tugas pendidikan pancasila
DESCRIPTION
Tugas KD 1TRANSCRIPT
TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas KD 1mata kuliah Pendidikan Pancasila
Disususn oleh aggota kelompok :
1. Afifaturrohmah Tri Pradani (I8713003)2. Eni Dwi Hastuti (I8713015)3. Nopiah (I8713027)4. Nurmeikalinda Purnama Ratri (I8713029)5. Susilowati (I8713033)
Jurusan Teknik Sipil UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.WbAlhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan,tapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA”
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberi kemudahan dalam mengerjakan tugas yang berjudul “TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA”,
2. Drs.Hasan sebagai dosen pembimbing,3. Orang tua dan keluarga yang telah memberi dukungan selama ini,4. Teman-teman seangkatan, terima kasih atas bantuannya,5. Dan semua pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan tugas yang
berjudul “TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA” ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu .
Dari sanalah semua kesuksesan itu berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan ,namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tugas yang berjudul “TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA” dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar tugas yang berjudul “TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA” ini dapat bermanfaat untuk semua pembaca.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb
Surakarta,Oktober 2013
Penyusun
PEMBAHASAN MATERI
TUGAS 1
Perundang undangan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi periode 2006 – 2013
1. Pasal 7 Ayat 6A Undang -Undang APBN-P 2012 potensial dibatalkan
Mahkamah Konstitusi(MK).
Alasan:
Karena selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN, juga
mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan, sehingga potensial
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 7 Ayat 6A menabrak Pasal 33
UUD 1945 dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 serta menabrak syarat-syarat
formil pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU No 12/2011.
2. Mengenai pasal 28 ayat 2 UU ITE
Alasan:
Isinya merupakan sesuatu yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK). Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau rasa permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan Suku Agama Ras dan Antar Golongan”. Isi pasal 28 ayat 2 itu
dianggap batal oleh MK,tepatnya dengan pembatalan pasal 154 dan 155 Kitab
Undang-Undang Pidana.
3. Pasal 15 ayat (2h)
Alasan :
Karena tidak memberikan kriteria yang jelas dan tidak semua orang yang
pernah menjadi pejabat negara memenuhi syarat untuk menjadi hakim
konstitusi. Sebaliknya, banyak orang yang belum pernah menjadi pejabat
negara, tetapimemenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
4. Pasal 26 ayat (5)
Alasan :
Dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi seorang yang terpilih sebagai hakim
konstitusi jika hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang
digantikan. Jika pasal itu diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU
MK yang menyatakan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat
dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. "Pasal 22 UU MK
tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali lima tahun baik yang diangkat secara
bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi
yang berhenti sebelum masa jabatan berakhir.
5. Pasal 27A ayat (2c), Pasal 27A ayat (2d), Pasal 27A ayat (2e)
Alasan:
Mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan
unsur DPR, pemerintah, MA, KY secara permanen justru akan mengancam dan
mengganggu kemandirian hakim MK. "Adanya keempat unsur itu berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang
berperkara diMK”.
6. Pasal 59 ayat (2) UU MK
Alasan :
Dinilai tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena DPR dan
presiden hanya akan menindaklanjuti putusan MK jika diperlukan saja.
Padahal putusan MK bersifat final dan mengikat yang harus ditindaklajuti
DPR dan presiden."Pasal 59 ayat (2) mengandung kekeliruan khususnya frasa
`DPR atau Presiden` karena bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
7. Pasal 87 UU MK
Alasan :
Pasal 87 UU MK memuat aturan peralihan selain menimbulkan
ketidakpastian hukum juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan. Sebab,
ada pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan. Namun, ada pasal yang
tidak langsung berlaku."Pemberlakuan dua undang-undang bentuk
pembedaan perlakuan terhadap hakim konstitusi yang sedang menjalankan
tugas dan hakim yang akan diangkat kemudian.Ini merugikan hak konstitusi.
8. Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT)
Alasan:
Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT)
bertentangan dengan khususnya alinea pembukaan UUD 1945, Pasal 28C
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31
ayat (1) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945. Norma hukum yang dikandung
dalam UU PT telah mengatur hingga sampai pada hal-hal teknis, terutama
terkait pengelolaan keuangan, yang pada akhirnya menghilangkan tujuan
utama atau hakikat (raison de’etre) pendidikan tinggi serta melahirkan
ketidakadilan bagi sejumlah anak bangsa. Jadi sejak awal keberadaan UU
Pendidikan Tinggi ini telah mencerabut raison de’etre keberadaan pendidikan
tinggi itu sendiri.
9. Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Alasan:
Karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan mendorong liberaslisasi
pendidikan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tentang Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)/Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Pembatalan ini pun berimbas pada semua ketentuan yang melekat pada kedua
jenis sekolah tersebut.
10. Produk hukum terkait kurikulum yang sudah dibatalkan:
a. Undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(sudah dibatalkan UU no.20 tahun2003)
Pasal 37-39
Pasal 38
(1) Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan
atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang
disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri, atau
Menteri lain, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.
b. PP no. 60 Tahun 1999: Pendidikan Tinggi (sudah dibatalkan PP no. 17
tahun2010)
Bab IV
Kurikulum
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program-
program studi atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing
perguruan tinggi.
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
kurikulum yang berlakusecara nasional.
(3) Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri.
c. PP no.30 tahun1990 (sudah dibatalkan PP no.60 tahun1999)
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan atas dasar kurikulum
yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan sasaran
programstudi.
(2) Program studi merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan
akademik dan/atau profesional yang diselenggarakan atas dasar suatu
kurikulum serta ditujukan agar mahasiswa dapat menguasai pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan sasaran kurikulum.
(3) Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada
kurikulum yang berlakusecara nasional.
(4) Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri.
d. PerpresNo.14Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional
(sudah dibatalkan UU no.2 tahun1989)
Majelis Pendidikan Nasional selekas mungkin membuat dan menetapkan
Peraturan Tata tertib dan Peraturan peraturan Pelaksanaan daripada Sistim
Pendidikan Nasional Pancasila seperti yang dimuat di dalam Penetapan
Presiden No. 19 tahun 1965
TUGAS 2
Peraturan dibawah Perundang-undangan yang dibatalkan oleh MA periode
2006 – 2013
1. Peraturan menteri ESDM Nomor 7 tahun 2012 terkait peningkatan
nilai tambah mineral
Alasan:
Peraturan tersebut telah disempurnakan di Permen No 11 tahun 2012 yang
direvisi Permen No 7 tahun 2012. Kalau di Permen 7 tidak boleh
dinyatakan tidak boleh diekspor, di Permen 11 boleh ekspor tetapi dengan
syarat. Terbitnya dua aturan ini sebenarnya untuk kepentingan nasional
jangka panjang. Salah satunya untuk memberikan nilai tambah di dalam
negeri dengan melakukan pengolah dan pemurnian didalam negeri. Ini
merupakan prinsip agar tidak lagi mengekspor barang mentah. Nilai
tambah bagus tidk untuk negara.
Dalam Permen ESDM No 11 tahun 2012, ekspor mineral masih diizinkan
dengan sejumlah syarat dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi dan Izin Pertambangan Rakyat harus clean dan clear.
Pemegang IUP OP dan IPR juga harus melunasi kewajiban keuangan
kepada negara, dan menyampaikan rencana pengolahan dan pemurnian
dalam negeri. Jika memenuhi sejumlah syarat tersebut , maka perusahaan
akan mendapatkan rekomendasi eksportir terdaftar dan surat persetujuan
ekspor. Ekspor mineral ynag dilakukan akan dikenakan bea cukai sebesar
20 persen.
2. Keputusan Presiden (Keppres) nomor 3 Tahun 1997
Alasan:
Mahkamah Agung telah membatalkan Keputusan Presiden (Keppres)
nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan, pengendalian minuman
beralkohol. Kini, pemerintah daerah menjadi ujung tombak pengendalian
dan pengawasan minuman keras di daerahnya masing-masing.
"Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat peraturan yang lebih
efektif terkait pengawasan, pengendalian, dan penanggulangan miras”.
Majelis Hakim MA memutuskan untuk mengabulkan permintaan uji
materil Front Pembela Islam (FPI)terhadap Keppres No. 1997 tentang
pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol, pada Kamis 18 Juni
2013, kemarin. MA menimbang, payung hukum yang digunakan untuk
menerbitkan Keppers No. 3 1997 sudah diubah dan dinyatakan tidak
berlaku atau dicabut. Menurut MA, Keppres itu juga bertentangan dengan
UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Pangan.
