tugas terstruktur teknologi konservasi sumberdaya … · lalu pada spl 3 memang tidak memiliki...
TRANSCRIPT
TUGAS TERSTRUKTUR
TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN
“ASPEK HUKUM”
Oleh :
KELAS O
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
I. FAKTA
Berdasarkan hasil praktikum lapang yang dilakukan di Dusun Kekep, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu didapatkan data aktual atau fakta yang sesuai dengan kondisi lahan di pos
III sebagaimana budidaya pertanian pada lahan dan daerah aliran sungai yang meliputi:
1. Data kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor (iklim, tanah, elevasi, dan
lereng)
b. Iklim : Tropis
c. Tanah : Lithis Udipsamments, Aquepts, Andepts
d. Lereng: Satuan Peta Lahan (SPL) I = 280
; 53%
Satuan Peta Lahan (SPL) II = 270
; 33%
Satuan peta Lahan (SPL) III = 260; 14%
e. Tingkat bahaya erosi:
Satuan Peta Lahan (SPL) I = sedang
Satuan Peta Lahan (SPL) II = ringan
Satuan peta Lahan (SPL) III = ringan
f. Hasil perhitungan indeks erodibilitas:
Jenis tanah Lithis Udipsamments : 0,331
Jenis tanah Aquepts : 0,6591
Jenis tanah Andepts : 0,2852
Dilihat dari data tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kepekaan tanah terhadap
erosi adalah sedang. Pada pos III ini, di SPL I, II, III kelerengannya secara berturut-
turut adalah curam (53%), agak curam (33%) dan agak miring/bergelombang (14%),
sehingga bahaya erosinya pun tergolong ringan hingga sedang tergantung SPL.
Kemudian untuk erosinya, pada SPL I berdasarkan simulasi, terjadi erosi selokan dan
alur. Pada SPL II dan III terjadi erosi alur. Jika dilihat dari hasil perhitungan
erodibilitas (kepekaan tanah terhadap erosi), menunjukkan angka yang cukup rendah
pula. Jadi bahaya longsorpun tidak terlalu besar.
2. Data pengendalian erosi (identifikasi dan delinieasi daerah rawan longsor serta
teknik pengendalian longsor)
Tingkat erosi yang terjadi pada SPL 1 adalah sedang, SPL 2 dan SPL 3 adalah
ringan. Untuk mengendalikan erosi pada SPL 1 ialah dengan penanaman tanaman
pohon atau tertutup oleh tanaman untuk makanan ternak dan tidak digunakan untuk
pertanian tanaman semusim. Pada SPL 2 tidak dapat digunakan untuk tanaman
semusim, namun cocok dijadikan hutan. Lalu pada SPL 3 memang tidak memiliki
kelerengan yang curam, sehingga masih dapat digunakan untuk tanaman semusim.
Erosi ringan yang terjadi dapat diatasi dengan pengolahan tanah konservasi.
Untuk menghindari atau mengendalikan erosi, petani di Dusun Kekep
menggunakan cara mekanis, yakni dengan pembuatan terasiring dan guludan pada
lahan yang diusahakannya serta pembuatan plengsengan di tepian lahan di sekitar aliran
sungai agar tanaman yang dibudidayakan terhindar dari erosi.
3. Data sistem usahatani konservasi (prinsip usahatani konservasi, pengendalian
longsor, komponen teknik sistem usahatani konservasi)
Prinsip usahatani konservasi yang dilakukan oleh petani di Dusun Kekep khususnya di
pos III adalah dengan cara:
a. Mengurangi sekecil mungkin aliran air permukaan dan meresapkan airnya
sebesar mungkin ke dalam tanah dengan cara membuat guludan. Selain itu di Plot
III juga terdapat semacam selokan dari puncak Plot I sampai ujung bawah plot II
guna mengalirkan air hujan ke sungai kecil/ parit di bawah untuk menghindari
adanya aliran permukaan/ run off sehingga dapat mencegah tanah terbawa aliran air
hujan agar tidak terjadi erosi/longsor.
b. Memperkecil pengaruh negatif air hujan yang jatuh pada permukaan tanah
dengan cara tidak melakukan pengaturan jarak tanam pada tanaman wortel. Jadi
tidak adanya pengaturan jarak tanam ini akan berpengaruh terhadap kerapatan tajuk
/ daun wortel, sehingga air hujan yang jatuh tidak langsung menghantam tanah,
melainkan melewati proses intersepsi. Proses intersepsi ini mengurangi energi
kinetik air hujan dengan cara air hujan jatuh melewati daun terlebih dahulu, energi
kinetiknya menjadi kecil dan partikel air hujan yang jatuh ke tanah ukurannya lebih
kecil sehingga dapat memperkecil pengaruh negatif air hujan yang jatuh pada
permukaan tanah. Selain itu tanaman wortel itu sendiri juga berfungsi sebagai
penutup lahan.
c. Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya alam dengan memperhatikan
kelestarian dengan cara membiarkan semak-semak yang bercampur dengan
tanaman tahunan tetap ada di plot pengamatan I. Lahan ini memiliki peran sebagai
daerah resapan air yang bermanfaat untuk meningkatkan infiltrasi dan mengurangi
aliran permukaan/ run off sehingga dapat mencegah erosi ataupun longsor.
4. Data jenis komoditas tanaman (persyaratan fisiologis dan agronomis)
Tanaman yang ditanam pada POS 3 ialah berupa tanaman wortel, bawang prei dan
pohon-pohonan yang diselingi dengan semak. Pohon tersebut adalah pohon pinus yang
bisa tumbuh subur di sana sehingga dapat di simpulkan bahwa pohon dan semak
tersebut cocok untuk tumbuh di sana. Menurut syarat fisiologisnya tanaman wortel
cocok ditanam disini karena sesuai iklim dari syarat tumbuh tanaman wortel. Menurut
literatur, tanaman wortel merupakan sayuran dataran tinggi. Tanaman wortel pada
permulaan tumbuh menghendaki cuaca dingin dan lembab (Perdana, 2009). Jadi
tanaman wortel termasuk cocok tumbuh di Dusun Kekep karena wilayahnya yang
berada di dataran tinggi serta memiliki cuaca dingin dan lembab. Selain itu, dari
kenampakan fisik wortel yang ada dilahan, terlihat bahwa wortel disana tumbuh subur.
Untuk tanaman cabai, menurut literatur cabai pada umumnya dapat ditanam di dataran
rendah sampai pegunungan (dataran tinggi), keadaan tanah yang ideal untuk tanaman
cabe adalah yang subur, gembur, kaya akan bahan organik dan tidak mudah becek. Jadi
tanaman cabai ini termasuk cocok tumbuh di Dusun kekep karena tanah di plot
pengamatan juga tergolong subur, hanya saja lahan cabai sedang diberokan.
II. FAKTA HUKUM
a. Siapa (pelaku, saksi dan korban) perusakan atau kerusakan?
Pelaku dari perusakan lahan di Dusun Kekep ini adalah para petani itu sendiri,
sedangkan untuk saksinya yakni petani itu sendiri dan penduduk sekitar lahan pertanian
(terutama keluarga petani) dan korbannya adalah masyarakat di daerah hilir.
b. Apa yang terjadi? (perusakan atau kerusakan lahan)
Kerusakan :Alih fungsi lahan, penggunaan pupuk dan pestisida secara intensif,
bahan organik (daun, ranting dan lain-lain) yang jatuh ke sungai.
Akibat kerusakan :Berpotensi erosi, menumpuknya sedimentasi di sungai, sungai
menjadi dangkal, debit air berkurang, air sungai terkontaminasi bahan
kimia, terjadi pemadatan tanah.
c. Dimana (lokasi perusakan atau kerusakan yang diikuti dengan berbagai dampaknya)?
Kerusakan dan perusakan tersebut terjadi di Dusun Kekep Kecamatan Bumiaji Kota
Batu, Malang. Di Pos III yang kami amati, dampak dari perusakan DAS yang terjadi
adalah menurunnya kualitas air karena tercampur dengan residu bahan kimia yang
digunakan oleh petani, sedangkan dampak dari penanaman monokultur belum terlihat.
Untuk kerusakannya, dampak yang terjadi adalah longsor dan erosi alur pada
bentangan lahan lain yang bukan plot pengamatan, yakni di depan pos pengamatan di
seberang DAS.
d. Dengan apa (kerusakan atau perusakan dapat terjadi)?
Kerusakan
- Erosi dan longsor: dengan jatuhan air hujan
- Sedimentasi: dengan pecahan agregat tanah yang terbawa air yang mengalami
pengendapan
Perusakan
- Penurunan kualitas air: dengan penggunaan bahan kimia oleh petani yang
kemudian residunya mengalir ke DAS dan menyebabkan air tercampur dengan
residu
e. Mengapa kerusakan atau perusakan dapat terjadi?
