tugas kuliah sankri.pdf

22
PENDAHULUAN Orde baru yang cenderung membangun kekuasaannya dengan memanfaatkan birokrasi pemerintah, lebih memilih bentuk sentralistik dalam birokrasi karena dinilai sebagai cara yang terbaik untuk mendukung stabilitas politik dan ekonomi. Sentralisasi pemerintah mengakibatkan terhambatnya sebagian besar sistem ekonomi, sarana/prasarana di daerah. Pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun. Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Fungsi lembaga eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya yang ditandai dengan tidak adanya rotasi eksekutif dalam orde baru, sehingga kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan pasifnya lembaga legislatif karena pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti lembaga administrasi yang sifatnya formalitas belaka. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Pusat, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah. Adanya eksploitasi sumber daya ecara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia, yang juga menyebabkan timbulnya kesenjangan ekonomi. Dalam urusan politik, orde baru membuat struktur politik cenderung otoriter dan birokrasi menjadi institusi yang dominan, karena penyeimbang dan pengawas lembaga- lembaga publik seperti LSM dan organisasi-organisasi profesi telah dihilangkan perannya melalui kebijakan massa mengambang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja.

Upload: rizky-kurnia

Post on 23-Nov-2015

265 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tugas Kuliah Sankri

TRANSCRIPT

  • PENDAHULUAN

    Orde baru yang cenderung membangun kekuasaannya dengan memanfaatkan

    birokrasi pemerintah, lebih memilih bentuk sentralistik dalam birokrasi karena dinilai

    sebagai cara yang terbaik untuk mendukung stabilitas politik dan ekonomi. Sentralisasi

    pemerintah mengakibatkan terhambatnya sebagian besar sistem ekonomi,

    sarana/prasarana di daerah.

    Pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara.

    Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi

    daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial

    budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan

    ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan

    inisiatif lokal untuk membangun.

    Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara

    sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada

    presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Fungsi lembaga

    eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya yang ditandai dengan tidak adanya rotasi

    eksekutif dalam orde baru, sehingga kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan

    pasifnya lembaga legislatif karena pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti

    lembaga administrasi yang sifatnya formalitas belaka.

    Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya

    dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR

    dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan

    militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi

    rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70%

    dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Pusat, sehingga melebarkan

    jurang pembangunan antara pusat dan daerah. Adanya eksploitasi sumber daya ecara

    besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di

    Indonesia, yang juga menyebabkan timbulnya kesenjangan ekonomi.

    Dalam urusan politik, orde baru membuat struktur politik cenderung otoriter dan

    birokrasi menjadi institusi yang dominan, karena penyeimbang dan pengawas lembaga-

    lembaga publik seperti LSM dan organisasi-organisasi profesi telah dihilangkan perannya

    melalui kebijakan massa mengambang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja.

  • Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai-

    partai politik tidak dapat menggunakan ikatan ideologinya untuk mengikat konstituennya.

    Hal ini mendorong munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

    Akan tetapi, kuatnya dominasi negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan

    masyarakat tidak berjalan dengan baik. Hasil pembangunan telah mencitakan kesenjangan

    antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini terjadi karena adanya praktik-praktik

    korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berkembang dalam kehidupan bangsa

    Indonesia. Akibatnya terjadi krisis multidimensional yaitu krisis politik, ekonomi, dan sosial.

    Hal ini yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan munculnya era

    Reformasi.

    Reformasi adalah suatu perubahan tatanan perikehidupan lama menuju tata

    perikehidupan baru dan secara hukum menuju kearah yang lebih baik. Perubahan itu

    didasarkan pada pola pikir yang bersifat terbuka , transparan, jujur, dan bersih.

    Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan yang

    mendasar dalam sisitem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak

    pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang-Undang Dasar 1945. Era ini

    ditandai dengan adanya pergantian serta perpindahan kekuasaan dari penguasa yang

    kental dengan dengan nuansa militernya ke penguasa yang memiliki latar belakang sipil.

    Perpindahan kekuasaan tersebut pada akhirnya juga menyebabkan ikut berubahnya

    struktur dan kondisi perpolitikan di Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Berubahnya

    struktur politk tersebut dapat kita lihat pada bidang pelembagaan atau pemisahan

    kekuasaan maupun timbulnya relasi yang berbeda antara militer dengan politik pada masa

    kini.

