tugas kelompok

Upload: romlan-hastra

Post on 10-Mar-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

FARMAKOKINETIKA DAN PERBEDAAN RESPON INDIVIDU

TRANSCRIPT

2

TUGAS FARMAKOLOGI TERAPAN

FARMAKOKINETIKA DAN PERBEDAAN RESPON INDIVIDU

Oleh:ROMLAN, S. FARM (15344053)R.A. META PARAMITA, S. FARM (15344054)PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2015BAB 1PENDAHULUANPengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologi obat tersebut, di mana hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor, dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai.

Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat. Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagan di atas, sebenarnya farmakokinetika merupakan analisis matematika dari proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.Perlu dicatat, walaupun perkembangan teknologi modern saat ini telah memungkinkan kuantifikasi kadar sebagian besar obat dalam cairan biologik, misalnya saja dengan teknik kromatografi gas, kromatografi cairan tekanan tinggi (high pressure liquid chromatography; HPLC), spektrometri massa (mass spectrometry) dan lain-lain, tetapi kuantifikasi aktifitas maupun pengaruh klinik obat bukan merupakan pekerjaan yang mudah, kalau tidak bisa dikatakan sangat sulit. Sehingga sampai saat ini farmakokinetika hampir selalu diartikan sebagai studi kuantitatif dari proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat dalam penanganan penderita secara langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik.BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. ABSORPSI OBAT

Pada terapi obat, obat harus dapat memberikan efek setelah diabsorpsi dan didistribusikan. Beberapa obat, harus diubah menjadi obat yang aktif setelah mengalami metabolisme, obat ini diberikan dalam bentuk prodrug yang kemudian dikonversi menjadi active drug. Pada pemberian topikal, pemberian obat harus langsung dalam bentuk obat aktif, karena tidak melalui metabolisme (Katzung, 2005)

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara, umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerjanya dan kemudian memberikan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi obat akan dieksresikan dari dalam tubuh (Setiawati, dkk., 2005)

Gambar 1.

Skema nasib obat dalam tubuh (Sakai, 2009. Practical Pharmacology for Pharmacy Technicians)

Di dalam tubuh, obat harus menembus sawar (barier) sel di berbagai jaringan. Umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan melewati celah antar sel kecuali pada endotel kapiler. Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul lain yang larut air dengan BM 100-200 (Setiawati, dkk 2005).

Cara transport obat lewat membran adalah dengan cara difusi pasif dan transport aktif. Sifat fisikokimia obat menentukan cara transport obat, diantaranya ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi, dan kelarutan dalam lemak (Setiawati, 2005). Sedangkan menurut Katzung alam bukunya Basic and Clinical Pharmacology menyatakan bahwa terdapat empat mekanisme utama permeasi obat yaitu Aqueous Diffusion, Lipid Diffusion, Special Cariers dan Endocytosis/exocytosis.Aqueous Diffusion terjadi pada bagian tubuh/ kompartemen yang memiliki banyak cairan tubuh (cairan intersisial, sitosol dll) melintasi membran epitel dan lapisan endotelial pembuluh darah melalui kanal aqueous yang memungkinkan dilintasi molekul dengan bobot 20000-30000 (kecuali kapiler otak dan testis). Obat yang terikat dengan protein plasma yang besar (misal: albumin) tidak dapat melewati kanal ini. Pergerakan partikel dengan mkanisme ini dijelaskan dengan hukum Ficks (Katzung, 2005).

C1

( konsentrasi yang lebih tinggi

C2

(konsentrasi yang lebih rendah

Area

(area dimana terjadinya difusi

Koefisien permeabilitas = ukuran gerakan molekul obat dalam medium

Ketebalan = ketebalan/ panjang jalur difusi

Lipid Diffusion Lipid Diffusion sangat penting mengingat bahwa pemisah kompartemen cairan tubuh sebagian besar berupa membran lipid. Koefisien partisi antara air dan lemak menentukan bagaimana obat bergerak antara cairan tubuh dan lemak. Asam lemah dan basa lemah dapat menembus sawar bergantung dari pH media. Perbandingan kelarutan dalam air dan dalam lemak pada asam lemah dan masa lemah dapat dijelaskan dengan persamaan Henderson Hesselbach

Special carriers

Special carriers terjadi pada pemindahan molekul yang sangat penting untuk fungsi sel dan memiliki ukuran yang sangat besar serta sangat tidak larut dalam lemak, contohnya peptida, asam amino dan glukosa. Mekanisme ini dapat berupa transport aktif atau difusi terfasilitasi. Karena banyak obat mirip dengan peptida, asam amino dan glukosa, maka obat-obat tersebut dapat menggunakan mekanisme ini untuk melintasi membran.