Kerusakan yang terjadi (longsor dan erosi alur) disebabkan oleh jatuhan air hujan
yang mengahantam tanah dan menyebabkan agregat tanah pecah dan terbawa aliran air
hujan. Kerusakan pada DAM terjadi karena sedimentasi, sedimentasi ini terjadi karena
adanya pengendapan oleh pecahan agregat tanah. Sedangkan perusakannya disebabkan
oleh penggunaan bahan kimia oleh petani, sehingga air mengalami penurunan kualitas.
f. Bagaimana kronologi kerusakan atau perusakan dapat terjadi?
Petani membuka lahan yang dahulunya hutan dengan banyak tanaman tahunan atau
bisa disebut hutan alami, kemudian dialihfungsikan untuk lahan pertanian. Lahan
pertanian tersebut banyak digunakan oleh petani untuk menanam tanaman hortikultura,
yang rata-rata tanaman yang dbudidayakan adalah tanaman semusim. Pola pertanaman
monokultur yang terus-menerus dilakukan berdampak kerusakan pada lahan. Kerusakan
yang terjadi diantaranya adalah tanah longsor dan erosi. Kemudian, petani juga
menggunakan bahan-bahan kimia (pestisida, pupuk kimia) untuk merawat tanamannya.
Dengan penggunaan pestisida secara terus-menerus dan besar-besaran berdampak pada
kualitas air yang masuk pada perusakan. Kronologi dari adanya penurunan kualitas air
adalah bahan kimia (pestisida, pupuk kimia) yang terakumulasi dengan air yang kemudian
masuk pada saluran drainase dan akhirnya terbawa sampai ke DAS. Hal inilah yang
menjadi alasan mengapa kualitas air di DAS menurun.
g. Bilamana kerusakan atau perusakan terjadi?
Kerusakan terjadi hingga jangka waktu yang tidak diketahui. Kerusakan seperti erosi
akan dapat terus terjadi selama tindakan konservasi usaha tani belum dilakukan oleh
petani setempat.
III. NORMA HUKUM
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006
1. Faktor Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Dan Longsor
(1) Penggundulan hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi
resapan air hujan, dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan.
(2) Budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi yang tidak tepat akan
memicu terjadinya longsor dan/atau erosi.
(3) Air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan hujan dan konservasi
akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan air seperti
sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air minum, dan
penggelontoran kota.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor
manusia.
a) Iklim
Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap
kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi
tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan
permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi.
Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu
singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan
curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (>1 jam). Namun curah
hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor,
karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang
meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi,
sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan
gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2000 mm terjadi pada sebagian besar
wilayah Indonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di
wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.
b) Tanah
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya
air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum
dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan
terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan
permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan
lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian
besar menjadi aliran permukaan.
c) Elevasi
Elevasi adalah istilah lain dari ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut.
Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 m
dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis
komoditas yang sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Badan
Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 m dpl dan lereng
>45% sebagai kawasan usaha terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan
lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian
>2000 m dpl dan/atau lereng >40% sebagai kawasan lindung.
d) Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi
dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar
dengan makin curamnya lereng.
Makin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan
yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga
menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi
makin besar. Pada lereng >40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh
pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut :
Datar : lereng <3%, dengan beda tinggi <2 m.
Berombak : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2-10 m.
Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10-50 m.
Berbukit : lereng 15-30%, dengan beda tinggi 50-300 m.
Bergunung : lereng >30%, dengan beda tinggi >300 m.
Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, tertama
pada tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal
berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols).
Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada
tanah Podsolik (Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang
terbentuk dari batuan induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1
(Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan
konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15%
lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem
wanatani (agroforestry).
2. Faktor pengendalian erosi;
Tiap jenis tanah mempunyai tingkat kepekaan terhadap longsor yang berbeda.
Langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada
skala 1:25.000 atau skala lebih besar (1:10.000; 1:5.000) pada hamparan lahan yang
menjadi sasaran pembangunan pertanian tanaman hortikultura, tanaman pangan, atau
tanaman perkebunan. Berdasarkan peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari
hamparan lahan yang peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti
dalam Tabel 2.
Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari
masing-masing faktor. Tanah dengan jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan
tingkat kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan
dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian,
pembangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi
permanen (hutan).
Tabel 1. skor hubungan faktor biofisik dan tingkat kepekaan longsor di lahan
pegunungan.