    Kedudukan eksekutif menjadi setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif

    dan yudikatif. Eksekutif masih memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem

    presidensil, namun tetap diimbangi oleh lembaga legislatif. Eksekutif dibantu oleh jajaran

    menteri diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan memaksimalkan

    upaya mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar kepada

    persetujuan DPR.

    Adanya perubahan yang sangat signifikan pada sistem administrasi sebelum dan

    sesudah reformasi dan berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan analisa

    perbandingan antara sistem administrasi Indonesia sebelum dan setelah reformasi.

  • KERANGKA KONSEPTUAL

    Menurut Karl. D. Jackson dalam Winarno (2007 : 27) menyebut orde baru sebagai

    masyarakat politik birokrasi, menggambarkan bagaimana arena politik sangat didominasi

    oleh birokrasi negara. Menurutnya dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana

    telah dicirikan dalam orde baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan dalam

    birokrasi, korps militer dan administrasi sipil. Kelompok-kelompok diluar birokrasi, sebagai

    konsekuensi kuatnya organanisasi birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, partai politik,

    kelompok-kelompok kepentingan dan gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam

    proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini kebijakan nasional dibuat

    dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut di tujukan

    untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi.

    Dalam orde baru sistem pemerintahan cenderung bersifat sentralistik dengan

    memanfaatkan birokrasi sebagai penopangnya. Hal ini menyebabkan individu-individu

    didalamnya leluasa untuk melakukan praktik KKN.

    Menurut Nurcholis (2005 : 6), Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan

    pemerintahan (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat. Yang dimaksud

    pemerintah pusat adalah presiden dan para menteri. Jika suatu negara memusatkan

    semua kewenangan pemerintahannya pada tangan presiden dan para menteri, tidak

    dibagi-bagi kepada pejabatnya di daerah dan/atau pada daerah otonom maka disebut

    sentralisasi.

    Dalam sentralisasi semua kewenangan baik politik maupun administrasi berada di

    tangan presiden dan para menteri (pemerintah pusat). Atau dengan kata lain berada pada

    puncak jenjang organisasi. Sebagai konsekuensinya dalam melaksanakan kewenangan ini

    anggarannya dibebankan kepada APBN.

    Pada kenyataannya, orde baru menyebabkan timbulnya krisis multidimensional. Krisis

    moneter yang berlangsung pada pertengahan tahun 1997 menjadi penyulut bagi krisis

    lain. Seperti pendapat Winarno (2007 : 41), implikasi krisis ekonomi dan moneter serta

    kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi

    pemerintahan Soeharto hancur lebur. Bahkan lebih parah lagi, rezim ini tidak lagi

    dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dan akibatnya

    krisis ekonomi berkembang menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan.

  • Krisis multidimensional inilah yang menyebabkan runtuhnya orde baru dan munculnya

    era reformasi. Reformasi berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan formare yang berarti

    membentuk. Dalam hal ini reformasi didefinisikan sebagai usaha untuk membentuk

    kembali. Soetandyo Wignjosoebroto dalam Winarno (2007 : 45) menyimpulkan bahwa

    istilah reformasi mengimplikasikan unsur dan makna koreksi kritis didalamnya. Dengan

    demikian, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai usaha untuk membentuk ulang dan

    membangun ulang suatu struktur, melainkan sebagai usaha melaksanakan perbaikan di

    dalam tatanan struktur.

    Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada era reformasi didasarkan pada prinsip

    desentralisasi, hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

    1999 tentang Pemerintahan Daerah.

    Adanya pemerintah daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi

    berasal dari bahasa Latin, yaitu De yang berarti lepas, dan Centrum yang berarti pusat.

    Decentrum berarti melepas dari pusat. Menurut Rondinelli dalam Nurcholis (2005 : 9),

    desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan

    administratif dari pemerintah pusat kepada organsasi wilayah, satuan administratif daerah,

    organisasi semi otonom, pemerintah daerah atau organsasi non pemerintah/lembaga

    swadaya masyarakat.

    Dalam konteks negara kesatuan penerapan asas sentralisasi dan desentralisasi dalam

    organisasi negara bangsa tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum. Artinya pemerintah

    pusat tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan secara sentralisasi

    atau sebaliknya, pemerintah daerah sepenuhnya menyelenggarakan urusan pemerintahan

    yang diserahkan. Yang bisa dilakukan, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan

    yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi seperti pertahanan, politik luar

    negeri & moneter serta adapula urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara

    desentralisasi.

