tugas terstruktur kfd.docx

36
TUGAS TERSTRUKTUR KIMIA FARMASI DASAR Kelas : B Anggota : Jauvita Alvica Madyawati G1F012006 Mutiara Nur Shovie G1F012010 Dina Qoyima G1F012046 Sausa Monica G1F012062 Sariah Aini Rahmawati G1F012086 JURUSAN FARMASI

Upload: jauvitaalvica

Post on 17-Feb-2016

277 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTURKIMIA FARMASI DASAR

Kelas : B

Anggota : Jauvita Alvica Madyawati G1F012006

Mutiara Nur Shovie G1F012010

Dina Qoyima G1F012046

Sausa Monica G1F012062

Sariah Aini Rahmawati G1F012086

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2012

Stabilitas Obat

Hari/tanggal akses : Rabu, 01 Februari 2012

Penulis : Armiji

Sumber : http://arimjie.blogspot.com/2012/02/stabilitas-obat.html

Rancangan dari suatu bentuk sediaan

yang tepat memerlukan pertimbangan

karakteristik fisika, kimia dan biologis dari

semua bahan-bahan obat dan bahan-bahan

farmasetik yang akan digunakan dalam

membuat produk tersebut. Obat dan bahan-

bahan farmasetik yang digunakan harus

tercampur satu dengan lainnya untuk

menghasilkan suatu produk obat yang stabil,

manjur, menarik, mudah dibuat dan aman. Produk harus dibuat di bawah

pengukuran kontrol kualitas yang tepat dan dikemas dalam wadah yang

membantu stabilitas produk.

Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang yang

berkaitan dengan bidang kefarmasian, mulai dari pengusaha obat sampai ke

pasien. Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bahwa bentuk obat atau

sediaan yang dihasilkannya cukup stabil sehingga dapat disimpan dalam jangka

waktu yang cukup lama, dimana obat tidak berubah menjadi zat tidak berkhasiat

atau racun.

Salah satu aktivitas yang paling penting dalam kerja preformulasi adalah evaluasi

kestabilan fisika dan kimia dari zat obat murni. Adalah perlu bahwa pengkajian

awal ini dihubungkan dengan menggunakan sampel obat dengan kemurnian yang

diketahui. Adanya pengotoran dapat mengakibatkan kesimpulan yang salah dalam

evaluasi tersebut. Pengkajian kestabilan yang dihubungkan dalam fase

preformulasi termasuk kestabilan obt itu sendiri dalam keadaan padat, kestabilan

fase larutan, dan kestabilan dalam adanya zat penambah yang diharapkan.

Ketidakstabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak bentuk, karena obat-

obat yang digunakan sekarang adalah konstituen kimia yang beraneka ragam.

Secara kimia, zat obat adalah alkohol, fenol, aldehid, keton, ester-ester, asam-

asam, garam-garam, alkaloid, glikosida, dan lain-lainnya, masing-masing dengan

gugus kimia relatif yang mempunyai kecenderungan berbeda terhadap

ketidakstabilan kimia. Secara kimia proses kerusakan yang paling sering ,meliputi

hidrolisis dan oksidasi.

Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu

perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi

tersebut, sedangkan dalam hal lain perubahan kimia dapat terjadi yang tidak

dibuktikan sendiri dan hanya dapat dipastikan melalui analisis kimia. Data ilmiah

yang menyinggung kestabilan dari suatu formulasi menghasilkan ramalan shelf-

life yang diharapkan dari produk yang diteliti tersebut dan bila perlu, untuk

merancang kembali obat tersebut (misalnya menjadi bentuk ester atau garam yang

lebih stabil) dan untuk formulasi kembali bentuk sediaan tersebut. Jelaslah laju

dan kecepatan terjadinya degradasi obat dalam suatu formulasi merupakan hal

yang sangat penting.

Pengkajian laju perubahan kimia dan cara di mana zat tersebut dipengaruhi oleh

faktor-faktor seperti konsentrasi obat atau reaktan, pelarut yang digunakan,

kondisi temperatur dan tekanan, dan adanya zat-zat kimia lain dalam formulasi

tersebut disebut reaksi kinetika.