Beberapa sel memiliki membran yang kurang selektif, contohnya P-glicoprotein atau Multi drug resistance type-1 (MDR1) transporter yang ditemukan di otak dan testis. Transpor molekul sejenis, multidrug resistance-associated protein-type 2 (MRP2) transporter memberikan peranan yang sangat penting pada proses ekskresi obat dan metabolit ke urin dan empedu. Pada masing-masing etnik, perbedaan gen/etnik memberikan efek yang berbeda pada transpor molekul. European-american sangat berbeda dengan orang african-american dalam kadar/auc pravastatin (Richard, 2007)Endocytosis/Exocytosis

Endocytosis merupakan proses penghantaran molekul ke dalam cel dengan merusak membran, sedangkan exocytosis adalah kebalikan endocytosis, yaitu mengeluarkan molekur dari dalam sel. Transport Vitamin B12 adalah dengan menggunakan mekanisme ini, membentuk kompleks dengan protein, melewati dinding usus menuju darah. Begitu juga dengan zat besi yang ditransfer menjadi hemoglobin-prekursor pembentukan sel darah merah dengan membentuk kompleks dengan protein transferin.

Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Cara ini dapat dihambat secara kompetitif, dan dapat mengalami kejenuhan.

Difusi terfasilitasi adalah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi, sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar dan potensial listrik.

Gambar 2.

Skema obat yang diabsorpsi melalui epitel saluran cerna (Sakai, 2009. Practical Pharmacology for Pharmacy Technicians)

1.1. Cara pemberian oral

Absorpsi melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karenanya, absorpsi mudah terjadi dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak (Setiawati, 2005). Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di lambung, karena permukaan usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung, disamping permukaan lambung ditutupi oleh mukus yang sangat tebal.

Obat yang diberikan melalui oral sangat dipengaruhi oleh motilitas lambung (setiawati, 2005) dan keberadaan makanan/ minuman yang mungkin dapat bereaksi dengan obat (Ansel, 1989). Peningkatan kecepatan pengosongan lambung akan mempercepat absorpsi obat, kecuali pada hal berikut: (1) Obat yang absorpsinya lambatkarena sukar larut dalam caira usus (dioksin, difenilhidantoin, prednison), (2) sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat, (3) obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna (Penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung; levodova dan klorpromazin oleh enzim dalam saluran cerna). Sedangkan obat yang dapat dipengaruhi oleh adanya makanan/minuman contohnya adalah tetrasiklin yang dirintangi absorpsinya oleh kalsium, karena itu, tetrasiklin tidak boleh diminum bersama dengan susu atau makanan lain yang mengandung kalsium.

Kondisi keasaman dan kebasaan dari saluran cerna yang semakin meningkat sangat mempengaruhi absorpsi obat (persamaan Henderson Hesselbach). Sebagai ketentuan umum, obat yang bersifat asam lemah, tidak terionisasi dengan baik di lambung, dan diabsorpsi baik di lambung. Sebaliknya, obat yang bersifat basa lemah, terionisasi di lambung, dan kurang terabsorpsi baik di lambung. Asam dan basa kuat, umumnya tidak terabsorpsi dengan baik karena derajat ionisasinya yang besar. Sementara itu, Usus halus merupakan tempat absorpsi yang penting karena pH nya yang cocok (sekira 6,5)dan permukaan yang luas (Ansel, 1989).

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat di saluran cerna

NoObat dapat dipengaruhi olehJenis pengaruh

1Formulasi obatKecepatan disintegrasi

Kecepatan disolusi

Keberadaan zat tambahan (eksipien)

2Karakteristik pasienpH Lumen

Waktu pengosogan lambung

Waktu pemberhentian di usus

Luas permukaan saluran cerna

Penyakit saluran cerna

3Faktor interaksi di saluran cernaInteraksi dengan obat lain/ion

Interaksi dengan makanan

4Karakter farmakokinetik obatMetabolisme obat oleh bakteri usus

Metabolisme obat oleh dinding usus

Kecepatan absorpsi obat bentuk padatan ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya. Obat dalam bentuk tablet utamanya akan diabsorpsi di usus karena membutuhkan waktu untuk disintegrasi, sedangkan obat dalam bentuk larutan, proses absorpsi dimulai sejak dalam lambung (Luellmann, 2005).