    Ada perbandingan yang sangat signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan pada orde

    baru dan reformasi. Orde baru dengan sistem sentralistiknya, sedangkan era reformasi

    berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pada orde baru.

  • ANALISA

    Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia

    (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan

    dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki

    sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan

    presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian

    kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi

    anggaran.

    Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945

    pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap

    ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi

    manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya.

    A. Nilai-nilai politik dalam sistem administrasi

    1. Masa Orde Baru

    Birokrasi menjadi kendaraan politik rezim berkuasa untuk meraih ataupun

    mempertahankan kekuasaannya, akibatnya birokrat (pegawai negeri atau aparatur

    negara) tidak pernah bisa menjadi individu yang bebas dalam menentukan pilihan

    politik.

    Pada masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi

    anggota Golkar. Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi

    ke Golkar. Keterlibatan pegawai negeri sebagai anggota maupun pengurus partai

    politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral. Kebijakan monoloyalitas

    pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi loyalitas

    tunggal kepada Golkar. Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai negeri

    menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri kepada Golkar.

    Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi instrumen efektif bagi

    penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

    Secara politis, argumentasi di balik kehadiran Korpri adalah dalam rangka untuk

    menghilangkan sekat-sekat pembedaan menurut garis-garis politik-ideologis yang

    merambah birokrasi pada orde sebelumnya. Penyatuan pegawai negeri kedalam satu

    wadah (KORPRI) dimaksudkan sebagai pembersihan birokrasi dari pengaruh-

  • pengaruh politik. Penataan struktur dan pengembangan profesionalisme pegawai

    dilakukan agar mekanisme kerja birokrasi dapat berlangsung secara lebih efisien dan

    prinsip monoloyalitas pegawai negeri diterapkan agar jajaran birokrasi benar-benar

    dapat menjadi alat pemerintah (bukan alat partai) untuk mencapai misi nasionalnya.

    Namun dalam perkembangannya, Korpri justru berkembang menjadi instrumen politik

    dari kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan politik, sekaligus

    sebagai instrumen mobilisasi politik ke dalam dan ke luar. Posisi instrumentalis

    birokrasi secara politis, ideologi, bahkan ekonomi, justru menghasilkan wajah terburuk

    birokrasi dalam bentuk pelayanan publik yang diskriminatif dan kelumpuhan hampir

    total pada prinsip meritokrasi.

    Dominasi politik di birokrasi , tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik

    saja, tetapi didukung oleh kultur PNS yang dibawa dari lingkungan sosialnya yang

    lebih mengutamakan pola hubungan patron klien atau pola hubungan paternalistik.

    Akibatnya loyalitas PNS pada profesi bergeser menjadi loyal kepada pribadi

    atasannya. Selama setengah abad, hak politik PNS berjalan mengikuti hak politik dari

    atasan PNS.

    Kepentingan penguasa menjadi sentral dalam kehidupan dan perilaku birokrasi di

    Indonesia. Secara historis, birokrasi Indonesia memang tidak memiliki tradisi untuk

    menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas. Di zaman kerajaan , birokrasi

    kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk

    melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat, karena itu

    orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi melayani

    dan menyejahterakan raja dan keluarganya , yang mereka adalah penguasa. Pada

    zaman kolonial, pemerintah kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat untuk

    mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah Belanda memperkenalkan

    perubahan dan nilai birokrasi modern lebih sebagai cara untuk mempermudah

    pengontrolan negara jajahan dan rakyatnya.

    Pada periode Orde Baru kepemimpinan Orde Baru berpendapat bahwa birokrasi

    hanya akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi

    kalau birokrasi mempunyai struktur komando hirarkis yang tersentralisasi di bawah

    kepemimpinan politik rezim Orde Baru. Struktur birokrasi yang tersentralisasi

    dipandang perlu untuk menjamin loyalitas birokrasi sebagai prasyarat bagi

    terwujudnya stabilitas politik.Birokrasi tidak dituntut untuk sensitif terhadap aspirasi

  • rakyat. Fungsinya lebih sebagi mobilisator massa daripada artikulator aspirasi massa.

    Karakteristik birokrasi semacam ini melahirkan tipe sumber daya birokrasi yang

    mempunyai profesionalisme tertentu. Atribut utama birokrasi adalah loyalitas dan

    kemampuan melaksanakan apa yang diperintahkan atasan.