3. Putusan MA No. 2446 K/Pid.Sus/2009
Pertimbangan MA:
Bahwa Judex Facti tidak menerapkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3
Jo. Pasal 18 ayat (1) b Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999
sebagaimana telah dirubah dalam Undang- Undang Nomor : 20 Tahun
2001, yang menerangkan secara jelas tentang sanksi pidana yang
menyatakan pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun,
namun Judex Facti telah menjatuhkan pidana 1 tahun dengan subsider
masa percobaan 2 tahun dengan demikian Judex Facti telah jelas keliru
dalam menerapkan hukumnya;
Bahwa pertimbangan Judex Facti yang mendasari ditetapkannya pidana
percobaan sesuai Pasal 14a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Sic-ed) karena menurut Judex Facti bahwa adanya penyimpangan yang
terjadi dalam lingkungan bank tersebut (BPR) telah dianggap selesai
dengan dipekerjakannya Terdakwa di BPR tersebut ;
Bahwa Pertimbangan Judex Facti / Pengadilan Tinggi sangat tidak relevan
dan bukan merupakan faktor yang meringankan dan dapat mengurangi
berlakunya pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 khususnya tentang
sanksi pidana;
4. Pengujian terhadap Perda tidak dilakukan oleh Mahkamah Agung
Menurut pakar ilmu perundang-undangan tersebut, hal itu terkait
ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, di mana kewenangan pengujian dan pembatalan
Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Artinya, yang berwenang membatalkan Perda berdasarkan UU No
32 Tahun 2004 itu ialah Presiden/Pemerintah melalui Peraturan Presiden.
Tapi jikalau Pemerintah Daerah tidak puas dengan pembatalan perda
tersebut, maka pemerintah daerah bisa mengajukan keberatan ke
Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan pasal 145 ayat (5) UU No.32
Tahun 2004.
Tindak lanjut dari pembatalan Perda tersebut menurut pasal 145 ayat (3),
UU No 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan
pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
Perda oleh Pemerintah dari Daerah. Kemudian, menurut ketentuan pada
ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala
daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan,maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung (pasal 145 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004).
Dengan demikian, menurut Maria Farida, wewenang MA terkait
pembatalan Perda berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun
2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak
terima pembatalan Perda oleh Pemerintah, dan tidak berwenang menguji,
apalagi membatalkannya. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tidak
membatalkan Perda. Tapi jika memang terbukti Perda bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana
telah dibatalkan melalui peraturan presiden, maka asasnya, perda tersebut
tidak bisa diberlakukan, karena sudah tidak punya kekuatan hukum lagi.
Kondisi demikian berarti sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A
ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 (sebagaimana telah di
ubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009) dimana seharusnya MA
berwenang melakukan uji materiil terhadap segala peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Sebetulnya menurut Pasal 24A UUD
1945, semua peraturan di bawah UU diujinya oleh MA, tapi UU Nomor 32
Tahun 2004 menyatakan kalau Perda bertentangan dengan yang lebih
tinggi, dibatalkan oleh Presiden. Dengan demikian, MA berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, tapi tidak
termasuk Perda. Yang menjadi pokok permasalahan ialah, apakah
Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan
daerah sebagaimana yang dikemukakan oleh Guru Besar Ilmu Perundang-
undangan Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati? Jika Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan untuk mengujinya, bagaimana proses
pengujiannya? Hal inilah yang akan dibahas dalam penulisan analisis
yuridis-normatif ini, sekaligus kritik atas model pengujiannya.
Kewenangan Mahkamah Agung dalam Pengujian Peraturan Daerah
(Judicial Review) Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang (Judicial review) yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana kewenangan atributifnya
diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10
Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5
Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan
tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dengan mengacu
pada UU Nomor 10 Tahun 2004, ditemukan bahwa Peraturan Daerah
adalah juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang. Dengan menggunakan metode logika
deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji
materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah
peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah
konklusi/kesimpulan bahwa peraturan daerah dapat di uji materilkan oleh
Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan
dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu perda.
Sebenarnya yang menjadi titik perhatian dalam pembahasan ini adalah
siapa yang mengajukan permohonan judicial review terhadap suatu perda
kepada Mahkamah Agung. Dalam hal ini, menurut ketentuan pasal 31A
ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, di jelaskan bahwa:
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
Jadi, pemohon yang dimaksud pada pasal 31A ayat (2) tersebut adalah
pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, yang meliputi perorangan
WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan hukum public atau
privat. Dalam kaitannya dengan Perda, bukan lagi Pemerintah Daerah
yang mengajukan permohonan keberatan kepada MA akibat keputusan
pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang
diatur pada pasal 145 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, melainkan langsung oleh masyarakat / pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan daerah.
