tugas metopen fix
TRANSCRIPT
TUGAS TERSTRUKTUR
METODOLOGI PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER
DI PAUD TUNAS MULIA KARANGWANGKAL PURWOKERTO UTARA
AI NURAENI
G1D007001
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan manusia merupakan hal yang berjalan
terus dan berliku-liku, proses kompleks yang sering dibagi ke dalam tahap yang
diatur sesuai kelompok umur. Makhluk manusia adalah sistem kompleks dan
terbuka yang dipengaruhi oleh dorongan alami dari dalam dan dari lingkungan.
Umumnya, dorongan alami menentukan batasan perkembangan, di mana faktor
eksternal menghadirkan keuntungan untuk mencapai potensi tersebut.
Penelitian terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia menghasilkan
beberapa teori perkembangan. Teori ini bermacam-macam berdasarkan
bagaimana manusia dilihat dari aspek perkembangan yang ditekankan. Beberapa
teori melihat perkembangan sebagai proses yang berlangsung terus, berpindah
dari hal-hal yang sederhana ke arah yang lebih kompleks. Teori lain melihat
bahwa proses tersebut tidak berlangsung terus, dengan pilihan periode hubungan
keseimbangan dan ketidakseimbangan.
Menurut Freud dalam Potter&Perry (2005:639), Tingkat maturasi anak
menentukan saat perubahan terjadi. Jika pemuasaan kesukaan berlebihan atau
dihambat, anak mungkin menjadi tersangkut secara emosional (terikat) pada
tahapan yang khusus. Sedangkan menurut Erikson (1963) dalam Potter&Perry
(2005:639), setiap tahap memiliki krisis personal yang melibatkan konflik utama
yang kritis pada saat itu. Perkembangan ego sangat dipengaruhi oleh pengaruh
sosial dan kultural, dan kesuksesan hasil dari setiap krisis melibatkan
perkembangan dari kebaikan yang khusus.
Piaget (1952) dalam Potter&Perry (2005:645) melihat perkembangan
pikiran sebagai kejadian melalui adaptasi terhadap lingkungan. Teori ini
menempatkan manusia dalam peran belajar yang aktif dan adalah hal yang penting
untuk memahami bagaimana anak belajar. Menurut Kohlberg (1968) dalam
Potter&Perry (2005:645) mengemukakan bahwa perkembangan kognitif
mendasari kemajuan moral seseorang dari tingkat ke tingkat.
Memahami anak-anak dan pertumbuhan serta perkembangan mereka
merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan kesehatan dan menetapkan pola
yang sehat. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses sinkronisasi yang
bersifat interdependen dalam kesehatan individu. Individu mengalami perubahan
secara kuantitatif dan kualitatif dalam pertumbuhan dan perkembangan
(Potter&Perry, 2005).
Merujuk pada penjelasan di atas bahwa perkembangan akan berjalan terus,
berliku menjadi proses kompleks yang berbeda-beda dan dibagi ke dalam setiap
kelompok umur. Masa toddler berada dalam rentang dari masa kanak-kanak mulai
berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah, yaitu
mendekati usia 12 sampai 36 bulan. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan
kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih
besar.
Toddler terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kemampuan mereka
untuk mengontrol dan senang dengan keberhasilan usaha keterampilan baru ini.
Keberhasilan ini membuat mereka mengulangi usaha untuk mengontrol
lingkungan mereka. Ketidakberhasilan usaha pada pengontrolan dapat
menimbulkan perilaku negatif dan temper tantrum. Perilaku ini paling umum
terjadi pada saat orang tua menghalangi tindakan mandiri pertama kalinya. Orang
tua melihat hal tersebut sebagai perilaku yang bermasalah selama tahun toddler
dan waktu untuk mengekspresikan rasa frustasi dengan mencoba untuk membuat
batasan hukum yang konsisten dan sambil secara simultan mendorong
kemandirian.
Menurut Erikson (1963) dalam Potter&Perry (2005:662), perasaan
autonomi muncul selama masa toddler. Kemauan kekuatan mereka sering
diperlihatkan dalam perilaku yang negatif bahkan temper tantrum mungkin terjadi
pada saat toddler frustasi dengan batasan orang tua. Orang tua perlu memberi
toddler kemandirian bertahap, membiarkan mereka melakukan hal-hal yang
mereka mampu pelajari atau merasakan perasaan malu untuk hal-hal yang telah
mereka lakukan. Batasan ketegasan, kesabaran, dan dukungan memungkinkan
toddler mengembangkan perilaku yang diterima secara sosial.
Secara sosial, toddler tetap secara kuat terikat dengan orang tua mereka dan
merasa takut untuk berpisah dari orang tua. Kehadiran mereka membuat toddler
merasa aman, dan rasa ingin tahu mereka ditandai dengan eksplorasi mereka
terhadap lingkungan. Ibu dari toddler jarang dibiarkan untuk mendapatkan privasi
kamar mandi karena menutup pintu membuat tangisan yang tidak berhenti sampai
pintu tersebut dibuka.
Temper tantrum adalah suatu ledakan kemarahan yang diekspresikan secara
sangat dramatis, dengan agitasi motorik hebat seperti menjerit-jerit sambil
berguling di lantai, menendang, menggigit, membenturkan kepala ke lantai atau
tembok, menghentakkan kaki, memukuli diri sendiri atau orang lain, menangis,
memaki, dan lain sebagainya (Markum, 1991).
Temper tantrum dapat merupakan ekspresi kemarahan seorang anak dengan
penyesuain diri normal. Penyebab dan manifestasi tantrum berubah dengan
bertambahnya umur, reaksi fisik dan motorik berkurang menjadi lebih verbal dan
lebih tertuju pada objek atau orang yang dianggap sebagai penyebab terjadinya
frustasi. Temper tantrum dapat juga merupakan ekspresi frustasi yang
berkepanjangan seorang anak yang sedang mengalami ansietas atau depresi. Pada
anak balita tantrum merupakan upaya yang cukup berhasil untuk mendapatkan
perhatian.
