tugas kelompok 1

9
TUGAS KELOMPOK 1 KD: 1.1 Mendeskripsikan budaya politik di Indonesia 1.2 Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia Anggota kelompok: 1. Dedi Heriyadi (Ketua) 2. Feki A. Bareut (Anggota) 3. Felix C. Bareut (Anggota)

Upload: hadi-prabowo

Post on 18-Feb-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

qqq

TRANSCRIPT

Page 1: TUGAS KELOMPOK 1

TUGAS KELOMPOK 1

KD: 1.1 Mendeskripsikan budaya politik di Indonesia

1.2 Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia

Anggota kelompok:

1. Dedi Heriyadi (Ketua)2. Feki A. Bareut (Anggota)3. Felix C. Bareut (Anggota)4. Handi A. Lanu (Anggota)

SMA NEGERI 1 AMARASI BARAT

2015/2016

Page 2: TUGAS KELOMPOK 1

A. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK

Budaya politik dapat dipandang sebagai landasan sistem politik, yang memberi jiwa atau warna pada sistem politik, atau yang memberi arah pada peran-peran politik yang dilakukan oleh struktur politik

Ada pengertian beragam tentang budaya politik.Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:1. Budaya politik adalah sikap orientasi warga Negara terhadap system politik dan

aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga Negara di dalam system itu (G. A. Almond dan S. Verba (1991:21)).

2. Budaya politik adalah pandangan politik yang mempengaruhi sikap, orientasi dan pilihan politik seseorang. Budaya pollitik lebih mengutamakan dimensi psikologi dari suatu system politik, yaitu sikap, system kepercayaan, symbol yang dimiliki individu dan dilaksanakannya dalam masyarakat (Marbun, 2005:84).

3. Budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentiment, dan evaluasi suatu masyarakat tentang system politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam system itu (Larry Diamond, 2003:207).

4. Budaya politik adalah sikap orientasi warga suatu Negara terhadap kehidupan pemerintahan Negara dan politiknya (Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, 1986:41).

5. Budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompo dalam masyarakat (Almond dan Powell, 1966:23).

Dari berbagai definisi di atas, tampak bahwa budaya politik menunjuk pada orientasi tingkah laku individu/masyarakat terhadap system politik. Menurut Almond dan Verba, masyarakat mengidentifikasikan dirinya terhadap symbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang dimilikinya. Dengan orientasi itu anggota masyarakat memiliki dan mempertanyakan tempat dan peran mereka dalam system politik. Ada dua tingkat orientasi politik, yaitu di tingkat masyarakat dan tingkat individu. Orientasi masyarakat secara keseluruhan dan tidak dapat lepas dari orientasi individual. Menurut Almond dan Powell, orientasi individu terhadap system politik dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu: orientasi kognitif, orientasi afektif, dan orientasi evaluatif. Orientasi kognitif meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang system politik. Aspek pengetahuan berkaitan dengan, misalnya, pengetahuan seseorang

Page 3: TUGAS KELOMPOK 1

mengenai jalannya system politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijakan yang mereka ambil atau symbol-simbol yang dimiliki oleh system politiknya secara keseluruhan seperti ibukota Negara, lambang Negara, kepala Negara, batas Negara, mata uang, dan lain-lain. Orientasi afektif menunjuk pada aspek perasaan atau ikatan emosional seorang individu terjadap system politik; jadi, menyangkut feeling terhadap system politik. Seorang individu mungkin mempunyai perasaan khusus terhadap aspek-aspek system poitik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak system politik itu secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, agaknya sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan hidup seseorang umumnya berpengaruh terhadap pembentukan perasaan warga Negara yang bersangkutan. Orientasi evaluatif berkaitan dengan penilaian moral seseorang terhadap system politik; selain itu, juga menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan- pertimbangan politik (dengan menggunakan informasi dan perasaan) tentang kinerja system politik (Larrry Diamond, 2003:207). Di sini, norma-norma yang dianut dan disepakati bersama menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap system politik. Dalam kenyataan, ketiga aspek itu merupakan suatu kesatuan. Untuk dapat menilai seorang pemimpin, misalnya, seorang warga Negara harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Akan tetapi, pengetahuan itu sudah dipengaruhi atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang suatu symbol politik, umpmanya, dapat pula membentuk perasaannya terhadap symbol politik itu. Bahkan dapat dikatakan pula, pengetahuan tentang suatu symbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap system politik secara keseluruhan. Selain orientasi individual, aspek lain dari budaya politik adalah pandangan/sikap sesame warga Negara. Sikap ini berkaitan dengan “rasa percaya” dan “permusuhan” yang biasanya terdapat di antara warga Negara baik antarindividu, kelompok, maupun antargolongan. Sikap saling percaya menumbuhkan kerja sama; sedangkan konflik terjadi ketika di antara berbagai pihak dalam masyarakat ada hubungan saling bermusuhan.

B. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

Page 4: TUGAS KELOMPOK 1

Berdasarkan sikap, nilai, informasi dan kecakapan politik yang dimiliki orientasi warga Negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya (budaya politiknya) dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, sebagaimana diuraikan berikut ini.