    2. Era Reformasi

    Orde Reformasi saat ini, orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai dan

    simbol-simbol menunjukkan bagaimana para pejabat mempersepsikan dirinya lebih

    sebagai penguasa daripada sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Pendekatan politik

    yang terlalu kuat telah mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal.

    Selama ini pegawai negeri identik sebagai pegawai pemerintah yang harus tunduk

    patuh pada pemerintah. Padahal antara pemerintah dan negara itu berbeda. Negara

    relatif tetap, sedang pemerintah bersifat periodik. Pegawai negeri adalah instrumen

    pemerintah dan juga instrumen negara.Tapi mental yang mestinya abdi negara masih

    terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, birokrasi penuh dengan pendekatan

    kekuasaan , padahal mestinya birokrat yang bagus itu penuh dengan profesionalisme.

    Birokrasi yang berorientasi pada profesionalisme dan lepas dari kepentingan

    politik memang merupakan suatu keniscayaan mengingat bahwa pucuk pimpinan

    birokrasi adalah para politisi yang mempunyai kedudukan sebagai ketua atau paling

    tidak duduk dalam jajaran kepengurusan partai politik yang tentunya mempunyai

    dasar pemikiran membela kepentingan ideologi ataupun konstituen partainya.

    Birokrasi yang tidak tergantung pada rezim politik sangat sulit berkembang di

    Indonesia, karena secara tradisional birokrasi dibentuk untuk mengabdi kepada

    pemegang kekuasaan sebagai produk dari bekerjanya pemahaman ide kekuasaan

    yang memusat ke tangan Raja dan pola pikir dan tindakan kita selama 32 tahun

    terakhir terkooptasi oleh pemahaman bahwa jabatan politis di birokrasi hanya

    dipegang oleh satu kekuatan politik, sehingga melahirkan pola hubungan yang

    dominatif, subordinatif dan marginalisasi aktor politik. Akibat kedua faktor ini, maka

    Pemilu lebih berfungsi sebagai arena penajaman perbedaan kepentingan daripada

    upaya mencari pemahaman yang sama mengenai masalah kenegaraan. Kemenangan

  • dalam pemilu dipahami sebagai kemenangan dalam satu peperangan.Struktur

    birokrasi pun dipandang sebagai pampasan perang yang harus dikuasai.

    Orde Reformasi yang memunculkan sistem multipartai dalam pemilu belum

    mampu membentuk birokrasi yang netral. Bahkan Riswanda Imawan menyatakan

    politisasi birokrasi tetap berlangsung dalam bentuk parpolisasi birokrasi yang rentan

    terhadap konflik internal dalam tubuh birokrasi. Masuknya tokoh-tokoh partai politik

    kedalam birokrasi menyebabkan birokrasi diwarnai kepentingan partai sehingga tidak

    lagi sebagai agen pelayanan publik yang netral.

    Kalau parpolisasi birokrasi sebagaimana sinyalemen Riswanda Imawan diatas

    benar , maka birokrasi akan terseret dalam konflik internal yang berpusar sekitar

    masalah distribusi dan alokasi nilai (sumber daya) birokrasi diantara kekuatan politik

    yang menguasai birokrasi. Fokus perhatian puncak pimpinan birokrasi (pejabat politik)

    akan lebih banyak terserap pada bagaimana memperjuangkan kepentingan partai dan

    konstituennya . Akibatnya jelas, impian masyarakat akan penyelenggaraan

    administrasi publik yang berkualitas, akuntabel dan responsif akan semakin menjauh.

    B. Struktur dan pola hubungan antara lembaga-lembaga negara

    1. Masa Orde Baru

    Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan

    Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :

    a) Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)

    Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas

    kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di

    dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan

    tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat

    dipertanggungjawabkan secara hukum.

    b) Sistem Pemerintahan Presidensiil

    Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara

    sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada

    presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden

    mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan.

    c) Sistem Konstitusional

  • Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini

    memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh

    ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang

    merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang,

    Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.

    d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai

    penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah menetapkan Undang-

    Undang Dasar, Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, Mengangkat kepala

    negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).

    Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus

    menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh

    Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada

    Majelis. Presiden adalah mandataris dari Majelis yang berkewajiban menjalankan

    ketetapan-ketetapan Majelis.

    e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD

    Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada

    di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi

    juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang

    berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.

    f) Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

    Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan

    undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari

    DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak

    bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari

    Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer,

    dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.

    g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab

    kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

    Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara.

    Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak

    tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan

    pembantu presiden.