Keadaan semacam itu tidak terlepas dari bagaimana cara orang tua mendidik
dan membesarkan anak yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
faktor budaya, agama, kebiasaan, kepercayaan, dan keperibadian orang tua. Para
orang tua seringkali memakai cara komunikasi yang tidak efektif dalam
menghadapi anaknya. Padahal keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Orang tua mempunyai
peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak. Orang tua merupakan
pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan lingkungan
kedua bagi anak. Hal itu juga diungkapkan Hurlock (1978) yang menyatakan
bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman
sebaya dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik. Cara
pengasuhan orang tua yang bekerja dan tidak bekerja berbeda. Begitu pula dengan
gaya pengasuhan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan yang
tinggi dan yang rendah. Dan juga pola asuh orang tua yang tingkat perekonomian
menengah keatas dan manangah kebawah. Masing-masing pola asuh yang
diberikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan
kepribadian anak.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara didapatkan anak usia 2-4 tahun mengalami
temper tantrum sebanyak 47,5% dan hal ini tidak diketahui penyebabnya. Asumsi
penulis ada beberapa faktor penyebab tingginya kejadian temper tantrum pada
anak usia toddler tersebut di antaranya pola asuh orang tua. Untuk itu penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
Adakah hubungan antara pola asuh orang tua terhadap kejadian temper tantrum
pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara?
C. Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas
Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
2. Untuk mengetahui kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di
PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
D. Manfaat penelitian
a. Profesi keperawatan
Sebagai masukan bagi tenaga perawat untuk meningkatkan pengetahuan
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak usia toddler khususnya
dalam perkembangan emosi anak.
b. Pengembangan ilmu
Sebagai masukan dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan
berupa perkembangan emosi anak usia toddler.
c. Peneliti
Mencoba kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian dalam
bidang keperawatan dan hasil penelitian ini dapat dijadikan wacana
untuk penelitian lanjut serta menjadi pengalaman untuk penelitian lain
dalam rangka meningkatkan khasanah keilmuan khususnya
keperawatan.
E. Keaslian penelitian
a. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2008), dengan judul “Pengaruh
tingkat pendidikan dan tipe pola asuh orang tua terhadap perkembangan
psikososial anak prasekolah di Taman Kanak – kanak Aisyiyah II
Nganjuk”. Instrumen yang digunakan adalah angket untuk data tingkat
pendidikan, pola asuh dan perkembangan psikososial anak prasekolah
yang meminta jawaban dari orang tua siswa. Penelitian ini
menggunakan desain observasional dengan pendekatan cross sectional,
dengan sampling proposional purposive random sampling. Hasil
penelitian menunjukan, ada pengaruh antara tingkat pendidikan
responden dengan perkembangan psikososial anak dimana didapatkan
nilai Á (0,000) ± (0,05), namun tipe pola asuh berpengaruh terhadap
perkembangan psikososial anak prasekolah dimana hasil uji didapatkan
Á (0,000). Persamaan dengan penelitian yang akan penulis kerjakan
yaitu variabel independent/bebas yang digunakan yaitu pola asuh orang
tua serta penggunaan desain penelitian yang sama menggunakan desain
observasional dengan pendekatan cross sectional sedangkan perbedaan
dari penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada variabel
dependent/terikat yaitu penulis menggunakan kejadian temper tantrum
sebagai variabel terikatnya, instrumen penelitian yang digunakan yaitu
kuesioner, dan pada sampel yang digunakan yaitu anak usia toddler.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Agustine (2007) dengan judul “Persepsi
orangtua tentang temper tantrum dan cara mengatasi pada anak usia 2 –
4 tahun di paud amanah malang”. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dimana dalam pengambilan sampelnya menggunakan metode
non random sampling yaitu menggunakan sampling jenuh. Dari
penelitian ini didapakan bahwa persepsi orangtua tentang temper
tantrum dan cara mengatasinya terdapat 60% orangtua memiliki persepsi
yang positif dan 40% memilki persepsi yang negatif. Disebutkan bahwa
60 % memiliki persepsi yang positif, salah satu yang mempengaruhi
persepsi yaitu cognisi (pengetahuan) yang mencakup penafsiran orang
tua tentang tanda dan perilaku temper tanturm serta penanganannya.
Sedangkan yang memiliki persepsi negatif sekitar 40% bisa dikarenakan
pengetahuan yang kurang akan temper tantrum dan cara penanganannya.
Persamaan dengan penelitian yang akan penulis kerjakan yaitu sampel
penelitian anak usia toddler. Sedangkan perbedaan dari penelitian yang
akan penulis lakukan terletak pada desain penelitian yang menggunakan
desain observasinal dengan pendekatan cross sectional dengan
instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pola Asuh Orang Tua
a. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak, dari segi negatif dan positif (Nuraeni, 2006). Faktor lingkungan sosial
memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak)
ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak)
sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung
menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan
sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku
sosial tertentu pada anaknya.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Kohn
(dalam Taty Krisnawaty, 1986: 46) yang dikutip Nuraeni (2006) dalam skripsinya
menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi
dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan
aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya,
dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi
oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan
yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
b. Tipe Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengasuh dan membina anak, masyarakat kita mengenal tiga model
pola asuh yaitu :
1. Pola Asuh Otoriter
Dalam pola asuh yang otoriter biasanya pihak orang tua yang menggariskan
keputusan-keputusan tentang perilaku anak-anaknya. Wujudnya tampak dalam
contoh berikut ini : “Kamu harus bangun pagi jika saya mengatakan kamu harus
bangun. Kamu harus pergi tidur jika saya menyatakan kamu harus pergi tidur “
(Maurice Balson, 1987:2).
