tugas terstruktur mikro
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTURMIKROBIOLOGI PERTANIAN
“MIKORIZA”
Disusun Oleh :
Catur Setiyo Edi A1L010244Rashidah Noor Amalia A1L010245Romy Ramdani A1L010249Dhanna Purnamagna Pra’aftha A1L010251Silky Nurhandayani A1L010254Dimas Prabowo A1L010255Yoga Aditia A1L010259Rohmat Junaidi A1L010268Pervitara Arum Dewi A1L011133Rosalina Fauziyah A1L011134Sasmita Dwi K. W A1L011135
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIANAGROTEKNOLOGI
PURWOKERTO2013

I. PENDAHULUAN
Mikoriza adalah mikroorganisme tanah yang berasosiasi dengan akar
tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) merupakan salah satu jenis mikoriza
yang bersifat obligat dan paling banyak berasosiasi dengan tanaman inang. FMA
menerima hasil fotosintesis tanaman, yaitu karbon sebesar 15-25% dan paling
banyak menyediakan nitrogen dan posfor untuk tanaman inang (Springer dan
Heidelberg 2008).
Keberadaan FMA sangat penting dalam kaitannya dengan kesuburan tanah
dari suatu ekosistem, terutama dalam ekosistem hutan. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya keterkaitan antara keberadaan mikoriza di suatu tempat
dengan kondisi lahan dan pertumbuhan suatu jenis pohon (Giri et al. 2004,
Rydlova dan Vosatka 2001, Wang et al. 2005, Nandakwang et al. 2008, Osorio
dan Habte 2001). Sebagai organisme yang bersifat simbiotik, keberadaan inang
sangat menguntungkan bagi mikoriza dan keberadaan mikoriza sangat
menguntungkan bagi inang.
Keberadaan mikoriza sangat bergantung pada vegetasi yang ada
disekitarnya. Potensi dari simbiosis FMA dengan tumbuhan sangat penting untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan budidaya tumbuhan tersebut terutama pada lahan
marginal. Hal tersebut mengingat besarnya manfaat FMA bagi tanaman
diantaranya: meningkatkan penyerapan unsur hara untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Jia et al. 2004), meningkatkan ketahanan tanamanterhadap
serangan patogen akar (Sikes 2009), mengurangi logam berat di areal bekas
tambang (Turnau 2008), dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan (Quilambo 2005).

II. ISI
Cendawan mikoriza meprupakan cendawan obligat, dimana kelangsungan
hidupnya berasosiasi akar tanaman dengan sporanya. Spora berkecambah dengan
membentuk apressoria sebagai alat infeksi, dimana infeksinya biasa terjadi pada
zone elongation. Proses ini dipengaruhi oleh anatomi akar dan umur tanaman
yang terinfeksi. Hifa yang terbentuk pada akar yaitu interseluler dan intraseluler
dan terbatas pada lapisan korteks, dan tidak sampai pada stele. Hifa yang
berkembang diluar jaringan akar, maka berperan terhadap penyerapan unsur hara
tertentu dan air.
Mosse, (1981) melaporkan bahwa cendawan mikoriza mempunyai sifat
dapat berkolonisasi dan berkembang secara simbiose mutualistik dengan akar
tanaman, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, serta membantu
menekan perkembangan beberapa patogen tanah.
Menurut Brundrett (2004), mikoriza adalah asosiasi simbiotik yang
esensial untuk satu atau kedua mitra, antara cendawan (khususnya yang hidup
dalam tanah dan tanaman) dengan akar (atau organ lain yang bersentuhan dengan
substrat) dari tanaman hidup, terutama berperan untuk memindahkan hara.
Mikoriza adalah kelompok jamur tanah yang hidupnya lebih memilih untuk
bekerjasama dengan akar tanaman atau pohon, agar jamur ini mendapat pasokan
gula cair dari tanaman, dan sebaliknya jamur ini menukarkannya dalam bentuk air
dan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman (Turjaman, 2004).
Asosiasi mikoriza vesikular arbuskular (MVA), yang juga disebut dengan
mikoriza arbuskular (MA) atau mikoriza glomeromikota, merupakan asosiasi akar
dengan cendawan yang paling umum dijumpai dan penyebarannya paling luas.
Asosiasi ektomikoriza (EKM) juga tidak kalah pentingnya sekalipun hanya
dijumpai pada beberapa famili tanaman tertentu. Tipe mikoriza lainnya hanya
dijumpai pada Orchidaceae atau Ericales, sedangkan beberapa family

angiospermeae tidak memiliki akar bermikoriza (NM) sama sekali (Brundrett,
2004).
Turjaman (2004) juga menyebutkan kalau jamur endomikoriza
mempunyai relasi yang sangat luas pada tanaman pertanian, perkebunan dan
kehutanan, dan diperkirakan lebih dari 93% berteman dengan akar tanaman
tingkat tinggi. Sedangkan sisanya sekitar 7 % adalah jamur ektomikoriza yang
lebih memilih untuk hidup berdampingan dengan tanaman hutan dari jenis-jenis
meranti, pinus, eukaliptus dan tangkil. Pada kelompok jamur endomikoriza, hanya
dapat dibiakkan pada tanaman hidup, seperti sorgum, jagung dan Prueraria
selama empat bulan di rumah kaca. Media tumbuh yang biasa digunakan sebagai
pembawanya adalah zeolite dan tanah liat. Mikoriza dapat dicampur langsung ke
dalam media tanam, dalam waktu satu hari dapat menularkan ratusan ribu bibit
tanaman hutan di persemaian.
Pertumbuhan Mikoriza sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan seperti:
1. Suhu
Suhu yang relative tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Proses
perkecambahan pembentukkan MVA melalui tiga tahap yaitu perkecambahan
spora ditanah, penetrasi hifa kedalam selakar dan perkembangan hifadidalam
konteksakar.
2. Kadar air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA
menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh
dan bertahan pada kondisiyang kurang air.
3. pH tanah
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan
bagi perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga
pembentukan mikoriza menurun. Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi
tindakan inokulasi dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan
mikoriza terjamin.

