bahwa ia
telah mengecilkan nilai-nilai budaya Barat.
Yang terjadi sebetulnya adalah sebaliknya. Melalui pesan ini, Wulff juga
menekankan bahwa orang Kristen di Turki, seperti orang Muslim di Jerman,
berhak mendapat perlakuan yang sama. Dan mereka yang mengklaim bahwa
dunia Barat harus tetap berdiri di atas akar-akar Kristennya, dan menolak
mengakui Islam, pada kenyataannya justru mengingkari demokrasi dan kebebasan
beragama.
Jadi, multikulturalisme tidak mati. Karena sebuah negara yang didasarkan
pada nilai-nilai demokrasi yang fundamental seperti kebebasan beribadah,
menunjukkan kekuatan sejatinya bukan dengan menolak melainkan dengan
meneguhkan keragaman budayanya.
Dua Macam Bangsa yang Berbeda
Kembali ke gagasan bangsa Eropa, yang secara substansial berbeda
dengan gagasan Amerika. Sebagian besar dari sejarahnya, Amerika Serikat
menganggap dirinya sebagai bangsa imigran, tetapi imigran harus menerima
budaya inti dalam proses multikultural. Siapa saja bisa menjadi orang (berbangsa)
Amerika selama mereka bersedia menerima bahasa dan budaya dominan bangsa
tersebut, yang disepakati bersama sebagai budaya inti. Dengan cara demikian,
masih tersedia banyak ruang bagi setiap imigran untuk mempraktikkan keunikan
budaya asal masing-masing, tetapi mereka juga berbagi satu nilai inti yang sama.
Di AS, kewarganegaraan kemudian menjadi konsep legal, yang membutuhkan
proses jelas, janji setia, dan nilai-nilai bersama. Kebangsaan bisa diusahakan, ada
”harga” pasti yang harus ”dibayar”. Hal ini berbeda berlaku di Eropa. Untuk
menjadi orang (bangsa) Perancis, Polandia, atau Yunani, seseorang tidak cukup
hanya dengan mempelajari bahasa atau nilai-nilai budaya setempat, tetapi dia
harus menjadi orang Perancis, Polandia, atau Yunani tulen secara keturunan.
”Mereka harus berbagi sejarah penderitaan dan kejayaan yang sama. Hal ini tidak
bisa diusahakan,”
8
Multikulturalisme Eropa bukan menghormati liberal dan manusiawi untuk
budaya lain yang pura-pura melainkan adalah cara untuk menghadapi kenyataan
bahwa sebuah kolam besar imigran telah diundang sebagai pekerja ke negara itu.
Tawaran multikulturalisme adalah tawaran besar yang dimaksudkan untuk
mengunci loyalitas imigran dalam pertukaran yang memungkinkan mereka untuk
menjaga budayanya dan untuk melindungi budaya Eropa dari pengaruh asing oleh
eksekusi imigran. Jerman mencoba untuk memiliki pekerja dan identitas Jerman
secara bersamaan akan tetapi tidak berhasil.
Multikulturalisme sangat memecah belah, khususnya di negara-negara
yang mendefinisikan sebagai bangsa Eropa. Hal yang menarik adalah bahwa
kanselir Jerman telah memilih untuk menjadi pemimpin paling agresif di Eropa
untuk berbicara menentang multikulturalisme. Alasannya yaitu politik dan sosial
yang jelas. Tetapi juga harus diingat bahwa ini adalah Jerman, yang sebelumnya
membahas masalah bangsa Jerman melalui bencana. Dalam 65 tahun sejak akhir
Perang Dunia II, Jerman telah berhati-hati untuk menghindari diskusi tentang
masalah ini, para pemimpin Jerman tidak ingin mengatakan hal-hal yang
berkomitmen pada budaya Jerman yang dominan. Oleh karena itu, kita perlu
melihat kegagalan multikulturalisme di Jerman dalam arti lain, yaitu berkenaan
dengan apa yang terjadi di Jerman.
