tugas -tujuan pemidanaan

17
Apa itu Pemidanaan? Dalam rangka untuk lebih memahami sifat hukuman, pertama-tama perlu untuk melihat konsep dasar yang ada dan kemudian mempertimbangkan berbagai teori yang telah dikembangkan. Teori- teori ini adalah pencegahan, retribusi, ganjaran, rehabilitasi, ketidakmampuan, dan keadilan restoratif. Selain itu, penting untuk mengetahui bahwa ada tiga perspektif tentang masalah hukuman: filosofis, sosiologis, dan kriminologi. Setiap perspektif menggambarkan cara yang berbeda dan terpisah dalam memandang masalah hukuman. Anthony Flew berpendapa bahwat hukuman, dalam arti suatu sanksi yang diberikan karena melakukan tindak pidana, terdiri dari lima elemen: 1. Harus melibatkan ketidaknyamanan kepada korban. 2. Harus untuk suatu pelanggaran, aktual atau seharusnya. 3. Harus menjadi pelaku, aktual atau seharusnya. 4. Tidak harus menjadi konsekuensi alami dari suatu tindakan. 5. Harus dipaksakan oleh otoritas atau lembaga yang melawan aturan pelanggaran. Definisi lain dari hukuman yang diajukan oleh Garland adalah "proses hukum dimana pelanggar hukum pidana dikutuk dan diberikan sanksi sesuai dengan kategori yang spesifik dan prosedur yang berlaku". Mengapa seseorang perlu dihukum? Pertanyaan ini mungkin menghasilkan beberapa tanggapan sebagai berikut: ; Mereka layak dihukum; Hukuman akan menghentikan mereka dari melakukan kejahatan lebih lanjut; Hukuman memberitahu korban bahwa masyarakat tidak menyetujui kerugian yang ia telah derita ; Hukuman menghambat orang lain melakukan hal yang sama. ; Hukuman melindungi masyarakat dari orang-orang yang berbahaya atau tidak jujur.; Hukuman memungkinkan pelaku untuk menebus kerugian yang ia telah sebabkan.; Hukuman memastikan bahwa orang-orang mengerti bahwa hukum yang ada harus ditaati. 1

Upload: jessica-hendra-honggo

Post on 08-Apr-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tugas -Tujuan Pemidanaan

Apa itu Pemidanaan?Dalam rangka untuk lebih memahami sifat hukuman, pertama-tama perlu untuk melihat konsep dasar yang ada dan kemudian mempertimbangkan berbagai teori yang telah dikembangkan. Teori-teori ini adalah pencegahan, retribusi, ganjaran, rehabilitasi, ketidakmampuan, dan keadilan restoratif. Selain itu, penting untuk mengetahui bahwa ada tiga perspektif tentang masalah hukuman: filosofis, sosiologis, dan kriminologi. Setiap perspektif menggambarkan cara yang berbeda dan terpisah dalam memandang masalah hukuman.

Anthony Flew berpendapa bahwat hukuman, dalam arti suatu sanksi yang diberikan karena melakukan tindak pidana, terdiri dari lima elemen:

1. Harus melibatkan ketidaknyamanan kepada korban.2. Harus untuk suatu pelanggaran, aktual atau seharusnya.3. Harus menjadi pelaku, aktual atau seharusnya.4. Tidak harus menjadi konsekuensi alami dari suatu tindakan.5. Harus dipaksakan oleh otoritas atau lembaga yang melawan aturan pelanggaran.

Definisi lain dari hukuman yang diajukan oleh Garland adalah "proses hukum dimana pelanggar hukum pidana dikutuk dan diberikan sanksi sesuai dengan kategori yang spesifik dan prosedur yang berlaku".

Mengapa seseorang perlu dihukum? Pertanyaan ini mungkin menghasilkan beberapa tanggapan sebagai berikut: ; Mereka layak dihukum; Hukuman akan menghentikan mereka dari melakukan kejahatan lebih lanjut; Hukuman memberitahu korban bahwa masyarakat tidak menyetujui kerugian yang ia telah derita ; Hukuman menghambat orang lain melakukan hal yang sama. ; Hukuman melindungi masyarakat dari orang-orang yang berbahaya atau tidak jujur.; Hukuman memungkinkan pelaku untuk menebus kerugian yang ia telah sebabkan.; Hukuman memastikan bahwa orang-orang mengerti bahwa hukum yang ada harus ditaati.