Gambar 3.

Pelepasan dan absorpsi obat yang diberikan secara oral (Heinz Luellmann, Color Atlas of Pharmacology, 3rd edition)

1.2. Cara pemberian Parenteral

Istilah parenteral berasal dari bahasa Greek (Yunani) yaitu para yang berarti di samping dan enteron artinya usus, di mana keduanya menunjukan sesuatu yang iberikan di luar dari usus dan tidak melalui saluran pencernaan. Tiga cara utama pemberian parenteral adalah subkutan, intramuskular dan intravena (Ansel, 1989).

Obat yang diberikan melalui parenteral dilakukan untuk menghindari rusaknya obat dalam saluran cerna (benzilpenisilin), menghindari efek metabolisme lintas pertama (lidokain), untuk mempercepat efek terapi, terutama berguna dalam pengobatan pada pasien yang tidak dapat bekerja sama, kehilangan kesadaran atau tidak dapat menerima obat secara oral. Di samping itu, pemberian secara parenteral selain lebih cepat mencapai efek terapi, pemberian secara parenteral juga lebih dapat diraalkan kadar obat dalam darahnya dibandingkan dengan pemberian secara oral. 1.2.1. Intramuskular

Pemberian intramuskular diberikan dengan cara injeksi pada otot rangka, umumnya pada otot pinggul atau pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya pengrusakan terhadap saraf atau pembuluh darah kecil. Larutan air, minyak atau suspensi dapat digunakan secara intramuskular dengan efek cepat atau sebagai depot obat (Ansel, 1989)

1.2.2. Intravena

Obat yang diberikan secara intravena harus terlarut dalam larutan setelah penyuntikan dan tidak mengendap dalam sistem sirkulasi, suatu keadaan yang dapat menimbulkan emboli. Obat suntik yang dibuat dengan basis minyak, tidak diberikan secara intravena, karena dapat menyebabkan emboli pada paru-paru (Ansel, 1989)

1.3. Cara pemberian melalui paru-paru

Paru-paru mempunyai permukaan absorpsi yang sangat baik untuk pemberian gas dan kabut aerosol dengan partikel yang sangat halus baik cairan maupun padatan. Gas yang digunakan terutama oksigen da anestetika umum yang diberikan kepada pasien yang dioperasi. Daerah alveoli dari paru-paru kaya akan kapiler memberikan absorpsi yang segera dan memberikan efek yang dapat disamakan dengan cara intravena (Ansel, 1989).

1.4. Cara pemberian perkutan

Obat yang diberikan secara topikal atau pada kulit dapat ditujukan untuk efek lokal maupun untuk efek sistemik. Umumnya absorpsi obat melalui kulit ditingkatkan apabila zat obat ada dalam larutan, apabila obat mempunyai koefisien partisi yang baik dan bila berupa nonelektrolit. Obat yang diabsorpsi masuk ke dalam kulit melalui pori-pori, kelenjar keringat, kantung-kantung rambut, kelenjar minyak, dan struktur lainnya di permukaan kulit (Ansel, 1989).

Obat yang lipofil terabsorpsi lebih baik pada kulit dibandingkan obat yang hidrofil dan proses penyerapan lebih baik terjadi pada daerah yang kurang keratin seperti di lengan atas, di dada, atau di belakang telinga.

1.5. Cara pemberian bukal (sublingual)

Cara ini digunakan untuk memastikan onset yang cepat (nitrogliserin) untuk efek sistemik, dan untuk menghindari metabolisme lintas pertama (morfin dan buprenorfin).

1.6. Cara pemberian secara rektal

Obat yang diberikan secara rektal untuk efel lokal dan efek sistemik. Obat yang diberikan berupa larutan, supositoria atau salep. Kebanyakan berupa supositoria yang digunakan untuk meredakan peradangan karena hemoroid, atau efek sistemik sebagai analgesik. Pemberian obat melalui rektal apabila cara oral terhalang oleh muntah atau apabila pasien tidak sadar atau tidak mampu menelan obat. Kelebihan dengan menggunakan cara ini adalah obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama karena tidak melalui hati serta rektal dan usus besar dapat menyerap obat dengan baik. Akan tetapi, cara ini tidak menyenangkan dan absorpsi obat seringkali tidak teratur dan sulit untuk diramalkan (Ansel, 1989).

