tugas terstruktur parasitologi
Embed Size (px)
DESCRIPTION
parasitologiTRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTUR PARASITOLOGI
NEMATODA PARASIT USUS
DISUSUN OLEH :
1. Roffa Hijrani (G1B012007)
2. Lenny Rachmawati (G1B012008)
3. Alvianti Fatma Pratami (G1B012009)
4. Rossita Kurnia Rahayu (G1B012015)
5. Leti Siana (G1B012016)
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik tidak bersegmen,
dan tubuhnya bilateral. Nematoda pada manusia digolongkan menjadi dua menurut
tempat hidupnya, yaitu Nematoda usus dan Nematoda jaringan. Spesies Nematoda
usus yang ditemukan pada manusia Ascaris Lumbricoides, Trichuris trichiura,
Oxyuris vermicularis,Strongyloides stercolaris, Ancylostoma duodenale, Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma caninum, Necator americanus,Toxocara canis dan
Toxocara cati. Umumnya manusia menupakan hospes definitive. Tiap spesies
Nematoda usus memiliki morfologi yang berbeda-beda. Cacing betina ukurannya
lebih besar daripada jantan. Tiap larva spesies Nematode usus berada di dalam
sirkulasi darah(siklus paru), kecuali Trichuris trichiura. Gejala klinis dipengaruhi
oleh tingkat infeksi(jumlah cacing), jenis parasite, stadium parasite,(larva/dewasa),
lokalisasi parasite, dan lamanya kasus infeksi. Diagnosis penyakit ditegakkan dengan
menemukan telur dalam feses, bilasan duodenum, larva dalam jaringan melalui teknik
jaringan tekan atau diwarnai,uji intradermal, uji serologis. Pengobatan penyakit harus
disertai dengan upaya peningkatan hygiene dan sanitasi. Infeksi umumnya melalui
media tanah yang terkontaminasi feses yang mengandung telur cacing (soil
transmitted helminthes), misalnya askarialis, trikurialis, dan cacing tambang. Dalam
siklus hidupnya cacing nematode usus membutuhkn kondisi lingkungan yang
mempunyai temperature dan kelembapan yang sesuai. Upaya pencegahan dengan
melakukan pengobatan secara individual atau massal, menghindari kontak debu, tidak
defekasi disembarang tempat, memasak sayuran hingga matang,memakai alas kaki,
menghindari kontak/ berdekatan dengan anjing dan kucing. Sebagian besar nematoda
tersebut menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas mengenai nematoda khususnya nematoda parasit
usus.( Muslim,2009)
B. Tujuan.
1. Mengetahui klasifikasi, epidemiologi, distribusi geografis & kondisi penyakit
terkini, morfologi, siklus hidup, patologi, pencegahan dan pengendalian.

BAB II
ISI
Pada uraian berikut akan dibahas beberapa spesies dari Nematoda yang merupakan
parasite pada manusia.
1. Ascaris lumbricoide(cacing gelang)
1.1 Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
superfamili : Ascaridoidea
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
1.2 Epidemiologi
Distribusi di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi pada Negara beriklim
tropisdan subtropics, dan daerah yang sanitasinya tidak baik. Telur Ascaris
lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat dengan kelembapan
tinggi dan suhu 25-30’c, membutuhkan waktu 2-3 minggu agar telur menjadi
infektif. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak yang
mencapai 60-90 %.
(Muslim, 2009)
1.3 Distribusi Geografis
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan di beberapa tempat
di Indonesia menunjukan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih cukup
tinggi, sekitar 60-90%.(Sutanto, 2008)
1.4 Morfologi
Morfologi Ascaris lumbricoides yaitu :
Cacing jantan memiliki ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2
spikula.
Cacing betina memiliki ukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian
anterior memiliki cincin kopulasi.
Mulut terdiri atas 3 buah bibir.

Telur yang dibuahi berukuran sekitar 60 x 45 mikron, berbentuk oval,
berdinding tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio.
Telur yang tidak dibuahi berukuran sekitar 90 x 40 mikron, berbentuk
bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan dan
dalamnya bergranula.
T
e
l
u
r
decorticated, telurnya tanpa lapisan albuminoid yang lepas karena proses
mekanik.(Prianto,juni,2006)
1.5 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris Lumbricoides
1.6 Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva.Gangguan pada larva biasanya terjadi pada saat di paru – paru. Pada orang
yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan
pada paru - paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto
toraks tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini
disebut dengan Sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang – kadang penderita mengalami gejala gangguan usus
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing – cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus ( ileus ). Pada keadaan
tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke
bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang – kadang
perlu tindakan operatif. (Sutanto, 2008)
1.7 Pencegahan, Pengandalian dan Pengobatan
Pencegahan pada cacing jenis ini yaitu dengan kesadaran penggunaan
jamban keluarga yang baik dan benar. Selain itu, dengan menghindari
pencemaran feses pada tanah di sekitar halaman rumah, dibawah pohon,
dan tempat pembuangan sampah.
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau masal dengan syarat
mudah diterima, efek samping rendah, aturan pakai mudah, dan murah.
Obat yang biasa digunakan adalah piperasin, tiabendazol, heksilresorkinol,
dan hetrazan. Golongan obat ini dapat memilikiefek samping, sedangkan
obat-obat baru yang efektif dipakai di antaranya adalah pirantel pamoat,
mebendazol, albendazol, dan levamisol (Muslim,2009).

