tugas terstruktur patologi umum

19
TUGAS TERSTRUKTUR PATOLOGI UMUM SYOK ANAFILAKTIK Disusun Oleh: 1. Amalia Ulfa G1F011001 2. Diah Ayu Wulandari G1F011003 3. Wigati Nuraeni G1F011019 4. Hijrofayanti G1F011054 5.  Najah G1F010075 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO 2013

Upload: wigati-nuraeni

Post on 14-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTUR PATOLOGI UMUMSYOK ANAFILAKTIK

Disusun Oleh:1. Amalia UlfaG1F0110012. Diah Ayu Wulandari G1F0110033. Wigati Nuraeni G1F0110194. HijrofayantiG1F0110545. NajahG1F010075

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN FARMASIPURWOKERTO2013

BAB IPENDAHULUANI. Latar BelakangPengaruh yang tidak menguntungkan dari proses imun menjadi dasar dari banyak penyakit pada manusia dan dapat mengganggu setiap system organ yang penting. Selain itu, perubahan karakteristik pada reaktan imun yang memberikan kunci diagnostik yang penting menyertai banyak keadaan sebagai akibat atau peristiwa yang pararel. Respon antibody normal dan respon yang diperantarai sel menyangkut serangkaian langkah, yang masing-masing dimodulasi oleh kelompok-kelompok sel tertentu. Gangguan pada proses pengawasan ini dapat menyebabkan reaksi imun yang berlebihan atau tidak semestinya. Imunitas pelindung dan penyakit alergi bersama-sama memiliki respon jaringan terhadap zat-zat yang dikenal sebagai asing. Mekanisme imun memberikan pertahanan yang esensial melawan invasi organisme yang menimbulkan cedera dan timbulnya tumor ganas (Price, 1995). Reaksi-reaksi klinis dari hipersensitivitas cepat atau lambat terjadi karena sebelumnya pernah kontak dengan agen tertentu, agen yang mempunyai karakteristik kimia tertentu, yang mensensitisasi individu terhadap partikel tertentu. Peristiwa selular yang menyertai dan menimbulkan kemampuan memberi respon hipersensitivitas dinamakan sensitisasi (Price, 1995).Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara simultan (biasanya system kardiovaskular, respirasi, kulit, dan gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis (ana=balik; phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001). Anafilaksis merupakan manifestasi dari hipersensitivitas tipe cepat di mana individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau hapten yang mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya diikuti oleh kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria, pruritus, dan angioedema (Dorland, 1998). Sedangkan menurut Guyton (1997) anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun dengan hebat. Anafilaksis terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam sirkulasi.Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Diperkirakan 0,4 kasus perjuta penduduk pertahun dan di rumah sakit diperkirakan 0,6 perseribu pasien. Di Amerika Serikat diperkirakan 1-2 % pasien yang disuntik penisilin mengalami reaksi anafilaksis dan 400-800 di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaktiod oleh zat kontras 5% dari pengguna dan 250-1000 orang di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data yang akurat. Diperkirakan 1/5 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya (Syamsu, 2001).Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui kejadian syok anafilaktik dalam meliputi penyebab, mekanisme, gejala atau menifestasi klinis, tes penunjang diagnosa penatalaksanaan serta pencegahan.

II. TujuanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kejadian syok anafilaktik dalam meliputi penyebab, mekanisme, gejala atau menifestasi klinis, tes penunjang diagnosa penatalaksanaan serta pencegahan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAI. PengertianSecara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxisyang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.