Faktor Biofisik Nilai (skor)
Curah hujan (mm) <1500 (1) 1500-2500 (3) >2500 (5)
Bahan induk Batuan volkanik
(1)
Batuan metamorfik
(2)
Batuan sedimen (3)
Lereng (%) 15-25 (1) 25-40 (3) >40 (5)
Kandungan liat 2:1 Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)
Laju Infiltrasi Lambat (1) Sedang (2) Cepat (3)
Kedalaman lapisan >100 (1) 50-100 (2) <50 (3)
kedap air (cm)
Angka dalam kurung menyatakan skor untuk karakteristik iklim dan tanah di daerah
setempat.
Penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS.
Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona (Gambar 4), yaitu : (1) hulu,
zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di
antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang
longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor.
3. Faktor sistem usaha tani konservasi;
a) Prinsip Usahatani Konservasi
Budidaya pertanian di lahan pegunungan meliputi dua kegiatan pokok, yaitu
kegiatan usahatani dan konservasi. Kedua kegiatan pada sebidang lahan pertanian
terintegrasi menjadi sistem usahatani (SUT) konservasi.
Tabel 2 menunjukkan matrik pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi
tanaman semusim dan tanaman tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan,
kedalaman tanah, dan kepekaan tanah terhadap erosi lahan usahatani. Teras bangku
tidak dianjurkan pada tanah yang bersolum dangkal dan kemiringannya sangat terjal
(>40%). Pada tanah yang dangkal dianjurkan membuat teras gulud, budidaya lorong,
atau pagar hidup. Pembuatan teras bangku relatif lebih mahal dan lebih sulit
dibandingkan dengan teknik konservasi mekanis lainnya. Dengan mempertimbangkan
faktor biaya dan tingkat kesulitan pembuatannya, disarankan untuk memilih teknik
konservasi tanah selain teras bangku. Semua jenis teras harus disertai dengan
penanaman tanaman penguat teras, seperti rumput dan legum yang juga merupakan
sumber pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong dan
pagar hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan seperti pada
kolom 9.
Tabel 2.Pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara mekanis dan vegetatif
berdasarkan tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah dan kedalaman solum (P3HTA
dengan modifikasi).
b) Teknik Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik
konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua
perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi
aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah
mendukung usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam
pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan
tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau),
serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
c) Komponen Teknologi SUT Konservasi
SUT Konservasi mengintegrasikan dan mensinergikan tanaman di bidang olah,
tanaman penguat bibir teras dan ternak ruminansia kecil atau besar yang dikandangkan
di pekarangan rumah (jarang berteras). Integrasi dan sinergi tersebut harus
menguntungkan petani. Konservasi menjamin keuntungan dari usahatani yang
berkelanjutan. Komponen teknologi SUT Konservasi dari sisi tanaman dikemukakan
berikut ini.
1) Pengaturan pola tanam pada bidang olah
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola tanam adalah
iklim, tingkat kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, dan permintaan pasar.
Faktor iklim yang paling penting adalah curah hujan, terutama jumlah bulan basah
dengan curah hujan >200 mm, jumlah bulan kering dengan curah hujan <100 mm,
dan bulan sedang dengan curah hujan 100-200 mm. Daerah yang mempunyai bulan
basah 4 bulan berturut-turut dapat ditanami padi gogo. Daerah dengan bulan
sedang selama tiga bulan berturut-turut cocok untuk palawija. Daerah dengan bulan
kering panjang, kemungkinan masih dapat ditanami berbagai tanaman semusim
yang toleran kekeringan, seperti kacang tunggak, kacang hijau, kacang gude,
sayuran dan komak.
2) Pengenalan sistem wanatani
Wanatani merupakan sitem usahatani yang menggabungkan tanaman tahunan
(kayu-kayuan) dengan komoditas lain yang saling menguntungkan. Wanatani
sering disamakan dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping).
3) Pagar hidup
Pagar hidup adalah tanaman tahunan yang ditanam mengikuti batas
pemilikan lahan. Tujuannya adalah untuk mengamankan lahan dari ternak, penahan
angin, dan pengendali erosi. Pagar hidup berfungsi sebagai sumber pakan ternak,
mulsa penyubur tanah, bahan organik, dan kayu bakar. Tanaman buah-buahan
seperti nangka, alpukat, jengkol, dan petai sering digunakan sebagai tanaman pagar
hidup.