  • h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

    Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan

    berarti ia diktator atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab

    kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR

    karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah

    anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk

    mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila

    dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap

    negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.

    i) Sistem Kepartaian

    Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai,

    yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang

    kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden Soeharto.

    Adapun praktik pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada

    daerah tingkat II. Selanjutnya pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa

    pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan

    memuat tiga aspek utama, yaitu aspek administrasi, aspek politik, dan aspek

    kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan dan efisiensi dalam

    penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Aspek politik merujuk

    pada upaya pendemokrasian pemerintah di daerah, sedangkan aspek kemandirian

    dimaksudkan agar daerah mampu mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan

    rumah tangganya sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi

    dimana masyarakat ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan

    daerah. Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan

    dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat

    dan daerah.

    Konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-undang, terutama

    UU No. 5 Tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

    daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum dapat dilaksanakan sesuai dengan

    yang diharapkan. Hal ini karena meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah

    memberikan penekanan pada Dati II sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah,

  • tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I masih

    memegang kendali kekuasaan secara signifikan. Asas desentralisasi yang seharusnya

    menjadi pijakan utama untuk melaksanakan otonomi daerah berada di bawah

    bayang-bayang asas dekosentrasi. Sebagai konsekuensinya sentralisme menjadi ciri

    khas yang mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru.

    Sentralisme yang dikembangkan pada masa pemerintahan Orde Baru telah membuat

    pemerintah daerah tidak lagi responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

    Hal ini terjadi karena pemerintah daerah tidak diberi ruang untuk mengenali

    permasalahan yang dihadapi, dan mengembangkan cara yang efektif untuk mengatasi

    masalah tersebut. Segalanya telah ditetapkan di pusat sehingga daerah kehilangan

    kreativitasnya.

    2. Era Reformasi

    Hubungan antar lembaga-lembaga negara dapat dijelaskan sebagai berikut :

    a) Negara Indonesia adalah negara Hukum.

    Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan

    kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia

    dan prinsip due process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

    yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

    keadilan, kekuasaan ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

    peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan

    agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah

    Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan

    dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

    b) Sistem Konstutisional

    Sistem Konstitusional pada era reformasi berdasarkan Check and Balances.

    Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan

    untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga

    negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan

    menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap

    lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem check and

    balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-

    undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya

    sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

  • Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

    Dasar, ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan

    berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang

    dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan

    wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat,

    dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah

    Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang

    diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan

    kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui

    pemilihan umum.

    c) Sistem Pemerintahan

    Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan

    mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab

    kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam

    pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya

    karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan

    dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

    DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya

    manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana

    yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.

    d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

    e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut

    UUD.

    Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden

    dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat.

    f) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

    Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem

    pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem

    presidensial.

    g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak

    bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

  • Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan

    diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan

    pembubarannya diatur dalam undang-undang.

    h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

    Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang.

    MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya. Demikian juga

    DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat,

    juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak

    imunitas.

    i) Sistem Kepartaian

    Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai.

    Otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 1999, adalah

    kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat

    menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

    perundangundangan yang berlaku dan titik berat otonomi diletakkan di daerah tingkat

    II seperti telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Secara filosofis

    landasan yang mendasari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah bahwa

    otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada

    daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan akan tumbuh prakarsa atau inisiatif dan

    kreativitas daerah untuk mendaya-gunakan potensi setempat, dan menjadi semakin

    responsif terhadap permasalahanpermasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata

    lain, melalui pelaksanaan otonomi daerah ini, pemerintahan daerah diharapkan akan

    semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melayani dan merespon

    segala tuntutan masyarakat, dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada (Soni

    Soemarsono, 2001). Ada beberapa hal pokok yang perlu digarisbawahi menyangkut

    pelaksanaan otonomi. Pertama, menyangkut desentralisasi itu sendiri. Undang-

    Undang No. 22 Tahun 1999 nampaknya berusaha mendefinisikan desentralisasi

    dengan merujuk pada pengertian desentralisasi sebagaimana sering dibahas dalam

    kajian teoritik, yaitu desentralisasi dalam pengertian administratif dan desentralisasi

    dalam pengertian politik. Desentralisasi administratif (administrative decentralization)

    lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan formal. Titik berat lebih

