tugas psikolog.pdf

37
Olbiran Opiksi, 2012 Perbedaaan Perilaku Agresif .... Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU AGRESI 1. Definisi Perilaku Agresi Menurut Buss (1961), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu- individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut. Baik secara fisik atau verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Samahalnya dengan pendapat Berkowitz (1995) yang menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk perilaku yang disengaja untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Sementara itu Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku agresi sebagai suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan Myers (2002), yang menyebutkan bahwa perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa perilaku agresi terjadi dengan bentuk yang berbeda-beda dan dengan tingkat yang berbeda pula, khususnya dalam hal gender antara pria dan wanita (Krahe, 2005). Kemudian suatu perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi apabila memenuhi tiga syarat (Krahe, dalam Hanurawan, 2010). Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

Upload: rifa-de-blitar

Post on 16-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • Olbiran Opiksi, 2012 Perbedaaan Perilaku Agresif ....

    Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. PERILAKU AGRESI

    1. Definisi Perilaku Agresi

    Menurut Buss (1961), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang

    dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-

    individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut. Baik secara

    fisik atau verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Samahalnya

    dengan pendapat Berkowitz (1995) yang menyatakan bahwa agresi merupakan

    segala bentuk perilaku yang disengaja untuk menyakiti seseorang, baik secara

    fisik maupun mental.

    Sementara itu Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku agresi

    sebagai suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau

    mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku

    tersebut. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan Myers (2002), yang

    menyebutkan bahwa perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang

    disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

    Selanjutnya dijelaskan bahwa perilaku agresi terjadi dengan bentuk yang

    berbeda-beda dan dengan tingkat yang berbeda pula, khususnya dalam hal

    gender antara pria dan wanita (Krahe, 2005). Kemudian suatu perilaku dapat

    dikategorikan sebagai perilaku agresi apabila memenuhi tiga syarat (Krahe,

    dalam Hanurawan, 2010). Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

  • 14

    a. Terdapatnya niat individu untk menimbulkan penderitaan atau

    kerusakan pada suatu objek sasaran. Syarat niat ini harus ada dalam

    kerangka untuk membedakan dari perilaku individu yang terjadi secara

    tidak sengaja.

    b. Terdapatnya harapan bahwa suatu perilaku dapat menimbulkan

    penderitaan atau kerusakan pada diri objek sasaran. Syarat harapan ini

    menunjukkan bahwa perilaku agresi berbeda dari perilaku yang oleh

    pelakunya sama sekali tidak diharapkan.

    c. Adanya keinginan objek sasaran untuk menghindari perlakuan

    merugikan yang diberikan oleh pelaku tindakan agresi. Syarat ini

    menunjukkan bahwa perilaku tertentu yang tidak dihindari oleh objek

    sasaran tidak termasuk perilaku agresi.

    Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan

    bahwa agresi merupakan bentuk perilaku yang bersifat destruktif dan

    dilakukan dengan sengaja, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta

    merugikan pihak lain yang tidak dikehendaki oleh yang bersangkutan. Agresi

    termasuk perilaku destruktif karena agresi merugikan pihak lain baik secara

    fisik, psikologis maupun sosial. Agresi dikatakan dengan sengaja karena

    perilaku termotivasi dan pada umumnya tidak sesuai dengan norma dalam

    masyarakat. Jadi, suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan walaupun

    menghasilkan agresi bagi orang lain maka tidak dapat dimasukkan sebagai

    agresi.

  • 15

    2. Teori-teori Agresi

    Teori tentang agresi terbagi dalam beberapa kelompok (Sarwono, 2002)

    yaitu:

    a. Teori Bawaan

    Teori bawaan atau bakat ini terdiri atas teori psikoanalisa dan teori

    Biologi.

    1) Teori Naluri

    Freud dalam teori Psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa

    agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau

    tanatos ini merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Naluri

    seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan sedangkan naluri agresi

    berfungsi mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam

    alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang

    disebut Id yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya dituruti

    (prinsip kesenangan atau Pleasure Principle) dan terletak pada bagian

    lain dari kepribadian yang dinamakan Super Ego yang mewakili

    norma-norma yang ada dalam masyarakat dan Ego yang berhadapan

    dengan kenyataan.

    Kemudian Freud juga membahas tentang adanya insting kematian

    yang dimiliki oleh individu. Insting kematian ini bisa tertuju kepada

    organisme itu sendiri, yang artinya merupakan dorongan perusakan

    diri, atau tertuju ke luar, yang berarti kecenderungan merusak pihak

    lain (Fromm, 2000).

  • 16

    2) Teori Biologi

    Teori biologi ini menjelaskan perilaku agresi, baik dari proses faal

    maupun teori genetika (illmu keturunan). Proses faal adalah proses

    tertentu yang terjadi otak dan susunan saraf pusat. Kenakalan remaja

    lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah testosterone

    meningkat sejak usia 25 tahun. Produksi testosteron yang lebih besar

    ditemukan pada remaja dan dewasa yang nakal, terlibat kejahatan,

    peminum, dan penyalah guna obat dibanding pada remaja dan dewasa

    biasa.

    b. Teori Lingkungan

    Inti dari teori lingkungan adalah perilaku agresi yang merupakan reaksi

    terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi di lingkungan.

    1) Teori Frustrasi-Agresi

    Frustasi hanyalah salah satu dari berbagai penyebab agresi, dan

    merupakan penyebab yang cukup lemah. Myers (2002) menjelaskan

    bahwa frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan peilaku) menciptakan

    suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui

    untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan

    dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain.

    Gambar 2.1

    Teori Dorongan Atas Agresi: Motivasi Untuk Menyakiti Orang Lain (Myers, 2002)

    Kondisi eksternal

    (misalnya frustasi,

    kondisi lingkungan yang tidak

    menyenangkan)

    Dorongan untuk

    menyakiti atau

    melukai orang lain Agresi yang nyata

  • 17

    Adapun hipotesis frustasi-agresi oleh Dollar dkk (Baron & Byrne,

    2005) memberikan pandangan bahwa frustasi mengakibatkan

    terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti

    orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab

    frustasi.

    Selanjutnya pendapat dari Gerungan (1978) menyatakan bahwa

    perilaku agresi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami frustasi

    apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkannya secara intensif

    mengalami hambatan atau kegagalan.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa penyebab dari munculnya perilaku

    agresi berdasarkan faktor frustasi adalah kegagalan dari individu

    memenuhi keinginannya atau terhalangnya suatu keinginan yang

    hendak dicapai.