Untuk menjamin suatu stabilitas obat dalam suatu formulasi dan efektivitas

kelanjutan sepanjang umur obat pada lazimnya, maka prinsip-prinsip kimia, fisika

farmasi, mikrobiologi dan teknologi farmasi harus diterapkan. Formulasi harus

sedemikian rupa sehingga semua komponennya secara fisik dan kimia terpadu,

termasuk pula unsure terapeutik yang aktif, bahan penolong dalam farmasi dan

kemasannya. Formula harus dijaga supaya tidak terurai akibta perubahab sifat

kimianya dan terlindung dari kontaminasi mikroba serta pengaruh panas, cahaya,

kelembaban yang merusak. Zat berkhasiat harus dilpeaskan daribbentuk

sediaannya dalam jumlah yang sebenarnya, begitu digunakan dan kadarnya dalam

tubuh sesuai dengan yang direncanakan.

Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan dengan cara

kinetika kimia. Cara ini tidak memerlukan waktu yang lama sehingga praktis

digunakan dalam bidang farmasi. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam

penentuan kestabilan suatu zat dengan cara kinetika kimia adalah :

- Kecepapatan reaksi

- Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi

- Tingkat reaksi dan cara penentuannnya

PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN

Farmasi erat kaitannya dengan kimia, salah satunya dengan bab mengenai kinetika

reaksi. Kinetika reaksi menentukan keadaan dimana obat akan bereaksi dengan zat yang

ada di sekitarnya. Dalam artikel yang kami bahas, kinetika reaksi digunakan untuk

mengetahui kestabilan formulasi obat. Stabilitas obat ini, berhubungan dengan penentuan

waktu kadaluarsa obat, wadah penyimpanan, dan lain-lain untuk menjaga keutuhan obat.

Mengetahui kestabilitasan obat sangat penting untuk menjaga khasiat suatu obat.

Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat

melalui penguraian obat, atau melalui hilangnya khasiat obat karena perubahan

bentuk fisik dan kima yang kurang diinginkan dari obat tersebut. Selain itu, kinetika

reaksi juga berperan dalam pengkajian laju perubahan kimia dan cara di mana zat

tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti konsentrasi obat atau reaktan,

pelarut yang digunakan, kondisi temperatur dan tekanan, dan adanya zat-zat kimia

lain dalam formulasi tersebut.

II. ISI

Kinetika adalah suatu ilmu yang membahas tentang laju

(kecepatan) dan mekanisme reaksi. Berdasarkan penelitian yang mula-

mula dilakukan oleh Wilhelmy terhadap kecepatan inversi sukrosa,

ternyata kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi / tekanan

zat – zat yang bereaksi. Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan

konsentrasi atau tekanan dari produk atau reaktan terhadap waktu.

Kinetika kimia merupakan salah satu cabang ilmu kimia fisika yang

mempelajari laju reaksi. Laju reaksi berhubungan dengan pembahasan

seberapa cepat atau lambat reaksi berlangsung. Kinetika kimia adalah

bagian dari ilmu kimia yang mempelajari laju dan mekanisme reaksikimia.

Laju reaksi adalah besarnya perubahan konsentrasi reaktan atau produk

dalam satu satuan waktu.

Laju reaksi atau kecepatan reaksi dinyatakan sebagai perubahan

konsentrasi zat pereaksi atau produk tiap satuan waktu. Jika kita tahu

persamaan kimia suatu reaksi, maka dapatditentukan lajunya dengan

mengetahui perubahan konsentrasi reaktan atau produknya yangdapat

dideteksi secara kuantitatif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu keadaan alami

atau reaktifitas pereaksi, luas permukaan, konsentrasi, temperatur, katalis,

dan cahaya. Penjelasan yang lebih rinci sebagai berikut :

1. Luas Permukaan

Suatu zat akan bereaksi apabila bercampur dan bertumbukan.

Pada pencampuran reaktan yang terdiri dari dua fasa atau lebih,

tumbukan berlangsung pada bagian permukaan zat. Padatan

berbentuk serbuk halus memiliki luas permukaan bidang sentuh yang

lebih besar daripada padatan berbentuk lempeng atau butiran.

Semakin luas permukaan partikel, maka frekuensi tumbukan

kemungkinan akan semakin tinggi sehingga reaksi dapat berlangsung

lebih cepat.

2. Konsentrasi

Pada umumnya, reaksi akan berlangsung lebih cepat jika konsentrasi

pereaksi diperbesar. Zat yang konsentrasinya besar mengandung

jumlah partikel yang lebih banyak, sehingga  partikel-partikelnya

tersusun lebih rapat dibanding zat yang konsentrasinya rendah.