Gambar 4.

Rute obat mulai dari cara penggunaan hingga distribusi

(Heinz Luellmann, Color Atlas of Pharmacology, 3rd edition)

2.2. DISTRIBUSI OBAT

Setelah penyerapan, obatobat didistribusikan melalui aliran darah ke reseptor di jaringan ke tempat metabolisme dan selanjutnya diekskresikan. Proses distribusi sangat tergantung pada karakteristik fisikokimia obat dan pada aliran darah ke berbagai organ (Setiawati, 2005).

Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk ke jaringan, interstisium (cairan ekstrasel), dan ke ruang intra selular. Obat mungkin mengalami ikatan yang kuat dengan struktur jaringan yang mengakibatkan konsentrasi plasmanya menurun secara signifikan sebelum melalui fase eliminasi (Luellmann, 2005).

Distribusi obat dari plasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut.

Distribusi obat dalam tubuh dapat dipahami sebagai suatu kemampuan obat dalam mlewati bariew/sawar. Obat yang hidrofil (misal inulin) tidak dapat masuk ke dalam sel maupun berikatan dengan struktur permukaan sel, sehingga dapat untuk menentukan volume alir ekstraseluler, sedangkan obat yang lipofil dapat berdifusi melewati membran sel (Luellmann, 2005).

Darah mengalir ke organ yang berbeda dengan kapasitas yang berbeda. Organ-organ vital (otak, jantung, hati dan ginjal) mendapatkan suplai darah yang sangat besar dibandingkan organ lainnya. Otot rangka dan tulang kurang mendapatkan suplai darah, dan jaringan adiposa adalah jaringan yang paling sedikit mendapatkan suplai darah (Sakai, 2009). Atas dasar ini, distribusi dibedakan atas dua fase. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan ke organ yang perfusinya sangat baik yaitu jantung, hati, ginjal dan otak. Sedangkan distribusi fase ke dua jauh lebih luas yaitu meliputi jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ yang tadi yaitu otot, visera, kulit dan jaringan lemak (Setiawati, 2005).Faktor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat antara lain:

a. Perfusi darah melalui jaringan

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi adalah pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit adalah sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah (sakit jantung) akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat.

b. Gradien pH dan ikatan zat dengan makromolekul

Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat berdifusi bebas, factor seperti gradien pH dan ikatan pada konstituen intraseluler akan mempengaruhi akumulasi dalam jaringan.

c. Partisi ke dalam lemak

Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan lemak. Obat akan disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak adalah 15% dari berat badan dan merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak juga mempunyai peranandalam membatasi efek senyawa yang kelarutannya dalam lemak adalah tinggi dengan bekerja sebagai akseptor obat selama fase redistribusi.

d. Transfer aktif

Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif. Metadon, propanolol dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses aktif. Hal ini merupakan mekanisme yang penting untuk pemasukan obat tersebut yang besar dalam paru-paru.

e. Sawar

Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran darah ke dalam ruang ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal dibatasi atau ditentukan oleh keadaan permukaan absorbs.

f. Ikatan obat dengan protein plasma

Dalam darah obat-obat sering diikat oleh protein plasma, khususnya Albumin. Obat juga dapat mengikat protein fase akut seperti -glikoprotein. Beberapa proses yang terjadi antar ikatan ini adalah ikatan ionik dan ikatan hidrogen. Sekarang ini diakui bahwa setidaknya ada 2 jenis tempat pengikat serum albumin manusia dan masing-masing tempat akan mengikat berbagai obat. Seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Ikatan protein yang mengikat kuat obat asam dalam albumin manuisa.

Situs 1 (walfarin site)Situs 2 (diazepam site)

Obat% ikatanObat% ikatan

Walfarin99Diazepam98

Furosemide91-99Ethacrynic acid85

Nalidixid acid93-97Cloxacilin95

Phenytoin87-93Probenezid85-95

Tolbutamid95-97Tolbutamide95-97

Naproxen98-99Naproxen98-99

Indometasin92-99Indometasiin92-99

Beberapa obat misalnya tolbutamide, naproxen, atau indomethacin, akan terikat pada kedua situs, sementara obat-obat yang lainnya hanya akan terikat pada salah satu situs.