    2) Teori Belajar Sosial

    Menurut Bandura (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) teori ini

    menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang

    memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar teori

    ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil

    belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang

    ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model. Dengan

    demikian, para ahli teori ini percaya bahwa observasional dan social

    modelling adalah metode yang lebih sering menyebabkan agresi.

    Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresif secara konsisten

  • 18

    akan lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak yang melihat

    model orang dewasa non-agresif, dalam kehidupan sehari-hari model

    perilaku agresi dapat ditemukan dalam keluarga, sub-culture, dan

    mass-media.

    c. Teori Kognitif

    Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi

    sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh individu.

    Model transfer eksitasi yang dipelopori oleh Zillmann menyatakan bahwa

    agresi dapat dipicu oleh ransangan fisiologis (physiological arousal) yang

    berasal dari sumber-sumber yang netral atau sumber-sumber yang sama

    sekali tidak berhubungan dengan atribusi ransangan agresi itu (Krahe,

    2005). Model ini mengemukakan bahwa individu yang membawa residu

    ransang dari aktivitas fisik dalam situasi sosial yang tidak berhubungan, di

    mana mereka mengalami keadaan terprovokasi akan cenderung

    berperilaku agresif dibanding individu yang tidak membawa residu

    semacam itu.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa teori agresi terdiri

    dalam tiga perspektif, yaitu teori bawaan yang terdiri dari teori naluri dan teori

    biologi. Kemudian teori lingkungan yang terdiri dari teori frustasi-agresi

    klasik, teori frustasi-agresi baru, dan teori belajar sosial. Serta teori kognitif.

    Ketiga teori ini menjelaskan mengenai bagaimana proses terjadinya perilaku

    agresi.

  • 19

    3. Jenis-jenis Agresi

    Menurut pendapat Myers (2002) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu

    agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) dan agresi sebagai

    sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi rasa

    benci atau agresi marah (hostile aggression) adalah ungkapan kemarahan dan

    ditandai dengan emosi yang tinggi dimana perilaku agresi ini adalah tujuan

    agresi itu sendiri. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan

    pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak

    menimbulkan kerugian daripada manfaat.

    Agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak

    disertai emosi, bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada

    hubungan pribadi. Agresi disini hanya merupakan sarana untuk mencapai

    tujuan lain, misalnya seorang supporter sepak bola yang memaksa menaiki

    transportasi umum secara illegal untuk menunjukkan fanatisme kelompoknya

    terhadap tim sepak bola yang didukungnya.

    Menurut Atkinson (1999) ada beberapa jenis perilaku agresi yaitu:

    a. Agresi instrumental, yaitu agresi yang ditujukan untuk membuat

    penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik

    benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk

    mewujudkan rasa agresinya, misalnya anggota supporter melakukan

    penyerangan atau melukai orang lain dengan menggunakan suatu

    benda atau alat untuk melukai lawannya.

  • 20

    b. Agresi verbal, yaitu agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi

    secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-

    kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai,

    menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita.

    c. Agresi fisik, yaitu agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai

    pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut,

    misalnya agresi yang pada perkelahian, respon menyerang muncul

    terhadap stimulus yang luas baik berupa objek hidup maupun objek

    yang mati.

    d. Agresi emosional, yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai

    pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak

    memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka,

    misalnya karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan

    ketidakberdayaan. Agresi ini dibangkitkan oleh perasaan tersinggung

    atau kemarahan, tetapi agresi ini hanya sebagai keinginan-keinginan

    (bersifat terpendam), misalnya individu akan merasa terluka jika

    individu lain tidak menghargai dirinya secara langsung, seperti orang

    yang memegang kepala orang lain, orang yang dipegang kepalanya

    akan merasa tersinggung.

    e. Agresi konseptual, yaitu agresi yang juga bersifat penyaluran agresi

    yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal

    maupun fisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara

    konsep atau saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut

  • 21

    menyalurkan agresi, misalnya bentuk hasutan, ide-ide yang

    menyesatkan atau isu-isu yang membuat orang lain menjadi marah,

    terpukul, kecewa ataupun menderita.

    Sementara pendapat lain mengenai perilaku agresi dalam bidang olahraga

    dikemukakan oleh R.H. Cox (Husdarta, 2010) yang mengelompokkan

    perilaku agresif dalam olah raga ke dalam dua kategori. Pertama, Hostility

    Aggresion, yaitu perilaku agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan

    dengan perasaan marah serta bermaksud melukai orang lain atau lawan.

    Perilaku agresif ini sering disebut juga Reactive Aggresion dan Angry

    Aggresion (Buss, 1961). Kedua, Instrumental Aggresion, yaitu perilaku

    agresif yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pertandingan, tanpa

    bermaksud melukai orang lain atau lawan. Lebih lanjut Cox menyebutkan

    bahwa agresi instumental bertujuan untuk memperoleh kemenangan, uang dan

    prestise.

    4. Bentuk-bentuk Perilaku Agresi

    Adapun pendapat Buss (1961) menyatakan bahwa tingkah laku agresi

    dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan

    langsung tidak langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal terletak pada

    perbedaan antara menyakiti fisik (tubuh) orang lain dan menyerang dengan

    kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah pada perbedaan antara

    tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak. Sementara agresi langsung

  • 22

    berarti kontak face-to-face dengan orang yang diserang, dan agresi tidak

    langsung terjadi tanpa kontak dengan orang yang diserang.

    Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework untuk

    mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi antara lain:

    a. Agresi Fisik Aktif Langsung

    Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara

    berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang

    menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti

    memukul, mendorong, menembak, dll.

    b. Agresi Fisik Pasif Langsung

    Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

    cara berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi

    targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti

    demonstrasi, aksi mogok, aksi diam.

    c. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung

    Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain

    dengan cara tidak berhadapan langsung dengan individu/kelompok lain

    yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar

    rumah, menyewa tukang pukul, dll.

    d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung

    Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain

    dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang

  • 23

    menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung,

    seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh.

    e. Agresi Verbal Aktif Langsung

    Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

    cara berhadapan langsung dengan individu atau kelompok lain, seperti

    menghina, memaki, marah, dan mengumpat.

    f. Agresi Verbal Pasif Langsung

    Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

    cara berhadapan dengan individu/kelompok lain, namun tidak terjadi

    kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.

    g. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung

    Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

    cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain

    yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba.

    h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung

    Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

    cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi

    targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak

    memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku agresi pada

    awalnya digolongkan kedalam tiga dimensi pokok, yaitu fisik-verbal, aktif-

    pasif, dan langsung-tidak langsung. Dari ketiga dimensi ini dihasilkan suatu

    framework untuk mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi antara

  • 24

    lain: agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik

    pasif langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif langsung,

    agresi verbal aktif tidak langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal

    pasif tidak langsung. Dalam penelitian ini kedelapan bentuk perilaku agresi

    yang dikemukakan oleh Buss tersebut akan digunakan sebagai dimensi

    perilaku agresi.

