tugas kelpk interdisc 2013(2)
TRANSCRIPT
KOLABORATIF DAN INTERDISIPLINER
DI TATANAN PELAYANAN KRITIS
TUGAS KELOMPOK INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS
MK TATA KELOLA KEPERAWATAN KRITIS Dosen : Dr. F SRI SUSILANINGSIH, MN
Disusun Oleh :
Ayu Ningrum (220120110502)
Nunung Nurhayati (220120110511)
Roheman (220120110531)
PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayahNya penulisan makalah “Kolaborasi dan Interdisiplin di
Tatanan Pelayanan Keperawatan Kritis” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
penugasan pada Mata Kuliah Tata Kelola Keperawatan Kritis pada Program
Magister Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada Dr.F. Sri Susilaningsih, MN sebagai dosen Mata Kuliah Tata
Kelola Keperawatan Kritis atas masukan dan pengarahan dalam penulisan
makalah ini.
Kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
dari itu Kelompok sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi
semua pihak. Terima kasih.
Bandung, Maret 2013
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian yang dikemukakan dengan sudut pandang beragam
namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama,
berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didenifisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi essensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak
ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya
kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam kerangka mencapai tujuan tersebut,
pembangunan kesehatan dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan
realistis sesuai pentahapannya.
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan ketertiban
dunia yang berdasarkan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadialan sosial. Dalam
rangka mencapai cita-cita tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di
semua bidang dalam satu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan
terarah.
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan
sumber dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna
mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula menitikberatkan pada
upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang ke arah
keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Oleh karena itu pembangunan
kesehatan, yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitasi) harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan dan dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pada saat ini pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk
mewujudkan suatu kondisi masyarakat Indonesia yang sehat baik secara
fisik maupun secara mental. Pemerintah menyadari akan arti penting
masyarakat yang sehat dalam mendukung pembangunan negara.
Pembangunan akan sulit berjalan lancar jika masyarakatnya kurang sehat.
Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem
pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas sehingga dapat diandalkan
pada saat dibutuhkan tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi
maupun non ekonomi. Hal ini berarti pemerintah perlu membangun pelayanan
kesehatan yang mampu diandalkan sehingga semua lapisan mayarakat baik dari
kalangan bawah sampai dengan kalangan atas dapat memanfaatkannya.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pada pelayanan
ditatanan keperawatan kritis yang harus diperhatikan adalah manajemen
perawatan pasien, yang dikelola oleh para dokter spesialis, para perawat dan
para tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaan tugas perawatan dengan
pasien kritis para tenaga kesehatan harus berkolaborasi dan menjalin hubungan
interdisiplin yang baik, bekerjasama saling memberikan informasi, koordinasi
dan mempunyai tujuan bersama yaitu kesembuhan pasien. Setiap tenaga
profesi tersebut mempunyai tanggung jawab terhadap kesehatan pasien,
hanya pendekatannya saja yang berbeda disesuaikan dengan profesinya
masing-masing. Bila setiap profesi telah dapat saling menghargai, maka
hubungan kerja sama kolaborasi akan dapat terjalin dengan baik sehingga
pelayanan akan efektif.
Pada tatanan pelayanan keperawatan kritis yang menjadi pasiennya adalah
orang dengan trauma dan penyakit yang mengancam kehidupan. Pada pasien kritis
disamping memiliki masalah yang kompleks juga beresiko mendapatkan multi-
intervensi dari berbagai multi disiplin dan mendapat therapi multi farmasi. Hal
tersebut berpotensi menimbulkan pelayanan yang terkotak-kotak dan akan
mengancam pada keselamatan pasien. Sehingga diperlukan komunikasi,
pengambilan keputusan, dan team work yang baik untuk meningkatkan kualitas
pelayanan yang baik dan holistik.
Intinya kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari
kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dengan
ahli medis lainnya. Oleh karena itu kelompok kami akan membahas tentang
Interdisiplin/kolaborasi untuk lebih memahami tetang konsep dan isu tentang
kolaborasi/interdisiplin.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Interdisiplin
Interdisiplin merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada
sejumlah dimensi kunci, termasuk di dalamnya adalah : tujuan yang jelas,
identitas bersama, komitmen bersama, peran yang jelas dari masing - masing
profesi, saling ketergantungan dan integrasi satu sama lain. Interdisiplin
adalah unsur penting untuk mengurangi duplikasi usaha, meningkatkan
koordinasi, meningkatkan keselamatan dan oleh karena itu memberikan
perawatan berkualitas tinggi. Organisasi kesehatan menyadari tentang
pentingnya memiliki informasi dan keterampilan banyak disiplin dalam
rangka mengembangkan solusi yang dapat dipertangung jawabkan dalam
memberikan perawatan yang komprehensif kepada individu dan keluarga.