Pola asuh ini bercirikan dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang
tua. Kebebasan anak dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam
pergaulan keluarga terasa kaku sebab orang tua selalu memaksakan untuk
berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Bila aturan-aturan yang berlaku
dilanggar, orang tua akan memberi hukuman kepada anaknya, namun jika akan
mematuhinya orang tua tidak memberikan hadiah atau pujian karena apa yang
dilakukan anak sudah sepantasnya dilakukan. Dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa pola asuh otoriter adalah orang tua sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam keluarga untuk mengekang dan mengendalikan anak. Kebebasan anak
dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam pergaulan keluarga terasa
kaku. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar, orang tua tidak segan-segan akan
memberi hukuman kepada anaknya.
2. Pola Asuh Permisif
Dalam pola asuh permisif atau juga dikenal dengan pola asuh liberal,
keluarga memberikan kebebasan pada anak, kebebasan diberikan dari orang tua
kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Orang tua
kurang peduli dan tidak pernah memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada
anak. Segala keinginan anak keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak,
orang tua tidak memberikan pertimbangan bahkan tidak tahu atau sikap orang tua
yang masa bodoh, anak kurang tahu apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau
benar (Danny .I. Yatim, 1986:96).
Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
permisif adalah orang tua yang memberikan kebebasan pada anak untuk berbuat
sekehendak hatinya. Keputusan diserahkan sepenuhnya pada anak, orang tua tidak
memberikan pertimbangan apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau benar.
3. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis mendorong anak sebagai individu yang selalu
berkembang, sehingga memiliki ciri adanya sikap saling terbuka antar anak
dengan orang tua. Dalam setiap pengambilan keputusan atau aturanaturan yang
dipakai atas kesepakatan bersama. Orang tua memberi kesempatan pada anak
untuk menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk
dapat menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai
pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak ( Danny I Yatim,
1986:98 ).
Menurut Martaniah (1964: 19), orang tua demokratis besar pengertiannya
terhadap anak dan memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan
pendapatnya. Bagi orang tua demokratis anak mempunyai kedudukan yang sama
dalam keluarga. Orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan
anak, dan tidak harus sekedar mampu dalam memberi saran-saran atau nasehat
saja, tetapi juga mau mendengarkan keluhan anak sehubungan dengan persoalan
yang anak hadapi.
Tim Penggerak PKK Pusat (1992: 10) menjelaskan, pelaksanaan pola asuh
demokratis atau yang dikenal dengan pola asuh pendekatan perilaku, tidak
menang dan tidak kalah adalah orang tua yang bersikap keras, jelas dan
konsekuen, tidak memaksakan kehendak, menghargai dan menghormati,
membiasakan minta maaf kepada anak jika akan, sedang dan sesudah
menyinggung perasaan orang lain, kalau anak menyimpang dari aturan, adat,
hukum dan agama, menasehati tanpa merendahkan martabat anak, tidak
menyalahkan atau membenarkan apabila salah satunya berkelahi, menghindari,
mengalahkan atau memenangkan anak. Akibat dari pola asuh ini adalah
menyebabkan anak menjadi mandiri, mempunyai tanggung jawab, mempunyai
inisiatif dan kreatif, sopan santun dan dapat membedakan yang baik dan yang
buruk. Jadi dapat ditarik suatu pengertian bahwa pola asuh demokratis adalah
orang tua memposisikan anak dalam posisi yang sama dengan orang tua artinya
memiliki hak dan kewajiban yang sama, orang tua tidak harus menang dan tidak
harus kalah artinya orang tua bersikap keras, jelas dan konsekuen tetapi
memaksakan kehendak. Orang tua memberi kesempatanmpada anak untuk
menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk dapat
menghargai dan menanggapi oarang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai
pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Anak akan semakin
termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya kepercayaan diri yang
diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung jawab.
Berbagai pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan orang tua. Pendidikan adalah bimbingan yang
diberikan seseorang kepada orang lain untuk mencapai apa yang dicita – citakan
(Utami, 2008). Latar belakang pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perilaku anak. Orang tua yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang tingi cenderung akan lebih memperhatikan segala perubahan dari
setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya. Orang tua yang berpendidikan
tinggi umumnya mengetahui bagaimana tingkat perkembangan anak dan
bagaimana pola asuh orang tua yang baik sesuai dengan perkembangan anak
khususnya untuk pembentukan perilaku yang baik bagi anak.
Orang tua yang berpendidikan tinggi umumnya dapat mengajarkan sopan
santun kepada orang lain, baik dalam berbicara ataupun dalam hal lain, mampu
mengajarkan bagaimana mengendalikan keinginan sendiri ditengah-tengah
khalayak dan sebagainya. Berbeda dengan orang tua yang mempunyai latar
belakang pendidikan yang rendah cenderung acuh terhadap hal semacam itu.
Dalam memberikan pola asuh pada anak umumnya kurang memperhatikan tingkat
perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orang tua yang masih awam dan tidak
mengetahui tingkat perkembangan anak dan bagaimana cara berkomunikasi serta
memberikan pola asuh yang tepat bagi anaknya sesuai dengan tahap
perkembangan. Orang tua biasanya mengasuh anak dengan gaya dan cara mereka
sendiri tanpa tahu jelas ketepatan pola asuh tersebut sehingga menghasilkan
seorang anak dengan pribadi dan perilaku yang kurang baik.