Kebangkitan Nasionalisme Jerman Karena Gagalnya Multikulturalisme
Ketika seorang pemimpin dunia mengatakan terang-terangan bahwa
multikulturalisme telah gagal di negerinya, pasti ada sesuatu yang luar biasa
sedang terjadi. Apalagi, saat pemimpin itu adalah pemimpin Jerman, negeri yang
menyimpan trauma dan segunung rasa bersalah akibat politik ”pemurnian ras”
Nazi Jerman yang memicu Perang Dunia II.
Yang kemudian menarik dari analisis George Friedman, pendiri dan CEO
Stratfor Global Intelligence, adalah apa yang membuat pemimpin Jerman justru
mengeluarkan pernyataan paling lugas dan agresif, tanpa tedeng aling-aling,
tentang gagalnya multikulturalisme di Eropa itu, dibandingkan dengan pemimpin
Eropa lainnya.
9
Menurut Friedman, sanggahan terhadap multikulturalisme dengan
sendirinya berarti pengakuan terhadap pentingnya identitas nasional Jerman.
Jerman dalam proses kembali ke dalam sejarah dunia. Selama 65 tahun, Jerman
cenderung meleburkan diri dalam kelompok-kelompok multinasional, seperti UE
(Uni Eropa) dan NATO, demi menghindari topik yang sederhana, tetapi sangat
dalam, yakni nasionalisme. Pernyataan Merkel oleh Friedman dibaca sebagai
tanda bahwa masa-masa ”diam” Jerman telah usai.
Friedman memandang, kebangkitan kembali kesadaran nasional Jerman
tersebut lebih dipicu oleh masalah yang lebih konkret, seperti masalah-masalah
sosial yang disebabkan imigran, dan mulai munculnya keraguan Jerman terhadap
masa depan organisasi multinasional yang ia ikuti. NATO, persekutuan militer
yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara yang tidak memiliki
kekuatan militer berarti, mulai dirasakan sebagai beban karena Jerman termasuk
negara yang harus ikut bertanggung jawab terhadap keamanan negara-negara
tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda UE, terutama kasus hampir bangkrutnya
Yunani beberapa bulan lalu, yang harus ditanggung negara-negara anggota UE
lainnnya, membuat Jerman juga meragukan masa depan konsep Eropa bersatu ini.
Jerman, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama di Eropa, tak mau terpaksa
menjadi penjamin utama finansial UE jika terjadi masalah lagi pada masa depan.
Jerman pun mulai memikirkan masa depannya sendiri dengan mulai berpikir di
luar konteks UE. Salah satu skenario yang diajukan Friedman adalah jalinan kerja
sama Jerman dengan Rusia. Rusia bisa menjadi jawaban atas kebutuhan 400.000
tenaga terampil yang sangat dibutuhkan Jerman untuk menggerakkan
ekonominya.
Jerman saat ini sudah bergantung pada Rusia dalam hal pasokan energi.
Jika Jerman kemudian juga bergantung pada Rusia dalam hal tenaga kerja dan
Rusia bergantung pada Jerman dalam hal investasi, peta Eropa bisa berubah lagi.
Oleh sebab itu, pernyataan Merkel memiliki dua sisi yang sama-sama memiliki
makna penting. Di satu sisi dia mengingatkan ancaman serius multikulturalisme
dan menekankan pentingnya proses integrasi imigran ke dalam masyarakat
10
Jerman. Di sisi lain, melalui peringatan itu, Merkel juga memulai sebuah proses
yang bisa berdampak besar, tak hanya bagi Jerman sendiri ataupun Eropa, tetapi
juga pada keseimbangan kekuatan global. Sejarah yang akan membuktikan.
Dalam pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen
(CDU) di Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang yang sebagian
besar berasal dari Turki atau negara-negara Arab yang beragama Islam, harus
memulai proses integrasi dengan masyarakat asli Jerman, menguasai bahasa
Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat setempat.
George Friedman menjelaskan, ada perbedaan mendasar mengenai konsep
bangsa yang dianut di Eropa dengan Amerika Serikat yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap konsep multikulturalisme masing-masing. AS sejak awal
berdirinya sadar diri sebagai bangsa para imigran. Dari sudut pandang ini,
multikulturalisme di Eropa dapat dikatakan sekadar basa-basi, sekadar sebuah
tindakan untuk menghadapi realitas membanjirnya imigran ke negara mereka.