Selanjutnya, mengenai proses pengajuan permohonan uji materil terhadap
suatu perda, maka pihak yang merasa dirugikan atas berlakunya perda
tersebut dapat mengajukan permohonan dengan menempuh dua cara, yaitu
langsung kepada Mahkamah Agung, atau melalui Pengadilan Negeri
(Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1 Tahun 2004). Sebenarnya hal ini
menimbulkan permasalahan yang patut untuk di kaji. Jika merujuk pada
Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU
No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada intinya
menjelaskan bahwa putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang dapat diambil baik berhubungan pada
pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung
pada Mahkamah Agung, maka akan terlihat pertentangan antara PERMA a
quo dengan Undang-Undang a quo. Untuk lebih jelasnya, Pasal 4 PERMA
No.1 Tahun 2004 menjelaskan bahwa :
(1) dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri,
didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dan dibukukan
kedalam buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode :
…….P/HUM/Th…./PN……. Setelah permohonan atau kuasanya yang sah
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
(2) panitera pengadilan negeri memeriksa kelengkapan permohonan
keberatan yang telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasanya yang sah,
dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon
atau kuasanya yang sah;
(3) panitera pengadilan negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Agung pada hari berikut pada hari pendaftaran;
(4) ……..dst.
Dari penjelasan pasal tersebut, terlihat jelas perbedaan makna dari pada
Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa putusan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung,
dilakukan baik yang berhubungan pada tingkat kasasi maupun yang
berhubungan pada permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Artinya, permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang bisa juga dimohonkan kepada pengadilan negeri untuk
selanjutnya dilanjutkan pada tingkatan kasasi. Kejanggalannya ialah tidak
adanya aturan yang menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Negeri
untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Jika berbicara sidang tingkat kasasi, maka sudah tentu telah ada putusan
Pengadilan sebelumnya yang akan ditindak lanjuti di lingkungan
Mahkamah Agung. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang
termuat dalam Pasal 31 Ayat (3) UU No.5 / 2004. Mahkamah Agung
mencoba menginterpretasikan makna dari pasal 31 ayat (3) tersebut
melalui Pasal 4 PERMA No.1 / 2004. Namun jika diperhatikan,
permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri pada pasal a
quo, hanya menunjukkan perpanjangan tangan dari Mahkamah Agung.
Artinya, setelah berkas permohonan dimasukkan ke Pengadilan Negeri,
maka selanjutnya Pengadilan Negeri menyerahkan berkas keberatan
tersebut ke Mahkamah Agung untuk di sidang. Jadi, Pengadilan Negeri
tidak melakukan sidang pengujian terhadap keberatan yang di ajukan oleh
pemohon terkait dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang pada umumnya, dan Perda pada
khususnya. Oleh karena itu, sangat membingungkan pengertian kasasi
yang tertuang dalam pasal 31 ayat (3) UU a quo.
Selanjutnya, mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan pihak
yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu Perda, telah ditegaskan
dalam pasal 31A ayat (3) huruf b UU Nomor 3 Tahun 2009, bahwa:
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan
menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
dan/atau 2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku; Pada bagian pertama dikenal dengan istilah
pengujian materil, sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah
pengujian formil. Dari sini, timbul lagi permasalahan, yaitu Pada bagian
pertama yang apabila dikaitkan dengan pengujian perda, maka landasan
bagi MA untuk menguji perda terhadap undang-undang, adalah materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian isi dari peraturan daerah. Selanjutnya,
pada pasal 31 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 (yang masih tetap
berlaku) menjelaskan bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”
Dari sini, Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian perda bertentangan dengan undang-undang,
maka sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat (2) tersebut, Mahkamah
Agung menyatakan bahwa perda tersebut tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sesuai dengan ketentuan ayat (4). Bagaimana
jika dalam proses pengujiannya, MA hanya menemukan satu ayat, atau
satu pasal, atau satu bagian dalam peraturan daerah tersebut yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jika demikian, maka mau tidak mau, keseluruhan dari peraturan daerah
tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, seperti halnya jika dilakukan pengujian formil. Ketentuan
tersebut bukan hanya berlaku saja pada pengujian perda, melainkan juga
berlaku pada pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang. Apabila materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dipandang
bertentangan dengan undang-undang, maka seluruh materi muatan
perturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut dianggap
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, walaupun
pertentangannya hanya ditemukan pada satu ayat, atau satu pasal, atau satu
bagian saja.
