tugas manajemen mutu
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
TUGAS MANAJEMEN MUTU
DOSEN : IVAN TINARBUDI GAVINOV, MT
Muif yuwono
14081433
C.KM.VIII
Kesadaran akan kesehatan dan meningkatnya kehidupan sosial ekonomis
masyarakat mendorong pertumbuhan dan persaingan di industri rumah sakit. Kini
rumah sakit tidak lagi hanya bisa dipandang hanya sebagai institusi sosial, tetapi sudah
menjadi institusi yang bersifat sosio ekonomis. Terlebih lagi dengan adanya era
globalisasi dan persaingan bebas, telah menciptakan tantangan rumah sakit yang
semakin besar, yakni kompetisi yang semakin ketat dan pelanggan yang semakin
selektif dan berpengetahuan. Tantangan seperti ini menghadapkan rumah sakit pada dua
pilihan yaitu masuk ke dalam arena kompetisi dengan melakukan penyempurnaan dan
perbaikan mutu oleh manajemen atau keluar dari kompetisi tanpa melakukan perubahan
dan perbaikan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pertumbuhan rumah sakit di
Indonesia menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Namun, pertumbuhan tersebut tidak
menjamin baiknya mutu pelayanan. Untuk menjamin mutu pelayanan yang diberikan,
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 29 huruf b
menyebutkan bahwa Rumah Sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit, kemudian pada Pasal 40 ayat (1) disebutkan
bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan
akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Dari kedua Undang-Undang
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Akreditasi rumah sakit penting untuk
dilakukan dengan alasan agar mutu/kualitas diintegrasikan dan dibudayakan kedalam
sistem pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai salah satu subsistem dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit menjadi
tempat rujukan bagi berbagai unit pelayanan kesehatan dasar. Rumah sakit merupakan
organisasi yang bergerak dalam bidang jasa dengan ciri-ciri padat karya, padat modal,
padat teknologi, padat masalah dan padat umpatan. Sejalan dengan lajunya
pembangunan nasiona maka tuntutan akan mutu pelayanan kesehatan oleh rumah sakit
juga semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan berbagai kritikan tentang
ketidakpuasan terhadap pelayanan rumah sakit berbagai upaya termasuk melalui jalur
hukum. Oleh karena itu upaya untuk menjaga dan meningkatkan mutu layanan rumah
sakit baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik internal maupun eksternal
rumah sakit perlu dilaksanakan Mutu pelayanan sebuah rumah sakit merupakan
cerminan dari semua sistem yang berjalan di dalamnya. Untuk menciptakan, menjaga
dan meningkatkan mutu pelayanan, perhatian tidak hanya terfokus pada salah
satu/beberapa unit saja melainkan berjalan di semua tingkatan dan membutuhkan dana
investasi yang tidak sedikit. Selain dana investasi, upaya peningkatan mutu jasa layanan
rumah sakit juga harus dibarengi dengan profesionalisme dalam pengelolaannya.
Program menciptakan, menjaga dan memperbaiki mutu tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan standar, karena kegiatan pokok program tersebut adalah menetapkan
masalah, penyebab masalah, cara penyelesaian masalah, menilai hasil dan saran
perbaikan yang harus selalu mengacu kepada standar yang telah ditetapkan sebelumnya
sebagai alat menuju terjaminnya mutu. Standar dasar yang wajib diikuti oleh setiap
rumah sakit di Indonesia adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM). Selain Depkes,
forum independen Indonesian Health Quality Network (IHQN) juga membuat standar
pelayanan sebagai penunjang terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu, aman,
dan efisien.
Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya kritikan dan keluhan
dari pasiennya, lembaga sosial atau swadaya masyarakat dan bahkan pemerintah
sekalipun. Mutu akan diwujudkan jika telah ada dan berakhirnya interaksi antara
penerima pelayanan dan pemberi pelayanan. Jika pemerintah yang menyampaikan
kritikan ini dapat berarti bahwa masyarakat mendapatkan legalitas bahwa memang
benar mutu pelayanan kesehatan harus diperbaiki. Mengukur mutu pelayanan dapat
dilakukan dengan melihat indikator-indikator mutu pelayanan rumahsakit yang ada di
beberapa kebijakan pemerintah, sudahkan kita mengetahuinya. Analisa indikator akan
mengantarkan kita bagaimana sebenarnya kualitas manajemen input, manajemen proses
dan output dari proses pelayanan kesehatan secara mikro maupun makro.
Dari definisi, Rumahsakit menurut WHO Expert Committee On Organization
Of Medical Care: “is an integral part of social and medical organization, the function
of which is to provide for the population complete health care, both curative and
preventive and whose outpatient service reach out to the family and its home
environment; the hospital is also a centre for the training of health workers and for
biosocial research”, yang dalam bahasa Indonesianya jika diterjemahkan secara bebas
dapat berarti: suatu bagian menyeluruh dari organisasi dan medis, berfungsi
memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun
rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan
lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk
penelitian biososial.
Definisi rumahsakit ini di setiap peraturan daerah pada umumnya sama, hanya
saja terdapat perbedaan pada tugas pokoknya, yang diantaranya adalah: luas tidaknya
lingkup spesialistik yang dimiliki, kekhususan menyertainya dengan adanya rumah
sakit yang dibina dirjen yanmed Dpekes RI yang secara fisik berada di daerah
kabupaten, kota ataupun di provinsi.
Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit secara lengkap,
yaitu:
Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,
Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis tambahan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,
Melaksanakan pelayanan medis khusus,
Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,
Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal
(observasi),
Melaksanakan pelayanan rawat inap,
Melaksanakan pelayanan administratif,
Melaksanakan pendidikan para medis,
Membantu pendidikan tenaga medis umum,
Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,
Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,
Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,
Tugas dan fungsi ini berhubungan dengan kelas dan type rumah sakit yang di
Indonesia terdiri dari rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, kelas “a, b, c, d”.
berbentuk badan dan sebagai unit pelaksana teknis daerah. Perubahan kelas rumah sakit
dapat saja terjadi sehubungan dengan turunnya kinerja rumahsakit yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan Indonesia melalui Keputusan Dirjen Yan Medik.
Dari Sumberdaya Kesehatan yang ada di rumahsakit:
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
1. tenaga medis;
2. tenaga keperawatan;
3. tenaga kefarmasian;
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
6. tenaga keterapian fisik;
7. tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan
sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi
dan perekam medis.