Konsep hukuman telah dikemukakan oleh filsuf moral, sosiolog, dan kriminolog. Menurut filsuf moral, hukuman seharusnya merupakan hal yang sangat penting dan pada akhirnya akan mengantarkan kita pada beberapa pertanyaan seperti : Apakah hasil yang diharapkan dari penjatuhan hukuman? ; Apa nilai-nilai yang harus terkandung di dalam hukum pidana? ; Apa tujuan dari pemidanaan?

Berlawanan dengan pandangan para filsuf, sudut pandang para sosiolog lebih menekankan tentang untuk apa sebenarnya hukuman itu ditujukan dan sifat sistem hukum pidana. Sedangkan para kriminolog dan pembuat kebijakan lebih fokus untuk menentukan hukuman apa yang akan diberikan kepada para pelaku dan kebijakan yang relevan bagi hukuman para pelaku.Mengapa Harus Hukuman? Ditinjau Dari Pendekatan Filosofis

Di dalam debat filosofis mengenai hukuman, terdapat dua tipe teori umum yang berkembang : teori utilitarian dan teori retribusi. Teori utilitarian lebih menekankan hukuman sebagai pencegahan dari kejahatan yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.

1

Page 2: tugas -Tujuan Pemidanaan

Sementara teori retribusi adalah teori yang lebih menekankan kepada hukuman apa yang harus diberikan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelaku.

Deterrence (pencegahan) adalah salah satu bentuk hukuman yang dikembangkan oleh para utilitarian. Pencegahan bekerja ketika seseorang yang akan melakukan kejahatan menjadi enggan/tidak mau melakukannya karena adanya konsekuensi (hukuman) yang akan menimpanya. Walker (1991:15) menyatakan bahwa para ahli pun tidak yakin jenis hukuman seperti apa yang tepat dan wajar untuk keberhasilan pencegahan ini. Beberapa argumen bahkan meragukan apakah pencegahan merupakan bentuk hukuman yang bisa disetujui secara moral, karena apabila pencegahan tidak berhasil dilakukan dan si pelaku masih tetap melakukan tindak kejahatan lagi maka pencegahan itu hanya akan menghasilkan penderitaan dan secara moral hal itu tidaklah bisa dibenarkan.

Menurut Bentham, hukuman bisa dibenarkan apabila kerugian dari tindak kejahatan yang dilakukan lebih besar dari kerugian yang diberikan kepada si pelaku kejahatan (Hudson 1996:18). Dari sudut pandang ini, selain sebagai pencegahan dari kejahatan yang akan terjadi, hukuman juga memberikan penderitaan kepada seseorang. Ketika seseorang menerima penderitaan sebagai konsekuensi dari perbuatannya maka hal itu akan memaksanya untuk tidak melakukan hal itu (Bean 1981: 30). Pencegahan sebagai hukuman lebih fokus kepada berapa lama hukuman itu akan membuat efek jera daripada hukuman apa yang harus diberikan kepada si pelaku.

Deterrence dibagi menjadi dua, yaitu individual deterrence (pencegahan individu) dan general deterrence (pencegahan secara umum). Individual deterrence mencegah seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan untuk kembali melakukan kejahatan itu, sementara general deterrence mencegah kejahatan dengan cara melarang orang-orang umum yang berpotensi melakukan kejahatan. Individual deterrence memberikan hukuman secara personal, dengan hukuman yang dirasa dapat mencegah pelaku melakukan kejahatan itu lagi. General deterrence biasanya terdapat dalam bentuk undang-undang, seperti larangan mengemudi dalam keadaan mabuk untuk mencegah orang-orang mabuk mengendarai kendaraan.

Apakah Pencegahan itu Bekerja ?

Menurut Beyleveld (1979, hudson, 1996:23) tidak ada dasar yang dapat mengharapkan bahwasanya kebijakan umum pencegahan yang tidak melibatkan campur tangan yang tidak diterima oleh HAM, akan melakukan apapun untuk mengontrol apapun tingkat kriminalitas. Selain itu, penerapan kebijakan pencegahan tingkat kriminalitas tidak lebih dari “Shot in the dark” .

Walker (1991:16) berpendapat bahwa hukuman mati tidak memiliki efek yang lebih besar dari pada hukuman penjara seumur hidup.