Partikel yang susunannya lebih rapat akan lebih sering bertumbukan

dibanding dengan partikel yang susunannya renggang, sehingga

kemungkinan terjadinya reaksi makin besar. Konsentrasi

mempengaruhi laju reaksi, karena banyaknya partikel

memungkinkan lebih banyak tumbukan, seperti pada fenomena

pentas musik, maka peluang untuk bersentuhan atau bertabrakan

semakin besar, dan itu membuka peluang semakin banyak tumbukan

efektif yang menghasilkan perubahan karena dalam laju reaksi hanya

tumbukan yang efektif yang menghasilkan reaksi.

3. Temperatur

Setiap partikel selalu bergerak. Dengan menaikkan temperatur,

energi gerak atau energi kinetik partikel bertambah, sehingga

tumbukan lebih sering terjadi. Dengan frekuensi tumbukan yang

semakin besar, maka kemungkinan terjadinya tumbukan efektif yang

mampu menghasilkan reaksi juga semakin besar. Suhu atau

temperatur ternyata juga memperbesar energi potensial suatu zat.

Zat-zat yang energi potensialnya kecil, jika bertumbukan akan sukar

menghasilkan tumbukan efektif. Hal ini terjadi karena zat-zat

tersebut tidak mampu melampaui energi aktivasi. Dengan menaikkan

suhu, maka hal ini akan memperbesar energi potensial, sehingga

ketika bertumbukan akan menghasilkan reaksi. Alasan kenaikan

suhu suatu reaksi menyebabkan nilai energi aktivasi (Ea) menjadi

turun dijelaskan oleh  Svante Arhenius dengan menggunakan

persamaan hubungan suhu dengan energi aktivasi. Pada umumnya

untuk setiap kenaikan suhu 10º maka laju reaksi menjadi 2 kali lebih

cepat. Berdasarkan hal tersebut maka kecepatan laju reaksi dapat

dicari dengan cara:

Sedangkan untuk membandingkan lama reaksi pada T2 dan T1

adalah sebagai berikut:

4. Katalis

Katalis dapat mempengaruhi terjadinya reaksi, tetapi pada akhir

reaksi dapat diperoleh kembali. Fungsi katalis adalah menurunkan

energi aktivasi, sehingga jika ke dalam suatu reaksi ditambahkan

katalis, maka reaksi akan lebih mudah terjadi. Hal ini disebabkan

karena zat- zat yang bereaksi akan lebih mudah melampaui energi

aktivasi.

Katalis adalah zat yang mempercepat laju reaksi, tetapi tidak

mengalami perubahan kimia secara permanen, sehingga pada akhir

reaksi zat tersebut dapat diperoleh kembali. Katalis mempercepat

reaksi dengan cara menurunkan harga energi aktivasi (Ea). Sedangkan

zat yang dapat memperlambat laju reaksi disebut inhibitor. Meskipun

katalis menurunkan energi aktivasi reaksi, tetapi ia tidak

mempengaruhi perbedaan energi antara produk dan pereaksi. Dengan

kata lain, penggunaan katalis tidak  akan mengubah entalpi reaksi.

Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat untuk

mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang

dimilikinya pada saat dibuat (identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian)

dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan

penggunaan sehingga mampu memberikan efek terapi yang baik dan

menghindari efek toksik. Stabilitas adalah faktor penting kualitas,

keamanan dan kemanjuran dari produk obat. Sebuah produk obat,

yang tidak cukup stabil, dapat mengakibatkan perubahan fisik (seperti

kekerasan, menilai pembubaran, pemisahan fase dll) serta

karakteristik kimia (pembentukan risiko tinggi dekomposisi zat).

Para pembuat obat harus mengetahui waktu paruh obat. Waktu

paruh suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu

gambaran kecepatan terurainya obat atau kecepatan degradasi

kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-alkali, oksigen, cahaya dan

faktor-faktor lain dapat menyebabkan rusaknya obat. Mekanisme

degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian

spesies atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua molekul

bertabrakan dalam tabung reaksi.

Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang

pertama adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu,

termasuk struktur kimia masing-masing bahan dan sifat kimia fisika

dari masing-masing bahan. Yang kedua adalah faktor-faktor luar,

seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang mampu

menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas

yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah

kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat

secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas

terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan ditetapkan

untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan aktif

yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu penurunan

sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya.

Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH,

dimana reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan

penambahan asam (H+) atau basa (OH-) dengan menggunakan

katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan

tidak mempengaruhi hasil dari reaksi.

Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus

diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu

penting mengingat sediaannya biasanya diproduksi dalam jumlah

yang besar dan juga memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke

tangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam

jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan

mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga

dapat membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan suatu zat hingga

dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum.

Stabilitas fisik dan kimia bahan obat baik dan tersendiri dengan

bahan – bahan dari formulasi yang merupakan kriteria paling penting

untuk menentukan suatu stabilitas kimia dan farmasi serta

mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi bentuk-

bentuk sediaan.

Kestabilan suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test

stabilitas dipercepat dengan mengamati perubahan kosentrasi pada

suhu yang tinggi.

Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi

setiap orang yang berkaitan dengan bidang kefarmasian. Beberapa

prinsip dan proses laju yang berkaitan dimasukkan dalam rantai

peristiwa ini:

a.         Kestabilan dan tak tercampurkan

Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan

ketidakaktifan obat melalui penguraian obat, atau melalui

hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik dan kima

yang kurang diinginkan dari obat tersebut.

b.         Disolusi

Yang perlu diperhatikan dari faktor disolusi adalah

kecepatan berubahnya obat dalam bentuk sediaan padat menjadi

bentuk larutan molekular.

c.         Proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi

Beberapa proses ini berkaitan dengan laju absorbs obat ke

dalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh, dan laju

pengeluaran obat setalah proses ditribusi dengan berbagai

faktor, seperti metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh,

dan melalui jalur-jalur pelepasan.

d.        Kerja obat pada tingkat molekular obat

Obat dapat dibuat dalam bentuk yang tepat dengan

menganggap timbulnya respon dari obat merupakan suatu proses

laju.

Kecepatan dekomposisi obat ditunjukkan olek kecepatan

perubahan konsentrasi mula-mula satu atau lebih reaktan dan ini

dinyatakan dengan kecepatan reaksi “K”, yang untuk orde satu

dinyatakan sebagai harga respirok dari detik, menit, atau jam. Dalam

suatu reaksi kecepatan terurainya suatu zat padat mengikuti reaksi

orde nol, orde I ataupun II.

T1/2 adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu

dimana suatu produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan

dalam wadahnya yang sesuai dengan kondisi atau waktu yang

diperlukan untuk hilangnya konsentrasi setengahnya. Sedangkan T90

adalah waktu yang tertera yang menunjukkan batas waktu

diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi karena diharapkan masih

memenuhi spesifikasi yang ditetapkan

III. PENUTUP

Karena kesangat-eratan hubungan antara kinetika reaksi dengan

kefarmasian, mahasiswa jurusan farmasi wajib mempelajari bab ini, karena

bab ini sangat dibutuhkan para farmasis untuk menjaga khasiat suatu obat.

Kinetika reaksi membantu farmasis dalam menentukan umur suatu

obat, sehingga diharapkan obat akan lebih efektif dalam pemakaiannya.

Stabilitas dan degradasi kimiawi obat dipengaruhi beberapa faktor,

antara lain: sifat fisika kimia bahan obat, suhu, cahaya, adanya

penambahan senyawa-senyawa kimia lain, dan perubahan pH pada bahan

obat.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi ed. VI. Jakarta:

Universitas Indonesia Press.

Armiji. 2012. Stabilitas Obat. http://arimjie.blogspot.com/2012/02/

stabilitas-obat.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.

Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi ed. II. Jakarta: EGC.

Firdaus, Amalina. 2012. Laporan Stabilitasi Obat. http://amalinamaurer.

blogspot.com/2012/09/laporan-stabilitas-obat.html diakses pada tanggal

17 Oktober 2012.

Ratna, dkk. 2009. Kinetika Kimia, Definisi Laju Reaksi dan Hukum Laju.

http://amalinamaurer.blogspot.com/2012/09/laporan-stabilitas-obat.html

diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.

Lampiran

PENDUGAAN UMUR SIMPAN BUBUK JAHE MERAH (Zingiber officinale var. rubrum)

Sugiarto, Indah Yuliasih dan Tedy Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian - IPB

ABSTRACT

Red ginger is one kind of gingers, which is usually used for modern and traditional herb medicine. Fresh red ginger is easily damage; therefore preservation technology is needed. Red ginger is preserved by drying or being fermented as pickle. Red ginger powder is another preservation method that has advantages ie. easy to transport, store and use.