Sebagai unsur manajemen, sumber daya manusia kesehatan yang dimiliki oleh
rumah sakit akan mempengaruhi diferensiasi dan kualitas pelayanan kesehatan,
keterbatasan keanekaragaman jenis tenaga kesehatan akan menghasilkan kinerja
rumah sakit dalam pencapaian indikator mutu pelayanan rumah sakit. Kekhususan ini
sangatlah tidak mungkin dimanajemeni secara umum, karena SDM kesehatan adalah
SDM fungsional yang kepadanya melekat fungsi profesi berdasarkan latar belakang
pendidikan kesehatannya.
Tentang disiplin kepegawaian seharusnya tidak diberlakukan secara ketat, jika
diberlakukan secara ketat maka mereka akan menuntut uang lembur untuk pekerjaan
yang dilakukannya pada waktu di luar jam dinas (07.30-14.00 jika 6 (enam) hari
kerja; atau 07.30 sampai 16.00 jika 5 (lima) hari kerja. Memang ada daerah yang
memberikan semacam insentif dan atau reward untuk tenaga kesehatan tertentu yang
harus melayani pasiennya di luar jam dinas yang jumlahnya menurut tenaga dokter
spesialis masih belum dianggap cukup (sesuatu yang wajar yang seharusnya
dibayarkan). Mari kita hitung penghasilan mereka jika tidak melayani pasien di
rumahsakit, hal yang seperti ini perlu komunikasi yang ajeg demi harmonisasi
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.
Dari Struktur Organisasi Daerah: rumahsakit dapat berdiri dengan legalitas dan
ilegal karena ada rumahsakit dengan ijin penyelenggaraan dan tidak ada ijin,
rumahsakit dapat merupakan unit pelaksana teknis dinas dan atau sebagai institusi
yang bertanggungjawab kepada bupati dan atau rumahsakit vertikal yang ada di
daerah. Kondisi ini akan berhubungan dengan kemapanan dukungan kebijakan dan
dukungan anggaran yang pada akhirnya berdampak pada kualitas dan kuantitas
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada kebanyakan daerah di Indonesia, rumahsakit daerah dijadikan sumber
pendapatan daerah dan dalam laporan pertangggungjawaban pemerintah daerah
keberhasilan capaian indikator pelayanan kesehatan rumahsakit jarang dan bahkan
tidak pernah dijadikan data atau informasi dalam penyusunan perencanaan dan
penyusunan kebijakan, biasanya hanya dilaporkan sebagai hasil dari akumulasi
seluruh indikator, yang sebenarnya satu indikator gagal dapat menyebabkan
perubahan penilaian kinerja. Hal ini dikarenakan adanya indikator vital dalam proses
dan atau dalam output sistem pelayanan kesehatan. Sebagai contoh: peningkatan
penerimaan daerah dari retribusi pelayanan kesehatan akan tidak ada artinya apa-apa
jika cakupan angka rujukan ke rumahsakit vertikal atau ke kabupaten lain lebih tinggi
dari angka kunjungan UGD rumahsakit yang bersangkutan atau angka pasien rawat
inap kelas III.
Rumahsakit dengan angka rujukan yang jumlahnya mendekati setengah dari jumlah
kunjungan patut dipertanyakan, jawabannya akan berhubungan dengan ketersediaan
sumberdaya manusia kesehatan dan kualitasnya. Ada apa dengan kompetensi mereka
dalam memberikan pelayanan, bagaimana komunikasi dan manajemennya dilakukan
di rumahsakit tersebut.
Dapat ditambahkan lagi dengan adanya permasalahan kelembagaan, dimana ada kotak
kelompok tenaga fungsional dalam bagan struktur organisasi tidak ada isinya dan
tidak ada koordinasinya. Jika kelompok ini ada maka tenaga fungsional tersebut dapat
dijadikan media informasi guna penyusunan kebijakan yang ajeg dan mumpuni secara
keilmuan. Keberadaan resident tanpa pengawasan satuan pengawas internal
rumahsakit dapat dipersepsikan berbagai rupa oleh masyarakat dengan latar belakang
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda, kenapa tidak, karena merekakan
sedang dalam pendalaman ilmu kedokteran, tetapi jika tak ada rotan maka akarpun
jadilah sehingga kualitas yang diharapkan belum tentu dapat dinikmati sebagai akhir
dari pelayanan yang bermutu.
Beperapa peraturan daerah diimplementasikan dengan tidak paripurna, karena apa,
karena yang diperlukan hanya pejabat struktural yang mengepalai beberapa bidang
dan bagian, sedangkan komite medik; komite keperawatan; komite rekam medik;
satuan pengawas internal; dan kelompok fungsional tidak dilantik oleh bupati kepala
daerah padahal struktur organisasi rumah sakit sudah menjelaskannya, mungkin
berhubungan dengan ketidak tahuan dan ketidak mampuan membayar atau belum ada
dasar hukumnya (padahal peraturan pemerintah sudah menjelaskan hal itu)
Dari Manajemen Lintas Program dan Lintas Sektor
Rumahsakit sebagai pintu gerbang dan unsur vital dalam penilaian adipura, di banyak
daerah rumahsakit daerah sebagai penghasil pendapatan asli daerah terbesar. Sesuatu
yang riskan jika PAD dijadikan ukuran keberhasilan pelayanan kesehatan karena
nominal PAD adalah rupiah yang dibayarkan pasien, rasionalitasnya jika makin
banyak penerimaan berarti makin banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas
sumberdaya di rumah sakit, makin banyak masyarakat yang menggunakan berarti
masih ada masyarakat yang sakit, masih adanya masyarakat yang sakit berarti derajat
kesehatan masyarakat belum optimal, untuk pembuktiannya diperlukan analisa lebih
lanjut, tentang bagaimana dan seterusnya masyarakat di rumahsakit tersebut. Ada item
rupiah yang bisa dirinci jumlahnya dari pola tarif yang ada. Apa yang mereka bayar
dari pelayanan yang mereka terima dapat mencerminkan tingkatan kesehatan
masyarakat tersebut. Epidemiolog dapat menyampaikan laporan ini jika dibutuhkan.
Hanya tinggal lagi epidemiolognya berpihak kepada siapa.
Ada beberapa instansi yang memiliki keterkaitan dengan rumahsakit daerah, dan itu
dalam penyusunan program kegiatan dan anggaran rasanya belum pernah ada yang
duduk bersama menyatukan pernyataan dan kesimpulan. Sesuatu yang aneh memang.
Sebagai contoh: Kebijakan berobat gratis, daftar nama keluarga dan anggotanya
bersumber dari BKKBN, bukan dari RT-RW dan Lingkungan, bersumber dari oknum
pegawai di tingkatan tersebut, dan dalam data base saat perjalanannya rumahsakit
harus memberikan pelayanan seperti yang diharapkan mereka, bukan berdasarkan
kemampuan yang dapat diberikan oleh rumahsakit, mengapa karena ada pasien yang
berobat dari keluarga miskin yang benar-benar miskin dengan nama yang tak ada
dalam data base yang diberikan oleh pemerintah, bermuncullanlah pahlawan dengan
pamrih disini, dan mereka yang berobat dengan fasilitas kartu miskin saat akan
dirawat minta dirawat dengan fasilitas VIP. Dunia pelayanan kesehatan semakin
hitam jadinya.