Interaksi antar protein dan obat biasanya reversible dan mematuhi hukum aksi massa:

Obat + protein ( kompleks obat-protein

Ikatan kompleks obat-protein dapat terlepas dengan cepat dan hnay memerlukan waktu paruh milidetik. Hanya obat yang tidak terikat yang dapat berdifusi ke dalam jaringan dan dapat berinteraksi dengan reseptor untuk menghasilkan efek farmakologi. Ikatan kompleks Obat-protein dapat bertindak sebagai depot obat. Meningkatnya ikatan protein-obat dapat meningkatkan distribusi obat ke hati dan mempercepat eliminasi. Obat yang cepat dieliminasi dari aliran darah oleh hati misalnya propanolol.

Secara teori, jika dua obat terikat pada situs yang sama dalam serum albumin manusia diberikan bersama-sama, maka obat-obat tersebut akan bersaing pada situs albumin. Jadi jika seorang pasien memakai warfarin dan diberikan obat anti inflamasi non-steroid seperti indometasin, maka indometasin cenderung akan menggantikan warfarin dari situs albumin untuk mendapatkan keseimbangan yang baru.

2.3. METABOLISME OBAT

Metabolisme sering disebut biotransformasi dan merupakan suatu istilah yang menggambarkan metabolisme obat. Biotransformasi adalah suatu batasan yang digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan kimiayang terjadi dengan obat-obat yang terjadi dalam tubuh ketika obat tersebut diubah melalui berbagai mekanisme biokimia (Ansel, 1989) dan dikatalis oleh enzim (Setiawati, 2005). Metabolisme berasal dari bahasa Yunani yaitu Metabole artinya perubahan. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi terlebih dahulu agar dapat dikeluarkan dari badan. Pada dasarnya tiap obat merupakan zat asing yang tidak diinginkan oleh badan dan badan berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil (lebih polar) agar lebih lancar diekskersikan melalui ginjal (Setiawati, 2005). jadi reaksi biotransformasi yang merupakan peristiwa detoksifikasi.

Seperti yang telah disampaikan, bahwa hati merupakan organ yang banyak menerima suplai darah. Sebagai organ utama yang melakukan biotransformasi, hati mendapatkan suplai darah sebanyak 1100 mL dari usus melalui vena portal dan sebanyak 350 mL melalui arteri hepatic artery. Nilai ini hampir mendekati 1/3 volume darah yang keluar jantung (Katzung, 2005). Ini memperlihatkan kemampuan hati dalam menampung dan me-metabolisme obat dari jaringan.

Metabolisme obat terdiri dari dua fase:

1. Fase I reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis, mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar, yang lebih bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif dari aslinya.

2. Fase II Reaksi sintesi, merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen, misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino.hasil konjugasi bersifat lebih polar, dan lebih mudah teionisasi sehingga lebih mudah dieksresi (Setiawati, 2005).

Reaksi reduksi-Oksidasi yang terjadi pada tahap metabolisme paling sering menggunakan enzim metabolik sitokrom P450 (Sakai, 2009). Telah diketahui banyak isoenzim p450 yang menunjukan perbedaan yang spesifik terhadap substrat yang berbeda. Perbedaan genetik individu dalam hal isoenzim (contoh CYP2D6) memberikan pemahaman bahwa setiap individu bervariasi dalam hal biotransformasi obat (Genetic polymorphism of biotransformation) (Katzung, 2005).

Genetic polymorphism of biotransformation ditunjukan oleh Botton dkk, yang melihat pengaruh faktor genetik, biologis dan farmakologis dari dosis warfarin terhadap populasi orang Brazilian di Eropa. Hasil menunjukan bahwa perbedaan genetik (Single Nucleotide Polimorphisms, SNPs) di sitokrom p450 memberikan efek yang berbeda terhadap pemberian dosis warfarin (Botton, 2011).

Etnik berperan besar dalam polimorfisme. Berikut perbedaan etnik dalam hal biotransformasi, transporter dan target farmakologi (Yasuda, 2008).