4. Bahan organik
Bahan organic merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang
penting disamping air danau darat. Jumlah spora MVA berhubungan erat dengan
kandungan bahan organic didalam tanah.
5. Cahaya dan ketersediaan hara
Intensitas cahaya yang tinggi kekahatan sedang nitrogen atau fosfor akan
meningkatkan jumlah karbohidrat didalama kar sehingga membuat tanaman lebih
peka terhadap infeksi cendawan MVA.
6. Logam berat dan unsure lain
Beberapa spesies MVA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang
tercemar seng(Zn), tetapi sebagian besar spesies MVA peka terhadap kandungan
Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain
cendawan MVA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi.
Klasifikasi Mikoriza
Pada dasarnya cendawan mikoriza dapat dikelompokkan berdasarkan
struktur morfologi dan anatomi struktur spesifiknya (Brundrett, 2004).
Berdasarkan hal tersebut cendawan mikoriza dapat dibagi menjadi tiga yaitu
cendawan mikoriza arbuskula (CMA), ektomikoriza (EKM) dan mikoriza lainnya.
Dari ketiga jenis tersebut CMA merupakan kelompok cendawan mikoriza yang
paling sering diteliti dan dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan
pertumbuhan dan produksi tanaman.
Dari hasil kajian filogenetika dapat diketahui tanaman-tanaman Ericaceae
yang membentuk mikoriza erikoid ternyata memiliki leluhur yang sama dengan
tanaman-tanaman yang berasosiasi dengan cendawan arbutoid (Cullings, 1996),
sehingga lebih tepat jika dikatakan asosiasi arbutoid berasal dari EKM daripada
asosiasi erikoid. Oleh sebab itu Brundrett (2004) merekomendasikan dalam
klasifikasi tipe-tipe mikoriza, sebaiknya mikoriza arbutoid dan monotropoi
diklasifikasikan sebagai subkategori dari ektomikoriza epidermis.
Dewasa ini ektendomikoriza ditakrifkan berdasarkan cendawannya dan
bukan inangnya yang secara morfologis tidak berbeda dengan mikoriza arbutoid.

Pengamatan-pengataman ektendomikoriza, yang didasarkan atas pengertian
sempit tersebut, sebagian besar terbatas pada kondisi buatan yang sangat subur
dimana pohon yang ditumbuhkan untuk kepentingan kehutanan tidak mungkin
mendapatkan keuntungan dari mikoriza, dan persaingan dengan cendawan lain
juga terbatas (Yu et al., 2001).
Proses infeksi mikoriza
Terjadinya infeksi mikoriza pada akar tanaman melalui beberapa tahap, yakni:
1. Pra infeksi. Spora dari mikoriza benrkecambah membentuk appressoria.
2. Infeksi. Dengan alat apressoria melakukan penetrasi pada akar tanaman.
3. Pasca infeksi. Setelah penetrasi pada akar, maka hifa tumbuh secara
interselluler, arbuskula terbentuk didalam sel saat setelah penetrasi. Arbuskula
percabangannya lebih kuat dari hifa setelah penetrasi pada dinding sel.
Arbuskula hidup hanya 4-15 hari, kemudian mengalami degenerasi dan
pemendekan pada sel inang. Pada saat pembentukan arbuskula, beberapa
cendawan mikoriza membentuk vesikel pada bagian interselluler, dimana
vesikel merupakan pembengkakan pada bagian apikal atau interkalar dan hifa.
4. Perluasan infeksi cendawan mikoriza dalam akar terdapat tiga fase:
a. Fase awal dimana saat infeksi primer.
b. Fase exponential, dimana penyebaran, dan pertumbuhannya dalam
akar lebih cepat .
c. Fase setelah dimana pertumbuhan akar dan mikoriza sama.
5. Setelah terjadi infeksi primer dan fase awal, pertumbuhan hifa keluar dari akar
dan di dalam rhizosfer tanah. Pada bagian ini struktur cendawan disebut hifa
eksternal yang berfungsi dalam penyerapan larutan nutrisi dalam tanah, dan
sebagai alat transportasi nutrisi ke akar, hifaeksternal tidak bersepta dan
membentuk percabangan dikotom.

Manfaat Mikoriza
Lambert dan Cole, (1980) mengemukakan bahwa pada tanaman Lathyrus
sylvestris, Lotus americanus, Coromilla varia, yang terinfeksi mikoriza umur dua
tahun, pertumbuhannya 6-15 kali lebih besar dari pada pertumbuhan tanaman
tanpa mikoriza. Selanjutnya De La Cruz et al., (1992); Linderman, (1996)
menyebutkan bahwa sebagian besar pertumbuhan tanaman yang diinokulasi
dengan cendawan mikoriza menunjukkan hubungan yang positif yaitu
meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya.
Hal ini dapat terjadi karena infeksi cendawan mikoriza dapat
meningkatkan penyerapan unsur hara oleh miselium eksternal dengan memperluas
permukaan penyerapan akar atau melalui hasil senyawa kimia yang menyebabkan
lepasnya ikatan hara dalam tanah. Tisdall, (1991) melaporkan bahwa miselium
ekstra radikal didalam tanah sekitar akar menghasilkan material yang mendorong
agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan aerasi, penyerapan air dan stabilitas
anah.
Infeksi mikoriza pada akar, memungkinkan mineral dapat dialirkan
langsung dari satu tanaman ke tanaman lain, atau dari bahan organik mati ke akar
tanaman. Juga membentuk lingkungan mikrorisosfer yang dapat merubah
komposisi dan aktivitas mikroba. Hal ini terjadi karena perubahan fisiologi akar
dan produksi sekresi oleh mikoriza.
Menurut Aldeman dan Morton, (1986) infeksi mikoriza dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kemampuannya memanfaatkan nutrisi
yang ada dalam tanah, terutama unsur P, Ca, N, Cu, Mn, K, dan Mg. Kolonisasi
mikoriza pada akar tanaman dapat memperluas bidang serapan akar dengan
adanya hifa eksternal yang tumbuh dan berkembang melalui bulu akar (Mosse,
1981). Tanaman appel yang terinfeksi mikoriza dapat meningkatkan kandungan P
pada tanaman dari 0,04% menjadi 0,19% (Gededda, et al., 1984 dalam Jawal et
al., 2005). Lanjut Matsubara et al., (1998) melaporkan bahwa tanaman yang
terinfeksi mikoriza, maka tinggi, bobot kering, konsentrasi P pada bagian atas

