tugas hypotesis

7
Kolerasi Antara Rokok dan PPOK Disusun Oleh : Oleh: dr. Aisyah Wirdah FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN SPESIALIS UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Upload: emibgt

Post on 17-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tugas Hypotesis

Kolerasi Antara Rokok dan PPOK

Disusun Oleh :

Oleh:

dr. Aisyah Wirdah

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN SPESIALIS

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015

Page 2: tugas Hypotesis

Merokok merupakan faktor yang independen dalam menyebabkan terjadinya PPOK

di samping faktor paparan jangka panjang oleh partikel atau gas berbahaya lainnya. Ketika

terpapar dengan asap rokok, akan menyebabkan terjadi nya inflmasi paru yang progresif dan

akan menyebabkan kerusakan progresif pada parenkim paru. Merokok merupakan faktor

yang independen dalam menyebabkan terjadinya PPOK disamping faktor paparan jangka

panjang oleh partikel atau gas berbahaya lainnya. Risiko terkena PPOK pada perokok

tergantung pada “dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah

rokok yang dihisap perhari dan berapa lama orang tersebut merokok. Menurut Global

Initiative for Chronic Obstuctive Lung Disease (GOLD), derajat merokok seseorang dapat

diklasifikasikan menurut Indeks Brinkman, yaitu jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap

sehari dikalikan dengan lamanya merokok dalam tahun dikatakan : ringan bila nilainya <200,

sedang bila 200-599, dan berat bila ≥600 (GOLD, 2010).

1. Apakah angka kejadian PPOK pada orang yang merokok berbeda?

Kejadian PPOK pada perokok lebih tinggi dibanding tidak merokok (35,5% vs

7,8%) sedangkan pada bekas perokok didapatkan sekitar 11%.

Pada penelitian IGK Sajinadiyasa, IM Bagiada, IB di Bali, didapatkan pasien

dengan PPOK terpapar rokok sebanyak 81,3% (Sajinadiyasa, IB Ngurah Rai, 2009).

Menurut hasil penelitian oleh Prabaningtyas. O (2010) di Solo menunjukkan terdapat

hubungan yang signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Perokok berat

mempunyai resiko terkena PPOK 3 kali lebih besar daripada perokok ringan dan sedang.

(OR = 2,89; p=0.008) (Prabaningtyas O, 2010). Pada penelitian Yuarsa dkk (2013) di

RS Persahabatan Jakarta didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat beratnya

PPOK dengan Indeks Brinkman dengan nilai p:0,01 dan koefisien interval 95%

(Yuarsa.T.A dkk, 2013).. Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian Yuarsa dkk

(2013) dimana didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat PPOK dengan

Indeks Brinkman dengan nilai p: 0,01 dengan koefisien interval 95%.

Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ika nugraha C.A (2010) yang

mendapatkan hubungan statistik yang signifikan antara derajat berat merokok dan

derajat berat PPOK. Perokok sedang atau berat memiliki risiko untuk mengalami

PPOK derajat berat atau lebih, 8 kali lebih besar daripada perokok ringan. Pada

penelitian Prabaningtyas dkk (2010) dikatakan bahwa terdapat hubungan yang

Page 3: tugas Hypotesis

signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Perokok berat mempunyai

risiko terkena PPOK 3 kali lebih besar daripada perokok ringan dan sedang (OR=

2,89; p= 0,008).

2. Bagaimana hubungan antara Derajat berat PPOK dengan nilai VEP1?

Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ika nugraha C.A (2010) yang

mendapatkan hubungan statistik yang signifikan antara derajat berat merokok dan

derajat berat PPOK. Perokok sedang atau berat memiliki risiko untuk mengalami

PPOK derajat berat atau lebih, 8 kali lebih besar daripada perokok ringan. Pada

penelitian Prabaningtyas dkk (2010) dikatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Perokok berat mempunyai

risiko terkena PPOK 3 kali lebih besar daripada perokok ringan dan sedang (OR=

2,89; p= 0,008). Berdasarkan penelitian Yuarsa dkk, Prabaningtiyas dkk, dan

Ika nugraha C.A dikatakan bahwa semakin banyak jumlah rokok yang dihisap (pack-

years), akan semakin tinggi pula stadium PPOK nya dan semakin rendah nilai VEP1

nya. Ini terjadi karena hubungan antara rokok dan PPOK adalah hubungan dose

response, yaitu lebih lama dan lebih banyak kebiasaan merokok tersebut maka risiko

penyakit yang ditimbulkan juga semakin besar.