2. Gangguan Perilaku
a. Definisi Gangguan Perilaku
Gangguan perilaku yaitu gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosial yang disebabkan oleh lemahnya control diri, merupakan kasus yang paling
banyak terjadi pada anak-anak. Kazdin (dalam Carr, 2001) menyebutkan bahwa
dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga
sampai setengah diantaranya karena mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada
populasi yang bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun
telah menunjukkan beberapa yang tetap (Campbell, Coie & Reid, dalam Bennett,
Brown, Lipman, Racine, Boyle & Offord, 1999) dalam skripsi Desvi (2005).
Gangguan perilaku pada anak sering juga disebut dengan masalah perilaku
atau behavior problem (Moore, 1982) dalam skripsi Desvi (2005) dan masalah
sikap atau conduct problem (Conduct Problems Preventation Research Group
(CPPRG), 1999). Menurut Moore (1982) dalam skripsi Desvi (2005) gangguan ini
meliputi semua bentuk gangguan perilaku pada anak kecuali yang disebabkan
oleh neurosis, psikosis, retardasi mental, dan gangguan fisik atau kerusakan
organik. Dengan demikian, anak yang menderita gangguan perilaku dipandang
sebagai individu “normal” yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
Kesulitan perilaku ini dapat diidentifikasi mulai dari usia tiga tahun sampai akhir
remaja dan rentang perilaku yang tampak mulai dari ketidakpatuhan di rumah
sampai dengan tindakan kriminal di masyarakat.
b. Konsep Gangguan Perilaku
Moore (1982) dalam skripsi Desvi (2005) menyebutkan bahwa untuk
memudahkan pemahaman tentang konsep gangguan perilaku karena ruang
lingkupnya yang cukup luas, maka gangguan perilaku ini dapat dikelompokkan
dalam tiga bentuk yang sesuai dengan perkembangan usia anak, yaitu :
a. Masalah kontrol, secara umum ditandai dengan ketidakmatangan perilaku
seperti tidak patuh, menangis secara berlebihan, temper tantrum, tingkat
aktivitas yang tinggi, dan suka membantah. Biasanya terdapat pada anak
berusia muda.
b. Perilaku agresif, ditandai dengan sering melakukan penyerangan fisik dan
verbal. Bentuknya antara lain sering berkelahi, menyakiti orang lain secara
verbal, suka menentang atau membantah otoritas, dan mengancam. Biasanya
ini mulai muncul pada usia 4 sampai 6 tahun.
c. Perilaku yang menunjukkan kenakalan/kejahatan, seperti bolos, mencuri,
merusak, lari dari rumah, menggunakan obat-obatan, dan tindakan kiriminal
lainnya. Biasanya terjadi pada usia 11-18 tahun.
c. Temper Tantrum
Secara konsep gangguan perilaku, temper tantrum masuk ke dalam masalah
kontrol dimana ditandai dengan ketidakmatangan perilaku seperti tidak patuh,
menangis secara berlebihan, tingkat aktivitas yang tinggi, dan suka membantah.
Pada temper tantrum anak-anak pandai menunjukkan amarah dan perasaan emosi
kuat mereka. Puncak kemarahan yang meledak-ledak pada anak-anak terjadi pada
usia 2 sampai 3 tahun, namun bisa juga lebih muda. Banyak anak-anak terkadang
terus bertingkah laku seperti itu sampai mereka berusia 4 atau 5 tahun, atau lebih
tua.
Temper tantrum adalah episode dari kemarahan dan frustrasi yang ekstrim,
yang tampak seperti kehilangan kendali seperti dicirikan oleh perilaku menangis,
berteriak, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang barang,
berguling di lantai, membenturkan kepala, dan menghentakkan kaki ke lantai.
Pada anak yang lebih kecil (lebih muda) biasanya sampai muntah, pipis, atau
bahkan nafas sesak karena terlalu banyak menangis dan berteriak. Dalam kasus
tertentu, ada pula anak yang sampai menendang atau memukul orang tua atau
orang dewasa lainnya misalnya pada baby sitter.
Istilah temper tantrum di masyarakat kita lebih dikenal sebagai tindakan
‘mengamuk’ atau ngambek’. Tantrum lebih kepada usaha anak dalam
mendapatkan perhatian orang tuanya (intim). Hal itu merupakan ungkapan rasa
marah atau frustasi. Sebenarnya sebagian besar balita pernah mengalaminya tapi
hanya ringan dan mudah ditenangkan. Jika terjadi secara berlebihan seperti
berguling-guling di lantai di sebuah mal sambil menangis keras-keras,
melemparkan mainan yang dibawanya, dan kakinya menendang tidak karuan,
bahkan tidak jarang sambil mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak sopan.
Temper tantrum biasanya terjadi pada usia 2-4 tahun ketika anak mulai
menampilkan sikap negativistik dan kemandirian. Seiring waktu (usia 5 – 12
tahun), ketika anak sudah mulai dapat mengungkapkan keinginan dan
pemikirannya dengan baik secara verbal, temper tantrum cenderung berkurang,
dan hanya terjadi kadangkala saja.
Beberapa hal yang menjadi penyebab temper tantrum, di antaranya :
1. Frustrasi yaitu terhambatnya pemenuhan kebutuhan/keinginan, tidak
mendapatkan apa yang didapatkan. Dalam kondisi seperti ini, biasanya anak
mengkomunikasikan perasaannya ketimbang pikirannya.
2. Ketidakmampuan anak untuk menyadari atau mempersepsikan bahwa dirinya
sedang jengkel, frustrasi, ataupun cemas. Akibatnya anak tidak dapat
mengkomunikasikan perasaannya pada orang lain (dalam hal ini mungkin
orang tua atau pengasuhnya) selain melalui perilaku temper tantrum.
3. Ketidakmampuan anak untuk mengekspresikan pendapatnya, keinginannya,
dan lain-lain, secara verbal. Bisa jadi karena keterbatasan kemampuan
berbahasa (belum lancar berbicara) atau kurangnya pemahaman akan bentuk-
bentuk emosi yang ia rasakan sehingga kurang dapat mengungkapkannya
secara verbal.