maupun akar tanaman mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan dengan tanpa
mikoriza.
Tanaman Acacia mangium mampu menghemat penggunaan P 180
kr/ha/tahun (Setiadi, 2000). Aplikasi P alam pada tanaman yang terinfeksi
mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan, pembentukan bintil akar, dan
aktivitas bintil akar tanaman. Mikoriza dapat pula meningkatkan kandungan
khlorofil, penyerapan air dan zat perangsang tumbuh dengan diproduksinya
substansi zat perangsang tumbuh, sehingga tanaman dapat lebih toleran terhadap
shok, terutama yang dipindahkan dilapangan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mikoriza mempunyai
peranan dalam hal pengendalian penyakit tanaman. Linderman, (1988) menduga
bahwa mekanisme perlindungan mikoriza terhadap patogen berlangsung sbb. : 1)
cendawan mikoriza memanfaatkan karbohidrat lebih banyak dari akar, sebelum
dikeluarkan dalam bentuk eksudat akar, sehingga patogen tidak dapat
berkembang, 2) terbentuknya substansi yang bersifat antibiotik yang disekresikan
untuk menghambat perkembangan patogen, 3) memacu perkembangan mikroba
saprofitik disekitar perakaran.
Pada tanaman yang terinfeksi mikoriza mempunyai sifat ketahanan yang
lebih dibandingkan dengan tanpa infeksi mikoriza. Mosse, (1981) melaporkan
bahwa cendawan mikoriza dapat membantu peningkatan ketahanan tanaman
terhadap patogen tanah (soil borne). Infeksi mikoriza pada akar tanaman akan
merangsang terbentuknya senyawa isoflavonoid pada akar tanaman kedelai,
membentuk endomikoriza, sehingga meningkatkan ketahanan tanaman dari
serangan cendawan patogen dan nematoda. Selanjutnya Setiadi, (2000)
mengemukakan bahwa assosiasi mikoriza berpengaruh terhadap perkembangan
dan reproduksi nematoda Meloidogyne sp. Patogen yang menyerang akar tanaman
seperti Phytopthora, Phytium. Rhizoctonia, dan Fusarium perkembangannya
tertekan dengan adanya cendawan mikoriza yang telah bersimbiotik dengan
tanaman.

Tanaman jeruk yang terinfeksi cendawan mikoriza akan menghambat
pembentukan dan pelepasan zoospo-rangia dari zoosporangium Phytopthora
parasitica (Davis dan Menge, (1980). Juga pada tanaman jagung dan
Chrysanthenum yang terinfeksi mikoriza berpengaruh terhadap P. cinnamoni
(Harley dan Smith, 1983). Ketahanan tanaman terhadap patogen akibat infeksi
mikoriza karena menghasilkan antibiotik, seperti fenol, quinone, dan berbagai
phytoaleksin. Tanaman yang terinfeksi mikoriza menghasilkan bahan atsiri yang
bersifat fungistatik jauh lebih banyak dibanding tanpa infeksi. Pada tanaman
jagung yang terinfeksi mikoriza mengandung asam amino 3-10 kali lebih banyak
dari pada tanpa infeksi mikoriza. Bila patogen lebih dahulu menyerang tanaman
sebelum infeksi cendawan mikoriza, maka mikoriza tidak akan berkembang pada
perakaran tanaman.
Menurut Puryono (1997) secara umum peranan mikoriza terhadap
pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut :
1. Adanya mikoriza sangat penting bagi persediaan unsur hara dan
pertumbuhan tanaman.
2. Adanya simbiose mikoriza pada akar tanaman akan dapat membantu
dalam mengatasi kekurangan unsur hara terutama Phospor (P) yang
tersedia dalam tanah. Hal ini disebabkan mikoriza mampu melepaskan
ikatan Aluminiumfospat (AlPO4) dan Besifospat (FePO4) pada tanah-
tanah yang asam.
3. Mikoriza dapat meningkatkan unsur hara dengan jalan memperkecil
jarakantara akar dengan unsur hara tersebut. Hal ini terjadi melalui
pembentukan hypa pada pemukaan akar yang befungsi sebagai
perpanjangan akar.
4. Dengan perluasan hypanya, mikoriza akan meningkatkan daya serap dari
elemen-elemen yang imobil dalam tanah, misalnya : P, Cu, Zn.
5. Mikoriza dapat membantu memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat
struktur agregat tanah.

