tugas makalah pii

19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis) (Sunartatie, 2010). Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non- dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit (Sunartatie, 2010).

Upload: aidia-latifatul-fajeria

Post on 15-Jul-2016

67 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Makalah Pii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah

dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan  jamur serupa ragi

candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut,

kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan

infeksi dibagian dalam. Jamur yang  berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau

menyebabkan  penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis) (Sunartatie, 2010).

Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat

luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis  profunda jarang terdapat.

Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non-

dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis.

Dermatofitosis ialah penyakit pada  jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum

korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita.

Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna

keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu

microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang

sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan

untuk pertumbuhannya, dan  penyebab penyakit (Sunartatie, 2010).

Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies

epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-tahun

terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang

berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat

masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan arthroderma yang masing-

masing dihubungkan dengan genus microsporum dan tricophyton (Kurniati, 2008).

Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena

negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur

superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku.

Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai  penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan

diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan

Page 2: Tugas Makalah Pii

secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan

sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan

antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan

daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen  penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis

akibat kerja belum mendapat  perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan

walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Kurniati, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari dermatofitosis?

2. Bagaimana kausa penyakit dari dermatofitosis?

3. Bagaimana patofisiologi dan patologi organ yang terinfeksi dermatofitosis?

4. Bagaimana diagnosa penyakit dan diagnosa banding dari dermatofitosis?

5. Bagaimana pengobatan dari dermatofitosis?

1.3 Tujuan

Tujuan pada pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa definisi dari

dermatofitosis, untuk mengetahui bagaimana etiologi dari dermatofitosis, untuk mengetahui

apa kausa penyakit dari dermatofitosis, untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dan

patologi organ dari penyakit dermatofitosis, untuk memahami diagnosa penyakit dan

diagnosa banding penyakit dermatofitosis, dan untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari

dermatofitosis pada kambing.

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dalam pembuatan makalah ini ialah dapat memberikan

informasi yang lebih banyak lagi untuk penyakit dermatofitosis yang disebabkan oleh

beberapa agent pembawanya, dan memberikan pengetahuan yang baik untuk mencegah

terjadinya penyakit dermatofitosis pada kambing

Page 3: Tugas Makalah Pii

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kausa Penyakit

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang

menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku

pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan

membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi

untuk membentuk kolonisasi (Sunartatie, 2010).

Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan

Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut

telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2

spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi

jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies

Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya

pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di

Indonesia adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum). Ditemukan spesies terbanyak yang berhasil

dikultur adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%) (Kurniati,

2008).

Page 4: Tugas Makalah Pii

Penyebab Dermatofitosis pada kambing dan domba umumnya dari genus Trichophyton.

Kejadian dermatofitosis pada domba akibat dari infeksi agent T. mentagrophytes. Infeksi di duga

terjadi akibat kontak dengan artrospora atau konidia dari T. mentagrophytes yang bersumber dari

rodensia, mengingat T. mentagrophytes bersifat zoofilik dan rodensia merupakan reservoir serta

berpontesi sebagai sumber penularan. Selain itu, infeksi mungkin terjadi akibat kontak dengan

spora/konidia T. mentagrophytes yang terdapat di tanah.Penularan dari kambing satu ke kambing

lainnya dalam satu kandang akibat kontak antar hewan, mengingat posisi kambing dalam satu

kandang sangat berdekatan dan memungkinkan terjadinya kontak. Penyakit dperparah dengan

terjadinya iritasi akibat tanduk yang melengkung ke arah daun telinga (Sunartatie, 2010).

2.2 Patofisiologi

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu: Antropofilik, transmisi

dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai

kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent

“carrier”). Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung

maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau

sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.

Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. Geofilik, transmisi dari

tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk

dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik

dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta

kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu,

menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan

menimbulkan reaksi jaringan atau radang. (Gambar 1) Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga

langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta

pembentukan respon pejamu (Kurniati, 2008).

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi

oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat

menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit

juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase

(urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel

Page 5: Tugas Makalah Pii

dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan

pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau

adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada

jenis strainnya (Kurniati, 2008).

Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi. Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupanodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.

2.3 Patologi Anatomi

Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu, sebagai berikut:

(Tabel 1) (Kurniati, 2008).