4. Faktor jenis komoditas;
Kelompok jenis tanaman berdasarkan persyaratan fisiologis harus memenuhi
persyaratan agronomis yang diekspresikan dalam tingkat kesesuaian tanaman bagi
berbagai karakteristik fisik dan kimia tanah. Jenis-jenis tanaman ini yang akan ditanam
pada bidang olah lahan berlereng yang telah diteras dan di lahan pekarangan.
a) Persyaratan fisiologis
Daerah beriklim basah memiliki curah hujan >2500 mm/tahun dengan bulan kering
(CH <100mm/bulan) <3 bulan atau tipe agroklimat A, B, dan C1, sedangkan daerah
beriklim kering memiliki curah hujan <2500 mm/tahun dengan bulan kering >100
mm/bulan atau dengan tipe agroklimat C2, C3, D, E (menurut Oldeman et al. 1979-
1982).
b) Persyaratan agronomis
Lahan pertanian mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang mencirikan tingkat
kesesuaiannya bagi jenis tanaman. Tingkat kesesuaian tanah bagi tanaman diberi kode
S1 (kesesuaian tinggi), S2 (kesesuaian sedang), S3 (Kesesuaian marjinal), dan N
(tidak sesuai). Suatu lahan pertanian yang mempunyai tanah dengan karakteristik
sangat sesuai (S1) bagi jenis tanaman tertentu, tetapi tingkat kesesuaiannya sedang
(S2) atau marjinal (S3) bagi tanaman yang lain. Pemaksaan penanaman jenis tanaman
di lahan yang tingkat kesesuaiannya sedang atau marjinal bagi jenis tanaman tersebut
dengan memberikan input tinggi agar produktivitasnya setinggi di lahan yang
kesesuaiannya tinggi akan memberikan benefit and cost ratio (B/C) <1,0. Artinya,
pemaksaan demikian justru merugikan.
IV. ANALISIS HUKUM
Permentan I
Fakta Norma Hukum Hasil Analisis Hasil
Dari fakta di lapang, dapat
dikatakan bahwa
kepekaan tanah terhadap
erosi adalah sedang. Pada
pos III ini, di SPL I, II, III
kelerengannya secara
berturut-turut adalah
curam (53%), agak curam
(33%) dan agak
miring/bergelombang
(14%), sehingga bahaya
erosinya pun tergolong
ringan hingga sedang
tergantung SPL.
Kemudian untuk erosinya,
pada SPL I berdasarkan
simulasi, terjadi erosi
selokan dan alur. Pada
SPL II dan III terjadi erosi
alur. Jika dilihat dari hasil
perhitungan erodibilitas
(kepekaan tanah terhadap
erosi), menunjukkan
angka yang cukup rendah
pula. Jadi bahaya
longsorpun tidak terlalu
besar.
(1)Penggundulan hutan
di DAS hulu atau zona
tangkapan hujan akan
mengurangi resapan air
hujan, dan karena itu
akan memperbesar
aliran permukaan.
(2) Budidaya pertanian
pada DAS tengah atau
zona konservasi yang
tidak tepat akan
memicu terjadinya
longsor dan/atau erosi.
(3) Air yang meresap
ke dalam lapisan tanah
di zona tangkapan
hujan dan konservasi
akan keluar berupa
sumber-sumber air
yang ditampung di
badan-badan air seperti
sungai, danau, dan
waduk untuk
pembangkit listrik,
irigasi, air minum, dan
penggelontoran kota.
Dari fakta dilapang erosi
yang terjadi dilapang
tidak terlalu besar, hal itu
dilihat dari kelerengan
dan perhitungan
erodibilitasnya. Dari
norma hukum tersebut
pada zona tangkapan
hujan dan zona konservasi
dikaitkan dengan fakta
dilapang termasuk kurang
tepat yaitu adanya lahan
pertanian tanaman
semusim yang bisa
menyebabkan adanya
longsor, walaupun tingkat
erosi yang terjadi tidak
terlalu besar.
Cukup (C)
Tingkat erosi yang terjadi
pada SPL 1 adalah
sedang, SPL 2 dan SPL 3
adalah ringan. Erosi
ringan yang terjadi dapat
diatasi dengan pengolahan
tanah konservasi.Untuk
menghindari atau
mengendalikan erosi,
petani di Dusun Kekep
Lahan dengan tingkat
kepekaan tinggi tidak
direkomendasikan
untuk budidaya
pertanian,pembangunan
infrastruktur,atau
perumahan, tetapi
dipertahankan sebagai
vegetasi permanen
(hutan). Penerapan
teknik pengendalian
Dari fakta dilapang para
petani menggunakan cara
mekanis yaitu dengan
pembuatanterasering dan
guludan pada lahan
pertanian serta pembuatan
plengsengan di tepian
lahan di sekitar aliran
sungai agar tanaman yang
dibudidayakan terhindar
Baik (B)
menggunakan cara
mekanis, yakni dengan
pembuatan terasiring dan
guludan pada lahan yang
diusahakannya serta
pembuatan plengsengan di
tepian lahan di sekitar
aliran sungai agar
tanaman yang
dibudidayakan terhindar
dari erosi.