Dari Akreditasi Rumahsakit, rumahsakit terkareditasi 5 (lima) pelayanan, 8
(delapan) pelayanan dan 13 (tiga belas) pelayanan. Rumahsakit dengan standar ISO
14000 dan ISO 2000, dan kelompok rumahsakit yang belum terakreditasi dan atau
yang belum terstandar. Departemen kesehatan dengan Komite Akreditasi Rumahsakit
terus berupaya agar semua rumah sakit daerah harus terakreditasi minimal 5 (lima)
pelayanan, yaitu:
(1) Pelayanan Gawat Darurat,
(2) Pelayanan Medik,
(3) Pelayanan Administrasi,
(4) Pelayanan Keperawatan dan
(5) Pelayanan Rekam Medik
Tujuan pemerintah dengan akreditasi ini adalah untuk: agar kualitas pelayanan
diintegrasikan dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit. RSD Kol
Abundjani didukung anggaran belum juga mampu menyelesaikan proyek ini, karena
apa, jawabnya dapat bersumber dari kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada di
rumahsakit tersebut, Pernyataan jelasnya adalah sumberdaya manusia kesehatan yang
ada di rumahsakit tersebut. Pejabat dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman
yang sedikitpun tidak menunjang dipilih untuk memimpin roda proses pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi organisasi rumahsakit, menurut beberapa pengamat adalah
sangat tidak masuk akal jika tidak ingin dianggap aneh.
Proses akreditasi telah berlangsung hampir lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi nyatanya
budaya akreditasi belum sama sekali mendarah daging di institusi RS. Ada apa,…?
Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan lintas sektor dan lintas program, bukan
hanya oleh masyarakat rumah sakit, tetapi bagaimanapun juga SDM rumahsakit
daerah harus terlebih dahulu menjawabnya dengan pernyataan yang diikuti oleh sikap
yang terakreditasi pula.
Dari Dukungan Kebijakan
Nah ini yang lebih perlu mendapat perhatian, begitu banyak peraturan daerah disusun
dengan cara studi banding, dicopi dan dipastekan kemudian diedit agar menjadi sesuai
dengan keadaan riel daerah. Masih belum terlihat jiwa pemiliknya dalam peraturan
ini. Pedoman umum mengenai persentase anggaran kesehatan dari total anggaran
daerah masih perlu dipertanyakan lebih lanjut lagi, masih perlu dianalisa dan disikapi
dengan jalinan koordinasi dan pengawasan yang komprehensif. Menurut Rusli,
anggaran efektif jika rasio antara pembiayaan dan penerimaan berkisar 0,1%,
sebenarnya tidak berlaku di institusi pelayanan rumahsakit, karena rumahsakit bukan
badan profit, tetapi lembaga non profit.
Kemajuan pertumbuhan dan pengembangan rumahsakit menjadikan rumahsakit
sebagai lembaga profit tetapi tidak meninggalkan unsur sosialnya telah mengubah
persepsi sumber daya manusia kesehatan dari non material menjadi sangat material,
karena disini setiap pekerjaan yang dikerjakan dan yang seharusnya dikerjakan bukan
lagi berdasarkan panggilan hati nurani, bukan lagi panggilan profesi, tetapi telah
bergeser menjadi panggilan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jika ini berlanjut dapat
dibayangkan bagaimana pemenuhan hak pokok masyarakat sebagai pasien jika
mereka tidak mampu membayar.
Peruntukan anggaran tentu membutuhkan kebijakan paripurna yang proporsional,
kalau tigaperempat anggarannya hanya untuk fisik, kapan SDM kesehatannya mau
manggung dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
Dari mutu pelayanan kesehatan.
Mutu Pelayanan Kesehatan yang mengemuka sebagai panglima program unggulan
Depkes dengan nama Quality Assurance (QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak
Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat
terperangah oleh program tersebut. Sebagai suatu pernyataan akhir dari sebuat proses
pelayanan kesehatan. Sebagai sebuah proses, pelayanan kesehatan dapat berbentuk
makro dan berbentuk mikro. Kedua bentuk ini saling bersimbiose mutalisme dalam
sebuah sistem.
Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan
salah satu definisi yang umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu
pelayanan kesehatan adalah “tingkat di mana pelayanan kesehatan untuk individu
maupun populasi mampu menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan yang
diharapkan dan konsisten dengan pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001).
Namun demikian mengingat definisi tersebut dianggap terlalu luas, berbagai peneliti
telah mencoba mengembangkannya untuk menjamin agar pengukuran mutu
pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah yang diajukan oleh
Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan outcome. Sementara
itu the IOM (1999) dan National Health Service menggunakan konsep mutu
pelayanan kesehatan dalam 6 aspek, yaitu safety, effectiveness, timeliness, efficiency,
equity, dan patient awareness.
Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under
use, over use, dan misuse of health care services. Under use didefinisikan sebagai
kegagalan untuk memberikan pelayanan yang efektif padahal jika dilakukan dapat
menghasilkan outcome yang diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi atau
gagal untuk melakukan bedah katarak). Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan
yang dilakukan ternyata memberi dampak risiko yang lebih besar daripada potensi
manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya memberikan antibiotika untuk kasus-kasus
common cold). Sedangkan misuse didefinisikan sebagai komplikasi yang sebenarnya
dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan secara seksama.
Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk
mengkuantifikasikan mutu pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu
pelayanan yang disusun oleh ACHS yang merupakan instrumen untuk
mengidentifikasi area pelayanan kesehatan yang masih memerlukan perbaikan secara
fundamental. Dengan metode kuantifikasi ini selanjutnya dapat dilakukan analisis
statistik untuk menilai area-area pelayanan yang dianggap memiliki defisiensi dalam
menghasilkan outcome yang diharapkan.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and
Quality (AHRQ) yang mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality
Indicators, Inpatient Quality Indicators, dan Patient Safety Indicators (PSIs).
Tetapi sebagai institusi bawahan Depkes, lagi-lagi Institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit berada di posisi tak berdaya dan lagi-lagi hanyalah sebagai
terminal akhir pembuangan dan berposisi layaknya sandal jepit. Mungkin Depkes
lupa bahwa para dokter yang ada di Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit adalah
seorang sarjana juga seperti halnya para petinggi Depkes. Lupa mungkin karena
tampilan dokter institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit yang tak pernah berdasi dan
naik kendaraan dinas apa adanya kala tugas, tidak seperti teman-temannya di Depkes
yang sebagian diantaranya berdasi dan naik mobil dinas mulus-mulus dan baru-baru.