    5. Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi

    Perilaku agresi individu tidak terjadi secara tanpa alasan atau tanpa

    penyebab tertentu, melainkan ada faktor-faktor sebagai berikut yang memicu

    terjadinya perilaku agresi tersebut;

    Beberapa faktor penyebab perilaku agresi menurut Davidoff (1991), yaitu:

    a. Faktor Biologis, bahwa ada tiga faktor biologis yang mempengaruhi

    perilaku agresi yaitu:

    1) Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang

    mengatur perilaku agresi.

    2) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat

    memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang

    mengendalikan agresi. Orang yang berorientasi pada kenikmatan

    akan sedikit melakukan agresi dibandingkan dengan orang yang

    tidak pernah mengalami kesenangan dan kegembiraan.

    3) Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan

    faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.

  • 25

    Wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon

    kewanitaan yaitu estrogen dan progresterone menurun

    jumlahnya. Akibatnya banyak wanita mudah tersinggung,

    gelisah, tegang dan bermusuhan.

    b. Faktor Psikologis, psikologis individu dalam kenyataannya juga

    memiliki peranan untuk memunculkan perilaku agresif.

    1) Amarah, marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri

    aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya

    perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan

    adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin

    juga tidak dan saat marah ada perasaan ingin menyerang,

    meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan timbul

    pikiran yang kejam. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan

    bahwa agresi merupakan salah satu respon terhadap marah.

    Sebagai akibat dari kekecewaan, sakit fisik, penghinaan atau

    ancaman yang sering memancing marah dan akhirnya

    menstimulus reaksi agresif individu (Mu`tadin, 2002).

    2) Frustasi, Dollar dkk. (Baron & Byrne, 2005) membuat dua

    pernyataan penting mengenai agresi: (1) frustasi selalu

    memunculkan bentuk tertentu dari agresi, dan (2) agresi selalu

    muncul dari frustasi. Singkatnya, teori ini memandang bahwa

    orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan

    semua tindakan agresi, sebaliknya, berasal dari frustasi.

  • 26

    Selanjutnya perndapat lain menyatakan bahwa frustasi terjadi

    bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu

    tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan

    tertentu. Adapun menurut Miller (Krahe, 2005) menyatakan

    bahwa frustasi menyebabkan sejumlah respon berbeda. Salah

    satu diantaranya adalah munculnya bentuk-bentuk agresi tertentu.

    Akibat frustasi, individu cenderung akan menyalurkannya

    melalui tindakan-tindakan negatif. Mereka cenderung lebih

    sensitif, mudah marah dan bahkan berperilaku agresif (Gerungan,

    1978).

    c. Faktor Situasional, ini merupakan stimulus yang muncul pada situasi

    tertentu yang mengarahkan perhatian individu ke arah agresi sebagai

    respon potensial. Faktor-faktor ini diantaranya adalah alkohol,

    kepadatan dan temperatur/suhu.

    1) Alkohol memberikan pengaruh perilaku agresif untuk situasi-

    situasi tertentu pada individu. Ada berbagai temuan yang

    menyatakan bahwa alkohol memperlihatkan memainkan peranan

    penting dalam praktik kriminalitas dengan kekerasan, termasuk

    pembunuhan. Alkohol juga telah ditengarai sebagai faktor sentral

    dalam berbagai macam agresi kelompok (kolektif), seperti agresi

    huru-hara maupun agresi geng.

  • 27

    2) Kepadatan

    Dalam bidang psikologi telah lama diketahui bahwa kepadatan

    berkorelasi erat dengan perilaku agresif, dalam berbagai kajian

    psikologi telah menjadi teori umum bahwa kepadatan (dense)

    dalam sebuah ruangan menyumbang erat persepsi orang terhadap

    kesesakan (crowd) yang akhirnya menghasilkan periaku agresif

    (Hakim, 2008).

    d. Suhu (Temperatur), merupakan keadaan cuaca di suatu wilayah

    tertentu. Berbagai pandangan menyatakan bahwa suhu suatu

    lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku

    sosial, berupa peningkatan agresifitas (Mu`tadin, 2002). Selajutnya

    Anderson, Bushman dan Groom (Krahe, 2005) menyatakan bahwa

    temperatur tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun

    perilaku agresif.

    e. Faktor Sosial, berbagai kondisi sosial yang merugikan ditelaah

    sebagai penyebab potensial timbulnya tingkah laku agresif pada

    individu (Krahe, 2005). Termasuk faktor sosial ini adalah sebagai

    berikut:

    1) Keluarga, keluarga adalah yang mendasari segala segi

    perkembangan pribadi seorang individu. Pengaruh-pengaruh

    orang yang tinggal di sekeliling sangat berpengaruh terhadap

    perkembangan kepribadiannya, apakah hal itu memberi pengaruh

  • 28

    baik ataupun buruk. Diantara pengaruh-pengaruh tersebut adalah

    kondisi-kondisi, seperti :

    a) Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar.

    b) Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga

    diantara orang tua dan saudara-saudara.

    c) Rumah tangga yang berantakan karena kematian salah

    seorang dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian

    atau karena melarikan diri dari rumah.

    d) Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus

    bertengkar dan kurangnya stabilitas emosi.

    e) Tidak terdapatnya persesuaian pendidikan, disiplin dan tujuan

    hidup yang dicita-citakan oleh orang tua untuk anaknya.

    f) Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak

    sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat

    menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di

    sekolah. Individu yang yang dalam perkembangannya merasa

    tidak dihargai dan tidak dipahami serta tidak diterima seperti

    apa adanya oleh lingkungan sekitar, terutama oleh orang tua

    dirumah, maka ia akan cenderung untuk lari dari situasi riil di

    depan mata, sehingga acapkali mereka melakukan tindakan

    yang tidak jelas arah dan tujuannya (Yusuf, 2004).