4. Meniru atau imitasi perilaku orang tua yang agresif atau teman-teman lainnya
yang mendapatkan keinginan dengan cara menampilkan temper tantrum.
Dampak buruknya tantrum akan menjadi satu-satunya cara bagi anak untuk
mengekspresikan kemarahan atau rasa frustrasinya. Anak juga akan belajar bahwa
dia dapat mengontrol lingkungan, termasuk mengontrol orang tua atau orang
dewasa lain di sekitarnya. Lebih buruk lagi tantrum akan semakin sering
dilakukan sampai melampaui batas proporsional yang melebihi tuntutan situasi.
Maksudnya anak menjadi semakin cepat menampilkan tantrum-nya setiap kali ada
hal yang tidak disukainya, padahal bagi anak lain situasi itu belum cukup
menjengkelkan untuk sampai menimbulkan tantrum.
d. Faktor yang mempengaruhi Kejadian Temper Tantrum
Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, yaitu:
a. Faktor biologis individu
Ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi kerentanan anak untuk
mengalami gangguan perilaku. Pertama, temperamen anak yang merupakan
indikator paling awal akan masalah perilaku (Cartledge & Milburn, 1995;
Grainger, 2003) dalam skripsi Desvi (2005) temperamen kemudian berinteraksi
dengan gaya manajemen orang tua dan bila gaya orang tua tidak sesuai maka akan
memperparah gangguan perilaku anak (Grainger, 2003) dalam skripsi Desvi
(2005).Temperamen anak yang sulit cenderung membuat orang tua berusaha
mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan menambah intensitas
perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995) dalam skripsi Desvi
(2005).
b. Faktor keluarga
Situasi perkawinan, proses sosialisasi, dan penyesuaian orang tua dilihat
dari tiga domain : depresi, penyalahgunaan obat-obatan dan perilaku anti sosial.
Orang tua yang menggunakan obat-obatan dan berperilaku anti sosial berpengaruh
secara langsung pada anak lewat proses modeling (peniruan) sedangkan depresi
berpengaruh secara tidak langsung lewat perubahan sikap orang tua yang
cenderung mengabaikan anak.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah
pola asuh orang tua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam
Hetherington & Parke, 1999) yang dikutip oleh Desvi (2005) mengatakan pola
asuh orang tua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan
karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki ketrampilan sosial yang
rendah. Sedangkan anak yang orang tuanya otoriter cenderung menunjukkan dua
kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan
penelitian Chamberlain, dkk (dalam CPPRG, 1999) dikutip oleh Desvi (2005)
yang menyebutkan bahwa pola asuh orang tua yang berhubungan dengan
gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak
konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orang tua, dan penerapan
disiplin yang kaku.
c. Faktor lingkungan
Lingkungan di luar keluarga yang terutama berperan bagi perkembangan
perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang
rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi
berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995) dalam skripsi Desvi (2005).
Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku anti sosial akan ditolak
oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung
dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru
akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002) dalam skripsi Desvi
(2005).
e. Indikator Temper Tantrum
Tasmin,(2001) yang dikutip dalam artikel ilmiah, mengemukakan bahwa
temper tantrum atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol.
Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul
pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun. Tantrum biasanya
terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah
terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Kebanyakan tantrum pada anak dialami ditempat tertentu dan pada orang
tertentu. Biasanya mereka ditempat-tempat publik setelah mendapatkan kata
“tidak” untuk sesuatu yang mereka inginkan. Tantrum biasanya berhenti saat anak
mendapatkan apa yang diinginkan. (Tavris;1989).
B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, dapat disusun kerangka
teori sebagai berikut :
Faktor Biologis :
- Kondisi biologis
Faktor Keluarga :
-Situasi perkawinan
-Proses sosialisasi
-Pola asuh orang tua
Faktor Lingkungan :
-Teman sebaya
-Sekolah
Temper Tantrum
1. Temper tantrum terkontrol
2. Temper tantrum tidak terkontrol
C. Kerangka Konsep
variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Pengganggu
Keterangan :
= Diteliti
= Tidak diteliti
D. Hipotesis
Menurut Arikunto (2002), hipotesis diartikan sebagai suatu teori sementara
yang kebenarannya perlu diuji. Ada dua hipotesis, yaitu hipotesis statistik atau
disebut hipotesis nol (Ho) dan hipotesis kerja (Ha) disebut hipotesis alternatif.
Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian atau dalil sementara
yang sebenarnya akan dibuktikan dalam penelitian (Notoatmodjo, 2002).
Hipotesis penelitian ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap kejadian
temper tantrum di Paud Kelurahan Karangwangkal Purworkerto.
Pola asuh orang tua Temper TantrumTerkontrol
Tidak terkontrol
Faktor yang mempengaruhi
1. Kondisi biologis
2. Situasi perkawinan
3. Proses sosialisasi
4. Teman sebaya
5. Sekolah
6. Masyarakat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional merupakan
rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat
bersamaan (Hidayat, 2007). Metode analitik korelasi ini digunakan untuk
mengukur hubungan antara pola asuh orang tua terhadap kejadian temper tantrum
anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto
Utara pada bulan Maret-Agustus 2010.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2004) dalam Hidayat (2009 : 60) populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek atau subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Arikunto (2006) populasi adalah
keseluruhan objek subjek penelitian. Populasi yang diambil dalam penelitian ini
seluruh siswa PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara yang
memiliki karakteristik tertentu yang sesuai dengan kriteria yang sudah peneliti
tetapkan yang berjumlah 86 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).
Menurut Hidayat (2009) sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti
atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dalam
penelitian keperawatan, kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dimana kriteria
tersebut menentukan dapat dan tidaknya sampel tersebut digunakan.