Mungkin ini jalan keluar, Hidup sehat merupakan kebutuhan utama (primer) setiap
orang. Oleh karenanya, hak atas pelayanan kesehatan adalah bagian dari hak asasi
manusia (HAM). Dalam hal ini, pemerintah dan praktisi kesehatan masyarakat
bertanggung jawab untuk berupaya merealisasikan adanya kebijakan yang lebih baik,
sistem yang berkualitas, dana yang cukup, fasilitas dan tenaga medis yang memadai
guna menjamin terlaksananya program kesehatan masyarakat.
Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara
pengguna jasa pelayanan dan petugas kesehatan. Artinya, kritik, complain maupun
keluhan konsumen semestinya tidak diartikan sebagai serangan, tetapi diterima
sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara melayani konsumen. Dari keluhan
konsumen, petugas kesehatan dapat mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan
yang dimilikinya. Namun, kondisi ini harus disertai pula dengan perbaikan pada aspek
kebijakan dan manajemen. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa kondisi yang
tampak dalam pelayanan kesehatan.
1. Fasilitas kesehatan (formal) yang tersedia masih relatif baru, dan belum
mengakar atau belum dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat,
tetapi tidak tersedia standar quality of care yang berbasis konsumen.
Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau pengetahuan
mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan
kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam
pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara
murah dan mudah.
2. Kecenderungan perilaku para praktisi medis yang tidak mempertimbangkan
proses-proses komunikasi atau pertukaran informasi, dan interaksi sosial yang
saling menguntungkan. Rosalia Sciortino dalam “Menuju Kesehatan Madani”
(1999:78) menyebut adanya “konstruksi rahasia” yang dipertahankan petugas
kesehatan.
3. Pada umumnya konsumen sebagai pengguna jasa kesehatan seperti pasien,
klien tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan
pelayanan yang memuaskan. Artinya, seorang pasien berhak untuk
mempertanyakan pelayanan dokter yang dirasakannya tidak jelas, bahkan
memberatkan konsumen itu sendiri.
Memahami Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan kelompok konsumen, pertanyaan yang
sering muncul adalah apa saja hak-hak konsumen dalam pelayanan kesehatan,
bagaimana sebaiknya pelayanan yang berkualitas?
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa istilah konsumen dalam pelayanan kesehatan
mencakup pengertian mereka yang menerima pelayanan jasa maupun obat-obatan dari
petugas kesehatan (paramedis, bidan, dokter), yang secara khusus disebut klien,
pasien. Sedangkan yang dimaksud pelayanan yang berkualitas biasanya mengacu
pada pengertian Quality of Care atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni
pelayanan yang menghormati hak-hak konsumen. Setiap konsumen memiliki hak
yang dilindungi undang-undang. Sebagai pasien, konsumen berhak:
1. Mendapatkan informasi yang dapat dipahaminya mengenai penyakit yang
diderita, cara pengobatan, prosedur perawatan, efek samping pengobatan,
kelebihan maupun kekurangan pengobatan, biaya, pendapat dari petugas
kesehatan lainnya, hal-hal dirahasiakan, catatan medis petugas kesehatan, dan
izin persetujuan pasien bila ingin akan dioperasi.
2. Memperoleh rasa aman dari semua proses pelayanan, dan jaminan
keamanan/keselamatannya.
3. Mendapatkan ganti rugi apabila terjadi malpraktek yang dilakukan petugas
kesehatan. Contoh aktual adalah bayi yang dilahirkan cacat (tanpa tangan) di
RSUD Bayu Asih Purwakarta (Kompas, 26 Juni 1997). Orang tua bayi itu
menuduh pihak RS, dalam hal ini bidan, karena kecerobohan dalam
pelayanannya, telah menyebabkan anak mereka cacat seumur hidup. Kasus ini
kemudian dibawa ke pengadilan dengan tuntutan 1 milyar rupiah, meskipun
akhirnya ditempuh jalan damai dengan ganti rugi 25 juta rupiah.
4. Memilih tempat pelayanan yang diinginkannya, membatalkan persetujuan
sewaktu-waktu, dan jika dianggap perlu, ia menolak suatu metode pengobatan
atau tindakan medis tertentu.
Sebagai pasien, konsumen memiliki kewajiban, yaitu:
1. Mengetahui sejarah atau riwayat pengobatannya;
2. Menepati janji dengan petugas kesehatan;
3. Bersedia bekerja sama dan mematuhi perawatan yang diberikan;
4. Memberitahu petugas kesehatan jika ia menerima perawatan dari dokter yang
lain;
5. Jika menggunakan jasa asuransi, ia berkewajiban mengetahui apa yang dapat
atau tidak dapat diatasi oleh perusahaan asuransi.
Kebanyakan konsumen juga petugas kesehatan tidak mengetahui hak-hak dan
kewajiban konsumen. Hanya sebagian kecil konsumen menyadari hak-haknya, tetapi
tidak merasa percaya diri untuk mengemukakannya di tenpat pemeriksaan.
Sebaliknya, petugas kesehatan yang mengerti hak-hak konsumen tidak mau peduli.
Banyak alasan yang seringkali dikemukakan, misalnya keterbatasan petugas dan
fasilitas tidak memadai, yang tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang
berkunjung setiap hari kerja. Bahkan petugas kesehatan menyadari bahwa masyarakat
tidak mengerti cara hidup sehat, tidak disiplin, dan seterusnya. Padahal masyarakat
tidak pernah belajar di sekolah kesehatan.
Dari persoalan ini sebenarnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang memuaskan
(berkualitas) semakin kompleks. Namun harus diyakini bahwa ukuran kepuasan tidak
bisa bertolak dari kepentingan individu saja karena kepuasan individual tidak ada
batasnya. Ukuran standar yang bisa dijadikan pedoman adalah kebutuhan orang
banyak yang selama ini sudah dibakukan, misalnya oleh IPPF (International Planned
Parenthood Federation), organisasi KB dunia, yang merumuskan 10 hak-hak klien KB
antara lain: hak atas informasi, menentukan pilihan, mendapatkan pelayanan kapan
dan di mana saja (akses), hak atas keamanan, kenyamanan, kerahasiaan, hak
mengajukan protes (berpendapat), dan kemudian ditambahkan oleh YLKI dan PKBI;
hak ganti rugi. Oleh sebab itu, proses pencapaian pelayanan yang memuaskan tidak
bisa tidak melibatkan orang banyak. Konsumen dan pengelola pelayanan kesehatan
bisa bersama-sama merumuskan standar pelayanan yang berkualitas (quality of care),
di tingkat desa sekalipun.