2

Page 3: tugas -Tujuan Pemidanaan

Dalam diskusi lain, apakah ancaman hukuma juga menghasilkan efek jera. Andenaes (1972:345) menjelaskan bahwa ada 2 posisi yang biasa diperdebatkan. Posisi Bentham adalah manusia itu adalah makhluk rasional selalu memperhitungkan resiko antara penderitaan dan kenikmatan dari setiap tindakan. Mempertimbangkan resiko dari hukuma perlu untuk mengatasi orang yang berpotensi melakukan kriminal. Jika melakukan pendekatan rasional akan memilih untk tidak melawan hukum.posisi yang lainnya mempertimbangkan bahwa posisi bentham tidak realistis, mereka berpendapat bahwa orang-orang yang taat hukum bukan karena mereka takut akan hukum pidana, melainkan hasil dari penghambatan moral dan norma-norma perilaku. Kriminal, kata mereka tidak membuat pilihan-pilihan rasional, tapi bertindak karena ketidakstabilan emosional, kurangnya pengendalian diri, atau sebagai hasil dari memperoleh nilai-nilai dari subkultur kriminal(p 345).

Adneaes berpendapat bahwa pelanggaran sangat beragam dalam konteks motivasi si pelanggar. Pencegahan umum seharusnya memperhitungkan norma tertentu dan keadaan dari masing-masing jenis pelanggaran. Andenaes juga mengutip bahwa, ancaman hukuman walaupun ditujukan kesemua orang, memengaruhi setiap individual dalam cara yang berbeda-beda. Contoh dalam pandangannya, warga yang taat hukum tidak memerlukan ancaman dari hukum untuk tetap taat hukum sedangkan kelompok grup kriminal mungkin akan merasa takut hukum tapi masih melanggarnya dan orang yang berpotensi melakukan kriminal mungkin akan melanggar hukum jika tidak ada ancaman hukuman. Ancaman hukuman ini hanya relevan untuk orang-orang yang berpotensi melakukann kriminal. Namun dalam beberapa kasus, ada beberapa bukti bahwa hukuman punya efek mencegah setiap individu. Andenaes juga merujuk kepada studi tentang jasa pembawa belanjaan di depan departemen store dimana pembawa belajaan amatir, diperlakukan seperti pencuri oleh manajemen toko dan bereaksi dengan mengubah sikap mereka dan mengalami gangguan emosional yang hebat. (1974:343).kedaan ini kontras dengan pembawa belanjaan profesional yang tidak merasa kaget jika tertangkap dan mengakui penjara sebagai hukuman yang pantas.

Tullock(1974-109) setelah mensurvey model ekonomi dan sosiologi dari pencegahan menyimpulkan bahwa semakin banyak atau semakin intens diberikan hukuman semakin terjadi kemungkinan semakin sedikit.

Bagaimanapun juga, Blomstein, Cohen, Nagin, (1978:66) walaupun bukti-bukti menyatakan hubungan negatif antara tingkat kriminalitas dan sanksi ini tidak sepenuhnya menyatakan efek pencegahan umum dari sanksi. Ini dikarenakan dalam pandangan mereka hubungan negatif itu dapat dijelaskan dengan sanksi yang lebih lemah sebagai efeknya dan bukan penyebabnya dari tingkat kriminalitas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan nampaknya ada sedikit persetujuan diantara para peneliti bahwa hukuman memiliki efek pencegahan secara umum.

Seberapa Banyak Hukuman Harus Dikenakan Untuk Mencegah ?

3

Page 4: tugas -Tujuan Pemidanaan

Bagi para utilitarian, hukuman tertentu hanya akan dibenarkan jika penderitaan yang diakibatkan olehnya lebih kecil dari kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan kriminal. Jika bermacam-macam bentuk hukuman akan mencapai hasil yang sama, utilitarian akan memilih hukuman yang paling lunak yang memperkecil penderitaan dari hukuman yang diterima. Bagaimanapun pendekatan utilitarian bisa menghasilkan penderitaan dari hukuman yang berlebihan. Ten (1987:143) memberikan contoh dari pencurian kecil-kecilan yang tersebar luas dari masyarakat dengan ribuan kasus yang terjadi secara berkala yang dilakukan dengan sering oleh pencuri-pencuri efisien yang sulit ditangkap. Kerugian yang disebabkan oleh tiap-tiap pencurian individual adalah sedikit, tapi, total kerugiannya berdasarkan pendekatan utilitarian adalah besar dan kemungkinan lebih besar dari kerugian yang disebabkan oleh menghukum dari satu kriminal kecil.

Jika hukum yang baru disahkan akan mengenakan hukuman sepuluh tahun penjara kepada pencuri kecil, dan tidak ada hukuman yang kurang dari itu yang memberikan efek pencegahan, diperdebatkan bahwa seorang utilitarian harus menerima apa yang dipertimbangkan sebagai kelebihan hukuman untuk satu orang pencuri kecil-kecilan yang cukup tidak beruntung dan ditahan.