Maka, dengan konsep seperti itu, multikulturalisme ala Eropa justru menciptakan
alienasi permanen bagi para imigran. Dengan dibebaskan mempertahankan
identitas asli, para imigran di Jerman tak merasa perlu peduli terhadap nasib
Jerman.
Sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang diterapkan hampir di
seluruh Uni Eropa (UE), di mana para pengangguran dan fakir miskin benar-benar
bisa hidup atas tanggungan jaminan sosial dari negara, disebut Frum sebagai daya
tarik utama banjirnya imigran ke Eropa.
Melimpahnya imigran, yang rata-rata berpendidikan rendah dan tidak
berketerampilan, memicu berbagai masalah sosial, seperti pengangguran,
kecemburuan sosial, dan kriminalitas. Namun, di sisi lain, Jerman dan negara-
negara utama EU lainnya membutuhkan para imigran ini untuk menggerakkan
ekonomi mereka. Kamar Dagang dan Industri Jerman menyatakan, saat ini Jerman
masih membutuhkan sedikitnya 400.000 tenaga kerja terampil.
Islamofobia
Berbagai masalah sosial yang dipicu para imigran tersebut kemudian
menumbuhkan perasaan islamofobia, serba curiga, dan berpikir negatif terhadap
11
Islam secara keseluruhan, hanya karena kebetulan para imigran di Eropa sebagian
besar berasal dari latar belakang dunia Islam.
Jeane Kay menyebut perang terhadap terorisme yang dilancarkan AS dan
obsesi antiterorisme masyarakat global turut menyumbang rasa anti-Islam di
kalangan masyarakat Eropa. Beberapa kota di Eropa turut menjadi sasaran
serangan teror, seperti Madrid (2004) dan London (2005), dan baru-baru ini
terbongkar plot serangan teror Al Qaeda ke beberapa kota utama di Eropa.
Belakangan, sentimen islamofobia itu dipolitisasi oleh golongan
ultrakanan di Eropa dan memicu semacam kebangkitan kembali paham ultrakanan
hampir di seluruh Eropa. Makin menguatnya dukungan terhadap Partai
Kemerdekaan yang dipimpin Geert Wilders di Belanda, kenaikan jumlah pemilih
Front Nasional pimpinan Jean-Marie Le Pen di Prancis, dan kemenangan Liga
Utara di dua provinsi di Italia utara adalah beberapa tanda kebangkitan partai-
partai beraliran ultrakanan di Eropa. Di Swedia dan Austria, partai ultrakanan juga
mendapat suara yang signifikan dalam pemilu nasional ataupun regional dalam
kurun waktu dua bulan terakhir ini.
Menurut Frum, masalah imigran di Eropa bisa diselesaikan apabila negara-
negara UE mengadopsi kebijakan Amerika Serikat, yakni penegakan hukum yang
lebih keras, sistem jaminan sosial yang tak terlalu murah hati, dan pembangunan
identitas nasional yang lebih kuat.
Sementara itu, Kay berpendapat, masalah utamanya adalah kegagalan
model integrasi tradisional yang diterapkan negara-negara Eropa. ”Sama seperti
kegagalan mereka menawarkan alternatif terhadap hegemoni neoliberalisme
dalam kebijakan ekonomi, para penganut sosial demokrat (aliran politik yang
diterapkan rata-rata negara kesejahteraan di Eropa) tetap tak bisa merumuskan
model integrasi alternatif yang konkret, berdasarkan multikulturalisme sejati.”
DAFTAR PUSTAKA
12
http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/main-content-08/migrasi-dan-integrasi.html, diakses 2 April 2011.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/24/0340268/tanda.kebangkitan.jerman, diakses 2 April 2011.
https://politikinternational.wordpress.com/2010/10/24/kebangkitan-nasionalisme-jerman-karena-gagalnya-multikulturalisme/, diakses 3 April 2011.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2801&Itemid=222, diakses 3 April 2011.
13