Menurut Nursalam (2003) dalam Hidayat (2009 : 60) menyatakan bahwa
kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Perimbangan ilmiah menjadi
pedoman dalam menentukan kriteria inklusi. Sedangkan kriteria eksklusi
merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena
tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian.
a. Anak Toddler
Kriteria Inklusi
1. Usia anak antara 2-4 tahun
2. Anak tercatat sebagai siswa PAUD Kelurahan Karangwangkal
3. Anak dalam kondisi sehat secara fisik dan psikologis
Kriteria Eksklusi
1. Memiliki keterbelakangan mental
2. Memiliki cacat tubuh (buta atau tuli)
b. Orang tua
Kriteria Inklusi
1. Orang tua kandung
2. Orang tua tinggal dalam satu rumah
3. Orang tua yang dominan mengasuh anak
Kriteria Eksklusi
1. Orang tua tunggal (suami atau isteri)
2. Orang tua tinggal berjauhan
Untuk mendapatkan sampel yang tepat menggunakan rumus Solvin
(Nursalam, 2003) dengan rumus :
Dimana :
e= Standar error (10%)
= = = 46,24
Dari perhitungan rumus di atas didapatkan hasil akhir 46,24 dan apabila
dibulatkan menjadi 46. Jadi dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan
yaitu 46 orang tua dan 46 anak yang ada di PAUD Tunas Mulia Karangwangkal
Purwokerto Utara.
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakaan menjadi dua, yakni
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif (Hidayat, 2009). Menurut Sudigdo (1995)
mengartikan variabel adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu
subjek ke subjek lainnya.
Dalam penelitian keperawatan, terdapat beberapa jenis variabel, di
antaranya:
a. Variabel independen atau variabel bebas
Variabel independen ini merupakan variabel yang menjadii sebab perubahan
atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini bebas dalam
mempengaruhi variabel lainnya.
b. Variabel Dependen atau variabel terikat
Variabel dependen ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat karena variabel bebas. Variabel ini tergantung dari variabel bebas
terhadap perubahan.
Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini yaitu pola asuh
orang tua, sedangkan variabel dependen atau variabel terikatnya kejadian temper
tantrum.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan
ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana
variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2007).
Untuk memudahkan pemahaman dan pengukuran setiap variabel yang ada
dalam penelitian, maka setiap variabel harus dirumuskan secara operasional.
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Pola Asuh
Orang Tua
Model atau gaya
yang digunakan
oleh orang tua
(ayah dan ibu)
dalam merawat dan
mendidik anak-
anaknya
Dengan
menggunakan
lembar
kuesioner yang
terdiri dari 30
item
pernyataan
meliputi 10
tipe pola asuh
orang tua
otoriter, 10
tipe pernyataan
opla asuh
orang tua
permisif dan
10 tipe item
pernyataan
pola asuh
orang tua
demokratis.
Setiap item
diberi skor 0
untuk sangat
tidak setuju
Tipe pola asuh
orang tua
dikategorikan
dengan
menjumlahkan
nilai skor
tertinggi dari
setiap kategori
pola asuh.
Perhitungan
perolehan skor
tertinggi yang
dapat dikatakan
pola asuh
responden
tersebut tipe
otoriter, permisif,
dan demokratis.
Jika terdapat skor
yang sama maka
ditentukan oleh
pernyataan yang
menjadi key point
dari setiap
Nominal
(STS), 1 untuk
tidak setuju
(TS), 2 setuju
(S), dan 3
sangat setuju
(SS)
masing-masing
tipe pola asuh
orang tua
2 Temper
Tantrum
Tindakan
‘ngambek’ atau
‘menangis’ yang
meledak-ledak
dilakukan anak
untuk mencari
perhatian orang
tuanya
Dengan
menggunakan
lembar
oberservasi
yang teridiri
dari 6
pertanyaan
sesuai dengan
indikator
temper tantrum
yang kemudian
diskor. Untuk
pertanyaan
yang dijawab
“ya” diberi
skor 1 dan
jawaban
“tidak” diberi
Hasil observasi
yang telah diskor
itu kemudian
dijumlahkan dan
lihat hasilnya jika
berada pada
rentang:
55-
100%=terkontrol
<55%=tidak
terkontrol
Ordinal
skor 0.
Pengamat
memberikan
check ()
dimuka
pertanyaan
yang telah
tersusun
F. Instrumen Penelitian
Merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data dalam penelitian.
Sebelum melakukan pengumpulan data, perlu dilihat alat ukur pengumpulan data
agar dapat memperkuat hasil penelitian (Hidayat, 2009). Alat ukur yang
digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan antara orang
tua dan anak.
a. Instrumen pola asuh orang tua
Instrumen penelitian untuk pola asuh orang tua menggunakan lembar
kuesioner yang diadopsi dari penelitian Joko Tri Suharsono (2009). Lembar
kuesioner itu dibuat sedemikian rupa agar benar-benar mampu mengukur apa
yang ingin diteliti. Dalam lebar kuesioner dibuat 30 item pernyataan yang masing-
masing mengacu pada indikator pola asuh orang tua. Skala yang digunakan dalam
lembar kuesioner yaitu skala likert, dimana setiap item diberi skor 0=STS, 1=TS,
2=S, dan 3=SS. Skala ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi
seseorang tentang gejala atau masalah yang ada di masyarakat atau yang
dialaminya. Untuk menentukan salah satu tipe dari ketiga kategori tipe pola asuh
orang tua dinilai berdasarkan perhitungan perolehan skor tertinggi yang dapat
dikatakan pola asuh responden tersebut tipe otoriter, permisif, dan demokratis.