6. Mikoriza dapat membantu memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman terutama di daerah yang kondisinya sangat miskin hara, pH
rendah, dan kurang air.
7. Simbiosis antar jamur dan akar tanaman dapat melindungi tanaman
inangnya terhadap serangan jamur patogen dengan cara mengeluarkan zat
antibiotik.
8. CMA juga dapat menghasilkan hormon tumbuh auxin, cytokinin,
giberelin, dan vitamin yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman
inang.
Mikoriza arbuskuler (MA)
Cendawan mikoriza arbuskuler (MA) merupakan satu kelompok jamur
tanah biotrof obligat yang tidak dapat melestarikan pertumbuhan dan
reproduksinya bila terpisah dari tanaman inang. Cendawan ini dicirikan oleh
adanya struktur vesikel dan/atau arbuskel. Ada yang membentuk kedua struktur
ini dalam akar yang dikolonisasi, sehingga lama sebelumnya cendawan dari
kelompok ini dikenal sebagai cendawan vesikuler-arbuskuler.
Memang ada keberatan karena ada juga spesies dari kelompok ini tidak
membentuk vesikel dalam akar sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan
cendawan MA untuk menyatakan cendawan mikoriza yang membentuk vesikel
dan yang tidak, karena struktur arbuskel terdapat pada semua spesies.
Taksonomi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Subordo Glomineae memiki dua famili, Glomaceae dan Acaulasporaceae,
dan dicirikan oleh adanya arbuskula dan vesikula tapi tidak memiliki sel-sel
tambahan (auxillary cell). Kedua famili tersebut masing-masing memiliki dua
genus yaitu Glomus dan Sclerocystis untuk Glomaceae, Acaulaspora dan
Entrophosphora untuk Acaulasporaceae. Spesies-spesies Glomus diyakini yang
berevolusi atau muncul pertama kali di muka bumi dan kemudian diikuti oleh
anggota-anggota famili Acaulasporaceae dan Gigasporaceae. Kedua family

tersebut diduga sudah ada pada sekitar 250 juta tahun yang lalu (Simon et
al.,1993)
Berdasarkan ciri morfologi dan histologis, akhirnya berhasil
diklasifikasikan tujuh jenis yang berbeda satu dengan lainnya. Jenis
endomikoriza, khususnya cendawan mikoriza arbuskula (CMA), dan
ektomikoriza merupakan jenis yang paling banyak dijumpai sedangkan jenis-jenis
mikoriza arbutoid, monotropoid, ektendo, erikoid, dan orkhid dijumpai hanya
pada beberapa jenis tanaman saja (Smith dan Read, 1997).
Oehl dan Sieverding (2004) menemukan bahwa ada sebuah genus baru
dalam famili cendawan Glomeraceae, ordo Glomerales, klas Glomeromycetes,
yang diberi nama Pacispora. Spesies pencirinya adalah P. scintillans yang seperti
halnya P. dominikii dan P. chimono-bambusae, tadinya diletakkan dalam genus
Glomus dari Glomeraceae. Empat spesies baru dari genus baru tersebut yaitu
Pacispora franciscana, P. robigina, P. coralloidea dan P. boliviana. Spora-spora
genus baru ini terbentuk secara terminal pada hifa, fitur yang hanya dimiliki oleh
Glomus dan Paraglomus. Bagian dalam spora biasanya berupa dinding tiga lapis,
dari sanalah spora berkecambah langsung melalui dinding spora terluar, yang
biasanya juga terdiri dari tiga lapis. Ciri perkecambahan demikian serupa dengan
Scutellospora, Acaulospora dan Entrophospora tapi tidak dimiliki oleh Glomus
dan Paraglomus.
Pembentukan mikoriza vesikular arbuskularnya, sejauh ini baru
dikonfirmasi pada dua dari ketujuh Pacispora spp. yang ada, karakteristik warna
struktur cendawan internalnya dan fitur-fitur dudukan hifa spora (subtending
hyphae) paling mirip dengan genus Glomus. Berdasarkan alasan tersebut,
Pacispora dimasukkan ke dalam Glomeraceae. Ketujuh Pacispora spp. Secara
morfologi dapat dibedakan berdasarkan struktur permukaan spora, karakteristik
ornamentasi dinding spora, dan oleh warna serta ukuran spora. Tiga Pacispora
spp, dideteksi melimpah penyebarannya di dataran tinggi Swiss Alps.

Namun demikian, ditemukannya genus ini di kawasan temperate,
mediterranea dan tropika menunjukkan Pacispora memiliki penyebaran yang luas
dan mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan darat.
Struktur Umum CMA
Hifa dari CMA tidak bersekat dan bercabang-cabang di dalam dan di
antara sel-sel korteks akar. Di dalam sel-sel yang terinfeksi terbentuk
gelunggelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang dinamakan arbuskula.
Arbuskula ini diduga berperan sebagai pemindah unsur hara diantara
simbionsimbion.
Sedangkan struktur-struktur menggelembung yang dibentuk secara apikal
yang seringkali dijumpai pada hifa-hifa utama, struktur ini dinamakan vesikula.
Vesikula mengandung banyak lemak dan terutama berfungsi sebagai organ
simpan (Imas et al., 1989).
CMA dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa menembus ke
dalamsel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain. Jarang sekali
cendawan dapat menembus sel-sel endodermis ke silinder pusat (stele). Di dalam
sel-sel tersebut dapat dibedakan adanya pembengkakkan-pembengkakkan miselia
(vesikula dan arbuskula) yang pada akhirnya lenyap sebagian atau seluruhnya
karena dicerna oleh sel-sel yang dimasukinya. Di sini tidak terdapat mantel
cendawan dan pembengkakkan akar, meskipun kadang-kadang sel-sel yang
mengalami invasi yang sangat berat menunjukkan gejala-gejala pembengkakan.
Akar rambut pun berkembang secara normal, jadi tidak terdapat modifikasi
bentuk luas akar (Manan, 1994).
Mekanisme penyerapan fosfat
Beberapa hipotesis dikemukakan oleh Tinker (1975) tentang mekanisme
penyerapan P, yaitu:
1. Kolonisasi mikoriza mengubah morfologi akar sedemikian rupa, misalnya
dengan menginduksi hipertrofi akar, sehingga mengakibatkan pembesaran

