tugas juna asi dan pasi.docx
TRANSCRIPT
1. Air Susu Ibu(ASI)
A. Pengertian
Menyusui adalah suatu proses alamiah yang besar artinya bagi kesejahteraan bayi,
ibu, dan keluarga. Dengan menyusui, maka kesuburan ibu akan menurun, dan
penurunan kesuburan ini dapat menghindari kehamilan berikutnya dalam interval
waktu yang singkat, sehingga ibu dapat mencurahkan perhatian dan kasih sayang
sepenuhnya bagi pertumbuhan bayinya, memberi kesempatan pada ibu untuk
memulihkan kondisinya setelah kehamilan dan persalinan (Nindya, 2006).
Laktasi adalah sekresi air susu dari payudara, karena adanya pengaruh hormon
estrogen, progesteron dan prolaktin selama kehamilan, dimana penyemprotan air susu
dari puting payudara terjadi akibat pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sebagai
respon terhadap hisapan pada puting payudara yang telah berada di bawah pengaruh
prolaktin, oksitosin merangsang kontraksi otot polos duktus payudara dan
menyebabkan keluarnya air susu, dimana oksitosin berada di bawah kontrol
hipotalamus dan dipengaruhi oleh faktor emosi maupun fisik (Corwin, 2001).
Frekuensi menyusui merupakan berapa sering dan lama ibu saat menyusui bayinya
dalam sehari semalam (Radjawane, 2006).
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam organik
yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu, sebagai makanan utama bagi
bayi (Kristiyanasari, 2009).
ASI eksklusif adalah bayi hanya diberikan ASI saja selama 6 bulan, tanpa tambahan
cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim.
1. Manfaat ASI
1) Bagi bayi
a) Mengandung zat gizi yang sesuai bagi bayi
Zat gizi utama yang ada pada ASI diantaranya adalah:
(1) Lemak
Lemak merupakan sumber kalori utaa bagi bayi, sebanyak 50% kalori ASI berasal
dari lemak. Walaupun kadar emak ASI lebih tinggi namun lemak pada ASI mudah
diserap oleh bayi dibandingkan susu formula. Lemak yang terdapat pada ASI terdiri
dari kolesterol dan asam lemak essensial yang sangat penting untuk pertumbuhan
otak.
(2) Karbohidrat
ASI mengandung laktosa sebagai karbohidrat utama. Selain sebagai sumber kalori,
laktosa juga berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium dan merangsang
pertumbuhan laktobasilus bifidus yang berperan dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme di saluran pencernaan.
(3) Protein
Protein pada ASI lebih baik daripada protein pada susu formula, karena protein yang
terdapat pada ASI lebih mudah dicerna, selain itu ASI mengandung sistin dan taurin
diperlukan untuk pertumbuhan otak.
(4) Vitamin
ASI mengandung cukup vitamin yang dibutuhkan bayi, seperti Vitamin K, Vitamin D,
dan Vitamin E.
b) Mengandung zat protektif (kekebalan)
Bayi yang memperoleh ASI biasanya jarang mengalami sakit karena ASI
mengandung zat protektif, diantaranya adalah: laktobasilus bifidus, laktoferin,
antibodi, dan tidak menimbulkan alergi.
c) Mempunyai efek psikologis
Kontak langsung antara ibu dan bayi ketika terjadi proses menyusui dapat
menimbulkan efek psikologis sehingga membangun kedekatan ibu dan bayinya. Hal
ini sangat penting untuk perkembangan psikis dan emosi bayi.
d) Menyebabkan pertumbuhan yang baik
Bayi yang mendapatkan ASI akan mengalami peningkatan berat badan yang lebih
signifikan dan mengurangi resiko obesitas.
e) Mengurangi kejadian karies gigi
Kejadian karies gigi lebih banyak ditemukan pada bayi yang menggunakan susu
formula. Hal ini disebabkan adanya kebiasaan menyusui dengan botol sebelum tidur
akan menyebabkan kontak gigi dengan sisa susu formula menjadi lebih lama sehingga
asam yang terbentuk akan menyebabkan kerusakan pada gigi.
f) Membantu perkembangan rahang dan merangsang pertumbuhan gigi karena
gerakan menghisap mulut bayi pada payudara.
2) Bagi ibu
a) Aspek kontrasepsi
Hisapan mulut bayi pada puting susu merangsang ujung saraf sensorik sehingga post
anterior hipofise mengeluarkan prolaktin. Prolaktin masuk ke indung telur, menekan
produksi estrogen akibatnya tidak ada ovulasi.
b) Aspek kesehatan ibu
Isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya oksitosin oleh kelenjar
hipofisis. Oksitosin membantu involusi uterus dan mencegah terjadinya perdarahan
pasca persalinan. Mencegah kanker mamae pada ibu.
c) Aspek penurunan berat badan
Ibu yang menyusui eksklusif ternyata lebih mudah dan lebih cepat kembali ke berat
badan semula seperti sebelum hamil. Dengan menyusui, tubuh akan menghasilkan
ASI lebih banyak lagi sehingga timbunan lemak yang berfungsi sebagai cadangan
tenaga akan terpakai sehingga berat badan ibu akan cepat kembali ke keadaan seperti
sebelum hamil.
d) Aspek psikologis
Ibu akan merasa bangga dan diperlukan, rasa yang dibutuhkan oleh semua manusia.