Retribusi

Retribusi adalah teori yang menyatakan bahwa hukuman itu memang layak diberikan. Sistem retribusi telah lama dikenal dengan nama lex talionis, aturannya adalah “mata ganti mata, gigi ganti gigi, dan nyawa ganti nyawa”. Kemudian, Van den Haag dan Kleinig menyatakan bahwa lex talionis jangan diberlakukan sebagai retribusi karena banyak tindak kriminal yang tidak bisa diberlakukan dengan sistem lex talionis¸ misalnya pemerkosaan.

Penganut paham retribusi percaya bahwa pelaku kejahatan layak untuk dihukum, dan hukuman yang mereka terima harus memiliki proporsi yang sama dengan kejahatan yang mereka lakukan. Retribusi adalah harga yang harus dibayar pelaku kejahatan atas apa yang dilakukan, pelaku tindak pidana yang dihukum dianggap membayar hutangnya pada masyarakat.

Feinberg berpendapat bahwa hukuman mengekpresikan lebih dari celaan, tapi metode pembalasan dendam pada kriminal. H. Morris menyatakan bahwa hukuman pantas dilakukan untuk memberi pelajaran moral pada para kriminal supaya mereka menyadari mana perbuatan yang baik dan benar serta melakukan hal tersebut di masa depan.

Hukuman dianggap sebagai praktik komunikasi untuk para kriminal. Pesan yang disampaikan melalui hukuman harus difokuskan pada pelaku tindak pidana sesuai dengan tindakan yang dia lakukan. Menurut Duff, dalam konteks hukum pidana, pesan yang disampaikan tersebut dapat berupa hukuman penjara, denda, dan pelayanan sosial. Hal in dapat membuat pelaku tindak pidana jera dan sadar bahwa tindakan yang dilakukan olehnya adalah salah.

4

Page 5: tugas -Tujuan Pemidanaan

Dengan dilakukannya hukuman, pelaku tindak pidana dapat didamaikan dengan masyarakat dan dapat dikembalikan ke masyarakat.

Ketika seseorang melanggar hukum, maka ia mengambil keuntungan dari orang-orang yang menaati hukum. Hal ini menyebabkan ketidakadilan,. Hukuman layak diberlakukan karena hukuman menghilangkan ketidakadilan ini dan mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak kriminal. Namun, tidak semua perbuatan pidana dianggap mengambil keuntungan dari orang yang menaati hukum, misalnya perkosaan. Akhirnya, penganut teori retribusi menyimpulkan bahwa hukuman secara moral harus diberlakukan sebagai sarana pelunasan bagi pelaku tindak pidana dan sarana pemberi kepuasan bagi masyarakat.

Apakah pada kenyataannya retribusi merupakan sebuah balas dendam ?

Teori retributive berpendapat bahwa hukuman harus dibebankan pada tindak pidana di waktu lampau serta harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu beratnya hukuman harus pula sepadan dengan tingkat keseriusan dari tindak pidana itu sendiri. Terkadang teori retributive ini sering disejajarkan atau disamaartikan dengan gagasan “balas dendam”. Menanggapi hal ini seorang ahli bernama Norzick berpendapat bahwa ada perbedaan yang jelas antara kedua teori tersebut karena menurut beliau “retribusi” dilakukan atas dasar kesalahan, sementara balas dendam mungkin dilakukan karena suatu luka, kekerasan, atau karena sikap yang tidak sopan dan tidak memerlukan adanya unsur kesalahan. Menurut beliau pula di dalam balas dendam dilibatkan suatu hubungan emosional dan kepuasan atas penderitaan orang lain. Perbedaan berikutnya adalah retribusi hanya dilakukan kepada pelaku saja, sementara balas dendam mungkin saja dilakukan kepada orang yang tidak bersalah, saudara korban misalnya.

Menanggapi teori ini kemudian muncul sebuah paham baru yaitu mengenai retribusi sebagai sebuah ganjaran. Menurut para pendukung paham ini, harus ada sebuah skala penghukuman bagi para pelaku yang beratnya disesuaikan dengan tingkat keseriusan tindak pidana yang mereka perbuat. Dalam paham ini kemungkinan dari pelaku untuk melakukan tindak kejahatan di kemudian hari tidak perlu dipertimbangkan akan tetapi hukuman sebelumnya perlu dipertimbangkan karena pendukung paham ini mendukung adanya pengurangan hukuman bagi pelanggar pertama.