Bertolak dari “Quality of Care”
Konsep quality of care adalah istilah yang digunakan secara luas dalam pelayanan
kesehatan, yang dapat dipandang dari provider (penyedia jasa) dan klien (konsumen).
Dari sisi provider, standar quality of care di Indonesia belum jelas. Konsep ini
biasanya dirujuk pada prinsip-prinsip manajemen pengawasan kualitas terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan umum, yakni penyediaan pelayanan kesehatan yang
terus menerus memperbaiki diri dengan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
pasien, dokter, petugas, dan komunitas setempat. Dasarnya adalah “problem solving”,
yaitu pemantauan masalah dan mencari jalan keluar dengan memperbaiki akar
masalah secara berkelanjutan (The Population Council, 1994).
Dari sisi klien, ukuran standar pelayanan cukup jelas, yakni mengacu pada
pemenuhan hak-hak pasien, atau hak-hak klien kesehatan reproduksi, atau pun hak-
hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK No. 8 No. 1999, Pasal 4.
Ukuran pencapaian pelayanan kesehatan selama ini lebih berorientasi pada
pencapaian target sarana pelayanan dan penerima layanannya. Gejala seperti ini
terutama terjadi di tingkat pelayanan kesehatan dasar di pedesaan, dan pinggiran kota.
Aspek pemenuhan kualitas kesehatan, tanggung jawab sosial, dan pembelajaran
kesehatan bagi pengguna (konsumen) terabaikan. Konsumen tidak memperoleh
manfaat yang optimal dari pelayanan kesehatan.
Pada tahun 1990, Judith Bruce dari Population Council menempatkan enam elemen
dasar yang kemudian dikenal dengan “Bruce Framework” dan menjadi sumber utama
bagi penelitian mengenai kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dari sisi
tenaga kesehatan.
1. Pilihan terhadap Metode Layanan. Setiap metode layanan (KB) tersedia
bagi perempuan dan laki-laki yang ingin merencanakan keluarganya.
2. Informasi untuk Klien. Informasi yang berkualitas dapat berdampak pada
bagaimana klien menggunakan metode kontrasepsi. Informasi yang diberikan
harus berisi pula informasi mengenai tiap metode, cara penggunaan metode,
dan efek sampingnya.
3. Keterampilan Teknis. Mempertahankan kondisi aseptic, menjalankan
protokol (aturan) dan staf yang kompeten melakukan teknis klinik.
4. Hubungan Antarpribadi. Bagaimana klien berinteraksi dengan tenaga
kesehatan, apakah cukup simpatik dan cukup waktu untuk bertemu dengan
kliennya.
5. Mekanisme untuk Mendorong Keberlanjutan. Klien dapat didorong
meneruskan penggunaan kontrasepsi yang efektif melalui berbagai cara,
termasuk kartu untuk mengingatkan dan kunjungan rumah.
6. Pelayanan yang Terpadu. Klien memerlukan pelayanan yang nyaman dan
terpadu. Misalnya, pelayanan KB terpadu dengan pelayanan kesehatan ibu dan
anak, pelayanan pasca persalinan, dan pelayanan kesehatan reproduksi
lainnya.
Jadi, strategi dasar yang penting dilakukan aktifis organisasi konsumen yang
melakukan pendampingan konsumen kesehatan adalah dengan memperkuat
pengorganisasian dan pendidikan kritis bagi kelompok-kelompok konsumen yang
rentan seperti petani, perempuan, buruh dan kaum miskin kota. Pendamping atau
organizer bersama kelompok konsumen merumuskan:
1. Masalah dan akar masalah,
2. Bentuk-bentuk kasus yang dialami konsumen,
3. Instansi dan orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab,
4. Inisiatif konsumen sendiri dalam mengatasi masalahnya,
5. Usaha (aksi-aksi) bersama menggugat petugas kesehatan di tempat pelayanan,
6. Usulan, konsep, cara pandang konsumen terhadap pelayanan yang diinginkan
atau pelayanan yang berkualitas (quality of care versi konsumen),
7. Penyebarluasan informasi terus-menerus kepada konsumen yang lain.
Mengingat gerakan konsumen saat ini didukung oleh kebijakan yang relatif jelas
dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka organisasi
konsumen dapat mengambil peran dengan melakukan advokasi kebijakan dan
pembelaan hukum. Bukan hal yang mustahil, bila suatu waktu konsumen dapat
mengadili provider pelayanan kesehatan atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen secara perorangan atau pun berkelompok (class-action).
Hasil analisis tentang perbaikan mutu pelayanan kesehatan di instalasi rawat inap
menyarankan yang diantaranya
Pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien terdiri dari serangkaian proses-proses
dari beberapa sistem, sistem ini berhubungan dengan unsur-unsur manajemen seperti
peralatan, manusia, kebijakan, dan anggaran.
Penyimpangan dalam area-area penting manajemen pelayanan kesehatan yang
menyebabkan kematian tersebut, memerlukan tindakan terstruktur dengan manajemen
resiko dan manajemen mutu. Untuk itu semua peneliti menyampaikan beberapa saran
seperti berikut:
Saran untuk Perawat, Seperti yang disarankan oleh The Nursing and Midwifery
Council, (2002), bahwa memelihara kualitas RM akan membantu dalam memelihara
ketrampilan dan kemandirian dalam asuhan keperawatan, untuk ini diperlukan:
1) deskripsikan dengan jelas hasil pengkajian, rencana keperawatan dan rencana
tindakan yang akan dilakukan,
2) dokumentasikan informasi yang berhubungan dengan pasien dan apa yang
akan dilakukan dalam merespon kebutuhan pasien,
3) jika sudah diketahui dengan baik kondisi pasien lakukan tindakan yang dapat
diterima dan dapat dilakukan dengan tahapan yang baik dan benar saat melaksanakan
perawatan kepada pasien dan jelaskan bahwa setiap tindakan tidak selalu berbahaya
untuk selalu untuk keselamatan dan membatu mereka, dan
4) menuliskan perencanaan perawatan agar dapat diteruskan oleh sejawat dalam
perawatan berikutnya dan selalu menuliskan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan, dan dapat ditambahkan bahwa
Saran untuk Dokter penyelenggara utama perawatan dan pengobatan pasien di
instalasi rawat inap diantaranya adalah: Bertugas berdasarkan standar General
Medical Council seperti: pemberian pelayanan kepada pasien merupakan hal yang
utama, memperlakukan setiap pasien dengan sopan dan sewajarnya, menghormati
privasi dan kehormatan pasien, mendengarkan dan menghormati pandangan-
pandangan pasien, memberikan informasi yang dapat dimengerti pasien, menghormati
hak pasien dalam keterlibatan secara aktif pada pengambilam keputusan, selalu
memperbaharui pengetahuan dan ketrampilan, menyadari berbagai keterbatasan yang
dimilikinya, jujur dan dapat dipercaya, menghargai dan menjaga informasi tentang
pasiennya, menghindarkan pasien dari resiko fisik dan finansial akibat tindakan
medis, bekerjasama dengan para sejawat untuk kebaikan pasien-pasien yang dirawat.