  • ditekankan pada susunan organisasi atau administratif. Dalam pengertian ini,

    desentralisasi merupakan transfer pertanggungan jawab mengenai perencanaan,

    manajemen, dan peningkatan ataupun alokasi berbagai sumber dari pemerintah pusat

    dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada berbagai unit lembaga pemerintah dan

    unit-unit yang lebih bawah. Sementara itu pengertian desentralisasi politik lebih

    menekan-kan pada transfer otoritas pembuatan keputusan kepada daerah dan

    kepada kelompok yang sebelumnya tidak terwakili atau termarjinalisasi. Tujuan

    desentralisasi politik adalah memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warga

    negara atau para wakil yang duduk di lembaga perwakilan dalam proses pembuatan

    keputusan publik. Pada masa lampau, desentralisasi administratif lebih dominan

    dibandingkan dengan desentralisasi politik. Akibatnya, pemerintah daerah kurang

    mempunyai otoritas dalam mengambil keputusan-keputusan politik menyangkut

    alokasi sumber daya pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya.

    Kuatnya pelaksanaan asas dekonsentrasi dibandingkan dengan asas

    desentralisasi membuat daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat. Kedua,

    keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pembangunan. Konsekuensi yang

    paling penting sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi politik adalah keterlibatan

    masyarakat (daerah) dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa lampau

    pembangunan sangat bersifat sentralistik dimana rakyat berada dalam posisi marginal

    dalam proses pengambilan keputusan. Segala sesuatu menyangkut program-program

    pembangunan telah digariskan oleh pemerintah pusat dalam suatu lingkaran elit

    terbatas, dan pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana dari program

    pembangunan yang telah digariskan. Masyarakat dalam kondisi seperti itu hanya

    menjadi .penggembira. dalam proses pembangunan dan keberadaannya hanya

    dibutuhkan sebagai implementor kebijakan melalui mobilisasi massa yang dilakukan

    oleh elit-elit lokal. Ketiga, perbaikan pelayanan birokrasi daerah melalui penciptaan

    lembaga birokrasi yang lebih responsif. Pelaksanaan otonomi daerah yang

    menyandarkan pada Dati II diharapkan akan menciptakan karakter pemerintahan

    daerah yang lebih kreatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

    Dalam skala yang lebih luas pelaksanaan otonomi daerah ini ditujukan untuk

    merangsang daerah-daerah agar mengembangkan potensi yang dimiliki guna

    menopang pembangunan daerahnya masing-masing. Dengan kata lain, pemberlakuan

    undang-undang ini diharapkan akan memacu daerah untuk secara kreatif

  • mengembangkan potensi yang dimiliki secara mandiri melakukan pembangunan

    daerah.

    C. MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DALAM KONTEKS DEMOKRASI

    Pada masa pemerintahan orde baru ditandai dengan tatanan birokrasi yang tidak

    demokratis. Birokrasi pemerintahan pada waktu itu sangat kuat, sentralistis, dan

    otoritarian. Selama periode tersebut, birokrasi pemerintah, termasuk PNS dibuat tidak

    netral dengan konsep monoloyalitas. Konsep tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan

    satu golongan yang sedang memerintah (sistem yang memihak pada kekuatan politik

    yang ada, yakni memihak kepada Golkar). Landasan di Indonesia pada periode ini adalah

    mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

    Kepegawaian. Salah satu ciri dominan dalam Sistem Manajemen PNS pada periode ini

    adalah sentralisasi (oleh pemerintah pusat) pada hampir semua proses manajemen PNS,

    yaitu mulai dari proses rekruitmen dan seleksi sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah

    yang merupakan subordinat dalam pemerintahan hanya melaksanakan semua kebijakan

    yang telah dibentuk lembaga pengelola PNS, yakni Badan Administrasi Kepegawaian

    Negara (BAKN).

    Pada masa Orde Baru, PNS dipolitisasi dengan cara monoloyalitas terhadap Golkar,

    yang menjadikan PNS dari sebagai abdi masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal

    pegawai negeri memang tidak dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam

    pemilihan umum, namun pada kenyataannya mereka dimobilisasi untuk memenangkan

    Golkar. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya

    diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar.

    Setelah adanya Reformasi 1998, terjadi perubahan paradigma kepemerintahan. PNS

    yang sebelumnya dikenal sebagai alat kekuasaan pemerintah, kini diharapkan menjadi

    unsur aparatur negara yang profesional dan netral dari pengaruh semua golongan dari

    partai politik (misalnya menggunakan fasilitas negara untuk golongan tertentu) serta tidak

    diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas

    tersebut, pegawai negeri dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik. PNS

    memiliki hak memilih dalam Pemilu, sedangkan anggota TNI maupun Polri, tidak memiliki

    hak memilih atau dipilih dalam Pemilu.