longsor didasarkan atas
konsep pengelolaan
DAS. Dalam hal ini
kawasan longsor dibagi
ke dalam tiga zona
(Gambar 4), yaitu : (1)
hulu, zona paling atas
dari lereng yang
longsor, (2) punggung,
zona longsor yang
berada di antara bagian
hulu dan kaki kawasan
longsor, dan (3) kaki,
zona bawah dari lereng
yang longsor dan
merupakan zona
penimbunan atau
deposisi bahan yang
longsor.
dari erosi. Dari norma
hukum dikatakan bahwa
lahan yang mempunyai
kepekataan tinggi tidak
direkomendasikan untuk
budidaya pertanian dan
penerapan teknik
pengendalian longsor
didasarkan atas konsep
pengelolaan DAS. Jadi
pengelolaan yang
dilakukan petani cukup
baik untuk mengantisipasi
erosi meskipun masih
terjadi erosi namun
tingkat erosi tidak tinggi.
Prinsip usahatani
konservasi yang dilakukan
oleh petani di Dusun
Kekep khususnya di pos
III adalah dengan cara :
Mengurangi sekecil
mungkin aliran air
permukaan dan
meresapkan airnya
sebesar mungkin ke dalam
tanah dengan cara
membuat guludan,
Memperkecil pengaruh
negatif air hujan yang
jatuh pada permukaan
tanah dengan cara tidak
melakukan pengaturan
jarak tanam pada tanaman
wortel, Memanfaatkan
semaksimal mungkin
sumber daya alam dengan
memperhatikan
kelestarian dengan cara
membiarkan semak-semak
yang bercampur dengan
tanaman tahunan tetap ada
di plot pengamatan I.
a.Prinsip Usahatani
Konservasi
b.Teknik Pengendalian
Erosi
c.Komponen Teknologi
SUT Konservasi :
Pengaturan pola tanam
pada bidang olah,
Wanatani
(agroforestry), Pagar
hidup.
Dari fakta dilapang
tentang prinsip usahatani
konservasi, teknik
pengendalian erosi, dan
komponen teknologi SUT
konservasi sudah sesuai
dengan norma hukum
yang ada. Hal tersebut
dapat dilihat dari
berkurangnya tingkat
besarnya erosi.
Baik (B)
Tanaman yang ditanam Kelompok jenis Melihat dari fakta di Baik (B)
pada POS 3 ialah berupa
tanaman wortel, bawang
prei dan pohon-pohonan
yang diselingi dengan
semak. Pohon tersebut
adalah pohon pinus yang
bisa tumbuh subur di sana
sehingga dapat di
simpulkan bahwa pohon
dan semak tersebut cocok
untuk tumbuh di sana.
tanaman berdasarkan
persyaratan fisiologis
harus memenuhi
persyaratan agronomis
yang diekspresikan
dalam tingkat
kesesuaian tanaman
bagi berbagai
karakteristik fisik dan
kimia tanah. Menurut
syarat fisiologisnya
tanaman wortel cocok
ditanam disini karena
sesuai iklim dari syarat
tumbuh tanaman
wortel.Menurut
literatur,tanaman
wortel merupakan
sayuran dataran tinggi.
lapang dan norma hukum
sudah sesuai, karena
komoditas yang ditanam
di lapang secara
persyaratan fisiologis
telah memenuhi
persyaratan agronomis
tempat tersebut.
Permentan II
Hasil Analis 1 Fakta Hukum Hasil Analisis 2 Hasil
Dari fakta dilapang erosi
yang terjadi dilapang tidak
terlalu besar, hal itu dilihat
dari kelerengan dan
perhitungan
erodibilitasnya. Dari
norma hukum tersebut
pada zona tangkapan
hujan dan zona konservasi
dikaitkan dengan fakta
dilapang termasuk kurang
tepat yaitu adanya lahan
pertanian tanaman
semusim yang bisa
menyebabkan adanya
longsor, walaupun tingkat
erosi yang terjadi tidak
terlalu besar.
Pelaku dari perusakan
lahan di Dusun Kekep ini
adalah para petani itu
sendiri, sedangkan untuk
saksinya yakni petani itu
sendiri dan penduduk
sekitar lahan pertanian
(terutama keluarga
petani) dan korbannya
adalah masyarakat di
daerah hilir. Terjadi
kerusakan :Alih fungsi
lahan, penggunaan pupuk
dan pestisida secara
intensif, bahan organik
(daun, ranting dan lain-
lain) yang jatuh ke
sungai. Akibat kerusakan
: Berpotensi erosi,
menumpuknya
Dilihat dari hasil analisis
1 dengan fakta hukum
yang ada, benar adanya
bahwa kerusakan dan
perusakan yang terjadi
adalah para petani itu
sendiri yang
mengakibatkan
masyarakat hilir menjadi
korbannya.