Saran untuk komite staf fungsional diantaranya adalah:
1) Mematuhi tugas pokok dan fungsinya seperti yang tergambarkan dalam Peraturan
Daerah Kab. Merangin tentang struktur organisasi dan tata kerja
2) Melaksanakan semua tugas sesuai dengan kompetensi dan kode etik profesi;
3) Menjadikan RS bukan sebagai tempat mencari sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup tetapi juga menjadikannya sebagai tempat ibadah dan fungsi sosial.
Saran untuk manajemen RS diantaranya adalah:
1) Berusaha mengetahui keinginan pelanggan dengan melakukan survey pasar,
diantaranya survey kepuasan, survey kebutuhan pelayanan dan survey tingkat utilisasi
pelayanan kesehatan rumahsakit;
2) Menyusun berbagai prosedur dan standar pelayanan sesuai dengan hasil tingkat
kebutuhan dan hasil dari penelitian ini, diantaranya:
a. Prosedur dan Standar Pelayanan Laboratorium
b. Prosedur dan Standar Pelayanan Radiologi
c. Prosedur dan Standar Pelayanan Kamar Operasi
d. Prosedur dan Standar Pelayanan Anastesi
e. Prosedur dan Standar Pelayanan Rawat Inap dengan Kegawatan
f. Prosedur dan Standar Pelayanan Rekam Medik.
3) Memastikan bahwa prosedur dan standar yang telah disusun diterapkan dan
dilaksanakan dengan baik. Hal ini dilakukan dengan audit internal secara rutin dan
melakukan management riview guna membahas tindak lanjut yang perlu dilakukan
agar pelayanan yang diberikan selalu konsisten sesuai prosedur dan standar yang
telah ditetapkan;
4) Menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan guna mensosialisasikan jasa-
jasa pelayanan yang mampu diberikan oleh rumahsakit, misalnya dengan membuat
brosur-brosur, information desk, terminal komputer yang dapat diakses oleh
pelanggan;
5) Membumikan paradigma bahwa dari pasien kita mendapatkan jasa pelayanan yang
mendukung kesejahteraan dan kepada pasien seharusnya tumbuh keinginan untuk
membebaskan masalah kesehatannya;
6) Menyusun dan memberlakukan sistem pengawasan dan pemantauan pelayanan
kesehatan yang diberikan dengan efektif;
7) Melaksanakan saran-saran ini dengan dukungan sumber daya manusia kesehatan
dan anggaran kesehatan beserta kebijakan-kebijakan kesehatan;
Perlu adanya dukungan sistem pengelolaan RM yang baik dan benar, mustahil
tata tertib administrasi rumahsakit akan berhasil seperti apa yang telah
distandarisasikan oleh pemerintah maka oleh karena itu diperlukan adanya komitment
bersama untuk sepakat menyusun pedoman RM dan melaksanakannya dengan
pertanggungjawaban profesi. Seperti diketahui bahwa tata tertib administrasi
merupakan salah satu faktor yang menentukan di dalam upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan di rumahsakit;
9) Menginvetarisir akar penyebab masalah dari faktor internal yang mempengaruhi
kualitas layanan kesehatan dan administrasi RM terutama dalam bidang: faktor
pendidikan SDM, faktor pelatihan dan tambahan pengetahuan, faktor masa kerja dan
lama Jabatan, faktot beban kerja, faktor fasilitas dan peralatan, faktor Standart
Operating Procedure dan atau instruksi kerja, faktor administrasi dan alur layanan,
faktor pengendalian dan evaluasi, faktor manajemen rawat inap dan faktor staf medis
fungsional.
Dianjurkan pula langkah-langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah
mutu dan efisiensi dan efektifitas pelayanan rumah sakit:
1) Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-
komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar
masalah. Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi.
Ia dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya
organisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain;
2) Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root
cause analysis), untuk menetapkan arah pemecahannya;
3) Menetapkan dan memilih alternatif untuk pemecahan akar masalah;
4) Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan masalah yang sudah
dilaksanakan;
5) Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang
lagi terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika
manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah
sakit.
Saran untuk Pemerintah Daerah, sesuai dengan beberapa kebijakan nasional
pembangunan kesehatan di Indonesia diharapkan pemerintah daerah dapat:
1) Menjadi stake holder yang berpihak dan mendukung dalam berbagai aspek
manajemen pelayanan kesehatan;
2) Berperan sebagai regulator yang melindungi dan menumbuh kembangkan
kemampuan profesionalisme tenaga pemberi pelayanan kesehatan;
3) menjadi fasilitator dalam akselerasi peningkatan kemampuan pemberian pelayanan
kesehatan sesuai dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan kesehatan daerah.
Saran untuk pasien, diantaranya adalah:
1) sebelum penyakit menjadi lebih parah (persepsi masyarakat) sebaiknya segera
memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang terdekat,
2) bertanya dengan petugas kesehatan tidak dengan emosi tentang keadaan penyakit,
diagnosanya, kemungkinan kesembuhan dan tindakan apa saja yang akan dilakukan
dan selalulah memulai komunikasi dengan kata „maaf“, „tolong“, dan „tolonglah
saya“ atau „tolonglah kami“.
3) mengikuti semua kebijakan sarana pelayanan dan saran dari petugas kesehatan
dengan jujur dan bertanggungjawab, jika ragu dan meragukan mintalah penjelasan
lebih lanjut tentang kebijakan dan atau saran tersebut,
4) selalu menyediakan tabungan kesehatan saat sehat dan mampu melaksanakan
aktifitas memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia.
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa sarana pelayanan
kesehatan dan tenaga profesi kesehatan harus mampu menunjukkan akuntabilitas
sosial untuk memberikan pelayanan prima kepada konsumen, yakni pelayanan yang
sesuai dengan standar yang diakui sehingga dapat memenuhi atau bahkan melebihi
harapan konsumen.
Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem dan mekanisme yang efektif guna
tercapainya pelayanan prima tersebut.
Hal lain adalah Pelaksanaan Program kendali mutu harus berdasarkan falsafah
bersama untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh
tim pelayanan dari berbagai disiplin ilmu.