    Selanjutnya Coie dan Dodge (Krahe, 2005) menyatakan

  • 29

    bahwa anak-anak yang dianiaya dan ditelantarkan

    memperlihatkan tingkat agresi yang lebih tinggi .

    g) Kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak.

    komunikasi yang semakin minimal disebabkan banyak tidak

    menyambungnya atau bahkan tidak jarang malah

    menimbulkan pertengkaran dari kedua pihak. Kegagalan

    komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu

    penyebab timbulnya perilaku agresi pada individu (Gunarsa

    & Gunarsa, 2003).

    h) Kesenjangan Generasi, adanya perbedaan atau jurang

    pemisah (gap) antara anak dengan orangtuanya, dapat terlihat

    dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal

    dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi

    orangtua dan anak diyakini sebagai penyebab timbulnya

    perilaku agresi pada individu.

    i) Proses pendisiplinan yang keliru. Pendidikan disiplin yang

    otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan

    dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan

    berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Disiplin orang

    tua yang keras memiliki hubungan yang tinggi dengan

    agresifitas anak-anaknya, antara lain karena anak-anak itu

    menganggap hukuman badan sebagai bentuk tindakan

    mengatasi konflik yang dapat diterima (Yusuf, 2004).

  • 30

    Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi

    seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan

    membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan

    spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan

    kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

    2) Masyarakat, pengaruh yang dominan adalah perubahan sosial

    kehidupan masyarakat yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa

    yang sering menimbulkan ketegangan, seperti revolusi,

    ketidakpuasan pekerjaan, persaingan dalam perekonomian,

    terjadinya diskriminasi, korupsi, pengangguran, fasilitas rekreasi

    (seperti play station ), dan penyelenggaraan klub-klub malam,

    seperti diskotik Kondisi-kondisi yang tidak menggembirakan

    seperti ini akan dapat menjadi faktor pendorong munculnya

    perilaku agresif.

    Selanjutnya menurut Lorenz (Dayakisni dan Hudaniah, 2009), perilaku

    agresi dapat muncul karena beberapa faktor, antara lain:

    a. Deindividuasi

    Deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan

    dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi

    lebih intens. Deindividuasi memperbesar kemungkinan terjadinya agresi

    karena deindividuasi menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa

    aspek yang terdapat pada individu yakni, identitas diri atau personalitas

  • 31

    individu pelaku maupun identitas diri korban agresi dan keterlibatan

    emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya.

    Bagi setiap individu yang secara psikologis sehat (well-adjusted),

    identitas dirinya maupun identitas individu-individu lain merupakan

    hambatan personal yang bisa mencegah pengungkapan agresi atau

    setidaknya bisa membatasi intensitas agresi yang dilakukannya. Karena

    itulah dengan hilangnya (untuk sementara) identitas diri pelaku dan target

    (calon korban) kemungkinan munculnya agresi menjadi lebih besar, lebih

    leluasa dan intens. Demikian pula dengan tidak adanya keterlibatan

    emosional pelaku dengan korbannya, maka pelaku agresi bisa menutup

    mata atas akibat-akibat yang diderita oleh korbannya atau kehilangan rasa

    kasihan sehingga menjadi lebih tega dalam melakukan agresi atas

    korbannya itu (Dayakisni & Hudaniah, 2009).

    b. Kekuasaan dan Kepatuhan

    Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat

    dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan

    (complience). Bahkan kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh

    yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresi individu. Milgram

    (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) menyatakan kepatuhan individu terhadap

    otoritas atau penguasa mengarahkan individu tersebut kepada agresi yang

    lebih intens, karena dalam situasi kepatuhan individu kehilangan tanggung

    jawab (tidak merasa bertanggung jawab) atas tindakan-tindakannya serta

    meletakkan tanggung jawab itu pada penguasa.

  • 32

    c. Provokasi

    Agresi adalah hasil provokasi (provocation) fisik atau verbal dari

    orang lain. Ketika individu sedang menerima suatu bentuk agresi dari

    orang lain, kritik yang tidak adil, ungkapan sarkastis, atau kekerasan fisik,

    maka individu jaran mengalah. Sebaliknya, individu cenderung untuk

    membalas, memberikan agresi sebanyak yang diterima, atau mungkin

    lebih sedikit, terutama jika individu itu merasa orang lain tersebut sudah

    pasti menyakitinya (Ohara & Ochbucci, dalam Baron & Byrne, 2005).

    Sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetus agresi, karena

    provokasi itu oleh para pelaku agresi dilihat sebagai ancaman yang harus

    dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang

    diisyaratkan oleh ancaman itu (Myers, 2002). Dalam menghadapi

    provokasi yang mengancam, para pelaku agresi agaknya cenderung

    berpegang pada prinsip bahwa dari pada diserang lebih baik mendahului

    menyerang, atau daripada dibunuh lebih baik membunuh. Juga terdapat

    kecenderungan menggunakan provokasi sebagai dalih untuk melakukan

    agresi meskipun provokasi itu tidak bersifat mengancam. Dalam berbagai

    kasus, pelaku agresi bahkan menggunakan provokasi yang diciptakannya

    sendiri sebagai pembenar atau dalih bagi agresi yang dilakukannya.

    d. Pengaruh Obat-obatan Terlarang (Drug effect)

    Banyak terjadi perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang

    mengkonsumsi alkohol. Menurut hasil penelitian Phil dan Ross (Dayakisni

    & Hudaniah, 2009) mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi

  • 33

    meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang diprovokasi.

    Sementara Lang, dkk. (Dayakisni & Hudaniah, 2009) menjelaskan bahwa

    pengaruh alkohol terhadap perilaku agresi tidak semata-mata karena

    proses farmakologi, karena orang tidak terprovokasi untuk meningkatkan

    agresi bahkan dalam kondisi mengkonsumsi alkohol dengan dosis tinggi.

    Harapan-harapan dari beberapa peminum tentang pengaruh alkohol

    mungkin menjadikan suatu isyarat (cues) bagi perilaku agresif. Namun

    ternyata proses ini tidak terjadi pada setiap orang tentang apakah alkohol

    akan merangsang perilaku agresif. Penjelasan lain menyatakan bahwa

    mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses

    kognitif terutama pada informasi yang kompleks dan menyebabkan

    gangguan kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan

    seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit.

    Gangguan kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-

    isyarat (cues) yang samar sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan

    interpretasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau

    mengancam dirinya (Taylor, dalam Breakwell, 1998).