    Pada masa reformasi ini ditandai dengan terjadinya pergantian sistem pemerintahan

    dari yang bersifat sentralistis ke desentralisasi yang dikenal juga dengan era Otonomi

  • Daerah. Demikian halnya dengan manajemen PNS, yakni dengan penerapan UU Nomor

    43 Tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1974, dimana Manajemen PNS di

    Daerah menjadi wewenang Daerah masing-masing (yang semula merupakan wewenang

    Pemerintah Pusat, Decentralized System). Dengan ditetapkannya UU Nomor 43 Tahun

    1999 tersebut, secara prinsip terdapat perubahan paradigma dalam bidang kepegawaian

    di Indonesia, yaitu dari pendekatan tata usaha kepegawaian menjadi PNS yang berbasis

    kompetensi dasar dan prestasi kerja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Sehubungan dengan itu, konsep yang dianut dalam Sistem Kepegawaian di Indonesia

    meliputi :

    a. Sumber wewenang, peranan, dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintah pada

    Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

    b. Perumusan kebijakan nasional berupa norma, standar, dan prosedur ditetapkan dan

    diselenggarakan oleh pemerintah.

    c. Manajemen operasional diselenggarakan di daerah sesuai kewenangan yang diberikan

    oleh pemerintah pusat.

    d. Pengawasan dan pengadaan dilakukan oleh pemerintah pusat.

    Pemerintah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 di atas

    berupaya untuk meningkatkan pengelolaan Pegawai Negeri melalui suatu sistem yang

    disebut Manajemen PNS. Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan

    tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Kebijakan-

    kebijakan yang terdapat dalam Manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar,

    prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS,

    pemindahan, gaji, tunjangan, kesejah-teraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan

    kedudukan hukum. Secara terperinci pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

    memuat beberapa hal yang didalamnya merupakan bagian dari keseluruhan isi dari

    Manajemen PNS (MPNS). Hal-hal tersebut adalah :

    a. Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah

    b. Penekanan pembinaan PNS berdasarkan sistem prestasi kerja, kompetensi dan

    prestasi kerja.

    c. Penetapan gaji harus mampu memacu produktivitas pegawai.

    d. Dibentuknya Komisi Kepegawaian Negara yang bertugas membantu Presiden dalam

    merumuskan kebijaksanaan manajemen kepegawaian;

  • e. PNS harus diangkat dalam jabatan tertentu.

    f. Pengangkatan dalam jabatan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, atau

    golongan.

    g. Penyelenggaraan kesejahteraan selain meliputi program asuransi kesehatan, asuransi

    pensiun dan tabungan hari tua, ditambah dengan adanya asuransi pendidikan bagi

    putra-putri PNS dan tabungan perumahan, dimana selain adanya iuran dari PNS,

    Pemerintah juga menanggung subsidi dan iuran program pensiun dan asuransi

    kesehatan.

    h. Perubahan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) menjadi Badan

    Kepegawaian Negara (BKN), yang tugasnya lebih terfokus pada paradigma

    pengembangan sumber daya PNS.

    i. Dibentuknya Badan Kepegawaian Daerah yang merupakan perangkat Daerah.

    Dalam rangka reformasi politik telah pula disesuaikan beberapa hal penting diantaranya

    yaitu :

    a. Netralitas PNS dari pengaruh semua golongan dan partai politik harus dijamin.

    b. Pengaturan tentang anggota ABRI dipisahkan menjadi TNI dan POLRI.

    Secara garis besar, jabatan PNS dibagi atas :

    a. Jabatan struktural adalah jabatan secara tegas ada dalam struktur organisasi yang

    ditetapkan dengan Keputusan Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga yang

    bersangkutan dengan persetujuan tertulis dari MENPAN & RB, yang dibagi dalam 10

    jenjang, mulai dari Eselon V.b sampai dengan Eselon I.a

    b. Jabatan fungsional adalah jabatan yang walaupun tidak secara tegas tercantum dalam

    struktur organisasi, tetapi ditinjau dari sudut fungsinya jabatan itu harus ada untuk

    memungkinkan organisasi itu menjalankan tugas pokoknya, seperti Dosen, Hakim,

    Peneliti, dan lain-lain.

    Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah

    yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari

    berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang

    meliputi:

    (a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada

    kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi

  • bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti

    prinsip merit sistem tetapi lebih pada marriage sistem (sistem kekeluargaan)

    yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini.