2. Trichuris trichiura (cacing cambuk)
2.1 Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Subkelas : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Superfamili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichuira
2.2 Epidemiologi.
Factor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah
dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab, dan teduh dengan suhu optimum
30’C. pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi
di Indonesia tinggi. Di beberapa pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-
90%. Di daerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan,terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan
mencuci sayuran yang akan dimakan mentah adalahpenting apalagi di negeri yang
memakai tinja sebagai pupuk (Sutanto, 2008).
2.3 Distribusi Geografis.
Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan
lembab, seperti Indonesia (Sutanto, 2008).
2.4 Morfologi dan Siklus Hidup.
Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides,anterior panjang
dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm,dan jantan
panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54x32 mikron, bentuk seperti
tempayan/tong, di kedua ujung ada operculum (mucus yang jernih) berwarna
kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur.
Kerusakan mekanik di mukosa usus oleh cacing dewasa dan respons alergi
disebabkan oleh jumlah cacing yang banyak, lama infeksi, usia, dan status
kesehatan umum hospes. Infeksi berat dan menahun terutama terjadi pada anak-
anak.cacing tersebar di kolon dan rectum sehingga dapat terjadi prolapse rektal
yang menyebabkan pendarahan pada tempat perlekatan dan menimbulkan anemia.
Anemia terjadi karena malnutrisi dan kehilangan darah akibat kolon rapuh. Di

samping itu, cacing ini juga mengisap darah. Gejala klinis terjadinya diare disertai
sindrom disentri, anemia, prolaps rektal, dan berat badan menurun. Secara klinis
infeksi lama(kronis) dPt menimbulkan anemia hipokromik (Muslim,2009).
2.5 Patologi dan Gejala Klinis.
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat
juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rectum
yang mengalami prolapses akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat perlekatannya
dapat terjadi pendarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak-anak
dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukan gejala diare yang
sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang
disertai prolapses rectum. Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasite ini sering
ditemukan pada pemeriksaan tinja secara rutin (Sutanto, 2008).
2.6 Pencegahan, Pengobatan, dan Pengendalian.
Upaya tindakan pencegahan data dilakukan seperti pada kasus askariasis.
Infeksi parasite ini diobati dengan menggunakan pirantel pamoat, mebendazol,
oksantel pamoat, dan levamisol. (Muslim,2006)

3. Oxyuris vermicularis(cacing kremi)
3.1 Klasifikasi.
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Oxyurida
Superfamili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Oxyuris Vermicularis
3.2 Epidemiologi.
Penyebarannya lebih luas dibandingkan nematode usus lainnya. Penularan
sering terjadi pada suatu keluarga atau kelompok yang hidup di lingkungan yang
sama.(Muslim.2006)
3.3 Distribusi geografis.
Distribusi geografik secara kosmopolit, terutama di iklim tropisdan subtropics.
Lebih banyak ditemukan di daerah dengan suhu dingin daripada panas.
Penyebaran juga disebabkan oleh pengaruh hubungan yang erat antar kelompok
manusia, seperti di asrama, panti asuhan, barak, dan sebagainya.(Muslim,2006)
3.4 Morfologi.
Cacing jantan panjangnya 2-5 mm, ekor melengkung.
Cacing betina panjangnya kurang lebih 10 mm, uterus berisi telur, ekor
runcing.
Baik jantan maupun betina mempunyai’cephalic alae”.
Telurnya berukuran kurang lebih 55x25 mikron, bentuk lonjong asimetris,
berdinding tebal, berisi larva.(Prianto,2006)
3.5 Patologi klinis.

Pruritus ani terutama pada malam hari, gejala intestinal biasanya ringan,
peradangan pada vagina/tuba fallopii.
3.6 Siklus hidup.
3.7 Pencegahan, Pengobatan, dan Penanggulangan.
Pencegahan sulit dilakukan karena penularan yang mudah, yaitu dari anus
ke mulut, pakaian terkontaminasi telur yang terbawa debu, perabot rumah
tangga dll. Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan higieni
perorangan.(Muslim,2006)
Enterobiasis sering menyebabkan infeksi berulang sehingga perlu
dilakukan pengobatan kembali dan harus dilakukan pada seluruh keluarga.
Obat yang dianjurkan diantaranya adalah piperasin, mebendazol, dan
pirivinium yang efektif untuk semua stadium.
(Prianto, 2006)

