tugas harian 11 tifoid
DESCRIPTION
HJTRANSCRIPT
Tugas Harian 11: DISKUSI TIFOID
1. Apa nama pemeriksaan kultur pada tifoid?
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera
dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga
kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1
sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan
koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit
adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
2. Sebutkan tanda-tanda akut abdomen!
Inspeksi
- meteorismus
- darm counter
- darm steifung
- tumor
- dilatasi vena
- benjolan
Auskultasi
- dengarkan gerakan peristaltic usus
- bila suara usus tidak terdengar (silent abdomen) menandakan terjadinya peritonitis
atau ileus paralitik
- bila terdengan suara usus seperti borborygmi dan metallic sound sebagai tanda ileus
mekanik
Perkusi
- untuk mengetahui adanya massa atau cairan intra abdominal
Palpasi
- perhatikan adanya distensi, defans muscular, nyeri tekan, adanya massa, hernia
Rectal Toucher
- untuk mengetahui causa ileus mekanik, invaginasi, tumor, appendikuler infiltrate
- dilakukan dengan cara bimanual
3. Apa itu toksik tifoid? Mengapa tifoid dapat menyebabkan penurunan kesadaran?
Komplikasi Neuropsikiatri
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang,
semi-koma atau koma. Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut,
mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.
Komplikasi neurologis pada demam tifoid yang tidak biasa terjadi dan hanya
berkisar 5 sampai 35% dalam berbagai penelitian. ensefalopati tifoid adalah yang
paling umum (9,6-57%) diikuti oleh meningismus (5 sampai 17%). 1,2 kejang (1,7-
40%), kelenturan (3,1%), defisit neurologis fokal (0,5%) dan Meningitis (0,2%) yang
sering digambarkan. komplikasi lainnya yang jarang terjadi seperti sindrom Parkinson,
penyakit motor neuron-, amnesia transien, simetris neuropati sensori-motor,
schizophreniform psikosis dan keterlibatan cerebellar juga dijelaskan. Afasia sebagai
komplikasi demam tifoid digambarkan dalam 2 sampai 7,4% dalam berbagai
penelitian.
Sebagian besar komplikasi neurologis dijelaskan terlihat selama perjalanan
penyakit, pada demam tinggi atau selama penurunan suhu tubuh sampai yg normal.
Beberapa terjadi selama masa pemulihan seperti neuropati, amnesia dan psikosis.
Yang lain seperti penyakit motor neuron, kerusakan skolastik terjadi setelah
pemulihan
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor,
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam
tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor social ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan kepercayaan
(adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan
akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,
langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg ditambah
ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg.
Prognosis defisit neurologis pada demam enterik biasanya baik. Dalam sebagian
besar kasus pemulihan lambat dan lengkap, tetapi dalam beberapa kasus defisit dapat
bertahan lama.
a) Ensefalopati Tifoid
Tifoid ensefalopati diperkirakan terjadi pada minggu ketiga penyakit. Meskipun
sekarang jarang bagi individu untuk tetap tidak diobati selama jangka waktu tersebut.
Dalam sebuah penelitian, rata-rata durasi demam tidak berbeda secara signifikan
antara pasien dengan atau tanpa ensefalopati. Temuan ini konsisten dengan laporan
sebelumnya dari Indonesia yang menunjukkan bahwa pasien dengan ensefalopati
didapati setelah 7-9 hari dari gejala. Namun, ini hanya pada pasien dengan biakan-
positif.
Ensefalopati tifoid diduga terjadi karena endotoksin dari Salmonella Thypii.
Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak
jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini
menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
b) Meningitis Tifoid
Salah satu komplikasi dari demam tifoid adalah meningitis. Meningitis karena
Salmonella typhi terutama menyerang bayi dan anak. Walaupun banyak spesies dari
Salmonella yang telah diisolasi dari cairan serebrospinal seperti S. Paratyphi, S.
Typhimurium, S. panama, Salmonella typhi merupakan satu-satunya bakteri yang
sangat jarang ditemukan dan diduga kuat sebagai penyebab meningitis purulenta.