    Berbeda dengan alkohol, marijuana biasanya mengakibatkan

    perasaan senang, euphoria, dan jarang dikaitkan dengan tindakan

    kekerasan. Akan tetapi phencyllidrine tampaknya berhubungan langsung

    dengan kekerasan. Tindakan kekerasan terjadi segera setelah

    mengkonsumsi atau selama dalam pengaruh obat itu. Sedangkan

    barbiturates tampaknya menimbulkan perasaan mudah terangsang

  • 34

    (irritability), permusuhan dan agresi terbuka. Streroids yang digunakan

    para atlit untuk meningkatkan kemampuan ternyata dalam dosis besar

    dapat meningkatkan reaksi kemarahan, demikian pula cocaine sering

    digunakan dalam kekerasan instrumental (suatu bentuk kekerasan yang

    dilakukan untuk memperoleh uang yang pada gilirannya digunakan untuk

    membeli obat-obat terlarang) yang mempunyai efek menimbulkan

    paranoia dan meningkatkan agresivitas 15-20% pada penggunanya,

    khususnya bila digunakan bersama-sama dengan alkohol (Brigham, 1991,

    dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Mengingat kebanyakan obat-obat

    demikian adalah ilegal dan mahal harganya, maka para pengguna

    seringkali melakukan agresi instrumental untuk memperoleh uang guna

    mendukung kebiasaannya.

    Kemudian menurut Breakwell (1998) faktor-faktor pemicu perilaku agresi

    paling umum adalah sebagai berikut:

    a. Intensifikasi rangsangan permusuhan.

    b. Awal kehilangan kendali yang diakibatkan oleh obat-obatan dan

    sebagainya.

    c. Kesadaran tiba-tiba bahwa tidak ada pilihan alternatif selain

    penggunaan kekerasan.

    d. Adanya isyarat-isyarat yang menunjang kekerasan, misalnya:

    hadirnya orang-orang lain atau anggota-anggota kelompok sebaya

    yang dipandang merestui kekerasan.

  • 35

    e. Meningkatnya kesadaran bahwa tindak kekerasan dapat diganjar

    dengan penghargaan.

    f. Penggunaan kata-kata yang dikenal provokatif bagi orang yang

    bersangkutan (kata-kata ini sering disebut ejekan).

    g. Dialaminya perubahan-perubahan besar mendadak dalam hidup orang

    yang bersangkutan, atau datangnya pencetus stress baru.

    h. Pelaku yang mengidap psikosis.

    Selanjutnya Breakwell (1998) menjelaskan tentang anonimitas individu

    dalam kelompok, bahwa seseorang yang berada di dalam kelompok cenderung

    lebih agresif dan irrasional serta penuh dengan emosi-emosi permusuhan

    daripada ketika mereka bertindak sebagai individu. Mereka merasa anonim

    dalam kelompok itu dan merasa dapat berperilaku agresi tetapi terbebas dari

    konsekuensi-konsekuensinya secara metaforis dan kadang secara harfiah

    karena mereka adalah salah satu bagian dari masa yang tidak dapat

    diidentifikasikan. Dengan kata lain seseorang yang berada dalam suatu

    kelompok tidak dipandang sebagai individu melainkan sebagai bagian kecil

    dari kelompok itu sendiri. Sehingga apapun yang dilakukan seseorang tersebut

    dengan kelompoknya tidak menjadi tanggung jawabnya secara individu.

    Selain itu dalam Sarwono dan Meinarno (2009) perilaku agresif juga

    disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya:

    a. Situasional

    Harries. K dan Stadler (Sarwono dan Meinarno, 2009) melakukan

    penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku dimana disebutkan bahwa

  • 36

    ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk-

    bentuk agresi lainnya. Hal yang paling sering muncul ketika udara panas

    adalah timbulnya rasa tidak nyaman yang berujung pada meningkatnya

    agresi sosial.

    b. Sumber Daya

    Manusia senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Salah satu

    pendukung utama kehidupan manusia adalah daya dukung alam. Daya

    dukung alam terhadap manusia tidak selamanya memenuhi kebutuhan

    tersebut. Di awali dengan tawar-menawar. Jika tidak tercapai kesepakatan,

    maka akan terbuka dua kemungkinan besar. Pertama, mencari sumber

    pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak lain yang

    memilikinya.

    c. Media Massa

    Menurut Ade E. Mardiana (Sarwono dan Meinarno, 2009), tanyangan

    dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya. Hal yang

    dinyatakan Mardiana tampak tidak terlalu mengherankan, mengingat hasil

    penelitian klasik Bandura tentang modelling kekerasan oleh anak-anak.

    Khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan

    dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk

    mengamati apa yang disampaikan secara jelas. Beberapa penelitian tentang

    televisi dan kekerasan menyimpulkan secara teoritis bahwa perilaku

    agresif yang disebabkan oleh televisi terjadi melalui proses belajar sosial.

  • 37

    Acara televisi yang menyuguhkan adegan kekerasan akan

    menimbulkan ransangan dan memungkinkan individu yang melihatnya,

    terlebih mereka yang berusia muda,meniru model kekerasan seperti itu.

    Situasi tiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam, sedikit

    demi sedikit anak memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal

    yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof, dalam

    Sarwono dan Meinarno, 2009). Dengan menyaksikan adegan kekerasan

    tersebut terjadilah proses belajar sosial dari model yang melakukan

    kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Ada penularan

    perilaku (Fisher dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) yang disebabkan

    oleh seringnya seseorang melihat tanyangan perilaku agresi melalui

    televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi

    seperti pembunuhan, tawuran, dan penganiayaan.

    Kemudian dalam suatu penelitian longitudinal memaparkan beberapa

    pernyataan yaitu: Pertama, individu mungkin belajar cara baru atau cara-

    cara yang tiak mereka bayangkan sebelumnya untuk melakukan agresi dari

    menonton televisi dan film. Kedua adanya dampak efek desentilisasi yaitu

    setelah menonton banya adegan kekerasan, individu menjadi bebal pada

    kesakita dan penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi

    emosional yang lebih sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-

    tanda kekerasan seperti itu dan hal ini kemungkina akan mengurangi

    pertahanan mereka sendiri untuk menolak terlibat dalam agresi

    (Huersmann & Eron, dalam Baron & Byrne, 2005).