II. GejalaAnafilaksis biasanya memberikan berbagai gejala yang berbeda dalam hitungan menit atau jam. Gejala akan muncul rata-rata dalam waktu 5 sampai 30 menit bila penyebabnya suatu zat yang masuk ke dalam aliran darah secara langsung (intravena). Rata-rata 2 jam jika penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi orang tersebut. Daerah yang umumnya terkena efek adalah: kulit (8090%), paru-paru dan saluran napas (70%), saluran cerna (3045%), jantung dan pembuluh darah (1045%), dan sistem saraf pusat (1015%). Biasanya dua sistem atau lebih ikut terlibat.Gejala khas termasuk adanya tonjolan di kulit (kaligata), gatal-gatal, wajah dan kulit kemerahan (flushing), atau bibir yang membengkak. Bila mengalami pembengkakan di bawah kulit (angioedema), mereka tidak merasa gatal tetapi kulitnya terasa seperti terbakar. Pembengkakan lidah atau tenggorokan dapat terjadi pada hampir 20% kasus. Gejala lain adalah hidung berair dan pembengkakan membran mukosa pada mata dan kelopak mata (konjungtiva). Kulit mungkin juga kebiruan (sianosis) akibat kekurangan oksigen.Gejala saluran napas termasuk napas pendek, sulit bernapas dengan napas berbunyi bernada tinggi (mengi), atau bernapas dengan napas berbunyi bernada rendah (stridor). Mengi biasanya disebabkan oleh spasme pada otot saluran napas bawah (otot bronkus).Stridor disebabkan oleh pembengkakan di bagian atas, yang menyempitkan saluran napas. Suara serak, nyeri saat menelan, atau batuk juga dapat terjadi.Pembuluh darah jantung dapat berkontraksi secara tiba-tiba(spasme arteri koroner) karena adanya pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung. Keadaan ini mengganggu aliran darah ke jantung, dan dapat menyebabkan kematian sel jantung (infark miokardium), atau jantung berdetak terlalu lambat atau terlalu cepat (distrimia jantung), atau bahkan jantung dapat berhenti berdetak sama sekali (henti jantung). Seseorang dengan riwayat penyakit jantung sebelumnya memiliki risiko lebih besar mengalami efek anafilaksis terhadap jantungnya. Meskipun lebih sering terjadi detak jantung cepat akibat tekanan darah rendah, 10% orang yang mengalami anafilaksis dapat memiliki detak jantung yang lambat (bradikardia) akibat tekanan darah rendah. (Kombinasi antara detak jantung lambat dan tekanan darah rendah dikenal sebagai refleks BezoldJarisch). Penderita dapat merasakan pening atau bahkan kehilangan kesadaran karena turunnya tekanan darah. Turunnya tekanan darah ini dapat disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah (syok distributif) atau karena kegagalan ventrikel jantung (syok kardiogenik). Pada kasus yang jarang, tekanan darah yang sangat rendah dapat merupakan satu-satunya tanda anafilaksis.Gejala pada perut dan usus dapat berupa nyeri kejang abdomen, diare, dan muntah-muntah. mungkin mengalami kebingungan (confusion), tidak dapat mengontrol berkemih, dan dapat juga merasa nyeri di panggul yang terasa seperti mengalami kontraksi rahim. Melebarnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sakit kepala.Penderita dapat juga cemas atau merasa seperti akan mati.

Manifestasi klinisManifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

III. PenyebabAnafilaksis dapat disebabkan oleh respon tubuh terhadap hampir semua senyawa asing. Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-obatan. Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua. Penyebab yang lebih jarang diantaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi (misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit (pengobatan topikal). Olah raga atau suhu (panas atau dingin) dapat juga memicu anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal sebagai sel mast) melepaskan senyawa kimia yang memulai reaksi alergi. Anafilaksis karena berolahraga biasanya juga berkaitan dengan asupan makanan tertentu. Bila anafilaksis timbul saat seseorang sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks. Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (anafilaksis idiopatik) ( Anonim, 2012).Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat secara suntikan,tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang diberikan secara oral atau oleh makanan. Obat obat yang sering menyebabkan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serumantitetanus, serum antidifteri, dan antidiabetes. Alergiterhadap gigitan serangga, kuman kuman, insulin, CTH. Zat radiodiagnostik, enzim enzim,bahan darah, obat bius (prokainm,lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat,kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll (Mansjoer dkk. 2000)Melalui mekanisme IgE dan non IgE, serta berbagai penyebab selain obat, seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara panas, air dingin, bahkan sebagian tidak diketahui. Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis(Rengganis et al., 2007):1.Anafilaktik (melalui IgE)-Antibiotik (penisilin, sefalosporin)-Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)-Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)-Enzim (kemopapain, tripsin)-Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)-Protein manusia (insulin, vasopressin, serum)2.Anafilaktoid (tidak melalui IgE)-Zat penglepas histamine secara langsunga.Obat (opiat, vankomisin, kurare)b.Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)c.Obat lain (dekstran, fluoresens)-Aktivasi komplemena.Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya)b.Bahan dialisis-Modulasi metabolisme asam arachidonata.Asam asetilsalisilatsb.Antiinflamasi nonsteroid

IV. Mekanisme Anafilaktik Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediatetype reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilahpreformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebutnewly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Plateletactivatingfactor(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

V. Tes Penunjang DiagnosaPemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, kadang juga sangat dibutuhkan. Beberapa pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah : Pemeriksaan laboratorium, ini diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.(Sunatrio,1990)