1. Budaya politik parokial (parochial political culture)

Budaya politik ini terbatas pada suatu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit. Pada umumnya budaya politik ini terdapat dalam masyarakat yang tradisional dan sederhana. Dalam masyarakat seperti ini, spesialisasi sangat kecil dan belum banyak berkembang. Demikian pula, karena terbatasnya differensiasi social para pelaku politik sering melakukan perannya serempak dengan perannya dalam bidang ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.

Selain itu, tidak ada peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. Pada kebudayaan parokial, anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali batas tertentu di tempat mereka tinggal; itu pun terbatas dalam bentuk kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kekuasaan politik dalam masyarakatnya.

Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews (1986:42) bahkan menyatakan bahwa budaya politik parokial menunjuk pada “orang-orang yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa terpencil, atau mungkin nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan mengungkung diri dalam kesibukan keluarga”. Mereka kebanyakan juga bermata-pencaharian sebagai petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunan-perkebunan di mana kontak dengan system politik kecil sekali.

2. Budaya politik subjek (subject political culture)

Menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, budaya politik subjek menunjuk pada “orang-orang yang pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan”. Menurut Rusadi Kantaprawira (1985:37), dalam budaya politik ini anggota masyarakat telah mempunyai minat, perhatian, mungkin juga kesadaran, terhadap system sebagai keseluruhan terutama terhadap aspek output alias keputusan-keputusan politik yang diambil; akan tetapi, frekuensi perhatiannya terhadap system politik sangat rendah terutama pada aspek input, sementara kesadarannya sebagai actor politik boleh dikatakan belum tumbuh.

Page 5: TUGAS KELOMPOK 1

Selain itu, pandangan nyata mereka terhadap objek politik dapat di lihat dari pernyataannya baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung, maupun sikap bermusuhan terhadap system. Posisinya pada pokoknya dapat di katakan posisi yang pasif. Mereka menganggap diri tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah system. Karena itu, mereka cenderung menyerah saja kepada segala kebijakan dan keputusan yang di ambil oleh pemeran politik. Keputusan itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak dapat di ubah, di koreksi apalagi di tentang. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menerimanya system sebagaimana adanya, patuh, setia, dan mengikuti seluruh instruksi dan anjuran para pemimpin politiknya.

Bahwa masyarakat terstruktuk secara hirarkis. Dalam hal ini, seorang individu atau kelompok sudah diguratkan menerima saja keadaan dan harus puas menerima’’kodrat’’-nya. Tingkat kepatuhan dalam budaya politik seperti ini sangat tinggi. Bila tidak menyukai system, sesorang menyimpannya saja dalam sanubarinya. Sikap demikian mungkin tidak di manifestasikan secara terang-terangan karena memang tidak ada kapasitas untuk mengubah atau melawan. Budaya politik seperti ini merupakan hasil “bentukan” keadaan tertentu . Perlu kiranya di pertimbangkan untuk di telaah, misalnya pengaruh status koloni, penjajahan, dan corak dictator/otoriter terhadap budaya politik ini. Dalam hal ini sikap anggota masyarakat yang pasif bukan berarti secara potensial dapat di abaikan.

3. Budaya politik partisipan (participant political culture) Budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya dimana anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap system sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (Almond dan Verba, 1984:22). Budaya politik di tandai oleh adanya kesadaran bahwa dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Ini menunjuk pada orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paaling tidak dalam kegiatan pemberian suara (poling) dan memperoleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan kewajibannya, dan dapat pula merealisasikan dan menggunakan hak serta menanggung kewajibannya tidak di harapkan seseorang menerima begitu saja keadaan, berdisiplin mati, tunduk terhadap keadaan itu tidak lain karena ia merupakan salah satu mata rantai aktif proses politik. Dengan demikian , seseorang dalam budaya politik partisipan dapat menilai dengan kesadaran baik system sebagai totalitas, input output, maupun posisi dirinya sendiri sementara itu, Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews (1986:42)

Page 6: TUGAS KELOMPOK 1

menyebutkan adanya tiga model kebudayaaan politik berdasarkan proporsi ketiga tipe budaya politik sebagaimana disebut Almond dan Sidney Verba.

Model pertama adalah masyarakat demokratis industrial. Dalam system ini jumlah partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa. Mereka terdiri atas para aktifis politik dan para peminat politik yang kritis mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan. Selain itu, mereka adalah kelompok-kelompok pendesak yang mengusulkan kebijakan-kebijakan baru untuk melindungi kepentingan khusus mereka. Sementara, jumlah yang berbudaya politik subjek kurang lebih 30% sedangkan parokial kira-kira 10%.

Model kedua adalah masyarakat dengan system politik otoriter. Dalam system ini sebagian besar rakyat hanya menjadi subjek yang pasif. Mereka mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Sebagian kecil rakyat lainnya berbudaya politik partisipan dan parokial. Kelompok partisipan berasal dari mahasiswa dan kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah.

Model ketiga adalah system demokratif pra industrial. Di sini, ssebagian besar warga negaranya menganut budaya politik parokial. Mereka hidup di pedesaan dan buta huruf. Pengetahuab dan keterlibatanya mereka dalam kehidupan politik sangat kecil. Sementara itu, kelompok partisipan sangat sedikit jumlahnya, biasanya berasal dari professional, terpelajar, usahawan, dan tuan tanah. Demikian pula, proporsi jumlah pendukung budaya politik subjek juga relative kecil.