Ahli kriminologi juga memperhatikan aspek “menyalahkan” dari sebuah hukuman bagi pelaku sebagai stigma yang justru dapat menjadi halangan bagi pelaku untuk kembali membaur dengan komunitasnya. Selain itu ada pula kemungkinan bahwa hal ini juga akan memperkuat tindakan penyimpangannya dan membuatnya terus melakukan tindak pidana. Teori ganjaran kemudian lebih menekankan bahwa proses “menyalahkan” ini seharusnya membuat si pelaku sadar akan kesalahan yang ia lakukan, merasa menyesal, dan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari hal demikian di kemudian hari.

5

Page 6: tugas -Tujuan Pemidanaan

Walau begitu ada pula pendapat para ahli yang menyatakan bahwa teori ganjaran ini masih memiliki banyak kekurangan apabila diaplikasikan ke dalam dunia nyata. Salah satu permasalahan yang utama adalah minimnya ketentuan mengenai skala pemberian hukuman yang sepadan bagi pelaku. Seorang ahli bernama Zimring juga berpendapat bahwa hukuman ganjaran tidak mempertimbangkan adanya berbagai macam kebijaksanaan yang terlibat dalam ranah pemberian hukuman. Hal ini kemudian yang dikhawatirkan dapat memberi celah pada kepentingan politik dan monopoli.

Memperdamaikan Utiitarian, Teori Retribusi, dan Rehabilitasi

Terdapat dua teori mengenai pemidanaan, yaitu teori utilitarian dan teori retributif. Teori utilitarian dikenal juga dengan istilah teori relatif. Perbedaan di antara kedua teori tersebut adalah bahwa dalam kelompok utilitarian, tujuan dari pemidanaan adalah sebagai usaha preventif sedangkan dalam kelompok retributif, tujuannya adalah untuk menghukum. Kelebihan dari teori utilitarian adalah peraturan dapat berubah seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Ada pertanyaan yang timbul, apakah kelompok retributif dapat mengampuni kesalahan pelaku kejahatan. Ketika sedang menjalani masa hukuman, para pelaku kejahatan mengatakan bahwa mereka merasa menyesal dengan perbuatan yang sudah mereka perbuat sebelumnya dan cenderung menyalahi diri mereka sendiri. Apabila hakim adalah seorang penganut teori relatif maka ia cenderung akan melihat apakah si pelaku kejahatan yang menyesal tersebut akan mengulangi perbuatannya. Sedangkan apabila hakim menganut teori rettributif pertanyaannya adalah apakah penyesalan tersebut akan mengurangi kesalahan yang telah diperbuatnya.

Rehabilitasi adalah sebuah gagasan yang menitikberatkan pada delik yang dilakukan oleh pelaku kejahatan serta latar belakang pelaku dan hukuman yang diberikan. Kelompok utilitarian berpendapat bahwa harus terdapat efek reformasi ataupun efek rehabilitasi kepada para pelaku kejahatan. Yang dimaksud dengan reformasi adalah memperbaiki pelaku kejahatan menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Apabila tujuan pemidanaan adalah untuk rehabilitasi maka seharusnya para pelaku kejahatan direhabilitasi sehingga mereka tidak akan mengulangi perbuatan mereka dan seharusnya masyarakat juga ikut serta mengadakan pembinaan bagi para pelaku kejahatan. Dalam teori rehabilitasi ini berpendapat kejahatan adalah sebuah penyakit di dalam masyarakat tujuan dari rehabilitasi adalah untuk mengobati penyakit tersebut melalui pembinaan.

Kelebihan dari teori rehabilitasi ini adalah menekankan pada kehidupan pribadi pelaku kejahatan, individualisasi pemidanaan, dan membuka pikiran baru tentang sistem pemidanaan yang kaku. Kekurangan dari teori ini adalah adanya asumsi yang menyatakan bahwa kejahatan berkaitan dengan penyakit dan pakar-pakar sosial dapat menyembuhkannya, program pembinaan yang dilakukan tidak berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat, serta para pelaku kejahatan tidak dipandang bertanggungjawab secara utuh akan perbuatannya. Pada dasarnya, rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk membantu para pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi

6

Page 7: tugas -Tujuan Pemidanaan

perbuatannya dan berbuat kejahatan lagi. Dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi merupakan salah satu cara alternatif bagi sistem pemidanaan dan bukanlah sesuatu yang dimaksud dengan pemidanaan. Inkapasitasi