3. Apakah ada perbedaan antara karakteristik dengan hasil pemeriksaan

Spirometri?

Berdasarkan penelitian Yuarsa dkk, Prabaningtiyas dkk, dan Ika nugraha C.A

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes spirometri diantaranya umur,

jenis kelamin, ras, riwayat merokok (Indeks Brinkman), pekerjaan dan IMT. Dari

beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan volume ekspirasi

paksa detik pertama (VEP1) pada pasien PPOK yang perokok. Risiko PPOK pada

perokok tergantung dari “dosis merokok” nya, seperti usia mulai merokok, jumlah

batang rokok yang diisap perhari dan lamanya merokok. Dikatakan ras mempengaruhi

hasil spirometri karena pada ras kulit hitam mempunyai kapasitas paru lebih tinggi

dibandingkan ras kulit putih. Pekerjaan mempengaruhi hasil spirometri dimana

seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan aktivitas yang lebih banyak cenderung

Page 4: tugas Hypotesis

mempunyai kekuatan pernafasan yang meningkat dibandingkan mereka yang

mempunyai aktivitas yang sedikit.

4. Apakah jenis rokok berpengaruh dengan PPOK?

Perbedaan risiko di antara para perokok untuk terkena PPOK yang ditunjukan

pada penelitian Ika Nugara C.A dibandingkan dengan penelitian Prabaningtyas

dkk. yaitu 8 kali dibanding dengan 3 kali, salah satunya bisa dikarenakan adanya

komposisi kimia dari asap rokok yang tergantung pada jenis tembakau, desain rokok

(seperti ada tidaknya filter atau bahan tambahan), dan pola merokok individu. Salah

satu bahan dari rokok yaitu nikotin yang merupakan partikel padat yang mudah

diserap oleh selaput lendir mulut, hidung dan jaringan paru. Jenis rokok sendiri terdiri

dari dua jenis, yaitu rokok berfilter dan tidak berfilter (rokok kretek). Filter rokok

terbuat dari bahan busa berserabut sintetis yang berguna untuk menyaring nikotin dan

tar. Selain itu besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh

kuantitas rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok antara lain usia mulai

merokok, lama merokok, dalamnya hisapan rokok dan lain-lain. Pajanan asap rokok

menyebabkan kelainan pada mukosa saluran napas, kapasitas ventilasi maupun fungsi

sawar alveolar. Selain kebiasaan merokok terdapat beberapa faktor risiko lainnya

seperti polusi udara, lingkungan, genetik, hiperaktifitas bronkus, daya tahan saluran

nafas yang kurang, dan defisiensi alfa antitripsin.

Page 5: tugas Hypotesis

DAFTAR PUSTAKA

Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD), global strategy for the

diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary

disease.National Institutes of Health. National Heart, Lung and Blood Institute,

2011.Available from : Available from: http//www/goldcopd.org/uploads/user/files/GOLD

report April 2011.pdf

Prabaningtyas, O. Hubungan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK. Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, G000209, 2010.

Sajinadiyasa, IB Ngurah Rai. Kejadian obsruksi dan kebiasaan merokok pada warga

masyarakat Desa Tenganan Pengringsingan Bali. In: Andarini S, Susanto AD, editors.

Proceeding book the 7th scientivic respiratory medicine meeting PIPKRA: 2009 Feb 13-

15; Jakarta, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS

Persahabatan, 2009.p.85

Yuarsa.T.A, Yunus.F, Antariksa.B. Korelasi Penilaian Kualitas Hidup dan Prognosis

Penderita Penyakit Obstruktif Kronik dengan CAT, SGRQ dan BODE di Rumah

Sakit Persahabatan Jakarta. J Respir Indo.2013; 33:8-16