3) Bagi keluarga
a) Aspek ekonomi
ASI tidak perlu dibeli, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk membeli susu
formula dapat digunakan untuk keperluan lain. Bayi yang mendapatkan ASI juga
jarang sakit sehingga mengurangi biaya berobat.
b) Aspek psikologis
Kebahagiaan keluarga bertambah, karena kelahiran lebih jarang, sehingga suasana
kejiwaan ibu baik dan dapat mendekatkan hubungan bayi dengan keluarga.
c) Aspek kemudahan
Menyusui sangat praktis, karena dapat diberikan dimana saja dan kapan saja.
Keluarga tidak perlu repot menyiapkan air masak, botol, dan dot yang harus
dibersihkan serta minta pertolongan orang lain.
4) Bagi Negara
a) Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi
Adanya faktor protektif dan nutrient yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi baik
serta kesakitan dan kematian anak menurun.
b) Menghemat devisa Negara
ASI dapat dianggap sebagai kekayaan nasional. Jika semua ibu menyusui
diperkirakan dapat menghemat devisa sebesar Rp. 8,6 milyar yang seharusnya dipakai
untuk membeli susu formula.
c) Mengurangi subsidi untuk rumah sakit
Subsidi untuk rumah sakit berkurang, karena rawat gabung akan memperpendek lama
rawat ibu dan bayi, mengurangi komplikasi persalinan dan infeksi nosokomial serta
mengurangi biaya yang diperlukan untuk perawatan anak sakit. Anak yang mendapat
ASI lebih jarang dirawat di rumah sakit dibandingkan anak yang mendapatkan susu
formula.
d) Peningkatan kualitas generasi penerus
Anak yang mendapatkan ASI dapat tumbuh kembang secara optimal sehingga
kualitas generasi penerus bangsa akan terjamin (Kristiyanasari, 2009).
1. Proses terbentuknya ASI
Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya
belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi. Pada hari kedua
atau ketiga pasca persalinan, kadar estrogen dan progesteron turun drastis, sehingga
pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah terjadi sekresi ASI. Dengan
menyusukan lebih dini terjadi perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin
hiofisis, sehingga sekresi ASI semakin lancer. Dua refleks pada ibu yang sangat
penting dalam proses laktasi, refleks prolaktin dan refleks aliran timbul akibat
perangsangan puting susu oleh isapan bayi.
1) Refleks prolaktin
Sewaktu bayi menyusu, jung saraf peraba yang terdapat pada puting susu terangsang.
Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu
memacu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah.
Melalui sirkulasi prolaktin memacu sel kelenjar (alveoli) untuk memproduksi air susu.
Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah susu yang diproduksi berkaitan dengan
stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas dan lamanya bayi menghisap.
2) Refleks aliran (let down refex)
Tanpa melihat apakah seorang ibu kelak akan menyusui bayinya atau tidak, buah dada
ibu telah dipersiapkan untuk laktasi oleh hormon – hormon yang disekresi selama
kehamilan. Selama kehamilan ini jumlah alveoli meningkat dan mengalami
perubahan-perubahan guna mempersiapkan produksi ASI.
Agar ASI dapat dikeluarkan, diperlukan hormon oksitosin yang disekresikan oleh
glandula pituitaria posterior atas rangsangan isapan bayi. Oksitosin ini menyebabkan
jaringan muskuler sekeliling alveoli berkontraksi yang dengan demikian mendorong
ASI menuju ductus. Proses ini disebut dengan let down reflex.
1. Komposisi ASI
1) Kolostrum
Disekresi oleh kelenjar mammae dari hari pertama sampai hari ketiga atau keempat
dari masa laktasi. Kolostrum merupakan cairan kental yang ideal. Kolostrum
merupakan suatu laksatif yang ideal untuk membersihkan mekoneum usus bayi yang
baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan bayi untuk menerima makanan
selanjutnya, mengandung kadar protein yang tinggi terutama gama globulin sehingga
dapat memberikan perlindungan tubuh terhdap infeksi, serta mengandung zat antibodi
sehingga mampu melindungi tubuh bayi dari berbagai penyakit infeksi.
2) Air susu masa peralihan (masa transisi)
Merupakan ASI peralihan dari kolostrum menjadi ASI matur. Disekresi dari hari ke 4
sampai dengan hari ke 10 dari masa laktasi.
3) Air susu matur
ASI yang disekresi pada hari ke 10 dan seterusnya. Merupakan makanan yang
dianggap aman bagi bayi (Kristiyanasari, 2009).
1. Volume Produksi ASI
Pada bulan – bulan terakhir kehamilan sering ada sekresi kolostrum pada payudara
ibu hamil. Setelah persalinan apabila bayi mulai mengisap payudara, maka produksi
ASI bertambah secara cepat. Dalam kondisi normal ASI diproduksi sebanyak 10 –
100 cc pada hari pertama. Produksi ASI menjadi konstan setelah hari ke 10 – 14.
Rata- rata ibu menyusui menghasilkan 700 – 800 ml susu perhari pada 6 bulan
pertama dan sekitar 600 ml perhari pada 6 bulan kedua (Atikah dan Asfuah, 2009).
1. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI
1) Frekuensi penyusuan
Produksi ASI akan optimal jika ASI dipompa lebih dari 5 kali perhari selama bulan
pertama setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan paling sedikit 8 kali per hari pada
periode awal setelah melahirkan. Frekuensi menyusui ini berkaitan dengan
kemampuan stimulasi hormone dalam kelenjar payudara.
2) Berat lahir
Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan menghisap ASI yang lebih
rendah dibanding bayi yang lahir normal (>2500 gram). Kemampuan menghisap yang
lebih rendah ini meliputi frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding
bayi berat lahir normal yang akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan
oksitosin dalam memproduksi ASI.