Praktik pemidanaan selalu mencoba untuk memperkirakan resiko bahwa para pelanggar hukum kelak akan melakukan tindak kejahatan lagi, dan telah mencoba untuk membentuk kontrol pidana untuk mencegah tindak kejahatan yang sama terulang kembali. Melalui pendekatan inkapasitasi, para pelanggar hukum ditempatkan dalam tahanan, pada umumnya untuk waktu yang cukup lama, untuk melindungi publik dari pelanggaran hukum di masa depan. Dalam teori utilitarian, inkapasitasi dianggap sebagai bentuk konsekuensi hukuman yang tepat karena ketika menjalani masa hukumannya, para pelanggar hukum dipisahkan dari publik sehingga tidak dapat melakukan pelanggaran lebih lanjut. Inkapasitasi juga dapat dihadirkan dalam bentuk lain yang berbeda, seperti pembebasan bersyarat.

Terdapat dua pandangan dasar untuk menindaklanjuti sebuah jaminan dari praktik inkapasitasi yang memilih para pelanggarnya untuk hukuman. Yang pertama adalah perbuatan memprediksi bahaya dari tindak kriminal menimbulkan problematis tertentu , yaitu akan ada orang tak bersalah yang tidak akan berbuat kriminal lagi terjaring praktik inkapasitasi, sedangkan ada pula pelanggar hukum yang kelak bertindak kriminal lagi namun bebas, maka karena melalui prediksi yang tidak akurat, kita menerapkan inkapasitasi bagi sejumlah besar pelanggar hukum yang tidak berbahaya sehingga kita dapat memastikan bahwa kita juga telah melaksanakan inkapasitasi bagi pelanggar yang berbahaya. Yang kedua, terdapat pandangan moral bahwa merupakan hal yang salah dalam prinsip untuk menghukum peleanggar berdasarkan sebuah prediksi dari apa yang akan mereka lakukan di masa depan, mereka seharusnya dihukum atas pelanggaran yang telah meeka buat dan bukan pelanggaran yang mungkin akan mereka buat (Morris).

Beberapa permasalahan dalam penjatuhan inkapasitasi termasuk hal-hal berikut : 1. Inkapasitasi hanya berjalan apabila kira mengunci mereka yang mungkin akan melakukan tindak kejahatan setelah bebas nanti ; 2. Bila merekka yang kita kunci tidak segera diganti dengan pelangga yang baru ; 3. Bila kejahatan yang terjadi setelah dibebaskan tidak sering terjadi atau serius, untuk memperhitungkan efek dari tindak kriminal yang dicegah melalui penjatuhan inkapasitasi.

Keadilan restoratif

Keadilan restoratif berarti merestorasi (mengembalikan kembali seperti keadaan semula) para korban, maupun para pelanggar dan masyarakat. Sebagai tambahan untuk merestorasi kerugian material dan luka personal, restorasi berarti mengembalikan rasa aman. Intinya, keadilan restoratif menekankan pada kebutuhan untuk mendukung baik korban maupun pelanggar hukum,

7

Page 8: tugas -Tujuan Pemidanaan

dan melihat hubungan sosial sebagai alat rehabilitasi yang bertujuan memberikan dukungan sosial baik secara formal maupun informal dan kontrol kepada para pelanggar hukum. Berbeda dari memisahkan mereka keluar, para pelanggar hukum merupakan subyek dari rehabilitasi, dan keadilan restoratif melihat dukungan dan kontrol sosial kepada pelanggar hukum merupakan bentuk rehabilitasi bagi mereka.

Untuk mengingat ciri dari pendekatan keadilan restoratif kepada para pelanggar hukum, terdapat tiga prinsip yang harus diingat menurut Van Ness dan Strong :

1. Keadilan memerlukan penyembuhan bagi para korban, pelanggar hukum, dan masyarakat yang terluka oleh tindak kriminal.

2. Korban, pelanggar hukum, dan masyarakat harus diijinkan untuk secara aktif menturut sertakan diri mereka dalam proses keadilan dalam waktu dan secara substansial.

3. Peraturan dan tanggung jawab pemerintah harus dipikirkan kembali, dan sebagai bentuk promosi keadlian, pemerintah harins bertanggung jawab menyediakan peradilan dan masyarakat harus bertanggung jawab membangun kedamaian.