Dalam banyak kasus bakteremia karena Salmonella typhi terjadi sebagai komplikasi
selama menderita demam tifoid, di mana demam dan gejala-gejala gastrointestinal
merupakan gambaran utama.
Di dunia, telah diperkirakan bahwa sekitar 35 juta kasus dan 500.000 kematian
terjadi setiap tahunnya karena infeksi Salmonella typhi. Suatu kejadian yang amat
tinggi dari bakteremia, Sepsis dan Infeksi Meningitis Salmonella typhi terjadi pada
bayi yang lebih muda dari usia satu tahun.
Meningitis Salmonella jarang terjadi di negara maju, tetapi merupakan penyebab
yang relatif umum terjadi di negara berkembang. Salmonella typhi menyumbang
5,9% dari semua kasus meningitis bakteri. Meningitis salmonella terkait dengan
morbiditas dan mortalitas, terutama pada neonatus. Komplikasi Akut neurologis
meningitis salmonella adalah ventriculitis, subdural empiema, hidrosefalus dan
kelainan kronik neurologis sebanyak 43% kasus, tingkat kekambuhan meningitis
salmonella 64%. Namun, fokus infeksi intrakranial fokal karena Salmonella jarang.
Meningitis Salmonella typhi, terutama pada masa bayi, tetap penyakit yang
merusak dengan kematian yang tinggi dan prevalensi tinggi kerusakan neurologis. Di
negara berkembang, di mana Salmonella typhi terhitung infeksi untuk persentase
yang signifikan dari meningitis pada bayi, terapi antibiotik empiris awal harus
dirancang untuk melindungi dari organisme ini.
c) Ataksia Serebellar Akut Reversibel
Tanda serebellar kemungkinan besar terjadi pada minggu kedua onset demam
tifoid dan mungkin terjadi lebih cepat. Sawhney et all (1988) meneliti fungsi
serebellar pada tiga pasien pada hari kedua dan ketiga demam tifoid. Gejala progresif
selama 1 - 2 hari, setelah itu tidak ada perubahan pada simptom untuk 1 – 2 minggu
ke depan. Pasien mulai sembuh secara berangsur-angsur dalam 1 – 2 minggu. Gejala
mayor serebellar adalah ataxic gait dengan ataksia ekstremitas. Serebellitis viral akut
mungkin memiliki gejala klinis yang sama.
Patogenesis ataksia serebellar pada demam tifoid masih belum diketahui.
Gangguan metabolik, toksemia, hiperpireksia, perubahan serebral non-spesifik
seperti edema dan pendarahan ditemukan sebagai penyebab ataksia serebellar.
Ukadgoankar et al (1981) menyatakan bahwa gangguan serebellar mungkin
berhubungan dengan terapi kloramfenikol. Mereka membuktikan bahwa
kloramfenikol dan Salmonella bergabung membentuk produk yang bersifat toksik
pada serebellum atau menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Namun hipotesis
Ukadgoankar et al tidak dapat menjelaskan manifestasi serebellar pada pasian yang
belum diterapi dengan kloramfenikol.
4. Apa yang dimaksud dengan KLB (Kejadian Liar Biasa)?
Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang Wabah sebagai
berikut:
Wabah : adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat
baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan
malapetaka.
Kejadian Luar Biasa (KLB) : adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan
atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undang-
undang Wabah, 1984).
Pada penyakit yang lama tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah
(non-endemis), adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB.
Di Indonesia dengan tujuan mempermudah petugas lapangan dalam mengenali adanya
KLB telah disusun petunjuk penetapan KLB, sebagai berikut :
1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan
kenaikan 3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih.
2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu
Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan
angka rata-rata sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di
kecamatan tersebut itu.
3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu
penyakit menular di suatu kecamatan, menjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila
dibandingkan dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit
yang sama di kecamatan yang sama pula.
4. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di suatu
kecamatan, menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang
sama dalam bulan yang lalu di kecamatan tersebut.
5. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu
bulan, dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular
yang sama selama periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih.
6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS :
• Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas, di suatu
daerah endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas.
• Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut di atas. Di
suatu kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas
selama 4 minggu berturut-turut.
7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok
masyarakat.
8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada/dikenal.