Diungkapkan oleh Firth-Cozens (1998) berpendapat bahwa: Kerja tim
dipandang sebagai cara untuk mengatasi potensi fragmentasi perawatan,
sebuah sarana untuk memperluas keterampilan; merupakan bagian penting
yang perlu dipertimbangkan menghadapi kompleksitas perawatan modern;
dan cara untuk meningkatkan kualitas bagi pasien. Pelayanan Kesehatan
Nasional Manajemen Eksekutif (1993) di Inggris menyatakan : Hasil terbaik
dan biaya paling efektif untuk pasien dan klien dicapai ketika profesional
bekerja sama, belajar bersama, terlibat dalam audit klinis hasil bersama-sama
dan menghasilkan inovasi untuk memastikan kemajuan dalam praktek dan
pelayanan.
B. Anggota Tim Interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota
tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan
meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi,
manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki
komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar
sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi
pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal
hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Perawat sebagai
anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat
memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung
penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas
pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal
pemberian pengobatan.
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia
memeriksa beberapa alterntif pendapat dan perubahan pelayanan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar
didengar dan konsesus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu
keputusan yang diperoleh dari hasil konsesus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung
jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu
yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup
kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Koordinasi adalah
efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permaslahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktis
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan pada
pasien. Kolegasilitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkan
seseorang atau menghindari tanggung jawab. Hensen menyarankan konsep
dengan arti yang sama: mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu
hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antar orang-orang ditandai
oleh keinginan maju mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota.
Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa
rasa percaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,
menghindari dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi. Otonomi akan
ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerjasama
kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi professional. Status yuridis seiring perubahan perawat
dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangat kompleks.
Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan
atau kelalaian. Yaitu, malpraktek medis, dan mal praktek keperawatan. Perlu
ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengenai
tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi
profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas sruktur organisasi agar
dapat mengantisipasi perubahan.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan
data kesehatan pasien secara komprehensif sehingga menjadi sumber
informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh
karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang
memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan professional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui
pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-
pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.
Mutuality
Assertiveness
Efective collaboration
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja
dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan kordinasi seperti skema di bawah ini.
Gambar 1: Elemen Interdisiplin
C. Kolaborasi interdisiplin di tatanan pelayanan keperawatan kritis
Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan kritis
merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh sekolompok tim
kesehatan profesional (perawat, dokter, tim kesehatan lainnya maupun
pasien dan keluarga pasien kondisi kritis) yang mempunyai hubungan
yang jelas, dengan tujuan menentukan diagnosa, tindakan-tindakan medis,
Autonomy
CommunicationsResponsibility
Common purpose
Coordination
cooperation
dorongan moral dan kepedulian khususnya kepada pasien kondisi kritis.
Pelayanan akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota
tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada pasien kondisi
kritis. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus
bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk
mencapai kolaborasi interdisiplin yang efektif meliputi kerjasama,
asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, kewenangan dan kordinasi.
Koordinasi ketegasan
1. Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk
memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
2. Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat
mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa
pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
3. Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh
dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
4. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk
membagi informasi penting mengenai perawatan pasien kondisi kritis
dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis.
5. Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota dapat
memberikan tindakan pertolongan namun tetap mengacu pada aturan-
aturan yang telah disepakati.
6. Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam batas
kompetensinya.
7. Koordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam
perawatan pasien kondisi kritis, mengurangi duplikasi dan menjamin
orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
8. Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan
memiliki tujuan untuk kesehatan pasien kondisi kritis.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.
Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional
untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab.
Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan kritis
antara lain :
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien kondisi kritis
2. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
3. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
4. Meningkatnya kohesifitas antar professional
5. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional
6. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang
lain.
Hambatan dalam melakukan kolaborasi interdisiplin dalam keperawatan
kritis kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada
banyak hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi :
1. Ketidaksesuaian pendidikan
2. Struktur organisasi yang konvensional
3. Konflik peran dan tujuan
4. Kompetisi interpersonal
5. Status dan kekuasaan, dan individu itu sendiri
D. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerjasama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam
namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerjasama,
berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Berdasarkan
kamus heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama
khususnya dalam usaha penggabungan pemikiran.
Kolaborasi adalah bentuk 'longgar' dari tim kerja interprofessional.
Ini berbeda dari kerja tim dalam hal identitas bersama dan integrasi individu
yang kurang dianggap penting. Namun, ini mirip dengan kerjasama tim dalam
hal pembagian akuntabilitas bersama antara individu, saling ketergantungan
antar individu, kejelasan peran / tujuan dan tugas tim, namun secara general
kolaborasi digunakan pada setting dimana hanya memiliki sedikit kondisi
unpredictable, urgency dan kompleksitas. Contoh jenis pekerjaan dapat
ditemukan dalam perawatan primer dan umum (Delva et al., 2008)
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika
hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi
itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana
masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua
belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa
diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran
seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan
secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi
kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan
lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis,
pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran
pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien
melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama
periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja
sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka
berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney,
2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan
apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu
menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan
rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para
pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan
dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu
yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi
dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian
perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan
masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf
perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan
menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan
dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan
supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau
mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan
diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup
praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap
orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan
masyarakat.