Jika terdapat skor yang sama maka ditentukan oleh pernyataan yang menjadi key
point dari setiap masing-masing tipe pola asuh orang tua. Pernyataan key point
untuk tipe pola asuh otoriter terdapat pada no.1,12, dan 22; tipe pola asuh permisif
ada pada no.3,10,dan 23 sedangkan tipe pola asuh demokratis terdapat pada no.2,
7, dan 14.
b. Instrumen anak
Alat ukur yang digunakan dalam meneliti anak yaitu kejadian temper
tantrumnya menggunakan lembar observasi. Hasil observasi yang telah diskor itu
kemudian dijumlahkan dan lihat hasilnya jika berada pada rentang: 55-
100%=terkontrol dan <55%=tidak terkontrol.
G. Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima
sesuai standar. Uji validitas dapat menggunakan rumus Pearson Product Moment,
setelah itu diuji dengan menggunakan uji t dan dilihat penafsiran dari indeks
korelasinya (Hidayat,2009).
Rumus Pearson Product Moment:
Dimana :
rhitung = koefisien korelasi
∑Xi = jumlah skor item
∑Yi = jumlah skor total (item)
n= jumlah responden
Pengukuran validitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui tingkat
ketepatan dan kecermatan alat ukur untuk mengukur apa yang seharusnya diukur
(Notoatmodjo, 2002). Setelah mengukur validitas, maka perlu mengukur
reliabilitas data. Dalam mengukur reliabilitas dapat digunakan beberapa rumus, di
antaranya rumus koefisien reliabilitas Cronbach (Nurgiyantoro, 2000).
Dimana :
r = koefisien reliabilitas yang dicari
k = ∑ butir pernyataan (soal)
= Varians butir-butir pernyataan (soal)
= Varians skor test
H. Teknik Pengumpulan Data
a. Prosedur
1. Izin kepada kepala kantor kecamatan untuk disampaikan kepada kelurahan
bahwa akan dilakukan penelitian terhadap sejumlah sampel dengan
responden anak usia toddler yang tercatat sebagai siswa PAUD Tunas
Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara dan orang tuanya dalam rangka
menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar sarjana.
2. Setelah mendapat konfirmasi dari kelurahan baru meminta perizinan pada
pihak sekolah PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
3. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner
4. Menjelaskan tujuan kepada guru dan orang tua
5. Melakukan observasi
b. Jenis Data
1. Data primer
Data yang diperoleh dari jawaban di lembar kuesioner yang telah
dibagikan kepada responden.
2. Data sekunder
Data jumlah siswa yang diperoleh dari bagian administrasi dan data
mengenai kondisi perilaku anak.
I. Analisis Data
Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan
mengubah data menjadi informasi. Dalam proses pengolahan data terdapat
langkah-langkah yang harus ditempuh, di antaranya (Hidayat, 2009) :
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdirir atas beberapa kategori.
3. Entri Data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke
dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana atau bisa juga membuat tabel kontingensi.
4. Melakukan Teknik Analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dianalisis.
Macam-macam analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
a. Analisis univariat
Menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
pola asuh orang tua dengan kejadian temper tantrum. Uji statistik yang
digunakan yaitu uji Chi Square.
Rumus Uji Chi Square:
=
Dimana :
X2 = uji signifikansi perbedaan frekuensi yang diobservasi dengan frekuensi yang
diharapkan
fo = frekuensi yang diperoleh berdasarkan data
fh = frekuensi yang diharapkan
J. Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia. Untuk itu perlu diperhatikan hal berikut :
1. Informed consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuannya agar
subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.
2. Anominity
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama respondenpada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya
(Hidayat, 2009).
K. Jadwal Penelitian
No. KegiatanBulan Ke
3 4 5 6 7 8
1. Pengajuan Judul
2. Survei Pendahuluan
3. Penyusunan Proposal
4. Pelaksanaan Penelitian
5. Penyusunan Hasil
DAFTAR PUSTAKA
Agustine, Sanubari Dwika, 2007, Persepsi Orang Tua Tentang Temper Tantrum
dan Cara Mengatasi Pada Anak Usia 2-4 Tahun di PAUD Amanah Malang,
Universitas Muhamadiyah Malang, Malang.
Arikunto, S 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi, PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Arikunto, S 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi VI,
PT Rineka Cipta, Jakarta.
Balson, Maurice 1987, Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik, Bumi Aksara,
Jakarta.
Carr, A 2001, Abnormal Psychology : Pschylogy focus, Pschylogy Press, East
Sussex.
Danny I Yatim, 1986, Kepribadian, Keluarga dan Narkotika, Ancan, Jakarta.
Desvi, Yanti 2005, Keterampilan Sosial Anak Menengah Akhir Yang Mengalami
Gangguan Perilaku, USU Repository, Sumatera Utara.
Hidayat, AA 2007, Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, salemba
Medika, Jakarta.
Hidayat, AA 2009, Metode Penelitian Keperawatan dan Analisis Data, salemba
Medika, Jakarta.
Hurlock, Elizabeth, B, 1978, Perkembangan Anak, jilid 1, edisi keenam, Erlangga,
Jakarta.
Markum, A.H 1991. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1, FK UI, Jakarta.
Martaniah, Mulyani 1964. Peranan Orang Tua dalam Perkembangan
Kepribadian, Jiwa Baru, Yogyakarta.
Notoatmodjo,S 2002, Konsep Perilaku kesehatan, Jurnal Interaksi, Jakarta.
Nuraeni 2006, Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan
Kepribadian Anak Taman Kanak-kanak, UNES, Semarang.
Nurgiyantoro, B 2000, Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nursalam 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penulisan Ilmu
Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Potter&Perry 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan:Konsep, Proses, dan
Praktik Edisi 4, volume 1, EGC, Jakarta.
Sastroasmoro, Sudigdo 1995, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Binarupa Aksara, Jakarta.