Falsafah yang mendasari program kendali mutu antara lain:
Masing-masing disiplin telah mengidentifikasi dan menyetujui falsafah dasar
untuk dikembangkan menjadi tujuan masing-masing pelayanan.
Masing -masing disiplin menyepakati untuk mengkaji pelayanan yang
diberikan oleh anggotanya.
Semua staf memberikan perhatian untuk mencapai tujuan institusi yang dalam
hal ini memberikan efek terhadap pelayanan pada klien.
Praktek perawatan tidak akan mungkin meningkatkan kecuali masalah dapat
diidentifikasi dan dipecahkan.
Staf mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif
untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaannya
Staf dapat memecahkan masalah jika cukup informasi-informasi yang
diperlukan .
Pekerja pada umumnya merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka
dibantu dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi
hambatan dalam pekerjaannya. Program kendali mutu perlu dilaksanakan dan dibuat
secara teratur dan terus menerus untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Dengan melakukan pendekatan konkuren maupun retrospektif terhadap lingkup
struktur, proses dan hasil maka semua aspek-aspekantara lain: Tenaga keperawatan,
asuhan keperawatan dan kepuasan klien harus dinilai dengan menggunakan standar-
standar yang tepat, walaupun demikian baiknya program kendali mutu ini dilakukan
secara terpadu tetapi tetap ada kendala kendala yang perlu diperhatikan.
Dengan melibatkan semua staf keperawatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan
program pengendalian mutu ini, maka tujuan akhir dari program pengendalian mutu
yaitu meningkatnya mutu pelayanan keperawatan berdasarkan standar akan dapat
dicapai dengan baik.
Dari UU Perlindungan Konsumen rumahsakit adalah: salah satu institusi pemberi
pelayanan dibidang kesehatan, hubungan yang jelas adalah pelayanan jasa kesehatan.
Kesehatan adalah hak azazi manusia. Maka manusia sebagai konsumen rumahsakit
berhak sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, seperti:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila menyimak surat pembaca di media cetak, banyak sekali keluhan dari konsumen
yang merasa dirugikan. Misalnya soal layanan listrik PLN, PDAM, delay pesawat,
layanan barang/jasa yang buruk, mutu barang yang tidak bagus, tindak kriminal di
kereta api, pelayanan rumahsakit dan bahkan pelayanan pajak dan lain sebagainya.
Semua itu adalah persoalan yang kerap kali muncul di Indonesia. Maka inilah realitas
ketertindasan konsumen dalam menghadapi pilihan-pilihan barang/ jasa harus mereka
konsumsi.
Ironisnya, keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya lewat surat pembaca di
media massa. Cara ini terlalu sederhana dan tidak menyelesaikan masalah. Cara lain
yang lebih kreatif adalah langsung mengadu ke pengurus harian Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) atau lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
Memang pada kenyataannya konsumen kerap berada dalam posisi yang tidak
berimbang dibanding dengan posisi produsen. Maka untuk mengurangi kesewang-
wenangan para produsen barang dan jasa, sebagai konsumen kita perlu mengetahui
faktor-faktor yang melemahkan konsumen, antara lain:
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.
2. Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang sebagian
masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan ke
mana hak-haknya dapoat disalurkan jika mendapat kesulitan atau kekurangan
dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.
3. Masyarakat belum memiliki kemauan untuk menuntut hak-haknya.
4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan.
5. Posisi konsumen yang selalu lemah (lemah informasi dan lemah kondisi
sehingga tak berani menyangga seperti kasus Prita), apa kata dokter/perawat
mereka iyakan.
Padahal bisa jadi kala sekolah dahulu, yang di Depkes tidak lebih pandai dari yang di
institusi pelayanan kesehatan /rumahsakit. Pun demikian pula setelahnya, lebih-lebih
kala berbicara kepekaan terhadap keperluan masyarakat terhadap layanan kesehatan,
dijamin dokter di institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit lebih peka dibanding
dokter di Depkes walau sepanjang apapun gelarnya. Yang membedakan hanyalah
kekuasaan. Itulah kira-kira gambaran umum, mengapa hingga kini institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit ibarat tempat uji coba, trial and error aneka macam program
dari depkes, dan dokter yang berpraktik di rumahsakitpun dalam memberikan
pelayanan kesehatannya.
Jaminan mutu produk tahun 1996 yang lalupun, konon hasil pemikiran grusa-grusu
karena ada “jajan” berupa pinjaman IMF (maksudnya hutang yang harus dibayar),
yang mana depkes tidak mau kalah dengan departemen lain untuk ikut mencicipi jajan
IMF. Dan supaya dapat dana segar nan besar, nama programnya pun dibuat “greng”,
maka bim salabim lahirlah Quality Assurance atau Jaminan Mutu. Parameterpun
disiapkan, demikian pula pelatihan, panduan, monitor dan evaluasinya, baik terhadap
item kegiatan ataupun terhadap program besarnya.
Menyimak produk Depkes tahun 1988, yang mana dalam Pedoman Kerja Institusi
pelayanan kesehatan/rumahsakit sudah sangat jelas dan rinci berisi panduan
tatalaksana setiap kegiatan di Institusi pelayanankesehatan/rumahsakit yang mengacu
kepada UPK, termasuk panduan pengobatan, maka program QA adalah sebuah
langkah kebimbangan dan ambivalensi. Artinya mengulang program mapan yang
sudah terintegrasi dengan keseharian para petugas Institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit dengan mengganti nama QA yang justru lebih sempit tapi tidak
lebih mendalam. Bedanya hanya di segi dana yang luar biasa besar dan pelatihan
berulang yang justru buang-buang waktu.
Untuk meningkatkan mutu layanan, tidak cukup dengan kajian monopoli petinggi
Depkes, lebih dari itu ada ukuran non teknis yakni keinginan dan harapan warga.
Sayangnya yang ini tidak pernah tersentuh, artinya pengguna jasa pelayanan Institusi
pelayanan kesehatan/rumahsakit tak lebih hanyalah obyek semata yang tak punya hak
suara. Siklus demikian mestinya tidak boleh terulang.
Akreditasi rumahsakit dicanangkan sejak tahun 2007 dan sampai tahun 2009 ini
capaiannya sangat menyedihkan, dari ratus rsd dan puluh rsp serta ratus rss, hanya
14% yang sudah terakreditasi, jiwanya masih nol saya rasa, karena prosesnya sendiri
tidak terakreditasi.