3) Umur kehamilan saat melahirkan
Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini disebabkan bayi
yang lahir premature (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak
mampu menghisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada bayi
yang lahir tidak prematur.
4) Umur dan paritas
Umur dan paritas kecil hubungannya dengan produksi ASI. Hal ini karena pemenuhan
gizi bayi dan ibu setiap orang berbeda – beda.
5) Stres dan penyakit akut
Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi produksi
ASI karena menghambat pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI akan berlangsung bai
pada ibu yang merasa rileks dan nyaman.
6) Konsumsi rokok
Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan menggangu hormon prolaktin
dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin
dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin.
7) Konsumsi alkohol
Meskipun minuman alcohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu merasa lebih
rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat
menghambat produksi oksitosin.
8) Pil kontrasepsi
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan
penurunan volume dan durasi ASI, sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin
maka tidak ada dampak terhadap volume ASI (Proverawati dan asfuah, 2009).
1. Manajemen Laktasi
Manajemen laktasi adalah upaya – upaya yang dilakukan untuk menunjang
keberhasilan menyusui. Dalam pelaksanaannya terutama dimulai pada masa
kehamilan, segera setelah persalinan dan pada masa menyusui selanjutnya. Adapun
upaya-upaya yang dilakukan sebagai berikut :
1) Pada masa kehamilan (antenatal)
a) Memberikan penerangan dan penyuluhan tentang manfaat dan keunggulan ASI,
manfaat menyusui baik bagi ibu maupun bayinya, disamping bahaya pemberian susu
botol.
b) Pemeriksaan kesehatan, kehamilan dan payudara / keadaan puting susu, apakah
ada kelainan atau tidak. Di samping itu perlu dipantau ada kenaikan berat badan ibu
hamil.
c) Perawatan payudara mulai usia kehamilan 6 bulan agar ibu mampu memproduksi
dan memberikan ASI yang cukup.
d) Memperhatikan gizi/ makanan ditambah mulai dari kehamilan trisemester kedua
sebanyak 1/ 3 kali dari makanan pada saat sebelum hamil.
e) Menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan. Dalam hal ini diperlukan
keluarga, terutama suami kepada istri yang sedang hamil untuk memberikan
dukungan dan membesarkan hatinya
2) Pada masa segera setelah persalinan (prenatal)
a) Ibu dibantu menyusui 30 menit setelah kelahiran dan ditunjukkan cara menyusui
yang baik dan benar, yaitu tentang posisi dan cara melekatkan bayi pada payudara
ibu.
b) Membantu terjadinya kontak langsung antara ibu dan bayi selama 24 jam.
c) Ibu nifas diberikan kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 IU) dalam waktu 2
minggu setelah melahirkan.
3) Pada masa menyusui selanjutnya (postnatal)
a) Menyusui dilanjutkan secara eksklusif selama 6 bulan pertama usia Bayi.
b) Perhatikan gizi / makanan ini menyusui, perlu makanan 1 ½ kali lebih banyak
dari biasa dan minum 8 gelas / hari.
c) Ibu menyusui harus istirahat dan menjaga ketenangan pikiran dan menghindarkan
kelelahan yang berlebihan agar produksi ASI tidak terhambat.
d) Perhatian dan dukungan keluarga penting terutama suami untuk menunjang
keberhasilan menyusui.
e) Rujuk ke Posyandu atau Puskesmas atau petugas kesehatan apabila ada
permasalahan menyusui seperti payudara bengkak disertai demam.
f) Menghubungi kelompok pendukung ASI terdekat untuk meminta pengalaman
dari ibu-ibu lain yang sukses menyusui bayi mereka.
g) Memperhatikan gizi / makanan anak, terutama mulai 6 bulan, berikan MP ASI
yang cukup baik kuantitas maupun kualitas.
1. Cara Pemberian ASI
Cuci tangan yang bersih dengan sabun, perah sedikit ASI dan oleskan di sekitar
puting, duduk dan berbaring dengan santai. Bayi diletakkan menghadap ke ibu dengan
posisi sanggah seluruh tubuh bayi, jangan hnya leher dan bahunya saja, kepala dan
tubuh bayi lurus, hadapkan bayi ke dada ibu, sehingga hidung bayi berhadapan
dengan puting susu, dekatkan badan bayi ke badan ibu, menyentuh bibir bayi ke
puting susunya dan menunggu sampai mulut bayi terbuka lebar. Segera dekatkan bayi
ke payudara sedemikian rupa sehingga bibir bawah bayi terletak di bawah puting
susu. Cara melekatkan mulut bayi dengan benar yaitu dagu menempel pada payudara
ibu, mulut bayi terbuka lebar dan bibir bawah bayi membuka lebar.
1. Lama dan Frekuensi Menyusui
Sebaiknya dalam menyusui bayi tidak dijadwal, sehingga tindakan menyusui bayi
dilakukan di etiap saat bayi membutuhkan, karena bayi akan menentukan sendiri
kebutuhannya. Ibu harus menyusui bayinya bila bayi menangis bukan karena sebab
lain (kencing, kepanasan/ kedinginan) atau ibu sudah merasa perlu menyusui bayinya.
Bayi yang sehat dapat mengosongkan satu payudara sekitar 5 – 7 menit dan ASI
dalam lambung bayi akan kosong dalam waktu 2 jam. Pada awalnya, bayi tidak
memiliki pola yang teratur dalam menyusui dan akan mempunyai pola tertentu setelah
1 – 2 minggu kemudian.