Red ginger powder is the main product used for base or supplement material in drug industry. Furthermore it is not only consumed in powder form but also being extracted to yield an oleoresin and essential oil. During the storage period, the quality of red ginger powder can decrease; therefore shelf life dating of red ginger powder is needed.

Based on decreasing of its color (chroma), red ginger powder without filler has the longest shelf life. The shelf life of red ginger powder without filler are 629

days (32.8 months of shelf life) at 25 oC, 544 days (18.1 months) at 30 oC, and

343 days(11.4 months) at 40 oC. Red ginger powder’s shelf life will decrease because of sucrose or dextrose monohydrate addition. Keywords : ginger powder, shelf life, lightness

PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu jenis tanaman rempah yang banyak terdapat di Indonesia. Menurut Koeswara (1995), jahe biasa dimanfaatkan sebagai bumbu masak, pemberi rasa dan aroma pada masakan seperti roti, kue, biskuit, permen dan minuman ringan. Jahe juga dapat di-gunakan sebagai jamu, food supplement dan bahan dasar ataupun campuran dalam industri farmasi.

Jahe merah segar mudah rusak sehingga se-ring diawetkan dengan pengeringan baik dalam ben-tuk rajangan maupun bubuk. Pengeringan memudah-kan dalam transportasi dan penyimpanan jahe merah.

Rentang waktu antara produksi dengan pema-kaian produk dapat mengakibatkan produk menga-lami penurunan mutu dan kerusakan. Pengemasan dapat menekan kerusakan komoditi selama waktu tertentu. Umur simpan perlu diketahui agar komo-diti termasuk jahe kering bubuk dapat digunakan pada

kondisi mutu optimalnya. Mengingat hal itu maka perlu dilakukan pendugaan umur simpan jahe kering bubuk.

Tujuan penelitian ini adalah.menentukan parameter mutu kritis bubuk jahe merah, menduga laju penurunan mutu bubuk jahe merah dan men-duga umur simpannya.

METODOLOGI Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jahe merah segar umur panen 10 bulan dari Bengkulu, dextrose monohidrat dan gula pasir. Bahan pengemas yang digunakan adalah kantung plastik polietilen densitas tinggi (HDPE) dengan tebal 0.4 mm dan bahan kimia untuk analisis. Peralatan yang dipergunakan adalah penge-ring tipe rak, timbangan, slicer, grinder, ayakan 80 mesh, dan plastic sealer, inkubator, oven, Colortec chromameter, dan peralatan gelas.

Metode Penelitian

Rimpang jahe dicuci dengan air mengalir, di-tiriskan dan dirajang melintang setebal 1-3 mm. Rajangan jahe dikeringkan menggunakan pengering tipe rak pada

suhu pengeringan 55 oC sampai diper-oleh kadar air sekitar 5 %. Jahe kering digiling dengan dan diayak sehingga diperoleh bubuk jahe merah yang lolos ayakan 80 mesh. Analisa proksimat dilakukan terhadap bubuk jahe merah. Selanjutnya bubuk jahe merah ditambah dengan 20 persen sukrosa atau dextrose monohidrat sebagai bahan pengisi dimasukkan dalam kantung HDPE dan dikelim. Pengemasan juga dilakukan pada bubuk jahe merah murni

Ketiga jenis bubuk disimpan pada tiga kon-disi, yaitu suhu 25, 30 dan 40 OC. Pendugaan umur simpan dihitung berdasarkan perubahan kadar air dan warna bubuk jahe merah selama 2 bulan penyimpanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bubuk Jahe Merah

Karakteristik jahe merah segar dan bubuk jahe merah yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi jahe merah bubuk Komponen

Persentase

Segar Bubuk Air (%) 84.36 4.69 Lemak (%bk) 9.65 9.24 Serat kasar (%bk) 19.01 15.68 Abu (%bk) 12.21 10.76 Protein (%bk) - 8.00 Oleoresin (%bk) - 3.53 Karbohidrat by difference (%bk)

- 51.40

Karakteristik warna bubuk jahe merah ditun-jukkan oleh nilai Ohue sebesar

84.17O yang menun-jukkan warna kuning kemerahan. Penentuan Parameter Pendugaan Umur Simpan

Parameter penurunan mutu yang digunakan pada pendugaan umur simpan bubuk jahe merah adalah perubahan kadar air dan perubahan warna yang dapat

diketahui dari tingkat kecerahan, nilai ohue dan nilai chroma bubuk jahe merah selama penyimpanan. Kadar Air

Perubahan kadar air bubuk jahe selama penyimpanan disajikan pada grafik Gambar 1.

Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dapat di-ketahui bahwa perubahan kadar air bubuk jahe merah pada setiap tingkat suhu tidak menunjukkan kecenderungan

yang sama. Pada suhu 40 oC bubuk jahe merah mengalami penurunan kadar air

sedang-kan bubuk jahe merah yang disimpan pada suhu 30 oC mengalami

peningkatan kadar air. Pada suhu 25 oC perubahan kadar air tidak jelas terlihat atau cen-derung konstan. Selama dua bulan penyimpanan, tidak terjadi perubahan kadar air yang berarti. Kadar air tertingi yang dicapai adalah sekitar 8 persen. Kadar air ber-fluktuasi di

antara 4 dan 8 persen. Pada kadar air tersebut bubuk jahe merah relatif aman terhadap kerusakan mikrobiologis dan penggumpalan.

Gambar 1. Grafik perubahan kadar air bubuk jahe merah selama penyimpanan

Perubahan kadar air seperti ditunjukkan pada Gambar 1 tersebut menyebabkan parameter kadar air tidak dapat digunakan sebagai parameter penduga umur simpan

Tingkat Kecerahan (L)

Perubahan kecerahan bubuk jahe marah se-lama penyimpanan disajikan pada grafik Gambar 2.

Gambar 2. Grafik perubahan kecerahan bubuk jahe merah selama penyimpanan

Grafik pada Gambar 2 menunjukkan bahwa kecerahan bubuk jahe merah selama penyimpanan cenderung menurun dengan penurunan yang relatif kecil. Selama penyimpanan bubuk jahe merah cenderung menjadi lebih gelap seiring lamanya

penyimpanan. Hal tersebut disebabkan terjadinya pencoklatan non-enzimatis yang terjadi pada kadar air rendah.

Nilai hue

Perubahan nilai hue selama penyimpanan di-sajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik perubahan ºhue bubuk jahe merah selama penyimpanan

Nilai hue pada kisaran 84 derajat menunjuk-kan warna bubuk jahe merah adalah cenderung ke-kuningan. Perubahan nilai hue menunjukkan peru-bahan warna bubuk jahe merah, namun demikian berdasarkan grafik pada Gambar 3, perubahan hue bubuk jahe merah memiliki kecenderungan yang beragam. Dengan demikian perubahan hue tidak dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga umur simpan.

Nilai chroma

Berdasarkan data dapat diketahui bahwa nilai chroma bubuk jahe merah memiliki kecenderungan yang semakin meningkat bersamaan dengan pening-katan waktu penyimpanan (Gambar 4). Peningkatan nilai chroma ini dapat menunjukkan penurunan intensitas warna bubuk jahe merah. Oleh karena itu parameter pendugaan umur simpan dapat ditentukan berdasar-kan peningkatan nilai chroma.

Peningkatan nilai chroma ini seiring dengan penurunan nilai kecerahan. Kedua parameter ter-sebut ditentukan oleh terjadinya pencoklatan. Pencoklatan yang tinggi terjadi pada bubuk jahe marah dengan pengisi baik sukrosa maupun deks-trosa. Hal tersebut diduga terjadi karena sukrosa dan dekstrosa mengalami karamelisasi sebagian karena adanya panas pada saat penyimpanan sementara kadar air bubuk relative rendah.

Pendugaan Umur Simpan

Pendugaan umur simpan bubuk jahe merah ditentukan berdasarkan penurunan intensitas warna yang dapat diketahui dari peningkatan nilai chroma. Menurut Farrel (1982), nilai kritis dari warna yang hilang ditetapkan sebesar 50 persen dari nilai awalnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat di-ketahui bahwa nilai chroma kritis adalah 150 persen dari nilai awalnya karena nilai chroma meningkat selama penyimpanan. Nilai chroma kritis pada bubuk jahe merah tanpa bahan pengisi adalah 49.96 persen, pada bubuk jahe merah dengan pengisi sukrosa 20 persen adalah 45.58 persen dan pada bubuk jahe merah dengan pengisi dextrose mono-hidrat 20 persen adalah 45.80 persen.