    (b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah

    lainnya. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka

    pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan

    besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai,

    pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari sindrom kepartaian.

    (c) Kedepannya, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan.

    manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang

    netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik.

    Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan

    kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain

    dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian

    tidak dikembalikan terpusat.

    Untuk mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian yang timbul sebagai

    akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas tersebut,

    beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan dalam waktu dekat.

    (a) Penetapan formasi PNS oleh pemerintah pusat berdasarkan standar analisis

    kebutuhan pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan

    formasi ini diikuti pula dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan

    dalam jabatan yang berlaku umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk

    menghindari kesenjangan dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas,

    kepangkatan maupun jabatan yang dipangkunya.

    (b) Sistem evaluasi kinerja PNS yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan

    kompetensi jabatan. Upaya ini dimungkinkan bila terdapat sistem dan program

    seleksi Calon PNS (CPNS) yang seragam dan mengacu pada merit sistem. Untuk

    itu perlu digunakan alat bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga

    obyektifitas dalam penerimaan CPNS dapat dipertahankan.

    (c) Pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani

    kepegawaian di daerah yang dibentuk saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan

    desentralisasi.

  • Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan

    saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional,

    tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah

    kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional,

    netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta

    mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta

    Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • KESIMPULAN

    1. Pemerintahan orde baru lebih bersifat sentralistik dan memanfaatkan birokrasi untuk

    memperkuat kekuasaan. Pemanfaatan ini mengakibatkan individu yang terlibat dalam

    birokrasi cenderung melakukan KKN.

    2. Orde baru menyebabkan timbulnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dan

    Daerah. Semua urusan terpusat di Pemerintah Pusat, sehingga Daerah tidak diberi

    kesempatan untuk mengembangan potensi yang dimilikinya.

    3. Fungsi lembaga negara pada masa orde baru, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

    Lembaga eksekutif terlalu dominan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan tidak

    berjalan dengan baik. Sedangkan, lembaga legislatif hanya sebagai simbol formalitas,

    pemilihan anggota legislatif juga banyak dipengaruhi oleh presiden.

    4. Pada masa orde baru, PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik tertentu,

    dimana PNS dijadikan anggota dan pengurus mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

    5. Sistem pengelolaan pegawai dalam masa orde baru masih berdasarkan sistem

    kekeluargaan, hal ini dikarenakan praktik KKN yang membudaya.

    6. Reformasi membuat pemerintahan bersifat desentralistik, hal ini ditandai dengan

    ditetapkannya undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dengan sistem ini,

    diharapkan kesenjangan antara Pusat dan Daerah yang terjadi selama orde baru

    dapat diperbaiki.

    7. Fungsi lembaga negara pada reformasi telah diperbaiki dengan adanya Amandemen

    Undang-Undang, sehingga ada kejelasan pemisahan fungsi dan wewenang lembaga

    eksekutif, legislatif dan yudikatif.

    8. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, membuat PNS harus

    bersifat netral dan tidak berpartisipasi dalam partai politik. Menurut undang-undang

    ini, pengelolaan penetapan formasi PNS harus berdasarkan standar analisis kebutuhan

    pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan serta pembinaan PNS

    berdasarkan sistem prestasi kerja.

    9. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan PNS saat ini adalah pemerataan

    PNS di seluruh wilayah serta peningkatan profesionalisme PNS dalam rangka

    peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

    10. Untuk menghadapi kendala tersebut, pemerintah harus menetapkan kebijakan-

    kebijakan dalam pengelolaan PNS seperti pengadaan dan penempatan PNS sesuai

  • dengan kebutuhan dan kualifikasi, serta adanya pengembangan PNS yang

    berkelanjutan dalam rangka meningkakan profesionalime PNS sebagai abdi negara.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik : Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo :

    Jakarta.

    Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi : Bunga Rampai Pemikiran Administrasi

    Negara/Publik. Gava Media : Yogyakarta.

    Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Media Pressindo :

    Yogyakarta.

    http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/files/.../NETRALITAS-BIROKRASI.doc

    http://rahimoke.wordpress.com/2010/10/23/pengertian-dan-perkembangan-paradigma-

    administrasi/

    http://www.bkn.go.id/attachments/077_jurnalvol3juni2009.pdf

    www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8576/

    riaveriani.multiply.com/journal/item/8/Sistem-Kepegawaian