E. Kolaborasi Perawat – Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya dan
Pasien.
Komunikasi yang terjadi antara dokter, perawat, dan tim kesehatan
lain dengan pasien dapat dijelaskan melalui praktik kolaborasi sebagai
berikut. Kolaborasi tidak dapat didefinisikan atau dijelaskan dengan mudah.
Kebanyakan definisi menggunakan prinsip perencanaan dan pengambilan
keputusan bersama, berbagi saran, kebersamaan, tanggung gugat, keahlian,
dan tujuan serta tanggung jawab bersama. American Nurses Association
(ANA): Baggs & Schmitt,1988; Evans & Carlson,1992; Shortridge, McLain,
& Gillis1986, (cit. Siegler & Whitney, 1994). et al., (cit. Siegler & Whitney,
1994) menyebutkan kolaborasi sebagai hubungan timbal balik dimana
pemberi pelayanan memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan
pasien dalam kerangka kerja bidang respektif mereka. Praktik kolaborasi
menekankan tanggung jawab bersama dalam menajemen perawatan pasien,
dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing
pendidikan dan kemampuan praktisi.
Meskipun definisi ini termasuk yang terbaik, tapi belum dapat
menyampaikan sekian ragam variasi dan kompleksnya kolaborasi dalam
perawatan kesehatan National Joint Practice Commission (NJPC), (cit.
Siegler & Whitney, 1994). Gambar berikut adalah tiga model/pola praktik
kolaborasi:
Praktik kolaborasi mengganti pendekatan pengelompokan hirarkis
yang mendorong interaksi antara sesama anggota. Gambar 1 – 3.
Membandingkan tiga buah model, satu hirarkis dan dua kolaborasi.
Pola pertama merupakan model hirarkis (gambar 1), menekankan
komunikasi satu arah, kontak terbatas antara pasien dan dokter, dan dokter
merupakan tokoh yang dominan. Pola kedua merupakan model praktik
kolaborasi (gambar 2) menekankan komunikasi dua arah, tapi tetap
menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antara
dokter dan pasien. Model ketiga pada gambar 3 agak mengubah pola tersebut.
Pola ini lebih berpusat pada pasien, dan semua pemberi pelayanan harus
saling bekerja sama, juga dengan pasien. Model ini tetap melingkar,
menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tak
ada satu pemberi pelayanan yang mendominasi secara terus menerus.
Model Kolaborasi gambar 3 adalah yang sesuai dengan penelitian ini
karena kolaborasi yang dilakukan dokter, perawat dan tenaga kesehatan
lainnya semuanya berorientasi kepada pasien. Dalam situasi apapun, praktik
kolaborasi yang baik harus dapat menyesuaikan diri secara adekuat pada
setiap lingkungan yang dihadapi sehingga anggota kelompok dapat mengenal
masalah yang dihadapi pasien, sampai terbentuknya diskusi dan pengambilan
keputusan.
Masalah kolaborasi adalah komplikasi fisiologis tertentu yang
dipantau perawat untuk mendeteksi awitan atau perubahan dalam status.
Perawat mengatasi masalah kolaboratif dengan menggunakan ketentuan -
dokter dan intervensi yang ditentukan – keperawatan untuk meminimalkan
komplikasi dari kejadian tersebut. Intervensi keperawatan diklasifikasikan
sebagai ditentukan – perawat atau ditentukan – dokter. Intervensi yang
ditentukan – perawat adalah intervensi dimana perawat tersebut dapat secara
legal menentukan bagi staf keperawatan untuk mengimplementasikannya.
Intervensi yang ditentukan perawat mengatasi, mencegah, dan memantau
diagnosa keperawatan. Intervensi yang ditentukan perawat mengatasi dan
memantau masalah kolaboratif. Intervensi yang ditentukan dokter
menunjukan tindakan untuk masalah kolaboratif dimana perawat
melaksanakan dan mengaturnya. Masalah kolaboratif memerlukan baik
intervensi yang ditentukan perawat maupun intervensi yang ditentukan
dokter.
Sedangkan kualitas hubungan perawat-pasien, oleh Burnard (1990)
dalam kajiannya mengenai konsep kehangatan dan ketulusan, mengajukan
argumentasi bahwa sifat-sifat ini adalah sangat subjektif. Persepsi kualitas
pribadi orang lain bersifat individual dan didasarkan pada pengalaman
individu. Orang biasa menganggap dirinya sebagai hangat tetapi belum tentu
orang lain menganggapnya demikian, mungkin ini disebabkan oleh perbedaan
budaya. Bersikap hangat dan tulus bukanlah suatu keterampilan praktis tetapi
suatu kerangka pemikiran. Termasuk di dalamnya adalah sikap penerimaan,
penghargaan dan keunikan setiap pribadi: keunikan perawat bagi pasien yang
memerlukan perawatan; keunikan pasien bagi perawat yang mempunyai
minat professional yang tulus dalam meningkatkan kesejahteraan pasien.
Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan perawat-pasien,
tidak diperlukan adanya keintiman yang kuat diantara orang orangnya. Yang
diperlukan adalah penciptaan suatu iklim dimana pasien merasa aman;
dimana terjadi saling membagi pemahaman, pendapat dan pikiran.
Pemahaman yang empatik adalah sebuah dimensi khusus dalam
membangun hubungan pengasuhan. Menurut kamus, istilah ini berarti “daya
untuk mengenali diri sendiri secara mental dengan orang atau suatu benda
kontemplasi” Allen (1990). Empati bukanlah simpati untuk situasi atau
dilemma seseorang tetapi sebuah kemampuan untuk merefleksikan secara
objektif perasaan-perasaan dari seorang pasien, yang mungkin tidak
diungkapkan melalui kata-kata. Di dalamnya terlibat penerimaan dan
penghargaan, tanpa prasangka, terhadap keunikan pribadi tanpa gangguan
persetujuan atau ketidaksetujuan, pengakuan atau tidak mengakui; empati
adalah mempersepsikan dunia sebagaimana pasien mempersepsikannya.
Menurut kata-kata Scheler (cit. Kirby dan Slevin, 1992) “empati
adalah merasakan perasaan orang lain, tanpa dengan mengetahuinya ataupun
menilai bahwa orang lain memilikinya; tetapi tidak sama dengan mengalami
sendiri pengalaman itu”. Seorang praktisi yang benar-benar reflektif adalah
seseorang yang mampu menambahkan pemahaman yang empatik ke dalam
kualitas hubungan pengasuhan. Bukan sebagai konselor, karena ini
merupakan pekerjaan khusus dari seseorang yang mendapat pelatihan khusus
untuk hal ini, tetapi menggunakan keterampilan konseling (Ellish, 1992). Kita
juga perlu mempertimbangkan sifat segera dari perasaan-perasaan yang
digambarkan oleh pasien. Sifat segera ini mengacu pada situasi yang sedang
terjadi, bukan pada masa lalu atau masa yang akan datang.
F. Proses Kolaborasi
Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik
kolaborasi. ANA (1980) menjabarkan kolaborasi sebagai ” hubungan rekanan
sejati, dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain,
dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab
masing-masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi
kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua
pihak.” Dari penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa kolaborasi
dapat dianalisis melalui empat buah indikator :
a. Kontrol – kekuasaan
b. Lingkup praktik
c. Kepentingan bersama
d. Tujuan bersama.
a. Kontrol – kekuasaan
Berbagi kekuasaan atau kontrol kekuasaan bersama dapat terbina apabila
baik dokter maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk
mendiskusikan pasien tertentu. Beberapa peneliti telah mengembangkan
instrumen penelitian untuk mengukur kontrol-kekuasaan pada interaksi
perawat-dokter. Feiger dan Schmitt, (1979) mengembangkan model
mengukur komunikasi perawat – dokter untuk menentukan tingkat kontrol
kekuasaan melalui 12 kategori proses berikut ini :
(1) menanyakan informasi, (2) Memberikan Informasi, (3) menanyakan
pendapat, (4) memberikan pendapat, (5) mengemukakan usul, (6)
memberikan pengarahan/perintah ,(7) pengambilan keputusan, (8)
memberi pendidikan, (9) memberi dukungan/persetujuan,(10 )
menanyakan tidak setuju/tidak sependapat, (11) orientasi, dan (12) humor.
Kecuali instrumen, Jones juga meneliti jangka waktu rata-rata pertukaran
komunikasi antara perawat dengan dokter untuk tiga jenis komunikasi
yaitu komunikasi saat mengadakan pemeriksaan keliling, komunikasi saat
tatap muka dan komunikasi melalui telpon.
b. Lingkungan Praktik
Lingkungan praktik menunjukan kegiatan dan tanggung jawab masing
masing pihak. Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang
terpisah sesuai dengan peraturan praktik perawat dan dokter, tapi ada
tugas-tugas tertentu yang dibina bersama. Weis dan Davis ( 1993 ) telah
mengembangkan suatu instrumen yang disebut Healt Role Expectation
Index, mengukur persepsi kolaborasi hubungan antara perawat, dokter,
pasien. Sarana yang terdiri dari 16 pokok tersebut dibentuk dari skala
Likert 5 hal yang membentuk 4 skala terpisah : (1) tanggung jawab dokter,
(2) tanggung jawab perawat, (3) tanggung jawab pemakai, (4)
egalitarianisme ( dengan topik : akses sama, kekuasaan sama dan/atau
penghargaan sama). Semakin tinggi skore total semakin besar
kemungkinan pelaksanaan tanggung jawab bersama antara para anggota
perawatan kesehatan.