Tabel 3. Perbedaan biotransformasi, transporter dan target farmakologi yag berhubungan dengan etnik

Dalam metabolisme senyawa asli mengalami perubahan kimiawi dan dianggap sebagai mekanisme eliminasi obat, meskipun masalah ekskresi metabolit tetap ada. Kebanyakan metabolit mempunyai sifat partisi yang nyata berbeda dibanding dengan senyawa aslinya terutama sifat lipofilnya menurun. Senyawa baru tersebut mudah diekskresikan karena tidak segera diabsorbsi dari cairan tubuli ginjal. Metabolisme dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami metabolism. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun intensitas aksi obat. Pada beberapa obat yang disebut produk tidak aktif secara biologi, tetapi metabolisme obat itu dapat mengaktifkan obatnya dalam hal ini dimaksudkan agar tujuan terapi dapat tercapai.

Faktor yang mempengaruhi metabolisme Obat

FaktorRespon

1Umur

Neonatus

TuaMengurangi laju metabolisme obat

2LingkunganPeningkatan laju metabolisme obat dengan kerja paparan insektisida

3MerokokPeningkatan laju metabolisme obat

4DietPeningkatan laju metabolisme obat dengan protein tinggi/diet rendah karbohidrat mengurangi laju metabolisme obat pada nutrisi

5AlkoholKonsumsi akut penghambatan metabolisme obat

Konsumsi kronis peningkatan laju metabolisme obat

6ObatDapat meningkatkan atau menurunkan laju metabolisme obat (Enzim induksi atau Inhibisi)

2.4. EKSKRESI OBATSetelah obat dimetabolisme, obat cenderung dieksresikan dalam bentuk metabolitnya melalui urin, sangat sedikit yang dieksresikan dalam bentuk utuh/ tidak berubah. Obat yang dieksresikan dalam bentuk utuh adalah digoksin dan gentamisin.

Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah eliminasi obat melalui system empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses (kotoran manusia). Jalur ekskresi lain (jumlah obat sedikit) adalah melalui air ludah dan air susu. Ekskresi melalui air susu ibu merupakan suatu rute yang dapat menimbulkan masalah bagi bayi yang disusui. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.

Ekskresi melalui ginjal merupakan resultan dari 3 proses antara lain :

a. Filtrasi di glumerolus

Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui cela antara sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi disana.

b. Sekresi aktif di tubuli proksimal

Banyak obat diangkut melaui tubuli proksimal secara aktif ke dalam urine yang ada di tubuli dan disebut sekresi tubuli aktif. Sekresi obat dapat ditunjukan bila kecepatan pembuangan urine melebihi kecepatan filtrasi glomeruli.

c. Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal

Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorbsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah.

Sekresi tubular aktif tidak terjadi untuk beberapa obat. Basa seperti amphetamine dan asam seperti penicilin, probenesid, dan salisilat dilakukan di sel tubulus ginjal oleh mekanisme transpor aktif terhadap gradien konsentrasi. Probenesid akan bersaing untuk mekanisme pembawa dengan penicilin, sehingga menghambat pembersihan ginjal penicilin dan menyebabkan konsentrasi plasma meningkat.Clearance ginjal dari beberapa obat dipengaruhi oleh pH urin. Hipotesis partisi pH telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Asam lemah seperti fenobarbital dan salisilat yang terionisasi oleh urin alkali. Hanya obat tidak terionisasi dapat diserap kembali ke dalam tubuh di epitel tubulus ginjal. Obat dasar yang sama seperti amphetamine diekskresikan lebih cepat dalam urin asam. Urin dapat dibuat basa dengan menggunakan natrium bikarbonat dan asam dengan amonium klorida, dan prinsip-prinsip ini dapat membantu dalam pengobatan overdosis obat.

Banyak metabolit obat yang berbentuk di hati di ekskresi ke dalam usus melalui empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal.

Obat dapat diekskresikan oleh sel hati menjadi empedu. Dengan cara ini, obat kadang-kadang diekskresikan tidak berubah tetapi biasanya sebagai konjugat (misalnya dengan asam glukuronat, sulfat atau glisin). Metabolit akan diekskresikan dalam empedu jika berat molekulnya melebihi 400.

Ekskresi melalui empedu dapat berfungsi sebagai alternatif untuk ekskresi ginjal pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu, tetapi tidak mungkin bahwa ekskresi dalam empedu sepenuhnya akan mengkompensasi kekurangan dalam ginjal ekskresi.