Hal yang perlu juga diperhatikan ialah, adanya batas waktu yang
ditetapkan oleh Mahkamah Agung perihal permohonan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pembatasan
waktu tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) PERMA No.1 Tahun 2004,
yang menyatakan bahwa permohonan keberatan diajukan dalam tenggang
waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Artinya, apabila permohonan
diajukan setelah melewati tenggang waktu tersebut, maka permohonan
tersebut sudah tidak dapat lagi di terima. Hal ini sebenarnya telah
membatasi bahkan menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan
atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan (Perda) untuk
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung. Padahal, bisa saja
ada pihak/masyarakat yang ingin mengajukan permohonan pengujian
suatu Perda ke Mahkamah Agung, namun sudah melewati batas waktu
yang sudah di tentukan (180 hari sejak di tetapkannya Perda tersebut).
Dalam pengujian materil (judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung, sebaiknya bercermin pada prosedur judicial review suatu undang-
undang terhadap UUD yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagai perbandingan, ada baiknya jika meninjau pasal 57 ayat (1) dan (2)
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 57
ayat (1) dan (2) Undang-Undang a quo, disebutkan bahwa:
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam ayat pertama tersebut, menggambarkan tentang amar putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian materil suatu Undang-Undang,
yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan dalam
ayat kedua, menggambarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian formil suatu undang-undang, yaitu pengujian
pembentukan undang-undang terhadap ketentuan prosedur pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD 1945. Dalam ketentuan pengujian
materil tersebut, apabila suatu undang-undang yang dalam hal materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang tersebut
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (UUD 1945), maka yang
dibatalkan hanyalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang yang dimaksud. Berbeda dalam prosedur pengujian materil dalam
lingkungan Mahkamah Agung, yang apabila materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang terbukti bertentangan dengan undang-undang, maka yang
dibatalkan bukanlah materi muatannya, melainkan peraturan perundang-
undangan tersebut secara keseluruhan.
Selanjutnya, Dalam pasal 57 ayat (2), sebenarnya prosedurnya tidak jauh
berbeda dengan Mahkamah Agung jika melihat pasal 31 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 2004 (yang masih tetap berlaku). Hanya
saja, Di lingkungan Mahkamah Agung, tidak terdapat aturan khusus
mengenai tata cara/prosedur pengujian formil peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Yang terdapat hanya aturan khusus
yang mengatur tentang pedoman beracara dalam pengujian materil yang
tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Hak Uji Materil. Sedangkan di lingkungan Mahkamah
Konstitusi, aturan khusus mengenai pengujian materil dan pengujian
formil telah tergabungkan dan dituangkan dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor: 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Setelah itu, dengan
memperhatikan pasal 31A ayat (10) UU No.3 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang di atur dalam peraturan Mahkamah Agung.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang itu terbagi atas dua, yaitu pengujian
materil dan pengujian formil, maka seharusnya Mahkamah Agung
membentuk pula suatu peraturan yang membahas secara teknis mengenai
tata cara/prosedur pengujian formal peraturan-perundang-undangan
dibawah undang-undang. Artinya, jika Mahkamah Agung membentuk
PERMA tentang Hak Uji Materil, maka seharusnya di bentuk juga
PERMA tentang Hak Uji Formil, ataukah bisa juga tata cara/prosedur Hak
Uji Materil dan Hak Uji Formil di gabung saja ke dalam satu PERMA,
sebagaimana yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan PMK-
nya.
Dengan memperhatikan perbandingan tadi, maka tanpa bermaksud
menyinggung kewibawaan Mahkamah Agung sebagai lembaga judicial
penegakan regulasi hukum tertinggi yang mungkin saja merupakan
pengklaiman pada tindakan contempt of court, penulis berpendapat bahwa
alangkah baiknya jika lingkungan Mahkamah Agung dapat bercermin dan
mencontoh Peraturan tentang Pengujian Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, ke dalam lingkup pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang. Hal ini seharusnya dilakukan agar supaya lembaga
Mahkamah Agung tidak terkesan bertindak di luar kewenangannya, yaitu
membatasi kewenangannya sendiri yang juga merupakan bagian dari
kewajibannya.
PENUTUP
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas
karunia-Nya yang dilimpahkan kepada peysusun sehingga dapat
menyelesaikan Tugas Kompetensi Dasar I dengan judul Tugas Pendidikan
Pancasila.. Tugas ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memenuhi tugas Kompetensi Dasar I mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Penyusun menyadari menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Penyusun
siap menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga pengalaman
dalam penyusunan tugas ini menjadi bekal di masa yang akan datang dan
bermanfaat bagi semua pihak.