Weiss dan David mengusulkan agar instrumen tersebut digunakan untuk
(1) menilai kecenderungan seseorang untuk berkolaborasi, (2) menentukan
kesesuaian antara harapan para pemberi perawatan kesehatan dan pasien
yang mereka layani dan (3) mengevaluasai perubahan sikap dan ketepatan
waktu tertentu.
c. Kepentingan Bersama
Peneliti yang menganalisa kepentingan bersama sebagai indikator
kolaborasi antara perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut
pandang perilaku organisasi. Para teoris ini menjabarkan kepentingan
bersama secara operasional menggunakan istilah tingkat ketegasan masing
masing ( usaha untuk memuaskan sendiri ) dan faktor kerja sama ( usaha
untuk memuaskan kepentingan pihak lain ). Thomas dan Kilmann (1974)
telah merancang model untuk mengukur pola managemen penanganan
konflik: (1) bersaing, (2) berkolaborasi, 3) berkompromi, (4) menghindar,
(5 ) mengakomodasi.
d. Tujuan Bersama
Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada pasien
dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat
kaitannya dengan prognosis pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi
tanggung jawab perawat, ada yang dianggap sebagai tanggung jawab
sepenuhnya dari dokter, ada pula tujuan yang merupakan tanggung jawab
bersama antara dokter dan perawat.
G. Elemen Kunci Efektifitas Kolaborasi
Kerjasama, menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk
memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka
dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-
benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung
suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung
jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu
yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup
kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Koordinasi adalah
efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan
profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan
seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan
konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang
ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap
anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi.
Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,
menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi. Otonomi akan
ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team yaitu :
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik profesional.
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami
orang lain.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Issue Interdisiplin dan Solusinya
Kolaborasi membutuhkan pengakuan bahwa pengetahuan dan bekerja
sama secara interdisipliner sangat berkaitan erat. Situasi klinis pada pasien ICU
dengan berbagai macam masalah yang komplek dapat dipecahkan dengan
kolaboratif interdisipliner dengan berbagai didplin ilmu terkait.
Hubungan perawat-dokter dan profesi lainnya adalah satu bentuk
hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan
kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam
prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam
melakukan proses kolaborasi. Hambatan kolaborasi dokter, perawat dan profesi
lain sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status
dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi
pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi/interdisiplin.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat
timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American
Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit
melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan,
tetapi juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan
Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas
hubungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat
profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi
sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam
aplikasi kolaborasi. Dokter dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik
lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih
mendukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter
terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara
berkomunikasi diantara keduanya.
Inti sesungguhnya dari konflik perawat, dokter dan profesi lain terletak
pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi
diantara keduanya. Selain perawat – dokter, kolaborasi antar tenaga kesehatan
yang lain dalam menangani pasien saat ini juga dirasakan masih kurang. Masing –
masing tenaga kesehatan menangani pasien dengan disiplin ilmunya sendiri –
sendiri tanpa adanya kolaborasi satu dengan yang lainnya sehingga cenderung
akan merugikan pasien. Pendekatan yang dilakukan masih pendekatan
multidisiplin. Padahal seharusnya pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
interdisiplin. Terutama ditatanan pelayanan intensive atau citical care.
Critical Care merupakan bagian yang penting dalam sistem kesehatan
yang modern. Intensive care mempunyai 2 fungsi utama: yang pertama adalah
untuk melakukan perawatan pada pasien-pasien gawat darurat dengan potensi
“reversible life thretening organ dysfunction”, yang kedua adalah untuk
mendukung organ vital pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi yang
kompleks elektif atau prosedur intervensi dan risiko tinggi untuk fungsi vital
dimana pasien ini berpotensi untuk mendapatkan berbagai macam intervensi dari
berbagai disiplin ilmu baik dari kedokteran, keperawatan, gizi dan disiplin ilmu
lainnya, sehingga hal ni akan menimbulkan permasalahan baru yaitu adanya
pemecahan masalah pasien kritis yang bersifat fragmented dan hal ini akan
berpotensi untuk menimbulkan masalah pada safety pasien yang akan berdampak
pada mutu pelayanan pasien.
Seperti yang dikatakan oleh Manojlovich (2007) bahwa adverse event
merupakan hal yang sering terjadi di tatanan pelayanan critical care dan
komunikasi antara perawat dan dokter menjadi salah satu faktor yang significan
yang berhubungn dengan mortalitas di tatanan pelayanan critical care.
Komunikasi dan koordinasi tim yang efektif diakui sebagai hal penting untuk
meningkatkan kualitas dan keselamatan dalam pengaturan medis akut seperti unit
perawatan intensif (ICU). Studi kegagalan komunikasi dalam tim medis telah
menunjukkan pengaruh yang hirarkis dan faktor sosial terhadap perilaku staf
medis junior. Kegagalan komunikasi dapat muncul dari anggota tim junior yang
enggan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan anggota tim senior karena
takut baik karena tidak kompeten, atau ditolak, malu.