Makanan Pendamping- ASI
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada
bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI
(Depkes, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan
keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik
bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat
pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2004).
MP-ASI merupakan peralihan asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan
yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral.
Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes,2000).
Adapun waktu yang baik dalam memulai pemberian MP-ASI pada bayi adalah umur
6 bulan. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum umur tersebut akan
menimbulkan risiko sebagai berikut :
- Rusaknya sistem pencernaan karena perkembangan usus bayi dan pembentukan
enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan memerlukan waktu 6 bulan. Sebelum
sampai usia ini, ginjal belum cukup berkembang untuk dapat menguraikan sisa yang
dihasilkan oleh makanan padat.- Tersedak disebabkan sampai usia 6 bulan, koordinasi
syaraf otot (neuromuscular) bayi belum cukup berkembang untuk mengendalikan
gerak kepala dan leher ketika duduk dikursi. Jadi, bayi masih sulit menelan makanan
dengan menggerakan makanan dari bagian depan ke bagian belakang mulutnya,
karena gerakan ini melibatkan susunan refleks yang berbeda dengan minum susu.
- Meningkatkan resiko terjadinya alergi seperti asma, demam tinggi , penyakit
seliak atau alergi gluten (protein dalam gandum).
- Batuk, penelitian bangsa Scotlandia adanya hubungan antara pengenalan makanan
pada umur 4 bulan dengan batuk yang berkesinambungan.
- Obesitas, penelitian telah menghubungkan pemberian makanan yang berlebih di
awal masa perkenalan dengan obesitas dan peningkatan resiko timbulnya kanker,
diabetes dan penyakit jantung di usia lanjut (Lewis, 2003).
2.1.1 Jenis MP-ASI
Beberapa Jenis MP-ASI yang sering diberikan adalah: 1). Buah, terutama pisang yang
mengandung cukup kalori. Buah jenis lain yang
sering diberikan pada bayi adalah : pepaya, jeruk, dan tomat sebagai sumber vitamin
A dan C.
2). Makanan bayi tradisional : a). Bubur susu buatan sendiri dari satu sampai dua
sendok makan tepung beras
sebagai sumber kalori dan satu gelas susu sapi sebagai sumber protein.
b). Nasi tim saring, yang merupakan campuran dari beberapa bahan makanan, satu
sampai dua sendok beras, sepotong daging, ikan atau hati, sepotong tempe atau tahu
dan sayuran seperti wortel dan bayam, serta buah tomat dan air kaldu.
3). Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam kaleng, karton,
karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis makanan seperti ini perlu dibaca
dengan teliti komposisinya yang tertera dalam labelnya (Lewis, 2003).
Menurut WHO Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang dianggap baik adalah
apabila memenuhi beberapa kriteria hal berikut :
a). Waktu pemberian yang tepat, artinya MP-ASI mulai diperkenalkan pada bayi
ketika usianya lebih dari 6 bulan dan kebutuhan bayi akan energy dan zat-zat melebihi
dari apa yang didapatkannya melalui ASI
b). Memadai, maksudnya adalah MP-ASI yang diberikan memberikan energy, protein
dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak.
c). Aman, makanan yang diberikan bebas dari kontaminasi mikroorganisme baik pada
saat disiapkan, disimpan maupun saat diberikan pada anak.
2.1.2 Anjuran Pemberian ASI
` Dalam deklarasi Innoceti tentang perlindungan, promosi dan dukungan pada
pemberian ASI antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1991, pemberian
makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir
hingga usia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupannya.
Makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia sekitar 6 bulan.
Selanjutnya WHO menyelenggarakan konvensi Expert Panel Meeting yang
meninjau lebih dari 3000 makalah riset dan menyimpulkan bahwa periode 6 bulan
merupakan usia bayi yang optimal untuk pemberian ASI eksklusif (Gibney, 2008).
Pemberian makan setelah bayi berusia 6 bulan memberikan perlindungan besar dari
berbagai penyakit. Hal ini disebabkan imunitas bayi > 6 bulan sudah lebih sempurna
dibandingkan dengan umur bayi < 6. Pemberian MP-ASI dini sama saja dengan
mebuka gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit. Hasil riset menunjukan
bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur 6 bulan lebih banyak
terserang diare, sembelit, batuk pilek dan panas dibandingkan bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif.
Saat bayi berusia 6 bulan atau lebih, sistem pencernaannya sudah relatif sempurna dan
siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung,
pepsin, lipase, amilase baru akan diproduksi sempurna. Saat bayi berusia kurang dari
6 bulan, sel-sel disekitar usus belum siap menerima kandungan dalam makanan,
sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadi alergi.
Menunda pemberian MP-ASI hingga 6 bulan melindungi bayi dari obesitas di
kemudian hari. Bahkan pada kasus ekstrim pemberian MP-ASI dini dapat
menyebabkan penyumbatan saluran cerna dan harus dilakukan pembedahan (Gibney,
2009).
Selain itu pada tahun 2002, Morten El et Jama melakukan penelitian pada 3.253 orang
di Denmark. Mereka yang disusui kurang dari 1 bulan IQ-nya lebih rendah dari yang
disusui setidaknya 7 hingga 9 bulan. Ini menunjukkan terdapat korelasi antara
lamanya pemberian ASI dan tingkat IQ ( Anonim, 2009).