Gambar 4. Grafik perubahan chroma bubuk jahe merah selama penyimpanan

Pendugaan Umur Simpan Jahe Merah Tanpa Bahan Pengisi

Berdasarkan grafik pada Gambar 4, dilakukan analisis regresi. Kurva hubungan antara waktu penyimpanan dengan nilai chroma. Hasil analisis regresi ketiga seri data tersebut adalah :

suhu 25 OC, Y = 0.0231X + 33.638, k = 0.0231 dan r = 0.7432

suhu 30 OC, Y = 0.0324X + 33.553, k = 0.0324 dan r = 0.8472

suhu 40 OC, Y = 0.0476X + 32.127, k = 0.0476 dan r = 0.7670

Setiap nilai ln k diplotkan terhadap suhu da-lam satuan Kelvin, sehingga diperoleh kurva seperti pada Gambar 5. Persamaan regresinya adalah:

Y = -4384.1X + 10.982 (r2 = 0,9803) Dan energi aktivasi, E = 8706.82 kal

Gambar 4. Grafik perubahan chroma bubuk jahe merah selama penyimpanan

Pendugaan Umur Simpan Jahe Merah Tanpa Bahan Pengisi Berdasarkan grafik pada Gambar 4, dilakukan analisis regresi. Kurva hubungan antara waktu penyimpanan dengan nilai chroma. Hasil analisis regresi ketiga seri data tersebut adalah :

suhu 25 OC, Y = 0.0231X + 33.638, k = 0.0231 dan r = 0.7432

suhu 30 OC, Y = 0.0324X + 33.553, k = 0.0324 dan r = 0.8472

suhu 40 OC, Y = 0.0476X + 32.127, k = 0.0476 dan r = 0.7670 Setiap nilai ln k diplotkan terhadap suhu da-lam satuan Kelvin, sehingga diperoleh kurva seperti pada Gambar 5. Persamaan regresinya adalah:

Y = -4384.1X + 10.982 (r2 = 0,9803) Dan energi aktivasi, E = 8706.82 kal

Gambar 5. Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k pada bubuk jahe merah tanpa bahan pengisi

Setelah persamaan di atas diperoleh maka laju peningkatan nilai chroma yang menunjukkan penu-runan intensitas warna pada masing-masing suhu, dapat dilakukan perhitungan pendugaan umur sim-pan untuk masing-masing suhu sebagai berikut :

Suhu 25 oC : 694 hari (32.8 bulan)

Suhu 30 oC : 544 hari (18.1 bulan)

Suhu 40 oC : 343 hari (11.4 bulan)

Pendugaan Umur Simpan Jahe Merah dengan Pengisi Sukrosa 20 %

Berdasarkan grafik pada Gambar 4, dilakukan analisis regresi. Persamaan regresi untuk tiap-tiap suhu penyimpanan , yaitu :

suhu 25 oC, Y = 0.0418X + 30.728, k = 0.0418 dan r = 0.9452

suhu 30 oC, Y = 0.0455X + 31.593, k = 0.0455 dan r = 0.8500

suhu 40 oC, Y = 0.0687X + 29.355, k = 0.0687 dan r = 0.9421

Jika setiap nilai logaritmik dari slope per-samaan regresi diplotkan terhadap nilai 1/T dimana T adalah suhu dalam Kelvin akan diperoleh kurva pada Gambar 6.

Persamaan regresi kurva pada Gambar 6., adalah :

Y = -3197.4X + 7.5182 (r = 0,9829) dengan energi aktivasi E = 6350.0364 kal/mol dan konstanta yang tidak bergantung terhadap suhu ada-lah 1841.2501 sehingga persamaan Arrhenius untuk pendugaan umur simpannya adalah: K = 1841.2501 x e-3197.4(1/T)

Gambar 6. Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k pada bubuk jahe merah dengan bahan pengisi sukrosa 20 %

Dengan demikian umur simpan pada masing-masing suhu adalah :

Suhu 25 oC : 377 hari (12.6 bulan)

Suhu 30 oC : 316 hari (10.5 bulan)

Suhu 40 oC : 225 hari (7.5 bulan)

Pendugaan Umur Simpan Jahe Merah dengan Pengisi Dextrose Monohidrat 20 %

Berdasarkan grafik pada Gambar 4 dilakukan analisis regresi dengan hasil persamaan sebagai berikut :

suhu 25 oC, Y = 0.0418X + 30.728, k = 0.0418 dan r = 0.8583

suhu 30 oC, Y = 0.0455X + 31.593, k = 0.0455 dan r = 0.9264

suhu 40 oC, Y = 0.0687X + 29.355, k = 0.0687 dan r = 0.9540 Nilai ln k (slope) diplotkan terhadap suhu dalam Kelvin untuk mendapatkan nilai konstanta yang tidak dipengaruhi suhu. Plot ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k pada bubuk jahe merah dengan pengisi dextrose monohidrat 20 %