Penelitian sikap di AS menunjukkan bahwa anggota tim ICU memiliki
persepsi yang berbeda perilaku komunikasi mereka, dengan perawat lebih dari
pada dokter melaporkan kesulitan dalam berbicara ke atas tentang masalah dengan
perawatan pasien, dan perawat lebih sedikit pelaporan yang kerja sama antara
perawat dan dokter terkoordinasi dengan baik. Tidak hanya faktor-faktor seperti
meningkatkan kemungkinan kesalahan medis terjadi, tetapi juga sejauh mana
komunikasi di ICU terbuka dapat mempengaruhi sejauh mana tugas perawatan
pasien dipahami. Melalui penggunaan intervensi komunikasi yang membina
kerjasama lintasi batas peran (misalnya ICU harian tujuan lembar), membuat
komunikasi yang lebih inklusif dan eksplisit telah terbukti meningkatkan
pemahaman anggota tim rencana perawatan pasien di ICU.
Beberapa penelitian tentang patient safety menunjukkan bahwa kegagalan
komunikasi menjadi faktor penyebab terbanyak dalam insiden kritis di ICU. Studi
ini menunjukkan bahwa anggota tim kelompok dengan profesional yang berbeda
memiliki persepsi yang berbeda dalam hal komunikasi di ICU. Komunikasi
keterbukaan juga ditemukan terkait dengan sejauh mana anggota tim memahami
laporan tujuan perawatan pasien. Hal ini diperlukan untuk menciptakan suasana
yang aman dimana anggota tim merasa mereka dapat berbicara secara terbuka
tanpa takut atau malu jika mereka memiliki masalah keamanan atau masalah
dengan kualitas penjagaan yang diberikan kepada pasien.
Untuk itu maka tatanan pelayanan di intensive care harus dilakukan secara
interdisiplin bukan multi disiplin sehingga penanganan pasien dapat diselesaikan
bersama sama dan tidak bersifat fragmented atau sepotong –sepotong tetapi
secara holistik, sehingga dapat terwujud good clinical governance. Hal ini sesuai
dengan Sistem Kesehatan Nasional 2011, dalam Bab V tentang Cara
Penyelenggaraan Sistem Kesehatan Nasional, salah satu prinsip pada subsistem
upaya kesehatan adalah upaya kesehatan dilakukan secara kerjasama tim,
melibatkan semua pihak yang kompeten, dilakukan secara cepat dengan
ketepatan/presisi yang tinggi. Hal ini bertujuan agar tercipta pelayanan perawatan
pasien yang komperhensif dan terintegrasi sehingga tercipta pelayanan
keperawatan kritis yang holistik dan humanis, sehingga diperlukan pendekan
interdisiplin untuk mewujudkannya.
Untuk mengatasi issue interdisiplin yang sampai sekarang masih terjadi di
pelayanan kesehatan maka salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan
pendekatan interdisiplin yaitu dimana tenaga kesehatan harus tumbuh dan belajar
pada suatu situasi dimana tercipta hubungan yang saling percaya antar disiplin dan
adanya keinginan untuk berbagi dalam pengambilan keputusan. Sehingga dalam
hal ini perlu kohesifitas/kepaduan antar disiplin untuk mengatasi tabir penghalang
untuk terlaksananya proses kolaborasi/interdisipliner dimana dalam hal ini
collective culture harus lebih diutamakan dari pada expert culture.
Untuk mengatasi hal tersebut maka kita bisa mengatasinya untuk
memerkenalkan proses interdisiplin mulai dari institusi pendidikan dengan
interdisiplin pendidikan. Maksudnya adalah pendekatan interdisiplin tersebut
dimulai dari dunia pendidikan, dalam proses mendidik calon – calon tenaga
kesehatan. World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 menyusun sebuah
Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative Practice.
Prinsip yang ditekankan adalah “belajar bersama untuk bekerja bersama demi
kesehatan yang lebih baik” seperti digambarkan oleh gambar di bawah ini :
Gambar 1. Health and education system
Gambar 2. Interprofessional education
Gambar 3. Collaborative practice
ICU merupakan pengaturan yang sesuai untuk analisis kolaborasi antara
perawat dan dokter karena konteksnya dianggap sebagai prototipe saling
tergantung "teamwork" dalam pelayanan kesehatan. Keberhasilan team tergantung
pada kemampuan untuk memonitor dari lembar observasi pasien.
Kebutuhan kompleks pasien sakit kritis akan meningkatkan kebutuhan
perawat-dokter dalam hal kolaborasi. Karena ICU perawatan ditandai dengan
ketidakstabilan, ketidakpastian, dan variabilitas. Kenyataan bahwa kerjasama
positif mempengaruhi hasil pasien, khususnya dalam konteks klinis perawatan
intensif, baik documented. Secara kontekstual kolaborasi antara perawat dan
dokter berarti interaksi antar pribadi. Dalam konteks kesehatan, Kolaborasi
dipahami sebagai cara di mana dokter dan perawat berinteraksi satu sama lain
dalam kaitannya keputusan, klinik making. Kolaborasi melibatkan langsung dan
komunikasi terbuka, menghormati perspektif yang berbeda, dan saling tanggung
jawab dalam pemecahan masalah.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari
perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung
jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian.
Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari
pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari
perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus
berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan.
Kolaborasi antara perawat dan dokter adalah proses yang kompleks
interaksional antara kelompok-kelompok profesional yang berbeda. Selama hasil
kemajuan pasien seperti yang diharapkan, pemahaman dibagi antara disiplin agar
hasil dari kolaborasi sesuai dengan yang diharapkan. Karena disiplin kedokteran
dan keperawatan memiliki sejarah yang berbeda, politik agenda, dan bentuk-
bentuk pendidikan yang memalsukan identitas profesional, nilai-nilai, dan
keterampilan, perbedaan-perbedaan ini dapat disorot dalam kondisi stres. Pada
saat ini, batas-batas cenderung tertarik mengenai siapa yang memiliki apa jenis
pengetahuan dan siapa yang bertanggung jawab spesifik jenis pekerjaan.
Breakdown bekerjasama mengungkapkan yang pengetahuan khusus dan cara di
mana identitas profesional dibawa ke depan dan diperkuat.
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak
terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat
menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan
menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai
profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan
pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara
dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan
tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien.
Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan
pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk
menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses
penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan
pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer
pengetahuan diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi
semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang
dapat meningkatkan keahlian perawat
Selain itu yang menjadi kunci dalam menciptakan model perawatan pasien
interdisiplin adalah Sense Of Control, berbagi informasi, memperhatikan
terjadinya Overlap & tanggung jawab masing-masing disiplin, structuring
Intervention yang menjadi komponennya adalah dengan Integrated care path,
Teamwork, Dokumentasi terintegrasi, Case comprence interdisiplin.
Dengan memulai memaparkan proses kolaborasi interdisiplin pada proses
pendidikan di tatanan disiplin ilmu kesehatan dengan berbagai model tadi maka
diharapkan akan terlahir seorang case management yang diharapkan mampu
menciptakan perawatan pasien yang terintegrasi bukan perawatan yang
fragmentasi dan bisa menciptakan iklim belajar dan meningkatkan kohesivitas
dari berbagai disiplin.
Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional
dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan
masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat
upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.
B. Jurnal-jurnal yang mendukung trend dan issu interdisiplin
Judul Penelitian : Praktek kolaborasi antara perawat dan praktisi medis di
praktek pelayanan negara Australia dari retorika ke realita.
Peneliti : Anne McMurray Professor of nursing dean, fakultas
keperawatan dan kesehatan Universitas Griffith.
Latar Belakang
Praktek kolaboratif antara perawat dan praktisi medis telah menjadi
topik diskusi, perdebatan dan penelitian selama puluhan tahun. Penelitian
ini akan menyajikan beberapa faktor fasilitatif dan penghambat praktek
kolaboratif dan mengkajinya dalam konteks pengaturan praktek pelayanan
di Australia. Kesadaran tentang faktor-faktor ini dapat memungkinkan
praktik perawat (PNs), baik secara individu maupun kolektif, untuk lebih
memahami dinamika hubungan mereka dengan dokter umum (GPs) untuk
bergerak dari peran yang sebagian besar tergantung terhadap salah satu
kolaboratif. Hal ini penting karena survey terbaru dari sejumlah besar uang
dalam anggaran Commonwealth 2001-2002 untuk mempekerjakan lebih
banyak perawat di pengaturan praktek pelayanan dan untuk memperluas
peran mereka saat ini.
Praktek kolaboratif
Syarat dari praktek kolaboratif, latihan bersama, praktek terkait,
kerja interprofessional, perawatan transprofessional, perawatan bersama
dan kemitraan sering digunakan secara bergantian di bidang kesehatan,
namun definisi mereka sangat variabel (Baggs & amp; Schmitt, 1988;
Henneman, Lee & amp; Cohen, 1995; Jones, 1992; Stichler, 1995; Taylor,
1996). Kurangnya kejelasan dan perdebatan bahwa kolaborasi antara
perawat dan dokter adalah kunci variabel dalam menjelaskan hasil pasien,
Baggs dan Schmitt (1988) melakukan kajian pustaka penggunaan istilah
praktek kolaboratif. Review mereka diidentifikasi atribut penting untuk
menjadi: membuat perencanaan, menetapkan tujuan, pengambilan
keputusan, pemecahan masalah dan tanggung jawab; membuka
komunikasi; kerja sama; koordinasi; dan pengakuan dan penerimaan
daerah yang terpisah dan gabungan aktivitas.