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian MP-ASI Dini
Banyak kepercayaan dan sikap yang tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI
yang membuat para ibu tidak melakukan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi
meraka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan umum mengapa mereka memberikan
MP-ASI secara dini meliputi rasa takut bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup
dan kualitasnya buruk. Hal ini dikaitkan dengan pemberian ASI pertama (kolostrum)
yang terlihat encer dan menyerupai air selain itu keterlambatan memulai pemberian
ASI dan praktek membuang kolostrum juga mempengaruhi alasan pemberian MP-
ASI dini karena banyak masyarakat di negara berkembang percaya kolostrum yang
berwarna kekuningan merupakan zat beracun yang harus dibuang.
Teknik pemberian ASI yang salah yang menyebabkan ibu mengalami nyeri, lecet
pada puting susu, pembengkakan payudara dan mastitis dapat menyebabkan ibu
menghentikan pemberian ASI. Serta kebiasaan yang keliru bahwa bayi memerlukan
cairan tambahan selain itu dukungan yang kurang dari pelayanan kesehatan seperti
tidak adanya fasilitas rumah sakit dan rawat gabung dan disediakannya dapur susu
formula akan meningkatkan praktek pemberian MP-ASI predominan kepada bayi
yang baru lahir di rumah sakit. Serta pemasaran susu formula pengganti ASI yang
menimbulkan anggapan bahwa formula PASI lebih unggul daripada ASI sehingga ibu
akan lebih tertarik pada iklan PASI dan memberikan MP-ASI secara dini (Gibney,
2009)
2.3. Masalah-Masalah dalam Pemberian MP-ASI
Masalah dalam pemberian MP-ASI pada bayi adalah meliputi pemberian makanan
prelaktal (makanan sebelum ASI keluar). Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan
bayi dan menggangu keberhasilan menyusui serta kebiasaan membuang kolostrum
padahal kolostrum mengandung zat-zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari
penyakit dan mengandung zat gizi yang tinggi. Oleh karena itu kolostrum jangan
dibuang.
Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6 bulan) dapat
menurunkan konsumsi ASI dan meningkatkan terjadinya gangguan pencernaan/diare,
dengan memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi untuk
mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat menurunnya produksi ASI. Hal ini
dapat mengakibatkan anak menderita kurrang gizi, seharusnya ASI diberikan dahulu
baru MP-ASI
Pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja di daerah kota dan semi
perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan
terlalu dini pada ibu-ibu yang bekerja karena kurangnya pemahaman tentang
manajemen laktasi pada ibu bekerja. Ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada
saat menyediakan dan memberikan makanan pada anak. Masih banyak ibu yang
menyuapi anak dengan tangan, menyimpan makanan matang tanpa tutup makanan/
tudung saji dan kurang mengamati perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Hal ini
memungkinkan timbulnya penyakit infeksi seperti diare ( mencret) dan lain-lain
(Depkes, 2000).
2.4. Hubungan MP-ASI Dini dengan Kejadian Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah masuknya kuman tau bibit penyakit baik virus , bakteri
maupun jamur ke dalam organ tubuh dan berkembang biak serta menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh. Gejala utama terjadinya infeksi pada
manusia adalah meningkatnya suhu badan yang disebut dengan demam
(Setiawan,2009).
Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari ibunya
melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran bayi,
padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum dapat
membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi
membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi
kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila
bayi diberi ASI (Roesli, 2005).
Di negara-negara berkembang, bayi yang mendapat ASI mempunyai angka kesakitan
dan kematian yang secara bermakna lebih rendah dibandingkan yang diberikan susu
formula. Hal ini disebabkan adanya faktor pelindung spesifik dalam ASI. Dalam
faktor tersebut terdapat antibodi terhadap berbagai bakteri dan virus patogen seperti
faktor antistafilokok, lisozim, komponen C3 komplomen, laktoferin, substansi
antivirus non-spesifik, sel darah putih dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan adanya
zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai
macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit
(Suharyono, 2008).
Pemberiaan MP-ASI yang terlalu dini dapat menyebabkan penurunan produksi ASI.
Karena insting bayi untuk mengisap akan menurun sehingga jumlah ASI yang
dikonsumsi juga menurun sehingga kebutuhan bayi tidak tercukupi. Kekurangan gizi
banyak terjadi karena pemberian MPASI yang terlalu dini. Selain itu dapat
menyebabkan ganguan pencernaan karena lambung dan usus belum berfungi secara
sempurna sehingga bayi menderita diare, yang apabila terus berlanjut dapat berakibat
buruk berupa status gizi yang kurang atau buruk bahkan tidak jarang menyebabkan
kematian. Kekurangan gizi menyebabkan bayi mudah terserang penyakit infeksi
(Depkes, 2002).
MP-ASI dini dan makanan pralaktal akan berisiko diare dan ISPA pada bayi. Dengan
terjadinya infeksi tubuh akan mengalami demam sehingga kebutuhan zat gizi dan
energi semakin meningkat sedangkan asupan makanan akan menurun yang
berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Pada suatu penelitian di Brazil Selatan
bayi-bayi yang diberi MP-ASI dini mempunyai kemungkinan meninggal karena
mencret 14,2 kali lebih banyak daripada bayi ASI eksklusif (Utami, 2002).
Menurut WHO (2000), bayi yang diberi susu selain ASI, mempunyai risiko 17 kali
lebih mengalami diare, dan tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinan terkena
ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI saja (Depkes RI,2005).
Kekebalan bayi yang diperoleh melalui plasenta diperkirakan hilang 75% pada usia 3
bulan. Pada saat yang sama, tubuh belum aktif membentuk imunitas sehingga resiko
infeksi karena pemberian makanan botol sangat besar terutama pada masyarakat
miskin (Simanjuntak, 2002).