Buruk
sedimentasi di sungai,
sungai menjadi dangkal,
debit air berkurang, air
sungai terkontaminasi
bahan kimia, terjadi
pemadatan tanah.
Dari fakta dilapang para
petani menggunakan cara
mekanis yaitu dengan
pembuatan terasering dan
guludan pada lahan
pertanian serta pembuatan
plengsengan di tepian
lahan di sekitar aliran
sungai agar tanaman yang
dibudidayakan terhindar
dari erosi. Dari norma
hukum dikatakan bahwa
lahan yang mempunyai
kepekataan tinggi tidak
direkomendasikan untuk
budidaya pertanian dan
penerapan teknik
pengendalian longsor
didasarkan atas konsep
pengelolaan DAS. Jadi
pengelolaan yang
dilakukan petani cukup
baik untuk mengantisipasi
erosi meskipun masih
terjadi erosi namun tingkat
erosi tidak tinggi.
Kerusakan dan perusakan
tersebut terjadi di Dusun
Kekep Kecamatan
Bumiaji Kota Batu,
Malang. Di Pos III yang
kami amati, dampak dari
perusakan DAS yang
terjadi adalah
menurunnya kualitas air
karena tercampur dengan
residu bahan kimia yang
digunakan oleh petani,
sedangkan dampak dari
penanaman monokultur
belum terlihat. Untuk
kerusakannya, dampak
yang terjadi adalah
longsor dan erosi alur
pada bentangan lahan
lain yang bukan plot
pengamatan, yakni di
depan pos pengamatan di
seberang DAS.
Pada hasil analisis 1
dikatakan baik, akan
tetapi jika dilihat dari
fakta hukum apa yang
dilakukan petani tersebut
tetap saja salah. Hal
tersebut dikarenan para
petani itu sendiri
menimbulkan kerusakan
dan perusakan sehingga
mengakibatkan dampak
buruk karena erosi seperti
menurunnya kualitas air
karena tercampur residu
bahan kimia dari pertanian
tersebut.
Buruk
Dari fakta dilapang
tentang prinsip usahatani
konservasi, teknik
pengendalian erosi, dan
komponen teknologi SUT
konservasi sudah sesuai
dengan norma hukum
yang ada. Hal tersebut
dapat dilihat dari
berkurangnya tingkat
besarnya erosi.
Kerusakan yang terjadi
(longsor dan erosi alur)
disebabkan oleh jatuhan
air hujan yang
mengahntam tanah dan
menyebabkan agregat
tanah pecah dan terbawa
aliran air hujan.
Kerusakan pada DAM
terjadi karena
sedimentasi, sedimentasi
ini terjadi karena adanya
pengendapan oleh
Pada analisi 1 dikatakan
bahwa pegendalian
berhasil, tapi tetap saja
terjadi erosi karena
kesalahan penggunaan
lahan. Serta kerusakan
kualitas air pada DAM
diakibatkan penggunaan
bahan kimia oleh petani.
Buruk
pecahan agregat tanah.
Sedangkan perusakannya
disebabkan oleh
penggunaan bahan kimia
oleh petani, sehingga air
mengalami penurunan
kualitas.
Melihat dari fakta di
lapang dan norma hukum
sudah sesuai, karena
komoditas yang ditanam
di lapang secara
persyaratan fisiologis
telah memenuhi
persyaratan agronomis
tempat tersebut.
Kerusakan terjadi hingga
jangka waktu yang tidak
diketahui. Kerusakan
seperti erosi akan dapat
terus terjadi selama
tindakan konservasi
usaha tani belum
dilakukan oleh petani
setempat.
Dari analis 1 dikatakan
bahwa penanaman
komoditas disana telah
sesuiai, tapi selama
aktivitas pertanian masih
saja dilakukan dan daerah
pegunungan tidak
dikembalikan fungsi
aslinya akan tetap terjadi
erosi.