Beberapa obat diekskresikan dalam empedu dan kemudian menjalani sirkulasi enterohepatik. Sebagai contoh, etinilestradiol steroid kontrasepsi diserap dari usus kecil membentuk sulfat dan glukuronida konjugat di dinding usus dan hati. Sebagian besar dari metabolit ini diekskresi melalui empedu ke dalam usus. Flora bakteri menghidrolisis konjugat ini untuk membebaskan enthinyoestradiol yang kemudian tersedia untuk reabsorpsi; sehingga resirkulasi enterohepatik dapat dilihat sebagai mekanisme untuk memperpanjang aksi obat.

BAB 3

PENUTUP

Studi farmakokinetika klinik digunakan untuk memeriksa absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat yang masih dalam tahap investigasi pada subyek yang sehat ataupun pada pasien. Data yang diperoleh pada studi ini sangat berguna untuk desain uji klinis. Data yang diperoleh dari studi farmakokinetika klinik ini pun dapat berguna untuk evaluasi keamanan obat dari obat-obat baru. Saat ini, studi farmakokinetika banyak dilakukan untuk pengembangan obat-obat baru.

Manfaat dari farmakokinetika adalah mempelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses-proses biologik yang dialami oleh obat dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi. Termasuk di sini misalnya faktor-faktor genetik maupun lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal tubuh. Misalnya dengan mengukur parameter kinetika eliminasi (khusus untuk metabolisme) suatu obat dalam satu populasi, dapat diidentifikasi kemungkinan adanya sub populasi yang lain dari umumnya anggota populasi dalam hal kemampuan metabolisme obat tertentu.

Penelitian-penelitian dalam farmakokinetika klinik menjadi suatu hal penting disebabkan karena adanya keragaman antar etnik dan keragaman antar individu dalam suatu populasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan pertanyaan dalam berbagai keadaan itu apakah data kinetika suatu obat dari satu kelompok etnik bisa dipakai sebagai dasar untuk pembuatan pedoman aturan dosis dan pemberian pada kelompok etnik lain? Jawabannya bisa dua kemungkinan, ya dan tidak. Ini mungkin karena tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik dalam parameterparameter farmakokinetika antara masing -masing kelompok etnik. Kemungkinan lain, untuk beberapa obat ternyata perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik ini cukup bermakna klinik sehingga memerlukan penyesuaian aturan-aturan dosis pada kelompok etnik lain sesuai dengan parameter-parameter kinetik yang didapat pada populasi yang bersangkutan.

Keaneka ragaman antar etnik ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen dalam populasi yang bersangkutan untuk variasi obat yang di bawah pengaruh gen monogenik (polimorfisme genetik) atau oleh karena perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor lingkungan internal maupun eksternal yang bisa berpengaruh terhadap proses-proses kinetika (terutama metabolisme).DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, penerjemah Farida Ibrahim, UI Press, Jakarta

Botton, Mariana Rodrigues, Eliane Bandinelli, Luis Eduardo Paim Rohde, Luis Carlos Amon3 & Mara Helena Hutz, 2011. Influence of genetic,biological and pharmacological factors on warfarin dose in a Southern Brazilian population of European ancestry. British Journal of Clinical Pharmacology, DOI:10.1111/j.1365-2125.2011.03942.

Katzung. 2005. Basic and Clinical Pharmacology, 9th Edition. Mc Graw Hill. Boston.

Luellmann, Heinz, dkk, 2005. Color Atlas of Pharmacology, 3rd edition, Thieme, Jerman.

Richard, H. Ho, Leena Choi, Wooin Lee, Gail Mayo, Ute I. Schwarz, Rommel G. Tirona, David G. Bailey, C. Michael Stein, and Richard B. Kim, 2007. Effect of drug transporter genotypes on pravastatin disposition in European- and African-American participants, Pharmacogenet Genomics. August ; 17(8): 647656.

Sakai, Joy Bellis, 2009. Practical Pharmacology for Pharmacy Technicians, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA.

Setiawati, Arini, Zuniida SB., dan F.D., Suyatna, 2005. Pengantar Farmakologi, Farmakologi dan Terapi, edisi 4, FKUI, Gaya Baru Jakarta.

Yasuda, SU., L Zhang dan S-M Huang, 2008. The Role of Ethnicity in Variability in Response to Drugs: Focus on Clinical Pharmacology Studies, Clinical pharmacology & Therapeutics Volume 84 (3):417-423.1