Pelayanan rumah sakit diera sekarang tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
masyarakat . Hal ini tercermin pada perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada
awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat kuratif (penyembuhan) saja terhadap
pasien melalui rawat inap dan rawat jalan bergeser ke pelayanan yang lebih
komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pengaruh perubahan dinamika lingkungan usaha rumah sakit yang terjadi tidak saja di
Indonesia tetapi hampir diberbagai penjuru dunia. Hal ini menuntut para manajer
untuk lebih memperhatikan secara saksama dinamika lingkungan yang ada yang
kemungkinan besar akan merubah system manajemen yang dipergunakan. Sistem
manajemen yang berlaku global mempengaruhi pola berfikir manajer rumah sakit,
dengan menekankan pada aspek efisiensi, efektif dan produktifitas serta
memperhatikan pemerataan pelayanan. Gambaran lain adalah tehnologi kedokteran
dan obat-obatan yang berkembang pesat disisi lain rumah sakit adalah lembaga
pemberi jasa pelayanan kesehatan yang tergantung pada perkembangan tehnologi
kedokteran.
Tehnologi kedokteran mempengaruhi biaya pelayanan rumah sakit. Menurut
Trisnantoro (2005) saat ini sektor kesehatan berbeda jauh dengan keadaan 50 tahun
lalu. Tehnologi yang digunakan saat ini sangat canggih, sebagi contoh operasi dengan
menggunakan peralatan mikro merupakan suatu tindakan yang sama canggihnya
dengan tehnologi program ruang angkasa dan militer yang tentu saja memerlukan
SDM yang berkompetensi untuk mengelolanya.
Salah satu tehnologi tinggi adalah obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Obat
merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit. Kebutuhan akan obat ini
sering disertai dengan biaya yang besar. Besarnya omset untuk obat-obatan mencapai
50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Rumah sakit dapat meningkatkan
pendapatan dengan memperbesar omset penjualan obat.
Hal inilah menjadikan rumah sakit menjadii lembaga yang bersifat padat modal, padat
karya dan padat tehnologi Ketiga sifat tersebut menuntut pengelolaan keuangan
rumah sakit yang lebih professional, berdasarkan hitungan-hitungan ekonomi. Cost
recovery rate (CRR) rumah sakit menjadi hal yang sangat penting, penentuan tarif
lebih rasional, disertai peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan serta mampu
berkembang (growth) dan survive.
Pengertian rumah sakit menurut WHO adalah suatu bagian penyeluruh dari organisasi
sosial dan medis berfungsi memberikan pelayanan Kesehatan yang lengkap kepada
masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana pelayanan keluarga
menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat
latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.
Dari definisi diatas bahwa rumah sakit disamping memberikan pelayanan kesehatan
secara komprehensif kepada masyarakat juga sebagai pusat pendidikan calon tenaga
kesehatan. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa rumah sakit juga harus
menjalankan fungsi sosialnya. Untuk menjalankan fungsi sosialnya ini sebaiknya
anggaran untuk pos sosial tersebut tersedia dalam APBD dan diatur dengan
kemudahan-kemudahan pengelolaannya tetapi tetap dengan pengawasan yang ketat.
Kita pelajari
Dalam perkembangannya rumah sakit swasta yang dikelola oleh yayasan keagamaan
seperti rumah sakit Islam sangat kesulitan dalam memenuhi fungsi sosialnya oleh
karena kesulitan dalam hal pendanaan. Hal ini membuat banyak rumah sakit swasta
bahkan yang dikelola oleh yayasan keagamaanpun berubah menjadi lembaga for
profit sebagai jawaban terhadap perubahan lingkungan yang terjadi diluar rumah sakit
akibat pengaruh globalisasi.
Walaupun demikian masih banyak rumah sakit keagamaan masih melihat perubahan
yang ada tanpa strategi pengembangan yang jelas (Trisnantoro, 2005). Hal ini dapat
membawa suatu resiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga usaha
yang praktis untuk mencari keuntungan atau menghidupi SDM, akibat hilangnya
subsidi dan semakin mahalnya alat dan tenaga kesehatan yang pada akhirnya
menuntut pendapatan yang tinggi.
Subsidi yang mengecil atau bahkan tidak ada sama sekali menyebabkan rumah sakit
keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin yang sakit, sementara
penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dikelola secara sistematis.
Penerapan subsidi silang dari kelas atas (VIP) ke kelas bawah (III) tidak rasional.
Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) disebuah rumah sakit swasta menunjukkan
bahwa tarif kamar VIP berada dibawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan adalah
pasien dikelas bawah justru mensubsidi pasien kelas atas. Kenyataan menunjukkan
bahwa konsep subsidi silang sebenarnya tidak ada ataupun jika ada subsidi silang
akan menggerogoti aset dan kemampuan investasi rumah sakit.
Hal yang penting adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak
semudah biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya banyak rumah sakit swasta
keagamaan yang mempunyai fasilitas fisik dan peralatan yang memadai tetapi
kesulitan dalam mencari dana operasional, sehingga menaikan tarif akan menjadi
pilihan, disamping itu belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian
sumber pendapatan (keuntungan) apakah untuk pemilik atau untuk pengembangan.
Berdasarkan kenyataan diatas maka rumah sakit mulai berubah menjadi lembaga
usaha yang membutuhkan berbagai konsep ekonomi dalam manajemen yang mungkin
asing bagi para dokter atau pemilik rumah sakit. Rumah sakit tidak lagi harus
dipandang sebagai suatu lembaga yang harus bersandar pada norma-norma dan etika
profesi dokter, tetapi lebih mengarah pada suatu lembaga yang harus hidup dan
bermutu, berkembang dan mempunyai dasar etika berbagai profesi dan mempunyai
etika bisnis. Dengan demikian rumah sakit bukanlah lembaga yang hanya
menggunakan prinsip kedokteran dan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga
multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang
bermutu dengan tetap memperhatikan aspek sosialnya. Implementasinya adalah
penerapan ekonomi dalam pelayanan kesehatan harus dilakukan diantaranya dengan
melakukan analisis biaya di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1991. Subcommittee on Nutrition During Lactation. Committeeon Nutritional Status During Pregnancy and Lactation. Food and Nutrition Board. Institute of Medicine. 1991. Nutrition During Lactation. National Academy Press. Washington, D.C
ACC/SCN. 2001. Nutrition Policy Paper No 19. ADB Nutrition andDevelopment Series No 5. United Nations Administrative Committee on Coordination Sub Committee on Nutrition. Asian Development Bank
http://artikelindonesia.com/hal-mutu-pelayanan-rumah-sakit.html
KOMPAS. Kamis, 26 Juni 1997, Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan
Laksono Trisnantoro. , 2005, Aspek strategis dalam Manajemen Rumah Sakit, cetakan pertama, yogyakarta: Penerbit Andi
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Waters, Melcolm, 1994. Modern Sociological Theory. London-Thousand Oaks –New Delhi ; SAGE Publisher.