Henneman et al. ( 1995 ) juga membahas kerjasama, usaha konsep
analisis untuk menciptakan definisi operasional dan menyediakan dasar
untuk alat pembangunan dan evaluasi. Mereka mengidentifikasi tambahan
mendefinisikan atribut seperti berbagi kekuasaan dan otoritas berdasarkan
pengetahuan atau keahlian seperti menentang peran atau fungsi, dan
hubungan non-hierarchical. Namun, peneliti menegaskan bahwa sebelum
kolaborasi dapat terjadi, sejumlah personil dan anteseden-anteseden
lingkungan harus terjadi. Termasuk kesiapan faktor personel untuk terlibat
dalam proses, pemahaman dan penerimaan tingkat keahlian dan batas-
batas peran, kepercayaan, dan dinamika kelompok yang efektif. Ini harus
digabungkan dengan faktor-faktor lingkungan yang meliputi struktur
organisasi yang mendorong partisipasi dan saling ketergantungan antara
para anggota dan pemimpin, yang mendorong kreativitas individual dan
otonomi dalam pengambilan keputusan sementara.
Taylor (2002) sepakat, menambahkan beberapa dasar-dasar praktek
kolaboratif. Berikut ini adalah perilaku yang mencirikan otonomi:
pengetahuan tentang trend saat ini dan isu-isu di keperawatan; keterlibatan
dalam kegiatan kolektif dengan perawat lain untuk meningkatkan
perawatan pasien dan memajukan profesi; kompetensi dalam medis
dependen dan medis independen; ketegasan dalam memulai,
mendokumentasikan dan mengartikulasikan tindakan keperawatan dan
hasil dan kesediaan untuk mengambil risiko pada pasien untuk menjaga
integritas profesi mereka.
Dua kelompok menggunakan jenis pendekatan ini, Apakah
mungkin mengarah pada peningkatan hasil pasien dalam bentuk
penurunan kematian (Knaus, Draper, Wagner & amp; Zimmerman, 1986:
Rubenstein et al., 1984) dan meningkatkan status fungsional (Alpert,
Goldman, Kilroy, dan tombak (1992). Biggs (1993) mengklaim bahwa
interprofessional kolaborasi dalam perawatan komunitas mengakibatkan
peningkatan kejelasan akan tujuan untuk klien. Vautier dan Carey (1994)
menemukan bahwa pasien yang sama dikelola kasus dinilai perawatan
mereka lebih positif daripada pasien lain. Lebih lanjut, manfaat tim dan
perawatan kolaboratif untuk populasi terlayani telah didokumentasikan
oleh Baldwin (1996) dan termasuk peningkatan kepatuhan pasien,
kepuasan pasien yang lebih besar, pengurangan dalam menyalahi janji dan
penurunan kebutuhan dan penggunaan dokter. Di rawat, kolaborasi telah
mengakibatkan peningkatan akses pasien ke dan pilihan selular, fokus
besar pada pencegahan perawatan, meningkat keterlibatan masyarakat dan
meningkatkan perawatan diri pasien (Dunevitz, 1997).
Praktek kolaboratif juga telah memberikan hasil positif untuk para
peserta yang profesional. Alt-White, Charnes dan Strayer (1983) dan
Alpert et al. (1992) melaporkan korelasi signifikan antara kepuasan kerja
perawat dan keterlibatan dalam praktek kolaboratif. Baggs dan Ryan
(1990) ditemukan signifikan secara statistik korelasi antara persepsi
perawat terkait kolaborasi dan kepuasan dalam pengambilan keputusan.
BAB IV
PENUTUP
Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah di
area pelayanan keperawatan kritis. Ada banyak hambatan antara anggota
interdisiplin, meliputi ketidaksesuaian pendidikan, struktur organisasi yang
konvensional, konflik peran dan tujuan, kompetisi interpersonal, status dan
kekuasaan, dan individu itu sendiri.
Untuk mencapai pelayanan yang efektif di tatanan pelayanan keperawatan
kritis maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan
yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas
yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang
berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama,
sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat
menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara
anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Karen, B. J & Williams. (1999). Fundamental of nursing; collaborating for
optimal health. Second editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA.
Dochterman & McCloskey, J. (2001). Current issue in nursing. 6th Editian .
Mosby Inc.USA
Eugenia, L., Siegler, M.D., & Whitney, F. W. (1996). Kolaborasi perawat –
dokter. Penerbit buku kedokteran. EGC.
Siegler, Eugenia L, M.D & Whitney F. (2000). Kolaborasi perawat-dokter ;
Perawatan orang dewasa dan lansia. EGC. Jakarta.
www. Nursingworld. (1998). Collaborations and Independent Practice: Ongoing
Issues for Nursing.
www. Nursingworld. Sieckert. (2005). Nursing - Physician workplace
Collaboration.
www. Nursingworld. Canon. (2005). New Horizons for Collaborative
Partnership.
www. Nursingworld. Gardner. (2005). Ten Lessons in Collaboration.