Pemberian MP-ASI dini sama halnya dengan membuka gerbang masuknya berbagai
jenis penyakit. Hasil riset menunjukan bahwa bayi yang mendapatkan MP- ASI
sebelum berumur 6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk, pilek dan
panas dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Pada bayi < 6 bulan beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin,
lipase, amilase belum diproduksi secara sempurna. Sel-sel disekitar usus belum siap
menerima kandungan dalam makanan sehingga makanan yang masuk dapat
menyebabkan reaksi imun dan terjadinya alergi. Bahkan pada kasus ekstrim
pemberian MP-ASI dini dapat menyebabkan penyumbatan saluran cerna dan harus
dilakukan pembedahan.
2.5. Pengaruh Gizi Terhadap Penyakit Infeksi
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk
maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu setiap
bentuk gangguan gizi sekalipun dengan defesiensi yang ringan merupakan pertanda
awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Penelitian yang
dilakukan di berbagai negara menunjukan bahwa kematian bayi akan menjadi lebih
tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Demikian halnya dengan
infeksi protozia, pada anak-anak yang tingkat gizi buruk lebih parah dibandingkan
anak yang gizinya baik.
Gizi buruk mengakibatkan terjadi gangguan terhadap produksi zat badan anti di dalam
tubuh. Penurunan produksi zat badan anti tertentu akan mengakibatkan mudahnya
bibit penyakit masuk ke dalam dinding usus. Dinding usus dapat mengalami
kemunduran dan dapat juga menggangu produksi berbagai enzim untuk pencernaan
makanan. Makanan tidak dapat dicerna dengan baik dan ini berarti penyerapan zat
gizi akan mengalami gangguan, sehingga dapat memperburuk keadaan gizi
(Sjahmien, 1988).
Interaksi antara malnutrisi dan infeksi secara sinergis sudah lama diketahui. Infeksi
berat dalam memperburuk keadaan gizi melalui gangguan makan dan meningkatnya
kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi baik ringan sampai berat
berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Keduanya berjalan
sinergis, oleh karena salah gizi dan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibanding dengan dampak infeksi dan salah gizi secara terpisah (Pudjiadi, 1990).
2.6.Penyakit Infeksi yang Sering Terjadi pada Bayi 2.6.1. Infeksi Saluran
Pernapasan Atas
ISPA atau influenza adalah penyakit infeksi akut saluran pernapasan yang ditandai
dengan demam, sakit kepala, pilek, nyeri menelan dan batuk non produktif.
Penyebaran dapat menjalar dengan cepat di lingkunga masyarakat melalui partikel
udara yang dikeluarkans melalui percikan (droplet) pada saat batuk/ bersin.Batas
waktu 14 hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun
beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan
kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang
terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40%-
60 % dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian
yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% -30%. Kematian yang terbesar umumnya
adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan hal ini
disebabkan oleh pemberian MP-ASI dini ( Irawati, 2004).
Prevalensi ISPA Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 oleh Depkes sebesar 25,50%. Di
Indonesia ISPA merupakan penyebab kematian pada anak. Prevalesi dunia dilaporkan
kasus ISPA pada anak mencapai 2 juta anak pada tahun 2000.
Beberapa sumber yang digunakan untuk meneliti hubungan antara menyusui dan
resiko ISPA pada bayi yang lahir cukup bulan. Analisis dari data-data yang diteliti
menunjukkan pada negara-negara berkembang, bayi yang diberikan susu formula
mengalami 3 kali lebih sering gangguan pernafasan yang membutuhkan perawatan
intensif di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI eksklusif
selama 4 bulan atau lebih. Para peneliti di Australia Barat melakukan penelitian
terhadap 2602 anak-anak untuk melihat peningkatan resiko asma dan gangguan
pernafasan pada 6 tahun pertama. Anak-anak yang tidak mendapatkan ASI beresiko
40% lebih tinggi terkena asma dan gangguan pernafasan dibandingkan dengan anak-
anak yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan. Para
peneliti ini merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan
untuk mengurangi resiko terkena asma dan gangguan pernafasan (Anonim, 2009).
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan
pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus,
sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil
terutama apabila terdapat gizi kurang. 2.6.2. Diare
Diare adalah suatu gejala dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang cair dan frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 kali
dalam sehari) buang air hingga lima kali sehari dan fesesnya lunak. Neonatus
diyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk
bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak , bila frekuensi lebih dari 3 kali (Staf
Pengejar Ilmu Kesehatan Anak, 2000).
Neonatus adalah bayi yang berumur 0 ( baru lahir) sampai usia 1 bulan sesudah lahir
(Muslihatun, 2010). Sistem pencernaan bayi belum sepenuhnya berfungsi seperti
sistem pencernaan orang dewasa. Pada saat lahir bayi memasukan makanan dari
mulut, mencerna dan mengabsorbsi nutrien-nutrien, memfungsikan ginjal untuk
mengeluarkan limbah-limbah metabolik serta mempertahankan air dan hemoestasis
elektrolit.
Diare pada neonatus dan diare pada anak > 1 bulan itu berbeda karena alat pencernaan
dan sistem ekskresi belum berkembang sempurna batas toleransi terhadap
air, mineral secara keseluruhan dan yang spesifik masih sangat sempit jika
dibandingkan dengan bayi yang berusia lebih tua. Pada saat bayi lahir sampai
beberapa bulan ginjal belum mapu mengonsentrasikan urine untuk dapat
mengeluarkan mineral yang memadai, bayi membutuhkan makanan dengan
kandungan air yang tinggi ( Setyorini, 2009).