VI. Penatalaksanaan Menurut Depkes RI (2007), Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.2. Segera berikan adrenalin 0,3 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0,01 g/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2 4 g/menit.3. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang member respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan 0,4 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.4. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.5. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi

Berikut ini adalah terapi yang digunakan dalam penanggulangan syok anafilaksis, meliputi terapi medikamentosa dan terapi suportif.I. terapi medikamentosamerupakan prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya. 1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama. Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali. Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.Dosis dan cara pemberiannya.0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.2.AminofilinDapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.3. Antihistamin dan kortikosteroid.Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.Obat obat yang dibutuhkan :Adrenalin, Aminofilin, Antihistamin, dan Kortikosteroid.(Van-Arsdel, 1965; Petterson, 1960; dan Shepard, 1964).II. Terapi supportif merupakan terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan. 1. Pemberian OksigenJika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.2. Posisi TrendelenburgPosisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.3.Pemasangan infus.Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.Perangkat yang dibutuhkan : Oksigen, Posisi Trendelenburg (kursi), Infus set dan cairannya, dan Resusitation kit.(Currie, 1966; Cook, 1971).

VII. PencegahanPencegahansyokanafilaktikmerupakanlangkahterpentingdalamsetiappemberian obat, Untuk mencegah terjadinya reaksi anfilaksis, sebelum tindakanperlu dilakukan :1. Lakukanlah anamnesa adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan atau adanya riwayat atopik lainnya ( seperti riwayat asma bronkiale, eksim atau riwayat urtikaria dll.) Adanya obat-obat yang memberi reaksi silang perlu diwaspadai seperti sesorang yangalergiterhadap aspirin, makadia jugakemungkinan alergi terhadap obat-obat yang mempunyai efek antiprostaglandin dan pasien-pasien yang tidak tahan terhadap golongan sepalosporin.2. Jelaskan kepada penderita bila merasakan adanya rasa yang aneh setelah dilakukanpenyuntikanagarsegeramemberitahuuntukdapat mengantisipasi terhadap kemungkinan adanya reaksi anafilaksis (jangan didiamkan saja)3. Diperlukan adanya emergency kitdiruangan tempat dilakukan tindakan yang terdiri dari obat-obat : adrenalin/epinefrin, dipenfidramin, ranitidinetau cimetidine, dexametason, infuse Nacl/Dx5% dan infuse set.4. Bila kitameragukanpenderitaterhadapkemungkinan terjadinyareaksi anafilaksis setelah tindakan observasi selama 30 menit setelah tindakan.5. Jangan lupa mengukur TD sebelum tindakan untuk mengetahui baseline TD sebelum tindakan. (Anonim,2010)Sangatdianjurkanuntuklebihbaikmelakukantindakanberhati-hatiatau pencegahan, daripada menghadapi reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya pasien banyak yang meninggal karena syok anafilaktik. Akan halnya dengan obat obat bsebagai penyebab anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya penisilin, berbagai macam hormon, serum, dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulitmaupunprovokasi dengan memberikan obat kadang kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan anafilaksis. (Anonim,2008)

BAB IIIPENUTUP1. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.2. Anafilaksis dapat disebabkan oleh respon tubuh terhadap hampir semua senyawa asing. Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-obatan.3. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dengan cara Pemeriksaan Laboratorium, Pemeriksaan secara invivo dan Pemeriksaan lain.4. Terapi yang digunakan dalam penanggulangan syok anafilaksis, meliputi terapi medikamentosa dan terapi suportif.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2008. SyokAnafilaktik. http://fkunair99./2008/11/syok-anafilaktik/ diakses pada tanggal 24 juni 2013Anonim. 2012. Penanganan Syok Anafilaksis. http://puskesmasseririt1.blogspot.com/2012/11/penanganan-syok-anafilaksis.html. diakses pada tanggal 24 juni 2013Balck, M. J., & Esther, M. J., (1997). Medical Surgical Nursing. Philadelpia: W. B. Saunders Company.Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (edisi 8, volume 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British Medical Journal June 1966Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.Depkes RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Depkes RI:Jakarta.Doenges, E. Marilynn & Mary Frances Moorhouse & Alice C. Geissler. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. (edisi 3). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC.. Mansjoer A,Wardhani WI, Setowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. 3rd ed.Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapus.p : 622 -1623Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical Association 172 : 4,1960.Price, S. A & Wilson L. M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sunatrio,S.,1990,Penanggulangan Reaksi Syok Anafilaksis Anestesiologi,FKUI,JakartaSyamsu. (2001). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam:Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Pp: 190-2Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran Anesthesiology 25: 2, 1964.Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.