  • 38

    6. Faktor-faktor yang Mengurangi Hambatan Berperilaku Agresif

    a. Rendahnya kesadaran diri (self-awareness)

    Rendahnya kesadaran diri dapat mengurangi hambatan (inhibition)

    untuk berperilaku agresi adanya anonimitas, tingginya arousal emosional,

    kekaburan tanggung jawab, keanggotaan dalam suatu kelompok yang

    kohesif dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran publik maupun

    kesadaran diri pribadi. Rendahnya kesadaran diri publik menghasilkan

    perasaan tertentu sehingga seseorang tidak lagi mempertimbangkan orang

    lain dan merasa tidak perlu atau tidak memiliki kebutuhan untuk takut

    terhadap kecaman atau pembalasan dendam atas perilakunya

    (disinhibition). Rendahnya kesadaran diri pribadi membimbing kepada

    keadaan deindividuasi (tidak merasa dirinya sebagai individu yang unik),

    yang mengakibatkan perhatiannya menjadi lebih rendah terhadap pikiran,

    perasaan, nilai-nilai dan standar perilaku yang dimilikinya. Karena itu,

    rendahnya kesadaran diri baik kesadaran diri publik maupun kesadaran diri

    pribadi akan meningkatkan kesempatan terjadinya perilaku agresi, karena

    kendali yang dipusatkan pada agresi melemah (Dayakisni dan Hudaniah,

    2009).

    b. Dehumanisasi

    Hambatan untuk tidak menyakiti orang lain juga dapat menjadi rendah

    jika seseorang menganggap atau melihat target person dari tindakan

    agresinya itu bukan sebagai manusia (sebagai setan, binatang) atau

    melakukan dehumanisasi pada korban. Adanya dehumanisasi ini

  • 39

    mengurangi perasaan bersalah dan kecemasan sehingga perilaku agresi

    menjadi kurang peka terhadap atau tidak empati terhadap penderitaan si

    korban (Dayakisni dan Hudaniah, 2009).

    c. The culture of honor

    Norma dan nilai yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat

    juga berpengaruh terhadap perilaku agresif. Bermula dari penelitian

    Richard Nisbett & Dove Coven (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) yang

    menemukan adanya perbedaan tingkah laku agresi secara regional antara

    Amerika Selatan dan Amerika Utara, dimana kecenderungan tingkat

    kekerasan di Amerika Latin lebih tinggi daripada Amerika Utara.

    Selanjutnya dijelaskan hal ini terjadi karena adanya perbedaan kultur.

    Orang-orang Amerika Selatan memiliki nilai kultur yang disebut dengan

    culture of honor yakni menekankan berlebihan atas kejantanan,

    ketangguhan, dan kesediaan/kemauan serta kemampuan untuk membalas

    kesalahan atau hinaan dari orang lain untuk mempertahankan kehormatan.

    Sehingga mereka menjadi lebih sensitif terhadap hinaan atau ancaman

    yang mengarah kepada kehormatan diri, dan hal ini membangkitkan suatu

    kewajiban untuk merespon dengan kekerasan untuk melindungi atau

    memantapkan kembali kehormatannya.

    Selanjutnya dalam pemaparan lain menurut pendapat dari Segal, dkk

    (Dayakisni dan Yuniardi, 2008) mengemukakan bahwa anteseden atau

    faktor-faktor penyebab perilaku agresi dalam telaah lintas budaya adalah

    ekologis dan struktural. Penyebab-penyebab ini mencakup kemungkinan-

  • 40

    kemungkinan adanya konflik atas sumber-sumber yang langka, frustasi,

    norma-norma yang mendukung resolusi konflik, pengasuhan anak, dan

    jenis-jenis perilaku yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mungkin

    menjadi model untuk ditiru. Semua anteseden atau penyebab ini ada dalam

    setiap budaya tetapi beragam dalam setiap budaya.

    Kemudian penelitian oleh Landau (Dayakisni dan Yuniardi, 2008)

    menyatakan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh lemahnya kontrol

    sosial (social control), serta dipengaruhi oleh menurunnya dukungan

    sosial (social support).

    B. SUPPORTER SEPAK BOLA DI KOTA BANDUNG

    Supporter merupakan salah satu komponen penting dan menjadi simbol

    kekuatan sebuah tim sepak bola. Supporter berbeda dengan penonton meskipun

    pada praktiknya sama, yaitu sama-sama menyaksikan dan memberi dukungan.

    Tetapi penonton memiliki makna yang lebih luas daripada supporter.

    Supporter adalah sekelompok orang yang memberikan dukungan tertentu pada

    ikhwal tertentu pula (Irpani, 2010). Supporter sepakbola adalah penggemar yang

    langsung melihat dan merasakan spirit permainan sepakbola di dalam stadion

    (www.ilove football.com). Selanjutnya Soekanto (Irpani, 2010), menjelaskan

    definisi supporter sebagai suatu bentuk kelompok sosial yang secara relatif tidak

    teratur dan terjadi karena ingin melihat sesuatu (spectator crowds). Supporter

    bersifat aktif, memberikan dukungan dengan dilandasi oleh perasaan cinta dan

    fanatisme tertentu.

  • 41

    Dalam segi jumlah supporter, anggota kelompok supporter sepak bola Persib

    Bandung (Bobotoh) merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Kelompok

    supporter ini terbagi atas kelompok mikro diantaranya Viking dan Bombers.

    1. Kelompok Supporter Viking

    Nama Viking diambil dari nama sebuah suku bangsa yang mendiami

    kawasan Skandinavia di Eropa Utara. Suku bangsa tersebut dikenal dengan

    sifat yang keras, berani, gigih, solid, patriotis, berjiwa penakluk, pantang

    menyerah, serta senang menjelajah. Karakter dan semangat itulah yang

    mendasari pengadopsian nama Viking kedalam nama kelompok yang telah

    dibentuk.

    Secara demonstratif, Viking Persib Club pertama kali mulai menunjukan

    eksistensinya pada Liga Indonesia I tahun 1993, yang digemborkan sebagai

    kompetisi semi-professional pertama di Indonesia. Idealisme Viking Persib

    Club adalah sebuah kelompok bukanlah organisasi atau fans club dengan

    segala aturan-aturan formal yang mengikatnya. Setiap anggota atau Vikers

    adalah bagian dari sebuah keluarga, dan layaknya sebuah keluarga,

    keberagaman sifat dan tingkah laku yang berada didalamnya adalah

    merupakan sesuatu hal yang lumrah, dan Viking akan selalu berusaha untuk

    mengakomodir keberagaman tersebut.