Diare merupakan penyebab kematian yang banyak dijumpai pada anak kecil.
Kematian karena diare umumnya disebabkan oleh dehidasi karena diare dan muntah
yang berdampak pada hilangnya air dan garam tubuh.. Hal ini terjadi saat anak belajar
mendapatkan MP-ASI. Makanan yang dimakan anak mungkin mengandung banyak
kuman yang dapat menyebabkan infeksi usus dan anak terkena diare.
Antara keadan gizi buruk dan dan penyakit diare terhadap hubungan yang sangat erat,
sungguhpun sulit untuk mengatakan apakah terjadinya gizi buruk akibat adanya diare
ataukah kejadian diare adalah disebabkan keadaan gizi buruk.Diare murupakan suatu
gejala penyakit yang dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti salah makan,
makanan yang basi atau busuk seperti sering terjadi pada pemberian susu botol yang
telah basi, disamping akibat infeksi. Mengingat tingginya angka kematian akibat diare
dan gizi buruk, maka penanganan penderita harus dilakukan dengan cermat.
Disamping pengembalian cairan yang hilang, pemberian makanan pun harus seksama
sehingga memungkinkan tercapainya kembali berat badan anak (Sjahmien, 1988).
Pemberian cairan dan makanan dapat menjadi sarana masuknya bakteri patogen. Bayi
usia dini sangat rentan terhadap bakteri penyebab diare, terutama di lingkungan yang
kurang higienis dan sanitasi buruk. Di negara-negara kurang
berkembang, dua di antara lima orang tidak memiliki sarana air bersih. ASI menjamin
bayi dapat memperoleh suplai air bersih yang siap tersedia setiap saat. Penelitian di
Filipina menegaskan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif serta dampak negatif
pemberian cairan tambahan tanpa nilai gizi terhadap timbulnya penyakit diare.
Seorang bayi (tergantung usianya) yang diberi air putih, teh, atau minuman herbal
lainnya berisiko terkena diare 2-3 kali lebih banyak dibanding bayi yang diberi ASI
eksklusif ( Linkages, 2009).
Penelitian terhadap 358 baduta di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dengan gizi
buruk 34,6% menunjukkan tingginya prevalensi demam 29,1%, ISPA 22,6% dan
diare 11,2% pada baduta sesuai dengan rendahnya praktik pemberian ASI Eksklusif
20,5% . Terjadi peningkatan penggunaan susu formula pasca gempa tahun 2006 di
Jawa Tengah pada bayi yang menyusu akibat maraknya sumbangan, diikuti
peningkatan insiden diare pada bayi yang mengkonsumsi susu formula dua kali lipat
(25%) dibanding yang tidak mendapatkan formula yaitu 12% ( Anonim, 2009).
Penelitian yang dilaksanakan oleh Winda di Puskesmas Gilingan Kecamatan
Banjarsari Surakarta pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi kejadian diare pada
bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 43,33 %. Sedangkan
prevalensi kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan yang mendapat MP-ASI dini
sebesar 56,67 % ( Winda, 2010).
Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4
kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu
botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri
penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat
mengakibatkan gizi buruk.
Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Depkes RI dari tahun 2000 s/d
2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/
1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik
menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian
Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi.
Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang,
kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan
jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan
tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan
kematian 73 orang (CFR 1,74 %.) ( Jendela Data dan Informasi Kesehatan, 2011).
2.7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan MP-ASI Dini dan Infeksi 2.7.1.
Pengetahuan Ibu
Latar belakang pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan. Jika
tingkat pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya juga
baik. Pengetahuan ibu berhubungan dengan tingkat pengenalan informasi tentang
pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan.Pengetahuan
ibu tentang kapan pemberian makanan tambahan, fungsi makanan tambahan,
makanan tambahan dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan risiko pemberian
makanan pada bayi kurang dari enam bulan sangatlah penting. Tetapi bayak ibu-ibu
yang tidak mengetahui hal tersebut diatas sehingga memberikan makanan tambahan
pada bayi usia di bawah enam bulan tanpa mengetahui risiko yang akan timbul.
Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih kuat mempertahankan
tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan. Sehinga sulit menerima informasi
baru tentang gizi. ( Suhardjo. 1996).
Dari hasil penelitian Ragil Marni, 1998 dilaporkan bahwa ibu dengan pengetahuan
gizi baik 70% memberikan kolostrum pada bayi dan ibu dengan pengetahuan gizi
kurang baik sebanyak 21, 7% yang memberikan kolostrum pada bayi mereka
(Simanjuntak, 2002).
Pengetahuan gizi adalah pengetahuan tentang cara yang benar memilih bahan
makanan, mengolah dan mendistribusikannya. Seseorang dengan pendidikan rendah
belum tentu mampu menyusun makanan yang memenuhi syarat gizi. Karena
sekalipun pendidikan rendah jika rajin mendengarkan informasi tentang gizi, maka
pengetahuan gizi mereka akan lebih cepat baik ( Khomsan, 2004).
2.7.2. Pendapatan
Pendapatan adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan kondisi keuangan yang
menyebabkan daya beli untuk makanan tambahan menjadi lebih besar. Pendapatan
menyangkut besarnya penghasilan yang diterima, yang jika dibandingkan dengan
pengeluaran, masih memungkinkan ibu untuk memberikan makanan tambahan bagi
bayi usia kurang dari enam bulan. Biasanya semakin baik perekonomian keluarga
maka daya beli akan makanan tambahan juga mudah,
sebaliknya semakin buruk perekonomian keluarga, maka daya beli akan makanan
tambahan lebih sukar
Tingkat penghasilan keluarga berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini.