sistem akar, dengan demikian luas permukaan akar untuk mengabsorpsi P
menjadi lebih besar.
2. Mikoriza memiliki akses terhadap sumber P-anorganik yang relative tidak
dapat larut (seperti apatit misalnya), yang tidak dimiliki oleh akar yang
tidak bermikoriza.
3. Kolonisasi mikoriza mengubah metabolisme tanaman inang sehingga
absorpsi atau pemanfaatan P oleh akar terkolonisasi ditingkatkan, yaitu
peningkatan daya absorpsi (absorbing power) individu-individu akar.
4. Hifa dalam tanah mengabsorpsi P dan mengangkutnya ke akar-akar yang
dikolonisasi, dimana P ditransfer ke inang bermikoriza, sehingga berakibat
meningkatnya volume tanah yang dapat dijangkau oleh sistem akar
tanaman.
5. Daerah akar bermikoriza tetap aktif dalam mengabsorpsi hara untuk
jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan akar yang tidak
bermikoriza.
Dari kelima hipotesis tersebut, hipotesis keempat dianggap yang paling
penting dalam meningkatkan serapan P, berdasarkan bukti-bukti eksperimental
yang ada. Cendawan MA memiliki struktur hifa yang menjalar keluar ke dalam
tanah. Hifa meluas di dalam tanah, melampaui jauh jarak yang dapat dicapai oleh
rambut akar. Ketika fosfat di sekitar rambut akar sudah terkuras, maka hifa
membantu menyerap fosfat di tempat-tempat yang tidak dapat lagi dijangkau
rambut akar.
Rhodes dan Gerdemann (1980) membagi proses bagaimana hara dipasok ke
tanaman oleh cendawan MA menjadi tiga fase:
1. absorbsi hara dari tanah oleh hifa eksternal;
2. translokasi hara dari hifa eksternal ke miselium internal dalam akar
tanaman inang; dan
3. pelepasan hara dari miselium internal ke sel-sel akar.

Peningkatan pertumbuhan, serapan hara, dan hasil tanaman
Kolonisasi akar kedelai oleh cendawan MA dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil kedelai (Ross and Harper, 1970; Ross, 1971; Mosse et al.,
1976; Carling and Brown, 1980; Ganry et al., 1985) dan konsentrasi P tanaman
kedelai (Ross and Harper, 1970; Ross, 1971; Bethlenfalvey et al., 1985). Selain
itu juga dapat meningkatkan nodulasi dan fiksasi N (Carling et al., 1978; Carling
and Brown, 1980; Ganry et al., 1985).
Perbaikan serapan hara karena simbiosis dengan cendawan MA tidak
hanya terbatas pada fosfat, tetapi juga pada berbagai unsur lain. Pacovsky (1986)
membandingkan serapan hara mikro tanaman mikoriza yang diinokulasi dengan
Glomus mosseae dan Glomus fasciculatum dengan tanaman kontrol yang diberi
pupuk P yang tinggi. Hasilnya adalah bahwa tanaman mikoriza mempunyai
konsentrasi Cu dan Zn yang lebih tinggi tapi Fe dan Mn yang lebih rendah
daripada tanaman kontrol. Perbaikan serapan Zn dilaporkan pada maple (Daft and
Hacskaylo, 1977), kentang (Swaminathan dan Verma, 1979), dan pada Calliandra
(Simanungkalit dan Lukiwati, 2001). Kahat Zn pada bibit peach dapat diatasi
melalui inokulasi mikoriza (Gilmore, 1971; La Rue et al., 1975).Tanaman kedelai
bermikoriza mempunyai konsentrasi Si yang lebih tinggi daripada tanaman
kontrol (Yost and Fox, 1982). Kahat Zn pada bibit peach dapat diatasi melalui
inokulasi mikoriza (Gilmore, 1971; La Rue et al., 1975).
Mikoriza sebagai pengendali hayati
Menurut Linderman (1996) pengendalian hayati berbagai penyakit oleh
mikoriza dapat dipengaruhi oleh satu atau lebih mekanisme-mekanisme berikut:
(1) perbaikan gizi tanaman; terjadinya peningkatan serapan hara (terutama P dan
unsur mineral lain) menghasilkan tanaman yang lebih baik sehingga dapat
melawan atau bersifat toleran terhadap penyakit; (2) kompetisi hara dan tempat
infeksi pada tanaman inang; Dehne (1982) menunjukkan bahwa patogen
cendawan akar dapat menempati sel-sel korteks akar yang berdekatan dengan
yang dikolonisasi cendawan MA, jadi tidak ada kompetisi; (3) perubahan