    Kelompok supporter Viking dapat dikatakan sebagai kelompok sosial,

    karena didalamnya terdapat sekumpulan individu yang berinteraksi secara

    bersama-sama serta memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan oleh

    kehendak dan perilaku yang disepakati. Para anggota Viking sebagian besar

  • 42

    didominasi oleh remaja dan dewasa awal. Tetapi hubungan pertemanan dan

    kekeluargaan diantara mereka yang tulus, erat tanpa pamrih serta rasa

    persaudaraan yang tinggi menjadi modal yang kuat bagi Viking untuk terus

    eksis selama beberapa dekade.

    Keanggotaan Viking Persib Club yang semakin besar, jelas menuntut

    sebuah tanggung jawab serta pengaturan yang sedemikian rupa secara

    professional, agar dapat lebih terukur dari segi pendataan, keuangan, rutinitas

    maupun manajerial. Para anggota Viking Persib Club juga dituntut untuk lebih

    aktif dalam menjalin kerjasama dan hubungan yang konstruktif dengan

    manajemen Persib. Namun tentu saja semua formalitas tersebut tidak akan

    menghilangkan warna, ciri khas serta karakter Viking Persib Club. Viking

    Persib Club murni lahir secara independen berdasarkan inisiatif dari para

    Bobotoh dari golongan grass root. Dalam pandangan Viking, supporter tidak

    hanya berperan sebagai tukang sorak saat menyaksikan dan mendukung

    kesebelasan kesayangannya, tetapi peran supporter harus lebih dari itu. Dia

    harus menjadi pembangkit semangat saat tim kesayangannya jatuh bangun

    menunaikan tugasnya di lapangan. Supporter juga harus menjadi kekuatan

    tambahan bagi para pemain dilapangan.

    Kepemimpinan dan Kepengurusan Viking Persib Club sejak awal

    berdirinya hingga saat ini diketuai oleh Heru Joko, dengan Panglima Ayi

    Beutik. Kata Panglima disini adalah sosok Ibu dalam keluarga, pengasuh

    bagi anak-anaknya, sosok yang memimpin serta melindungi para anggota

    apabila terjadi sesuatu dilapangan. Sedangkan jabatan Ketua Umum yang

  • 43

    disandang Heru Joko, adalah sebagai figur kharismatik yang memiliki fungsi

    politis keluar organisasi atau kelompok lain. Lain halnya dengan Yoedi Baduy

    yang menjabat sebagai Sekretaris Umum, ia mengelola dan mengkoordinir

    segala bentuk kegiatan secara administratif (http://www.persibsaalamdunya.com).

    2. Kelompok Supporter Bombers

    BOMBERS (Bobotoh Maung Bandung Bersatu) adalah organisasi

    supporter PERSIB Bandung yang berdri pada tanggal 3 Agustus 2001.

    BOMBERS terkenal fanatis, cerdas, kreatif, inovatif, dan selalu tanpa henti

    bergoyang memberikan yel-yel di tribun selatan untuk Pangeran Biru yang

    sedang bertanding (http://www.persibsaalamdunya.com/profile).

    Bomber merupakan salah satu dari beberapa kelompok bobotoh yang ingin

    meramaikan laga Persib di Liga Indonesia (http://www.persib.web.id). Ketua

    Umum Bombers, Asep Saepudin Abdul, menegaskan, anggota Bombers kota

    Bandung berjumlah 400 orang. Anggota Bombers juga tersebar di seluruh

    Jawa Barat dengan sekretariat di Jalan Babakan Ciparay No 140,

    Bandung. Bombers Sejak lama, jika menyaksikan Persib menjamu musuhnya,

    anggota Bombers selalu menempatkan diri di tribun selatan.

    Cikal bakal Bombers berasal dari kelompok bobotoh yang menamakan

    diri Persib Stones Lover. Kelompok ini berdiri tahun 90-an dan mereka

    pencinta Persib sekaligus penggemar grup musik Rolling Stones.

    Bombers atau Bobotoh Maung Bandung Bersatu mulai dirintis sejak 1997

    tak kurang dari dua lusin perkumpulan bobotoh telah menyatakan sikap untuk

    berafiliasi dan akhirnya mendeklarasikan bomber di hotel Santika Bandung

    http://www.persibsaalamdunya.com/profilehttp://www.persibsaalamdunya.com/profile

  • 44

    pada tanggal 3 agustus 2001. Dalam berdemokrasi bomber membebaskan

    perkumpulan yang berada dalam pondasi bomber untuk tetap memakai atribut

    kebesaran mereka masing-masing namun jika sudah berada dilapangan

    merekapun sepakat hanya akan mengibarkan bendera bomber.

    Dalam perjalananya bomber sudah mengalami empat kali pergantian ketua

    umum yaitu Asep S Abdul, Arip Maulana Yusuf, Arief Maulana DJ, dan pada

    tahun 2007 kembali diketuai oleh Asep S Abdul hingga sekarang. Pada tahun

    2006 Bomber sempat meleburkan diri bersama Viking Persib Club dan

    menjadi distrik viking terbesar dengan nama Viking The Bomberman namun

    hanya jelang satu tahun pada tahun 2007 bomber kembali mencoba mandiri

    dan menjadi organisasi yang independent dengan nama Bombers.

    Bombers mempunyai tujuan untuk mendukung Persib Bandung dalam

    semua lingkup kegiatannya, mendukung timnas Indonesia dalam kancah

    persepakbolaan Nasional dan Internasional, bomber juga berkomitmen untuk

    membangun supporter sepak bola yang kritis, kreatif, tertib, santun, cerdas dan

    bertanggung jawab demi Persib.

    Dalam kepengurusan Bombers (The Bomber) tingkat tertinggi adalah

    Mabes Pusat yang membawahi kepengurusan Mabes Kota/Kabupaten untuk

    tingkat Kota/Kabupaten, Rayon untuk tingkat Kecamatan, dan Ranting untuk

    tingkat Kelurahan yang berlaku diseluruh daerah di Indonesia dan diawasi

    langsung oleh Dewan pembina, Dewan penasehat, dan Dewan pelindung

    Bombers. (http://bomberpersib.com).

    http://bomberpersib.com/

  • 45

    C. HASIL PENELITIAN TERDAHULU

    Penelitian ini merujuk dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk

    memperkaya bahasan dan kajian peneliti. Dari beberapa penelitian yang pernah

    dilakukan sebelumnya didapat bahasan mengenai faktor-faktor yang

    menyebabkan terjadinya perilaku agresi oleh individu dan pengaruh kompetisi

    sepak bola yang buruk terhadap perilaku agresif penontonnya.

    Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyuni (2005) menjelaskan

    bahwa Agresi adalah perilaku fisik dan verbal yang disengaja untuk melukai

    orang lain atau organisme lain. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa

    lingkungan sosial seperti keluarga dan teman-teman sebaya yang paling

    mempengaruhi terbentuknya perilaku agresi mahasiswa. Selain itu, para

    mahasiswa juga dipengaruhi oleh kedua faktor baik internal maupun eksternal.

    Faktor internal yang mempengaruhi meliputi kepribadian tipe A, harga diri,

    amarah, dan temperamen. Sedangkan, faktor ekternal yang mempengaruhi adalah

    sesak jejal, serangan, pengaruh kelompok.

    Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Stejianny (2003) menjelaskan

    bahwa pengalaman memperoleh hukuman fisik sejak masa anak memiliki

    hubungan dengan perilaku agresif saat remaja. Dalam lingkungan keluarga

    tersebut, pola asuh orangtua memegang peranan penting dalam proses

    perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya, ada orangtua yang menggunakan

    hukuman fisik. Hukuman fisik adalah perlakuan kasar orangtua secara jasmani,

    yang dapat menimbulkan rasa sakit sebagai risiko atau akibat dari kesalahan yang

    dilakukan seseorang. Sedangkan perilaku agresif adalah suatu perilaku fisik atau

  • 46

    tindakan yang bermaksud untuk menyakiti orang lain dalam bentuk kemarahan

    yang hebat dan serangan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengalaman

    memperoleh hukuman fisik sejak masa anak berkorelasi dengan perilaku agresif

    saat remaja. Semakin sering, semakin berat, dan semakin banyak variasi hukuman

    fisik yang diterima seseorang, maka semakin sering, dan semakin banyak perilaku

    agresifnya muncul.

    Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2004) menjelaskan

    bahwa salah satu dampak perilaku kekerasan fisik yang dilakukan itu pada

    anaknya adalah munculnya perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat

    dipelajari anak melalui belajar sosial yaitu melalui peniruan tingkah laku dari

    orang-orang terdekat khususnya ibu. Peniruan tingkah laku ibu terhadap anak

    berlanjut sampai anak beranjak remaja. Hal ini dapat terlihat dari tawuran-tawuran

    pelajar yang banyak dilakukan oleh para pelajar SMP khususnya SMP Negeri.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuat atau lemahnya hubungan antara

    perilaku kekerasan fisik ibu pada anaknya terhadap munculnya perilaku agresif

    anak SMP. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan perilaku kekerasan

    fisik ibu pada anaknya terhadap munculnya perilaku agresif anak SMP.

    Selanjutnya penelitian tentang agresi relasional di Indonesia yang

    ditindaklanjuti oleh Pidada (2003) dengan menemukan fakta bahwa agresi fisik

    lebih banyak dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan lebih banyak

    melakukan agresi relasional. Perbedaan gender dalam tindak agresi ditemukan

    lintas kelompok usia baik pada usia yang lebih muda (masa anak-anak/middle

    childhood) maupun di usia yang lebih tua (masa anak-anak akhir/late childhood).

  • 47

    Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yahya (2010) menyimpulkan

    bahwa sebuah kompetisi yang buruk menciptakan budaya yang buruk pula kepada

    supporter. Hal ini merupakan Output dari tindakan kekerasan supporter yang

    terjadi dalam sebuah pertandingan.

    Adapun keistimewaan penelitian yang akan dilaksanakan ini mengangkat tema

    tentang perbedaan perilaku agresi individu di dalam kelompok sosial, yaitu salah

    satu kelompok supporter sepak bola terbesar di Indonesia, supporter Persib

    Bandung. Selain itu penelitian ini juga akan memberikan informasi tentang

    berbagai perilaku agresi yang dilakukan oleh anggota kelompok supporter Viking

    dan Bombers saat menyaksikan pertandingan Persib di stadion.

    Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

    penelitian dengan mengangkat judul tentang: Perbedaan Perilaku Agresif

    Anggota Kelompok Supporter Sepak Bola Persib Bandung antara Anggota

    Kelompok Supporter Viking dan Bombers Kota Bandung.

    D. KERANGKA BERPIKIR

    Peristiwa-peristiwa olahraga memang menyediakan garis besar potensial

    untuk perilaku agresif, baik untuk para atlet yang terlibat maupun penontonnya.

    Sifat asertif permainan sepak bola maupun agresi yang diperlihatkan oleh

    pemainnya selama pertandingan memberikan stimulus agresif tambahan yang bisa

    menguatkan kecenderungan agresif penontonnya. Simon dan Tylor (Krahe, 2005)

    menyatakan bahwa olahraga yang membutuhkan kontak fisik ekstensif lebih

    mungkin meningkatkan kecenderungan agresif penontonnya.

  • 48

    Menurut Buss (1961), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan

    untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-

    objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut. Baik secara fisik atau verbal dan

    secara langsung maupun tidak langsung. Samahalnya dengan pendapat Berkowitz

    (1995) yang menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk perilaku yang

    disengaja untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental.

    Kelompok supporter sepak bola Persib Bandung yang biasa disebut Bobotoh

    merupakan salah satu kelompok supporter yang terkenal sangat antusias dan

    fanatis. Bobotoh terdiri atas kelompok-kelompok supporter mikro diantaranya;

    Viking Fans Club, Bombers (Bobotoh Maung Bandung Bersatu), Lady Viking

    dan lain sebagainya. Setiap kelompok supporter ini memiliki massa yang cukup

    banyak dan juga terkenal agresif saat menyaksikan tim kebanggaan mereka Persib

    Bandung bertanding di stadion.

    Berkaitan dengan perilaku agresif kelompok supporter sepak bola, diketahui

    bahwa olah raga sepakbola sendiri memang berpotensi memunculkan perilaku

    agresif bagi supporter yang menyaksikannya, terutama supporter yang menonton

    pertandingan sepakbola secara langsung di stadion. Kemudian perilaku agresif

    yang dilakukan para anggota kelompok supporter tersebut berbeda-beda dalam

    bentuk dan tingkat tertentu. Berdasarkan fakta ini, peneliti bermaksud ingin

    meneliti perbedaan perilaku agresif anggota kelompok supporter sepak bola

    tersebut. Dalam hal ini, peneliti ingin meneliti perbedaan perilaku agresif anggota

    kelompok supporter sepak bola Persib Bandung, yaitu antara anggota kelompok

    supporter Viking dan Bombers.

  • 49

    Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

    Perilaku Agresif

    Anggota Kelompok Supporter

    Sepak Bola Persib Bandung

    BOMBER

    S

    VIKING