Penurunan prevalensi menyusui lebih cepat terjadi pada masyarakat golongan
ekonomi menengah ke atas. Penghasilan keluarga yang lebih tinggi berhubungan
positif secara signifikan dengan pemberian susu botol pada waktu dini dan makanan
buatan pabrik (Zulfanetti, 1998). Disamping itu, ibu dengan status ekonomi lebih
rendah cenderung terlambat memulai menyusui, membuang kolostrum dan
memberikan makanan pralaktal. Selanjutnya, menurut penelitian Zulfanetti di Jambi,
ibu-ibu dengan penghasilan keluarga Rp.260-000 –Rp.360.000 yang memberikan
MP-ASI berupa susu formula sebesar 30%, 26% pada ibu-ibu dengan pendapatan
keluarga sebesar Rp.361.000-Rp.560.000, sedangkan ibu-ibu dengan pendapatan
keluarga lebih dari Rp.561.000 memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar
44% (Pernanda 2010).
2.7.3.Pekerjaan Ibu
Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau
membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Masyarakat pekerja memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan, dimana dengan berkembangnya IPTEK
dituntut adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai
produktifitas yang tinggi sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan (Siregar,
2010) .
Faktor pekerjaan ibu adalah faktor yang berhubungan dengan aktivitas ibu setiap
harinya untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang
menjadi alasan pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan.
Pekerjaan ibu bisa saja dilakukan di rumah, di tempat kerja baik yang dekat maupun
jauh dari rumah. Ibu yang belum bekerja sering memberikan makanan tambahan dini
dengan alasan melatih atau mencoba agar pada waktu ibu mulai bekerja bayi sudah
terbiasa (Siregar, 2008).
Pada penelitian Winikoff (1988) di empat negara menunjukkan bahwa status ibu
bekerja saja tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk menduga penggunaan susu
formula dan lamanya bayi disusui. Karakteristik pekerjaan, apakah harus
meninggalkan rumah atau tanpa meninggalkan rumah perlu dipertimbangkan. Ibu
yang bekerja meninggalkan rumah berhubungan positif dengan penggunaan susu
botol dan penyapihan dini (Pernanda, 2010).
Praktek pemberian makan pada bayi dari ibu bekerja di rumah sama dengan pada ibu
yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja dengan meninggalkan rumah 2 kali lebih besar
kemungkinannya memperkenalkan susu botol pada bayinya dalam waktu dini
dibanding yang bekerja tanpa meninggalkan rumah dan 4 kali dibanding ibu yang
tidak bekerja. Pertukaran jam kerja yang kaku, tidak tersedianya tempat penitipan
anak, jarak lokasi bekerja yang jauh dan kebijakan cuti melahirkan yang kurang
mendukung menyebabkan ibu harus meninggalkan bayinya selama beberapa jam
sehingga sulit untuk menyusui on demand (Pernanda, 2010).
2.7.4. Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain
baik indiviidu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoadmojo, 2003). Pada beberapa hasil
penelitian (Behm, 1976-78; Haines & Avery, 1978; Caldwell, 1979, Farah & Preston,
1982; Cochrane, 1980; Caldwell & Mc. Donald, 1981) yang dikutip oleh Ware (1984,
193) ditemukan hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kelangsungan hidup
anak walaupun berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Tingkat
pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku. Selanjutnya dikatakan bahwa
untuk mengukur tingkat pendidikan ibu dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan ( Simanjuntak, 2002).
Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memberikan susu botol
lebih dini dan ibu yang mempunyai pendidikan formal lebih banyak memberikan susu
botol pada usia 2 minggu dibanding ibu tanpa pendidikan formal (Pernanda, 2010).
2.7.5.Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan adalah orang yang mengerjakan sesuatu pekerjaan di bidang
kesehatan atau orang mampu melakukan pekerjaan di bidang kesehatan. Faktor
petugas kesehatan adalah kualitas petugas kesehatan yang akhirnya menyebabkan ibu
memilih untuk memberikan makanan tambahan pada bayi atau tidak. Petugas
kesehatan sangat berperan dalam memotivasi ibu untuk tidak memberi makanan
tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan.
Biasanya, jika dilakukan penyuluhan dan pendekatan yang baik kepada ibu yang
memiliki bayi usia kurang dari enam bulan, maka pada umumnya ibu mau patuh dan
menuruti nasehat petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan
menjadi sumber informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan makanan
tambahan dan risiko pemberian makanan tambahan dini pada bayi.
Prevalensi ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan berdasarkan hasil Susenas
2010 provinsi Sumatera Utara adalah 88,4%. Pengaruh tenaga keseatan merupakan
faktor pendorong perilaku dan pola asuh bagi ibu pada bayi misalnya pemberian ASI
eksklusif ( Depkes, 2010)
Penelitian di sebuah kota di Ghana menunjukkan 93% bidan berpendapat cairan harus
diberikan kepada semua bayi sejak hari pertama kelahirannya. Di Mesir, banyak
perawat menyarankan para ibu untuk memberi air manis kepada bayinya segera
setelah melahirkan (Linkages, 2009). Keadaan ini memperkuat pendapat bahwa
petugas kesehatan dapat dikatakan belum atau masih kurang mendukung
perlindungan dan peningkatan menyusui.