Page 6: Tugas Makalah Pii

2.5 Diagnosa Penyakit

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat

diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood pada

spesies tertentu. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit penyebab tinea kapitis. Pada

pemeriksaan dengan emeriksaan KOH 10–20%, tampak dermatofit yang memiliki septa dan

percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies jamur penyebab

dermatofitosis (Tabel 3) (Kurniati, 2008).

Page 7: Tugas Makalah Pii

Sampel berupa kerokan kulit hewan kambing yang di duga menderita dermatofitosis.

Karena memiliki gejala klinis berupa: kebotakan pada daerah telinga, mula-mula berbentuk

lingkaran kemudian menyebar hinga hamper seluruh daun telinga. Sampel diambil pada batas

kulit yang sehat dan mengalami perubahan. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis

menggunakan skalpe steril, kemudian sampel dimasukan kedalam plastik flip untuk dibawa ke

laboratorium (Sunartatie, 2010).

Media dan bahan kimia yang digunakan adalah KOH 10%, Lactophenol cotton Blue

(Merck), Aquadest steril, kertas saring, selophan tape, dermasel agar base (Oxoid) dan dermasel

selective supplement (Oxoid), sedangkan peralatanyang digunakan berup: scalpel, pastik ber-flip,

mikroskop, gelas objek, gelas penutup, cawan petri dan pipa U (Sunartatie, 2010).

Page 8: Tugas Makalah Pii

Metode pemeriksaan dilakukan langsung secara mikroskopis dan dilakukan isolasi serta

identifikasi. Pemeriksaan langsung secar mikroskopis dilakukan dengan cara: sampel kerokan

kulit dibuat preparat natif menggunakan KOH 10%, Adanya hifa dan bentuk makrokonidia dari

kapang dermatofita diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran objektif 10x dan 40x

(Sunartatie, 2010).

Isolasi dan identifikasi dilakukan dengan sampel kerokan kulit dibiakkan pada media

agar dermasel yang mengandung suplemen: 400mg/l cycloheximide dan 50mg/l

chloramphenicol, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 14 hari. Adanya pertumbuhan

kapang diamati secara makroskopis (untuk mengamati morfologi koloni). Pengamatan morfologi

mikroskopis dilakukan secara natif (Sunartatie, 2010).

Hasil isolasi sampel pada media agar Dermasel menunjukkan adanya pertumbukan koloni

kapang setelah 5 hari , tetapi koloni matang ditunjukkan setelah 14 hari. Gambaran koloni

kapang yang tumbuh mula-mula menunjukkan seperti bulu-bulu halus, flat dan berwarna kuning

kemudian berubah menjadi fluffy powdery dan berwarna krem kecoklatan, serta menunjukkan

adanya pertumbuhan yang bersifat concentric rings(Sunartatie, 2010).

Gambaran mikroskopis kapang hasil isolasi menunjukkan hifabersepta dan bercabang ,

beberapa ujung hifa terlihat berbentuk spiral. Mitokonidia terlihat berbentuk cerutu,terdiri dari 3

sampai 6 sel. Berdinding tipis dan halus. Makrokonidia menempel pada hifa dengan tangkai

pendek. Mikrokonidia berbentuk seperti tetesan airmata, tersusun sepanjang hifa. Selain itu

ditemukan juga klamidiospora dan nodular bodies. Gambaran hifa berbentuk spiral dan bentuk

makronidia diperlihatkan pada gambar 2. Berdasarkan gambaran maksroskopis dan

minkroskopis, kapang hasil isolasi tersebut diidentifikasi sebagai trichophyton

mentagrophytes(Sunartatie, 2010).

Penyebab dermatofitosis pada kambing dan domba umumnya dari genus Trichophyton.

Kejadian dermathophytosis pada domba akibat T. Mentagrophytes telah dilaporkan di kolkata,

India. Kejadian dermatofitosis lainnya pada berbagai hewan di teheran, Iran. Hasil penelitian

menyebutkan , bahwa dari 6 ekor kambing yang secara klinis didiagnosa menderita

dermatofitosis, 100% berhasil diisolasi T. Mentagrophytes(Sunartatie, 2010).

Page 9: Tugas Makalah Pii

Infeksi diduga terjadi akibat kontak dengan artrospora atau konidia dari T.