Persamaan regresi plot pada Gambar7., dapat adalah :

Y = -3005.6X + 6.8225 (r = 0,9873)

Energi aktivasi penurunan intensitas warna untuk adalah 5969.1216 kal/mol. Persamaan Arrhenius-nya adalah

K = 918.2778 x e-3005.6(1/T)

Dengan persamaan tersebut maka umur simpan dugaan untuk bubuk jahe merah yang ditambah dekastrosa monohidrat 20 % pada masing-masing suhu dapat

adalah Suhu 25 oC : 399 hari (13.3 bulan)

Suhu 30 oC : 338 hari (11.3 bulan)

Suhu 40 oC : 246 hari (8.2 bulan) Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa umur simpan tertinggi

dimiliki oleh jahe merah bubuk tanpa bahan pengisi. Hal ini dikarena-kan bahan pengisi yang digunakan baik berupa sukrosa atau dextrose monohidrat lebih bersifat hidrofilik apabila dibandingkan dengan bubuk jahe merah itu sendiri. Sifat hidrofilik bahan pengisi akan mengakibatkan reaksi deteriorasi produk lebih cepat terjadi karena kandungan air dalam bubuk juga dapat memicu terjadinya reaksi oksidasi, salah satunya adalah oksidasi pigmen yang menyebabkan berku-rangnya intensitas warna bubuk jahe merah. Selain itu, menurut Floros (1993) di dalam Arpah (2001), oksigen dan cahaya merupakan faktor utama penye-bab terjadinya oksidasi pigmen dan perubahan warna suatu produk.

Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya di-peroleh energi aktivasi pada jahe merah tanpa bahan pengisi, berbahan pengisi sukrosa dan berbahan pengisi dextrose monohidrat secara berturut-turut adalah 8706.8226 kal/mol, 6350.0364 kal/mol dan 5969.1216 kal/mol, yang termasuk ke dalam golong-an energi aktivasi rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lund (1975) dalam Arpah (2001) bahwa kisaran energi aktivasi pada produk pangan adalah antara 2000 kal/mol sampai dengan 150000 kal/mol. Menurut Sadler (1987) dalam Arpah (2001), jenis reaksi yang membutuhkan energi aktivasi rendah diantaranya adalah reaksi enzimatis, reaksi oksidasi, dan kerusakan pigmen klorofil serta karotenoid.

KESIMPULAN

Karakteristik bubuk jahe merah yang diguna-kan adalah: kadar air sebesar 4.69 %, lemak sebesar 9.24 % bk, serat kasar sebesar 15.68 % bk, abu sebesar 10.76 % bk, protein sebesar 8.00 % bk, karbohidrat (by difference) sebesar 51.20 % bk dan oleoresin sebesar 3.53 % bk. Bubuk jahe merah memiliki rata-rata nilai

hue sebesar 84.17o atau me-rujuk pada warna kuning kemerahan. Parameter kritis penduga umur simpan bubuk jahe merah adalah intensitas warna atau nilai chroma bubuk jahe merah. Nilai chroma kritis pada bubuk jahe merah tanpa bahan pengisi adalah 49.96, sedangkan untuk bubuk jahe merah dengan pengisi sukrosa 20 % dan dextrose monohidrat 20 % adalah 45.58 dan 45.80 Umur simpan bubuk jahe merah yang paling lama diperoleh pada jahe merah

tanpa penambahan bahan pengisi, yaitu 694 hari atau 32.8 bulan (25oC), 544 hari

atau 18.1 bulan (30oC), dan 343 hari atau 11.4 bulan (40oC). Umur simpan bubuk jahe merah dnegan pengisi sukrosa dan dekstrosa monohidrat masing-masing

adalah 377 hari atau 12.6 bulan dan 399 hari atau 13.3 bulan (25oC), 316 hari atau

10.5 bulan dan 338 hari atau 11.3 bulan (30oC), dan 225 hari atau 7.5 bulan dan

246 hari atau 8.2 bulan (40oC)

DAFTAR PUSTAKA

Farrel, K. T. 1985. Spices, Condiments and Seasoning. The AVI Publishing Company, Florida. Floros, J.D. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koeswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Lund, D.B. 1975. Effects of Heat Processing on Nutrients. Di dalam Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sadler, G.D. 1987. Aseptic Chemistry. Di dalam Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.