Tavris, C 1989, Anger: The misunderstood emotion (rev.ed), Simon and Schuster,
New York.
Tim Penggerak PKK Pusat 1992, Pedoman Pola Asuh Anak Dalam Keluarga,
Jawa Tengah.
Utami, Budi Rahayu, 2008, Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Tipe Pola Asuh
Orang Tua Terhadp Perkembangan Psikososial Anak Prasekolah di Taman
Kanak-kanak Aisyiyah II Nganjuk, Nganjuk.
http://dokteranakku.com/?p=143 diakses tanggal 8 April 2010.
http://www.medicalera.com/index.php?
view=article&id=239&option=com_content&format=pdf diakses tanggal 8
April 2010.
Lampiran 1
KUESIONER POLA ASUH ORANG TUA
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER
DI PAUD TUNAS MULIA KARANGWANGKAL PURWOKERTO UTARA
Identitas
Nama orang tua :
Tempat tanggal lahir :
Nama siswa :
Umur siswa :
Pendidikan terakhir orang tua : SD/SLTP/SLTA/PT
Petunjuk pengisian kuesioner
Bacalah setiap pernyataan dibawah ini dengan seksama, kemudian berikan
jawaban saudara pada lembar jawaban bagi setiap pernyataan tersebut dengan cara
memberi tanda ceklist ( ), sebagai berikut :
SS = Apabila pernyataan tersebut sangat sesuai dengan keadaan yang saudara
rasakan
S = Apabila pernyataan tersebut sesuai dengan keadaan yang saudara rasakan
TS = Apabila pernyataan tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang saudara
rasakan
STS = Apabila pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan keadaan yang saudara
rasakan
No Pernyataan STS TS S SS
1 Apapun yang terjadi, perintah saya harus
dilaksanakan, itulah ajaran yang saya tanamkan
kepada anak
2 Jika anak mengucapkan kata-kata yang tidak
sopan, saya akan menegurnya dan menjelaskan
padanya bahwa itu bukan perbuatan yang baik
3 Saya membebaskan anak saya berteman dengan
siapa saja dan melakukan aktivitas apa saja
4 Saya akan membuat jadwal untuk kegiatan
sehari-hari anak saya apabila dia tidak
mematuhinya, saya akan memberikan hukuman
5 Bila anak bermain dengan suasana ramai,
berbuat salah kepada temannya sewaktu
bermain, saya akan langsung memberi hukuman
6 Jika saya berbuat salah pada anak saya, saya
akan meminta maaf dan menjelaskan
masalahnya
7 Jika anak menggambar atau mencoret-coret
dinding, maka saya akan mengajaknya untuk
bersama-sama menghapus dinding tersebut dan
memberikan kertas buku untuk menggambar
8 Jika anak saya berbuat kesalahan, saya tidak
memberinya hukuman tidak pula menegurnya
9 Bila anak minta bepergian atau bermain bersama
saya, saya sering tidak ada waktu
10 Saya membiarkan anak berbuat sesuka hatinya,
memberikan kebebasan pada anak untuk bermain
sesuka hati, saya jarang menegurnya
11 Saya menjelaskan pada anak alasan perlunya
tidur siang, sehingga mereka mengerti alasan
tersebut
12 Saya akan memarahi anak saya jika anak saya
tidak menuruti perintah saya
13 Bila anak membuang makanan yang tidak
disukainya, saya akan memberinya hukuman
14 Saya selalu berusaha untuk adil dan tidak berat
sebelah dalam menghadapi masalah yang
dialami oleh anak saya
15 Jika anak saya berkelahi dengan temannya, jika
anak bertengkar ketika bermain, saya akan
membiarkannya saja
16 Saya biasanya memberikan uang jajan pada anak
saya dan memberikan kebebasan kepadanya
untuk membelanjakan yang dia mau
17 Kalau anak sedang malas berangkat sekolah saya
akan membiarkannya
18 Bila anak tidak menjalankan perintah saya, saya
akan memakluminya
19 Suasana di rumah saya cenderung serius dan
tertib
20 Saya akan mencubit anak saya jika dia tidak mau
mengerjakan tugas sekolahnya
21 Saya mengajak anak untuk mengatur waktu
bermain mereka
22 Anak saya harus menghabiskan setiap porsi
makannya, jika tidak maka saya akan
memberinya hukuman
23 Jika anak marah dan memecahkan barang
dengan sengaja saya tidak akan menegurnya
24 Apapun yang diminta oleh anak saya akan saya
penuhi, karena saya tidak ingin
mengecewakannya
25 Jika anak mengganggu adiknya, maka saya akan
menegurnya dengan keras
26 Bila anak saya bertengkar, saya akan
menanyakan penyebab pertengkaran tersebut
27 Saya menanyakan kepada anak apa yang mereka
inginkan di hari libur
28 Jika anak saya sedih atau murung, saya akan
menanyakan alasannya
29 Suasana di rumah saya cenderung akrab dan
hangat
30 Saya selalu menyerahkan semua keputusan pada
anak
Lampiran 2
PEDOMAN OBSERVASI TEMPER TANTRUM PADA ANAK
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER
DI PAUD TUNAS MULIA KARANGWANGKAL PURWOKERTO UTARA
Nama siswa :
Jenis kelamin :
Petunjuk
Berilah tanda ceklist ( ) pada kolom yang sudah disediakan dalam lembar observasi.
No Perilaku anak Ya Tidak Keterangan
1 Anak memiliki kebiasaan tidur, makan dan
buang air besar tidak teratur
2 Anak sulit menyukai situasi, makanan dan
orang-orang baru
3 Anak lambat beradaptasi terhadap perubahan
4 Anak memiliki kecenderungan suasana hati
yang lebih sering negatif
5 Anak mudah terprovokasi, gampang merasa
marah atau kesal
6 Anak sulit dialihkan perhatiannya