morfologi dan jaringan akar; misalnya Dehne dan Schonbeck (1979)
menunjukkan adanya peningkatan lignifikasi pada sel-sel endodermis tomat dan
ketimun tanaman bermikoriza, dan berspekulasi bahwa respons semacam itu
merupakan penyebab berkurangnya penyakit layu Fusarium; (4) perubahan
susunan kimia jaringan tanaman; perubahan fisiologis dapat juga terlibat pada
pengaruh lokal terhadap patogen akar. Dehne et al. (1978) menunjukkan
terjadinya peningkatan konsentrasi kitinase anti cendawan pada akar bermikoriza
dan mengusulkan bahwa peningkatan akumulasi arginin pada akar bermikoriza
menekan sporulasi Thielaviopsis; (5) reduksi stre abiotis; stres lingkungan
mempengaruhi terjadi dan beratnya penyakit tanaman biotis.
Mikoriza arbuskuler meningkatkan toleransi terhadap stress seperti itu
dengan berbagai mekanisme. Mikoriza arbuskuler dapat secara biologis
mengurangi penyakit berdasarkan kemampuannya untuk mengurangi pengaruh
faktor stres seperti stres hara, (kahat atau kelebihan), kekeringan dan keracunan
tanah; dan (6) perubahan mikroba dalam mikorizosfir; mikoriza sangat
berpengaruh terhadap terhadap mikroflora rizosfir dengan jalan mengubah
fisiologi dan. eksudasi akar. Meyer dan Linderman (1986) menggunakan media
selektif untuk menunjukkan perbedaan populasi kelompok taksonomi dan
fungsional bakteri dalam rizosfir dan rizosplan tanaman bermikoriza dan tidak
bermikoriza. Linderman (1996) menyebutkan empat faktor yang dapat
mempengaruhi pengelolaan MA dalam pengendalian hayati: 1. Waktu dan
luasnya pembentukan MA. Umumnya MA dapat menekan penyakit akar, kalau
MA sudah terbentuk dan berfungsi sebelum invasi patogen; 2. Taraf inokulum
patogen. Potensi pengendalian hayati berhubungan langsung dengan potensi
inokulum patogen; 3. Keragaman cendawan MA, genotipe inang, dan
komposisi kimia dan mikroba tanah. Interaksi yang berbeda terjadi di antara
cendawan MA, tanaman inang, dan patogen tanaman yang berbeda; dan 4.
Strategi pengelolaan MA. Praktek pertanian yang menurunkan populasi
cendawan MA dan antagonis yang bersangkutan harus dihindarkan. Pada
umumnya tanaman bermikoriza mengalami kerusakan lebih sedikit daripada

tanaman tidak bermikoriza dan serangan penyakit berkurang atau perkembangan
patogen dihambat (Dehne, 1982). Perbedaan pengaruh cendawan MA terhadap
serangan dan perkembangan penyakit dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
cendawan MA dan kondisi lingkungan. Tidak semua laporan mengindikasikan
bahwa mikoriza menekan penyakit
Mikoriza sebagai sebagai pembenah tanah
Mikoriza berpengaruh terhadap agregasi tanah (Tisdall and Oades, 1979).
Terutama ini dipengaruhi oleh persentase agregat tanah dengan ukuran >2 mm,
yang lebih tinggi pada tanaman yang diinokulasi mikoriza daripada yang tidak
diinokulasi (Tabel 11). Adanya miselium cendawan MA yang dilapisi oleh zat
berlendir menyebabkan partikel-partikel tanah melekat satu sama lain. Wright dan
Upadhyaya (1996) menyebutkan zat yang berlendir ini sebagai glomalin.
Glomalin ini merupakan glikoprotein yang mengikat partikel-partikel tanah,
dikeluarkan oleh cendawan MA melalui hifa.
Banyak tanaman pertanian yang ditanam pada lahan-lahan yang mudah
tererosi, karena terletak pada tingkat kemiringan yang tinggi. Dengan kemampuan
seperti disebutkan di atas simbiosis tanaman dengan cendawan MA dapat
meningkatkan stabilitas tanah.
Mikoriza sebagai pereduksi stres abiotis
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa MA dapat meningkatkan
toleransi tanaman terhadap kekeringan (Kothari et al., 1990; Sylvia et al., 1993;
Subramanian et al., 1995). Perbaikan toleransi tanaman bermikoriza terhadap stres
air dapat disebabkan oleh peningkatan konduktivitas hidraulik, laju transpirasi
yang lebih kecil per satuan luas, adanya ekstraksi air dari tanah ke potensi yang
lebih rendah, pemulihan tanaman yang lebih cepat dari stres air, P tanah yang
lebih baik.
Menurut Safir et al. (1971, 1972) simbiosis cendawan MA mungkin
mempengaruhi hubungan air tanaman kedelai secara tidak langsung, yaitu melalui

perbaikan nutrisi P tanaman. Dari hasil-hasil penelitian yang ada berkaitan dengan
toleransi terhadap cekaman kekeringan ini, kelihatannya ada dua kubu yaitu: (1)
yang menyatakan perbaikan nutrisi P sebagai penyebab peningkatan toleransi dan
(2) yang mengakui adanya pengaruh-pengaruh yang bersifat nonnutrisi yang dapat
terjadi (Auge, 2001).
Kandowangko (2004) dalam penelitian inokulasi ganda cendawan MA dan
Azospirillum pada tanaman jagung mendapatkan peningkatan kadar air relatif
daun (KARD) dan kadar prolin, dan kadar asam absisat (ABA). Ketiga peubah ini
merupakan indikator toleransi ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Menge et
al. (1978) mendapatkan tanaman avokad yang bermikoriza lebih tahan pada
waktu dipindahkan ke lapangan. Tentunya kemampuan cendawan MA seperti ini
sangat bermanfaat bagi tanaman-tanaman yang terlebih dahulu ditumbuhkan di
persemaian sebelum dipindahkan ke lapangan. daerah-daerah industri atau
pertambangan sudah banyak yang tercemardengan beberapa jenis logam berat
seperti Pb, Cd, Hg, Zn, dan Cu.
Konsentrasi tinggi logam berat berakibat buruk terhadap mikroorganisme
dan proses-proses mikrobial (Leyval et al., 1997) Membicarakan hubungan ntara
cendawan MA dan logam berat tidak hanya menyangkut pengaruh logam berat
terhadap kolonisasi cendawan MA, tetapi juga toleransi cendawan MA terhadap
logam berat, dan pengaruh terhadap serapan dan transfer logam berat ke tanaman.
Gildon dan Tinker (1981) mendapatkan 35% akar clover yang tumbuh pada bekas
tambang yang tercemar dengan dengan logam (sampai 8,3% Zn dan 863 μg g-1
Cd) terkolonisasi cendawan MA. Cooper and Tinker (1978), dengan
menggunakan sistem kultur yang memisahkan hifa ekstrradikal dari akar
mendapatkan hifa ekstraradikal mampu mengakumulasi dan mentraslokasi 65Zn.
Isolat cendawan MA yang toleran terhadap Cd sudah diisolasi dari lahan-lahan
tercemar logam berat (Gildon and Tinker, 1981: Weissenhorn et al, 1993, 1994).
Nurbaity et al.(2000) mendapatkan bahwa cendawan MA dapat menekan
kadar Cu pada tanaman padi gogo yang ditanam pada tanah yang berasal dari