.Dalam kaitannya dengan para pelanggar hukum, Bazemore dan Dooley menyatakan bahwa terdapat fokus normatif pada kerugian dan perbaikan. Perbaikan, dalam konteks keadilan restoratif berimplikasi sebuah bentuk dari rehabilitasi. Meski demikian, terdapat kekosongan teori untuk menjelaskan bagaimana operasi dari keadilan restoratif dapat mengubah perilaku pelanggar hukum. Beberapa ahli berkata bahwa perbaikan dengan kaitannya dengan para pelanggar hukum memiliki fokus pada merestorasi, memperkuat, dan membangun hubungan antara para pelanggar hukum, korban, dan masyarakat, sehingga pencegahan terhadap tindak kriminal yang mungkin terjadi kelak harus fokus tidak hanya pada kewajiban pelanggar hukum memperbaiki kerugian yang telah ia timbulkan bagi para korban dan masyarakat, tetapi juga memperbaiki hubungan yang rusak antara pelanggar hukum dengan masyarakat, masyarakat dengan korban, dan korban dengan pelanggar hukum.

Kritik pada keadilan restoratif bertitik pada asumsi bahwa akan muncul kesepakatan keamanan diantara pelanggar hukum, korban, dan komuntias. Kriminalisasi dan hukuman menunjukan batasan toleransi, dan pengurangan hukuman melalui proses keadilan restoratif cenderung memberi kesan bahwa publik memiliki sikap yang berbeda pada perilaku yang berbeda. Volpe telah mengingatkan kecenderungan dari keadilan restoratif untuk memperluas jaringan dari kontrol sosial, atau dalam kata lain, toleransi korban dan masyarakat terhadap kerugian atas tindak kejahatan.

Pemberian Hukuman Dilihat dari Pendekatan Sosiologis

Garland (1990) berpendapat bahwa hukuman adalah suatu produk dari struktur dan nilai sosial. Jika kita menafsirkan hukuman kriminal sebagai sebuah “kesalahan” untuk kesalahan, maka kita

8

Page 9: tugas -Tujuan Pemidanaan

dapat menyimpulkan bahwa masyarakat menyalahi yang bersalah, maka kita harus melihat pada tujuan dari hukuman kriminal (pemidanaan) seperti deterrence, incapacitation, rehabilitation, just deserts, retribution, dan restorative justice.

Para sosiologis memperluas pengertian hukuman sebagai “penalty”, yang mereka teliti dalam beragam masyarakat pada waktu yang beragam pula. Hudson menjelaskan “penalty” sebagai: Ide-ide kompleks (tentang hukuman yang layak dan efektif), lembaga (hukum, polisi dan praktisi lain, agensi, dan lain-lain) dan hubungan (siapa yang memiliki kekuatan untuk memutuskan orang yang bersalah, ide siapa yang termasuk, apa hubungan antara yang menghukum dan yang dihukum dengan masyarakat lain) yang terlibat dalam penghukuman para pelaku.

Durkheim menggunakan pendekatan fungsional dalam menjelaskan pentingnya hukuman, yaitu dengan melihat fungsi dari hukuman itu sendiri untuk menegakkan aturan sosial di masyarakat. Durkheim mendefinisikan kepercayaan dan perasaan yang dipegang oleh anggota-anggota masyarakat sebagai “harapan bersama” (conscience collective), dan berpendapat bahwa tindakan kriminal adalah segala tindakan yang melanggar “harapan bersama” itu dan menghasilkan suatu reaksi hukuman. Beliau juga mengemukakan “dua aturan mengenai evolusi hukuman”:

1. Semakin berat hukuman yang diterapkan, maka masyarakat tersebut semakin kurang berkembang dan semakin absolut pula kekuasaan yang berlaku. Oleh karena itu pada masyarakat industri, perasaan bersama atau conscience collective ini lebih merasuk ke dalam hukum dibandingkan kedalam hal-hal yang bersifat religius, sehingga setiap tindakan kriminal dipandang sebagai kejahatan terhadap individu.

2. Intensitas hukuman yang diterapkan sudah berkurang, dan hukuman penjara akan menjadi hukuman utama, menggantikan hukuman mati dan penyiksaan.

Secara keseluruhan Durkheim melihat fungsi hukuman adalah untuk menggalang solidaritas sosial melalui pengukuhan nilai-nilai, dan berpendapat bahwa pentingnya hukuman dilihat dari ekspresi ketidakpuasan atas suatu tindakan pelanggaran.

Selanjutnya, Weber mengemukakan bahwa ada tiga macam kewenangan: kewenangan tradisional, kewenangan karismatik, dan kewenangan hukum. Menurut Weber, kewenangan hukum merupakan bentuk yang paling sesuai untuk diterapkan pada masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa di dalam kewenangan hukum ada pula kewajiban untuk menaati hukum, baik itu hukum yang rasional maupun irasional. Dalam sistem yang rasional tentang hukum pidana, tindak-tindak kriminal dapat dijelaskan secara rasional dan aturan-aturan digunakan secara benar untuk mengadili tindak-tindak kriminal. Ia lebih memilih rasionalitas formal yang ia istilahkan

9

Page 10: tugas -Tujuan Pemidanaan

sebagai “rasionalitas birokratis,” dan melihat ini sebagai suatu bentukan yang esensial dalam suatu negara modern.