4. Strongyloides stercolaris
4.1 Klasifikasi.
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernente
Ordo : Rhabditida
Superfamili : Rhabditoidea
Genus : Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
4.2 Epidemiologi.
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat
menguntungkan cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak
langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah gembur,
berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 ssekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan (Sutanto, 2008).
4.3 Distribusi geometris
Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di
daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan (Sutanto, 2008).
4.4 Morfologi
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk
parasitik di dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik
dan telur dapat berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif
yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan
betina. Bentuk bebas ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan
esofagus rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva
terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus
filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu
menembus kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum.
Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira
2 mm. Cacing dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan
uterusnya berisi telur dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah
secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus,

kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta
dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang hidup bebas panjangnya
kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan
spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut: terbuka,
pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform
bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut
tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung
tumpul berlekuk (Sutanto, 2008).
4.5 Siklus hidup
Cara berkembang biak Strongyloides stercoralis diduga secara
parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian
telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta
dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup.
1. Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16
mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing dan
merupakan bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filariform
menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke dalam peredaran darah
vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit
yang mulai dari dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring.
Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan
kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa cacing
betina yang dapat bertelur ditemukan kurang lebih 28 hari sesudah infeksi.
2. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi
cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk
dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang
jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung
dengan dua buah spikulum, sesudah pembuahan,cacing betina
menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
raditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabeditiform tersebut
mengulangi fase hidup bebas.

Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan
sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk
kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim
lembab yang lebih dingin dengan keadaan yang lebih menguntungkan
untuk parasit tersebut.
3. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau
di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di
dalam hospes. Auto infeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik (Sutanto,
2008).
4.6 Patologi.
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit
yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi
ringan Strongyloides stercoralisterjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak
menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabklan rasa sakit seperti tertusuk-
tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan
muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongioloidiasis dapat terjadi
autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai
parasit dapat ditemukan di seluruh traktus di gestivus dan larvanya dapat ditemukan di
berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).
Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia
meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal (Sutanto, 2008).
4.7 Pencegahan, Pengendalian, dan Pengobatan
Pencegahan penularan infeksi dilakukan dengan menghindari kontak
dengan tanah, feses, atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh
larva infektif. Orang yang diketahui terinfeksi harus segera diobati.
Terjadinya autoinfeksi pada siklus hidup-bebas mempersulit pencegahan.
Pengobatan: obat seperti mebendazol, pirantel pamoat, levamisol hasilnya
kurang memuaskan, dan obat saat ini yang sering dipakai adalah
tiabendazol.

5. Toxocara canis dan Toxocara cati
5.1 Klasifikasi
Klasifikasi Toxocara canis
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis
Klasifikasi Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
5.2 Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang
betina 5,7-10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm, sedangkan
yang betina berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya menyerupai Ascaris
lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk
seperti lanset, sedangakan pada Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga
kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama;
yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk
(digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing (Sutanto, 2008).
5.3 Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi
telur infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik dengan
menelan telur infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal di
tanah seperti cacing tanah dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau
kucing dapat terjadi secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau

melalui air susu dari induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes
paratenik) kemudian larva menembus usus dan ikut dalam peredaran darah
menuju organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang larva
tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut (Sutanto, 2008).
5.4 Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat
dalam. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan,
nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Larva dapat terbungkus
dalam granuloma kemudian dihancurkan atau tetap hidup selama bertahun-tahun.
Kematian larva menstimulasi respon imun immediate-type hipersisentivity yang
menimbulkan penyakitvisceral larva migrans (VLM). Dengan gejala demam,
perbesaran hati, dan limfa, gejala saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme.
Kelainan pada otak menyebabkan kejang, gejala neuro psikitrik/ensefalopati berat
ringannya gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita.
Umumnya penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun karena mereka
banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah yang terkontaminasi tinja
anjing atau kucing (Sutanto, 2008).
5.5 Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan ditemukan
juga di Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing
26,0%. Prevalensi toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di
Jakarta masing-masing mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
5.6 Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau
kucing peliharaan secara sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak dan
kebun sayuran. Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau
ivermectin. Anak anjing atau anak kucing secara rutin diobati mulai usia 2-3
minggu, setiap 2 minggu hingga berusia 1 tahun. Anjing atau kucing dewasa
diobati setiap 6 bulan.
Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang
mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti,
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang
matang dan membersihkan secara seksama sayur lalapan (Sutanto, 2008).

6. Cacing Tambang (Hookworm)
Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya:
Necator americanus (manusia)
Ancylostoma duodenale (manusia)
Ancylostoma braziliense (kucing, anjing)
Ancylostoma caninum (kucing, anjing)
6.1 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
6.1.1 Klasifikasi Necator americanus
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongiloidae
Family : Ancylostomatidae
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
6.1.2 Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Sering kali pekerja
perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi
lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
(di berbagai daerah tertentu) penting dalam peyebaran infeksi. Tanah yang
baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum untuk Necator americanus 28o- 32o C, sedangkan untuk
Ancylostoma duodenale lebih rendah (23o-25o C). Pada umumnya
Ancylostoma duodenale lebih kuat (Sutanto, 2008).

6.1.3 MorfologiNecator americanus sangat mirip dalam morfologi dengan
Ancylostoma duodenale. Necator americanus umumnya lebih kecil dari Ancylostoma duodenale dengan laki-laki biasanya 5 sampai 9 mm panjang dan wanita sekitar 1 cm. Necator americanus memiliki sepasang memotong pelat dalam kapsul bukal. Selain itu, bentuk kait jauh lebih didefinisikan dalam Necator daripada di Ancylostoma.
6.2 Siklus Hidup