Mentagrophytes yang bersumber dari rodensia, mengingat T. Mentagrophytes bersifat zoofilik

dan rodensia merupakan reservoir serta berpotensi sebagai sumber penularan. Selain itu, infeksi

mungkin terjadi akibat kontak dengan spora/ konidia T mentagrophytes yang terdapat di tanah .

telah dilaporkan T mentagrophytes dapat ditemukan di tanah dari beberapa negara misalnya

india. Penularan dari kambing satu ke kambing lainnya dalam satu kandang akibat kontak antar

hewan, mengingat posisi kambing dalam satu kandang sangat berdekatan dan memungkinkan

terjadinya kontak . Penyakit diperparah dengan terjadinya iritasi akibat tanduk yang melengkung

ke arah daun telinga(Sunartatie, 2010).

2.4 Diagnosa Banding

Ada beberapa diagnosis banding dermatofitosis pada kambing dan domba akibat T.

mentagraphytes antara lain tinea korporis, eritema anulare sentrifugum, eksema numular,

granuloma anulare, psoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus dan dermatitis

kontak (Verma dan Heffernan,2008).

2.5 Pengobatan

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yaitu

mikroskopis langsung dan kultur (Verma dan Heffernan,2008). Pengobatan infeksi jamur

dibedakan menjadi pengobatan non medication dan pengobatan medication .

Non Medication

Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non medikamentosa

adalah sebagai berikut: a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena

infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke

bagian tubuh lainnya. b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian

dengan orang yang terinfeksi. c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air

panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut. d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan

sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh. e. Jika

memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah

seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara. f. Sebelum

menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu yang menempel

Page 10: Tugas Makalah Pii

pada sepatu. g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan

sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet (Verma dan Heffernan,2008).

Medication

Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada

tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi

antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal

diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan

yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada

lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah

secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).

Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan

kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan

pasien (Verma dan Heffernan,2008).

1. Pengobatan Topical

Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi oleh

mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat

klasik, obat-obat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea

korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang lebih sama. Pemberian

obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan

juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis

dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma dan Heffernan,2008).

2. Pengobatan Sistemik

Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada

tinea korporis adalah:

• Griseofulvin

Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20

mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari

Ketokonazol

Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau

terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.

Page 11: Tugas Makalah Pii

• Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo memuaskan

untuk pengobatan tinea korporis.

Page 12: Tugas Makalah Pii

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk yang

disebabkan oleh jamur dari genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Satu jenis

dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda dan tergantung letak lokasi

anatominya. Dermatofitosis meliputi tinea kapitis, tinea favosa, tinea korporis, tinea imbrikata,

tinea kruris, tinea manus, tinea pedis dan tinea unguium. Pengobatan topikal harus disesuaikan

kondisi penyakit kulitnya yang meliputi akut, subakut dan kronik karena setiap obat topikal

terdiri dari bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif yang berbeda-beda indikasinya. Bahan aktif

pada obat topikal antijamur memiliki manfaat fungisid dan fungistatis berdasarkan besarnya

konsentrasi, selain itu juga ada yang memiliki sifat keratolitik dan antibakteri.

Bahan aktif yang terdapat pada pengobatan jamur dermatofita meliputi bahan kimia

antiseptik (seperti Cestallani paint atau solusio carbol fuchsin), bahan keratolitik (seperti asam

salisilat yang terkandung dalam salep Whitefield), golongan allilamin (seperti naftitin dan

terbinafin), golongan benzilamin (butenafin), golongan imidazol (seperti mikonazol, klotrimazol,

ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol, sertakonazol dan bifonazol) dan golongan

lainnya (seperti siklopiroks, tolnaftat dan haloprogin)

Page 13: Tugas Makalah Pii

DAFTAR PUSTAKA

Verma,S., Heffernan, M.P., 2008. Superfisial Fungal Infection: Dermatophytosis,

Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff, K. (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine. Vol.II. Ed.7. United States: Mcgraw- Hill, 1807-1821

Kurniati., Rosita, C., 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ; Fakultas

KedokteranUNAIR.

Sunartatie, Titiek (2010) Trichophyton mentagrophytes sebagai Agen Penyebab Dermatofitosis

pada Kambing. jurnal sains veteriner, 28 (1).

Page 14: Tugas Makalah Pii