Marxist dan pengikut-pengikutnya berpendapat bahwa kerasnya hukuman terikat langsung dengan nilai ketenagakerjaan. Sudut pandang Marxist terhadap hukuman berkembang dari perhatian Marx terhadap kapitalisme dan hubungan antara kegiatan produksi dengan masyarakat. Menurutnya, institusi seperti hukum dibentuk untuk menyetarakan hubungan antar produksi dan menyetarakan penegakkan sistem kapitalis. Rusche dan Kirchheimer, yang merupakan pengikut Marx, berpendapat bahwa intensitas hukuman menjadi relatif lunak ketika jumlah tenaga kerja sedang menyusut dan dianggap sangat bernilai, namun menjadi lebih keras terjadi kelebihan tenaga kerja. Aspek penting lain tentang pandangan mereka adalah prinsip kekuranglayakan (less eligibility). Prinsip tersebut menyatakan bahwa sudah selayaknya bahwa pelaku kejahatan dihadapkan pada kondisi hidup yang lebih terpuruk di dalam penjara dibandingkan dengan kondisi yang mungkin dihadapinya di luar penjara. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan persediaan pasukan tenaga kerja dari tindak kriminal; jadi, hukuman dibuat sebagai suatu tindakan pencegahan terhadap tindak kriminal lain. Rusche kemudian berpendapat bahwa prinsip tersebut membatasi perbaikan terhadap standar hukuman.

Pashunkins berkata bahwa terdapat kesesuaian antara perkembangan terhadap upah tenaga kerja – yang menghargai waktu – dengan konsep membayar kejahatan dengan “kerja penuh-waktu”. Dalam hal ini, teori Marxist yang tertuju pada hubungan antar produksi ditemukan tercermin pada hukuman penjara, dan oleh karena itu Marxist berpendapat bahwa prinsip penting dalam masyarakat adalah ekuivalensi. Penghukuman menjadi sebuah transaksi pertukaran dimana pelaku membayar hutang/kesalahannya kepada masyarakat (paying the debt to society).

Dengan demikian, semua tokoh-tokoh yang telah disebutkan dari awal mula menyetujui bahwa semua hukuman tidak dapat dipahami semata-mata sebagai respon terhadap tindak kejahatan atau kriminal.

Pada tahun 1977, Michel Foucault memperkenalkan teori Dicipline and Punish: The Birth of the Prison, yang membawa revolusi pembelajaran terhadap pemidanaan (penality) dan hukuman dengan mempersembahkan pengertian tentang pemidanaan dan menitikberatkan disiplin sebagai elemen kunci bentuk hukuman yang modern. Foucault menekankan bahwa peran hukuman dalam menghasilkan warga negara yang dapat berpikir dengan benar (right-thinking citizen). Pada dasarnya, Foucalt menggabungkan pendapat Weber (tentang bureaucratization) dan Durkheim (tentang hukuman sebagai kekuatan yang ekspresif) dalam pendapatnya tentang pemidanaan. Akan tetapi, ia mengadopsi kerangka berpikir yang lebih luas yang menghubungkan hukuman dengan pemidanaan, dan menghubungkan mereka secara langsung kepada perubahan dalam masyarakat dan penerapan kekuasaan terhadap individu.

10

Page 11: tugas -Tujuan Pemidanaan

Pemikiran Foucault telah menginspirasi banyak pengikutnya termasuk David Garland, yang dalam bukunya, Punishment and Modern Society (1990), berpendapat bahwa pemahaman penuh atas hukuman dan pemidanaan harus menyatukan semua teori yang telah dinyatakan oleh para sosiologis tadi. Garland menekankan perlunya mempertimbangkan bahwa hukuman tidak hanya sekedar ganjaran atas tindakan kriminal, tetapi juga sebagai suatu lembaga sosial yang kompleks. Dalam hal ini kita diharapkan berpikir melampaui sistem kontrol kriminal yang sederehana. Menurutnya, penghukuman harus dipandang sebagai suatu lembaga sosial, dan peranan sosialnya juga kepastiannya dapat dipahami dengan baik hanya melalui pengembangan pemikiran para ahli sosial.

11