Buruk
V.KESIMPULAN
Dari hasil analisis pada praktikum yang dilakukan di Dusun Kekep, Kecamatan
Bumiaji, Batu didapatkan data aktual yang sesuai dengan kondisi lahan pada pos III yaitu
budidaya pertanian pada lahan dan daerah aliran sungai. Para petani di daerah tersebut
mengalih fungsikan lahan dari lahan pegunungan menjadi lahan pertanian sehingga pada
daerah tersebut rentan terjadi erosi. Menurut norma hukum yang ada daerah pegunungan
tidak seharusnya dialih fungsikan menjadi lahan petanian kareana akan terjadi banyak
kerusakan salah satunya erosi. Selain erosi, rusaknya kualitas air di daerah tersebut
diakibatkan karena residu bahan kimia yang dilakukan selama proses pertanian berlangsung.
Walaupun demikian para petani mengantisipasi hal tersebut terjadi dengan cara
pengendalian mekanis, yaitu dengan pembuatan terasering dan guludan yang akan menahan
tanah terbawa oleh air saat terjadi hujan deras atau biasa disebut dengan erosi, serta
pembuatan plengsengan di tepian lahan di sekitar aliran sungai agar tanaman yang
dibudidayakan terhindar dari erosi. Dengan begitu tindakan yang dilakukan oleh para petani
di daerah tersebut dapat mengurangi tingkat erosi. Hal tersebut sesuai dengan norma hukum
yang telah ada penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan
DAS.
VI. REKOMENDASI
Budidaya pertanian di lahan pegunungan meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan
usahatani dan konservasi. Kedua kegiatan pada sebidang lahan pertanian terintegrasi menjadi
sistem usahatani (SUT) konservasi.
Tabel 2 menunjukkan matrik pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi
tanaman semusim dan tanaman tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan, kedalaman
tanah, dan kepekaan tanah terhadap erosi lahan usahatani. Teras bangku tidak dianjurkan
pada tanah yang bersolum dangkal dan kemiringannya sangat terjal (>40%). Pada tanah yang
dangkal dianjurkan membuat teras gulud, budidaya lorong, atau pagar hidup. Pembuatan teras
bangku relatif lebih mahal dan lebih sulit dibandingkan dengan teknik konservasi mekanis
lainnya. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan tingkat kesulitan pembuatannya,
disarankan untuk memilih teknik konservasi tanah selain teras bangku. Semua jenis teras
harus disertai dengan penanaman tanaman penguat teras, seperti rumput dan legum yang juga
merupakan sumber pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong
dan pagar hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan.
Tabel 2.Pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara mekanis dan vegetatif
berdasarkan tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah dan kedalaman solum (P3HTA
dengan modifikasi).
Teknik Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik
konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan
fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan
guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara
berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu
diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa
tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat
menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
Komponen Teknologi SUT Konservasi
SUT Konservasi mengintegrasikan dan mensinergikan tanaman di bidang olah,
tanaman penguat bibir teras dan ternak ruminansia kecil atau besar yang dikandangkan di
pekarangan rumah (jarang berteras). Integrasi dan sinergi tersebut harus menguntungkan
petani. Konservasi menjamin keuntungan dari usahatani yang berkelanjutan. Komponen
teknologi SUT Konservasi dari sisi tanaman dikemukakan berikut ini.
Pengaturan pola tanam pada bidang olah
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola tanam adalah iklim, tingkat
kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, dan permintaan pasar. Faktor iklim yang paling
penting adalah curah hujan, terutama jumlah bulan basah dengan curah hujan >200 mm,
jumlah bulan kering dengan curah hujan <100 mm, dan bulan sedang dengan curah hujan
100-200 mm. Daerah yang mempunyai bulan basah 4 bulan berturut-turut dapat ditanami
padi gogo. Daerah dengan bulan sedang selama tiga bulan berturut-turut cocok untuk
palawija. Daerah dengan bulan kering panjang, kemungkinan masih dapat ditanami berbagai
tanaman semusim yang toleran kekeringan, seperti kacang tunggak, kacang hijau, kacang
gude, sayuran dan komak.
Pengenalan sistem wanatani
Wanatani merupakan sitem usahatani yang menggabungkan tanaman tahunan (kayu-
kayuan) dengan komoditas lain yang saling menguntungkan. Wanatani sering disamakan
dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping).
Pagar hidup
Pagar hidup adalah tanaman tahunan yang ditanam mengikuti batas pemilikan lahan.
Tujuannya adalah untuk mengamankan lahan dari ternak, penahan angin, dan pengendali
erosi. Pagar hidup berfungsi sebagai sumber pakan ternak, mulsa penyubur tanah, bahan
organik, dan kayu bakar. Tanaman buah-buahan seperti nangka, alpukat, jengkol, dan petai
sering digunakan sebagai tanaman pagar hidup.