areal tailing Mekanisme kemampuan tanaman bermikoriza untuk mengakumulasi
logam berat pada akar sehinggamencegah translokasi ke batang belum jelas.
Peran mikoriza pada sistem pola tanam
Populasi mikoriza pada sistem pola tanam dapat berbeda karena perbedaan
ketergantungan tanaman terhadap mikoriza. Kuo and Huang (1982) menanam
benih kedelai pada 15 g inokulan campuran Glomus dalam tunggul padi yang baru
dipanen dan mendapatkan kenaikan hasil kedelai 21%, sedangkan yang diberi 60
kg P ha-1 kenaikan hasilnya hanya 14%. Inokulasi mikoriza mungkin penting
untuk tanaman bermikoriza seperti kedelai, yang ditanam setelah padi pada pola
tanam dimana populasi mikoriza asli sudah terkuras pada kondisi padi anaerob.
Oleh karena adanya perbedaan ketergantungan jenis tanaman yang ditanam pada
suatu rotasi, maka pengelolaannya haruslah sedemikian rupa sehingga keberadaan
berbagai jenis tanaman pada lahan tersebut dapat mempertahankan jumlah
populasi mikoriza tetap tinggi.
Peran mikoriza dalam merehabilitasi lahan-lahan terdegradasi
Peran mikoriza sudah diakui tidak hanya mempunyai arti potensial untuk
melestarikan produksi tanaman, tetapi juga untuk mengkonservasi lingkungan. Di
Jepang inokulan cendawan MA sudah digunakan paling berhasil untuk
penanaman kembali (revegetasi) lahan-lahan yang dirusak oleh aktivitas gunung
berapi (Marumoto, 1999). Aktivitas pertambangan dan industri juga dapat
menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Berbagai bekas tambang dan daerah
industri sudah tidak memiliki lagi lapisan atas (top soil), sehingga tidak ada
vegetasi lagi yang tumbuh. Biasanya lapisan ini tidak mengandung propagul
CMA lagi. Oleh karena itu inokulasi tanaman-tanaman yang digunakan untuk
revegetasi lahan-lahan terdegradasi ini dengan cendawan MA sangat dibutuhkan.
Praktek pertanian yang merugikan perkembangan cendawan MA
Penggunaan pupuk dan insektisida pada pertanian konvensional dapat
mempengaruhi perkembangan simbiosis mikoriza arbuskuler dalam tanah.

Misalnya penggunaan dosis pupuk P yang tinggi dapat menekan kolonisasi
mikoriza pada akar tanaman. Oleh karena itu ada batas maksimal pemberian
pupuk P untuk berfungsinya simbiosis secara optimal.
Pengkerdilan bibit jeruk (citrus) setelah tanah difumigasi dengan
metilbromida berkaitan dengan penghambatan cendawan MA oleh fumigant
(Kleinschmidt and Gerdemann, 1972). Infeksi mikoriza dan pertumbuhan
tanaman bawang perai menurun nyata karena tetesan fungisida metalaxyl
(RidomilR) di tanah (Jabaji-Hare and Kendrick, 1987). Menge (1982) meriviu
pengaruh fumigan tanah dan fungisida terhadap cendawan MA. Pengaruh
herbisida, insektisida, nematisida dan lain-lain terhadap simbiosis mikoriza perlu
pengkajian lebih lanjut karena hasil-hasil yang kontradiksi pada berbagai contoh
(Hayman, 1982).

III. PENUTUP
Keberadaan cendawan dalam tanah ada yang bermanfaat, juga tidak
bermanfaat, bahkan menjadi masalah pada tanaman. Dalam lingkungan tumbuh
tanaman (Rhizosfer) terdapat komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik
seperti cendawan, bakteri, dan nematoda, ada yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian tanaman, juga untuk membantu penyerapan unsur hara dan air,
dalam tanah. Salah satunya adalah cendawan mikoriza, yang diketahui dapat
berassosiasi dengan akar tanaman, sehingga dapat membantu dalam hal
penyerapan unsur hara dan air.
Mikoriza yang menginfeksi tanaman, maka akan membentuk hifa eksternal
sehingga memperluas permukaan akar dan menghasilkan senyawa kimia yang
menyebabkan lepasnya ikatan hara dalam tanah. Selain itu cendawan mikoriza
dapat pula berfungsi sebagai pelindung dari serangan penyakit tertentu seperti
patogen Phytopthora, Phytium, Rhizoctonia, dan Fusarium. Perlindungan
mikoriza terhadap patogen terjadi karena memanfaatkan karbohidrat lebih banyak
dari akar, sebelum dikeluarkan dalam bentuk eksudat akar, menghasilkan
antibiotik, dan memacu perkembangan mikroba saprofitik disekitar perakaran.
.

DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin, 2002. Optimasi Pengolahan Secara Konvensional air Sungai Karang Mumus dan Pemanfaatan Serbuk Gergaji dalam Pengolahannya. Jurnal Ilmiah Mahakam, 32-44/I. Samarinda. : Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Andriyetni, N. 2006. Dinamika Populasi Mikrob dalam Campuran Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Selama Proses Bioremediasi. Skripsi S1 Program Studi Ilmu Tanah. Departemen Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Daru, P.T. 1999. Kandungan Komponen Serat Ampas Tebu Hasil Fermentasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Buletin Budidaya Pertanian 52- 57/V, Samarinda.
Davis, R.M. and J.A. Menger. 1980. Influence of Glomus fasciculatus and soil phosphorus on Phytopthora root rot of citrus. Phytopathologi, 70:447-452.
De la Cruz, R.E., Lavilla and Zarate, J.T. 1992. Aplication of mycorrhiza in bare rooting and direct-seeding Technologies for reforestation. In Proceeding of Tsukuba-Workshop Bio-REFOR.
Donna, A.F. 2001. Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji dan Kompos Sampah Pasar Terhadap Pertumbuhan Anakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) Pada Tanah Latosol Dramaga. Skripsi S1 Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB.
Harley, J.L., and S.E. Smith. 1983. Mychorrizal Symbiose. Acad. Press. Inc.
Jawal, M., Jumjumidang, Liferdi, Herizal, dan T. Purnama. 2005. Tehnik produksi massal cendawan mikoriza arbuskular (MVA) yang infektif dan efektif sebagai pupuk biologi bibit manggis. Jurnal Stigma XII (4):516-519.
Lambert, D.H., and Cole, H.J. 1980. Effects of mycorrhizae on establishment and performance of forage species in mine soil. Agro. J. 72:527-260.
Gunawan, A.W. 1992. Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Serbuk Gergaji Kayu Jeunjing (Paraserianthes falcataria). Technical Notes. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Imas, T; Hadioetomo, R.S; Gunawan, A.W; Setiadi, Y. 1989. Mikrobiologi Tanah II. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.

Indriyani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.Kartika, L; Yustina M.P.D; dan Agustin, W.G. 1995. Campuran Serbuk Gergaji
Kayu Sengon dan Tongkol Jagung Sebagai Media untuk Budi Daya Jamur Tiram. Hayati 23-27/II, Bogor..
Maryadi, F. 2001. Status dan Keanekaragaman Jenis CMA di Bawah Tegakan Kebun Benih Klonal Jati (Tectona grandis L.F.) di Padangan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB Bogo r.
Mashudi, D.S. dan Adinugraha, H.A. 2003. Aplikasi Teknik Stek Batang Pulai (Alstonia scholaris R.Br) dalam Pengembangan Kebun Pangkas. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan vol. 1 No. 3, Desember 2003, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. IPB Press. Institut Pertanian Bogor.
Oehl, F. dan Sieverding, E. 2004. Pacispora, A New Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Fungal Genus in the Glomeromycetes. Journal of Applied Botany and Food Quality-Angewandte Botanik 78(1):72-82.
Pelczar, M.J & Chan, E.C.S. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Pratikno, H; Syekhfani, Y; Nuraini dan Eko, H. 2002. Pemanfaatan Biomasa Flora untuk Meningkatkan Ketersediaan dan Serapan P Pada Tanah Berkapur di DAS Brantas Hulu Malang Selatan. Biosain 2(1): 78-91.
Puryono, S.K.S. 1998. Perlunya Label Bibit Bermikoriza. Majalah Kehutanan Indonesia. Ed 2 Th. 1997/1998.
Rachmawati, H. 2000. Genetika dan Benih Tectona grandis untuk Indonesia, IFSP.
Rubijanto, M; Endang, S.P; Purnomowati; Sukanto. 1988. Pemanfaatan Beberapa Jenis Serbuk Gergaji untuk Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus (Jacq. ex, Fr ) Kummer).
Rusmala, 2003. Bioremediasi Tailling PT Aneka Tambang Gunung Pongkor Kabupaten Bogor. Skripsi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam. IPB : Bogor.

Sangadji, R. 2004. Perbaikan Kualitas Inokulum Mikoriza Dengan Penambahan Bahan Organik Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai Jati. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan).
Satter, M.A; Hanafi, M.M; Mahmud, T.M.M; Azizah, H. 2006. Influence of Arbuscular Mycorrhiza and Phosphate Rock on Uptake of Major Nutrients by Acacia mangium Seedlings on Degraded Soil. Biology and Fertility of Soil. 42(4):345-349.).
Smith, S.E. and Read, D.J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis, 2nd ed. Academic Press, San Diego, CA, USA.
Subramanian, K.S; Santhanakrishnan, P; Balasubramanian, P. 2006. Responses of Field Grown Tomato Plants to Arbuscular Mycorrhizal Fungal Colonization Under Varying Intensities of Drought Stress. Scientia Horticulturae 107(3):245-253.
Sumarna, Y. 2003. Budi Daya Jati. Penebar Swadaya.Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Supraptono, B. 1995. Laporan Penelitian, Studi Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji untuk Bahan Baku Briket Arang, Samarinda : Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Susmiyati, 2005. Upaya Meningkatkan Pertumbuhan Semai Kawista (Limonia acidissima Lindl.) dengan Penambahan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Bahan Additif. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB.
Tarmidi, A.R dan Rahmat, H. 2004. Peningkatan Kualitas Pakan Serat Ampas Tebu Melalui Fermentasi dengan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Bionatura. 197-204/VI, Bandung.
Turjaman, M. 2004. Mikoriza: Inovasi Teknologi Akar Sehat, Kunci Sukses Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Majalah Kehutanan Indonesia. 20-22/I, Jakarta.